Anda di halaman 1dari 11

TUBERKULOSIS PARU

Irawaty Djaharuddin
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Unhas

I. PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penduduk dunia. Penyakit ini


menjadi ancaman yang serius dan terus menerus, walaupun langkah-langkah eradikasi
telah dikerjakan diberbagai negara, tetapi masih banyak area yang tidak terkontrol.1
Laporan Tuberkulosis Global 2014 yang dirilis oleh WHO menyebutkan insidens
di Indonesia pada angka 460.000 kasus baru per tahun. Penderita TB terutama ditemukan
pada negara-negara dengan kesehatan masyarakat yang rendah.2 Diagnosis yang
akurat, terapi yang efektif dari penyakit TB, identifikasi infeksi TB tanpa penyakit, serta
penentuan terapi sangat penting. Lebih jauh lagi terapi preventif yang adekuat dapat
menghambat perkembangan penyakit TB pada banyak individu dan memotong transmisi
dari orang dengan potensial TB.2,3.
Melalui program yang diadopsi dari WHO, Indonesia sejak tahun 1995
melaksanakan program DOTS (Directly Observed Treatment Short course
chemotherapy). Kemoterapi terbukti efektif untuk sebagian besar kasus, akan tetapi pada
sebagian kasus tetap terjadi kegagalan, meskipun terapi yang diberikan sudah adekuat.
Program ini telah diadopsi oleh 119 negara dan berhasil meningkatkan penemuan kasus
baru dan mempertahankan angka kesembuhan, namun belum dapat menurunkan angka
kematian akibat penyakit tuberkulosa paru.4

II. ETIOLOGI

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis,


dan Mycobacterium africanum yang merupakan anggota dari ordo Actinomycetales dan
famili dari Mycobacteriaceae. Bakteri TB tidak membentuk spora, tidak bergerak,
pleomorfik, gram positif lemah, berbentuk batang dengan panjang 2-4 m.5

III. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis merupakan penyebab kematian terbesar dibanding penyakit infeksi


lainnya. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. Infeksi tertinggi terjadi di
Asia Selatan, Cina, India, Afrika dan Amerika Latin. Pada orang dewasa dua pertiga kasus

1
terjadi pada laki-laki, sedangkan pada anak-anak lebih dominan pada wanita. Angka
kesakitan TB tertinggi pada usia tua untuk populasi kulit putih, sedangkan untuk non kulit
putih tertinggi pada dewasa muda dan usia kurang dari 5 tahun.5
Di Indonesia sesuai dengan laporan badan kesehatan dunia ( WHO ) tahun 2015,
merupakan negara dengan jumlah penderita TB terbesar kedua. Indonesia juga
merupakan satu dari enam belas negara dengan angka keberhasilan pemberantasan
tuberkulosis yang belum memuaskan. Sedangkan di Amerika Serikat sejak 1985 mulai
timbul lagi peningkatan kasus - kasus baru , hal ini berhubungan dengan meningkatnya
penderita immunocompromised seperti HIV.4,6 Target yang ditetapkan WHO adalah
menyembuhkan 85 % kasus yang dideteksi sputum BTA positif dan mampu mendeteksi
70% dari perkiraan kasus baru sputum BTA positif.4

