Anda di halaman 1dari 28

1

MAKALAH
SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

KAJIAN PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)


UNTUK EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN PADA LAHAN RAWA
LEBAK

Disusun Oleh:

Inayah Masturoh 05101181621002


Putri Utami Wulandari 05101181621011
Nurul Aulia Hapizah 05101381621049

PROGRAM STUDI ILMU TANAH


JURUSAN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019

Universitas Sriwijaya
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat, dan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Paper sistem
Informasi Sumber Daya Lahan yang merupakan salah satu syarat penilaian dari
mata kuliah Sistem Informasi Sumber Daya Lahan.
Tujuan dari pembuatan Paper Sistem Informasi Sumber Daya Lahan ini
tiada lain sebagai salah upaya agar kami dapat menambah wawasan serta
pengetahuan tentang bagaimana tanah-tanah terbentuk dan bagaimana
membedakan antara tanah yang satu dengan tanah yang lain. Serta bagaimana
pemanfaatan tanah tersebut bagi dunia pertanian. Kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan paper
ini. Dalam Paper Sistem Informasi Sumber Daya Lahan ini masih terdapat
kekurangan maupun kesalahan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat
menunjang paper yang lebih baik lagi. Akhir kata kami mengucapkan terima
kasih. Semoga paper ini dapat bermanfaat.

Inderalaya, Februari 2019

Penulis

i Universitas Sriwijaya
DAFTAR ISI

Halaman

Cover .........................................................................................................................
Kata Pengantar ......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
Daftar Gambar ....................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Tujuan .................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
2.1. Pengertian Rawa Lebak .......................................................................... 4
2.1.1. Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak ...................................... 7
2.1.2. Permasalahan Pada Tanah Rawa Lebak ......................................... 8
2.2. Pengelolaan Lahan Rawa ........................................................................ 9
2.3. Sistem Informasi Sumber Daya Lahan ................................................. 11
2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) ........................................................ 12
2.4.1. Tugas Utama Sistem Informasi Geografis (SIG) .......................... 13
2.4.2. Macam-Macam Data Dalam Sistem Informasi Geografis ............ 14
2.4.3.Manfaat Aplikasi SIG ....................................................... 17
2.4.4. Sumber Data Sistem Informasi Sumberdaya Lahan ..................... 17
2.5. Evaluasi Sumber Daya Lahan Rawa ........................................ 19
BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 22
3.1. Kesimpulan ........................................................................................... 22
3.2. Saran ..................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

ii Universitas Sriwijaya
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Feature .................................................................................................. 16


Gambar 2. Grid...................................................................................................... 16
Gambar 3. Sebaran rawa di Indonesia .................................................................. 18
Gambar 4. lokasi rawa menggunakan citra satelit ................................................ 19

iii Universitas Sriwijaya


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Lahan sebagai suatu sistem mempunyai komponen-komponen yang
terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran
tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya
dalam hubungannya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya (Worosuprojo, 2007). Dengan demikian ada dua kategori utama
sumberdaya lahan, yaitu (1) sumberdaya lahan yang bersifat alamiah dan (2)
sumberdaya lahan yang merupakan hasil aktivitas manusia (budidaya manusia).
Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan
dan perairan, selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu tertentu,
genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena drainase yang terhambat.
Lahan rawa dapat dibedakan dari danau, karena genangan danau umumnya lebih
dalam dan tidak bervegetasi kecuali tumbuhan air yang terapung.
Potensi lahan rawa lebak di Sumatera Selatan mempunyai luasan cukup luas
sekitar 2,0 juta ha, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, yang mana
seluas 79.200 ha di antaranya terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)
yang baru diusahakan oleh petani, Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Sudana,
2009).Namun lahan rawa lebak memiliki permasalahan yaitu terdapatnya
kandungan pirit. Pirit adalah mineral berwarna kekuningan dengan kilap logam
yang cerah. Pirit memiliki rumus kimia FeS2 (disulfida besi) dan merupakan
mineral sulfida yang paling umum dijumpai. Pirit bisa terbentuk pada suhu tinggi-
rendah dan keterdapatannya bisa dalam batuan beku, metamorf dan sedimen
walaupun dalam jumlahnya yang sedikit. Apabila tanah marin yang mengandung
pirit direklamasi (misalnya dengan dibukanya saluran-saluran drainase sehingga
air tanah menjadi turun dan lingkungan pirit menjadi terbuka dalam suasana
aerobik) maka akan terjadi oksidasi pirit, yang menghasilkan asam sulfat.
Peningkatan pH karena kondisi tergenang akan menyebabkan reduksi Fe3+
menjadi Fe2+. Oleh karena itu, konsentrasi Fe2+ menjadi sangat meningkat. Pada
konsentrasi Fe2+ yang cukup rendah, misalnya 30–50 ppm (me/liter), sudah dapat

1 Universitas Sriwijaya
2

meracuni tanaman (Ismunadji dan Supardi, 1982). Keracunan besi seringkali


terjadi pada lapisan bahan sulfidik yang sudah teroksidasi, yaitu pada tanah Sulfat
Masam Aktual yang digenangi kembali oleh air hujan atau irigasi. Konsentrasi
besi Fe2+ dapat mencapai 300 - 400 ppm sehingga sangat meracuni tanaman.
Dalam era globalisasi ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
terasa sangat pesat, sehingga menawarkan banyak sekali kemudahan-kemudahan
aktivitasnya. Kehadiran teknologi ini dimaksudkan untuk mencapai hasil yang
lebih baik dengan efesien efektivitas. Salah satu kemajuan teknologi pada dewasa
ini yaitu berkembangnya komputer secara pesat. Era komputerisasi telah memberi
wawasan dan paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan dan
penyebaran informasi. Data yang mempresentasikan dunia nyata dapat
disimpulkan dan diproses sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam
bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan sesuai kebutuhan. SIG merupakan sistem
berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengelola,
memanipulasi, dan menampilkan informasi spasial (keruangan) berupa informasi
yang mempunyai hubungan geometrik dalam arti bahwa informasi tersebut dapat
diukur, dihitung, dan disajikan dalam sistem koordinat rujukan/bidang hitung
yang baku, dengan data berupa data digital yang terdiri dari data posisi (data
spasial) dan data semantiknya (data atribut).
SIG dapat mempresentasikan real word (dunia nyata) diatas monitior
computer sebagaimana lembaran peta dapat mempresentasikan dunia nyata di atas
kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas dibandingkan
lembaran pada kertas. SIG dapat menentukan lokasi yang sesuai untuk
pengembangan lokasi permukiman penduduk yang memiliki beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi. Kemampuan SIG secara eksplisit adalah: memasukkan data
dan mengumpulkan data geografi (spasial dan atribut), mengintegrasikan data
geografi, memeriksa, meng-update data geografi, menyimpan dan membuka
kembali data geografi, mempresentasikan atau menampilkan data geografi.
Sistem Informasi Sumberdaya Lahan (SISL) merupakan bagian dari Sistem
Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Sumberdaya Lahan memfokuskan
perhatian pada data fisik sumberdaya lahan seperti tanah, vegetasi, dan air,
sementara SIG mencangkup aplikasi yang lebih luas termasuk aplikasi di bidang

