OLEH
KELOMPOK III
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL MAKALAH i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Epistemologi
B. Aliran-aliran dalam Epistemologi
C. Metode Ilmiah
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dan kehidupan manusia. Filsafat berperan
dalam memecahkan permasalahan realitas dengan berbagai masalah yang
dipikirkan manusia. Sesuai fungsinya, filsafat sebagai langkah awal untuk
mengetahui segala pengetahuan, filsafat mempermasalahkan hal-hal yang pokok,
apabila terjawab masalah yang satu maka akan mulai merambah pada
permasalahan selanjutnya.
Hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan
yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang
lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian
menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Dalam mempelajari filsafat ilmu terdapat istilah “Epistemologi” Yang
merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya,
semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang
berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori
baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat
lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring
dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
dunianya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini
yaitu :
1. Apa hakikat epistemologi?
2. Apa saja aliran-aliran yang terdapat dalam epistemologi?
3. Bagaimana metode ilmiah dalam epistemologi?
C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui hakikat epistemologi.
2. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam epistemologi.
3. Untuk mengetahui metode ilmiah dalam epistemologi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Epistemologi
Secara etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yang
berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat
episteme berarti pengetahuan; sedangkan logos berarti teori, uraian atau ulasan.
Epistimologi memiliki banyak pengertian yang telah diungkapkan oleh para ahli
untuk dijadikan sebagai dasar untuk dapat memahami apa itu sebenarnya
epitemologi. Secara mudahnya epitemologi juga disebut sebagai teori
pengetahuan. Pengetahuan sendiri memiliki artian yaitu sebuah usaha yang
dikerjakan secara sadar, baik itu dalam tahap proses atau pengambilan kesimpulan
mengenai suatu kebenaran. Dalam kajian ini kebenaran lebih dari sebuah
eksistensi, mengingat banyak kemungkinan pendapat yang timbul mengenai suatu
objek yang dikaji dalam filsafat.
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia
yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern.
Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat
yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber
pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah
mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.
Pengetahuan (persepsi) secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama,
konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran),
yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan
dengan penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq
dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari
matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu
dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya karena
konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan
tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.
3
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring
ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut
Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia
empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa,
bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi. Epistemologi itu sendiri
selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan utama yang
dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek
ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses
apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan
keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan
kebaikan moral.
4
macam. Dari segi hakikat pengetahuan empirisme berpendirian bahwa
pengetahuan berupa pengalaman (Sudaryanto, 2013: 39).
Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indra, kata seorang penganut
empirisme. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada
waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang
kosong (tabula rasa) dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-
pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan
jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari
pengindraan dan refleksi yang pertama-tama dan sederhana tersebut (Kattsoff,
2004: 133).
Tokoh-tokoh empirisme diantaranya adalah, John Locke, Berkeley, David
Huston, Thomas Hobbes, dan yang lainnya.
2. Rasionalisme
3. Fenomenologi
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert
(1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala
5
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan
objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya
sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran yakni suatu pemaparan dialektis
perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya
dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau
gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan
mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan
manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Berangkat dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1938), bahwa obyek ilmu
pengetahuan tidak hanya terbatas pada empirik, tetapi mencakup fenomena yang
bersifat persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di
luar subyek dan ada sesuatu yang bersifat transenden.
Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi
kita harus ingat bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai
metoda. Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu
untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi
deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap
struktur yang pokok dari benda tepat seperti yang nampak. Fenomenologis
memperhatikan benda-benda yang konkrit, bukan dalam arti yang ada dalam
kehidupan sehari-hari, akan tetapi ada struktur yang pokok dari benda-benda
tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita karena kesadaran
kita adalah ukuran pengalaman. (Titus, 1984: 399).
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah
ilmu yang mempelajari fenomen-fenomen yang atau apa saja yang nampak.
Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Tokoh-tokohnya, Edmund Husserl, Max
Scheler, dan Maurice Merlean-Ponty.
