Anda di halaman 1dari 8

Hematemesis Melena et causa

Gastritis Erosif dengan Anemia

Fanny Fadhilatunnisa
Titis Meyliawati

Pendahuluan
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah kegawatdaruratan medis yang sering
dihadapi. Pendarahan saluran cerna dapat bermanifestasi dengan gejala yang ringan sampai
dengan pendarahan masif yang dapat mengancam jiwa. Pendarahan saluran cerna dapat terjadi
pada saluran cerna bagian atas dan saluran cerna bagian bawah. Saluran cerna bagian atas
(SCBA) dan saluran cerna bagian bawah (SCBB) dipisahkan oleh ligamentum Treitz. 2
Pendarahan SCBA 4 kali lebih sering dibandingkan dengan pendarahan SCBB.1
Perdarahan saluran cerna dapat ditemukan dalam beberapa keadaan yaitu hematemesis,
melena, hematokezia, ataupu pedarahan tersembunyi (occult bleeding). Hematemesis; muntah
darah merah atau material berwarna seperti kopi. Melena; kotoran hitam seperti tar, bau busuk.
Hematokezia; kotoran melalui rektum merah terang atau darah kecoklatan. Perdarahan
tersembunyi; terdapat darah dalam kotoran namun tak terlihat secara kasat mata.3 Hematemesis
dengan atau tanpa melena biasanya mencerminkan perdarahan saluran cerna bagian atas. Namun
hematokezia juga dapat terjadi pada perdarahan saluran cerna atas bila darah yang ditimbulkan
oleh lesi berasal dari usus halus walaupun hal ini jarang terjadi. Melena mencerminkan bahwa
darah telah berada di dalam saluran cerna selama minimal 14 jam. Penyebab pendarahan SCBA
yang paling sering dilaporkan adalah pecahnya varises esophagus, gastritis erosive, tukak peptic,
gastropati hipertensi portal, sindroma Mallory-Weiss dan keganasan.1 Dalam kurun decade
terakhir tampaknya pasien akibat pendarahan SCBA meningkat secara signifikan. Mortalitas
akibat pendarahan SCBA adalah 3,5-7 % sementara akibat pendarahan SCBB adalah 3,6 %.2
Oleh karena itu pendekatan baik dan terarah terhadap pasien dengan perdarahan
gastrointestinal sangat diperlukan. Tujuan utama anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah menetukan derajat perdarahan.1
Berikut ini akan dibahas mengenai kasus seorang penderita hematemesis melena et causa
suspect gastritis erosif yang disertai dengan anemia, ISK, vesikolithiasis dan BPH.

Kasus
Seorang pasien laki-laki, Tn. S, 58 tahun, pada bulan Mei 2019 datang diantar oleh
keluarganya ke UGD RSUD Tongas dengan keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Menurut pasien, frekuensi BAB 1-2 kali per hari, BAB berwarna
kehitaman, bentuk padat, tidak disertai lendir maupun darah segar. Keluhan juga disertai dengan
muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah sebanyak 2 kali, berwarna merah

[Type text]
kehitaman kurang lebih 2 sendok makan. Muntah hanya berupa darah, tidak disertai dengan isi
lambung. Pasien juga mengalami pusing serta mual. Demam disangkal.
Riwayat sakit kuning, darah tinggi dan diabetes mellitus disangkal, namun pasien
mengatakan bahwa sering mengalami sakit maag dan ada riwayat batu ginjal. Riwayat sakit
kuning, darah tinggi dan diabetes mellitus di keluarga disangkal.
Pasien belum pernah berobat untuk gejala yang dirasakan saat ini. Menurut pasien, pasien
hanya sering mengkonsumsi obat sakit maag ketika maagnya kambuh.
Pasien memiliki kebiasaan merokok, minum kopi, dan minum jamu pegal linu. Riwayat
konsumsi alcohol disangkal. Pasien mengaku sering terlambat makan.
Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
composmentis. Berat badan 65 kg tinggi badan 170 cm, dengan tekanan darah 129/71 mmHg,
nadi 96 kali/menit, pernapasa 20 kali/menit, SpO2 99-100%, suhu aksila 36.9° celsius.