IV. PATOGENESIS

Infeksi tuberkulosis umumnya melalui inhalasi, didapatkan lesi primer terjadi pada
parenkim paru lebih dari 95% kasus.1 Pada orang yang belum pernah terinfeksi, lesi
primer ditandai dengan akumulasi leukosit polimorfonuklear awalnya dan proliferasi sel
epiteloid dengan formasi tuberkel kemudian. Tampak sel giant dan seluruh area dikelilingi
oleh limfosit. Bersamaan dengan onset infeksi, kuman TB akan dibawa oleh makrofag
dari fokus primer ke pembuluh limfe regional. Apabila fokus primer pada parenkim paru,
pembuluh limfe hilus biasanya terlibat, tetapi bila pada apical melibatkan pembuluh limfe
paratrakeal .1
Bakteri akan ditelan oleh makrofag alveolar yang kemudian mencoba
memfagositnya. Sesuai pertahanan alami terhadap bakteri TB, makrofag alveolar
mungkin tidak berhasil membunuh kuman seluruhnya, kuman kemudian akan tinggal
dorman dalam makrofag. Pada kebanyakan individu yang imunokompeten, makrofag
berhasil menahan kuman dan infeksi akan sembuh dengan sendirinya serta sering
memberi gejala sub klinis Kondisi ini disebut Infeksi primer tuberkulosis. Pada beberapa
penderita, makrofag alveolar tidak dapat menahan bakteri sehingga menyebar dan
memberi gejala klinik. Kondisi ini umumnya terjadi pada penderita imunokompromized,
yaitu penderita HIV/AIDS. Hal ini disebut Tuberkulosis Primer Progresif. Penderita ini
menunjukkan gejala klinik di paru (sering berupa TB milier) atau penyakit sistemik yang
luas. Sedangkan TB pasca primer ditemukan pada penderita dengan infeksi awal yang
makrofag alveolarnya dapat memfagosit kuman tetapi tetap hidup dalam makrofag, infeksi
terjadi lagi bila status imun inang menurun (imunokompromized).7
Gambaran patologi yang didapatkan bervariasi, umumnya berupa lesi
granulomatous yang berisi sel epiteloid yang merupakan derivat dari makrofag, sel
raksasa Langhans, dengan inti multipel , limfosit, dan beberapa variasi.6

2
Hipersensitivitas tubuh terhadap tuberkulin tidak terjadi segera tetapi pada minggu
ke-2 – 10 setelah infeksi. Pada saat itu fokus primer mungkin bertambah tetapi tidak
berkapsul. Ketika reaksi hipersensitivitas makin meningkat, reaksi perifokal akan makin
menonjol dan pembuluh limfe regional akan membesar. Fokus primer mungkin akan
menjadi pengejuan (caseosa) tetapi pertahanan tubuh akan membatasinya. Bahan-bahan
pengejuan secara perlahan-lahan akan terhisap dan menjadi kalsifikasi. Lesi kemudian
akan menghilang.1
Fokus primer ini biasanya satu, pada beberapa kejadian terdapat dua atau lebih
lesi. Pada keadaan ini setelah reaksi hipersensitiviti, ciri dari kompleks primer (fokus pada
parenkhim paru dan pembesaran kelenjar limfe) tidak terjadi. Walaupun TB paru primer
ini bertendensi untuk sembuh tetapi progresifitas lesi untuk bertambah besar bisa terjadi.
Lesi kemudian makin membesar, pneumonitis berkembang dalam jaringan sekitar dan
pluera yang menutupinya akan menebal. Pengejuan akan mencair dan mengisi satu atau
lebih bronki, menghasilkan sisa kaviti dan area baru penumonia tuberkulosis, yaitu
tuberkulosis kaviti primer.1
Pada saat pengejuan, penyebaran secara hematogen terjadi dan menghasilkan
lesi milier di organ-organ viscera atau fokus yang terisolasi di paru, tulang, mata, otak
ginjal, hati dan limpa. Beberapa bakteri TB mencapai aliran darah sebelum reaksi
hipersensitiviti terjadi, bakteriemi ini terjadi secara langsung atau melalui pembuluh limfe
regional dan ductus thoracicus.Keterlibatan pembuluh limfe regional bertendensi adanya
penyembuhan tetapi telah terjadi penyebaran yang lebih luas dibanding fokus primer.
Kuman TB dapat hidup bertahun-tahun pada pembuluh limfe walaupun area kalsifikasi
pada tempat ini menandakan penyembuhan secara parsial telah terjadi.1
Pembesaran pembuluh limfe ini akan mengakibatkan obstruksi, menutupi jalannya
udara dari lumen yang menyebabkan atelektasis pada bagian distal. Selain itu pengejuan
(caseosa) yang terjadi melekat pada bronkus menyebabkan reaksi inflamasi . terjadilah
infeksi yang menciptakan fistel, sehingga terjadi transmisi penyakit melalui bronkus ke
parenkim paru. Demikian pula pengeluaran bahan-bahan caseosa melalui bronkus akan
menyebabkan obstruksi dan terjadilah atelektasis pada bagian distal paru.1
Penyulit pada TB primer terbanyak ditemui pada tahun pertama setelah infeksi.
Bila fase ini terlewati komplikasi relatif jarang terjadi sampai terjadi lagi reinfeksi dengan
manifestasi klinik yang lebih berat.1
Periode laten ( beberapa bulan / tahun ) setelah infeksi primer. Dapat terjadi
karena reactivation dan reinfection. Reactivation terjadi akibat kuman dorman yang
berada pada jaringan selama beberapa bulan / tahun setelah infeksi primer, mengalami
multiplikasi. Hal ini dapat terjadi akibat daya tahan tubuh menurun, misalnya akibat status
gizi yang buruk atau HIV. Reinfection terjadi infeksi ulang pada seseorang yang
sebelumnya pernah mengalami infeksi primer. TB pasca primer umumnya menyerang
paru, tetapi dapat pula ditempat lain diseluruh tubuh umumnya pada usia dewasa.
Karakteristik TB pasca primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas,

