Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Sejarah Apotek


2.1.1 Sejarah Kimia Farma
Kimia Farma adalah perusahaan industri farmasi pertama di
Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817,
nama perusahaan ini pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle
Rathkamp & Co. Berdasarkan kebijaksanaan nasionalisasi atas eks
perusahaan Belanda di masa awal kemerdekaan pada tahun 1958,
Pemerintah Republik Indonesia melakukan peleburan sejumlah
perusahaan farmasi menjadi Perusahaan Negara Farmasi (PNF)
Bhineka Kimia Farma. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971,
bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas, sehingga
nama perusahaan berubah menjadi PT Kimia Farma (Persero) (Kimia
Farma, 2014).
Pada tanggal 4 Juli 2001, PT Kimia Farma (Persero) kembali
mengubah statusnya menjadi perusahaan publik, PT Kimia Farma
(Persero) Tbk, dalam penulisan berikutnya disebut Perseroan.
Bersamaan dengan perubahan tersebut, Perseroan telah dicatatkan pada
Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang kedua bursa
telah merger dan kini bernama Bursa Efek Indonesia). Berbekal
pengalaman selama puluhan tahun, Perseroan telah berkembang
menjadi perusahaan dengan pelayanan kesehatan terintegrasi di
Indonesia. Perseroan kian diperhitungkan kiprahnya dalam
pengembangan dan pembangunan bangsa, kesehatan masyarakat
Indonesia (Kimia Farma, 2014).
Saat ini PT Kimia Farma Tbk memiliki empat anak perusahaan,
yaitu PT Kimia Farma Trading & Distribution (KFTD) yang bergerak
di bidang layanan distribusi dan perdagangan produk kesehatan, PT
Kimia Farma Apotek (KFA) yang khusus menangani bisnis retail

8
9

apotek, PT Kimia Farma Diagnostik yang menangani pengelolaan dan


pengembangan laboratorium klinik, dan PT Sinkona Indonesia Lestari
yang bergerak di bidang industri garam kina dan derivatnya (Kimia
Farma, 2014).
PT Kimia Farma Apotek (KFA) adalah anak perusahaan
Perseroan yang didirikan berdasarkan akta pendirian No. 6 Tanggal 4
Januari 2003 yang dibuat di hadapan Notaris Ny. Imas Fatimah, S.H. di
Jakarta dan telah diubah dengan akta No. 42 tanggal 22 April 2003
yang dibuat di hadapan Notaris Nila Noordjasmani Soeyasa Besar, S.H.
Akta ini telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia dengan surat keputusan No : C-
09648 HT.0.01 Th. 2003 Tanggal 1 Mei 2003 (Kimia Farma, 2014).
Sejak tahun 2011, PT Kimia Farma Apotek (KFA) telah
melakukan program transformasi dan mengubah visi perusahaan dari
jaringan ritel farmasi menjadi jaringan layanan kesehatan yang
terkemuka dan mampu memberikan solusi kesehatan masyarakat di
Indonesia. Pada tahun 2012 telah dilakukan beberapa hal untuk
mengimplementasikan visi KFA yaitu dengan mengembangkan layanan
klinik dan meningkatkan pelayanan apotek, laboratorium klinik, dan
optik (Kimia Farma, 2014).
PT Kimia Farma Apotek (KFA) menyediakan layanan kesehatan
yang terintegrasi meliputi layanan farmasi (apotek), klinik kesehatan,
laboratorium klinik dan optik, dengan konsep One Stop Health Care
Solution (OSHCS) sehingga semakin memudahkan masyarakat
mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas. Pelayanan farmasi
menggunakan standar Good Pharmacy Practice (GPP) yaitu standar
internasional yang diterbitkan oleh The International Pharmaceutical
Federation serta standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Sedangkan pelayanan klinik menggunakan standar Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia tentang Klinik dan pelayanan
10

laboratorium klinik menggunakan standar Good Laboratory Practice


(GLP) dan prinsip dari Komite Akreditasi Laboratorium Kesehatan
(KALK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kimia Farma,
2014).