Pemeriksaan kepala dan leher didapatkan konjungtiva anemis, tidak didapatkan sklera ikterik,
mukosa sianosis, dispneu, pembesaran kelenjar getah bening maupun peningkatan vena
jugularis. Hasil pemeriksaan dada didapatkan jantung dengan suara 1 dan 2 tunggal, tidak
didapatkan suara tambahan. Pada paru didapatkan suara napas vesikuler, tidak ditemukan ronkhi
maupun wheezing. Pada pemeriksaa abdomen didapatkan abdomen tampak agak cembung,
bising usus normal. Terdapat nyeri tekan pada region epigastrium. Tidak ditemukan pembesaran
organ, asites, maupun kaput medusa. Pada ekstremitas tidak didapatkan edema pada kedua kaki
dan teraba hangat.
Pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan cor ukuran normal, pulmo tak tampak infiltrat,
sinus costiphrenicus kanan dan kiri tajam. Kesimpulan: cor dan pulmo dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 6.0 g/dL, leukosit 7.100/mm,
hematokrit 19.9%, trombosit 506.000/mm, eritrosit 2.460.000/mm, LED 130mm/jam,
Differential counting 0/0/0/62.4/30.1/7.5. SGOT 20 U/l, SGPT 17 U/l. Kreatinin 1.5 mg/dL,
BUN 36.9 g/dL, Urea 79 mf/dL. Gula darah sewaktu 105 mg/dL.
Diagnosis kerja saat ini adalah hematemesis-melena ec. Suspect gastritis erosive +
anemia gravis dengan differential diagnosis hematemesis-melena ec. Suspect sirosis hepatis.
Selanjutnya pasien direncanakan untuk dirawat inap untuk dilakukan pemasangan NGT
dan puasa sementara. Terapi yang diberikan infus RD5 1000 cc dalam 24 jam, Omeprazole 2x40
mg, Asam Tranexamat 3x1 ampul, Mecobalamin 2x1 ampul, Carbamazochrome 1x10 mg, drip
Vitamin K 3x1 dalam NS 100 cc, Sucralfate syrup 3x1 C, serta transfusi PRC 1 kolf/hari dengan
target Hb ≥8 mg/dL.

Perjalanan Penyakit
Pada hari perawatan pertama (15/05/2019), didapatkan keluhan BAB hitam 1 kali, mual,
nyeri ulu hati dan nyeri tekan abdomen bagian bawah. Pasien menolak dipasangkan NGT. Pasien
sudah mendapatkan transfusI sebanyak 1 kolf. Selanjutnya, pasien dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan urine lengkap. Didapatkan hasil darah lengkap: Hemoglobin g/dL 7.8, hematokrit
24.9%, leukosit 6.700/mm, trombosit 349.000/mm, eritrosit 3.230.000/mm. pada hasil urinalisa
lengkap didapatkan sedimen eritrosit 3-4 LP, sedimen leukosit >25 LP, sedimen epitel 4-5 LP,
sedimen bakteril positif, nitrit positif, dan keton postif. Diagnose saat hari perawatan pertama
menjadi hematemesis-melena ec. Suspect gastritis erosive dengan differential diagnosis ec.
Suspect sirosis hepatis + anemia gravis + infeksi saluran kemih. Diberikan terapi RD5 1000 cc
selama 24 jam, Omeprazole 2x40 mg, Mecobalamin 2x1 ampul, Asam Tranexamat 3x1 ampul,
Carbamazochrome 1x10 mg, drip Vitamin K 3x1 dalam NS 100 cc, serta transfusi PRC 1
kolf/hari dengan target Hb ≥8 mg/dL, sucralfat sirup 3x1 C. Mendapat tambahan obat Cefixime
2x100 mg dan Sulfos Ferosus 2x1 tablet.