6
4. Intuisionisme
5. Positivisme
6. Skeptisisme
7
didalam interaksi diantara mereka itu tidak tercapai kesepakatan, maka timbullah
masalah baru yaitu mengenai patokan kesepakatan. Bahkan selanjutnya sementara
sampai kepada kesimpulan untuk meragukan adanya kepastian dan ukuran
kebenaran. Dari situlah timbul istilah skeptisisme yaitu aliran atau sistem
pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental
dan universal (Pranarka, 1987: 95).
7. Agnotisisme
8. Objektivisme
8
manusia. Ini mengingatkan kita kepada paradoks antara kaum Sofis dan Sokrates
pada zaman Yunani kuno.
Basman (2009:34) juga menguraikan argumen objektivisme.
Menurutnya Argumen objektivisme mencakup penolakan terhadap metode
pemikiran subyektivisme dan penggunaan kata ide secara lebih positif. Asumsi
bahwa terdapat alam realitas adalah lebih baik dan lebih memadai dari asumsi
lain. Asumsi tersebut sesuai dengan pengalaman hidup kita sekarang dan
pemahaman kita terhadap proses pemikiran.
Karl R. Popper, dalam Chalmers (1982:128) mengemukakan pendapatnya
tentang objektivisme yang disadur dari buku Objective Knowledge. Popper
mengatakan bahwa :
“Pengetahuan atau fikiran dalam pengertian objektif, terdiri dari problema-
problema, teori-teori, dan argumen-argumen itu sendiri. Pengetahuan dalam
pengertian objektif ini sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk
mengetahuinya; ia pun terlepas dari keyakinan seseorang atau kecenderungan
untuk menyetujuinya atau untuk berlakukannya atau untuk bertindak.
Pengetahuan dalam pengertian objektif ini adalah pengetahuan tanpa orang: ia
adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.”
9. Subjektivisme
Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui
dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran
kita terhadapnya. Realitas terdiri atas kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut,
walaupun tidak harus kesadaran kita dan keadaan akal kita (Titus, 1984: 218).
10. Fenomenalisme
9
mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai
pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau
menembus pengalaman (Kattsoff, 1987: 138).
Jika orang membayangkan berupa apakah suatu rasa bersahaja dengan suatu
bunyi yang kasar, maka jelaslah bahwa data indra yang murni tidaklah berupa
pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya, rasa
menekan yang bersahaja dengan bunyi yang kasar untuk memperoleh fakta bahwa
tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah
suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan
tidak dialami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan
(Kattsoff, 1987: 138).
Dapat kita simpulkan bahwa fenomenalisme adalah aliran atau paham yang
menganggap bahwa fenomenal (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala, berbeda dengan seorang
ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta
membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti.
Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi
yang langsung.
11. Pragmatisme
10
12. Scientisme
Scientisme adalah suatu paham bahwa pernyataan ilmu saja yang benar
dimana selain ilmu tidak memiliki arti. Kadang kata ini digunakan oleh sosiolog
seperti Friedrich Hayek atau filsuf seperti Karl Popper yang kadang digunakan
untuk merujuk pada perkembangan ilmu alam yang condong menjadi
ideologi. Scientisme bisa mengacu pada penggunaan yang salah dari ilmu
pengetahuan atau pemikiran bahwa metode atau kategorisasi dari filsafat alam
membentuk satu-satunya metode yang sah dalam filsafat atau bidang pengetahuan
yang lain dan scientisme bisa memiliki jangkauan makna yang banyak.
Dalam scientisme kebenaran yang dianut adalah kebenaran ilmiah. Kebenaran
ilmiah ini mengalahkan kebenaran lainnya, bahkan (dalam versi yang kuat)
kebenaran lain dianggap tidak bermakna. Sayangnya Scientisme ini sendiri
memiliki kelemahan yang fatal. Kelemahan itu adalah bahwa Scientisme sendiri
menghancurkan dirinya sendiri.
Pernyataan mengenai kebenaran scientisme sendiri tidak berasal dari suatu
pengetahuan ilmiah. Ini menyebabkan andai saja Scientisme benar maka dia bisa
jadi dengan sendirinya membatalkan dirinya karena pernyataan dasar kebenaran
Scientisme tidak didukung kebenaran ilmiah.
