Anda di halaman 1dari 40

PAPER

RAWA LEBAK, RAWA PASANG SURUT DAN RAWA GAMBUT

Megawati
05101281621024

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


JURUSAN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019

1
Lahan Rawa
Tanah merupakan salah satu medium tumbuh bagi tanaman sehingga
pemahaman terhadap sifat ekologi tanah dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan
produksi tanaman sangat penting. Tanah dan lingkungan dengan keanekaragaman
flora dan fauna yang hidup baik di atas maupun di bawah permukaannya merupakan
kekayaan sumber daya alam yang perlu dilestarikan. Indonesia dikenal mempunyai
beranekaragam agroekosistem (ekosistem pertanian) (Noor, 2007).
Rawa adalah daerah rendah yang tergenang air dan pada umumnya permukaan
air rawa selalu dibawah atau sama dengan permukaan air laut, sehingga airnya selalu
mengegenang dan permukaan airnya selalu tertutup oleh tumbuhan air. Rawa atau
rawa-rawa terkadang sangat sulit dibedakan dengan sungai, terkadang ada sungai
yang seperti dengan Rawa, dimana sungai tersebut jika dilihat sangat mirip dengan
rawa, padahal banyak sekali perbedaan antara rawa dan sungai. Dalam proses
terbentuknya rawa juga sangat harus diketahui agar dapat mengetahui jelas tentang
rawa.
Lahan rawa dapat menjadi sumber pertumbuhan yang dapat mendorong laju
pembangunan perekonomian dan memakmurkan rakyat. Oleh karena itu walaupun
dalam era otonomi yang memberikan wewenang luas bagi daerah, pengelolaan lahan
rawa pasang surut harus tetap mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan yang khas
dan unik. Yaitu tidak membuat kegiatan yang mengarah pada perubahan lingkungan
yang drastis yang dapat berdampat negatif terhadap kualitas lingkungan diwilyahnya
(wilayah administrasi) maupun wilayah lain yang masih menjadi satu kesatuan sistem
rawa yang melingkupinya. Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian perlu diarahkan
kepada usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menjamin keberlanjutan produksi
dan kelestarian lingkungan.
Lahan rawa merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara bijak
agar dapat menjadi sumber pertumbuhan yang mampu mendorong laju pembangunan
perekonomian dan memakmurkan rakyatnya. Oleh karena itu walaupun dalam era
otonomi yang memberikan wewenang luas, pengelolaan lahan rawa pasang surut
harus tetap mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan yang khas dan unik. Dalam

2
arti tidak membuat kegiatan yang mengarah pada perubahan lingkungan yang drastis,
yang dapat berdampat negatif tehadap kualitas lingkungan setempat maupun wilayah
lain.
Lahan rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, atau lebak yang
menjorok masuk kepedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya
pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang
mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau air sungai atau sungai disekitarnya.
Pada musim hujan lahan tergenang sampai satu meter, pada musim kemarau menjadi
kering bahkan sebagian muka air menurun sampai jeluk > 50 cm dari permukaan
tanah (Noor, 2000).

3
Lahan Rawa Lebak
Rawa lebak adalah salah satu agroekosistem yang dimiliki Indonesia dengan
luas sekitar 13,27 juta hektar. Potensi rawa lebak ini belum banyak dimanfaatkan atau
dikembangkan. Lahan rawa lebak merupakan agroekosistem yang pengembangannya
masih tertinggal dibandingkan dengan agriekosistem lainnya seperti lahan kering atau
lahan irigasi. Walaupun demikian, pemanfaatan rawa lebak baik untuk pertanian,
perikanan, maupun peternakan bahkan pariwisata secara terbatas sudah sejak lama
oleh manyarakat setempat (Noor, 2007).
Lahan rawa semakin penting peranannya dalam upaya mempertahankan
swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan lainnya, mengingat
semakin berkurangnya lahan subur untuk area pertanian di Pulau Jawa akibat alih
fungsi lahan ke perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Potensi lahan rawa
lebak di Indonesia mencapai 14 juta hektar, terdiri dari rawa lebak dangkal seluas
4.166.000 ha, lebak tengahan seluas 6.076.000 ha, dan lebak dalam seluas 3.039.000
ha. Sebagian lahan rawa lebak ini belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian
sehingga potensi pengembangannya masih sangat besar.
Berbagai teknologi pengembangan lahan rawa lebak telah diketahui, akan tetapi
dalam pemanfaatannya memerlukan informasi sumberdaya lahan dan penggunaan
lahan yang spesifik dan sesuai dengan lokasi pengembangannya. Aspek teknis
tipologi lahan dan tipe luapan merupakan dua hal penting yang perlu diketahui
sebagai dasar pengelolaan dan pengembangan lahan rawa lebak pada tahap awal.
Keberhasilan pengembangan lahan rawa lebak untuk areal pertanian sangat
tergantung pada teknologi yang diterapkan dan kondisi fisik lingkungan yang spesifik
lokasi. Dalam rangka mendukung pengembangan lahan rawa lebak di provinsi
Kalimantan Selatan, diperperlukan data dan informasi mengenai karakteristik dan
potensi lahan rawa lebak. Ada tiga dasar kajian untuk memperoleh data dan informasi
mengenai karakteristik dan potensi lahan rawa lebak, yaitu aspek tanah, meliputi daya
dukung tanah sesuai tipologi lahan dan karateristik yang menyertainya, aspek air
yaitu pola genangan air yang sangat mempengaruhi terhadap pola penggunaan lahan
rawa lebak, dan aspek sosial ekonomi yang akan mempengaruhi pendapatan petani.

1
Kata lebak diambil dari kosakata bahasa Jawa yang berarti lembah atau tanah
rendah . Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir
sepanjang tahun, minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm.
Rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian,
termasuk perikanan dan peternakan disebut lahan rawa lebak. Rawa lebak yang
sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton, sedangkan
jika kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara laut/sungai besar disebut rawa
pedalaman (Noor, 2007).
Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk
wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua
tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang
lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan
genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah
genangannya. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4-7
meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau
wilayah paling bawah. Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak
dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland).
Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara
2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang
mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan
kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah jatuh
pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan bulan kering jatuh
antara bulan Juli sampai September (Noor, 2007).
Rawa lebak mempunyai topografi berupa cekungan dan merupakan dataran
banjir dengan masa genangan lebih panjang. Dalam konteks yang lebih luas, lahan
rawa lebak juga sering dikelompokkan sebagai wetland, lowland, peatland, inland,
deepwater land. 2. Pembagian Lahan Lebak Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang
sangat khas, pada musim hujan terjadi genangan air yang melimpah dalam variasi
kurun waktu yang cukup lama. Genangan air dapat kurang dari satu bulan sampai
enam bulan atau lebih, dengan ketinggian genangan 50 cm – 100 cm. Air yang

2
menggenang tersebut bukan merupakan limpasan air pasang, tetapi berasal dari
limpasan air permukaan yang terakumulasi di wilayah tersebut karena topografinya
yang lebih rendah dan drainasinya jelek. Kondisi genangan air sangat dipengaruhi
oleh curah hujan, baik di daerah tersebut maupun wilayah sekitarnya serta daerah
hulu (Ismail et al., 1993 dalam Noor, 2007).
Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi menjadi dua tipologi,
yaitu: (1) rawa lebak dataran tinggi, banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, (2) rawa
lebak dataran rendah, sebagian besar tersebar di Kalimantan. Berdasarkan ketinggian
dan lamanya genangan, lahan rawa lebak dapat dibagi dalam tiga tipologi, yaitu: a.
Lebak dangkal adalah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 25-50 cm dengan
lama genangan minimal 3 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai
hidrotopografi nisbi lebih tinggi dan merupakan wilayah paling dekat dengan tanggul.
b. Lebak tengahan ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan 50-100 cm
dengan lama genangan minimal 3-6 bulan dalam setahun. Wilayahnya mempunyai
hidrotopografi lebih rendah daripada lebak dangkal dan merupakan c. Lebak dalam
ialah wilayah yang mempunyai tinggi genangan > 100 cm dengan lama genangan
minimal > 6 bulan dalam setahun.
Bentang alam yang terdapat pada rawa lebak meliputi wilayah tanggul sungai,
dataran banjir, sampai lahan burit termasuk sebagian wilayah rawa pedalaman dan
rawa belakang. Lahan rawa lebak dapat dipilah menjadi lebak dangkal, lebak
tengahan, lebak dalam dan lebak sangat dalam. Secara khusus, lebak merupakan
dataran banjir, dataran meander (sungai berkelok-kelok), dan bekas aliran sungai
tua. Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode tertentu (minimal satu bulan)
tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat
maupun di daerah sekitarnya. Selain dari hujan, air juga berasal dari luapan banjir
hulu sungai dan dari bawah tanah.

Proses Pembentukan Lahan Rawa Lebak


Sesuai dengan letak fisiografinya pada daratan banjir, lahan rawa lebak ini
dibagi kedalam dua golongan yaitu tanah - tanah tanggul sungai dan dataran

3
rawa belakang. Disepanjang aliran sungai (besar), lahan rawa lebak terletak kearah
hulu sungai dan umumnya sudah termasuk daerah aliran sungai (DAS) bagian
tengah(Sinar Tani, 2003).
Sedangkan berdasarkan tipologinya, rawa lebak dibagi menjadi 3 golongan
yaitu rawa lebakdangkal (pematang) yang mempunyai kedalaman air kurang dari dari
50 cm dengan masagenangan kurang dari 3 bulan, rawa lebak tengahan dengan
kedalaman air 50- 100 cm denganmasa genangan 3 -6 bulan, dan rawa lebak dalam
mempunyai kadalaman air lebih dari 100cm dengan masa genangan lebih dari 6
bulan. Umumnya lahan ini didominasi oleh jenistanah Alluvial dan Gambut.
Secara teoritis, setiap banjir, karena arus banjir masih kuat, tanggul sungai
merupakan tempat pengendapan bahan-bahan terkasar (pasir halus sampai pasir
sedang). Makin jauh dari sungai, dengan semakin lemahnya daya angkut air, terjadi
pengendapan bahan-bahan lebih halus, yaitu debu dan liat. Karena adanya sortasi air
dan semakin sedikitnya bahan-bahan yang diendapkan semakin jauh dari sungai,
maka tanggul sungai adalah tempat yang paling tinggi letaknya, dan tanah berangsur-
angsur menurun ke dataran rawa belakang. Dalam kenyataanya di lapangan, acapkali
perbedaan ketinggian antara keduanya tidak selalu nyata, walaupun hasil pengukuran
ketinggian antara keduanya memang menunjukkan penurunan yang amat berangsur
ke arah dataran rawa belakang.

Karakteristik Rawa Lebak


Rawa lebak adalah suatu wilayah dataran yang cekung yang dibatasi oleh satu
atau dua tanggul sungai atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang
lahan pada rawa lebak seperti pada sebuah mengkuk dengan bagian tengah yang
cekung. Pada saat tergenang, bagian cekungan di tengah memiliki kedalaman yang
paling dalam dan semakin ke tepi akan semakin dangkal. Pada musim hujan
genangan akan mencapai 4-7 meter dan kering pada musim kemarau. Akan tetapi,
pada teangah rawa yang berbentuk cekungan, genangan masih akan tetap ada
walaupun mungkin tidak lebih dari 1 meter.

4
Demikian pula, tekstur tanah di wilayah tanggul sungai tidak selalu berpasir,
sebab komposisi fraksi dari lumpur yang diendapkan setiap tahun tidak selalu kasar
sifatnya (Subagyo, 2006).
Tanah-tanah di lahan rawa lebak, baik di wilayah tanggul sungai maupun di
rawa belakang, secara morfologis mempunyai kenampakan mirip dengan tanah marin
di lahan rawa pasang surut air tawar. Hanya bedanya, karena tanah-tanah di rawa
lebak bukan merupakan endapan marin, maka tanah rawa lebak tidak mengandung
pirit. Namun, di wilayah peralihan dengan rawa pasang surut air tawar, lapisan pirit
masih mungkin diketemukan, tetapi biasanya pada kedalaman 50-70 cm atau lebih
dari 120 cm (Subagyo, 2006).
Secara skematis, pembagian tanah pada lahan rawa lebak berdasarkan ketebalan
gambut, dan kedalaman lapisan bahan sulfidik. Ada dua kelompok tanah pada lahan
lebak, yaitu tanah gambut, dengan ketebalan lapisan gambut >50 cm, dan tanah
mineral, dengan ketebalan lapisan gambut di permukaan 0-50 cm. Tanah mineral
yang mempunyai lapisan gambut di permukaan antara 20-50 cm disebut Tanah
mineral bergambut. Sedangkan Tanah Mineral murni, sesuai kesepakatan, hanya
memiliki lapisan gambut di permukaan tanah setebal <20 cm. Tanah Gambut
biasanya menempati wilayah lebak tengahan dan lebak dalam, khususnya di
cekungan-cekungan, dan sebagian besar merupakan gambut-dangkal (ketebalan
gambut antara 50-100 cm), dan sebagian kecil merupakan gambut-sedang (ketebalan
gambut 100-200 cm). Kubah gambut nampaknya tidak terbentuk. Gambut yang
terbentuk umumnya merupakan gambut topogen, tersusun sebagian besar dari gambut
dengan tingkat dekomposisi sudah lanjut, yaitu gambut saprik. Sebagian lapisan
tersusun dari gambut hemik. Seringkali mempunyai sisipan-sisipan bahan tanah
mineral di antara lapisan gambut (Subagyo, 2006).
Warna tanah lebak bergambut coklat sangat gelap (7,5YR 2,5/2), atau hitam
(10YR 3/2), reaksi gambut di lapang termasuk masam-sangat masam (pH 4,5-6,0).
Kandungan basa-basa (hara) rendah (total kation: 1-6 me/100 g tanah), dan kejenuhan
basanya juga rendah (KB: 3-10%). Sebagian gambut di lebak dalam, mempunyai
tingkat dekomposisi bahan gambut tengahan, yaitu gambut hemik. Warnanya relatif

5
sama, coklat sangat gelap atau hitam, reaksi tanah masam (pH 6,0), dan kesuburan
tanah masih termasuk rendah. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff,
1999), tanah-tanah tersebut masuk dalam ordo Histosols, dalam tingkat (subgrup)
Typic/Hemic Haplosaprists, Terric Haplosaprists, dan Terric Haplohemists. Tanah
gambut, sebagai Haplosaprists dangkal (antara 50-100 cm), sebagian ditemukan di
lebak tengahan, dan sebagai Haplohemists dan Haplosaprists dangkal umumnya lebih
banyak ditemukan di bagian lebak dalam (Subagyo, 2006).
Tanah Mineral yang menyusun lahan rawa lebak, hampir seluruhnya
berkembang atau terbentuk dari bahan endapan sungai. Tetapi di wilayah peralihan
antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar) dan zona III (lahan rawa lebak), di
bagian bawah profil tanah lebak ditemukan lapisan yang mengandung bahan sulfidik
(pirit). Tanah yang mengandung lapisan bahan sulfidik, dengan sendirinya termasuk
tipologi lahan rawa pasang surut yang disebut Lahan Potensial. Berdasarkan letak
kedalaman bahan sulfidik dari permukaan tanah, dikenal Lahan Potensial-1, jika
kedalaman lapisan bahan sulfidik lebih dari 100 cm, dan Lahan Potensial-2, jika
kedalaman lapisan bahan sulfidik terletak antara 50-100 cm.
Dalam Taksonomi Tanah, tanah mineral pada lahan lebak termasuk dalam ordo
Entisols dan Inceptisols. Oleh karena termasuk “tanah basah” (wetsoils), semuanya
masuk dalam subordo Aquents, dan Aquepts. Klasifikasi lebih lanjut pada tingkat
subgrup, baik untuk Lahan Potensial-1 dan Lahan Potensial-2 maupun Tanah Rawa
Lebak normal dan Tanah Mineral Bergambut (Subagyo, 2006).
Tanah-tanah mineral yang menempati lebak pematang, umumnya termasuk
Inceptisols basah, yakni (subgrup) Epiaquepts dan Endoaquepts, dan sebagian
Entisols basah yaitu Fluvaquents. Pada lebak tengahan, yang dominan adalah Entisols
basah, yakni Hydraquents dan Endoaquents, serta sebagian Inceptisols basah, sebagai
Endoaquepts. Kadang ditemukan gambut-dangkal, yakni Haplosaprists. Pada wilayah
lebak dalam yang air genangannya lebih dalam, umumnya didominasi oleh Entisols
basah, yakni Hydraquents dan Endoaquents, serta sering dijumpai gambut-dangkal,
Haplohemists dan Haplosaprists (Subagyo, 2006).

6
Tekstur tanah rawa lebak umumnya dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan
debu yang tinggi, tetapi fraksi pasirnya sangat rendah. Tekstur tanah terbanyak adalah
liat berat (hC), liat (C), dan liat berdebu (SiC). Tekstur tanah Lebak pematang lebih
bervariasi, dari halus (hC,C) sampai sedang (SiL, L), terkadang juga dijumpai tekstur
relatif kasar (SL). Tekstur lebak Tengahan relatif halus (hC, C, SiC, dan SiCL),
sedangkan tekstur Lebak Dalam sangat halus (hC dan SiC), dengan kandungan liat
yang sangat tinggi (55-80 %) (Subagyo, 2006).
Berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya, lahan rawa lebak dikelompokkan
menjadi lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam (Widjaja-Adhi et al. 2000).
Lahan lebak dangkal umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik karena
adanya pengkayaan dari endapan lumpur yang terbawa luapan air sungai. Lahan
lebak tengahan mempunyai genangan air yang lebih dalam dan lebih lama daripada
lebak dangkal sehingga waktu surutnya air juga lebih lama. Oleh karena itu, masa
pertanaman padi pada wilayah ini lebih belakangan daripada lebak dangkal. Lahan
lebak dalam letaknya lebih dalam dan pada musim kemarau dengan iklim normal
umumnya masih tergenang air. Oleh karena itu, lahan ini jarang digunakan untuk
usaha tanaman.
Jenis tanah yang umum dijumpai di lahan rawa lebak ialah tanah mineral dan
gambut. Tanah mineral bisa berasal dari endapan sungai atau dari endapan marin,
sedangkan tanah gambut bisa berupa lapisan gambut utuh atau lapisan gambut
berselang-seling dengan lapisan tanah mineral. Tanah mineral memiliki tekstur liat
dengan tingkat kesuburan alami sedang hingga tinggi, pH 4-5, dan drainase terhambat
sampai sedang.

Pengelolaan Lahan Rawa Lebak


Luas lahan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 13,28 juta ha yang terdiri atas
lebak dangkal 4.167 juta ha (31,4%), lebak tengahan 6.075 juta ha (45,7%), dan lebak
dalam 3.038 juta ha (22,9%), tersebar di Sumatera, Papua, dan Kalimantan
(Balitbangtan 2007). Lahan rawa lebak mempunyai ciri yang sangat khas, yaitu pada
musim hujan tergenang air dalam kurun waktu yang cukup lama. Air genangan

7
tersebut bukan merupakan limpasan air pasang, tetapi berasal dari limpasan air
permukaan yang terakumulasi di wilayah tersebut karena topografinya yang lebih
rendah dan drainasenya buruk. Kondisi genangan air dipengaruhi oleh curah hujan,
baik di daerah tersebut maupun wilayah sekitarnya serta daerah hulu.
Pemanfaatan lahan lebak untuk produksi pertanian khususnya tanaman pangan
merupakan alternatif yang sangat tepat, mengingat areanya sangat luas dan
pemanfaatannya belum intensif (Sudana 2005). Pengembangan lahan rawa lebak
untuk usaha pertanian memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan
teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayah agar diperoleh hasil yang optimal. Di
samping itu, diperlukan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kelembagan serta
prasarana pendukung yang memadai.
Pengelolaan dan penataan lahan yang mengandung bahan sulfidik harus lebih
berhati-hati, dan pemanfaatannya untuk pertanian harus mengikuti sistem penataan
lahan yang berlaku untuk lahan pasang surut. Secara umum, pengelolaan lahan untuk
tanah mineral yang berbahan induk bahan endapan sungai, lebih mudah karena bebas
dari bahan sulfidik.
Masalah utama pengembangan lahan lebak untuk usaha pertanian adalah
kondisi rejim airnya fluktuatif dan seringkali sulit diduga, hidrotopografi lahannya
beragam dan umumnya belum ditata baik, kebanjiran pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau terutama di lahan lebak dangkal, dan sebagian
lahannya bertanah gambut. Dengan kondisi demikian, maka pengembangan lahan
lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan dalam skala luas
memerlukan penataan lahan dan jaringan tata air serta penerapan teknologi yang
sesuai dengan kondisi wilayahnya agar diperoleh hasil yang optimal.
Selain masalah lahan, pengembangan lahan lebak untuk pertanian juga
menghadapi berbagai kendala, diantaranya : kondisi sosial ekonomi masyarakat serta
kelembagaan dan prasarana pendukung yang umumnya belum memadai atau bahkan
belum ada. Hal ini terutama menyangkut kepemilikan lahan, keterbatasan tenaga dan
modal kerja serta kemampuan petani dalam memahami karakteristik dan teknologi

8
pengelolaan lahan lebak, penyediaan sarana produksi, prasarana tata air dan
perhubungan serta jalan usahatani, pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.
Rawa lebak ini dapat dikembangkan menjadi persawahan khususnya pada lahan
lebakdangkal dan lebak tengahan, sedangkan untuk lebak dalam dapat dimanfaatkan
sebagaitempat penangkapan ikan air tawar atau peternakan unggas air seperti itik.
Upaya memanfaatkan lahan rawa lebak untuk pertanian sesungguhnya telah
banyakdikerjakan oleh petani yang juga didukung oleh kebijakan pemerintah, baik
pemerintah pusatmaupun daerah. Namun karena upaya pemanfaatan yang dilakukan
masih sangat sederhana,maka produktivitas yang diperoleh petani umumnya
masih tergolong rendah.
Lahan rawa lebak mempunyai kondisi yang sangat spesifik, sehingga dalam
upaya pemanfaatannya untuk usaha pertanian memerlukan pengelolaan yang khas dis
esuaikandengan kondisi lingkungannya. Kekhasan dari lahan rawa lebak adalah
kebanjiran denganfluktuasi kedalaman air yang susah diterka pada musim hujan, dan
sebaliknya kekeringan pada musim kemarau. Genangan air pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemaraumengakibatkan terjadinya berbagai proses oksidasi-
reduksi di dalam tanah sehinggamenyebabkan turunnya pH tanah dan ketersediaan
hara bagi tanaman terutama unsur hara N,P dan K. Penataan lahan perlu dilakukan
untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak.
Pada genangan air yang dangkal, lahan lebak dangkal dapat ditata sebagai
sawah tadahhujan atau kombinasi sawah dengan guludan (sistem surjan). Teknologi
ini telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balitra). Untuk
melakukan penataan lahan tingkat usahatani sistem surjan perlu dipadukan dengan pe
mbuatan saluransebelah sisinya. Saluran ini berfungsi sebagai sumber air. Hasil
kajian Waluyo et al. (2002) dengan diterapkan sistem surjan pada rawa lebak
pemanfaatan lahan lebih efisien, karenalahan sepanjang tahun dapat ditanami.
Disamping itu pergiliran tanaman akan lebihmenyuburkan tanah, yang akan
meningkatkan produktivitas lahan dan diharapkanmeningkatkan pendapatan petani.
Teknologi pengelolaan lahan rawa lebak dapat diaktualisasikan melalui
ameliorasi, pemupukan berimbang, pengolahan tanah dan air (Adnyana et al 2005).

9
Teknologi pengelolaan air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air sem
aksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan tanaman, dan mengatur keseimbangan
air yang masuk dan air yang keluar. Penataan saluran air yang baik sangat penting
agar air dapat dikendalikan.Pengelolaan air di tingkat lahan dapat dilakukan dengan
sistem surjan, kemalir dan caren. Dengan sistem ini proses aliran air masuk dan
keluar dikendalikan lebih mudah dan lancar. Teknologi neraca air merupakan salah
satu teknologi yang dapat mengatur aliran air masukdan keluar.
Teknologi Neraca air lahan ini dapatmengetahui kondisi agroklimatik terutama
dinamika kadar air tanah pada lahan rawa lebaksehingga dapat digunakan untuk
perencanaan pola tanam secara umum. Pengelolaan air (atau sering disebut tata air) di
lahan rawa bukan hanya dimaksudkanuntuk menghindari terjadinya banjir/genangan
yang berlebihan di musim hujan tetapi jugaharus dimaksudkan untuk menghindari
kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping untuk memperpanjang
musim tanam, juga untuk menghindari bahaya kekeringanlahan sulfat masam dan
lahan gambut. Pengelolaan air yang hanya semata-matamengendalikan genangan di
musim hujan dengan membuat saluran drainase saja akanmenyebabkan kekeringan di
musim kemarau.
Tata air makro adalah pengelolaan air dalam suatu kawasan yang luas dengan
caramembuat jaringan reklamasi sehingga keberadaan air bisa dikendalikan. Bisa
dikendalikan disini berarti di musim hujan lahan tidak kebanjiran dan di musim
kemarau tidak kekeringan. Drainase saja sering tidak mampu mengatasi meluapnya
air di musim hujan terutama padarawa lebak. Oleh sebab itu, sering dibuat tanggul di
sepanjang saluran. Tanggul ini sering pula dimanfaatkan sebagai sarana jalan darat,
terutama di musim kemarau. Waduk retarder atau sering disebut chek dam atau
waduk umumnya dibuat di lahan rawalebak atau lebak peralihan. Fungsi bangunan ini
untuk menampung air di musim hujan,mengendalikan banjir, dan menyimpannya
untuk disalurkan di musim kamarau. Saluran intersepsi dibuat untuk menampung
aliran permukaan dari lahan kering di atas lahanrawa. Letaknya pada berbatasan
antara lahan kering dan lahan rawa.

10
Saluran ini sering dibuat cukup panjang dan lebar sehingga menyerupai waduk
panjang. Kelebihannya air disalurkan melalui bagian hilir ke sungai sebagai air
irigasi. Saluran drainase dan irigasiSaluran drainase dibuat guna menampung dan
menyalurkan air yang berlebihan dalam suatukawasan ke luar lokasi. Sebaliknya,
saluran irigasi dibuat untuk menyalurkan air dari luarlokasi ke suatu kawasan untuk
menjaga kelembaban tanah ataumencuci senyawa-senyawa beracun. Oleh sebab itu,
pembuatan saluran drainase harusdibarengi dengan pembuatan saluran irigasi. Dalam
sistem tata air makro, saluran drainase dan irigasi biasanya dibedakan atas saluran
primer, sekunder, dan tersier. Air di saluran drainase umumnya berkualitas kurang
baik karena mengandungsenyawa-senyawa beracun. Oleh sebab itu, saluran drainase
dan irigasi sebaiknya diletakkan secara terpisah, supaya air irigasi yang berkualitas
baik tidak bercampur dengan air drainase.
Pada lahan yang ditata dengan sistemsawah dan tegalan, pembuatan saluran
setelah pengolahan tanah. Sistem surjan adalah sistem penanaman yang dicirikan
dengan perbedaan tinggi permukaan bidang tanam pada suatu luasan lahan.
Dengan perbedaan tinggi, bidang yang tinggi dapatditanami sayur, buah, rumput, atau
palawija lainnya, sedangkan bidang yang rendah dapatditanami dengan padi.
Untuk mendukung pengembangan lahan lebak sebagai kawasan pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah menghasilkan
teknologi spsifik lokasi yang layak dikembangkan, meliputi teknik pengelolaan air,
penataan lahan, teknik budi daya dan pola tanam, serta penanganan pascapanen.
Pengembangan lahan rawa lebak sebagai kawasan usaha pertanian memerlukan
perangkat pendukung mulai dari penyediaan dan pembangunan infrastruktur,
perubahan sosial dan kelembagaan, hingga kebijakan insentif (Sudaryanto et al.
2001). Dilihat dari luas lahan dan teknologi yang tersedia, lahan rawa lebak memiliki
potensi dan prospek besar untuk dimanfaatkan sebagai kawasan produksi pertanian,
khususnya pangan. Lahan rawa lebak merupakan salah satu pilihan strategis bagi
peningkatan produksi pangan nasional dan dapat dijadikan sebagai lahan abadi untuk
mempertahankan produksi pangan nasional.

11
Optimalisasi potensi rawa lebak perlu disertai penerapan teknologi yang tepat,
di antaranya penggunaan varietas padi rawa lebak dan tata air yang baik. Melalui
teknologi pengelolaan air dan budi daya, lahan rawa lebak dapat diusahakan tiga kali
tanam dalam satu tahun (IP 300%) dengan pola tanam padi-padi-palawija dan
produktivitas padi dapat ditingkatkan sampai 7 ton gabah kering giling/ha (Djamhari
2009).

12
Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan pasang surut lebih rata kerena mendapat pengaruh pasang surut. Selain
itu, pada lahan pasang surut periode genangan dapat diprediksi dengan jelas yaitu
pada saat bulan baru atau pada ssat bulan purnama. Lahan rawa pasang surut terletak
di daerah datar, sehingga luapan dan genangan air secara periodik merupakan ciri
khas yang dimilikinya. Sesuai karakteristik dan potensinya serta dikaitkan dengan
kesiapan teknologinya, lahan rawa pasang surut sangat potensial untuk dijadikan
lahan pertanian maju, walaupun masih banyak kendala dan permasalahan yang harus
dicarikan solusinya.
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan marjinal tetapi memiliki potensi
cukup besar untuk usahatani padi apabila dikelola dengan menerapkan teknik
budidaya yang tepat. Kunci utama keberhasilan usahatani padi di lahan rawa pasang
surut adalah pengelolaan air yang tepat dan pemberian hara yang seimbang pada
varietas padi yang adaptif. Inpara (Inbrida padi rawa) merupakan varietas yang daya
adaptasinya di lahan rawa beragam.
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan sub-optimal yang memiliki potensi
cukup besar untuk usahatani padi. Di Indonesia, dipekirakan terdapat 33,4 juta ha
lahan rawa, 9,5 juta ha diantaranya berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan
yang sudah direklamasi sekitar 5,4 juta ha terdiri 4,1 juta ha untuk lahan pasang surut.
Lahan Rawa Pasang Surut dibagi menjadi 4 kategori :
1. Kategori A : Merupakan areal lahan rawa yang dapat terluapi air pasang, baik
di musim hujan maupun di musim kemarau. Lahan dapat diluapi oleh air
pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus pasang purnama, baik
musim hujan maupun musim kemarau. Permukaan lahan umumnya masih
lebih rendah jika dibandingkan elevasi air pasang tinggi rata-rata. Umumnya
areal ini terletak di lahan cekungan atau dekat dengan muara sungai. Lahan ini
potensial untuk ditanami dua kali padi sawah setahun, karena ada jaminan
suplai air pada setiap musim.
2. Kategori B : Merupakan areal lahan rawa yang hanya dapat terluapi air pasang
di musim hujan. Permukaan lahan umumnya masih lebih tinggi dari elevasi

1
air pasang tinggi rata-rata di musim kemarau, namun masih lebih rendah jika
dibandingkan elevasi air pasang tinggi rata-rata di musim hujan. Lahan dapat
diluapi oleh air pasang paling sedikit 4 atau 5 kali selama 14 hari siklus
pasang purnama hanya pada musim hujan saja. Lahan ini potensial ditanami
padi sawah di musim hujan, sedangkan di musim kemarau ditanami palawija.
3. Kategori C : Merupakan lahan rawa yang tidak dapat terluapi oleh air pasang
sepanjang waktu (atau hanya kadang-kadang saja). Permukaan lahan
umumnya relatif lebih tinggi jika dibandingkan kategori A dan B, sehingga air
pasang hanya berpengaruh pada muka air tanah dengan kedalaman kurang
dari 50 cm dari permukaan lahan. Karena lahan tidak dapat terluapi air pasang
secara reguler, akan tetapi air pasang masih mempengaruhi muka air tanah.
Elevasi lahan yang relatip tinggi dapat mengakibatkan banyaknya kehilangan
air lewat rembesan. Lahan ini cocok untuk sawah tadah hujan/tegalan, dan
ditanami padi tadah hujan atau palawija.
4. Kategori D : Merupakan lahan rawa yang cukup tinggi sehingga sama sekali
tidak dapat terjangkau oleh luapan air pasang (lebih menyerupai lahan kering).
Permukaan air tanah umumnya lebih dalam dari 50 cm dari permukaan lahan.
Variasi kapasitas drainase tergantung perbedaan antara muka tanah di lahan
dan muka air di sungai terdekat dengan lahan. Lahan cocok diusahakan untuk
lahan kering/tegalan, ditanami padi gogo/palawija dan tanaman keras.
Dalam zone rawa pasang surut payau/salin terdapat fisiografi Marin dan
Gambut, dalam zone rawa pasang surut air tawar Aluvial, Marin Dan Gambut serta
dalam zone rawa non pasang surut Aluvial dan Gambut. Biasanya di zone pasang
surut air tawar merupakan endapan campuran yaitu endapan laut yang ditutupi
endapan sungai atau Fluviatil-marin. Di dalam peta satuan lahan dimasukan ke dalam
kelompok aluvial, misalnya fisiografi dataran aluvial peralihan ke marin.
Lahan pasang surut merupakan lahan yang ketersediaan airnya dipengaruhi oleh
pergerakan air di permukaan sungai akibat pergerakan bulan (Adimihardja dan
Suriadikarta, 2000). Lahan pasang surut banyak ditemukan di tiga pulau besar yakni
Papua, Sumatera, dan Kalimantan, dan sebagian kecil di Sulawesi dan Maluku

2
(Ritung et al., 2015). Secara nasional, potensi lahan ini sangat luas untuk peningkatan
produksi pangan (Alihamsyah, 2004).

Proses Pembentukan Lahan Rawa Pasang Surut


Lahan rawa mempunyai karakter yang sangat bervariasi dari satu wilayah ke
wilayah lainnya, meliputi jenis tanah, tingkat kesuburan, potensi kandungan racun
pirit dan alumunium, ketebalan dan kematangan gambut, kemasaman tanah dan air,
tipe luapan, dan genangan air. Sehingga penetapan komoditas harus berdasarkan pada
tingkat kesesuaian dan peruntukannya.
Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di sepanjang pinggir sungai terbentuk
tanggul sungai alam (natural levee) yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke
arah hilir relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di lapangan. Tetapi ke arah
hulu, kenampakannya di potret udara lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi
yang tumbuh. Lebarnya adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai
sekitar 2 km. Tanggul sungai terbentuk akibat pengendapan muatan sedimen sungai
yang terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama musim
hujan. Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap pertama-tama
di pinggir sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat, akan diendapkan
pada wilayah di belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di bagian tanggul sungai
alam, merupakan endapan sungai (fluviatile) yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5
m sampai lebih dari 1,5 m, menutupi endapan dasar yang merupakan endapan marin.
Pasang surutnya air laut berpengaruh terhadap ketinggian dan kedalaman air
tanah di dalam lahan. Berdasarkan jangkauan luapan air pasang di dalam lahan, lahan
pasang surut dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu Tipe A, B, C, dan Tipe D.
Ketinggian air pasang besar di musim hujan dan kemarau biasanya berbeda,
sehingga luas Tipe luapan A, B, C, dan D selalu berubah menurut musim. Pada waktu
musim hujan, suatu kawasan dapat tergolong Tipe A, tetapi pada musim kemarau
termasuk Tipe B atau C. Hal ini dikarenakan permukaan air sungai meninggi di
musim hujan dan menurun di musim kemarau. Oleh sebab itu, informasi tentang tipe

3
luapan biasanya disertai dengan informasi tentang musim pada saat pengamatan
dilakukan.
Daerah rawa pasang surut di Indonesia umumnya terletak pada daerah beriklim
hujan tropis dengan temperatur, kelembaban udara, dan curah hujan yang tinggi.
Temperatur harian rata-rata berkisar antara 25oC sampai 30oC. Kelembaban udara
umumnya lebih dari 80%. Besarnya evapotranspirasi bervariasi antara 3,5 mm/hari
sampai 4,5 mm/hari. Curah hujan tahunan rata-rata pada sebagian besar daerah rawa
berkisar antara 2.000 mm sampai 3.000 mm. Berdasarkan potensi curah hujan dan
iklim yang terjadi di daerah rawa pasang surut, maka sebagian besar daerah rawa
pasang surut di Indonesia berpeluang ditanami padi dua kali setahun. masih muda,
memiliki keragaman karakteristik lahan, membutuhkan strategi untuk meningkatkan
produktivitas, yang disesuaikan dengan karakteristik lahan dan tanaman yang
diusahakan. Untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan, maka pengembangan lahan
pasang surut harus diarahkan misalnya antara lain: (1) tinggi muka air di saluran
harus dipertahankan agar selalu berada di atas lapisan pirit dan lapisan gambut.
Pengeringan dapat menurunkan pH tanah jika diikuti proses oksidasi pirit. Dan untuk
jenis tanah gambut, pengeringan dapat meningkatkan jumlah emisi CO2; (2) saluran
drainase dibuat tidak terlalu dalam dari semestinya; (3) merawat dan
mempertahankan fungsi bangunan air yang telah dibangun untuk mempertahankan
kinerja pengelolaan air pada tinggi muka air dalam saluran yang aman (Alihamsyah
et al., 2003; Noor, 2004); (4) difokuskan pada lahan-lahan yang sudah dibuka dan
mempunyai tingkat produktivitas sedang (antara 1-3 ton GKG/ha) dan tinggi (> 3 ton
GKG/ha) (5) penggunaan insektisida, pestisida dan herbisida dihindari atau
diminimalkan (Masganti et al., 2015).
Berbagai teknologi unggulan di lahan rawa yang telah dihasilkan oleh berbagai
perguruan tinggi dan lembaga litbang diantaranya adalah penataan lahan, pengelolaan
air, pengelolaan tanaman, pengelolaan bahan ameliorasi dan hara, serta pengendalian
gulma. Penggunaan ameliorant antara lain berupa kapur (kalsit, dolomit, dan kapur
oksida), garam, sekam padi, abu serbuk kayu gergajian, biomasa gulma, dan limbah
pertanian; sedangkan pengelolaan hara dengan cara pemberian pupuk hayati, pupuk

4
N, P dan K, terbukti mampu meningkatkan hasil padi, palawija dan sayuran.
Intensitas dan produktivitas yang rendah pada lahan rawa dapat ditingkatkan dengan
penerapan teknologi pola tanam terpadu dengan pemilihan varietas padi dan palawija
serta sayuran yang teruji (Alihamsyah et al., 2004). Peningkatan produktivitas lahan
dapat dilakukan dengan pemanfaatan mikroba tanah, baik yang hidup bebas di dalam
tanah maupun yang bersimbiosis dengan tanaman. Fitri dan Gofar (2010) melaporkan
bahwa konsorsium bakteri endofitik pemacu tumbuh hasil isolasi dari jaringan
tanaman padi dengan populasi 107 spk mL-1 mampu meningkatkan hasil tanaman
padi pada tanah asal pasang surut. Pengaturan tata air merupakan satu hal yang sangat
penting dalam pengelolaan lahan pertanian pada ekosistem rawa. Pengaturan tata air
ini bukan hanya untuk mengurangi atau menambah ketersediaan air permukaan,
melainkan juga untuk mengurangi kemasaman tanah, mencegah pemasaman tanah
akibat teroksidasinya lapisan pirit, mencegah bahaya salinitas, bahaya banjir, dan
mencuci zat beracun yang terakumulasi di zona perakaran tanaman (Suryadi et al.,
2010). Strategi pengendalian muka air ditujukan kepada aspek upaya penahanan
muka air tanah agar selalu di atas lapisan pirit dan pencucian lahan melalui sistem
drainase terkendali. Kondisi muka air yang diinginkan sangat tergantung kepada jenis
tanaman, jenis tanah, dan kondisi hidrologis wilayah setempat (Imanudin dan
Susanto, 2008).
Permasalahan dalam budidaya tanaman non padi di lahan rawa adalah
kelebihan air yang sangat mengganggu pertumbuhan awal tanaman. Sementara itu,
kalau penanaman ditunda, maka akan terjadi kekurangan air pada fase generatif.
Permasalahan status air ini dapat diatasi dengan membangun sistem drainase yang
tepat (Imanudin dan Tambas, 2002). Penataan lahan merupakan salah satu faktor
yang menentukan dalam rangka optimalisasi dan peningkatan produktivitas lahan.
Penataan lahan disesuaikan dengan satuan peta zonase tersebut diatas, karena setiap
satuan peta zonase memiliki kesesuaian penataan lahan. Hal ini menjadi sangat
penting agar penataan lahan yang dibuat tidak memunculkan masalah lahan yang
lebih besar dengan tingkat produktivitas yang rendah.

5
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut
Tingkat keasaman (pH) tanah (<4) di lahan yang baru dibuka menunjukkan
bahwa tanah sangat masam dan kandungan Fe2+ cukup tinggi (300 - 400 ppm)
(Widjaja Adhi, 2000). Budidaya padi unggul di lokasi demikian jarang berhasil,
karena cekaman biofisik lahan sangat berat. Padi lokal terutama varietas Siam cukup
adaptif terhadap kondisi lahan tersebut, tetapi umumnya produktivitasnya antara 1,0 -
2,5 t/ ha (Noor, 2006). Oleh karena itu, petani padi di lahan pasang surut umumnya
menanam padi lokal, karena daya adaptasinya yang baik dan input produksi rendah,
sehingga biaya produksi juga rendah. Penanaman varietas padi unggul disarankan
terutama pada lahan potensial dan sulfat masam potensial, sedangkan pada lahan
sulfat masam aktual diperlukan ameliorasi agar kondisi tanahnya lebih sesuai untuk
pertumbuhan padi (Khairullah, 2012).
Lahan rawa pasang surut terletak pada topografi datar, sehingga sering terluapi
dan tergenang air secara periodik. Berdasarkan jangkauan pasang surutnya air,
Widjaja-Adhi et al. (1992) membagi lahan rawa pasang surut menjadi dua zona, yaitu
: (1) zona pasang surut payau/salin, dan (2) zona pasang surut air tawar. Kedua zona
tersebut mempunyai ciri dan sifat yang berbeda sehingga dalam upaya
pemanfaatannya perlu dihubungkan antara aspek lahan (tipologi lahan) dengan aspek
air (tipe luapan) yang mengandung ciri-ciri yang lebih khas.
Tipologi lahan yang terdapat pada zona pasang surut air payau yaitu tipologi
lahan salin, mempunyai ciri unsur Na tukar yang cukup tinggi >8 me/100g tanah, dan
berada dekat dengan pantai. Lahan tersebut pada umumnya telah dimanfaatkan oleh
petani untuk usahatani padi, juga telah banyak yang mengkombinasikan padi di
tabukan dan tanaman kelapa di surjan atau tukungan. Tipologi lahan yang terdapat
pada zona pasang surut air tawar, lebih banyak dibanding dengan yang terdapat pada
zona air payau/ salin. Pengelompokan tipologi lahan pada zona air tawar, berdasarkan
pada kedalaman bahan sulfidik, tingkat oksidasi pirit dan ketebalan gambut. Atas
dasar itu ditemukan delapan tipologi lahan yang terdiri atas : (1) lahan sulfat masam
aktual (SMA), (2) lahan sulfat masam potensial (SMP), (3) lahan sulfat masam
bergambut (SMPG), (4) lahan potensial (P), (5) lahan gambut dangkal (GDK), (6)

6
lahan gambut sedang (GSD), (7) lahan gambut dalam (GDL), dan (8) lahan gambut
sangat dalam (GSDL) (Abdurachman et al.,1999). Selain tipologi lahan, tipe luapan
air mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk
usaha pertanian.
Berdasarkan tipe luapan air pasang, lahan rawa pasang surut dapat dibagi dalam
empat kategori, yaitu:
 Tipe luapan A, yaitu suatu wilayah yang dapat diluapi oleh air pasang baik oleh
pasang besar maupun oleh pasang kecil.
 Tipe luapan B, yaitu wilayah yang hanya dapat diluapi oleh air pasang besar
saja, sedang pada pasang kecil air tidak dapat meluap ke petak sawah.
 Tipe luapan C, yaitu wilayah yang tidak terluapi air pasang, tetapi air pasang
mempengaruhi kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan
tanah.
 Tipe D, yaitu wilayah yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh air pasang,
namun demikian air pasang mempengaruhi kedalam muka air tanah pada
kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.
 Tipe luapan A dan B, sering juga disebut sebagai pasang surut langsung,
sedangkan tipe C dan D disebut sebagai pasang surut tidak langsung.

Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut


Pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian masih akan menghadapi
berbagai masalah diantaranya adalah kondisi luapan dan genangan air yang sangat
variatif dari satu wilayah ke wilayah lain, jenis tanah yang sangat beragam dengan
tingkat kesuburan yang rendah dan variatif, kemasaman tanah dan potensi racun pirit
yang tinggi yang dapat mematikan tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan
gambut yang berbeda, serta kondisi petani yang masih lemah baik dari segi
keterampilan maupun permodalan. Melihat karakter lahan dan kondisi sosial tersebut
maka pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk pertanian memerlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam perencanaan dan kesungguhan pelaksanaan
pengembangannya. Pembangunan pertanian pada lahan rawa harus diupayakan

7
menuju ke sistem pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber daya secara
optimal berdasarkan karakteristik lahan, kesesuaian komoditas dan dengan tetap
memperhatikan budaya masyarakat setempat.
Kunci utama pengelolaan lahan rawa pasang surut adalah pengelolaan tanah
dan air yang tepat dan penanaman varietas yang adaptif. Perbaikan kondisi biofisik
lahan ditempuh melalui perbaikan tata air, ameliorasi tanah, pemupukan organik dan
anorganik dan penanaman varietas adaptif. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan pengelolaan air (Sarwani, 2002), ameliorasi dan pupuk (Indrayati, dkk., 2011)
dan penanaman varietas adaptif (Koesrini, 2012), hasil padi di lahan rawa pasang
surut dapat ditingkatkan. Salah satu upaya untuk menunjang peningkatan
produktivitas padi di lahan rawa pasang surut adalah penanaman varietas padi unggul
baru yang adaptif, berpotensi hasil lebih tinggi dan berumur lebih genjah dari pada
padi lokal, sehingga intensitas tanam dapat ditingkatkan dari Index Pertanaman
(IP=1) menjadi IP≥2.
Pembenahan jaringan tata air yang ada sangat diperlukan, agar sistem tata air
yang diterapkan selain mampu mencukupi kebutuhan air bagi tanaman, juga dapat
memperbaiki kualitas lahan secara gradual. Sistem pengelolaan air yang sesuai untuk
tanaman pangan di lahan pasang surut adalah dengan sistem aliran satu arah (one way
flow system) untuk lahan bertipe luapan air A dan B. Penerapan sistem tata air satu
arah yang dikombuasi dengan pengolahan tanah, dapat secara cepat meningkatkan pH
tanah dari 4,2 sebelum aplikasi, naik menjadi 4,8 saat tanam, dan 5,4 saat panen. Pada
saat yang sama besi fero (Fe2+) turun dari 160 ppm menjadi 72 ppm, sehingga
diperoleh hasil padi 6,26 t/ha. (Alihamsyah 2004). Abdurachman (2006),
menyampaikan bahwa penerapan sistem tata air searah, selama lima musim tanam
dapat menurunkan konsentrasi Fe2+ dari konsentrasi awal 2,8 me/kg menjadi 0,2
me/kg, konsentrasi Al3+ turun dari 37,1 me/kg menjadi 17,0 me/kg. Penurunan unsur
meracun tersebut bervariasi tergantung kelancaran aliran air pada penerapan tata
airnya. Di lahan pasang surut wilayah Kalimantan, penurunan unsur meracun.
Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian perlu diarahkan kepada usaha
pertanian berkelanjutan, yang dapat menjamin keberlanjutan produksi dan kelestarian

8
lingkungan melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan dan kesesuaian
lahannya. Berdasarkan kondisi wilayah dan mengacu berbagai pengalaman, baik
keberhasilan maupun kegagalan masa lalu, maka strategi pengembangan perlu
mencakup :
1. pewilayahan kesesuaian lahan yang disinkronkan dengan rencana tata
ruang daerah lain yang mempunyai kepentingan bersama terhadap satu
sistem rawa,
2. pemetaan rinci, dan kesepakatan pengembangan komoditas unggulan
masing-masing, sesuai preferensi wilayah dan sinkron dengan tata ruang
masingmasing daerah yang berkompeten,
3. pembenahan dan peningkatan fungsi jaringan tata air secara bersama, yang
dapat memberikan manfaat bersama,
4. pengembangan teknologi spesifik lokasi yang sesuai kondisi lingkungan,
dan komoditas yang dikembangkan,
5. peningkatan kemampuan dan keberdayaan masyarakat, dan
6. pengembangan sarana dan kelembagaan agribisnis, dan
7. dilaksanakan secara bertahap, dengan tetap mengindahkan aspek kelestarian
lingkungan bersama.
Pengelolaan dan pemanfaatan lahan rawa harus direncanakan secara cermat,
mengacu kepada kaidah lingkungan sebagai sumber daya yang harus dijaga
kelestariannya. Hasil penelitian pada berbagai wilayah dan tipologi, menunjukkan
bahwa usaha pertanian yang diikuti penerapan teknologi spesifik yang ditempatkan
pada wilayah yang sesuai dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Penerapan teknologi yang sesuai dan efisien, merupakan kunci penting dalam
pengembangan pertanian berkelanjutan. Teknologi tersebut harus bersifat spesisik
lokasi dan ramah lingkungan, sehingga kualitas lahan tidak merosot, tetapi justru
membaik secara gradual agar keberlanjutan produksi dapat terpelihara. Komponen
teknologi telah tersedia, diantaranya varietas toleran, pengelolaan lahan dan hara,
ameliorasi, pemanfaatan bahan organik in situ, pengendalian organisme pengganggu

9
tanaman (OPT), alat dan mesin pertanian (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa,
2006).
Menurut Alihamsyah et al. (2002), untuk mendapatkan teknologi tepat guna
yang spesifik lokasi, sebaiknya di setiap wilayah dikembangkan satu site pengkajian
untuk mengkaji masalah spesifik lokasi, sekaligus menjadi lokasi acuan (reference
point) bagi pengembangan pertanian di wilayah tersebut. Pelaksanaannya sebaiknya
model kerjasama antara petani, daerah (Dinas), Balai Pengkajian Teknologi, Balai
Penelitian serta Perguruan Tinggi.
Pemupukan dan ameliorasi menjadi komponen penting dalam mengatasi
masalah pengembangan padi di lahan pasang surut. Khususnya pada lahan sulfat
masam dan lahan gambut, amelioran yang telah teruji baik adalah kapur atau abu
sekam dengan pemberian 1-3 ton/ha akan mampu meningkatkan produksi padi sekitar
1 ton/ha. Bahan ameliorant harus dikombinasikan dengan pemberian pupuk
anorganik (N,P,dan K).
Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian di lahan pasang surut
melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan dan komoditas yang tepat perlu
didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang
memadai serta kelembagaan yang efektif dan efisien. Secara umum, pengembangan
lahan pasang surut ke depan harus memenuhi tiga syarat, yaitu secara teknis bisa
dilaksanakan dan diterima masyarakat, secara ekonomi layak dan menguntungkan
dan tidak merusak lingkungan sehingga sumberdaya alamnya tetap terpelihara dengan
baik dan pengembangan pertaniannya dapat berkelanjutan (Alihamsyah et al., 2004).
Pemilihan komoditas disesuaikan dengan potensi lahan pada tiap satuan zonase
diatas dan prospek pemasaran komoditas. Pada lahan tipe luapan A, B, dan C
mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman padi sawah, sedangkan pada tipe
luapan D masih bisa ditanami padi gogo/gora (gogo rancah). Komoditas lain seperti
sayuran, buah-buah, perkebunan dapat ditanam pada lahan tipe luapan C dan D atau
tipe luapan B dengan sistem surjan atau tukungan. Pemilihan varietas disesuaikan
dengan permasalahan lahan pada masing-masing zonase, potensi hasil dan prospek
pemasaran. Untuk tanaman padi telah berkembang padi lahan rawa (Inpara) dengan

10
berbagai macam rasa (tekstur), daya toleransi (keracunan Al, Fe, kemasaman dan
rendaman), dan potensi hasil. Pada tingkat nasional, dalam rangka penyediaan jenis
varietas yang toleran terhadap kondisi lahan rawa, telah dikembangkan beberapa
varietas yang toleran untuk lahan rawa, seperti varietas Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3,
Inpara 4, dan Inpara 5. Varietas Inpara 1 adalah varietas yang cocok ditanam di
daerah rawa lebak dan pasang surut. Apabila ditanam pada kondisi lahan rawa lebak
rata-rata dapat mencapai hasil 5,65 ton GKG/ha, sedangkan jika ditanam pada kondisi
lahan rawa pasang surut rata-rata hasilnya lebih rendah, yakni 4,45 ton GKG/ha).
Varietas Inpara 1 memiliki toleransi keracunan Fe dan Al, agak tahan terhadap
serangan wereng batang coklat Biotipe 1 dan 2, serta tahan terhadap penyakit hawar
daun bakteri dan blas. Varietas Inpara 2 dan Inpara 3 juga direkomendasikan untuk
budidaya di lahan rawa lebak maupun pasang surut dengan rata-rata hasil relatif
sebanding dengan Varietas Inpara 1. Inpara-2, Inpara3, dan Inpara-4 toleran terhadap
genangan, keracunan Fe, dan kemasaman tanah, sedangkan Inpara-1 dan Inpara-5
agak peka terhadap cekaman tersebut di atas (Koesrini dan Nursyamsi, 2011).
Pada umumnya lahan rawa tergolong lahan marjinal dan rapuh karena secara
alamiah ketersediaan haranya sangat rendah dan mudah mengalami kerusakan apabila
pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan lahan rawa memerlukan teknologi spesifik
lokasi. Dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan dan air yang tepat sesuai
karakteristiknya maka pengembangan pertanian ke depan di lahan rawa pasang surut
sangat menjanjikan untuk menjadi areal pertanian produktif yang berkelanjutan.

11
12
Lahan Rawa Gambut
Lahan gambut didefinisikan sebagai lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk
dari endapan yang berasal dari penumpukkan sisa-sisa (residu) jaringan tumbuhan
masa lampau yang melapuk, dengan ketebalan lebih dari 50 cm (Rancangan Standar
Nasional Indonesia-R-SNI, Badan Sertifikasi Nasional, 2013). Kandungan C organik
yang tinggi (≥ 18%) dan dominan berada dalam kondisi tergenang (anaerob)
menyebabkan karakteristik lahan gambut berbeda dengan lahan mineral, baik sifat
fisik maupun kimianya. Kandungan karbon yang relatif tinggi berarti lahan gambut
dapat berperan sebagai penyimpan karbon. Namun demikian, cadangan karbon dalam
tanah gambut bersifat labil, jika kondisi alami lahan gambut mengalami perubahan
atau terusik maka gambut sangat mudah rusak. Oleh karena itu, diperlukan
penanganan atau tindakan yang bersifat spesifik dalam memanfaatkan lahan gambut
untuk kegiatan usahatani.
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah gambut, terbentuk dari
bahan organik atau sisa-sisa pepohonan yang dapat berupa bahan jenuh air dengan
kandungan karbon organik 12-18% atau bahan tidak jenuh air dengan kandungan
karbon organik 20%. Berdasarkan ketebalan, lahan gambut di lahan rawa lebak bisa
berupa lahan bergambut (ketebalan lapisan gambut 20-50 cm), gambut dangkal (50-
100 cm), gambut sedang (100-200 cm), dan gambut dalam (200-300 cm) (Achmadi
dan Las 2006).
Tanah gambut merupakan jenis jenis tanah yang merupakan penumpukan sisa
tumbuhan yang setengah busuk/dekomposisi yang tak sempurna dan mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi. Tanah gambut kebanyakan berada pada lahan
yang basah atau jenuh air seperti cekungan, pantai, rawa. Tanah gambut sebagian
besar masih berupa hutan gambut yang di dalamnya terdapat bermacam spesies
hewan dan tumbuhan. Kemampuan hutan gambut, dapat menyimpan banyak karbon.
Kedalaman gambut bisa sampai 10 meter. Selain dapat menyimpan karbon dalam
jumlah besar, tanah gambut juga bisa menyimpan air berkali-kali lipat dari beratnya.
Sehingga berfungsi sebagai penangkal banjir saat musim hujan tiba dan menyimpan
air cadangan tatkala kemarau panjang melanda.

1
Selain mempunyai karakteristik yang berbeda dibanding lahan mineral, lahan
gambut khususnya gambut tropika mempunyai karakteristik yang sangat beragam,
baik secara spasial maupun vertikal (Subiksa et al., 2011). Karakteristik gambut
sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum (lapisan tanah mineral di bawah
gambut), kematangan, da n tingkat pengayaan, baik dari luapan sungai di sekitarnya
maupun pengaruh dari laut khususnya untuk gambut pantai (keberadaan endapan
marin). Lahan gambut tropika umumnya tergolong sesuai marginal untuk
pengembangan pertanian, dengan faktor pembatas utama kondisi media tanam yang
tidak kondusif untuk perkembangan akar, terutama kondisi lahan yang jenuh air,
bereaksi masam, dan mengandung asam-asam organik pada level yang bisa meracuni
tanaman, sehingga diperlukan beberapa tindakan reklamasi agar kondisi lahan
gambut menjadi lebih sesuai untuk perkembangan tanaman.
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol
atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis
(BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik
dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari
tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
 Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan
asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas
kandungan seratnya < 15%.
 Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah
lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila
diremas bahan seratnya 15 – 75%.
 Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum
melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila
diremas >75% seratnya masih tersisa.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

2
 Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral
dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
 Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang
 Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:
 Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan
 Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya
mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
 Gambut dangkal (50 – 100 cm),
 Gambut sedang (100 – 200 cm),
 Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
 Gambut sangat dalam (> 300 cm)
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:
 Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat
pengayaan mineral dari air laut
 Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
 Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

Proses Pembentukan Lahan Rawa Gambut


Lapisan-lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka waktu yang panjang
yaitu sekitar 10.000-5.000 tahun yang lalu. Hutan gambut di Indonesia diduga

3
terbentuk sejak 6.800-4.200 tahun. Semakin dalam tanah gambut semakin tua
umurnya. Laju pembentukan tanah gambut berkisar 0-3 mm per tahun.
Tanah gambut terbentuk secara bertahap sehingga menunjukkan lapisan-lapisan
yang jelas. Hal ini berkaitan dengan faktor alam yang ada di sekelilingnya.
Lapisanlapisan tersebut berupa perbedaan tingkat dekomposisi, jenis tanaman yang
diendapkan atau lapisan tanah mineral secara berselang-seling. Lapisan-lapisan
mineral tersebut menunjukkan gejala alam banjir dan sedimentasi dari waktu ke
waktu pada lahan rawa. Proses pembentukan tanah gambut secara rinci dikemukakan
oleh Agus dan Subiksa (2008), dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati
dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan
transisi antara lapisan tanah gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa
tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan membentuk lapisan tanah gambut sehingga danau menjadi penuh.
Pembentukan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim (basah), topografi (datar-
cekung), organisme (vegetasi), bahan induk (termasuk bahan mineral sebagai
substratum), dan waktu pembentukannya. Tanah gambut terbentuk pada kondisi
anaerob sehingga air mutlak harus selalu ada. Di bawah kondisi iklim tropika basah
yang panas dan lembab namun dengan evaporasi yang cukup tinggi dimungkinkan
terbentuknya tanah gambut. Pada cekungan-cekungan kecil maupun cekungan besar,
tanah gambut dapat terbentuk diawali dengan tumpukan bahan organik sedikit demi
sedikit yang akhirnya menjadi tebal, sehingga memenuhi syarat ketebalan sebagai
tanah gambut. Cekungan-cekungan tersebut terjadi di atas formasi batuan atau lapisan
sedimen yang diendapkan pada berbagai masa geologi yang lalu. Perubahan relief di
atas lapisan sedimen ini sejalan dengan masa regresi pemunduran (retreat) laut
terhadap daratan atau naiknya permukaan daratan dan turunnya permukaan laut
(Ritung et al., 2013).
Tumbuhan masih bisa tumbuh dengan subur di atas tanah gambut topogen.
Hasil pelapukan tumbuhan tersebut akan membentuk lapisan baru yang lebih tinggi
dari permukaan air danau semula. Membentuk lapisan gambut yang cembung seperti

4
kubah. Tanah gambut yang tumbuh di atas gambut topogen adalah gambut ombrogen.
Jenis tanah gambut ini lebih rendah kesuburannya dibanding gambut topogen.
Pembentukannya lebih ditentukan oleh air hujan yang mempunyai efek
pencucian (bleaching) sehingga miskin mineral.
Dalam tanah ambut terdapat sisa dari tumbuh-tumbuhan, binatang mati, lumut,
pepohonan, dan rerumputan baik dalam keadaan telah lapuk ataupun belum. Jumlah
bakteri pengurai yang kurang karena kondisi tanpa oksigen (anaerob) berdampak
pada proses pembusukan yang tengah terjadi di tanah gambut terhambat dan tidak
sempurna. Tanah gambut banyak dijumpai pada daerah atau wilayah yang
basah. Lapisan tanah gambut terbentuk dalam jangka waktu lama sekitar 5000-10.000
tahun lalu. Untuk mengetahui tanah gambut itu berusia tua atau belum, dapat dilihat
dari dalam tidaknya tanah tersebut. Semakin dalam tanah gambut, usianya juga makin
tua. Proses terbentuknya tanah gambut adalah tanaman air yang tumbuh pada danau
yang dangkal akan mati, selanjutnya mengalami pelapukan dan di dasar danau itu
akan terbentuk lapisan organik. Pembentukan hutan gambut di Indonesia dimulai
kira-kira 6800 tahun yang lalu.
Tanah gambut adalah tanag-tanah yang jenuh air. Tersusun dari bahan tanah
organik berupa sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang telah melapuk dengan
ketebalab lebih dari 8 meter. Dalam sistem klasifikasi tasonomi tanah, tanah gambut
disebut Histosol atau Organosol ( tanah yang tersusun dari bahan organik). Tanah
gambut selalu terbentuk pada tempat yang kondisi jenuh air atau tergenang, seperti
pada cekungan-sekungan daerah perlembahan, bekas rawa danau atau daerah depresi
dan basin pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan bahan organik
dalam jumlah banyak yang dihasilkan tumbuhan alami yang telah beradaptasi dengan
lingkungan jenuh air.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi
terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah
gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh

5
proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral
yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati
dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan
transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah
mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau
dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut
menjadi penuh .
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan
gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah
cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh
tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi
pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu
masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk
lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut yang
permukaannya cembung. Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal
dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut
ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena
hampir tidak ada pengkayaan mineral.

Karakteristik Lahan Rawa Gambut


Sifat fisik tanah gambut merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat
produktivitas tanaman yang diusahakan pada lahan gambut, karena menentukan
kondisi aerasi, drainase, daya menahan beban, serta tingkat atau potensi degradasi
lahan gambut. Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, karakteristik atau
sifat fisik gambut yang penting untuk dipelajari adalah kematangan gambut, kadar air,
berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan
permukaan tanah (subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan
Subiksa, 2008).

6
Kematangan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan organik yang
menjadi komponen utama dari tanah gambut. Kematangan gambut sangat
menentukan tingkat produktivitas lahan gambut, karena sangat berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan tanah gambut, dan ketersediaan hara. Ketersediaan hara pada lahan
gambut yang lebih matang relatif lebih tinggi dibandingkan lahan gambut mentah.
Struktur gambut yang relatif lebih matang juga lebih baik, sehingga lebih
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, tingkat kematangan
gambut merupakan karakteristik fisik tanah gambut yang menjadi faktor penentu
kesesuaian gambut untuk pengembangan pertanian. Berdasarkan tingkat
kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang), hemik (setengah
matang), dan fibrik (mentah). Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa
dilakukan secara langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan
menggunakan tangan. Jika setelah diremas kurang dari sepertiga gambut yang
tertinggal dalam tangan (lebih dari dua pertiga yang lolos) maka gambut digolongkan
sebagai gambut saprik, sebaliknya jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka
gambut tergolong sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut
hemik, jika yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50% . Pada gambut saprik, bagian
gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif lebih halus, sebaliknya
gambut mentah masih didominasi oleh serat kasar. Gambut yang terdapat di
permukaan (lapisan atas) umumnya relatif lebih matang, akibat laju dekomposisi
yang lebih cepat. Namun demikian seringkali juga ditemui gambut matang pada
lapisan gambut yang lebih dalam. Hal ini mengindikasikan bahwa gambut terbentuk
dalam beberapa tahapan waktu, artinya gambut yang ada pada lapisan dalam pernah
berada di posisi permukaan.
Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air jauh
lebih tinggi dibanding tanah mineral. Komposisi bahan organik yang dominan
menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi. Elon et
al. (2011) menyatakan air yang terkandung dalam tanah gambut bisa mencapai 300-
3.000% bobot keringnya, jauh lebih tinggi dibanding dengan tanah mineral yang
kemampuan menyerap airnya hanya berkisar 20-35% bobot keringnya. Kadar air

7
gambut pada kisaran yang lebih rendah yaitu 100-1.300%, yang artinya gambut
mampu menyerap air 1 sampai 13 kali bobotnya. Kemampuan gambut yang tinggi
dalam menyimpan air antara lain ditentukan oleh porositas gambut yang bisa
mencapai 95%. Gugus fungsional yang dihasilkan dari proses dekomposisi gambut
juga merupakan bagian aktif dari tanah gambut yang berperan dalam menyerap air.
Tingkat kematangan gambut menentukan rata-rata kadar air gambut jika berada
dalam kondisi alaminya (tergenang). Pada tingkat kematangan fibrik (gambut sangat
mentah), gambut bersifat sangat sarang, sehingga ruang diantara massa gambut terisi
air. Namun demikian, karena air sebagian besar berada dalam pori makro, maka
begitu gambut didrainase maka air menjadi cepat sekali hilang. Pada kondisi gambut
yang lebih matang, air tersimpan pada tingkat jerapan yang lebih tinggi, karena pori
mikro dan meso mulai terbentuk. Gaya gravitasi tidak cukup untuk mengalirkan air
yang tersimpan dalam pori mikro atau meso.
Berat isi (bulk density) atau sering disebut juga dengan istilah berat volume
merupakan sifat fisik tanah yang menunjukkan berat massa padatan dalam suatu
volume tertentu. Berat isi umumnya dinyatakan dalam satuan g cm-3 atau kg dm-3
atau t m-3 . Berat isi merupakan sifat fisik tanah yang paling sering dianalisis, karena
bisa dijadikan gambaran awal dari sifat fisik tanah lainnya seperti porositas, bearing
capacity, dan potensi daya menyimpan air. Tanah dengan nilai BD relatif rendah
umumnya mempunyai porositas yang tinggi, sehingga potensi menyerap dan
menyalurkan air menjadi tinggi, namun jika nilai berat isi terlalu rendah
menyebabkan tanah mempunyai daya menahan beban (bearing capacity) yang
rendah. Berat isi tanah gambut yang sangat rendah yaitu 0,2 g cm-3 karena adanya
pengaruh bahan mineral, namun masih jauh dibanding berat isi tanah mineral yang
berkisar 0,7-1,4 g cm-3 . Hasil penelitian Dariah et al. (2012) menunjukkan besarnya
pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap besarnya berat isi gambut, semakin
matang gambut, rata-rata BD gambut menjadi lebih tinggi.
Karakteristik Fisika rawa Gambut, ciri-cirinya ialah warna air hitam, hal itu
terkait dengan tingginya bahan organi, iklim selalu basah.
Dataran rendah selalu tergenang, Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 % -

8
1300 % dari berat keringnya. Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13
kali bobotnya.
Sifat mengering yang tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar
air 100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut
yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyutdibawa alir
an air dan mudah terbakar dalam keadaan kering. Gambut yang terbakar
menghasilkan energy panas yang lebih besar darikayu+arang terbakar. Gambut yang
terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan
sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik
(C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun
tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena
kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak
dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang
drainasenya buruk.

Pengelolaan Lahan Rawa Gambut


Lahan gambut menyimpan 550 G ton karbon, jumlah ini setara dengan 75%
karbon yang ada di atmosfir, dua kali jumlah karbon yang dikandung seluruh hutan
non-gambut dan sama dengan jumlah karbon dari seluruh biomassa yang ada di
bumi.4 Bahaya dari rusaknya gambut tidak hanya dirasakan secara lokal dan regional
saja, melainkan berkontribusi pada bencana global perubahan iklim. Emisi karbon
bisa terlepas saat konversi gambut, mulai dari pembabatan vegetasi, kebakaran hutan,
hingga proses dekomposisi gambut akibat kegiatan pertanian.
Gambut memiliki dua fungsi utama yaitu pelayanan lingkungan (penyimpan
air, karbon, dan keanekaragaman hayati) dan penghasil komoditas pertanian yang
mendukung kehidupan para petani. Untuk itu perlu dijaga keseimbangan antara
fungsi konservasi dan pertanian. Pengembangan riset yang seimbang perlu
difokuskan ke usaha pengelolaan gambut yang baik dan rasional, meminimalkan
dampak lingkungan, dan pengaturan air sehingga mengurangi risiko kebakaran.

9
Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan
karbon pada ekosistem. Secara alami gambut berfungsi sebagai penambat karbon,
sehingga berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut
menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 13-35 % dari total karbon terestris. Sekitar
86% (445 Gt) dari karbon lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate
(Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis.
Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot
isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50% dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon
di lahan gambut Indonesia sebesar 46 Gt (Murdiyarso et al., 2004). Oleh karena itu,
pertukaran CO2 dari lahan gambut ke atmosfer sangat mempengaruhi siklus karbon
dan terhadap pemanasan global.
Drainase pada lahan gambut menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga
mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Dekomposisi
bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya
drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Selain adanya
proses dekomposisi bahan gambut, respirasi akar tanaman juga mempengaruhi
produksi CO2 dari dalam tanah.
Ada tiga alternatif pemanfaatan lahan gambut terdegradasi agar tidak menjadi
sumber emisi GRK, yaitu: (a) mengembalikannya menjadi hutan melalui konservasi
dan restorasi, (b) memulihkan (recovery) secara alami, dan (c) memanfaatkannya
sebagai lahan pertanian dan/atau hutan tanaman industri, sesuai dengan potensi dan
karakteristiknya. Berbagai analisis menunjukkan bahwa ketiga alternatif tersebut bisa
ditempuh, namun alternatif ketiga yaitu merehabilitasinya menjadi lahan pertanian
merupakan alternatif yang paling prospektif secara ekonomis.
Pemanfaatan lahan gambut secara besar-besaran di Indonesia untuk pertanian
sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak dimulainya proyek pembukaan pesawahan
pasang surut (P4S) pada tahun 1969. Program ini diilhami oleh keberhasilan petani
Bugis dan Banjar dalam bertani sawah di lahan pasang surut termasuk di lahan
gambut. Pembukaan lahan untuk pesawahan di lahan basah ini kemudian dilanjutkan

10
hingga akhir Pelita III sehingga mencapai luasan lebih kurang 1 juta hektar di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Berdasarkan tingkat kesesuaian lahannya untuk pengembangan pertanian,
lahanlahan yang mempunyai ketebalan gambut lebih dari 3 m dikategorikan sebagai
lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian. Demikian halnya dengan
lahan-lahan yang mempunyai tingkat dekomposisi fibrik. Hal ini didasarkan atas
pertimbangan lingkungan bahwa lahan yang demikian jika diusahakan untuk
pertanian akan memberikan potensi emisi GRK yang sangat tinggi.
Secara umum lahan gambut mempunyai tingkat kesuburan rendah bila
dihubungkan dengan persyaratan untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Perbaikan
kualitas gambut dapat dilakukan dengan pemupukan (untuk perbaikan kesuburan
tanah), dan dengan pemberian amelioran seperti pencampuran gambut dan tanah
mineral, abu volkan, kapur, dan abu sisa pembakaran (untuk perbaikan sifat kimia
gambut). Untuk mengurangi pengaruh buruk dari kondisi jenuh air dapat dilakukan
melalui pembuatan sistem jaringan drainase yang baik dan tepat ukuran.
Pengelolaan lahan gambut yang mendukung pertumbuhan tanaman dan stabilitas
gambut dengan menerapkan best management practiceyakni praktik pengelolaan
perkebunan yang tidak merusak gambut. Praktik diwujudkan dengan penataan air,
pemupukan yang tepat, tanaman penutup, dan varietas yang teradaptasi. Pengelolaan
seperti ini dibutuhkan agar bisa mencegah terjadinya kebakaran lahan dan hutan pada
musim kering. Pengelolaan air melalui sistem drainase, baik untuk memenuhi
kebutuhan air untuk tanah maupun tanaman, terutama pada musim kemarau.
Mempertahankan muka air tanah tidak lebih dalam dari -80 cm diukur dari
permukaan gambut; lapisan gambut di atas muka air harus selalu dipertahankan pada
kondisi lembap dan hidrofilik (dapat mudah dibasahi). Pemantauan kekeringan cuaca
dan kerentanan kebakaran dengan menggunakan model hidrologi dapat membantu
prediksi risiko terjadinya kebakaran hutan.

11
Daftar Pustaka

Adimihardja, A., dan D. A. Suriadikarta. 2000. Pemanfaatan lahan rawa eks PLG
Kalimantan Tengah untuk pengembangan pertanian berwawasan lingkungan. J.
Penelitian & Pengembangan Pertanian 19(3):77-81.
Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan
Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor, Indonesia
Alihamsyah, T, Muhrizal Sarwani, Achmadi Jumberi, Isdijanto Ar-Riza, Heru
Sutikno dan Izzuddin Noor. 2002. Lahan Rawa Pasang Surut : Pendukung
Ketahanan Pangan dan Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa. Alihamsyah
Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan
peoduksi padi. Dalam Kasrino et al. (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.
Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Hlm:46-63.
Djamharri, S. 2009. Peningkatan produksi padi di lahan rawa lebak sebagai alternatif
dalam pengembangan lahan pertanian ke luar Jawa. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 11(1): 64- 69.
Indrayati, L., A. Supriyo dan S. Umar. 2011. Integrasi Teknologi Tata Air, Amelioran
dan Pupuk dalam Budidaya Padi Pada Tanah Sulfat Masam Kalimantan
Selatan. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus Rawa, Juli 2011.
Khairullah, I. L. Indrayati, A. Hairani dan A. Susilawati. 2011. Pengaturan Waktu
Tanam dan Tata Air untuk Mengendalikan Keracunan Besi Pada Tanaman Padi
di Lahan Rawa Pasang Surut Sulfat Masam Potensial Tipe B. Jurnal Tanah dan
Iklim, Edisi Khusus Rawa, Juli 2011.
Khairullah, I. 2012. Pemilihan Varietas Padi untuk Meningkatkan Produktivitas
Lahan Rawa. Makalah disampaikan pada Praktek dan Teknik Analisis Katam
Rawa. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 29-30 Maret
2012
Koesrini, dan Dedi Nursyamsi. 2011. Inpara: Varietas padi lahan rawa. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Vol.34 No. 6 Tahun 2012. Bogor:
Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Hlm. 7-9.
Las, I., S. Ritung, A. Mulyani, dan A. Mihardja. 2006. Potensi dan Ketersediaan
Lahan Pertanian untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan. Dalam
Prosiding.Simp V Tan. Pangan Inov. Tek. Pangan (2008).
Noor, Muhammad, 2000. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Kanisius.
Yogyakarta.
Noor, M. 2007. Rawa Lebak, Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangannya. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 274 hlm.
Ritung, dan I. Las. 2011. Potensi dan ketersediaan sumberdaya lahan untuk
mendukung ketahanan pangan. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian
30(2):73- 80.

1
Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto dan C.
Tafakresnanto. 2015. Sumberdaya Lahan Pertanian Indonesia: Luas,
Penyebaran dan Potensi Ketersediaan. Indonesian Agency for Agricultural
Research and Development (IAARD) Press. 100 hlm
Sudana, W. 2005. Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi
pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(2): 141151.
Subagyo H. 2006. Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Didi Ardi et al. Karakteristik
Dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian. Hlm. 23-88.
Widjaja-Adhi, I.P.G., D.A. Suriadikarta, M.T. Sutriadi, I.G.M. Subiksa dan I.W.
Suastika. 2000. Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan Rawa.
Dalam: A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus dan D. Jaenuddin (Eds.).
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaan. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Bogor

Anda mungkin juga menyukai