Pada hari perawatan kedua (16/05/2019), didapatkan keluhan BAB hitam 1 kali, nyeri ulu
hati, nyeri tekan abdomen bagian bawah. Keluhan mual sudah tidak ada. Pasien mengeluhkan
saat BAK terasa sakit, tidak disertai dengan perasaan berpasir. Pasien juga mengatakan bahwa
ketika BAK harus mengedan agar urine keluar, pasien tidak lampias saat berkemih. Diagnosis
saat hari perawatan kedua menjadi hematemesis-melena ec. Suspect gastritis erosive dengan
differential diagnosis ec. Suspect sirosis hepatis + anemia gravis + infeksi saluran kemih +
suspect BPH. Pasien disarankan untuk dipasang urine catheter namun menolak. Diberikan terapi
RD5 1000 cc selama 24 jam, Omeprazole 2x40 mg, Mecobalamin 2x1 ampul, Asam Tranexamat
3x1 ampul, Carbamazochrome 1x10 mg, drip Vitamin K 3x1 dalam NS 100 cc, serta transfusi
PRC 1 kolf/hari dengan target Hb ≥8 mg/dL, sucralfate sirup 3x1 C. Mendapat tambahan obat
Cefixime 2x100 mg dan Sulfos Ferosus 2x1 tablet.
Pada hari perawatan ketiga (17/05/2019), pasien sudah tidak terdapat keluhan. Pasien
sudah mendapatkan transfusi PRC kedua. Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan
Hemoglobin 8.4 g/dL, LED 75/jam, leukosit 6.700/mm. pasien selanjutnya dilakukan
pemeriksaan USG abdomen, dengan hasil hepar dalam keadaan normal, buli-buli terdapat batu
dengan diameter 4.2 cm, prostat membesar dengan volume 70 ml. Diagnose saat hari perawatan
ketiga menjadi hematemesis-melena ec. Suspect gastritis erosive + anemia gravis (teratasi) +
infeksi saluran kemih + vesikolithiasis + BPH. Pasien dinyatakan membaik dan diijinkan pulang
oleh DPJP dengan obat pulang Ciprofloxacin 2x500 mg, Omeprazole 2x40 mg, sucralfate sirup
3x1 C, dan Sulfos Ferosus 2x1 tablet.

Pembahasan
Perdarahan saluran cerna merupakan masalah kegawatdaruratan medis yang sering
dihadapi.1 Pendarahan saluran cerna dapat terjadi pada saluran cerna bagian atas dan saluran
cerna bagian bawah. Saluran cerna bagian atas (SCBA) dan saluran cerna bagian bawah (SCBB)
dipisahkan oleh ligamentum Treitz.2 Perdarahan saluran cerna dapat ditemukan dalam beberapa
keadaan yaitu hematemesis, melena, hematokezia, ataupu pedarahan tersembunyi (occult
bleeding). Hematemesis; muntah darah merah atau material berwarna seperti kopi. Melena;
kotoran hitam seperti tar, bau busuk. Hematokezia; kotoran melalui rektum merah terang atau
darah kecoklatan. Perdarahan tersembunyi; terdapat darah dalam kotoran namun tak terlihat
secara kasat mata.3
Perdarahan saluran cerna dapat muncul dengan mmanifestasi klinis yang berbeda.
Hematemesis adalah muntah datah yang berwarna merah atau kecoklatan. Darah dapat berwarna
kecoklatan bila terjadi konversi hemoglobin menjadi hematin.oleh asam lambung.
Melena menggambarkan tinja berwarna hitam yang mengandung darah yang telah
mengalami proses pencernaan. Tinja biasanya berwarna hitam seperti ter, berbau busuk, dan
lengket. Darah berwarna semakin gelap setelah melalui saluran cerna karena pemecahan
hemoglobin oleh asam lambung dan pepsin di lambung atau oleh bakteri di usus. Perubahan
warna tinja ini dipengaruhi lokasi perdarahan, jumlah dan laju perdarahan, serta kecepatan transit
usus.3
Hematemesis dengan atau tanpa melena biasanya mencerminkan perdarahan saluran
cerna bagian atas. Namun hematokezia juga dapat terjadi pada perdarahan saluran cerna atas bila
darah yang ditimbulkan oleh lesi berasal dari usus halus walaupun hal ini jarang terjadi. Melena
mencerminkan bahwa darah telah berada di dalam saluran cerna selama minimal 14 jam.3
Hemaokezia adalah buang air besar dengan tinja yang disertai darah berwarna merah.
Hematokezia biasanya merupakan manifestasi perdarahan saluran cerna bagian bawah. Namun
hematokezai dapat terjadi pada saluran cerna bagian atas bila darah tidak berada dalam saluran
cerna cukup lama hingga terjadinya melena. Hal ini dapat terjadi pada perdarahan yang masif
sehingga mengakibatkan instabilitas hemodinamik dan penurunan kadar hemoglobin.
