Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

EPISTEMOLOGI SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN ILMU

OLEH
KELOMPOK III

ULFA SYAHRUNI 191051201002


MUHAYYARAH AHSAM 191051201003
NURPAJRI 191051201004
AISAH KARTIKA RANI 191051201020

PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya baik kesehatan maupun keselamatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunanan makalah yang berjudul
“Epistemologi Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu”. Penulisan makalah
merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Filsafat Ilmu pada Program Pasca
Sajana Unversitas Negeri Makassar (UNM) Program Studi Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan.
Dalam pembuatan makalah ini, penyusun menyampaikan ucapan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu meluangkan segala waktu,
tenaga, dan pikiran dalam rangka penyusunan makalah ini. Pada makalah ini,
penyusun menyadari masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun
tata bahasa serta penulisan, mengingat akan keterbatasan kemampuan yang
dimiliki penulis, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak guna penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
yang membaca. Aamiin.

Makassar, 10 September 2019

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL MAKALAH i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Epistemologi
B. Aliran-aliran dalam Epistemologi
C. Metode Ilmiah

BAB III PENUTUP


DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat merupakan segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dan kehidupan manusia. Filsafat berperan
dalam memecahkan permasalahan realitas dengan berbagai masalah yang
dipikirkan manusia. Sesuai fungsinya, filsafat sebagai langkah awal untuk
mengetahui segala pengetahuan, filsafat mempermasalahkan hal-hal yang pokok,
apabila terjawab masalah yang satu maka akan mulai merambah pada
permasalahan selanjutnya.
Hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan
yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang
lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian
menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Dalam mempelajari filsafat ilmu terdapat istilah “Epistemologi” Yang
merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Epistemologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya,
semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang
berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori
baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat
lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring
dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap
dunianya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini
yaitu :
1. Apa hakikat epistemologi?
2. Apa saja aliran-aliran yang terdapat dalam epistemologi?
3. Bagaimana metode ilmiah dalam epistemologi?

C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui hakikat epistemologi.
2. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam epistemologi.
3. Untuk mengetahui metode ilmiah dalam epistemologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Epistemologi
Secara etimologi, kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yang
berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat
episteme berarti pengetahuan; sedangkan logos berarti teori, uraian atau ulasan.
Epistimologi memiliki banyak pengertian yang telah diungkapkan oleh para ahli
untuk dijadikan sebagai dasar untuk dapat memahami apa itu sebenarnya
epitemologi. Secara mudahnya epitemologi juga disebut sebagai teori
pengetahuan. Pengetahuan sendiri memiliki artian yaitu sebuah usaha yang
dikerjakan secara sadar, baik itu dalam tahap proses atau pengambilan kesimpulan
mengenai suatu kebenaran. Dalam kajian ini kebenaran lebih dari sebuah
eksistensi, mengingat banyak kemungkinan pendapat yang timbul mengenai suatu
objek yang dikaji dalam filsafat.
Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia
yang menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern.
Pengetahuan manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat
yang kukuh tentang semesta (universe) dan dunia. Maka sumber-sumber
pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah
mungkin melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya.
Pengetahuan (persepsi) secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama,
konsepsi atau pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran),
yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan
dengan penangkapan kita terhadap pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq
dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa panas adalah energi yang datang dari
matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu
dapat meledak. Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat kaitannya karena
konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu, sedangkan
tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.

3
Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring
ke aspek epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut
Ritchie Calder proses kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia
empiris menjadikannya ia berpikir tentang kenyataan-kenyataan alam.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri yang spesifik mengenai apa,
bagaimana dan untuk apa, yang tersusun secara rapi. Epistemologi itu sendiri
selalu dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Persoalan utama yang
dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mempertimbangkan aspek
ontologi dan aksiologi masing-masing ilmu.
Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan
ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi
berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal.
Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses
apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,
bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan
keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan
kebaikan moral.

B. Aliran-aliran dalam Epistemologi


Aliran-aliran yang terdapat dalam epistemologi ada 15, yaitu :
1. Empirisme

Empirisme berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indra.


Indra memperoleh kesan-kesan nyata. Kemudian, kesan-kesan tersebut berkumpul
dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuam yang berupa
pengalaman terdiri atas penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-

4
macam. Dari segi hakikat pengetahuan empirisme berpendirian bahwa
pengetahuan berupa pengalaman (Sudaryanto, 2013: 39).
Pengetahuan diperoleh dengan perantaraan indra, kata seorang penganut
empirisme. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada
waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang
kosong (tabula rasa) dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-
pengalaman indrawi. Menurutnya, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan
jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari
pengindraan dan refleksi yang pertama-tama dan sederhana tersebut (Kattsoff,
2004: 133).
Tokoh-tokoh empirisme diantaranya adalah, John Locke, Berkeley, David
Huston, Thomas Hobbes, dan yang lainnya.

2. Rasionalisme

Sumber pengetahuan menurut rasionalisme adalah akal. Akal memperoleh


bahan melalui indra. Kemudian diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan.
Rasionalisme mendasarkan pada metode deduksi, yaitu cara memperoleh
kepastian melalui langkah-langkah metodis yang berttik tolak dari hal-hal yang
bersifat umum untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat khusus.
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak didalam ide kita dan
bukannya pada objek (Kattsoff, 2004: 135).

Tokoh-tokoh rasionalisme diantaranya adalah Rene Descartes, Spinoza, dan


Leibniz.