Menurut scientisme, ilmu empiris hanyalah satu-satunya sumber pengetahuan
(scientisme kuat) atau lebih moderat (scientisme lemah) sumber terbaik dari
kepercayaan rasional tentang sesuatu adalah ilmu empiris. Kadang
tuduhan scientisme dikaitakan dengan New Atheistseperti Richard Dawkins dan
Sam Harris. Sam harris berpendapat untuk mendekati pertanyaan-pertanyaan etis
dan spiritual dengan pendekatan ilmiah. Dawkin bersikeras bahwa keberadaan
kecerdasan-kreatif super adalah pertanyaan ilmiah.
13. Anti-Intelektualisme
11
dapat dikatakan bahwa gerakan ini mengajukan suatu slogan pemikiran: bukan
manusia untuk pengetahuan tetapi pengetahuan untuk manusia. Suasana yang
terjadi sebelumnya dipandang sebagai jalan yang telah menyimpang karena telah
membuat pengetahuan keluar dari konteks dasarnya yaitu manusia (Pranarka,
1987: 101).
Anti-intelektualisme kontemporer ini merupakan suatu reaksi terhadap
arusnya aliran-aliran yang partial sifatnya namun mengajukan claim yang sifatnya
mutlak dan sebagai sistem yang sifatnya final dan total secara deterministik. Maka
itu gerakan anti-intelektualisme juga merupakan suatu gerakan yang sifatnya anti-
absolutisasi, anti-determinisme, dan kadang-kadang juga menjadi gerakan
yang anti-sistem (Pranarka, 1987: 101).
14. Fallibilisme
12
dalam filsuf-filsuf kuno. Seorang yang akrab dengan prinsip ini adalah Karl R
Popper yang membangun teori pengetahuannya yaitu rasionalisme kritis dari
presupposisi falibilisme. Digunakan juga oleh WVO Quine untuk menyerang di
antaranya perbedaan antara pernyataan analitis dan sintesis.
Dalam fallibilisme sesuatu dianggap tidak mutlak benar dan bisa salah.
Karenannya suatu pengetahuan itu meragukan terutama pada ilmu empiris. Dalam
ilmu empiris sesuatu fakta baru bisa membatalkan sebuah teori lama dan karena
fakta baru itu belum muncul maka bisa jadi pengetahuan sekarang salah. Dari
contoh tersebut maka seharusnya bidang yang tidak memerlukan penelitian
empiris seperti matematika dan logika lebih pasti karena tidak harus melakukan
pengamatan empiris. Namun ada juga yang meragukan matematika dan logika, ini
disebabkan walaupun mereka tidak melakukan pengamatan empiris namun
kesalahan manusia masih bisa terjadi.
Perlu diingat bahwa teori kritis adalah sebuah gerakan intelektual yang
dilakukan bersama-sama oleh sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah
tertentu. Pengertian “kritik” dimaksudkan sebagai kritis terhadap ajaran-ajaran
dibidang sosial yang ada pada saat itu dan juga kritis terhadap keadaan
masyarakat pada saat itu yang sangat memerlukan perubahan radikal. Nama ini
dipopulerkan oleh Max Horkheimer. (Listiyono, 2003: 97) lebih lanjut ia
mengatakan kata “kritik” disini harus dimengerti dalam arti kritis terhadap ajaran-
ajaran dibidang sosial yang terdapat pada saat itu (termasuk Marxisme ortodox)
serentak juga dalam arti kritis terhadap keadaan masyarakat pada saat itu yang
memerlukan perubahan radikal.
C. Metode Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal dari kata Yunani meta yang berarti
sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi, metode berarti langkah-langkah yang
diambil, menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan yang benar yaitu
13
suatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam proses
memperoleh pengetahuan jenis apa pun, baik pengetahuan humanistik dan
historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatumyang mempunyai langkah-langkah yang sistematis
(Suriasumantri, 2009, p. 119).
Metodologi adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi inilah yang
disebut dengan epistemologi di dalam filsafat. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah
sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup
pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan?
Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?
Metode ini perlu agar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran objektif dan
dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode ilmiah, kedudukan pengetahuan
berubah menjadi ilmu pengetahuan yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas
lingkupan studinya.
