Anda di halaman 1dari 9

Biosaintifika 4 (1) (2012)

Biosantifika
Berkala Ilmiah Biologi

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/biosaintifika

REGULASI KORTISOL PADA KONDISI STRES DAN ADDICTION



Lisdiana

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Stres adalah suatu kondisi dimanan tuntutan yang harus dipenuhi melebihi
Diterima Oktober 2011 kemampuan yang dimilikinya, penyebab stres dinamakan stresor. Stres dapat terjadi
Disetujui Desember 2011 akibat ketidakmampuan seseorang dalam merespon suatu stresor, sehingga dapat
Dipublikasikan Maret mengakibatkan gangguan badan atau jiwa. Addiction adalah suatu dorongan yang
2012 kuat, seperti dipaksakan untuk mengulangi suatu perbuatan tertentu meskipun tahu
akan berakibat merugikan. Stress dan adicction akibat penyalahgunaan narkotika
Keywords: akan direspon oleh Hipotlamus-Pituitary-Adrenalin (HPA-axis), sehingga menye-
Addiction babkan kadar hormon kortisol akan meningkat. Desain penelitian adalah Quasi-
Cortisol Eksperimental dengan Randomized Control Pretest-Postest Design Dengan subyek
Stress penelitian 22 Addict recovery yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Balai
Kasih Sayang Pamardisiwi BNN Jakata.Variabel yang diukur adalah hormone yang
disekresikan oleh HPA-axis, yakni hormon kortisol. Pemeriksaan kadar kortisol
dengan menggunakan Radioimmunoassay (RIA). Hasil penelitian menunjukkan
kadar kortisol pada Addict recovery yang menjalani rehabilitasi sebesar 9,2 – 13,97
µg/dl dan 16,5-16,9 µg/dl pada Addict recovery yang tidak menjalani rehabilitasi. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan hormone yang disekresikan HPA-
axis pada kondisi stress dan addiction.

Abstract
Stress is a condition where the demands to be met is beyond the capabilities of a
person, and something that causes a stress is called stressor. Stress can occur as
a result of the inability of a person in responding a stressor, and the stress can
cause physical or mental disorders. Addiction is a strong drive, forced to repeat a
particular action even it is known that it will harm the body. Stress and adicction
to drug abuse will be responded by the hypothalamus-pituitary-adrenalin (HPA-
axis), causing the levels of the hormone cortisol to rise. The study design was a
randomized Quasi-Experimental Control Pretest-posttest design with 22 addict
recovery study subjects who meet the inclusion and exclusion criteria in the National
Narcotics Agency Jakarta.The variabel to be measured was cortisol secreted by the
HPA-axis. The examination of the cortisol levels was using a radioimmunoassay
(RIA). The results showed that the cortisol levels in the addict recovery subjects with
and without rehabilitation were 9.2 to 13.97 mg / dl and 16.5 to 16.9 mg / dl,
respectively. It was concluded that the levels of cortisol, secreted by HPA-axis in
conditions of stress and addiction, have lowered.

© 2012 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2085-191X
FMIPA UNNES Gd D6 Lantai 1 Jln. Raya Sekaran- Gunungpati- Semarang
50229 Telp./Fax. (024) 8508033; E-mail: lisdiana_512@yahoo.com
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