2.1.2 Sejarah Kimia Farma 546 Sutoyo


Apotek Kimia Farma Sutoyo terletak di jalan Sutoyo S No. 176
Banjarmasin. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Rahayu Lina
Rahmawati, S.Farm., Apt. Apotek Kimia Farma Sutoyo memiliki satu
orang Apoteker dan empat orang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK)
dibantu dengan 1 orang SPG untuk penjualan Food Suplement.
Apotek ini berdiri sejak tanggal 1 september 2014 berada dibawah
Bisnis Manajer PT. Kimia Farma Unit Bisnis Banjarmasin. Apotek ini
memiliki letak cukup strategis yaitu berada ditepi jalan raya yang
berdekatan dengan rumah sakit, tempat praktek dokter, perkantoran dan
perumahan.
Jenis layanan yang terdapat di Apotek Kimia Farma Sutoyo
Banjarmasin antara lain :
1. Layanan resep (tunai dan kredit)
2. Layanan swalayan farmasi (OTC)
3. Layanan swamedikasi/UPDS (Upaya Pengobatan Diri Sendiri)
4. Alat kesehatan
5. Layanan pemeriksaan kesehatan meliputi:
a. Pemeriksaan tekanan darah
b. Pemeriksaan kadar kolesterol
c. Pemeriksaan kadar gula darah
d. Pemeriksaan kadar asam urat
Apotek Kimia Farma Sutoyo Banjarmasin juga memiliki satu
ruangan peracikan serta obat-obatan swalayan farmasi atau HV (Hand
Verkoop).
11

2.2. Visi dan Misi


2.2.1 Visi
Menjadi perusahaan jaringan layanan kesehatan yang terkemuka
dan mampu memberikan solusi kesehatan masyarakat Indonesia.
2.2.2 Misi
Menghasilkan pertumbuhan nilai perusahaan melalui :
1. Jaringan layanan kesehatan yang terintegrasi meliputi jaringan apotek,
klinik, laboratorium klinik, dan layanan kesehatan lainnya.
2. Saluran distribusi utama bagi produk sendiri dan poduk principal.
3. Pengembangan bisnis warabala dan peningkatan pendapatan lainnya
(Fee-Based Income).
Sebagai perusahaan berskala nasional, PT Kimia Farma Apotek
(KFA) telah menemukan inti sari budaya perusahaan yang merupakan
nilai-nilai inti perusahaan (corporates value) yaitu I CARE yang menjadi
acuan/pedoman bagi KFA dalam menjalankan usahanya, untuk berkarya
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat luas.
I : Innovative, yang berarti memiliki budaya berpikir out
of the box, smart, dan kreatif untuk membangun
produk unggulan.

C : Customer First, yang berarti mengutamakan pelanggan


sebagai rekan/mitra kerja.

A : Accountability, yang berarti memiliki tanggung jawab


atas amanah yang dipercayakan perusahaan dengan
memegang teguh profesionalisme, integritas, dan kerja
sama.

R : Responsibility, yang berarti memiliki tanggung jawab


pribadi untuk bekerja tepat waktu, tepat sasaran, dan
dapat diandalkan, serta senantiasa berusaha untuk
tegar dan bijaksana dalam menghadapi setiap masalah.
12

E : Eco Friendly, yang berarti menciptakan dan


menyediakan produk maupun jasa layanan yang ramah
lingkungan.

2.3. Struktur Organisasi


Apotek Kimia Farma Sutoyo 546 Banjarmasin memiliki 1 orang
Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang berfungsi sebagai manager
pelayanan. Selain itu terdapat empat orang Tenaga Teknis Kefarmasian
(TTK).
Struktur Organisasi Apotek Kimia Farma Sutoyo adalah sebagai berikut :

Apoteker Pengelola Apotek


Rahayu Lina Rahmawati, S.Farm., Apt.

Tenaga Teknis Kefarmasian


1. Annisa Nur Maulida, Amd., Farm
2. Ahmad Fadli
3. Fitri Hayati, Amd., Farm
4. Hurul Ain Fajarina, Amd., Far

Pelayanan Pengadaan Administrasi Pelayanan


Resep/ Barang (Pelaporan dan penyerahan UPDS dan OTS
Peracikan hasil penjualan harian)

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Kimia Farma 546 Sutoyo Banjarmasin


13

Menurut pembagian kerjanya, Apotek Kimia Farma 546 Sutoyo


Banjarmasin buka dari jam 07.00 sampai 22.00 WITA, terbagi menjadi dua
shift, yaitu :

Tabel 2.1 Pembagian Jam Kerja Kimia Farma Sutoyo 546 Banjarmasin
NO. PEMBAGIAN JAM KERJA

1. Shift Pagi 07.00 – 14.30 WITA

2. Shift Siang 14.30 – 22.00 WITA

2.4. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.