Pada dasarnya, di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin
apapun, baik ilmu-ilmu humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam, masing-
masing menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung
pada jenis, sifat dan bentuk objek materi dan objek forma (tujuan) yang tercakup
di dalamnya pendekatan (approach), sudut pandang (point of view), tujuan dan
ruang lingkup (scope) masing-masing disiplin itu (Suparlan Suhartono, 2008, p.
71).
Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan
begitu, diharapkan pengetahuan yang dihasilkan memiliki ciri-ciri tertentu yang
memenuhi kriteria pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji yang
memungkinkan pengetahuan yang dihasilkan benar-benar dapat diandalkan.
14
Dalam hal ini maka metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan
induktif.
Berpikir deduktif memberikan sifat rasional atau bertumpu pada akal.
Dengan metode ini maka pengetahuan yang dihasilkan akan sejalan dengan
prinsip-prinsip yang ada pada akal, yaitu koheren dan konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya. Ilmu mencoba memberikan penjelasan rasional kepada
objek yang ditelaah. Dikarenakan ada banyak premis yang digunakan untuk
membangun sebuah bangunan ilmu dari sisi berpikir deduktif maka diperlukan
adanya berpikir induktif.
Teori korespondensi mengatakan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap
benar sekiranya materi yang terkandung sesuai dengan objek faktual yang dituju.
Atau dapat dikatakan bahwa suatu pernyataan bisa dianggap banar bila didukung
dengan fakta empiris. Penemuan ilmiah akan sangat berguna di saat kita
menemukan sesuatu yang belum diuji secara empiris.
Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Hal itu memunculkan pertanyaan mengapa manusia mulai
mengamati sesuatu? Bila ditelaah ternyata manusia mulai mengamati sesuatu bila
manusia tersebut memberikan perhatian tertentu terhadap sesuatu. Hal ini oleh
John Dewey disebut dengan masalah yang menimbulkan pertanyaan. Akhirnya
disimpulkan bahwa proses berpikir dimulai oleh manusia ketika ia mempunyai
suatu masalah atau pertanyaan.
Masalah ini akan dicari pemecahan masalah atau jawabannya melalui
langkah-langkah tertentu yang nantinya akan penulis uraikan pada langkah-
langkah metode ilmiah. Sekarang, sesungguhnya apa hubungan metode ilmiah
dengan ilmu yang ilmiah. Ilmu sendiri adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai
segi kenyataan dalam alam manusia. Sedangkan ilmiah adalah suatu hal yang
bersifat keilmuan/sains (pemahaman tentang sesuatu yang dapat diterima secara
logika/pikiran/penalaran). Sedangkan ilmu yang ilmiah adalah ilmu yang
diperoleh dan dikembangkan dengan mengolah atau memikirkan realita yang
berasal dari luar diri manusia secara ilmiah yakni dengan menerapkan metode
15
ilmiah. Perlu juga dipahami bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan.
Pengetahuan menurut Jujun S. Sumantri adalah segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu. Jadi, ilmu lebih sempit
daripada pengetahuan. Pengetahuan bisa mencakup seni, agama, ilmu, dsb.
Ilmu selanjutnya dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk.
Sebagai proses, ilmu berwujud penelitian. Sebagai prosedur, ilmu ada dalam
metode ilmiah. Sedangkan dalam hal produk, ilmu adalah pengetahuan yang
tersusun secara sistematis. (The Liang Gie, 1991, p. 90).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ilmu ilmiah didapatkan melalui
suatu proses yang disebut metode ilmiah yang mana diawali dengan pertanyaan
atau masalah yang muncul dari alam manusia atau hal-hal empiris yang
diperhatikan oleh manusia.
Metode ilmiah memiliki beberapa sifat, yaitu: logis atau masuk akal,
objektif, sistematis, andal, dirancang, akumulatif.
16
prosedural, tata langkah, teknik dan instrumen harus benar-benar valid.
Maksudnya adalah semuanya sesuai dengan ilmu apa yang akan dihasilkan.