PENDAHULUAN yang pada akhirnya dapat meningkatkan


kadar kortisol, Awal pelepasan hormon stres
Tubuh bereaksi terhadap stres dengan dimulai dengan sekresi corticotrophin releasing
mengeluarkan dua jenis zat kimia pembawa factor (CRF). Pertama kali CRF dilepaskan
pesan, yakni hormon dalam darah dan dari hipotalamus di otak ke aliran darah,
neurotransmitter di sistem saraf. Stres sehingga mencapai kelenjar pituitary yang
dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana berlokasi tepat di bawah hipotalamus. Di
tuntutan yang harus dipenuhi melebihi tempat ini CRF merangsang pelepasan
kemampuan yang ada pada obyek (Cance et adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh
al. 1994). Stres dapat juga diartikan sebagai pituitary, yang pada gilirannya akan
suatu kondisi yang menunjukkan perubahan merangsang kelenjar adrenalis untuk
sebagai akibat merespon suatu stresor. melepaskan berbagai hormon. Salah satunya
Stres tidak hanya terjadi pada tingkat adalah kortisol. Kortisol beredar di dalam
organisme, melainkan juga terjadi pada tubuh dan berperan dalam mekanisme
tingkat organ dan sel. Stres merupakan coping (coping mechanism). Bila stresor yang
bentuk reaksi tubuh yang menentukan diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang
kelangsungan kehidupan. Stres dapat disekresi akan meningkat, sehingga rangsang
menunjukkan keseimbangan baru atau yang diterima oleh pituitary juga meningkat,
suatu fenomena adaptasi. Apabila sel atau dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal
organ dapat mengatasi stresor dengan baik juga meningkat. Apabila kondisi emosional
dan masih dalam keadaan keseimbangan telah stabil, coping mecahnism menjadi positif,
dinamakan eustres, sedangkan apabila maka sinyal di otak akan menghambat
kehidupan tidak dapat mengatasi dalam pelepasan CRF dan siklus hormon-stres
proses transaksi, maka sel atau organ akan berulang lagi (Akil & Morano 1995; Bear
mengalami distres (Setyawan 2003; Duman et al. 1996). Dalam kondisi gelisah, cemas
et al. 2001). dan depresi, sekresi kortisol meningkat.
Kemampuan mengelola stressor Menurut Zainullah (2005) akibat stress
atau coping mechanism sangat dibutuhkan sekresi kortisol dapat meningkat sampai 20
oleh Addict recovery. Addict recovery adalah kali. Stres merupakan faktor utama dalam
individu dengan status pecandu narkotika menyebabkan kambuh di semua kecanduan
yang sedang menjalani rehabilitasi. Stresor (Stocker 2012).
terberat bagi Addict recovery adalah manakala
dalam kondisi withdrawal atau sakaw, yakni METODE PENELITIAN
suatu kondisi dimana Addict recovery merasa
sakit yang luar biasa, badan terasa nyeri Penelitian ini menggunakan rancangan
semua, sehingga menjadikan dorongan Quasi - Experimental dengan Control Pretest-
untuk mengkonsumsi kembali narkotika. Postest Design. Populasi adalah Addict recovery
Kondisi withdrawal ini diakibatkan oleh di Balai Kasih Sayang (BKS) Pamardi Siwi
reseptor-reseptor di dalam system saraf Badan Narkotika Nasional (BNN) Jl. MT.
yang berkaitan dengan jenis narkotika yang Haryono No 11 Cawang Jakarta, yang
dikonsumsi mengalami internalisasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang
menagih untuk mendapatkan narkotika. telah ditetapkan.
Stressor withdrawal dapat menjadikan Addict Kriteria inklusi adalah kriteria yang
recovery mengalami stress berat. digunakan untuk memasukkan anggota
Dalam keadaan normal, hormon stres populasi (addict recovery) menjadi anggota
dilepaskan dalam jumlah kecil sepanjang sampel. Dalam penelitian ini kriteria inklusi
hari, tetapi bila menghadapi stres kadar yang ditetapkan adalah 1) positif sebagai
hormon ini meningkat secara dramatis pengguna opioid melalui pemeriksaan urin
(Stocker 2012). Setiap jenis respon tubuh yang 2) berjenis kelamin laki-laki 3) usia antara
berupa stres, baik stres fisik maupun stres 15 – 40 tahun 4) pendidikan terendah SLTP
psikis dapat meningkatkan sekresi ACTH atau yang sederajat.