Pada pasien didapatkan anamnesis BAB berwarna kehitaman sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Menurut pasien, frekuensi BAB 1-2 kali per hari, BAB berwarna
kehitaman, bentuk padat, tidak disertai lendir maupun darah segar. Keluhan juga disertai
dengan muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah sebanyak 2 kali,
berwarna merah kehitaman kurang lebih 2 sendok makan. Muntah hanya berupa darah,
tidak disertai dengan isi lambung.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik bermanfaat untuk membantu mengetahui lokasi,
derajat, dan lama perdarahan serta menilai prognosis dan resiko perdarahan ulang.3 Anamnesis
penting untuk memperkirakan sumber pendarahan SCBA dan mencari faktor resiko yang
dimiliki oleh pasien. Apakah pasien sedang menderita atau pernah menderita penyakit hati
kronik, sirosis hati, atau penyakit lambung dan SCBA yang lain. Adanya riwayat dyspepsia
memperberat dugaan ke arah ulkus peptikum. Adanya riwayat muntah-muntah yang berulang-
ulang sebelumnya yang tidak disertai darah kemudian baru-baru ini disertai darah memperberat
dugaan ke arah sindrom Mallory-Weiss. Konsumsi alkohol berlebih memperberat dugaan ke
gastritis, ulkus peptic, dan kadang-kadang varises esophagus.4 riwayat perdarahan pada lokasi
lain dapat disebabkan sirosis hepatik atau diskrasia darah.3
Obat-obatan tertentu bisa memicu terjadi pendarahan SCBA ini antara lain obat analgetik
antipiretik seperti aspirin, kortikosteroid, jamu-jamuan. Perlu juga ditanyakan apakah pasien
sering mengkonsumsi alkohol untuk menyingkirkan kemungkinan sirosis hepatis. Perlu
ditanyakan pula apakah timbul hematemesis dulu baru melena atau hanya melena saja.4
Perlu juga dicari kemungkinan false hematemesis dan false melena. False melena atau
pseudomelena dapat terjadi akibat mengkonsumsi obat-obatan atau makanan tertentu seperti
bismuth, charcoal, terapi besi, licorice, blueberry, dan beets.4
Adanya penurunan berat badan yang signifikan dan dalam waktu cepat mengarahkan
pada kemungkinan keganasan. Pendarahan yang berat disertai dengan bekuan dan adanya
pengobatan syok refrakter menunjukkan kemungkinan ke arah varises.5
Pada pasien didapatkan anamnesis riwayat dispepsia dan batu ginjal. Penderita
memiliki kebiasaan merokok, minum kopi, dan minum jamu pegal linu. Riwayat konsumsi
alcohol disangkal. Pasien mengaku sering terlambat makan.
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan tentunya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital
untuk terutama untuk menilai kestabilan hemodinamik pasien. Pemeriksaan fisik dilanjutkan
dengan dengan inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi. Langkah awal pada semua kasus
pendarahan saluran cerna adalah menentukan bertnya pendarahan dengan memfokuskan pada
status hemodinamiknya. Pemeriksaan meliputi tekanan darah pada posisi berbaring, perubahan
ortostatik tekanan darah dan nadi, ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin), kelayakan
napas, tingkat kesadaran, dan produksi urin. 2,4
Pendarahan akut dalam jumlah darah melebihi 20 % volume darah akan mengakibatkan
keadaan hemodinamik tidak stabil dengan tanda-tanda sebagai berikut : hipotensi (90/60 mmHg
atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi >100 kali per menit, tekanan diastolic ortostatik
turun > 10 mmHg atau sistolik turun >20 mmHg, frekuensi nadi ortostatik meningkat >15
kali/menit, akral dingin, kesadaran menurun, anuria, oliguria (urin <30 ml/jam), syncope, pusing,
mual, dan merasa haus yang berlebihan.2,4
Kecurigaan pendarahan akut yang massif selain dari status hemodinamiknya yang tidak
stabil juga bisa dilihat dari apakah pasien mengalami hematemesis, hematokezia, darah segar
pada aspirasi pipa nasogatric dan dengan lavase tidak segera jernih, hipotensi persisten, dalam 24
jam menghabiskan tranfusi darah melebihi 800-1000 ml. Colok dubur penting dilakukan untuk