Misalnya adalah ilmu psikologi. Apakah ada hubungan antara motivasi belajar
dengan prestasi siswa. Maka pola prosedural yang dipilih adalah pengamatan
dengan mengamati keseharian dalam hal belajar, apa saja bentuk motivasi yang
membuatnya semangat dalam belajar. Lalu juga mengamati hasil belajar untuk
mengetahui bagaimana perkembangan prestasinya dari semester sebelumnya.
Untuk tata langkah tentunya dimulai dengan menentukan masalah (apakah ada
hubungan antara motivasi belajar siswa dengan prestasi siswa?), lalu hipotesis
(Ada hubungan antara motivasi belajar siswa dengan prestasi siswa), dilanjutkan
dengan mengumpulkan data dari observasi, angket, wawancara. Lalu disimpulkan.
Untuk teknik dapat digunakan wawancara, angket, observasi, dan dokumentasi.
Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi,
angket, dokumentasi.
17
berangkat dari kenyataan-kenyataan semesta yang pada akhirnya menuju sebuah
kesimpulan atau generalisasi dari semua kenyataan-kenyataan semesta tersebut.
Metode deduktif merupakan metode ilmiah yang diterapkan dalam penelitian
kuantitatif. Dalam metode ini teori ilmiah yang sudah diterima kebenarannya
dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya. Sedangkan metode
induktif merupakan metode yang diterapkan dalam penelitian kualitatif. Penelitian
dimulai dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan sebuah teori.
Suriasumantri menegaskan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan
proses metode deduktif pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut: 1) Perumusan Masalah, 2) Penyusunan kerangka berpikir ilmiah, 3)
Perumusan hipotesis, 4) Pengujian Hipotesis, 5) Penarikan kesimpulan.
Sedangkan metode induktif diterapkan dalam penelitian kualitatif. Metode
induktif memiliki dua macam tahapan, yaitu umum dan siklikal. Secara umum
metode induktif memiliki 3 tahapan, yaitu: 1) pra lapangan, 2) pekerjaan
lapangan, 3) analisis data. Sedangkan untuk siklikal memiliki 7 langkah yaitu: 1)
Pengamatan deskriptif, 2) analisis domain, 3) pengamatan terfokus, 4) analisis
taksonomi, 5) pengamatan terpilih, 6) analisis komponen, 7) analisis tema
(Kuntjojo, 2009, p. 31).
18
3) Mempermasalahkan keberlakuan suatu teori, dalil, model di suatu tempat atau
waktu tertentu
4) Melihat tingkat kebernilaian informasi sebuah teori lalu bermaksud
meningkatkannya
5) Segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada, atau
belum dapat dijelaskan secara sempurna (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007, p.
158).
Metode ilmiah ini dimulai dengan perumusan masalah karena bila tidak ada
masalah, maka tidak akan ada pengetahuan. Sedangkan pengetahuan ilmiah
adalah sebuah pengetahuan hasil dari penyelesaian masalah-masalah ilmiah.
Ruhnya ilmu adalah problem solving (penyelesaian masalah). Berangkat dari hal-
hal tersebutlah, maka metode ilmiah dimulai dengan perumusan masalah.
b. Penyusunan kerangka berpikir
Disini dipaparkan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mugkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berpikir disusun secara rasional berdasarkan premis-
premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
c. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan. Merumuskan disini berarti membentuk sebuah proposisi deduksi
yang sesuai dengan kemungkinan dan tingkat kebenarannya. Bentuk proposisi ini
menurut tingkat hubungan (linkage) serta nilai informasi (informative value).
Kalimat proposisi mengandung tiga komponen, yaitu antiseden, konsekuen dan
depedensi.
Dua istilah pertama adalah bagian dari kalimat proposisi. Antiseden adalah
teori yang dijadiakan acuan awal untuk membentuk hipotesis, lalu konsekuen
adalah sebuah akhir dari kalimat hipotesis. Sedangkan depedensi adalah hubungan
antara antiseden dengan konsekuen tersebut. Misal hipotesis: Jika air dipanaskan
sampai suhu 100% C, maka air akan mendidih.