Universitas Sriwijaya
3

sosial, ekonomi, pariwisata, pemerintahan, dan sebagainya. Di kalangan


masyarakat luas, SIG lebih dikenal dibandingkan dengan SISL. Walaupun
demikian, seluruh aplikasi SISL dapat ditangani dengan sofware SIG. Dengan
mengetahui SIG berarti analisis Sistem Informasi Sumberdaya Lahan dengan
mudah dapat dilakukan.
Sistem informasi (SI) dipandang dari segi infra-struktur sebagai suatu
kombinasi dari perangkat keras, perangkat lunak, data, dan sumberdaya manusia
yang dirancang untuk menangkap (capture), mengumpulkan, menyimpan,
memproses, mengelola, dan menyajikan informasi dalam suatu organisasi. Dari
definisi ini, tujuan harus ditetapkan dengan jelas sebelum mengem-bangkan SI
dan kemudian target pengguna yang mengoperasikan atau mengambil manfaat
dari keberadaan SI ini.

1.2.Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan paper sistem informasi sumber daya lahan
yaitu agar dapat mengetahui ada tidaknya kandungan pirit dan bagaimana
pengelolaan untuk lahan yang memiliki kadar pirit,dengan menggunakan sistem
informasi sumber daya lahan serta untuk mengetahui apa itu Sistem Informasi
Geografic dan digitasi pemetaan dengan menggunakan Map.

Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Rawa Lebak


Lahan rawa terdapat pada hampir seluruh ekosistem kecuali pada ekosistem
padang pasir. Istilah "lahan rawa" lebih umum digunakan dalam bahasa Indonesia
sebagai pengganti istilah "lahan basah", walaupun sebenarnya tidak semua lahan
basah dapat dikategorikan sebagai lahan rawa. Sedangkan di Amerika dan Eropa,
istilah "lahan basah" menunjukan kondisi yang sebalikya yang mana istilah
tersebut lebih umum digunakan sebagai pengganti eufimistis untuk istilah "rawa"
(Swamp). Menurut Clarkson and Peters (2010) swamps berarti sebuah lahan yang
secara tipical berupa campuran dari gambut dan mineral yang selalu tergenang
dan biasanya relatif subur karena mendapat sedimentasi dari limpasan lingkungan
sekitarnya (Fahmi, 2018)
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1991 tentang rawa,
dinyatakan bahwa rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi
terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta
mempunyai ciri khusus secara fisik, kimia dan biologis, sedangkan menurut PP
yang terbaru tentang rawa no. 73 tahun 2013 ditetapkan pengertian lahan rawa
adalah wadah air beserta air dan daya air yang terkandung di dalamnya, tergenang
secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami di lahan yang relatif
datar atau cekung dengan endapan mineral atau gambut, dan ditumbuhi vegetasi,
yang merupakan suatu ekosistem (Waluyo et al., 2012)
Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau
tanah rendah‘ (Poerwadarminto, 1976 dalam Noor, 2007). Sedangkan kata lebak
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang tergenang
dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam (Alwi et al., 2003). Rawa lebak
adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun
minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak
secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa
cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai
(levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa

4 Universitas Sriwijaya
5

lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan


genangan paling tinggi(Penelitian et al., 2005). Semakin ke arah tepi sungai atau
tanggul semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan
atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan
peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang
sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena
kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering disebut juga
dengan rawa pedalaman (Noor, 2007).
(Djafar et al., 2013) Menyebutkan rawa lebak sebagai danau-danau dataran
banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu
mendapatkan luapan banjir dari sungai besar di sekitarnya. Selain dari luapan
sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau banjir
kiriman. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah
hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-
kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat. Rawa
lebak pada musim hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase
jelek. Namun, pada musim kemarau menjadi kering.
Menurut Nugroho et al. (1991) luas lahan rawa lebak mencapai 13.28 juta
hektar. Lahan ini memiliki prospek sebagai penghasil produksi pertanian tidak hanya
pada musim hujan, tetapi juga pada musim kemarau panjang dengan jumlah yang
lebih luas dan beragam. Potensi lahan rawa lebak pada musim kemarau merupakan
kelebihan yang tidak ditemukan pada agroekologi lainnya. Karena pada musim
kemarau, rawa yang tadinya membentang sejauh mata memandang akan berubah
menjadi kawasan hijau pertanian dengan berbagai ragam komoditas dari padi, jagung,
kedelai, ubi jalar, buah-buahan dan berbagai macam sayuran (Noor 2004).
Menurut Widjaja Adhi et al. (1992), berdasar lama dan ketinggian
maksimum genangan air, lahan lebak dapat dikelompokkan dalam tiga kategori
besar yaitu :
a. Lebak dangkal, yaitu daerah yang dicirikan dengan ketinggian genangan air
permukaan pada musim hujan di bawah atau sama dengan 50 cm, lama
genangan 1-3 bulan, katagori ini menempati luas 4,168 juta ha.