2.4.1 Obat bebas, bebas terbatas, keras, obat wajib apotek (OWA)
Menurut Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas
Tahun 2007, penggolongan obat yaitu :
a. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket
obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
b. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebernarnya termasuk obat
keras tetapi masih dapat dijual atau di beli bebas tanpa resep dokter,
dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan
dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam.
14

c. Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek
dengan resep. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf
“K” dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hijau.
d. Obat Wajib Apotek (OWA)
Menurut Pharmacy Care 2015 tentang Daftar Obat Wajib
Apotek (DOWA), Obat wajib apotek yaitu obat-obatan yang dapat
diserahkan tanpa resep dokter, namun harus diserahkan oleh
apoteker di apotek.
a. Perencanaan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
1. Pola Penyakit
Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang
timbul disekitar masyarakat sehingga Apotek dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit
tersebut.
2. Budaya Masyarakat
Perdagangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan
iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-
obatan khususnya obat-obat tanpa resep. Demikian juga dengan
budaya masyarakat yang senang berobat kedokter, maka Apotek
perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh
dokter tersebut.
Menentukan kebutuhan obat merupakan tantangan yang
berat yang harus dihadapi oleh Apoteker yang bekerja
dipelayanan kesehatan dasar ataupun di unit pengelolaan
obat/gudang farmasi.
15

3. Kemampuan Masyarakat
Tingkat ekonomi masyarakat disekitar Apotek juga akan
mempengaruhi daya beli untuk obat-obatan. Jika masyarakat
sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah kebawah
maka Apotek perlu menyediakan obat-obat yang harganya
terjangkau seperti obat generik berlogo. Demikian pula
sebaliknya, jika masyarakat sekitar memiliki tingkat
perekonomian menengah keatas yang cenderung memilih obat-
obat paten, maka Apotek juga baru menyediakan obat-obat
paten yang sering diresepkan.
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam tahap
perencanaan adalah dengan melakukan persiapan awal terlebih
dahulu, misalnya dengan membentuk tim perencanaan
pengadaan obat yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penggunaan dana obat melalui kerjasama antar
instansi yang terkait dengan masalah obat. Setelah itu tentukan
obat-obat yang sangat diperlukan sesuai dengan kebutuhan,
dengan prinsip dasar menentukan jenis obat yang akan
digunakan atau dibeli. Selanjutnya hitung jumlah kebutuhan
obat yang dibutuhkan untuk menghindari masalah kekosongan
obat atau kelebihan obat. Dengan koordinasi dari proses
perencanaan dan pengadaan obat diharapkan obat yang dapat
tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu. Metode yang biasa
digunakan dalam perhitungan kebutuhan obat, yaitu:
1. Metode epidemiologi
Metode morbiditas/epidemiologiyaitu metode yang
digunakan berdasarkan pada penyakit yang ada. Metode ini
dibuat berdasarkan pola penyakit dan pola pengobatan
penyakit yang terjadi dalam masyarakat sekitar. Tahapan-
tahapan yang dilakukan yaitu:
16

2. Metode Konsumsi
Perencanaan dengan metode ini dibuat dengan data
pengeluaran barang periode lalu. Selanjutnya data tersebut
dikelompokan dalam kelompok fast moving (barang yang
bergerak cepat) maupun yang slow moving (barang yang
bergerak lambat).
3. Metode Kombinasi
Metode ini merupakan gabungan dari metode
epidemologi dan metode konsumsi. Perencanaan pengadaan
barang dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan
melihat kebutuhan farmasi periode sebelumnya.
4. Metode Just in Time
Perencanaan dilakukan saat obat dibutuhkan dan obat
yang ada di Apotek dalam jumlah terbatas. Perencanaan ini
untuk obat yang jarang dipakai atau diresepkan dan harganya
mahal serta memiliki kadar waktu yang pendek (Siahaya,
2012).
b. Pengadaan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Pengadaan dilakukan untuk menjamin kualitas Pelayanan
Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur
resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuannya
adalah tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dengan
mutu yang tinggi dan dapat diperoleh pada jangka waktu yang tepat.
Pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan didasari
oleh perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan
anggaran yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan,
pembelian, dan penerimaan barang. Pengadaan ini dilakukan untuk
menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai peraturan perundang-
17