19
Ada syarat-syarat logika dalam menentukan hipotesis sebagai berikut:
1) Dapat menjelaskan kenyataan yang menjadi masalah dan dasar hipotesis
2) Mengandung sesuatu yang mungkin
3) Dapat mencari hubungan kausal dengan argumentasi yang tepat
4) Dapat diuji baik kebenaran maupun kesalahannya
Macam-macam hipotesis yang sering ditemui seperti berikut:
1) Hipotesis Deskriptif : menunjukkan dugaan sementara tentang bagaimana
benda atau peristiwa terjadi
2) Hipotesis Argumentasi : menunjukkan dugaan sementara tentang mengapa
benda, peristiwa, atau variabel terjadi. Konsekuen menjadi sebuah
kesimpulan dari antiseden.
3) Hipotesis Kerja : meramalkan atau menjelaskan akibat dari variabel yang
menjadi penyebabnya. Hipotesis ini menunjukkan adanya perubahan akibat
disebabkan dengan perubahan suatu variabel.
4) Hipotesis Nol : Memeriksa ketidakbenaran suatu teori, yang selanjutnya akan
ditolak menjadi bukti-bukti yang sah. Kita membuat dugaan dengan hati-hati
bahwa tidak ada hubungan yang berarti atau perbedaan yang signifikan dan
selanjutnya kita membuktikan ketidakmungkinan hipotesis ini (Soetriono dan
Rita Hanafie, 2007, p. 160).
d. Pengujian Hipotesis
Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
Pengujian hipotesis ini berarti membandingkan atau menyesuaikan (matching)
segala yang terdapat dalam hipotesis dengan data empirik. John Stuart Mills
mengajukan 3 macam metode yaitu:
1) Method of Agreement : Jika dalam dua atau lebih peristiwa pada suatu
fenomena timbul satu (dan hanya satu) kondisi yang terjadi, maka kondisi itu
dapat disimpulkan sebagai penyebab terjadinya fenomena tersebut.
2) Method of Difference : Dalam dua peristiwa terdapat perbedaan dalam
rangkaiannya (unsurnya) dan fenomena yang terjadi. Jika serangkaian
20
peristiwanya sama kecuali dalam satu faktor dimana peristiwa yang satu tidak
memilikinya dan tidak menimbulkan fenomena, maka fenomena yang terjadi
disebabkan faktor yang dimiliki perstiwa.
3) Method of Concomitant : Jika telah diketahui adanya faktor-faktor tertentu
dalam peristiwa yang menimbulkan bagian-bagian tertentu suatu fenomena,
maka bagian-bagian lain dari fenomena ini dalah akibat dari faktor-faktor
selebihnya yang terdapat dalam peristiwa-peristiwa itu (Soetriono dan Rita
Hanafie, 2007, p. 161-162).
Untuk melakukan pengujian hipotesis perlu diketahui operasionalisasi variabel
yang terkandung dalam hipotesis. Operasionalisasi variabel berarti menentukan
indikator dari variabel yang ada. Misalnya hipotesis : Jika motivasi belajar anak
meningkat, maka hasil belajar anak meningkat. Maka perlu dijabarkan terlebih
dahulu apa saja indikator dari motivasi dan juga hasil belajar agar lebih jelas dapat
diketahui hubungan antara keduanya. Keabsahan dan ketepatan penentuan
indikator ini tentunya akan mempengaruhi hasil penelitian.
e. Penarikan Kesimpulan
Selanjutnya, dilakukan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan
ditolak atau diterima. Bila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup
mendukung hipotesis maka hipotesis diterima. Namun, bila sekiranya dalam
proses pengujian tidak ada fakta yang cukup untuk membuktikan hipotesis, maka
hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima akan dianggap sebagai pengetahuan
ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka
penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah
teruji kebenarannya. Kebenaran disini ditafsirkan secara pragmatis, artinya bahwa
sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya (Suriasumantri,
2009, p. 128).
3. Refleksi
Pada pembahasan kali ini, akan coba kita kaitkan antara metode ilmiah dan
pengembangan keilmuan. Ilmu pengetahuan akan terus berkembang dari masa ke
masa. Hal ini dimulai dengan adanya revolusi industri yang membawa perubahan
21
besar dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaan, dan perilaku
sosial. Baik dalam hal manfaat maupun masalah yang ditimbulkannya. Hadirnya
berbagai masalah ini menarik minat para pakar di berbagai bidang untuk terus
menerus menemukan pemecahan masalah. Untuk memecahkan masalah yang ada,
tentunya dibutuhkan berbagai metode, metode tersebut adalah metode ilmiah.