19
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

Kriteria eksklusi adalah kriteria yang Addict recovery yang menjalani rehabilitasi
digunakan untuk mengeluarkan addict dibandingkan dengan kadar kortisol pada
recovery dari keanggotaan sampel penelitian. Addict recovery non rehab, yakni Addict
Dalam penelitian ditetapkan kriteria eksklusi recovery yang berstatus sebagai consellor.
sebagai berikut 1) diketahui mengkonsumsi Analisis statistik yang digunakan adalah uji
narkotika selama menjalani rehabilitasi 2) independent t test.
melanggar tata tertib yang telah ditentukan
di BKS Pamardi Siwi BNN Jakarta. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel diambil dari populasi yang
telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi Diskripsi hasil pemeriksaan kadar
yang telah ditentukan seperti tersebut di kortisol disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2
atas dan bersedia mengikuti program dalam serta diilustrasikan pada Gambar 1.
penelitian dengan menandatangi lembar Menurut Maramis (1999), stres adalah
persetujuan (informed consent). Sampel yang segala masalah atau tuntutan penyesuaian
diperoleh sebanyak 22 personil. Sampel diri dan karena itu sesuatu yang mengganggu
dikelompokkan menjadi dua kelompok, keseimbangan, jika tidak dapat mengatasinya
yakni kelompok perlakuan dan kontrol. dengan baik, maka akan memunculkan
Pada kelompok perlakuan, sampel menjalani gangguan badan ataupun gangguan jiwa.
rehabilitasi (medis dan sosial). Kelompok Berbagai reaksi stres meliputi gangguan
kontrol adalah addict recovery yang berstatus kognisi, emosi dan perilaku (Akil & Morano
sebagai Counsellor Addict dan tinggal di 1995; Bear et al. 1996). Gangguan ini akan
BBKS Pamardi Siwi BNN Jakarta. Variabel direspon oleh hipotalamus dan melalui
dalam penelitian adalah program rehabilitasi Hipotalamus-Pituitary- Adrenalis-Axis akan
medis dan sosial sebagai variabel bebas dan meningkatkan kadar kortisol. Addiction dapat
perubahan kadar kortisol pada addict recovery menyebabkan Addict recovery mengalami
sebagai variabel tergantung. gangguan perilaku dan emosi seperti kondisi
Bahan dalam penelitian ini meliputi stres. Kondisi stres berkaitan erat dengan
sampel darah addict recovery dan reagen- penyalahgunaan narkotika (Hanson 2002).
reagen kimia yang diperlukan dalam Secara sistematis istilah stres dapat
pemeriksaan kortisol. Pengukuran kadar dikaji melalui tiga pendekatan, yakni
kortisol dilakukan dengan menggunakan pendekatan engineering, psikologis dan
Radioimmunoassay (RIA) dari darah tepi medikofisiologis. Pendekatan engineering
yang dilakukan di Laboratorium Makmal stres diartikan sebagai keadaan dari suatu
Terpadu Immuno-Endokrinologi Fakultas lingkungan yang dapat menyebabkan
Kedokteran Universitas Indonesia. individu yang hidup di lingkungan tersebut
Hasil pengukuran kadar kortisol pada sakit. Jadi stres identik dengan stimulus

Tabel 1. Deskripsi kadar kortisol pada kelompok yang menjalani rehabilitasi

No Deskripsi Kadar Kortisol Skor Pre treat Skor Post treat


1 Rerata (µg/dl) 13,97 9,2
2 Standar deviasi (µg/dl) 5,22 3,1
3 Minimun (µg/dl) 6,80 4,5
4 Maksimum (µg/dl) 30,10 15,7
5 Range (µg/dl) 23,3 11,2
6 Jumlah sampel 22 22
Rerata kadar kortisol addict recovery pada kelompok yang menjalani rehabilitasi pada pre treat
maupun post treat dalam range normal (nilai normal kadar kortisol pagi hari : 5 – 25 µg/dl,
Lab Makmal FKUI).
20
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

Tabel 2. Deskripsi kadar kortisol pada kelompok non rehabiltasi

No Deskripsi Kadar Kortisol Pre test Post test


1 Rerata (µg/dl) 16,9 16,5
2 Standar deviasi (µg/dl) 6,2 6,6
3 Minimun (µg/dl) 9,4 7,5
4 Maksimum (µg/dl) 29,2 29,5
5 Range (µg/dl) 19,8 22
6 Jumlah sampel 7 7
Rerata kadar kortisol addict recovery pada kelompok kontrol pada pre test maupun post test
dalam range normal (nilai normal kadar kortisol pagi hari : 5 – 25 µg/dl, Lab MakmalFKUI).

18
pre, 16.9 post, 16.5
16
14
kadar kortisol (ug/dl)

pre, 13.97
12
10
post, 9.2
8
6 perlakuan
4 kontrol
2
0
pre pemberian treatment post

Gambar 1. Rerata kadar kortisol pada Addict recovery pada kelompok rehabilitasi dan non
rehabilitasi

yang mampu menimbulkan perubahan. yang pe-riodik yang merugikan individu


Pendekatan psikologis menyebutkan bahwa sendiri dan masyarakat yang disebabkan
stres adalah hasil interaksi dan transaksi oleh penggunaan suatu obat yang berulang
antara individu dengan lingkungannya, jadi dengan ciri; keinginan yang luar biasa untuk
berkaitan dengan kondisi psikologis yang terus menggunakan obat dan usaha terus
melibatkan kognisi dan emosi. Berdasarkan untuk mendapatkannya, kecenderungan
pendekatan medikofisiologis stres adalah untuk menaikkan dosis, terdapat gejala
respon biologis terhadap stresor, stresor ketergantungan fisik dan psikis. Ketagihan
dapat berupa psikologis maupun fisik. Jadi juga didefinisikan sebagai penggunaan
kualitas stres ditentukan oleh kemampuan narkotika yang kompulsif, penggunaan zat
mengelola stresor atau coping (Putra 2000). karena dorongan yang sangat kuat, seperti
Kondisi distress pada penyalahguna dipaksakan meskipun tahu akan berakibat
narkotika diawali dengan adanya toleransi merugikan (Fisher & Harrison 1997).
(tolerance), ketagihan (addiction), dan keter- Sedangkan ketergantungan adalah gejala
gantungan (dependence). Toleransi adalah dorongan untuk menggunakan narkotika
menurunnya efek obat karena penggunaan secara terus menerus, memerlukan jumlah
yang berulang dengan dosis tetap, atau yang makin lama makin bertambah dan
diperlukan penambahan dosis untuk menimbulkan gejala putus zat (withdrawal)
memperoleh efek yang sama. Sedangkan jika pemakainnya dikurangi atau dihentikan
ketagihan adalah keadaan keracunan (BNN 2003). Ketergantungan terjadi seba-

21
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

gai akibat dari perubahan yang bersifat sehingga jumlah kortisol meningkat. Pada
penyesuaian, yang berkembang di dalam keadaan stres akut terjadi peningkatan
tubuh karena paparan zat yang terus katekolamin dan kortisol, Semakin tinggi
menerus. Ketergantungan juga diartikan tingkat keparahan stres semakin tinggi
sebagai suatu sindrom dengan manifestasi kadar kedua hormon tersebut (Cance et al.
pola perilaku yang memerlukan penggunaan 1994; Gerra et al. 2002). Peningkatan kadar
zat, di mana perilaku itu paling menonjol kortisol pada stress psikis dianggap sebagai
dibanding perilaku lain pada seseorang, dan akibat dari naiknya aktivitas system limbic,
perilaku itu paling diutamakan. Jadi secara khususnya dalam region amigdala dan
ringkas ketergantungan dapat disebut sebagai hipokampus (NIDA 2002)
perilaku penggunaan obat secara kompulsif Addict recovery adalah individu
(Kosten & George 2002; William et al. 2002). dengan defek pada ego, sehingga tidak
Ketergantungan fisik merupakan suatu mampu mengenal perasaan “sakit” (rasa
fenomena alami, seseorang akan mengalami malu, bersalah, marah, cemas). Ego yang
ketergantungan fisik apabila menggunakan lemah berkaitan dengan emosi yang labil,
suatu zat atau obat dalam dosis yang cukup reaktivitas berlebihan, hipersensitivitas,
besar dan berjangka lama. Hal ini karena sel kurangnya kepercayaan diri dan sikap yang
tubuh yang terpapar obat akan beradaptasi pesimistis. Dengan demikian mengkonsumsi
sehingga terjadi suatu keseimbangan biologik narkotika merupakan suatu usaha untuk
baru. Penghentian penggunaan secara tiba- mengobati diri sendiri, menghidupkan
tiba akan memberikan kekacauan terhadap kembali kekuatannya, sehingga menjadikan
mekanisme yang sudah ada, sehingga adanya perubahan perilaku. Penggunaan
timbul reaksi hebat yang pada umumnya narkotika kemudian digambarkan sebagai
memberikan efek yang berlawanan dengan keputusasaan dalam upaya mengkompensasi
efek obat tersebut, sedangkan pada defisit-defisit dalam fungsi ego, harga diri
ketergantungan psikologis yakni apabila yang rendah, dan masalah dalam hubungan
pemakain zat dihentikan akan menimbulkan interpersonal. Menurut Freud maupun
gangguan pada perilaku seperti cemas, Horney, untuk menghadapi harapan
gelisah, dan emosi yang sangat labil yang tidak terpenuhi, seseorang akan
(PPIKB/CME 2002). Pada tahun 2003 data melakukan berbagai mekanisme pembelaan.
menunjukkan dari 4,649 penderita gangguan Ini merupakan reaksi normal manusia
mental dan perilaku 56,3% diakibatkan oleh (Muljohardjono 2005).
penggunaan narkotika ( Dep Kes RI 2004). Ketergantungan adalah suatu penya-
Mengkonsumsi obat adiktif, se- kit akibat penggunaan narkotika yang
perti narkotika secara berulang akan mengganggu fungsi otak, sehingga terganggu
menimbulkan perubahan sensitifitas pada fungsi perilaku seseorang. Perilaku adalah
system saraf, sama seperti stres berulang, serangkaian aksi yang berurutan dengan
sehingga diduga antara zat adiktif dan stres tujuan adaptasi terhadap suatu situasi atau
memiliki patofisiologi dan berhubu-ngan situasi yang dihadapi (Aswin 1990). Pada
dengan sistem saraf yang sama (Kauer addict recovery terjadi perubahan perilaku
2003; William et al. 2002). Selama respon yang dinamakan perilaku adiksi atau addiction
stres sistem saraf simpatik dibangkitkan, behaviour. Addiction behaviour ditandai
dan menyebabkan hipotalamus mensekresi dengan adanya drug seeking behaviour, secara
corticotrophin releasing factor (CRF) lebih kompulsif mencari drug, menggunakannya
banyak. Menurut Koffler & Bartlett dan relapse serta berakibat addict berlabel
(2012) CRF telah dikaitkan dengan stres manipulatif. Selain itu pada addict juga
akibat penguatan narkotika. CRF akan sering dijumpai perilaku antisosial. Perilaku
menstimuli pituitary untuk mensekresikan antisosial adalah perilaku yang berulang-
adenocorticotropin hormone (ACTH), ACTH ulang menimbulkan konflik, sering
akan mengaktifkan korteks adrenal untuk melanggar norma sosial, bersikap impulsif,
mensekresi glukokortikoid terutama kortisol, egosentris, tidak bertanggungjawab terhadap

22
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

apa yang telah dilakukan, sulit mengubah (Haass & Bartlett 2012).
diri melalui pengalaman maupun hukuman, Pemberian treatmen berupa reha-
toleransi terhadap kekecewaan rendah dan bilitasi akan direspon oleh nuklei lateral
cenderung menyalahkan orang lain atau dan nuklei ventromedial di hipotalamus
menyusun alasan untuk merasionalisasikan sebagai positive reinforcing, menjadikan Addict
perilakunya agar diterima oleh orang lain recovery tenang dan menimbulkan respon
dan atau masyarakat (Maramis 1999). emosional yang positive dan coping menjadi
Perilaku antisosial sering dijumpai pada efektif atau terjadi positive coping mechanism.
penyalahguna narkotika dengan tahapan Keadaan tenang dengan emosi positif akan
ketergantungan. Untuk mengatasi kondisi direspon oleh neurosekretori di hipotalamus
ini para penyalahguna narkotika menjalani yang menyebabkan sekresi CRF menurun.
rehabilitasi, yang dimulai dari rehabilitasi Penurunan kadar CRF akan memicu
medis dan kemudian dilanjutkan dengan penurunan sekresi ACTH oleh kelenjar
rehabilitasi sosial. Penelitian ini mencoba pituitary, dan akhirnya menjadikan sekresi
mengukur kadar kortisol sebagai salah satu kortisol oleh kelenjar adrenalis menurun.
indikator stres pada penyalahguna narkotika Hampir setiap jenis respon tubuh yang
yang sedang menjalani rehabilitasi atau berupa stres, baik stres fisik maupun stres
dinamakan Addict recovery. psikis dalam waktu yang relatif cepat dapat
Hasil penelitian diketahui bahwa kadar meningkatkan sekresi kortisol. Peningkatan
kortisol pada Addict recovery menunjukkan sekresi kortisol ini seringkali dapat mencapai
rerata kadar yang masih dalam range normal sampai 20 kali. Stres psikis akibat paparan
dengan urutan kadar kortisol tertinggi pada narkotika dapat menyebabkan peningkatan
pengukuran pertama pada kelompok Addict kadar ACTH dengan kecepatan yang sama
recovery yang tidak menjalani rehabilitasi. dengan stres fisik. Peningkatan kadar ACTH
Kadar kortisol terendah dijumpai pada ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem
pengukuran kedua atau setelah menjalani limbik, khususnya amigdala dan hipokampus
rehabilitasi. Hal ini dapat dijelaskan yang keduanya menjalarkan sinyal ke bagian
sebagai berikut, bahwa tubuh akan bereaksi posterior hipotalamus (Guyton 2000; Bear et
terhadap stres dengan mengeluarkan dua al. 1996). Ditemukan perubahan kadar kortisol
jenis zat kimia yakni hormon dalam darah di dalam tubuh individu yang mengalami
dan neurotransmitter di otak. Hal ini sesuai perubahan neuropsikiatrik (Stern & Prange
dengan pernyataan Stocker (2012), bahwa 1995). Pada Addict recovery didapatkan kadar
stres merupakan faktor utama dalam kortisol berkorelasi dengan agresivitas dan
menyebabkan kambuh di semua kecanduan. kepribadian antisosial (Fieshben et al. 1992).
Stres dapat berupa banyak bentuk. Pada Kemampuan mengelola stressor atau
kondisi addict, dimana seseorang dalam coping mechanism setiap orang tergantung dari
kondisi emosi negatif, gelisah, cemas. temperamen individu dan persepsi serta kognisi
Kondisi ini akan menyebabkan sekresi CRF terhadap adanya stressor yang diterima (Singh
oleh hipotalamus meningkat, peningkatan 1999). Coping mechanism terbentuk melalui
kadar CRF akan memicu peningkatan kadar proses belajar dan mengingat. Belajar dalam
ACTH oleh pituitary, pada akhirnya akan kaitan ini adalah kemampuan menyesuaikan
mengaktifkan korteks adrenal sehingga diri pada pengaruh faktor internal dan
sekresi glukokortikoid terutama kortisol aksternal. Manusia memiliki coping mechanism
meningkat (Cance et al. 1994; Dunn 1995; disebabkan otak mempunyai plastisitas yang
Bear et al. 1996). CRF telah ditunjukkan luar biasa. Apabila coping mechanism dari
untuk mendorong perubahan perilaku yang individu dapat berlangsung efektif walaupun
berkaitan dengan berbagai adaptasi terhadap ada peningkatan stressor, maka kerentanan
stres. Disregulasi dari sistem CRF pada tubuh yang dapat menjadikan terjadinya sakit
titik tertentu dapat menyebabkan berbagai dapat ditiadakan (Notossoedirdjo 1998).
gangguan kejiwaan, termasuk gangguan Glaser (1999) melaporkan bahwa siswa yang
kejiwaan akibat penggunaan narkotika lebih banyak mengalami stress mengalami

23
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

kelambatan pembentukan antibody dalam Kortisol beredar dalam plasma


merespon pathogen. Dalam hal ini sangat dalam bentuk fraksi bebas dan terikat
berkaitan dengan glukokortikoid yang dengan molekul protein transkortin atau
sudah diketahui secara luas memiliki sifat globulin pengikat kortikosteroid. Fraksi
imunosupresif. Namun glukokortikoid juga bebas merupakan sekitar 8% kortisol plasma
merupakan kebutuhan esensial untuk respon total dan merupakan fraksi kortisol yang
imun normal. secara biologis paling aktif. Pada sejumlah
Peranan ACTH pada sekresi kortisol kondisi atau aktivitas opiat endogen, terjadi
terjadi melalui interaksi komponen- insensitivitas rasa nyeri serta peningkatan
komponen yang terdapat dalam hypothalamic- rasa nikmat, positif atau euforia. Pada
pituitary axis (HPA-axis). ACTH yang pengguna narkotika jenis 3,4-metylenedioxy-
disekresi oleh hipofisis anterior akan terikat methamphetamine (ecstasy) dijumpai kadar
dengan reseptornya pada membran sel ACTH dan kortisol yang lebih tinggi
korteks adrenal, untuk ini dibutuhkan ion dibanding pada kelompok kon trol (Cance et
kalsium ekstrasel. Selanjutnya ikatan tersebut al. 1994; Gerra et al. 2002).
akan mengaktifkan enzim adenilsiklase, Menurut Selye dalam Cance (1994)
cAMP dan protein kinase-A, sehingga terdapat tiga tahapan reaksi fisiologis
terjadi perubahan kolesterol esterase menjadi tubuh terhadap stres. yang dikenal dengan
kolesterol bebas (Guyton 2000; Cance et istilah General Adaptation Syndrome (GAS).
al. 1994; Fox 1996). Kortisol disintesis dari Pertama tahap peringatan (the alarm stage),
kolesterol. Kolesterol mengalami esterifikasi pada tahap ini sistem saraf dibangkitkan
oleh kolesterol esterase dan disimpan dalam dan pertahanan tubuh dimobilisasi. Kedua,
lipid droplet. Pembentukan kolesterol bebas tahap perlawanan atau adaptasi (the stage of
pada lipid droplet dilakukan oleh kolesterol resistence or adaptation), yakni saat mobilisasi
esterase hidrolase. Perangsangan oleh ACTH menentukan untuk “flight or fight”, pada tahap
akan mengakibatkan aktifasi kolesterol ini tubuh sudah mampu mengatasi dosis
esterase. ACTH mengaktifkan sel korteks transaksi stresor. Ketiga, tahap keletihan (the
adrenal untuk memproduksi kortikosteroid stage of exhaustion), saat stres berkelanjutan,
(Duman et al. 2001; Guyton 2000). menyebabkan rusaknya mekanisme adaptasi
Reseptor kortisol tergolong ke dalam dan homeostasis.
reseptor intraseluler, karena kortisol Respon fisiologik non spesifik yang
terikat dengan reseptor dalam sitoplasma. diidentifikasi Selye terdiri atas interaksi
Ikatan tersebut akan bergerak ke dalam cabang simpatetik sistem saraf otonom dan
inti sel dan berinteraksi dengan kromatin. dua kelenjar, pituitary dan adrenal. Fase
Interaksi kortisol dengan reseptornya akan peringatan pada GAS dimulai bila stresor
menginduksi proses transkripsi, yakni dengan memicu hipotalamus dan sistem saraf
jalan berinteraksi dengan bagian DNA yang simpatetik. Fase perlawanan atau adaptasi
disebut glucocorticoid response element (GREs). dimulai dengan bekerjanya hormon adrenal
Berbagai protein yang dihasilkan akan (kortisol), norepineprin dan epineprin. Fase
mempengaruhi respon kortisol terhadap keletihan terjadi jika stres berlanjut atau
berbagai jaringan. Respon tersebut dapat adaptasi tidak berhasil (Cance et al. 1994).
bersifat stimulasi atau inhibisi, tergantung CRF, juga dikenal sebagai hormon
dari hormon mana jaringan tersebut bekerja. corticotropin releasing (CRH), telah
Walaupun reseptor kortisol sama di semua ditunjukkan untuk mendorong perubahan
jaringan, namun terdapat variasi sintesis perilaku yang berkaitan dengan berbagai
akibat ekspresi gen spesifik pada berbagai adaptasi terhadap stres. Disregulasi dari
jaringan. Glukokortikoid meningkatkan sistem CRF pada titik apapun dapat
dan menurunkan transkripsi gen untuk menyebabkan berbagai gangguan kejiwaan
mempengaruhi sintesis mRNA dari protein seperti depresi, gangguan obsesif kompulsif,
tertentu yang memperantarai banyak efek dan stress (Haass & Bartlett 2012).
fisiologis (Guyton 2000).

24
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

SIMPULAN USA: Allyn & Bacon. 13 – 34.


Fox SI. 1996. Human Physiology. Toronto:
Hasil penelitian menunjukkan pada Mc Graw-Hill. 284 - 307.
kondisi stress dan addict HPA-axis terstimuli Gerra G, Zaimovic A, Ampollini R, Giusti
sehingga sekresi CRF oleh hipotalamus F, Designore R. Raggi MA, Laviola
meningkat yang diikuti oleh peningkatan G, Macchia T, Brambilla F. 2002.
ACTH oleh Pituitary dan peningkatan Experimentally Induced Aggressive Behavior
sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal. in Subjects with 3,4–methylenedioxy-
Kondisi tenang yang diakibatkan treatment methamphetamine (Ecstasy) Use History:
rehabilitasi pada Addict recovery dapat Psychobiological Correlates. Centro Studi
menyebabkan penurunan kadar kortisol. Farmacotoxsicodipendenze, Ser T,
AUSL, Parma Italy.
DAFTAR PUSTAKA Glaser JKK. 1999. Stress. Personel
Relationships, and Immune Function:
Akil HA & Morano MI. 1995. Stress in Bloom Health Implication. Brain, Behavior,
FE and Kupfer DJ. Psychopharmacology. and Immunity 13: 61-72
New York: Raven Press. 773-779. Guyton AC. 2000. Texbook of Medical
Aswin S. 1990. Aspek Psikobiologik Systema Physiology. 9th ed. Philadelpia : W.B.
Limbicum, Sub Lab Neurobiologi, Lab sanders Co.. 9225-1015.
Anatomi Embriologi dan Antropologi Haass-Koffler. C.L. and Bartlett S E, 2012.
FK UGM. Yogyakarta: 1-5. Stress and Addiction: contribution
BNN (Badan Narkotika Nasional). 2003. of the corticotrophin releasing factor
Jakarta: Pedoman Terapi Pasien Keter- (CRF) system in neuroplasticity. Front
gantungan Narkotika dan Zat Adiktif Mol Neurosci. 5:91.
Lainnya. 4 22- 29. Hanson GR. 2002. Stress and Substance
Bear MF, Barry WC, Michael AP. 1996. Abuse. NIDA Community Drug Alert
Neuroscience: Exploring The Brain. Bulletin. 1-4
Baltimore : Williams & Wilkins. 403 Kauer JA. 2003. Addictive Drugs and Stress
–412. Trigger a Common Chance at VTA
Cance Mc, Kathryn L, and Jane S. 1994. Synapses. j. Neuron 37 (4): 577-82.
Stress and Disease in “Pathophysiology”. Kosten TR and George TP. 2002.
USA: Mosby 304- 307. Neurobiology of Opioid Dependence:
Duman RS, Malberg J and Nakagawa S. 2001. Implications for Treatment in Science &
Regulation of Adult Neurogenesis Practice Perspectives. NIDA l(1): 13-20.
by Psychotropic Drugs and Stresss. j Maramis WF. 1999. HPA Axis Activation
Pharmacology and Experimental Thera- and Hippocampal Atrophy in Folia
peutics. 299:401-107. Medica Indonesiana 35(1): 20-22.
Dunn AJ. 1995. Interctions between The Nervous Muljohardjono H. 2005. Konsep Psikologis
Syatem ant The Immune System. New dan Usaha Perubahannya. Surabaya:
York: Psychopharmacology. Raven Lab/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa FK
Press. 721-723. UNAIR. 25-26.
Fishbein DH, Dax E, Lozavsky DB, Jaffe NIDA. 2002. The Neurobiological of Drug
H. 1992. Neuroendokrin Responses Addiction. NIDA Publications- Slide
to a Glucose Challence in Substance Teaching Packets. Page 1-3.
Users with High and Low Levels of Notosoedirdjo M. 1998. Coping dan
Agression, Impulsivity, and Antisocial Psikopatologi. Surabaya: FK Unair.
Personality. Neurobiology. 25(2):106- PPIKB/CME. 2002. Konsensus FKUI
114. tentang Opiat, Masalah Medis dan
Fisher GL and Harrison TC. 1997. Substance Penatalaksanaanya. Jakarta: FKUI. 10
Abuse: Information for school counsellors, – 33.
social workers, therapists and counselors. Putra ST. 2000. Pengaruh Stres terhadap

25
Lisdiana / Biosaintifika 4 (1) (2012)

Sistem Kekebalan Tubuh Manusia dalam 4.


Sudut Pandang Psikoneuroimunologi. William A, Carlezon Jr and Nestler J. 2002.
Semarang: Simposium Regional Stres Elevated of GluR1 in the Midbrain: a
dan Kualitas Hidup. 1-6. Trigger for Sensitization to Drugs of
Setyawan S. 2003. Mekanisme Cooping. Abuse?. Trends in Neuroscience 25(12):
Surabaya: Lab Ilmu Faal Fakultas 610-615.
Kedokteran UNAIR. 1-4. Zaenullah A. 2005. Efek Puasa Ramadlan
Signh. 1999. Differential Hypothalamic- terhadap Perubahan Imunitas Pelak-
Pituitary-Adrenal- Axis Reactivity to sana Puasa Ramadhan. Studi Berba-
Psychological and Physical Stress. Clin sis Paradigma Psikoneuroimunologi.
Endo & Metab 84(6): 1944-1949. Disertasi. Program Pascasarjana
Stocker S. 2012. Studies Link Stress and Drug Universitas Airlangga Surabaya.
Addiction. NIDA Research Finding 14:1-

26

Anda mungkin juga menyukai