undangan yang berlaku. Ada tiga macam pengadaan yang biasa


dilakukan di Apotek, yaitu pengadaan dalam jumlah terbatas,
pengadaan secara berencana, dan pengadaan spekulatif.
1. Pengadaan dalam jumlah terbatas
Pengadaan dalam jumlah yang terbatas dimaksudkan yaitu
pembelian dilakukan apabila persediaan barang dalam hal ini
adalah obat-obatan sudah menipis. Barang-barang yang dibeli
hanyalah obat-obat yang dibutuhkan saja, dalam waktu satu
minggu sampai dua minggu. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
stok obat dalam jumlah besar dengan pertimbangan masalah biaya
yang minimal. Namun perlu juga pertimbangan pengadaan obat
dalam jumlah terbatas ini dilakukan apabila PBF tersebut ada
didalam kota dan selalu siap dalam mengirimkan obat dalam
waktu cepat.
2. Pengadaan secara berencana
Pengadaan secara berencana adalah perencanaan pembelian
obat berdasarkan penjualan setiap minggu atau setiap bulan.
Sistem ini dilakukan pendataan obat-obat mana yang laku banyak
dan tergantung pula pada kondisi cuaca, misalnya pada pergantian
musim, banyak orang yang menderita penyakit batuk dan pilek.
Hasil pendataan tersebut diharapkan dapat memaksimalkan
prioritas pengadaan obat. Cara ini biasa dilakukan apabila
distributor atau PBF berada di luar kota.
Pengendalian persediaan barang dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain:
a. Membandingkan jumlah pembelian dengan penjualan setiap
bulan. Agar stok obat di gudang cukup maka penentuan
pembelian diatur agar tidak terjadi kekosongan stok dan stok
yang menumpuk.
b. Kartu gudang untuk mencatat mutasi barang setiap item. Jadi
tiap obat mempunyai kartu sendiri. Kartu gudang ini disimpan
18

dalam gudang. Dengan melihat dan mengetahui mutasi obat


pada kartu gudang, maka dapat dilihat jelas hubungan antara
pengawasan obat di gudang dengan pembelian yang akan
dilakukan.
3. Pengadaan secara spekulatif.
Cara tersebut dilakukan apabila akan ada kenaikan harga serta
bonus yang ditawarkan jika mengingat kebutuhan, namun resiko
ini terkadang tidak sesuai rencana, karena obat dapat rusak,
apabila stok obat di gudang melampaui kebutuhan. Di sisi lain
obat-obat yang mempunyai ED akan menyebabkan kerugian
besar, namun apabila spekulasinya benar dapat mendatangkan
keuntungan yang besar.
Sistem Pengadaan ada 4 macam terdiri dari :
1. Tender terbuka
a. Berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar dan sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan
b. Pada penentuan harga, metode ini menguntungkan tetapi
memerlukan waktu yang lama, perhatian lebih dan staf yang
kuat
2. Tender Tertutup
a. Hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang terbatas dan
sudah memilik riwayat yang baik
b. Harga masih dapat dikendalikan, tenaga dan beban kerja
lebih ringan dari padatender terbuka.
3. Kontrak
a. Dilakukan pendekatan dengan rekanan terpilih, terbatas
tidak lebih dari 3 rekan untuk penentuan harga
b. Adatawar menawar untuk pencapaian spesifik harga.
Disebut juga pengadaan negosiasi.
4. Pembelian Langsung
a. Biasanya pembelian jumlah kecil dan perlu segera tersedia.
19

b. Harga relative lebih mahal


Keuntungan pembelian langsung waktunya cepat, volume
obat tidak begitu besar, harga lebih murah, kualitas
diinginkan, mudah bila terjadi kesalahan, dapat dikredit,
sewaktu-waktu bila terjadi kesalahan/kekurangan dapat
langsung menghubungi distributor (Hartini, 2007).