Universitas Sriwijaya
6

b. Lebak tengahan, dicirikan dengan ketinggian genagan air permukaan pada


musim hujan diatas 50 cm-100 cm, dengan lama genangan lebih 3 bulan - 6
bulan, menempati luas 6,076 juta ha.
c. Lebak dalam, dicirikan dengan ketinggian genangan air pada musim hujan
di atas 100 cm, dengan lama genangan lebih dari 6 bulan, menempati luas
3.038 juta ha.
Lahan lebak dangkal umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih
baik karena adanya pengkayaan dari endapan lumpur yang terbawa luapan air
sungai. Lahan lebak tengahan mempunyai genangan air yang lebih dalam dan
lebih lama daripada lebak dangkal sehingga waktu surutnya air juga lebih lama.
Oleh karena itu, masa pertanaman padi pada wilayah ini lebih belakangan
daripada lebak dangkal. Lahan lebak dalam letaknya lebih dalam dan pada musim
kemarau dengan iklim normal umumnya masih tergenang air. Oleh karena itu,
lahan ini jarang digunakan untuk usaha tanaman (Effendi et al., 2013)
Jenis tanah yang umum dijumpai di lahan rawa lebak ialah tanah mineral
dan gambut. Tanah mineral bisa berasal dari endapan sungai atau dari endapan
marin, sedangkan tanah gambut bisa berupa lapisan gambut utuh atau lapisan
gambut berselang-seling dengan lapisan tanah mineral (Effendi et al., 2013).
Tanah mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami sedang
hingga tinggi, pH 4-5, dan drainase terhambat sampai sedang. Berdasarkan
ketebalan, lahan gambut di lahan rawa lebak bisa berupa lahan bergambut
(ketebalan lapisan gambut 20-50 cm), gambut dangkal (50-100 cm), gambut
sedang (100-200 cm), dan gambut dalam (200-300 cm) (Kodir dan Juwita, 2016)
Lahan rawa lebak Sumsel merupakan wilayah cekungan yang secara alami
berfungsi sebagai tampung air permukaan dan tempat deposit mineral sekunder
yang tersangkut didalamnya. Demikian pula di lahan rawa lebak terjadi dinamika
tampung air secara musiman yang bergantung pada besarnya aliran permukaan
dari curahan air hujan maupun air sungai. Deposit mineral merupakan salah satu
potensi daya saing yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kandungan
mineral pada produk pangan fungsional. Dalam tubuh manusia mineral organik
masuk melalui makanan minuman yang dikonsumsi dan akan berperan penting
sebagai sumber pengatur fungsi tubuh (Ratmini, 2014). Sungai Musi merupakan

Universitas Sriwijaya
7

pemasok utama mineral yang kaya akan basa-basa di lahan rawa Sumatera Selatan
(Hikmatullah et al. 1990).

2.1.1. Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak


Lahan lebak berada di posisi kanan dan kiri sungai besar. Oleh karena itu,
tanah yang terbentuk terdiri dari bahan endapan sungai yang tidak mengandung
sulfidik dan kebanyakan termasuk jenis lahan Aluvial dan genangan lahan rawa
lebak tidak dipengaruhhi oleh pasang surut tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh
air hujan, baik yang turun setempat maupun dari daerah hulu (Waluyo, 2008)
Lahan rawa lebak (Noor, 2007) termasuk ekologi lahan basah (wetland)
yang dicirikan oleh suasana genangan dalam waktu yang panjang. Bentuk wilayah
yang menyerupai cekungan dengan dasar yang luas dengan drainase yang jelek.
Lahan rawa lebak merupakan dataran banjir sungai dengan beda muka air antara
musin hujan dan musin kemarau lebih dari 2 meter, disamping itu juga merupakan
dataran rendah dengan ketinggian 3 - 5 meter di atas permukaan laut.Pada
uumnya sifat morfologi tanah rawa lebak merupakan kondisi alumik atau
berdrainase terhambat sampai sangat terhambat, baik pada yang beum
berkembang. Sedangkan sifat-sifat kimiawi tanah, pada umumnya
memperlihatkan kandungan unsur C organik yang sangat tinggi. KTK tanah rawa
lebak sangat bervariasi, umumnya 10 sampai 40 me/100 gram tanah. Kation-
kation basa juga bervariasi, namun pada umumnya sangat rendah sampai rendah.
Fisiografinya merupakan cekungan dengan batas daerah yang berlereng 4 –
10 persen, sehingga tidak ada pengaruh nyata dari pasang surut air laut (Irianto,
2006). Tanah lahan rawa lebak dapat berupa tanah organik (gambut), tanah
mineral endapan sungai, dan endapan marin. Pada tanah gambut, kematangan
gambut umumnya termasuk gambut saprik. Sedangkan pada tanah mineral tekstur
umumnya liat, liat berdebu, sampai lempung liat berdebu, dengan konsistensi
lekat dan plastis (Arifin et al., 2006). Gambut saprik (matang) yaitu gambut yang
sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai
hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya kurang dari 15 persen (Permentan
No 14 tahun 2009).

Universitas Sriwijaya
8

Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan
antara 2 000-3 000 mm per tahun dengan 6 - 7 bulan basah (bulan basah = bulan
yang mempunyai curah hujan bulanan >200 mm) atau antara 3 - 4 bulan kering
(bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan
basah berlangsung pada bulan Oktober/Nopember sampai Maret/April, sedangkan
bulan kering berlangsung antara bulan Juli sampai September. Suhu udara pada
kawasan ini berkisar antara 24 - 32ºC dan kelembaban nisbi 80-90%. Pengaruh
iklim sangat kuat pada musin kemarau karena rawa lebak sebagai kawasan
terbuka.

2.1.2. Permasalahan Pada Tanah Rawa Lebak


Masalah utama pengembangan lahan rawa lebak adalah banjir pada musim
hujan dan kekeringan pada musim kemarau dengan kejadian yang datangnya
belum dapat diprediksi dengan tepat (Waluyo, 2000). Hal ini menyebabkan petani
sulit menduga masa tanam padi dan budidaya tanaman menjadi sulit dikendalikan
dengan baik. Genangan air yang terlalu tinggi selama fase vegetatif akibat banjir
dan hujan lebat yang terjadi setelah bibit dipindahkan ke lapang merupakan
kendala pertumbuhan yang menyebabkan rendahnya produksi padi lebak. Resiko
kegagalan panen juga bisa terjadi akibat kekeringan jika tidak ada hujan pada saat
tanaman padi berbunga (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, 2008). Selain itu,
masalah yang terjadi pada lahan rawa lebak adalah adanya kandungan pirit (FeS2)
yang dapat membahayakan tanaman.
Lahan rawa memiliki tanah bergambut yang terkandung bahan sulfidik di
dalamnya yang sering disebut senyawa pirit (FeS2). Pirit berada di zona endapan
marin (laut) di bawah lapisan gambut, senyawa ini terbentuk dari material
endapan tanaman-tanaman yang telah mati dan terpengaruh oleh air laut (Brock et
al., 2006). Menurut Daryono, (2009) pembukaan lahan gambut harus
memerhatikan dimana kedalaman lapisan pirit berada sehingga tanah yang subur
di bawah tanah bergambut tidak teracuni oleh lapisan pirit yang telah teroksidasi
akibat semakin dangkalnya lapisan diatasnya (Tambunan, Sri Wahyuni, 2013)
Senyawa pirit yang terbentuk pada tanah sedimen yang tereduksi sangat
potensial menentukan dinamika kualitas sedimen dan perairan tambak. Perubahan