memastikan warna feses dan kemungkinan adanya massa anorektal.2
Inspeksi dilakukan untuk mencari tanda-tanda anemia, kondisi umum pasien, dan
mencari tanda-tanda stigmata sirosis hapatis. Tanda – tanda stigmata sirosis adalah
splenomegaly, icterus, asites, edema, spider nervi, palmar eritema, ginekomastia, dan venektasi
dinding perut. Perlu juga dicari tanda-tanda keganasan seperti limfadenopati, organomegali, dan
penurunan berat badan yang signifikan akhir-akhir ini. Palpasi dilakukan terutama untuk mencari
lokasi nyeri pada pasien, dan juga untuk meraba ada/tidaknya kelainan pada organ (misalnya
pembesaran lien, hati, dsb) dan meraba ada/tidaknya massa abdomen. Bila pada palpasi
ditemukan massa padat di daerah epigastrium, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan
lambung atau keganasan hati lobus kiri.4 Tanda klinis lain yang mendukung perdarahan saluran
cerna bagian atas adalah bising usus meningkat. Bisisng usus yang hiperaktif menunjukan
adanya darah yang melewati usus.6
Pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan fisik dengan keadaan umum tampak sakit
sedang, tanda vital dalam batas normal dan tidak ditemukan hipotensi. Pemeriksaan fisik
lainnya didapatkan konjungtiva anemis. Hasil pemeriksaan dada didapatkan jantung dengan
suara 1 dan 2 tunggal, tidak didapatkan suara tambahan dan pemeriksaan paru dalam batas
normal. Pada pemeriksaa abdomen didapatkan abdomen tampak agak cembung sehingga
memunculkan diagnosis banding Sirosis Hepatis. Pemeriksaan abdomen lain didapatkan
nyeri tekan pada regio epigastrium. Tidak ditemukan pembesaran organ, asites, maupun
kaput medusa. Pada ekstremitas tidak didapatkan edema pada kedua kaki dan teraba hangat.
Kadar hemoglobin tidak langsung turun pada perdarahan yang akut karena proporsi
volume plasma dalam sel darah merah yang hilang setara. Kadar hemoglobin dapat normal atau
sedikit berkurang pada fase awal perdarahan. Keadaan hemoglobin baru akan menurun saat
ceiran ekstravaskular masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengganti volume yang hilang.
Proses ini baru terjadi hingga 72 jam setelah perdarahan. Pada perdarahan gastrointestinal
kronik. Kadar hemoglobin dapat sangat rendah walaupun tekanan darah dan denyut nadi
normal.7 pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan adalah hematokrit, hitung leukosit,
hitung trombosit, waktu perdarahan, prothrombin time, partial prothrombin time, kadar elektrolit
serum, tes fungsi hati, dan tes fungsi ginjal.3
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 6.0 g/dL, leukosit 7.100/mm,
hematokrit 19.9%, trombosit 506.000/mm, eritrosit 2.460.000/mm, LED 130mm/jam,
Differential counting 0/0/0/62.4/30.1/7.5. SGOT 20 U/l, SGPT 17 U/l. Kreatinin 1.5 mg/dL,
BUN 36.9 g/dL, Urea 79 mg/dL. Gula darah sewaktu 105 mg/dL.
Bila hemodinamik pasien stabil, maka pasien dapat lanjut ke tatalaksana spesifik untuk
hematemesis melena. Penatalaksanaan awal jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik adalah
resusitasi cairan. Hipovolemia dikoreksi dengan transfuse darah atau dengan infus
koloid/kristaloid dan kateter Foley dimasukkan dalam kandung kemih untuk mengukur output
urin.8 Ganti tiap millimeter kehilangan darah dengan 3 ml cairan kristaloid.9 Pemberian oksigen
bermanfaat untuk memaksimalkan kapasitas darah mmembawa oksigen.3
Pemasangan pipa nasogastrik dan lavase lambung diharapkan dapat mengurangi distensi
lambung dan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, tetapi tidak
bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Prosedur ini juga ebrmanfaat untuk mepersiapkan
endoskopi dan memperkirakan derajat perdarahan.3
Pasien dalam keadaan stabil sehingga tidak dilakukan terapi resusitasi cairan. Pada
penderita direncakan pemasangan NGT (namun penderita menolak) dan dipuasakan
sementara.