3
hapusan dahak BTA positif, melibatkan lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati
intratoraks.8
Tuberkulosis pasca primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen
apical lobus superior atau lobus inferior. Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil.
Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan :
1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan
perkapuran . sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan
menimbulkan kaviti.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju, yang bila dibatukkan akan
menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal ( kaviti
sklerotik ). Kaviti akan mengalami :
a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur
dan sembuh, tapi dapat aktif kembali dan mencair menimbulkan kaviti baru.
c. Menyembuh dan disebut open healed cavity, atau menyembuh dengan
membungkus diri , akhirnya mengecil. Kaviti dapat menciut dan tampak sebagai
bintang ( stellate shape ).9

V. GAMBARAN KLINIK
Tuberkulosis sering mendapat julukan The Great Imitator yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala
umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas
sehingga diabaikan, bahkan kadang- kadang asimtomatik.5
Gambaran TB paru dapat dibagi menjadi dua golongan, gejala respiratorik dan
gejala sistemik .2,6

A.Gejala respiratorik
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula – mula non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila
sudah terjadi kerusakan jaringan. Bila batuk telah berlangsung selama 3 minggu maka
hendaknya dipikirkan adanya tuberkulosis.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan bervariasi, mungkin berupa garis atau bercak- bercak
darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah
terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari
besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah inilah yang paling sering
membawa penderita berobat ke dokter. Perlu diingat, batuk darah tidak selalu
menunjukkan proses aktif.

4
c.Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada
hal – hal yang menyertai seperti efusi pleura atau anemia dll.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul
apabila sistim persarafan di pleura terkena.

B Gejala sistemik
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai, biasanya timbul pada sore dan malam
hari, mirip demam influenza. Demam seperti influenza ini hilang timbul dan makin lama
makin panjang serangannya, sedang masa bebas serangan makin pendek.

b. Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, berat badan menurun serta
malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual/ berangsur- angsur dalam beberapa minggu – bulan,
akan tetapi penampilan akut dengan batuk , panas dan sesak, walaupun jarang dapat
juga timbul menyerupai pneumoni.

VI. PEMERIKSAAN FISIK


Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membedakan TB dengan penyakit
paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru.
Dapat ditemukan tanda – tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas
bronchial, amforik, ronkhi basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak napas yang
tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat
limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering dileher, kadang –
kadang disertai adanya scrofuloderma.8

VII. GAMBARAN RADIOLOGI


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Sedangkan pemeriksaan foto top lordotik , oblik , CT Scan dan lain – lain atas indikasi.
Luas proses atau lesi yang tampak pada foto thoraks dapat dinyatakan sebagai berikut
:
a. Lesi minimal ( minimal lesion )
Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih
dari volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan
prosesus spinosus dari vertebra thorakalis IV atau korpus vertebra thorakalis V (
sela iga II) dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi luas ( far advanced )

5
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.9

1. TB paru primer
Gambaran fokus primer nampak sebagai peningkatan densitas dengan
ukuran dan bentuk yang bervariabel pada jaringan paru yang radiolucent, kelenjar
limfe regional tampak membesar dan gambaran limfangitis yang nampak sebagai
gambaran linier yang menghubungkan antara kelenjar limfe dengan focus lesi di
jaringan paru. Pleural effusi nampak sebagai bayangan meningkatnya densitas
pada cavum pleura.10
Atelektasis dapat terjadi akibat adanya proses endobronkial, pembesaran
kelenjar, sembab mukosa, penebalan jaringan granulasi, penyumbatan oleh
sekret yang kental, stenosis bronkus karena perforasi kelenjar ke dalam bronkus.
Bila fokus infeksi berdekatan dengan lumen pembuluh darah dan terjadi nekrosis
dapat menimbulkan early post primary TB septicemia ( hiper akut miliari TB ).
Terjadi panas yang tinggi , general toksik dan meningitis tuberkulosa biasanya
terjadi, kelainan ini sering mengenai anak- anak.1
Tuberkuloma nampak merupakan primair atau pasca primair TB,
gambaran local parenchymal disease yang merupakan proses gabungan aktif dan
penyembuhan fokal. Gambaran nodul yang ditimbulkan berdiameter 10 – 15 mm
dan dapat berlokasi disembarang tempat pada paru, tetapi paling sering di bagian
atas paru. Batas tepi nodul sering kali jelas dan dapat terjadi lesi lain di sekitarnya.
Tuberkuloma dapat bertahan tetap sama bertahun – tahun tetapi merupakan focus
potensial untuk menyebar.6

2. TB post primer
Hampir selalu selalu memberikan gambaran yang abnormal pada foto
thorak. Khasnya adalah parenkimal tanpa pembesaran kelenjar getah bening,
yang bermanifestasi sebagai kavitas. Terdapatnya gambaran kavitas pada lobus
superior dan tidak ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening, sangat
membantu dalam membedakan tuberkulosis primer dan post primer.
Pembentukan kavitas adalah gambaran khas dari tuberculosis post primer,
dan hampir selalu ditemukan pada kira – kira 50 % kasus. Kavitas disini berdinding
tebal dan berbentuk irregular. Gambaran air fluid level jarang sekali ditemukan
kecuali bila ada infeksi sekunder. Bentukan aktifitas ini dapat menyebabkan
penyebaran infeksi melalui bronkus kepada bagian paru yang lain atau melalui
ruptur ke ruang antar pleura, dimana dapat menyebabkan empiema dan fistula
bronkopleural. Kavitas juga dapat menyebabkan terbentuknya aneurisma
Rasmussen ( pseudoaneurisma dari arteri pulmonalis ). Penyebaran miliaris
jarang terjadi pada tuberkulosis post primer dan apabila terjadi dikarenakan erosi
dari pembuluh darah pulmonal atau bronchial.

6
Dengan menggunakan peralatan imaging diagnostic,diharapkan diagnosis TB
menjadi lebih mudah dan akurat. Pemeriksaan radiologis sangat diperlukan untuk
menentukan adanya lesi pada jaringan, luasnya lesi dan memantau perkembangan
terapi.