Universitas Sriwijaya
9

pH tanah sedimen bertolak belakang dengan dinamika pirit, pada saat kadar pirit
tinggi maka pH tanah rendah. Secara fisik tanah sedimen yang tereduksi tampak
hitam, karena terdapat senyawa besi Fe2+. Pada kondisi tersebut akumulasi bahan
organik yang berlebihan cenderung sulit terdekomposisi. Fe merupakan unsur
hara esensial yang dapat berada pada konsentrasi toksik pada tanah-tanah asam.
Apabila pirit sampai ke permukaan dan kontak dengan udara maka akan
teroksidasi dan menghasilkan asam sulfat (Shamshuddin et al., 2004). Oksigen
(O2) dan air (H2O) akan mengurai ion Fe2+ pada pirit kemudian membentuk asam
sulfat (SO4) dan terbebasnya ion H+. Asam sulfat mengakibatkan pH di
lingkungan tersebut menjadi sangat rendah (1,9 sampai <3,5) yang mencemari
kualitas air. Pencemaran ini terjadi terutama di daerah saluran buatan manusia
dibandingkan dengan sungai alami. Selain itu, kandungan ion H+ yang terlalu
banyak di dalam tanah dapat merusak struktur mineral dengan mendesak keluar
semua basa-basa tanah yang menjadi nutrisi tanaman seperti (Ca, Mg, K dan Na)
dan terbebasnya ion-ion Al3+ yang bersifat toksis terhadap tanaman (Shahid et al.,
2014).

2.2. Pengelolaan Lahan Rawa


Pengelolaan air pada lahan lebak dangkal dan tengahan dapat dikembangkan
melalui pembuatan saluran air di dalam petakan lahan. Saluran ini sekaligus
berfungsi sebagai tempat penampungan ikan alam atau tempat pemeliharaan ikan,
serta sebagai penampung air untuk keperluan tanaman pada musim
kemarau.Pengelolaan air pada lahan pertanian biasanya dibagi menjadi dua bagian
yaitu tata air makro dan tata air mikro. Tata air makro berhubungan dengan
pembuatan dan pengaturan keberadaan sumber air sebagai penyedia suplai air di
lahan pertanian. Bangunan-bangunan pada tata air makro antara lain adalah
waduk, bendung, saluran intersep, saluran irigasi (primer, sekunder, dan tersier),
dan saluran drainase. Sedangkan tata air mikro merupakan kelanjutan dari tata air
makro dimana aliran air dari saluran tersier dibuat percabangan menjadi saluran
kuarter dan berhubungan dengan lahan-lahan para petani.
Adapun beberapa sisem tata kelola air yang biasanya diterapkan di lahan rawa,
antara lain:

Universitas Sriwijaya
10

1. Sistem Handil
Sistem handil merupakan sistem yang sudah lama dikembangkan sejak dulu
oleh petani lahan rawa dengan membuat beberapa parit untuk mengalirkan air dari
sungai. Handil juga sering dimanfaatkan sebagai prasarana transportasi air karena
masih jarang tersedia jalan raya di daerah tersebut. Pemanfaatan saluran pada
handil dapat berfungsi sebagai saluran irigasi pada saat pasang dan saluran
drainase pada saat surut. Sistem ini tidak memerlukan biaya yang mahal dalam
pembuatannya namun hanya dapat dibuat dengan maksimum panjang 4 km agar
air pasang dapat masuk ke area pertanian (Najiyati et al.,2005).
Pada kondisi pasang, air drainasi yang mengandung bahan sulfidik yang
mengarah ke sungai bercampur dengan air pasang dari sungai yang arahnya
berkebalika sehingga senyawa-senyawa tersebut akan terakumulasi di dalam
saluran. Pada kondisi surut, beberapa lokasi yang tidak mendapat suplai air akan
mengalami kekeringan akan tidak adanya suplai air dari sungai.

2. Sistem Aliran Satu Arah


Sistem aliran satu arah ini bermaksud untuk menyatukan saluran irigasi dan
drainase dengan alasan menghemat biaya. Saluran air pada saat pasang berfungsi
sebagai saluran irigasi dan sebaliknya pada saat surut difungsikan sebagai saluran
drainasi. Penerapan sistem ini membuat senyawa beracun hasil pencucian lahan
tidak terdrainasi dengan tuntas dan justru menyebar ke lahan lain. Kondisi
tersebut dapat diatasi dengan memberikan pintu otomatis pada bagian hulu saluran
tersier dan pintu stop log pada bagian hilir saluran tersier yang dapat membuang
air drainase keluar saluran namun air pasang tidak dapat masuk.

3. Sistem Garpu
Sistem ini mirip dengan sistem handil yaitu membuat beberapa parit untuk
mengalirkan air dari sungai menuju area pertanian. Saat pasang aliran dari sungai
menuju saluran primer akan diteruskan ke saluran sekunder. Hal ini disebabkan
oleh elevasi muka air di ujung saluran sekunder lebih rendah dari saluran primer.
Saat surut aliran air akan berbalik menuju sungai dengan harapan agar air asam
yang terbawa arus surut dapat keluar dari lahan.