Misal saja dalam ilmu kealamaan yang mendasari metode ilmiahnya dari objek
empiris yang ditangkap oleh indra manusia. Dari objek tersebut, para peneliti
merumuskan berbagai masalah yang nantinya akan dipecahkan. Hipotesis pun
dibangun berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dibangun sebelumnya
seperti teori dsb. Selanjutnya, para peneliti akan menguji kebenaran hipotesis
yang telah dibuatnya. Metode yang digunakan berdasarkan pada ciri ilmu
kealaman yaitu melukiskan kenyataan menurut aspek yang memungkinkan
registrasi indrawi secara langsung. Bahan-bahan tersebut disaring, diawasi,
diidentifikasi, diklasifikasi secara ilmiah yang pada akhirnya berujung pada
eksperimen sebagai langkah untuk registrasi indrawi. Dengan eksperimen inilah,
maka ilmu kealaman mampu menjangkau objek yang semula sulit diamati seperti
elektron, dsb. Hal ini tentunya sebab dukungan kemajuan instrumen dalam
melakukan eksperimen ilmu kealaman.
Dalam ilmu sosial, metode ilmiah yang berkembang didasarkan pada gejala
tingkah laku manusia, bahasa, perasaan, fenomena sosial antar manusia, dsb.
Objek ilmu sosial ini dapat diamati dan dinalar sebagai fakta empiris yang di
dalamnya mengandung arti, makna, dan tujuan. Hal ini disebabkan manusia
berbeda dengan benda mati yang cenderung tetap, tidak dapat menentukan
perilakunya sendiri. Manusia menciptakan arti, makna, tujuan kehidupannya
sendiri yang pada akhirnya menimbulkan masalah-masalah yang perlu dituntaskan
dengan metode ilmiah.
Lapangan penyelidikan ilmu sosial adalah segala perbuatan manusia dan yang
manusia pikirkan tentang dunia. Ciri ilmu sosial dalah normatif-teologis.
Teleologi berarti studi tentang gejala yang memperlihatkan keteraturan,
rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana
hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Normatif artinya berpegang
22
teguh pada norma, aturan, dan ketentuan yang berlaku. Ilmu-ilmu sosial dan
humanistik umumnya menggunakan metode linier. Metode linier adalah sebuah
metode yang terdiri dari tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi, dan prediksi.
Persepsi adalah penangkapan data oleh indra, Konsepsi adalah pengolahan data
dan penyusunannya dalam suatu sistem, sedangkan prediksi adalah penyimpulan
dan perkiraan.
Metode ilmiah saat ini lebih kita kenal dengan metode penelitian. Metode
penelitian ini digunakan dengan berbagai tujuan, yaitu: 1) Eksploratif, 2)
Pengembangan, 3) Verifikatif. Penelitian eksploratif bertujuan mencari atau
menjajagi masalah, sedangkan penelitian pengembangan mencoba
mengembangkan masalah yang ada, lalu penelitian verifikatif mencoba menguji
kebenaran sebuah teori atau menguji jawaban hasil pemikiran yang kebenarannya
semantara (hipotetik). Maka, keberadaan hipotesis sangat diperlukan dalam
penelitian tipe ketiga.
Dari metode ilmiah yang telah disebutkan dalam pembahasan, maka ilmu-
ilmu berkembang dengan berbagai metode yang ada sevbagai berikut:
1. Studi kasus : penelitian yang bertujuan mempelajari dengan mendalam keadaan
kehidupan seseorang dengan latar belakang dalam interaksi dengan lingkungan
dari suatu unit sosial, misal individu, lembaga, komunitas, atau masyarakat.
2. Penelitian Deskriptif : penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atau
gambaran mengenai fakta-fakta suatu populasi tertentu secara sistematis. Variabel
yang diteliti tentunya terbatas, tetapi dilakukan dengan meluas pada populasi
tersebut. Biasa disebut penelitian survai. Ada survai deskriptif yang mencoba
menguraikan fenomena saat ini saja, dan juga survai perkembangan yang
menggambarkan perubahan yang terjadi dari fenomena sebagai fungsi waktu
(longitudinal).