c. Penerimaan dan Pemeriksaan Barang


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin
kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan
harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang
diterima.
Penerimaan harus dilakukan oleh petugas penanggung jawab,
bertujuan untuk menjamin perbekalan farmasi yang dterima agar
sesuai dengan kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah atau waktu
kedatangan. Perbekalan farmasi yang diterima harus sesuai dengan
spesifikasi kontrak yang ditetapkan (Permana, 2013).
Menurut Anief, 2005 Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
melakukan penerimaan barang datang adalah :
1. Nomor faktur
2. Kesesuaian jenis sediaan
3. Kesesuaian jumlah
4. Nomor batch obat
5. Nama dan jumlah obat
6. Jenis sediaan dan bobot obat
7. Kondisi fisik
8. Tanggal kadaluarsa
Obat dan/atau bahan obat tidak boleh diterima jika
kadaluwarsa, mendekati tanggal kadaluwarsa sehingga
20

kemungkinan besar obat dan/atau bahan obat telah kadaluwarsa


sebelum digunakan oleh konsumen. Obat dan/atau bahan obat yang
memerlukan penyimpanan atau tindakan pengamanan khusus,
harus segera dipindahkan ke tempat penyimpanan yang sesuai
setelah dilakukan pemeriksaan (BPOM RI, 2012).
Jika terdapat kekurangan, penerima obat wajib menuliskan
jenis yang kurang (rusak, jumlah kurang dan lain-lain). Setiap
penambahan obat-obatan dicatat dan dibukukan pada buku
penerimaan obat dan kartu stok.

d. Penyimpanan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek :
1. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa.
2. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
5. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)
dan FIFO (First In First Out).
e. Pelaporan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan
21

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai


meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu
stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk
kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan
lainnya. Petunjuk teknis mengenai pencatatan dan pelaporan akan
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
2.4.2 Psikotropika dan Narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehetan Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Psikotropika
adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
Menurut Peraturan Menteri Kesehetan Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan ke dalam beberapa golongan.
22

Pengelolaan Psikotropika dan Narkotika meliputi perencanaan,


permintaan atau pengadaan, penerimaan dan pemeriksaan barang,
penyimpanan, dan pelaporan.
a. Perencanaan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, Pengadaan dilakukan untuk menjamin kualitas Pelayanan
Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur
resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehetan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan
dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,
Pengadaan psikotropika dan narkotika hanya dapat dilakukan oleh
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter
kepada pasien dengan ketentuan harus dilaksanakan berdasarkan
resep dokter. Pengadaan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan surat
pesanan. Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan
(SP) yang dibuat oleh apoteker. Surat pesanan Narkotika hanya
dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika. Surat pesanan
Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1
(satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
c. Penerimaan dan Pemeriksaan Barang
Menurut Peraturan Menteri Kesehetan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan
dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,
23

Barang yang datang akan diperiksa oleh Tenaga Teknis Kefarmasian


atau Apoteker dan disesuaikan dengan LPLPO. Petugas penerima
obat wajib melakukan pemeriksaan terhadap obat-obat yang
diserahkan mencakup :
1. Jumlah kemasan
2. Jenis obat
3. Bentuk sediaan
4. No batch
5. Tanggal kadaluarsa
6. Serta pemeriksaan lain yang diperlukan
Jika terdapat kekeliruan, penerima obat wajib menuliskan jenis
yang keliru (rusak, jumlah kurang, dan lain-lain) dan melaporkan
kepada distributor pengirim obat.
d. Penyimpanan
Menurut Peraturan Menteri Kesehetan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan
dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,
dalam pasal 24 Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan
fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga keamanan,
khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Dalam pasal 25 :
1. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
2. Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Narkotika.
3. Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Psikotropika.
4. Tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan
baku dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain
Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku.
24