Universitas Sriwijaya
11

2.3. Sistem Informasi Sumber Daya Lahan


Lahan sebagai suatu sistem mempunyai komponen-komponen yang
terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran
tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya
dalam hubungannya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya (Worosuprojo, 2007). Dengan demikian ada dua kategori utama
sumberdaya lahan, yaitu (1) sumberdaya lahan yang bersifat alamiah dan (2)
sumberdaya lahan yang merupakan hasil aktivitas manusia (budidaya manusia).
Sumber daya lahan adalah sumber daya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia sumber daya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan
manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah permukiman jalan untuk
transportasi, daerah rekreasi maupun daerah-daerah yang dipelihara kondisi
alamnya untuk tujuan ilmiah. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan
manusia yang terus berkembang, untuk memacu petumbuhan ekonomi yang
semakin tinggi. Pengelolaan sumberdaya lahan sering kali kurang bijaksana dan
tidak mempertimbangkan aspek berkelanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga
kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas
tinggi menjadi berkurang dan manusia akan semakin bergantung pada
sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah) (Juhadi,
2007)
Sumber daya lahan pertanian adalah segala sesuatu yang bisa memberikan
manfaat di bidang pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan. Kaitan dengan
lahan tersebut maka diperlukannya suatu interpretasi lahan agar kita dapat melihat
mengenai luasan, lokasi, potensi yang ada, ekosistem yang berkembang dan sifat
dari tiap komponen tersebut. Output dari interpretasi tersebut maka akan
dihasilkan suatu informasi lahan yang bergua bagi para penggunanya tergantung
dari jenis potensi penggunaanya masing-masing. Namun, dalam penyajian
informasi lahan tersebut tidak hanya didasarkan hanya dari satu informasi saja,
namun penyajian informasi lahan yang diharapkan adalah mencakup berbagai
jenis informasi lainnya yang saling berhubungan.

Universitas Sriwijaya
12

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)


Pada hakekatnya Sistem Informasi Geografis adalah suatu rangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi atau
informasi tentang ruang muka bumi yang diperlukan untuk dapat menjawab atau
menyelesaikan suatu masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang
bersangkutan. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, pemetaan,
pengolahann penganalisisan dan penyajian data-data/fakta-fakta yang ada atau
terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Data/fakta yang ada atau terdapat
dalam ruang muka bumi tersebut, sering juga disebut sebagai data/fakta geografis
atau data /fakta spasial. Hasil analisisnya disebut informasi geografis atau
informasi spasial. Jadi SIG adalah rangkaian kegiatan pengumpulan penataan,
pengolahan dan penganalisisan data/fakta spasial sehingga diperoleh informasi
spasial untuk dapat menjawab atau menyelesaikan suatau masalah dalam ruang
muka bumi tertentu (Kartawisastra dan Survey, 2018)
Sistem informasi geografis adalah sebuah alat bantu manajemen berupa
informasi berbantuan komputer yang berkait erat dengan sistem pemetaan da
analisis terhadap segala sesuatu serta peristiwa-perisriwa yang terjadi permukaan
bumi. Sistem Informasi (SI) adalah kombinasi dari teknologi informasi dan
aktivitas orang yang menggunakan teknologi itu untuk mendukung operasi dan
manajemen. (Anisya, 2013).
Teknologi GIS mengintergrasikan operasi pengolahan data berbasis database
yang digunakan saat ini pengambilan data berdasarkan kebutuhan, serta analisa
statistik dengan menggunakan visualisasi yang khas berbagai keuntungan yang
mampu ditawarkan melalui analisis geografis melalui gambar-gambar petanya (de
Abreu & Filho, 2012).Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem
informasi yang dapat memadukan antara data grafis dengan data teks (atribut)
objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference) (Sholikhatun,
2011). Di samping itu, Sistem Informasi Geografi ini juga dapat menggabungkan
data, mengatur data dan melakukan analisis data. Untuk selanjutnya menghasilkan
output yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah
geografi. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan terjemahan dari
Geographical Information Sistem (GIS).

Universitas Sriwijaya
13

Geographic Information System (GIS) adalah suatu system informasi yang


dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sitem basis data dengan
kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial)
bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Sedangkan menurut Riyanto (2009)
Sistem Informasi geografi adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan
antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan
secara geografis di bumi (georeference). Disamping itu, SIG juga dapat
mehubungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya
akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan
keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Sistem Informasi
Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem manual (analog),dan system
otomatis (yang berbasis digital computer). Perbedaan yang paling mendasar
terletak pada cara pengelolaanya. Sistem Informasi manual biasanya
menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang
susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survey lapangan
kesemua data tersebut sikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa
computer. Sedangkan sistem informasi Geografis otomatis telah menggunakan
komputer sebagai system pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data
digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang
terdigitasi.Data lain dapat berupa peta dasar terdigitasi (Pakereng, 2004).

2.4.1. Tugas Utama Sistem Informasi Geografis (SIG)


Berdasarkan desain awalnya tugas utama SIG adalah untuk melakukan
analisis data spasial. Dilihat dari sudut pemrosesan data geografik, SIG bukanlah
penemuan baru. Pemrosesan data geografik sudah lama dilakukan oleh berbagai
macam bidang ilmu, yang membedakannya dengan pemrosesan lama hanyalah
digunakannya data digital. Adapun tugas utama dalam SIG adalah sebagai
berikut:
a) Input Data, sebelum data geografis digunakan dalam SIG, data tersebut harus
dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk digital. Proses konversi data dari
peta kertas atau foto ke dalam bentuk digital disebut dengan digitizing. SIG

Universitas Sriwijaya
14

modern bisa melakukan proses ini secara otomatis menggunakan teknologi


scanning.
b) Pembuatan peta, proses pembuatan peta dalam SIG lebih fleksibel
dibandingkan dengan cara manual atau pendekatan kartografi otomatis.
Prosesnya diawali dengan pembuatan database. Peta kertas dapat didigitalkan
dan informasi digital tersebut dapat diterjemahkan ke dalam SIG. Peta yang
dihasilkan dapat dibuat dengan berbagai skala dan dapat menunjukkan
informasi yang dipilih sesuai dengan karakteristik tertentu.
c) Manipulasi data, data dalam SIG akan membutuhkan transformasi atau
manipulasi untuk membuat data-data tersebut kompatibel dengan sistem.
Teknologi SIG menyediakan berbagai macam alat bantu untuk memanipulasi
data yang ada dan menghilangkan data-data yang tidak dibutuhkan.
d) Manajemen file, ketika volume data yang ada semakin besar dan jumlah data
user semakin banyak, maka hal terbaik yang harus dilakukan adalah
menggunakan database management system (DBMS) untuk membantu
menyimpan, mengatur, dan mengelola data
e) Analisis query, SIG menyediakan kapabilitas untuk menampilkan query dan
alat bantu untuk menganalisis informasi yang ada. Teknologi SIG digunakan
untuk menganalisis data geografis untuk melihat pola dan tren.
f) Memvisualisasikan hasil, untuk berbagai macam tipe operasi geografis, hasil
akhirnya divisualisasikan dalam bentuk peta atau graf. Peta sangat efisien
untuk menyimpan dan mengkomunikasikan informasi geografis. Namun saat
ini SIG juga sudah mengintegrasikan tampilan peta dengan menambahkan
laporan, tampilan tiga dimensi, dan multimedia (Haryanto, 2004).