3. Penelitian Korelasional : Penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi atau
mengungkap sejauh mana variasi suatu faktor berkaitan dengan variasi dari faktor
lainnya yang didasarkan pada koefisien korelasi.
4. Penelitian kausalitas : Penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki
kemungkinan hubungan sebab-akibat dari suatu fenomena. Ada explanatory
23
survey dan experimental research. Survei eksplanatori adalah penyelidikan
kausalitas dengan mendasarkan pada pengamatan terhadap akibat yang terjadi dan
mencari faktor yang mungkin menjadi penyebabnya melalui data tertentu.
Sedangkan penelitian eksperimen adalah penyelidikan yang dilakukan dengan
mengenakan faktor penyebab (treatment) kepada kelompok eksperimental,
kemudian dikaji akibat yang terjadi, untuk meyakinkan bahwa yang terjadi benar-
benar suatu akibat dari perlakuan, biasanya dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang tidak dikenai perlakuan.
5. Penelitian tindakan : Penelitian yang bertujuan untuk menerapkan penemuan-
penemuan baru dalam rangka memecahkan masalah dalam suatu lapangan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor penghambat atau pendukung
dari tindakan tersebut.
6. Penelitian Sejarah : penelitian yang bertujuan untuk membuat rekonstruksi
masa lampau secara sistematis dan objektif yang dilakukan dengan
mengumpulkan , mengevaluasi, mensintesis, memverifikasi bukti-bukti untuk
menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Soetriono dan Rita
Hanafie, 2007, p. 162-163).
Dengan berkembangnya berbagai metode penelitian tersebut, tentunya
lapangan ilmu pengetahuan semakin berkembang dari hari ke hari. Penelitian
masa lalu terus dierbaharui, diujicobakan kembali apakah masih relevan dengan
keadaan masa kini. Di zaman modern ini kita temukan berbagai inovasi dalam
ilmu pengetahuan seperti penggabungan dua bidang keilmuan yang pada akhirnya
mampu memproduksi hasil atau teori atau keilmuan yang sebelumnya belum
pernah ada. Penggabungan ini tentunya beralasan, yaitu guna menanggulangi
masalah yang di masa kini sudah semakin kompleks. Contohnya kita lihat banyak
di kampus-kampus menggabungkan bidang-bidang sains seperti biokimia
(biologi-kimia), biofisika (biologi-fisika) dan gabungan keilmuan lainnya.
Penggabungan ini sesungguhnya menarik. Minat mahasiswa baru untuk
mempelajari ilmu-ilmu gabungan ini juga ternyata cukup besar. Hal ini tentunya
perlu didukung dengan kuatnya metodologi penelitian yang nantinya dijadikan
untuk memproduksi teori-teori baru juga ilmu-ilmu baru yang belum pernah ada
24
sebelumnya. Sehingga pemahaman yang benar mengenai metode penelitian di
masing-masing keilmuan amat sangat penting agar didapatkan teori yang valid
dan reliabel yang tentunya mampu menjawab segala permasalahan baik di bidang
sains, sosial, politik, hukum, dsb.
Bila dikaji dari sisi bahasa, maka metode penelitian bahasa saat ini tidak
melulu membahas bahasa itu sendiri. Sudah banyak metode penelitian yang
menghubungkan antara penelitian bahasa dengan penelitian di luar bidang bahasa,
misalnya dengan bidang psikolinguistik yang melahirkan disiplin ilmu baru, yaitu
psikolinguistik. Bahasa dihubungkan dengan fenomena sosial yang menghasilkan
ilmu sosiolinguistik. Tentunya setiap keilmuan tersebut memiliki ciri khas dalam
bagaimana memproduksi teori misalnya. Maka, peneliti terus merumuskan
metode penelitian yang tepat untuk akhirnya dapat menghasilkan sebuah keilmuan
yang memiliki bangun keilmuan yang kokoh mulai dari hakikat (ontologi),
metode memperoleh keilmuan (epistemologi) dan juga nilai kebermanfaatan ilmu
(aksiologi).
25
BAB III
PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat, Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Soetriono dan SRDM Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
27