Dalam pasal 26 :
1. Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang
dilengkapi dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci
yang berbeda
b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan
jeruji besi
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin
apoteker penanggung jawab, dan
e. Kunci gudang dikuasai oleh apoteker penanggung jawab dan
pegawai lain yang dikuasakan.
2. Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan
jeruji besi
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang
berbeda
d. Kunci ruang khusus dikuasai oleh apoteker penanggung
jawab/apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan, dan
e. Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin apoteker
penanggung jawab/apoteker yang ditunjuk.
3. Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Terbuat dari bahan yang kuat
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci
yang berbeda
25

c. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk


instalasi farmasi pemerintah
d. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum,
untuk apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas,
instalasi farmasi klinik, dan lembaga ilmu pengetahuan, dan
e. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung
jawab/apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan.
Dan dalam pasal 27 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik,
Cara Distribusi Obat yang Baik, dan/atau standar pelayanan
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
e. Pelaporan
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah, apotek, puskesmas, rumah sakit, balai
pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran psikotropika dan narkotika. Cara
pencatatan dilakukan dengan memisahkan resep psikotropik-narkotik
dari resep-resep obat lainnya. Selanjutnya dicatat didalam buku
catatan penggunaan narkotik-psikotropik. Catatan ini wajib
dilaporkan secara berkala. Pelaporan dilakukan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Menurut Peraturan Menteri Kesehetan Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan,
Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi, Pelaporan narkotika dan psikotropika paling sedikit terdiri
atas :
1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi
2. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
26

3. Jumlah yang diterima


4. Jumlah yang diserahkan
Pelaporan narkotika dan psikotropika dapat menggunakan
sistem pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi secara elektronik dan disampaikan paling lambat setiap
tanggal 10 bulan berikutnya.
2.4.3 Pengelolaan Barang Kadaluarsa dan Barang Rusak
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Obat
kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat
selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin
praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan.
Sediaan farmasi yang karena suatu hal tidak bisa digunakan lagi
atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau
ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan Menteri. Sediaan farmasi
yang dimaksud adalah sediaan farmasi ED, sediaan farmasi yang rusak,
dan sediaan farmasi yang dilarang oleh pemerintah (Sasongko, 2012).
2.4.4 Resep dan Pelayanan Informasi Obat
2.4.4.a Pelayanan Resep
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Kegiatan pengkajian Resep meliputi
administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi :
1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
27

2. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor


telepon dan paraf; dan
3. Tanggal penulisan resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi :
1. Bentuk dan kekuatan sediaan;
2. Stabilitas, dan
3. Kompatibilitas (ketercampuran obat).
Pertimbangan klinis meliputi :
1. Ketepatan indikasi dan dosis obat,
2. Aturan, cara dan lama penggunaan obat,

3. Duplikasi dan/atau polifarmasi,

4. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping


obat, manifestasi klinis lain),

5. Kontra indikasi, dan

6. Interaksi.

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil


pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis
Resep.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai termasuk peracikan Obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada
setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan
Resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai
berikut :
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep :
28

a. Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan


Resep.
b. Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak
penyimpanandengan memperhatikan nama Obat, tanggal
kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan.
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi :
a. Warna putih untuk Obat dalam/oral.
b. Warna biru untuk Obat luar dan suntik.
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk
suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah
untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut :
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan
pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien
padaetiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep).
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat.
5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal
yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat,
makanan danminuman yang harus dihindari, kemungkinan
efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain.
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan
dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi
tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil.
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau
keluarganya.
29

8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan


diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan).
9. Menyimpan Resep pada tempatnya.
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan
menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep
atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan
edukasi kepadapasien yang memerlukan Obat non Resep untuk
penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas
terbatas yang sesuai.
2.4.4.b Pelayanan Informasi Obat
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Pelayanan Informasi Obat merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian
informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi
dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep,
Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi
khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan
penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,
interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia
dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi :
1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan,
2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan),
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien,
30

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada


mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi,
5. Melakukan penelitian penggunaan obat,
6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum
ilmiah,
7. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk


membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif
singkat dengan menggunakan formulir 6 sebagaimana
terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan
informasi obat :
1. Topik pertanyaan,

2. Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan,

3. Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat


telepon),

4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi


lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang
hamil/menyusui, data laboratorium),

5. Uraian pertanyaan,

6. Jawaban pertanyaan,

7. Referensi,

8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, pertelepon) dan


data apoteker yang memberikan pelayanan informasi obat.

Anda mungkin juga menyukai