2.4.2. Macam-Macam Data Dalam Sistem Informasi Geografis


Data dalam SIG terdiri dari dua jenis data, yaitu data spasial dan data
atribut.
1. Data Spasial
Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi obyek di
bumi. Data spasial pada umumnya berdasarkan peta yang berisikan interprestasi
dan proyeksi seluruh fenomena yang berada di bumi. Fenomena tersebut berupa

Universitas Sriwijaya
15

fenomena alamiah dan buatan manusia. Pada awalnya, semua data dan informasi
yang ada di peta merupakan representasi dari obyek di muka bumi. Pemanfaatan
data spasial semakin meningkat setelah adanya teknologi pemetaan digital dan
pemanfaatannya pada Sistem Informasi Geografis (SIG). Format data spasial
dapat berupa vector (polygon, line, points) maupun raster (Ningsih, 2016)
Salah satu syarat SIG adalah data spasial, yang dapat diperoleh dari beberapa
sumber antara lain :
1. Analog
Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah dan sebagainya) yaitu peta
dalam bentuk cetak. Pada umumnya peta analog dibuat dengan teknik kartografi,
kemungkinan besar memiliki referensi spasial seperti koordinat, skala, arah mata
angin dan sebagainya.
2. Data Penginderaan Jauh adalah,
Data Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto-udara dan sebagainya),
merupakan sumber data yang terpenting bagi SIG karena ketersediaanya secara
berkala dan mencakup area tertentu. Dengan adanya bermacam-macam satelit di
ruang angkasa dengan spesifikasinya masing-masing, kita 8 memperoleh berbagai
jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya
direpresentasikan dalam format raster.
3. Data Hasil Pengukuran Lapangan adalah,
Data pengukuran lapangan yang dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan
tersendiri, pada umumnya data ini merupakan sumber data atribut contohnya:
batas administrasi, batas kepemilikan lahan, batas persil, batas hak pengusahaan
hutan dan lain-lain.
4. Data GPS (Global Positioning System)adalah,
Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan data bagi
SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan berkembangnya
teknologi. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format vektor.Komponen
utama dari analisis spasial ini adalah theme grid. Theme grid adalah layer
geografis yang menampilkan kenampakan objek dalam bentuk segi empat (sel)
pada view. Setiap sel atau piksel menyimpan nilai numerik yang mengekspresikan
informasi geografis yang diwakili. Tergantung dari informasi yang diwakili, nilai

Universitas Sriwijaya
16

theme grid dapat berupa bilangan bulat (integer) atau tidak (floating). Theme grid
yang menyimpan nilai integer dapat di-link dengan tabel. Sel yang mempunyai
nilai sama akan memiliki nilai atribut yang sama.
Perbedaan antara objek shapefile (feature) yang berbasis vektor dan grid yang
berbasis raster.

2. (B)
Gambar 1. Feature Gambar 2. Grid
Hasil desain basis data spasial memberikan arah-an tentang data-data apa saja
yang perlu dikumpulkan dan ke mana data itu seharusnya dicari. Instansi-instansi
tertentu telah didirikan yang bertugas untuk penyedia data. Peta-peta itu
selanjutnya dibedakan berdasarkan areal kajian dan skala dan seiring waktu
jumlahnya cenderung terus bertambah.(Sulaeman, 2015)

5. Data Atribut
Data atribut merupakan data yang mempresentasikan aspek-aspek
deskripsi/penjelasan dari suatu fenomena di permukaan bumi dalam bentuk kata-
kata, angka, atau tabel. Data atribut berfungsi untuk menggambarkan gejala
topografi karena memiliki aspek deskriptif dan kualitatif. Oleh karena itu, data
atribut sangat penting dalam menjelaskan seluruh objek geografi. Contohnya,
atribut kualitas tanah terdiri atas status kepemilikian lahan, luas lahan, tingkat
kesuburan tanah dan kandungan mineral dalam tanah. Data atribut bisa berupa

Universitas Sriwijaya
17

data kuantitatif (angka) seperti data jumlah penduduk dan dapat berupa data
kualitatif (mutu) seperti data tingkat kesuburan tanah.

2.4.3.Manfaat Aplikasi SIG


Lahan yang luas dan subur dengan kualitas sumber daya manusia yang
berpikiran maju merupakan faktor pendukung utama. Sedangkan faktor
pembatasnya yang umum dijumpai adalah kurangnya informasi dan data yang
akurat tentang kondisi sumber daya alam, dimana hal tersebut merupakan
instrument yang sangat penting dalam perencanaan pembangunan. Pertanian di
Indonesia sampai saat ini belum berpengaruh nyata dalam meningkatkan
produksi pertaniannya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya data dan informasi
yang tepat tentang kondisi lahan yang ada dan juga perencanaan yang kurang
matang dalam mengambil keputusan.
Penggunaan teknologi yang berbasis komputer untuk mendukung
perencanaan pertanian mutlak diperlukan untuk menganalisis, memanipulasi dan
menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan keruangan. Salah satu teknologi
yang memiliki kemampuan tersebut adalah SIG (Sistem Informasi Geografis)
dimana sistem ini mampu membuat model yang memberikan gambaran,
penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual.
Adapun manfaat adanya SIG untuk pertanian terutama bidang agribisnis
adalah memberikan pedoman dan arahan dalam pemilihan jenis tanaman yang
dapat berproduksi optimal yang sesuai dengan kondisi lahan yang ada agar hasil
yang diperoleh memuaskan dan dapat dijadikan komoditi ekspor. Manfaat lainnya
adalah mendorong peningkatan produktifitas sektor pertanian di Indonesia,
memberikan pedoman dan arahan bagi petani untuk memilih komoditas sehingga
kegagalan dan kerugian panen dapat dihindari dan juga dengan adanya SIG ini
dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi bagi para investor untuk menanamkan
modalnya di sektor ini untuk menuju organic farming trade.