VIII. PEMERIKSAAN LABORATORUM


A. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan ini mempunyai arti yang sangat penting dan memegang peran utama
dalam menegakkan diagnosis, evaluasi hasil terapi, juga ikut menentukan paduan OAT
yang akan diberikan. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak
atau bilasan bronkus ( BAL ). Untuk memperoleh kualitas dahak yang baik, perlu
dijelaskan pada penderita pentingnya pemeriksaan dahak, pemeriksaan dahak ulang dan
bagaimana cara batuk yang benar. Dahak yang baik harus berjumlah 3 – 5 ml, kental dan
bukan ludah.2,8
Macam – macam pemeriksaan bakteriologi :
a. pemeriksaan mikroskopik biasa
Dengan pewarnaan Ziehl Nielsen dan pewarnaan Kinyoun Gabbet atau dengan
mikroskopik fluorescent dengan pewarnaan auramin rhodamin.
Pengambilan sputum dilakukan 3 kali yaitu setiap pagi berturut – turut sehingga
diperoleh specimen dahak. Program P2TB Depkes ( mengadopsi WHO )
merekomendasikan dahak sebaiknya terkumpul 2 hari kunjungan pertama yaitu : Spot
( saat kunjungan ), Morning ( keesokan harinya ) dan Spot ( saat mengantar sputum pagi
). Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik :
Bila 2 X positif disebut mikroskopik +
Bila 1 X positif , 2 X negatife ulang BTA 3 X : bila 1 X positif disebut mikroskopik +
bila 3 X negative disebut mikroskopis -

b. Pemeriksaan biakan kuman


Biakan merupakan metode konfirmasi dalam membuat diagnosis tuberkulosis.
Pembiakan juga penting untuk melakukan uji kepekaan terhadap obat – obatan. Macam
– macam pemeriksaan biakan kuman : Metoda konvensional : Egg Base Media (
Lowenstein-jensen, ogawa, kudoh ) dan Agar Base Media ( middle brook ).

c. Pemeriksaan lain – lain :

7
 Pemeriksaan serologi dengan berbagai metode antara lain : ELISA ( EnzymLinked
Immunosorbent Assay ), Mycodot, Uji Peroksidase Anti Peroksidase ( PAP ), Dot
EIA TB.
 PCR ( Polimerase chain reaction ).
 RFLP ( Restrictive fragment length polymerase )
 LPM ( Ligth producing mycobacteriophage ).
Pemeriksaan RFLP dan LPM lebih banyak digunakan untuk kegiatan penelitian.2,8

B. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
tuberkulosis.Laju endap darah ( LED ) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan.
Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu
respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik
/ daya tahan tubuh penderita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberculosis. Limfositpun kurang
spesifik.2,8

C. Uji Tuberkulin.
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah
dengan prevalensi rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apa lagi pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
didapatkan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan menunjukkan gambaran
reaksi tubuh yang analog dengan reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target
organ yang terkena infeksi ,atau status respon imun individu yang tersedia bila
menghadapi agen dari basil tahan asam yang bersangkutan.2,8

IX. DIAGNOSIS BANDING

Pada proses tuberculosis menahun, perlu diingat ada penyakit paru menahun
yang bukan tuberkulosis sehingga memberikan gejala klinik yang hampir sama seperti
brokiektasis, bronkitis , emfisema dan kanker paru. Beberapa penyakit paru kerja juga
memberi gejala yang menyerupai TB paru. Walaupun TB paru banyak dimasyarakat,

8
sebaiknya jangan cepat – cepat mendiagnosis suatu penyakit paru sebagai TB paru bila
tidak ditunjang data yang cukup meyakinkan.6,8

X. PENGOBATAN
Tujuan pengobatan tuberculosis adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan
mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif
dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB
didasarkan pada rekomendasi WHO.2,6
Terdapat 3 aktifitas anti tuberculosis yaitu :
1. Obat bakterisidal : INH, rifampisin, pirazinamide.
2. OAT dengan kemampuan sterilisasi : rifampisin, PZA.
3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi : rifampisin dan INH, sedang
streptomisin dan etambutol kurang efektif.