3. Fenomenologi

Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert
(1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala

5
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan
objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya
sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran yakni suatu pemaparan dialektis
perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya
dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau
gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan
mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan
manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Berangkat dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1938), bahwa obyek ilmu
pengetahuan tidak hanya terbatas pada empirik, tetapi mencakup fenomena yang
bersifat persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di
luar subyek dan ada sesuatu yang bersifat transenden.
Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi
kita harus ingat bahwa ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai
metoda. Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu
untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi
deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap
struktur yang pokok dari benda tepat seperti yang nampak. Fenomenologis
memperhatikan benda-benda yang konkrit, bukan dalam arti yang ada dalam
kehidupan sehari-hari, akan tetapi ada struktur yang pokok dari benda-benda
tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita karena kesadaran
kita adalah ukuran pengalaman. (Titus, 1984: 399).
Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah
ilmu yang mempelajari fenomen-fenomen yang atau apa saja yang nampak.
Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Tokoh-tokohnya, Edmund Husserl, Max
Scheler, dan Maurice Merlean-Ponty.

6
4. Intuisionisme

Intusionalisme adalah suatu aliran atau paham yang menganggap bahwa


intuisi (naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi
termasuk salah satu kegiatan berpikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi
Intuisi adalah non-analitik dan tidak didasarkan atau suatu pola berpikir tertentu
dan sering bercampur aduk dengan perasaan. Tokoh aliran intusionalisme antara
lain: Plotinos (205 -270) dan Henri Bergson (1859 -1994).
Bergon menyatakan bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan
jalan pelukisan tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung
dari pengetahuan intuitif (Kattsoff, 2004: 141).

5. Positivisme

Positivisme berpendirian bahwa kepercayaan yang dogmatis harus digantikan


dengan pengetahuan faktawi. Apapun yang berada diluar dunia pengalaman tidak
perlu diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini. Filsafat
positivisme berpandangan bahwa semua fenomena tunduk terhada hukum alam
yang sama. Urusan kita adalah mengupayakan suatu penemuan akurat atas
hukum-hukum itu.

6. Skeptisisme

Skeptisisme adalah satu-satunya aliran yang secara radikal dan fundamental


yang tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran atau sekurang-kurangnya
menyangsikan secara fundamental kemampuan pikiran manusia untuk
mendapatkan kepastian (Pranarka, 1987: 95).
Secara etimologikal kita mengetahui bahwa istilah skeptisisme itu berasal dari
kata bahasa Yunani skeptomai yang artinya memperhatikan dengan cermat, dan
meneliti. Para skeptisi pada mulanya adalah orang-orang yang mengamati segala
sesuatu dengan cermat serta mengadakan penelitian terhadapnya. Namun karena

7
didalam interaksi diantara mereka itu tidak tercapai kesepakatan, maka timbullah
masalah baru yaitu mengenai patokan kesepakatan. Bahkan selanjutnya sementara
sampai kepada kesimpulan untuk meragukan adanya kepastian dan ukuran
kebenaran. Dari situlah timbul istilah skeptisisme yaitu aliran atau sistem
pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental
dan universal (Pranarka, 1987: 95).

7. Agnotisisme

Mudhofir (1996:4) dengan singkat menjelaskan bahwa agnostisisme dalam


epistemologi adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin
memperoleh pengetahuan tentang suatu pokok permasalahan. Pokok
permasalahan yang seperti apa? Tidak dijelaskan dalam bukunya.
Sedangkan Hartoko (1986:3) menjelaskan dengan menambahkan apa yang
tidak dapat diketahui itu. Menurutnya agnostisisme sama dengan skeptisisme,
yang menyangkal bahwa hakekat sesuatu dapat diketahui (melawan pengetahuan
metafisik). Apalagi pengetahuan menganai adanya tuhan dan sifat-sifatnya.
Mereka (para agnotis) hanya menerima pengetahuan inderawi dan empirik. Tiada
menerima adanya analogi.
Jika kembali melihat arti katanya tentu akan mendapatkan pengertian yang
lebih luas lagi. Lorens (2005:22-23) mengatakan bahwa asal istilah ini ialah kata
yunani, ’ yang berarti ‘bukan’ atau ‘tidak’, dan gnostikos yang berarti ‘orang yang
mengetahui’ atau ‘mempunyai pengetahuan tentang’. Agnostis berarti tidak
diketahui.

8. Objektivisme

Dalam Mudhofir (1996:167) objektivisme diartikan sebagai pandangan yang


menganggap bahwa segala sesuatu yang dipahami tidak tergantung pada orang
yang memahami. Dapat dikatakan, ada kebenaran sejati terlepas dari pemikiran

8
manusia. Ini mengingatkan kita kepada paradoks antara kaum Sofis dan Sokrates
pada zaman Yunani kuno.
Basman (2009:34) juga menguraikan argumen objektivisme.
Menurutnya Argumen objektivisme mencakup penolakan terhadap metode
pemikiran subyektivisme dan penggunaan kata ide secara lebih positif. Asumsi
bahwa terdapat alam realitas adalah lebih baik dan lebih memadai dari asumsi
lain. Asumsi tersebut sesuai dengan pengalaman hidup kita sekarang dan
pemahaman kita terhadap proses pemikiran.
Karl R. Popper, dalam Chalmers (1982:128) mengemukakan pendapatnya
tentang objektivisme yang disadur dari buku Objective Knowledge. Popper
mengatakan bahwa :
“Pengetahuan atau fikiran dalam pengertian objektif, terdiri dari problema-
problema, teori-teori, dan argumen-argumen itu sendiri. Pengetahuan dalam
pengertian objektif ini sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk
mengetahuinya; ia pun terlepas dari keyakinan seseorang atau kecenderungan
untuk menyetujuinya atau untuk berlakukannya atau untuk bertindak.
Pengetahuan dalam pengertian objektif ini adalah pengetahuan tanpa orang: ia
adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.”

9. Subjektivisme

Subjektivisme adalah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui
dengan perantaraan indera kita adalah tidak berdiri sendiri, lepas dari kesadaran
kita terhadapnya. Realitas terdiri atas kesadaran serta keadaan kesadaran tersebut,
walaupun tidak harus kesadaran kita dan keadaan akal kita (Titus, 1984: 218).