Penggunaan agen antifibrinolitik misalnya asam tranexamat cukup rasional karena
tingginya kandungan enzim-enzim fibrinolitik pada traktus digestif. Penggunaan asam
tranexamat pada pasien denfan perdarahan gastrointestinal dapat menurunkan kejadian
perdarahan ulang sebesar 20-30%, tindakan operatif sebesar 30-40%, tingkat mortalitas sebesar
40%.3
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronik yang mengalami
pendarahan SCBA dapat dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemberian tersebut tidak
merugikan dan relative murah. Vasopressin dapat menghentikan pendarahan SCBA lewat efek
vasokonstriksi pembuluh darah splanik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta
menurun. Vasorespressin sudah digunakan di klinik untuk pendarahan akut varises esophagus
sejak tahun 1953. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin
50 unit dalam 100 ml dextrose 5 % diberikan 0,5-1 mg/menit IV selama 20-60 menit dan dapat
diulang tiap 3-6 jam. Atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5 U/menit.
Vasopressin dapat menimbulkan efek samping berupa insufiensi coroner mendadak, maka
pemberiannya disarankan bersama dengan preparat nitrat misalnya nitrogliserin intravena.1
Obat anti sekresi asam yang bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang karena tukak
peptik adalah inhibitor pompa proton. Pemberian omeprazole diawali dengan bolus 80 mg
dilanjutkan dengan infus 80 mg/ jam selama 72 jam dan peroral 20 mg/hari selama delapan
minggu.10 Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 dapat diberikan untuk tujuan
penyembuhan mukosa lesi perdarahan.3
Pasien mendapat terapi infus RD5 1000 cc dalam 24 jam, Omeprazole 2x40 mg, Asam
Tranexamat 3x1 ampul, Mecobalamin 2x1 ampul, Carbamazochrome 1x10 mg, drip Vitamin
K 3x1 dalam NS 100 cc, Sucralfate syrup 3x1 C, serta transfusi PRC 1 kolf/hari dengan target
Hb ≥8 mg/dL.

Kesimpulan
Seorang penderita Tn L, 38 tahun mengalami keluhan BAB berwarna kehitaman sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. BAB berwarna kehitaman, bentuk padat, tidak disertai lendir
maupun darah segar. Keluhan juga disertai dengan muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Muntah sebanyak 2 kali, berwarna merah kehitaman kurang lebih 2 sendok makan..
Berdasarkan anamnesia, pemeriksaan fisik, dan laboratorium pasien didiagnosis mengalami
hematemesis-melena ec. Suspect gastritis erosive + anemia gravis. Penderita mendapatkan terapi
suportif untuk hematemesis melena, serta transfusi darah untuk anemia. Pada hari ketiga
perawatan penderita menunjukkan respon terapi yang baik dan dipulangkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.443-513
2. Elta GH. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In: Yamada T,
editor. Textbook of enterology. Philadelphia : Lippincot-Raven Publisher; 2003. P.698-
715
3. Buku EIMED
4. Gastroenterology bleeding in : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson L,
Loscalzo J. Harrison’s manual of medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill;
2013.p.262.
5. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2005.h.37
6. Bogoch A. Bleeding. In: Berk JE, Haubrich WS, Kalser MH, Roth JLA, Schaffner F.
editors. Gastroenterology. 4th ed. Canada: WB Saunders; 1985. P.65-107.
7. Laine L. gastrointestinal Bleeding. In: Kasper DL. Braunwald E, Fauci AS Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL. Editors. In: Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed.
USA: McGraw-Hill-2005. p.235
8. Cuschieri A, Grace PA, Darzi PA, Borley N, Rowley DI. Clinical surgery.2nd ed. United
Kingdom: Blackwell Publishing;2003.p.144
9. Ceralis MA, Geibel J. Upper gastrointestinal bleeding. Cited from : Medscape, May 2 nd
2014.
10. Sung JJY. Acute gastrointestinal bleeding. In: Bersten AD, Soni N,.eds. Oh’s intensive
care manual 6th ed. Elseiver. Philadelphia, USA. 2009:741-8

Anda mungkin juga menyukai