OBAT ANTI TB

Dose mg/kg
Anti TB drug Action Potensi Daily Intermitten
3x/wk 2x/wk

Isoniazid ( H ) Bakterisidal High 5 10 15


Rifampicin ( R ) Bakterisidal High 10 10 10
Pirazinamide ( Z ) Bakterisidal Low 25 35 50
Streptomisin ( S ) Bakterisidal Low 15 15 15
Etambutol ( E ) Bakteriostatik low 15 30 45

Dikutip dari TB A Clinical Manual For South East Asia,1997.Halaman 58.

Pengobatan TB terdiri dari 2 fase yaitu :

Fase initial / fase intensif ( 2 bulan ) :


Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita
yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita
BTA positif akan menjadi negatife dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting
adanya pengawas minum obat ( PMO ).

Fase lanjutan ( 4-6 bulan ) :


Bertujuan membunuh kuman persisten ( dorman ) dan mencegah relaps. Fase ini
juga perlu adanya PMO.

Recommended treatment regiment for each diagnostic category12

9
TB TB treatment regimens
Diagnostic Initial phase (daily or Continuation phase
TB patients
Category 3 Times weekly) (Daily or 3 times/weekly)
New smear-positive patients;
New smear-negative PTB with
2 HRZE 4 HR
extensive parenchymal
I or
envolvement;
6 HE daily
Severe concomitant HIV disease or
severe forms of EPTB
Previously treated sputum
Smear positive PTB:
II -relapse; 2 HRZES/ 1 HRZE 5 HRE
-tratment after iunterruption;
-treatment failure.
New smear-negative PTB 4 HR
III (other than in Category I ); 2 HRZE or
Less severe forms of EPTB 6 HE daily
Chronik and MDR-TB cases Specially designed standardized or individualized
IV (still sputum-positive after regimens are suggested for this category
Sepervised re-treatment)

DAFTAR PUSTAKA

1. Inselman, L.S, Kendig, E.L. Tuberculosis In :C hernick, V., Kendig’s disorders of the
Respiratory Tract in Children 5th Ed. WB Saunders Company, USA,1990. 730-769

10
2. Loubue PA. .Diagnosis of Tuberculosis. In : Tuberculosis a comprehensive
International Approach. Eds : Reichman LB, Hershfield ES, Marcel Dekker
Company, New York ,2000. 341-75

3. Dannenberg AM. .Pathogenesis of Pulmonary Tuberculosis. Am Rev Respir


Dis;1991. 125 : 25-29

4. .Kelompok Kerja TB-HIV. Prosedur Tetap Pencegahan dan Pengobatan


Tuberkulosis Pada Orang Dengan HIV/AIDS, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.2003. 43-46

5. Munoz FM, Starke JR. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-18. Philadelpia : WB
Saunders Company.2007.1044-55

6. Jaishree J, David Z. Pathology and Insights into Pathogenesis of Tuberculosis In


:Rom, W.N, Garay, S.M, Tuberculosis, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
2004. 324-344

7. Catanzano, 2004, Lung, Primary Tuberculosis.


http://www.emedicine.com/radio/topic411.htm

8. Haries A, Maher D, Ravliglion M, Chaulet P, et al. TB A Clinical Manual for south –


East Asia. .

9. Helmia, Manase . Tuberkulosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.Cetakan I. GRAMIK


FK UNAIR, Surabaya, 2004. 11 – 27.

10. Triyono KSP. Radiologi Pada Tuberkulosa . TB UP DATE I. Editor : Palilingan


JF,Maranatha D, Wiraniani. Surabaya.2002. 11 – 18.

11. Crofton, J. & Douglas, A. Respiratory Diseases, Blackwell Scientific Publications,


Osney Mead, Oxford.1984: 248-255.

12. WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National programmers.3 rd Edition.


WHO Geneva. 2003 : 27-38.

11

Anda mungkin juga menyukai