10. Fenomenalisme

Untuk memahami pikiran fenomenalisme, sedikitnya kita melihat pendapat


Kant dalam hal pengetahuan. Indra hanya dapat memberikan data indra, dan data
indra itu ialah warna, cita rasa, bau, rasa dan sebaliknya. Memang benar, kita

9
mempunyai pengalaman; tetapi sama benarnya juga bahwa untuk mempunyai
pengetahuan (artinya menghubungkan hal-hal), maka kita harus keluar dari atau
menembus pengalaman (Kattsoff, 1987: 138).
Jika orang membayangkan berupa apakah suatu rasa bersahaja dengan suatu
bunyi yang kasar, maka jelaslah bahwa data indra yang murni tidaklah berupa
pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya, rasa
menekan yang bersahaja dengan bunyi yang kasar untuk memperoleh fakta bahwa
tekanan terhadap sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah
suatu cara yang dipakai oleh akal untuk mengetahui suatu kejadian, hubungan
tidak dialami. Hubungan ialah bentuk pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan
(Kattsoff, 1987: 138).
Dapat kita simpulkan bahwa fenomenalisme adalah aliran atau paham yang
menganggap bahwa fenomenal (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Seorang Fenomenalisme suka melihat gejala, berbeda dengan seorang
ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta
membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti.
Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi
yang langsung.

11. Pragmatisme

Pragmatisme tidak mempersoalkan apa hakikat pengetahuan, tetapi


menanyakan apa guna pengetahuan. Daya pengetahuan hendaklah dipandang
sebagai sarana bagi perbuatan. Charles S. Pierce menyatakan bahwa yang penting
adalah pengaruh apa yang dapat dilakukan sebuah ide atau suatu pengetahuan
dalam suatu rencana (Sudaryanto, 2013: 41).
William James menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu itu ditentukan
oleh akibat praktisnya. Sesuatu pengertian tidak pernah benar, tetapi pengertian
hanya dapat menjadi benar. Ukuran kebenaran hendaknya dicari dalam tingkatan
seberapa jauh manusia sebagai pribadi dan secara psikis merasa puas (Sudaryanto,
2013: 41).

10
12. Scientisme

Scientisme adalah suatu paham bahwa pernyataan ilmu saja yang benar
dimana selain ilmu tidak memiliki arti. Kadang kata ini digunakan oleh sosiolog
seperti Friedrich Hayek atau filsuf seperti Karl Popper yang kadang digunakan
untuk merujuk pada perkembangan ilmu alam yang condong menjadi
ideologi. Scientisme bisa mengacu pada penggunaan yang salah dari ilmu
pengetahuan atau pemikiran bahwa metode atau kategorisasi dari filsafat alam
membentuk satu-satunya metode yang sah dalam filsafat atau bidang pengetahuan
yang lain dan scientisme bisa memiliki jangkauan makna yang banyak.
Dalam scientisme kebenaran yang dianut adalah kebenaran ilmiah. Kebenaran
ilmiah ini mengalahkan kebenaran lainnya, bahkan (dalam versi yang kuat)
kebenaran lain dianggap tidak bermakna. Sayangnya Scientisme ini sendiri
memiliki kelemahan yang fatal. Kelemahan itu adalah bahwa Scientisme sendiri
menghancurkan dirinya sendiri.
Pernyataan mengenai kebenaran scientisme sendiri tidak berasal dari suatu
pengetahuan ilmiah. Ini menyebabkan andai saja Scientisme benar maka dia bisa
jadi dengan sendirinya membatalkan dirinya karena pernyataan dasar kebenaran
Scientisme tidak didukung kebenaran ilmiah.
Menurut scientisme, ilmu empiris hanyalah satu-satunya sumber pengetahuan
(scientisme kuat) atau lebih moderat (scientisme lemah) sumber terbaik dari
kepercayaan rasional tentang sesuatu adalah ilmu empiris. Kadang
tuduhan scientisme dikaitakan dengan New Atheistseperti Richard Dawkins dan
Sam Harris. Sam harris berpendapat untuk mendekati pertanyaan-pertanyaan etis
dan spiritual dengan pendekatan ilmiah. Dawkin bersikeras bahwa keberadaan
kecerdasan-kreatif super adalah pertanyaan ilmiah.

13. Anti-Intelektualisme

Yang dimaksud dengan anti-intelektualisme sebagai gerakan reaksi terhadap


suasana yang terlalu intelektualistik akan pikiran yang abstrak dan essensialistik
yang mewarnai seluruh perkembangan hingga saat ini. Secara ringkas kiranya

11
dapat dikatakan bahwa gerakan ini mengajukan suatu slogan pemikiran: bukan
manusia untuk pengetahuan tetapi pengetahuan untuk manusia. Suasana yang
terjadi sebelumnya dipandang sebagai jalan yang telah menyimpang karena telah
membuat pengetahuan keluar dari konteks dasarnya yaitu manusia (Pranarka,
1987: 101).
Anti-intelektualisme kontemporer ini merupakan suatu reaksi terhadap
arusnya aliran-aliran yang partial sifatnya namun mengajukan claim yang sifatnya
mutlak dan sebagai sistem yang sifatnya final dan total secara deterministik. Maka
itu gerakan anti-intelektualisme juga merupakan suatu gerakan yang sifatnya anti-
absolutisasi, anti-determinisme, dan kadang-kadang juga menjadi gerakan
yang anti-sistem (Pranarka, 1987: 101).

14. Fallibilisme

Istilah ini pertamakali digunakan filsuf CS Pierce. Fallibilisme adalah prinsip


filosofis bahwa manusia bisa salah. Istilah ini diambil dari kata latin abad tengah
Fallibilis. Konsep ini sangat penting bagi ilmu pengetahuan, ini dikarenakan ilmu
pengetahuan mencari validitas kebenaran. Karena itu mereka mengharapkan suatu
pengetahuan menjadi seakurat mungkin.
Fallibilism menunjukkan bahwa sebuah pengetahuan tidak bisa dipastikan
dengan sepasti-pastinya. Selalu terdapat keraguan dalam sebuah pengetahuan.
Misalnya saja kepercayaan ilmiah, kita tidak bisa pasti bahwa suatu saat sebuah
teori baru akan muncul untuk mengganti teori yang lama. Berbeda dengan
skeptisisme, dalam prinsip ini tidak dianjurkan untuk tidak mempercayai sesuatu
hanya karena dia tidak meyakinkan atau masih bisa diragukan.
Suatu kepercayaan mendasar misalnya seperti “matahari terbit dari timur”
tidak bisa dikatakan seratus persen meyakinkan karena siapa tahu esok matahari
terbit dari barat. Walau demikian kita masih bisa mempercayai bahwa matahari
esok pagi terbit dari timur karena biasanya selalu demikian.
Sebagai doktrin formal falibilisme dikaitkan dengan kaum filsuf pragmatis
dan serangan mereka terhadap foundasionalisme. Namun ide-ide ini terdapat

12
dalam filsuf-filsuf kuno. Seorang yang akrab dengan prinsip ini adalah Karl R
Popper yang membangun teori pengetahuannya yaitu rasionalisme kritis dari
presupposisi falibilisme. Digunakan juga oleh WVO Quine untuk menyerang di
antaranya perbedaan antara pernyataan analitis dan sintesis.
Dalam fallibilisme sesuatu dianggap tidak mutlak benar dan bisa salah.
Karenannya suatu pengetahuan itu meragukan terutama pada ilmu empiris. Dalam
ilmu empiris sesuatu fakta baru bisa membatalkan sebuah teori lama dan karena
fakta baru itu belum muncul maka bisa jadi pengetahuan sekarang salah. Dari
contoh tersebut maka seharusnya bidang yang tidak memerlukan penelitian
empiris seperti matematika dan logika lebih pasti karena tidak harus melakukan
pengamatan empiris. Namun ada juga yang meragukan matematika dan logika, ini
disebabkan walaupun mereka tidak melakukan pengamatan empiris namun
kesalahan manusia masih bisa terjadi.

15. Teori Kritis

Perlu diingat bahwa teori kritis adalah sebuah gerakan intelektual yang
dilakukan bersama-sama oleh sekelompok intelegensia dalam kurun sejarah
tertentu. Pengertian “kritik” dimaksudkan sebagai kritis terhadap ajaran-ajaran
dibidang sosial yang ada pada saat itu dan juga kritis terhadap keadaan
masyarakat pada saat itu yang sangat memerlukan perubahan radikal. Nama ini
dipopulerkan oleh Max Horkheimer. (Listiyono, 2003: 97) lebih lanjut ia
mengatakan kata “kritik” disini harus dimengerti dalam arti kritis terhadap ajaran-
ajaran dibidang sosial yang terdapat pada saat itu (termasuk Marxisme ortodox)
serentak juga dalam arti kritis terhadap keadaan masyarakat pada saat itu yang
memerlukan perubahan radikal.

C. Metode Ilmiah

Secara etimologis, metode berasal dari kata Yunani meta yang berarti
sesudah dan hodos yang berarti jalan. Jadi, metode berarti langkah-langkah yang
diambil, menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan yang benar yaitu

13
suatu tatacara, teknik, atau jalan yang telah dirancang dan dipakai dalam proses
memperoleh pengetahuan jenis apa pun, baik pengetahuan humanistik dan
historis, ataupun pengetahuan filsafat dan ilmiah.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatumyang mempunyai langkah-langkah yang sistematis
(Suriasumantri, 2009, p. 119).
Metodologi adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi inilah yang
disebut dengan epistemologi di dalam filsafat. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: Apakah
sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan, dan ruang lingkup
pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan?
Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?
Metode ini perlu agar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran objektif dan
dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode ilmiah, kedudukan pengetahuan
berubah menjadi ilmu pengetahuan yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas
lingkupan studinya.
Pada dasarnya, di dalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin
apapun, baik ilmu-ilmu humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam, masing-
masing menggunakan metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung
pada jenis, sifat dan bentuk objek materi dan objek forma (tujuan) yang tercakup
di dalamnya pendekatan (approach), sudut pandang (point of view), tujuan dan
ruang lingkup (scope) masing-masing disiplin itu (Suparlan Suhartono, 2008, p.
71).
Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan
begitu, diharapkan pengetahuan yang dihasilkan memiliki ciri-ciri tertentu yang
memenuhi kriteria pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji yang
memungkinkan pengetahuan yang dihasilkan benar-benar dapat diandalkan.

14
Dalam hal ini maka metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan
induktif.
Berpikir deduktif memberikan sifat rasional atau bertumpu pada akal.
Dengan metode ini maka pengetahuan yang dihasilkan akan sejalan dengan
prinsip-prinsip yang ada pada akal, yaitu koheren dan konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya. Ilmu mencoba memberikan penjelasan rasional kepada
objek yang ditelaah. Dikarenakan ada banyak premis yang digunakan untuk
membangun sebuah bangunan ilmu dari sisi berpikir deduktif maka diperlukan
adanya berpikir induktif.
Teori korespondensi mengatakan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap
benar sekiranya materi yang terkandung sesuai dengan objek faktual yang dituju.
Atau dapat dikatakan bahwa suatu pernyataan bisa dianggap banar bila didukung
dengan fakta empiris. Penemuan ilmiah akan sangat berguna di saat kita
menemukan sesuatu yang belum diuji secara empiris.
Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Hal itu memunculkan pertanyaan mengapa manusia mulai
mengamati sesuatu? Bila ditelaah ternyata manusia mulai mengamati sesuatu bila
manusia tersebut memberikan perhatian tertentu terhadap sesuatu. Hal ini oleh
John Dewey disebut dengan masalah yang menimbulkan pertanyaan. Akhirnya
disimpulkan bahwa proses berpikir dimulai oleh manusia ketika ia mempunyai
suatu masalah atau pertanyaan.
Masalah ini akan dicari pemecahan masalah atau jawabannya melalui
langkah-langkah tertentu yang nantinya akan penulis uraikan pada langkah-
langkah metode ilmiah. Sekarang, sesungguhnya apa hubungan metode ilmiah
dengan ilmu yang ilmiah. Ilmu sendiri adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai
segi kenyataan dalam alam manusia. Sedangkan ilmiah adalah suatu hal yang
bersifat keilmuan/sains (pemahaman tentang sesuatu yang dapat diterima secara
logika/pikiran/penalaran). Sedangkan ilmu yang ilmiah adalah ilmu yang
diperoleh dan dikembangkan dengan mengolah atau memikirkan realita yang
berasal dari luar diri manusia secara ilmiah yakni dengan menerapkan metode

15
ilmiah. Perlu juga dipahami bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan.
Pengetahuan menurut Jujun S. Sumantri adalah segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu. Jadi, ilmu lebih sempit
daripada pengetahuan. Pengetahuan bisa mencakup seni, agama, ilmu, dsb.
Ilmu selanjutnya dapat dipandang sebagai proses, prosedur, dan produk.
Sebagai proses, ilmu berwujud penelitian. Sebagai prosedur, ilmu ada dalam
metode ilmiah. Sedangkan dalam hal produk, ilmu adalah pengetahuan yang
tersusun secara sistematis. (The Liang Gie, 1991, p. 90).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ilmu ilmiah didapatkan melalui
suatu proses yang disebut metode ilmiah yang mana diawali dengan pertanyaan
atau masalah yang muncul dari alam manusia atau hal-hal empiris yang
diperhatikan oleh manusia.
Metode ilmiah memiliki beberapa sifat, yaitu: logis atau masuk akal,
objektif, sistematis, andal, dirancang, akumulatif.

1. Unsur-unsur Metode Ilmiah

Metode ilmiah yang merupakan suatu prosedur sebagaimana digambarkan


oleh The Liang Gie memuat berbagai unsur atau komponen yang saling
berhubungan. Unsur utama metode ilmiah adalah pola prosedural, tata langkah,
teknik, dan instrumen.
Pola prosedural terdiri dari pengamatan, percobaan, pengukuran, survei,
deduksi, induksi, dan analisis. Tata langkah mencakup penentuan masalah,
perumusan hipotesis (bila perlu), pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Teknik antara lain terdiri dari wawancara, angket, tes, dan
perhitungan. Berbagai macam instrumen yang dipakai dalam metode ilmiah
adalah pedoman wawancara, kuesioner, timbangan, komputer, dsb (Kuntjojo,
2009, p. 27-28).
Semua unsur-unsur metode ilmiah ini saling berhubungan satu sama lain dan
juga saling melengkapi guna menuju tujuan akhir metode ilmiah, yaitu terciptanya
sebuah temuan atau keilmuan tentang hal tertentu secara ilmiah. Selain itu, dalam
metode penelitian akan dijelaskan lebih lanjut bahwasannya antara pola

16
prosedural, tata langkah, teknik dan instrumen harus benar-benar valid.
Maksudnya adalah semuanya sesuai dengan ilmu apa yang akan dihasilkan.
Misalnya adalah ilmu psikologi. Apakah ada hubungan antara motivasi belajar
dengan prestasi siswa. Maka pola prosedural yang dipilih adalah pengamatan
dengan mengamati keseharian dalam hal belajar, apa saja bentuk motivasi yang
membuatnya semangat dalam belajar. Lalu juga mengamati hasil belajar untuk
mengetahui bagaimana perkembangan prestasinya dari semester sebelumnya.
Untuk tata langkah tentunya dimulai dengan menentukan masalah (apakah ada
hubungan antara motivasi belajar siswa dengan prestasi siswa?), lalu hipotesis
(Ada hubungan antara motivasi belajar siswa dengan prestasi siswa), dilanjutkan
dengan mengumpulkan data dari observasi, angket, wawancara. Lalu disimpulkan.
Untuk teknik dapat digunakan wawancara, angket, observasi, dan dokumentasi.
Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi,
angket, dokumentasi.

2. Macam-macam Metode Ilmiah

Macam-macam metode ilmiah disini menurut Johnson (2005) dalam artikel


berjudul “Educational Research : Quantitative and Qualitative” membedakan
metode ilmiah menjadi dua, yaitu metode deduktif dan metode induktif.
Menurutnya, metode deduktif terdiri dari tiga langkah utama, yaitu 1) state the
hypothesis (based on theory or research literature) menyatakan hipotesis
berdasarkan teori atau studi literatur; 2) collect data to test hypothesis
mengumpulkan data untuk mengetes kebenaran hipotesis; 3) make decision to
accept or reject the hypothesis membuat keputusan untuk menyetujui atau
menolak hipotesis (Kuntjojo, 2009, p. 28).
Sedangkan untuk metode induktif langkahnya sebagai berikut: 1) Observe the
world mengamati semesta; 2) Search for a pattern in what is observed mencari
model dalam objek yang sedang diamati; 3) make a generalization about what is
occuring membuat generalisasi dari apa yang terjadi (Kuntjojo, 2009, p. 28).
Oleh Johnson, deduktif dan induktif itu berkebalikan. Jika deduktif memulai
metode ilmiah dengan sebuah konsep yang dimiliki, sedangkan deduktif

17
berangkat dari kenyataan-kenyataan semesta yang pada akhirnya menuju sebuah
kesimpulan atau generalisasi dari semua kenyataan-kenyataan semesta tersebut.
Metode deduktif merupakan metode ilmiah yang diterapkan dalam penelitian
kuantitatif. Dalam metode ini teori ilmiah yang sudah diterima kebenarannya
dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya. Sedangkan metode
induktif merupakan metode yang diterapkan dalam penelitian kualitatif. Penelitian
dimulai dengan pengamatan dan diakhiri dengan penemuan sebuah teori.
Suriasumantri menegaskan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan
proses metode deduktif pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut: 1) Perumusan Masalah, 2) Penyusunan kerangka berpikir ilmiah, 3)
Perumusan hipotesis, 4) Pengujian Hipotesis, 5) Penarikan kesimpulan.
Sedangkan metode induktif diterapkan dalam penelitian kualitatif. Metode
induktif memiliki dua macam tahapan, yaitu umum dan siklikal. Secara umum
metode induktif memiliki 3 tahapan, yaitu: 1) pra lapangan, 2) pekerjaan
lapangan, 3) analisis data. Sedangkan untuk siklikal memiliki 7 langkah yaitu: 1)
Pengamatan deskriptif, 2) analisis domain, 3) pengamatan terfokus, 4) analisis
taksonomi, 5) pengamatan terpilih, 6) analisis komponen, 7) analisis tema
(Kuntjojo, 2009, p. 31).

3. Prosedur Metode Ilmiah

Berikut akan dijelaskan mengenai prosedur metode ilmiah. Ada beberapa


langkah dalam metode ilmiah:
a. Perumusan Masalah
Disini dirumuskan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-
batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
Problema ini didapatkan dari fenomena-fenomena yang diamati oleh manusia
dalam realita kehidupan. Ada beberapa cara untuk menentukan pertanyaan
penelitian yaitu melalui data sekunder berupa:
1) Melihat suatu proses dari perwujudan teori
2) Melihat hubungan dari proposisi suatu teori, lalu bermaksud memperbaikinya

18
3) Mempermasalahkan keberlakuan suatu teori, dalil, model di suatu tempat atau
waktu tertentu
4) Melihat tingkat kebernilaian informasi sebuah teori lalu bermaksud
meningkatkannya
5) Segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada, atau
belum dapat dijelaskan secara sempurna (Soetriono dan Rita Hanafie, 2007, p.
158).
Metode ilmiah ini dimulai dengan perumusan masalah karena bila tidak ada
masalah, maka tidak akan ada pengetahuan. Sedangkan pengetahuan ilmiah
adalah sebuah pengetahuan hasil dari penyelesaian masalah-masalah ilmiah.
Ruhnya ilmu adalah problem solving (penyelesaian masalah). Berangkat dari hal-
hal tersebutlah, maka metode ilmiah dimulai dengan perumusan masalah.
b. Penyusunan kerangka berpikir
Disini dipaparkan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mugkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berpikir disusun secara rasional berdasarkan premis-
premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
c. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang
diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan. Merumuskan disini berarti membentuk sebuah proposisi deduksi
yang sesuai dengan kemungkinan dan tingkat kebenarannya. Bentuk proposisi ini
menurut tingkat hubungan (linkage) serta nilai informasi (informative value).
Kalimat proposisi mengandung tiga komponen, yaitu antiseden, konsekuen dan
depedensi.
Dua istilah pertama adalah bagian dari kalimat proposisi. Antiseden adalah
teori yang dijadiakan acuan awal untuk membentuk hipotesis, lalu konsekuen
adalah sebuah akhir dari kalimat hipotesis. Sedangkan depedensi adalah hubungan
antara antiseden dengan konsekuen tersebut. Misal hipotesis: Jika air dipanaskan
sampai suhu 100% C, maka air akan mendidih.

19
Ada syarat-syarat logika dalam menentukan hipotesis sebagai berikut:
1) Dapat menjelaskan kenyataan yang menjadi masalah dan dasar hipotesis
2) Mengandung sesuatu yang mungkin
3) Dapat mencari hubungan kausal dengan argumentasi yang tepat
4) Dapat diuji baik kebenaran maupun kesalahannya
Macam-macam hipotesis yang sering ditemui seperti berikut:
1) Hipotesis Deskriptif : menunjukkan dugaan sementara tentang bagaimana
benda atau peristiwa terjadi
2) Hipotesis Argumentasi : menunjukkan dugaan sementara tentang mengapa
benda, peristiwa, atau variabel terjadi. Konsekuen menjadi sebuah
kesimpulan dari antiseden.
3) Hipotesis Kerja : meramalkan atau menjelaskan akibat dari variabel yang
menjadi penyebabnya. Hipotesis ini menunjukkan adanya perubahan akibat
disebabkan dengan perubahan suatu variabel.
4) Hipotesis Nol : Memeriksa ketidakbenaran suatu teori, yang selanjutnya akan
ditolak menjadi bukti-bukti yang sah. Kita membuat dugaan dengan hati-hati
bahwa tidak ada hubungan yang berarti atau perbedaan yang signifikan dan
selanjutnya kita membuktikan ketidakmungkinan hipotesis ini (Soetriono dan
Rita Hanafie, 2007, p. 160).
d. Pengujian Hipotesis
Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
Pengujian hipotesis ini berarti membandingkan atau menyesuaikan (matching)
segala yang terdapat dalam hipotesis dengan data empirik. John Stuart Mills
mengajukan 3 macam metode yaitu:
1) Method of Agreement : Jika dalam dua atau lebih peristiwa pada suatu
fenomena timbul satu (dan hanya satu) kondisi yang terjadi, maka kondisi itu
dapat disimpulkan sebagai penyebab terjadinya fenomena tersebut.
2) Method of Difference : Dalam dua peristiwa terdapat perbedaan dalam
rangkaiannya (unsurnya) dan fenomena yang terjadi. Jika serangkaian

20
peristiwanya sama kecuali dalam satu faktor dimana peristiwa yang satu tidak
memilikinya dan tidak menimbulkan fenomena, maka fenomena yang terjadi
disebabkan faktor yang dimiliki perstiwa.
3) Method of Concomitant : Jika telah diketahui adanya faktor-faktor tertentu
dalam peristiwa yang menimbulkan bagian-bagian tertentu suatu fenomena,
maka bagian-bagian lain dari fenomena ini dalah akibat dari faktor-faktor
selebihnya yang terdapat dalam peristiwa-peristiwa itu (Soetriono dan Rita
Hanafie, 2007, p. 161-162).
Untuk melakukan pengujian hipotesis perlu diketahui operasionalisasi variabel
yang terkandung dalam hipotesis. Operasionalisasi variabel berarti menentukan
indikator dari variabel yang ada. Misalnya hipotesis : Jika motivasi belajar anak
meningkat, maka hasil belajar anak meningkat. Maka perlu dijabarkan terlebih
dahulu apa saja indikator dari motivasi dan juga hasil belajar agar lebih jelas dapat
diketahui hubungan antara keduanya. Keabsahan dan ketepatan penentuan
indikator ini tentunya akan mempengaruhi hasil penelitian.
e. Penarikan Kesimpulan
Selanjutnya, dilakukan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan
ditolak atau diterima. Bila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup
mendukung hipotesis maka hipotesis diterima. Namun, bila sekiranya dalam
proses pengujian tidak ada fakta yang cukup untuk membuktikan hipotesis, maka
hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima akan dianggap sebagai pengetahuan
ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka
penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah
teruji kebenarannya. Kebenaran disini ditafsirkan secara pragmatis, artinya bahwa
sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya (Suriasumantri,
2009, p. 128).

3. Refleksi

Pada pembahasan kali ini, akan coba kita kaitkan antara metode ilmiah dan
pengembangan keilmuan. Ilmu pengetahuan akan terus berkembang dari masa ke
masa. Hal ini dimulai dengan adanya revolusi industri yang membawa perubahan

21
besar dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaan, dan perilaku
sosial. Baik dalam hal manfaat maupun masalah yang ditimbulkannya. Hadirnya
berbagai masalah ini menarik minat para pakar di berbagai bidang untuk terus
menerus menemukan pemecahan masalah. Untuk memecahkan masalah yang ada,
tentunya dibutuhkan berbagai metode, metode tersebut adalah metode ilmiah.
Misal saja dalam ilmu kealamaan yang mendasari metode ilmiahnya dari objek
empiris yang ditangkap oleh indra manusia. Dari objek tersebut, para peneliti
merumuskan berbagai masalah yang nantinya akan dipecahkan. Hipotesis pun
dibangun berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dibangun sebelumnya
seperti teori dsb. Selanjutnya, para peneliti akan menguji kebenaran hipotesis
yang telah dibuatnya. Metode yang digunakan berdasarkan pada ciri ilmu
kealaman yaitu melukiskan kenyataan menurut aspek yang memungkinkan
registrasi indrawi secara langsung. Bahan-bahan tersebut disaring, diawasi,
diidentifikasi, diklasifikasi secara ilmiah yang pada akhirnya berujung pada
eksperimen sebagai langkah untuk registrasi indrawi. Dengan eksperimen inilah,
maka ilmu kealaman mampu menjangkau objek yang semula sulit diamati seperti
elektron, dsb. Hal ini tentunya sebab dukungan kemajuan instrumen dalam
melakukan eksperimen ilmu kealaman.
Dalam ilmu sosial, metode ilmiah yang berkembang didasarkan pada gejala
tingkah laku manusia, bahasa, perasaan, fenomena sosial antar manusia, dsb.
Objek ilmu sosial ini dapat diamati dan dinalar sebagai fakta empiris yang di
dalamnya mengandung arti, makna, dan tujuan. Hal ini disebabkan manusia
berbeda dengan benda mati yang cenderung tetap, tidak dapat menentukan
perilakunya sendiri. Manusia menciptakan arti, makna, tujuan kehidupannya
sendiri yang pada akhirnya menimbulkan masalah-masalah yang perlu dituntaskan
dengan metode ilmiah.
Lapangan penyelidikan ilmu sosial adalah segala perbuatan manusia dan yang
manusia pikirkan tentang dunia. Ciri ilmu sosial dalah normatif-teologis.
Teleologi berarti studi tentang gejala yang memperlihatkan keteraturan,
rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana
hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Normatif artinya berpegang

22
teguh pada norma, aturan, dan ketentuan yang berlaku. Ilmu-ilmu sosial dan
humanistik umumnya menggunakan metode linier. Metode linier adalah sebuah
metode yang terdiri dari tiga tahap, yaitu persepsi, konsepsi, dan prediksi.
Persepsi adalah penangkapan data oleh indra, Konsepsi adalah pengolahan data
dan penyusunannya dalam suatu sistem, sedangkan prediksi adalah penyimpulan
dan perkiraan.
Metode ilmiah saat ini lebih kita kenal dengan metode penelitian. Metode
penelitian ini digunakan dengan berbagai tujuan, yaitu: 1) Eksploratif, 2)
Pengembangan, 3) Verifikatif. Penelitian eksploratif bertujuan mencari atau
menjajagi masalah, sedangkan penelitian pengembangan mencoba
mengembangkan masalah yang ada, lalu penelitian verifikatif mencoba menguji
kebenaran sebuah teori atau menguji jawaban hasil pemikiran yang kebenarannya
semantara (hipotetik). Maka, keberadaan hipotesis sangat diperlukan dalam
penelitian tipe ketiga.
Dari metode ilmiah yang telah disebutkan dalam pembahasan, maka ilmu-
ilmu berkembang dengan berbagai metode yang ada sevbagai berikut:
1. Studi kasus : penelitian yang bertujuan mempelajari dengan mendalam keadaan
kehidupan seseorang dengan latar belakang dalam interaksi dengan lingkungan
dari suatu unit sosial, misal individu, lembaga, komunitas, atau masyarakat.
2. Penelitian Deskriptif : penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atau
gambaran mengenai fakta-fakta suatu populasi tertentu secara sistematis. Variabel
yang diteliti tentunya terbatas, tetapi dilakukan dengan meluas pada populasi
tersebut. Biasa disebut penelitian survai. Ada survai deskriptif yang mencoba
menguraikan fenomena saat ini saja, dan juga survai perkembangan yang
menggambarkan perubahan yang terjadi dari fenomena sebagai fungsi waktu
(longitudinal).
3. Penelitian Korelasional : Penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi atau
mengungkap sejauh mana variasi suatu faktor berkaitan dengan variasi dari faktor
lainnya yang didasarkan pada koefisien korelasi.
4. Penelitian kausalitas : Penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki
kemungkinan hubungan sebab-akibat dari suatu fenomena. Ada explanatory

23
survey dan experimental research. Survei eksplanatori adalah penyelidikan
kausalitas dengan mendasarkan pada pengamatan terhadap akibat yang terjadi dan
mencari faktor yang mungkin menjadi penyebabnya melalui data tertentu.
Sedangkan penelitian eksperimen adalah penyelidikan yang dilakukan dengan
mengenakan faktor penyebab (treatment) kepada kelompok eksperimental,
kemudian dikaji akibat yang terjadi, untuk meyakinkan bahwa yang terjadi benar-
benar suatu akibat dari perlakuan, biasanya dibandingkan dengan kelompok
kontrol yang tidak dikenai perlakuan.
5. Penelitian tindakan : Penelitian yang bertujuan untuk menerapkan penemuan-
penemuan baru dalam rangka memecahkan masalah dalam suatu lapangan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor penghambat atau pendukung
dari tindakan tersebut.
6. Penelitian Sejarah : penelitian yang bertujuan untuk membuat rekonstruksi
masa lampau secara sistematis dan objektif yang dilakukan dengan
mengumpulkan , mengevaluasi, mensintesis, memverifikasi bukti-bukti untuk
menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Soetriono dan Rita
Hanafie, 2007, p. 162-163).
Dengan berkembangnya berbagai metode penelitian tersebut, tentunya
lapangan ilmu pengetahuan semakin berkembang dari hari ke hari. Penelitian
masa lalu terus dierbaharui, diujicobakan kembali apakah masih relevan dengan
keadaan masa kini. Di zaman modern ini kita temukan berbagai inovasi dalam
ilmu pengetahuan seperti penggabungan dua bidang keilmuan yang pada akhirnya
mampu memproduksi hasil atau teori atau keilmuan yang sebelumnya belum
pernah ada. Penggabungan ini tentunya beralasan, yaitu guna menanggulangi
masalah yang di masa kini sudah semakin kompleks. Contohnya kita lihat banyak
di kampus-kampus menggabungkan bidang-bidang sains seperti biokimia
(biologi-kimia), biofisika (biologi-fisika) dan gabungan keilmuan lainnya.
Penggabungan ini sesungguhnya menarik. Minat mahasiswa baru untuk
mempelajari ilmu-ilmu gabungan ini juga ternyata cukup besar. Hal ini tentunya
perlu didukung dengan kuatnya metodologi penelitian yang nantinya dijadikan
untuk memproduksi teori-teori baru juga ilmu-ilmu baru yang belum pernah ada

24
sebelumnya. Sehingga pemahaman yang benar mengenai metode penelitian di
masing-masing keilmuan amat sangat penting agar didapatkan teori yang valid
dan reliabel yang tentunya mampu menjawab segala permasalahan baik di bidang
sains, sosial, politik, hukum, dsb.
Bila dikaji dari sisi bahasa, maka metode penelitian bahasa saat ini tidak
melulu membahas bahasa itu sendiri. Sudah banyak metode penelitian yang
menghubungkan antara penelitian bahasa dengan penelitian di luar bidang bahasa,
misalnya dengan bidang psikolinguistik yang melahirkan disiplin ilmu baru, yaitu
psikolinguistik. Bahasa dihubungkan dengan fenomena sosial yang menghasilkan
ilmu sosiolinguistik. Tentunya setiap keilmuan tersebut memiliki ciri khas dalam
bagaimana memproduksi teori misalnya. Maka, peneliti terus merumuskan
metode penelitian yang tepat untuk akhirnya dapat menghasilkan sebuah keilmuan
yang memiliki bangun keilmuan yang kokoh mulai dari hakikat (ontologi),
metode memperoleh keilmuan (epistemologi) dan juga nilai kebermanfaatan ilmu
(aksiologi).

25
BAB III
PENUTUP

Epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu


pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan
pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek
telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang,
bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya,
yang berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu
hal.
Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral
setiap pandangan dunia yang merupakan parameter yang bias memetakan apa
yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya, apa yang
mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin diketahu tetapi lebih
baik tidak usah diketahui, dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui.
Epistemology dengan demikian bias dijadikan sebagai penyaring atau filter
terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh
pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan
kerugian yang ditimbulkan lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun
memungkinkan untuk diketahui. Ada objek yang benar-benar merupakan misteri,
sehingga tidak mungkin diketahui.

26
DAFTAR PUSTAKA

Harold H. Titus, 1984, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta

Kuntjojo., 2009. Diktat Matakuliah Filsafat Ilmu Program Studi Pendidikan


Bimbingan dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri:-.
Listiyono Santoso dkk. 2003, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Press, Yogyakarta

Louis O. Kattsoff, 2004. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana, Yogyakarta

Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu


Pengetahuan Alam, Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”,
Fakultas Filsafat – PPPT UGM Yogyakarta p.6-7.

Rahmat, Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Soetriono dan SRDM Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

27

Anda mungkin juga menyukai