2.4.4. Sumber Data Sistem Informasi Sumberdaya Lahan


Input data merupakan proses memasukkan data ke dalam SISL yang berasal
dari berbagai sumber. Dalam membangun sistem informasi sumberdaya lahan,

Universitas Sriwijaya
18

input data merupakan pekerjaan yang paling banyak memakan waktu dan biaya.
Bernhardsen (1992) dan Demers (1997) memperkirakan sekitar 60 – 80 % waktu
dan biaya membangun SISL digunakan untuk mengumpulkan data dan input data.
Weir (1991) menguraikan beberapa sumber data dan cara input data SIG sebagai
berikut.
a. Peta
Peta-peta yang telah ada baik itu peta dasar ataupun peta tematik dapat
digunakan sebagai sumber data dalam SIG. Peta dalam bentuk visual harus
dikonversi ke dalam bentuk digital baik melalui proses digitasi ataupun scanning.
Digitasi peta akan menghasilkan data grafis berformat vektor, sedangkan scanning
peta menghasilkan data grafis berformat raster.

Gambar 3. Sebaran rawa di Indonesia

b. Data Penginderaan Jauh


Produk penginderaan jauh baik berupa foto udara ataupun citra satelit
merupakan sumber data yang penting dalam SIG. Citra satelit dengan perekaman
ulang daerah yang sama (resolusi temporal) yang tinggi sangat baik digunakan
untuk monitoring perubahan kondisi permukaan bumi seperti kebakaran hutan,
banjir, penebangan hutan, pencemaran, pembuangan limbah ke laut dan
sebagainya.

Universitas Sriwijaya
19

Gambar 4. lokasi rawa menggunakan citra satelit

c. Survey lapang
Data hasil survei lapang yang dilengkapi dengan koordinat geografis dapat
digunakan sebagai inputan data SIG. Misalnya dengan menggunakan GPS (Global
Position System) dapat diketahui posisi geografis dari berbagai objek seperti
stasiun curah hujan, lokasi pengambilan sampel (air, tanah, tanaman, dll.) di
lapangan, dan sebagainya.

d. Computer Aided Design (CAD)


Data yang dibuat pada program grafis lain seperti Autocad dapat diimport
untuk menjadi bagian dari data SIG. Penambahan koordinat geografis pada data
yang bersumber dari CAD dilakukan melalui proses regestrasi data.

e. Data tabular lainnya (Data statistik, hasil penelitian, dll.)


Data tabular dari berbagai sumber dapat digabungkan ke dalam data SIG
yang lain melalui manajemen database relasional.

2.5. Evaluasi Sumber Daya Lahan Rawa


Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Inti
evaluasi adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan
lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki
oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi

Universitas Sriwijaya
20

lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan


tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Dalam evaluasi kesesuaian lahan terdapat faktor penghambat, faktor
penghambat terdiri atas ketersediaan air, ketersediaan oksigen, bahaya erosi, serta
kondisi perakaran. Faktor pembatas ketersediaan air dapat diatasi dengan
pemberian mulsa (Nurdin, 2011).
Pengelolaan sumberdaya Daerah Rawa harus dilakukan tepat dengan
memanfaatkan data yang kontinyu dan teknologi yang mampu menggambarkan
wilayah, potensi sumberdaya rawa dengan baik. Pemanfaatan Sistem Informasi
Geografi (SIG) merupakan salah satu cara untuk mengelola sumberdaya rawa
dengan data yang kontinyu dan sebaran spasial yang bisa menampilkan secara
sederhana bentuk dan potensi sumberdaya rawa. Secara sederhana SIG dapat
memetakan kondisi sumberdaya rawa sehingga dapat dipantau kondisinya.
Salah satu aplikasi Sistem Informasi Geografis yang banyak digunakan
adalah dalam kajian pemetaan dan analisis kesesuaian lahan. Oleh karena itu
bidang aplikasi SIG untuk analisis dan pemetaan lahan merupakan aplikasi yang
bisa dianggap tertua. Dengan kondisi tersebut maka berbagai pembahasan,
diskusi, kajian dan penelitian penerapan Sistem Informasi Geografis untuk
analisis dan pemetaan kesesuaian lahan banyak dijumpai dalam berbagai sumber
pustaka. Dari berbagai pustaka tersebut nampak bahwa telah dan sedang terdapat
perkembangan mengenai teknik dan metode dalam analisis kesesuaian lahan,
mulai dari yang sederhana seperti dikemukakan oleh McHarg (1966) sampai
dengan penerapan Multicriteria Evaluation (Pereira dan Duckstein, 1993).
Perkembangan teknik dan metode analisis kesesuaian lahan tidak hanya terjadi
pada metode analisis kesesuaian lahan, tetapi juga pada teknik analisis yang
digunakan. Salah satu teknik analisis yang digunakan yang sering digunakan
adalah Sistem Informasi Geografis (SIG). Menurut ESRI (1999) SIG merupakan
sekumpulan perangakt keras, perangkat lunak, data dan manusia yang digunakan
untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan datadata yang teracu secara
geografis. Penggunaan SIG untuk anaisis kesesuaian lahan sangatlah beralasan
mengingat data-data karakteristik dan kualitas lahan adalah data-data keruangan
(spatial) artinya data-data yang menempati ruang di permukaan bumi.

Universitas Sriwijaya
21

Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk analisis dan pemetaan kesesuaian


lahan telah banyak dijumpai, dan beragam tekanik analisis dalam SIG juga telah
banyak digunakan. Dari berbagai studi juga nampak bahwa pemilihan teknik
analisis SIG yang digunakan sangatlah tergantung pada beberapa faktor : (a)
tujuan evauasi kesesuaian lahan; (b) daerah yang dikaji; (c) keberadaan software
dan harware serta (d) keberadaan data dan informasi yang digunakan serta (e)
kemampuan sumberdaya manusia di dalam menggunakan data dan informasi
untuk analisis kesesuaian lahan. Teknik analisis yang digunakan dalam SIG
sangat beragam dan pemilihan teknik analisis yang digunakan akan sangat
menentukan akurasi dari hasil analisis yang digunakan. Oleh karena itu, pemiihan
teknik analisis seharusnya memiliki pertimbangan yang matang mengenai
kelemahan dan keunggulan setiap teknik anaisis tersebut. Disamping itu, berbagai
isu yang berhubungan dengan pemilihan struktur data dalam SIG sangatlah
penting. Struktur data (raster atau vektor) merupakan cara merepresentasikan data
keruangan dari fenomena yang ada di permukaan bumi.

Universitas Sriwijaya
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Adapun Kesimpulan yang dapat diberikan yaitu:
1. Sistem informasi geografis adalah suatu sistem informasi yang berbasis
komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki
informasi spasial (bereferensi keruangan).
2. Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat digunakan untuk menggabungkan data,
mengatur data dan melakukan analisis data.
3. Lahan rawa lebak termasuk ekologi lahan basah (wetland) yang dicirikan oleh
suasana genangan dalam waktu yang panjang,bentuk wilayah yang menyerupai
cekungan dengan dasar yang luas dengan drainase yang jelek.
4. Pengelolaan air pada lahan lebak dangkal dan tengahan dapat dikembangkan
melalui pembuatan saluran air di dalam petakan lahan
5. Sumber daya lahan adalah sumber daya alam yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia sumber daya lahan diperlukan dalam setiap
kegiatan manusia

3.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam pembuatan paper ini yaitu semoga
tulisan ini dapat menginspirasi orang-orang untuk lebih belajar memahami Sistem
Informasi Geografis (SIG).

22 Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi dan I. Las. 2006. Inovasi teknologi pengembangan pertanian lahan rawa
lebak. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terpadu, Banjarbaru,
28-29 Juli 2006. hlm. 21-36.

Agustina, Sholikhatun, 2011. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Pemetaan


Harga Lahan di Kecamatan Jetis Kota Yogyakarta. Tugas Akhir. Sekolah
Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam


Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, 6(2): 71-101.

Djafar, Z.R. 1992. Potensi Lahan Lebak untuk Pencapaian dan Pelestarian
Swasembada Pangan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan
Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada
Pangan, Palembang 23-24 Oktober 1991.

Djafar, Z. R.. (2013) “Kegiatan Agronomis untuk Meningkatkan Potensi Lahan


Lebak menjadi Sumber Pangan,” 2(1), hal. 58–67.

Effendi, D. S., Abidin, Z. dan Prastowo, B. (2013) “Model Percepatan


Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Lebak Berbasis Inovasi Acceleration
of Swamp Land Development Based on Innovation.”

Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan


Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Haryanto, Bambang. 2004. Sistem Manajemen Basisdata (Permodelan,


Perancangan dan Terapannya). Informatika: Bandung

Fahmi, A. dan N. wakhid (2018) “Karakteristik lahan rawa,” (November).

Juhadi (2007) “Pola-Pola Pemanfaatan Lahan Dan Degradasi Lingkungan Pada


Kawasan Perbukitan,” 4.

Kartawisastra, S. dan Survey, S. (2018) “Peluang Pemanfaatan Sumberdaya


Lahan untuk Meningkatan Produksi Pangan di Pulau Flores , Nusa Tenggara
Timur,” (March).

Kodir, K. A. dan Juwita, Y. (2016) “Inventarisasi dan Karakteristik Morfologi


Padi Lokal Lahan Rawa di Sumatera Selatan ( Morphological
Characterization and Inventory of Local Wetland Rice Collected from South
Sumatra Province ),” 22(2), hal. 101–108.

23 Universitas Sriwijaya
24

Najiyati, S., A. Asmana., I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di


Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia.
Wetlands Intl.- Indonesia Prog. dan Wildlife Habitat Canada. Bogor

Ningsih, D. H. U. (2016) “Pemanfaatan Analisis Spasial untuk Pengolahan Data


Spasial Sistem Informasi Geografi Pemanfaatan Analisis Spasial untuk
Pengolahan Data Spasial,” 10(March), hal. 108–116.

Nurdin. 2011. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Pisang di


Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Jurnal Ilmiah Agropolitan Volume 4
Nomor 2 September 2011. Gorontalo.

Penelitian, B. et al. (2005) “Karakteristik Buah Pisang Lahan Rawa Lebak


Kalimantan Selatan serta Upaya Perbaikan Mutu Tepungnya,” 15(2), hal.
140–150.

Ratmini, S. dan H. (2014) “Peningkatan Pendapatan Petani Padi Melalui


Pendekatan Ptt Di Lahan Lebak Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan,” 16,
hal. 45–52.

Riyanto. 2009. Pengembangan Sistem Informasi Geografis Berbasis Web dan


Dekstop. : Gava Media

Sudana, W. (2009) “Potensi dan prospek lahan rawa sebagai sumber produksi
pertanian,” hal. 141–151.

Sulaeman, Y. dkk (2015) “Sistem Informasi Sumberdaya Lahan Pertanian


Indonesia: Status Terkini dan Arah Pengembangan ke Depan,” Jurnal
Sumberdaya Lahan, Vol. 9(12)(iii), hal. 121–140.

Tambunan, Sri Wahyuni, F. dan P. M. (2013) “Kajian Sifat Kimia Tanah,


Pertumbuhan Dan Produksi Padi Pada Tanah Sulfat Masam Potensial
Akibat Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit Dan Pupuk SP-
36,” 1(4), hal. 1391–1401.

Waluyo,. Alkasuma , Susilawati, S. (2012) “Inventarisasi Potensi Daya Saing


Spasial Lahan Rawa Lebak untukPengembangan Pertanian di Sumatera
Selatan Spatial Inventory of Potential Competitiveness Swamp Land for
Agricultural Development in South Sumatra,” 1(1), hal. 64–71.

Waluyo, S. dan S. (2008) “Fluktuasi Genangan Air Lahan Rawa Lebak Dan
Manfaatnya Bagi Bidang Pertanian Di Ogan Komering Ilir,” 3(2), hal. 57–
66.

Worosuprojo, Suratman. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berbasis Spasial


Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas
Geografi. Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai