Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasien-pasien yang masuk ke ICU umumnya bervariasi baik itu pasien elektif
pasca operasi mayor, pasien emergensi akibat trauma mayor, sepsis atau gagal napas.
Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut ditemukan malnutrisi sebelum dimasukkan ke
ICU. Sangat umum bagi pasien Intensive Care Unit (ICU) untuk membutuhkan sokongan
nutrisi karena sebagian pasien telah mengalami suatu periode sakit dengan asupan nutrisi
yang buruk dan terjadi penurunan berat badan. Pada hampir semua pasien yang sakit kritis,
dijumpai anoreksia atau ketidakmampuan makan karena kesadaran yang terganggu, sedasi,
ataupun karena intubasi jalan nafas bagian atas. Malnutrisi adalah masalah umum yang
dijumpai pada kebanyakan pasien yang masuk ke rumah sakit. Sebanyak 40% pasien
dewasa menderita malnutrisi yang cukup serius yang dijumpai pada saat mereka tiba di
rumah sakit dan dua pertiga dari semua pasien mengalami perburukan status nutrisi selama
mereka dirawat di rumah sakit. Malnutrisi adalah perubahan komposisi tubuh dimana
terjadi defisiensi makronutrien dan mikronutrien yang menyebabkan penurunan yang
progresif dari masa sel tubuh, disfungsi organ, dan serum kimia yang abnormal. Dukungan
nutrisi memegang peranan yang penting dalam mencegah dan mengatasi defisiensi nutrisi
pada pasien kritis. Pasien kritis banyak masuk rumah sakit dengan komorbiditas yang
bervariasi seperti penyakit kardiovaskular, asma, dan kanker dimana itu membutuhkan
nutrisi ketika masa pemulihan dari masalah medis ataupun cedera pasca operasi.
Pasien dengan penyakit kritis membutuhkan nutrisi yang komplek dan masukan
nutrisi yang intensif. Sebagai bagian dari respon metabolic terhadap cedera, penggunaan
47 yang extensive,
energi istirahat yang meningkat, mengarah pada katabolisme
hyperglikemia, kehilangan masa tubuh yang progresif, retensi cairan, dan berkurangnya
sintesis protein visceral seperti albumin. Katabolisme bersamaan dengan malnutrisi bisa
mengarah pada kondisi klinis yang tidak diinginkan seperti gangguan penyembuhan luka,
ganguan respon imun, gangguan koagulasi, dan penurunan fungsi otot – otot pernapasan.
Oleh karena itu pemberian nutrisi sangat penting pada pasien kritis yang dirawat di ICU
karena dengan dukungan nutrisi dapat memperlambat laju katabolisme pada pasien ICU.
Dimana ini dapat meningkatkan outcome pasien dan memperpendek durasi recovery, yang
akan mengarahkan pada pengurangan lama rawat rumah sakit dan menurunkan biaya
perawatan. Sokongan nutrisi bagi pasien kritis dapat secara enteral maupun parenteral.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga penentuannya harus melihat
dan mempertimbangkan semua aspek yang ada kasus per kasus. Selain itu jumlah,
perhitungan kalori, jenis nutrien, serta saat pemberian juga mempengaruhi keadaan pasien
secara keseluruhan.
Untuk melihat kecukupan nutrisi pada pasien, maka harus dilakukan pengkajian
nutrisi pada pasien. Terlebih pada pasien ICU yang banyak dijumpai anoreksia atau
ketidakmampuan makan karena kesadaran yang terganggu, sedasi, ataupun karena intubasi
jalan nafas bagian atas. Oleh karena itu dibutuhkan pengkajian nutrisi di ruang ICU yang
tepat dan sesuai dengan kondisi pasien agar nutrisi pada pasien bisa terpenuhi secara
maksimal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah “Bagaimana
pengkajian nutrisi yang dapat dilakukan pada pasien di ICU?”

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui format pengkajian yang digunakan dalam mengkaji nutrisi pasien di ICU

Tujuan Khusus

- Mengidentifikasi model format pengkajian nutrisi yang digunakan pada pasien di


ICU
- Mengidentifikasi format pengkajian nutrisi yang tepat digunakan pada pasien ICU
- Menganalisis hal-hal yang harus dikaji nutrisi pada pasien di ICU
1.4 Manfaat
a. Bagi mahasiswa
Dengan adanya makalah ini dapat dijadikan referensi terhadap mahasiswa tentang
pengkajian nutrisi pada pasien kritis
b. Bagi institusi 47
Dapat dijadikan tambahan referensi perpustakaan berkaitan dengan pengkajian
nutrisi pada pasien kritis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Intensive Care Unit (ICU)

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang
khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia. ICU menyediakan kemampuan
dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan
menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam
pengelolaan keadaan-keadaan tersebut (Kepmenkes, RI. 2010).

Pada saat ini ICU modern tidak terbatas menangani pasien pasca bedah atau
ventilasi mekanis saja, namun telah menjadi cabang ilmu sendiri yaitu intensive care
medicine. Ruang lingkup pelayanannya meliputi pemberian dukungan fungsi organ-
organ vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi, susunan saraf pusat, renal dan lain-lain,
baik pada pasien dewasa atau anak. Intensive care medicine melibatkan multidisiplin
ilmu, termasuk ilmu bedah, ilmu interna, anestesi, neurologi, dan neurosurgery serta
subspesialis. Unit pelayanan ICU mempunyai ciri biaya tinggi, teknologi tinggi,
multidisiplin dan multiprofesi berdasarkan atas efektivitas, keselamatan, dan ekonomis.

2.2 Indikasi Masuk dan Keluar ICU

1. Kriteria masuk

ICU memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang
intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang
memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya
penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk memerlukan prioritas masuk ke
ICU. 47

a. Pasien prioritas 1 (satu)

Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi
intensif dan tertitasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi dan alat bantu suportif
organ/sistem yang lain, infus obat-obatan vasoaktif kontinyu, obat anti aritmia
kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lain-lainnya. Contoh pasien
kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa. Institusi
setempat dapat membuat kriteria spesifik untuk masuk ICU, seperti derajat
hipoksemia, hipotensi di bawah tekanan darah tertentu. Terapi pada pasien
prioritas 1 umumnya tidak mempunyai batas.

b. Pasien prioritas 2 (dua)

Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat


berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan
intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Contoh pasien seperti ini
antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung paru, gagal ginjal akut
dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor. Terapi pada pasien
prioritas 2 (dua) tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa
berubah.

c. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya atau penyakit akut nya, secara sendirian
atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi di ICU pada
golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan
metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial temponade, sumbatan jalan napas,
atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit
akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi
kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan
intubasi atau resusitasi jantung paru. 47

d. Pengecualian

Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk
pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien-
pasien golongan demikian sewaktu-waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar
fasilitas yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu,
dua, tiga). Pasien yang tergolong demikian antara lain:
1). Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tunjangan hidup
yang agresif dan hanya demi "perawatan yang aman saja". Ini tidak
menyingkirkan pasien dengan perintah "DNR (Do Not Resuscitate)". Sebenarnya
pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang
tersedia di ICU untuk meningkatkan kemungkinan survivalnya.

2). Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.

3). Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak. Pasien-pasien
seperti itu dapat dimasukkan ke air untuk menunjang fungsi organ hanya untuk
kepentingan donor organ.

2. Kriteria keluar

Prioritas pasien dipindahkan dari Icu berdasarkan pertimbangan medis oleh Kepala
ICU dan tim yang merawat pasien.

3. Pengkajian ulang kerja

Setiap Icu hendaknya membuat peraturan dan prosedur-prosedur masuk dan keluar,
standar perawatan pasien dan kriteria outcome yang spesifik. kelengkapan-
kelengkapan ini hendaknya dibuat oleh tim ICU di bawah supervisi komite medik,
dan hendaknya dikaji ulang dan diperbaiki seperlunya berdasarkan keluaran pasien
(outcome) dan pengukuran kinerja yang lain. Kepatuhan terhadap ketentuan masuk
dan keluar harus dipantau oleh komite medik.

47
2.3. Pelayanan Intensive Care Unit (ICU)

Perhimpunan dokter intensive care Indonesia (PERDICI) mengatakan bahwa


mampu memberikan pelayanan tersebut, dan yang terbebas dari tugas-tugas lain yang
membebani, seperti kamar operasi, praktek atau tugas-tugas kantor. Intensivist yang
bekerja harus berpartisipasi dalam suatu sistim yang menjamin kelangsungan pelayanan
intensive care 24 jam. Hubungan pelayanan ICU yang terorganisir dengan bagian-bagian
pelayanan lain di rumah sakit harus ada dalam organisasi rumah sakit.

Intensive Care Unit (ICU) merupakan cabang ilmu kedokteran yang memfokuskan
diri dalam bidang life support atau organ support pada pasien-pasien sakit kritis yang
kerap membutuhkan monitoring intensif. Pasien yang membutuhkan perawatan intensif
sering memerlukan support terhadap instabilitas hemodinamik (hipotensi), airway atau
respiratory compromise dan atau gagal ginjal, kadang ketiga-tiganya.

Bidang kerja pelayanan intensive care meliputi : (1) pengelolaan pasien; (2)
administrasi unit; (3) pendidikan; dan (4) penelitian. Kebutuhan dari masing-masing
bidang akan bergantung dari tingkat pelayanan tiap unit. Tingkat pelayanan ICU harus
disesuaikan dengan kelas rumah sakit. Tingkat pelayanan ini ditentukan oleh jumlah staf,
fasilitas, pelayanan penunjang, jumlah dan macam pasien yang dirawat. Pelayanan ICU
harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut :

1. Resusitasi jantung paru.

2. Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator


sederhana

3. Terapi oksigen

4. Pemantauan EKG, pulse oksimetri terus menerus

5. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral

6. Pemeriksaaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh

7. Pelaksanaan terapi secara titrasi

8. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai dengan kondisi pasien

9. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel47 selama transportasi


pasien gawat

10. Kemampuan melakukan fisioterapi dada

2.4. Klasifikasi atau stratifikasi pelayanan ICU

Klasifikasi atau statifikasi pelayanan ICU dibagi menjadi:

1. Pelayanan ICU Primer (standar minimal)

Pelayanan ICU primer mampu memberikan pengelolan resusitatif segera


untuk pasien sakit gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, dan mempunyai
peran penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada pasien medik dan
bedah yang beresiko. Dalam ICU dilakukan ventilasi mekanik dan pemantauan
kardiovaskuler sederhana selama beberapa jam. Kekhususan yang harus dimiliki :

a. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruangan
perawatan lain

b. Memiliki kebijaksanaan/kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan.

c. Memiliki seorang dokter spesialis anestesiologi sebagai kepala.

d. Ada dokter jaga 24 (dua puluh empat) jam dengan kemampuan melakukan
resusitasi jantung paru (A, B, C, D, E, F).

e. Konsulen yang membantu harus selalu dapat dihubungi dan dipanggil setiap saat. f.
Memiliki jumlah perawat yang cukup dan sebagian besar terlatih.

g. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu (Hb.


Hematokrit, elektrolit, gula darah dan trombosit), roentgen, kemudahan diagnostik
dan fisioterapi.

2. Pelayanan ICU sekunder

Pelayanan ICU sekunder memberikan standar ICU umum yang tinggi, yang
mendukung peran rumah sakit yang lain yang telah digariskan, misalnya kedokteran
umum, bedah, pengelolaan trauma, bedah saraf, bedah vaskuler dan lain-lainnya. ICU
hendaknya mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih47 lama melakukan
dukungan/bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan yang harus
dimiliki :

a. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruangan
perawatan lain.

b. Memiliki ketentuan / kriteria penderita yang masuk, keluar serta rujukan.

c. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila diperlukan.

d. Memiliki seorang kepala ICU, seorang dokter konsultan intensive care, atau bila
tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang bertanggung jawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung
paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut).

e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat sama


dengan 1:1 untuk pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1
untuk kasus-kasus lainnya.

f. Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau
minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di ICU.

g. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas
tertentu melakukan pemantauan invasif dan usaha-usaha penunjang hidup.

h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik dan


fisioterapi selama 24 (dua puluh empat) jam.

i. Memiliki ruangan isolasi atau mampu melakukan prosedur isolasi.

3. Pelayanan ICU tersier (tertinggi)

Pelayanan ICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk ICU, memberikan


pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan / bantuan hidup multi-sistim yang
kompleks dalam jangka waktu yang terbatas. ICU ini melakukan ventilasi mekanis
pelayanan dukungan/bantuan renal ekstrakorporal dan pemantuan kardiovaskuler
invasif dalam jangka waktu yang terbatas dan mempunyai dukungan pelayanan
penunjang medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dirujuk untuk
47
dikelola oleh spesialis intensive care. Kekhususan yang harus dimiliki :

a. Memiliki ruangan khusus tersendiri didalam rumah sakit.

b. Memiliki kriteria penderita masuk, keluar dan rujukan.

c. Memiliki dokter sepesialis yang dibutuhkan dan dapat dihubungi, datang setiap saat
diperlukan.

d. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau dokter ahli
konsultan intensive care yang lain yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan
dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan
bantuan hidup lanjut).
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien : perawat sama
dengan 1:1 untuk pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1
untuk kasus-kasus lainnya.

f. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat terlatih perawatan / terapi intensif
atau minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di ICU.

g. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan / terapi intensif baik
non-invasif maupun invasif.

h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, roentgen, kemudahan diagnostik dan


fisioterapi selama 24 (dua puluh empat) jam.

i. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu dalam mendidik tenaga medik dan
paramedik agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien.

j. Memiliki prosedur untuk pelaporan resmi dan pengkajian. (sampai disini).

k. Memiliki staf tambahan yang lain, misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam
medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.

Pasien sakit kritis membutuhkan pemantauan dan tunjangan hidup khusus


yang harus dilakukan oleh suatu tim, termasuk diantaranya dokter yang mempunyai
dasar pengetahuan, ketrampilan teknis, komitmen waktu, dan secara fisik selalu
berada ditempat untuk melakukan perawatan titrasi dan berkelanjutan. Perawatan ini
harus berkelanjutan dan bersifat proaktif, yang menjamin pasien dikelola dengan cara
47
yang aman, manusiawi, dan efektif dengan menggunakan sumber daya yang ada,
sedemikian rupa sehingga memberikan kualitas pelayanan yang tinggi dan hasil yang
optimal.

2.5. Definisi Nutrisi

Yang dimaksud zat gizi (nutrien) : adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh
untuk melakukan fungsinya , yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta
mengatur proses-proses kehidupan. Nutrisi merupakan suatu proses organisme
menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses degesti, absorbsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ,
serta menghasilkan energi. Tujuan optimal dari nutrisi adalah bagaimana mengatur
komponen nutrisi, bagaimana keadaan saluran cerna dan enzim pencernaan.

Hal-hal yang pelu diperhatikan dalam pemberian nutirisi yaitu :

Biokimia komposisi nutrisi

Proses metabolisme dalam sel

Kapan memulai NPE

Lama pemberian

Cara menghitung kebutuhan

Memilih komposisi cairan

Membuat skema terapi

Monitoring

Mencegah atau mengatasi komplikasi

2.6 Menilai Status Nutrisi

Semua permintaan perawatan ICU, harus diskrining untuk menilai kebutuhan mereka
terhadap pemberian bantuan nutrisi. Bantuan nutrisi dalam waktu 24 hingga 48 jam
47
pertama dari masuk ICU ( atau ketika hemodinamik stabil ) dimaksudkan untuk :

Pasien kekurangan gizi atau hypercatabolic

Pasien kritis yang diharapkan untuk tinggal di ICU selama 3 hari atau lebih.

Pasien yang tidak diharapkan untuk memulai diet dalam 5 hari berikutnya atau
lebih.

Sebelum memulai memberikan nutrisi, penilaian gizi harus mempertimbangkan :

 Penurunan berat badan terakhir.

 Asupan gizi sebelum masuk.


 Tingkat keparahan penyakit.

 Kondisi co-morbid.

 Fungsi saluran pencernaan.

Status nutrisi adalah fenomena multidimensional yang memerlukan beberapa


metode dalam penilaian, termasuk indikator-indikator yang berhubungan dengan nutrisi,
asupan nutrisi dan pemakaian energi, seperti Body Mass Index (BMI), serum albumin,
prealbumin, hemoglobin, magnesium dan fosfor. Pengukuran antropometrik termasuk
ketebalan lapisan kulit (skin fold) permukaan daerah trisep (triceps skin fold, TSF) dan
pengukuran lingkar otot lengan atas (midarm muscle circumference, MAMC), tidak
berguna banyak pada pasien sakit kritis karena ukuran berat badan cenderung untuk
berubah.

Penilaian status gizi pada pasien sakit kritis dimulai dengan menanyakan
tentang riwayat kehilangan berat badan (melebihi 5% dalam 1 bualn atau 10% lebih
dalam 6 bulan) dan pencatatan berat yang masuk. Selain itu, juga harus mencakup
penilaian faktor risiko yang berbeda yang mengganggu pencernaan, pemanfaatan, atau
ekskresi seperti operasi bypass lambung atau usus. Pemeriksaan fisik harus fokus pada
tanda-tanda kekurangan gizi terutama kekurangan protein kalori, tanda-tanda
kekurangan mikronutrien tertentu (seperti anemia, glositis, atau ruam), kondisi hidrasi,
dan edema.

Bila mungkin, berat saat masuk dan tinggi harus digunakan


47 untuk menghitung
IBW, persentase IBW, dan BMI. BMI dihitung dengan membagi berat dalam kilogram
dengan kuadrat tinggi dalam meter. BMI yang normal berkisar 19-25, BMI < 14 pada
saat masuk ICU memiliki harpan kelangsungan hidup yang buruk. Data antropometri
(ketebalan lipatan kulit dan trisep-midarm ircumference), dan indeks tinggi kreatinin
(tingkat kreatinin urin sesuai dengan tinggi), meskipun berguna pada pasien rawat jalan,
bukan sebagai langkah yang akurat dalam menentukan status nutrisi pada pasien sakit
kritis.

Jenis protein yang paling sering diukur adalah albumin serum. Level albumin
yang rendah merefleksikan status nutrisi penderita yang dihubungkan dengan proses
penyakit dan atau proses pemulihan. Pada pasien kritis terjadi penurunan sintesa
albumin, pergeseran distribusi dari ruangan intravaskular ke interstitial, dan pelepasan
hormon yang meningkatkan dekstruksi metabolisme albumin. Level serum pre-albumin
juga dapat menjadi petunjuk yang lebih cepat adanya suatu stres fisiologik dan sebagai
indikator status nutrisi. Level serum hemoglobin dan trace elements seperti magnesium
dan fosfor merupakan tiga indicator biokimia tambahan. Hemoglobin digunakan
sebagai indikator kapasitas angkut oksigen, sedangkan magnesium atau fosfor sebagai
indikator gangguan pada jantung, saraf dan neuromuskular.

Tingkat serum albumin dan beberapa protein transportasi lainnya, biasanya


diukur sebagai pengganti status protein viseral. Tingkat sintesis hepatik harian untuk
albumin adalah antara 120 dan 170 mg/kgBB dengan albumin didistribusikan antara
ruang intravaskular dan ekstravaskular spaces. Namun, kadar serum albumin dan
protein transportasi lainnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sintesis dan derajat
degradasi di samping kehilangan melalui usus atau ginjal. Akibatnya, kadarnya turun
akibat peradangan, trauma, atau sepsis dimana tingginya tingkat interleukin-6
merangsang produksi protein fase akut yang menghambat production protein transport.

Oleh karena itu hipoalbuminemia jarang hadir dalam kasus malnutrition.


Sebaliknya, hipoalbuminemia adalah penanda respon inflamasi sistemik dan
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan kematian di antara pasien rumah sakit.
Oleh karena itu, konsentrasi albumin serum dapat digunakan sebagai alat skrining gizi
pada saat masuk ICU. Namun, itu adalah indikator yang buruk terhadap status gizi
pasien sakit kritis karena hanya berfungsi sebagai penanda cedera dan metabolisme
dalam menanggapi stress. 47

2.7 Kebutuhan Nutrisi Pasien Kritis

Tunjangan nutrisi yang tepat dan akurat pada pasien sakit kritis dapat
menurunkan angka kematian. Terdapat dua tujuan dasar dari tunjangan nutrisi yaitu:

1. Mengurangi konsekuensi respon berkepanjangan terhadap jejas yaitu starvation


dan infrastruktur.

2. Mengatur respon inflamasi, penentuan status nutrisi pada pasien kritis hendaknya
dilakukan berulang ulang untuk menentukan kecukupan nutrisi dan untuk
menentukan tunjangan nutrisi selanjutnya. Pemeriksaan yang berulang - ulang ini
penting karena 16-20% pasien yang dirawat di ruang Intensif mengalami defisiensi
makronutrien 48jam setelah dirawat. Disamping itu disfungsi/gagal organ multiple
dapat terjadi sesudah trauma, sepsis atau gagal nafas yang berhubungan dengan
hipermetabolisme yang berlangsung lama.

Para klinisi perlu mengetahui bagaimana cara menghitung energi (kalori),


protein, lemak, elektrolit, vitamin, trace- elemen dan air. Berikut ini beberapa cara
menghitung kebutuhan nutrisi.

a. Metabolic Chart- Indirect Calorimetry Resting Energy Expenditur (REE).


[(konsentrasi O2)(0,39) + (produksi CO2)(1,11)] x 1440.

Rumus ini kurang akurat pada pasien-pasien dengan FiO2 lebih dari 40%.

b. Rumus Harris & Benedict :

 Kebutuhan energi dasar (BMR)

BMR pria = 66.0 + 13.7 x BB + 5 x T – 6.8 x U Kcal/hari


BMR wanita = 655 + 9.6 x BB + 1.7 x T – 4.7 x U Kacl/hari

BB = Berat badan (Kg)

T = Tinggi (cm)

U = Usia (tahun)
47

 Kebutuhan energi aktual (AEE)

AEE = BMR x AF x IF x TF

AF = Activity Factor (faktor aktivitas)

IF = Injury Factor

TF = Termal Factor

Tabel Faktor Koreksi

FAKTOR AKTIFITAS (AF) Koreksi


 Istirahat tidur (bed rest) 1,2

 Mobilisasi 1,3

FAKTOR PEMBEBANAN (IF) Koreksi

 Tanpa komplikasi 1,0

 Paska bedah 1,1

 Patah tulang 1,2

 Sepsis 1,3

 Peritonitis 1,4

 Multi trauma 1,5

 Multi trauma + sepsis 1,6

 Luka bakar 30 – 50% 1,7

 Luka bakar 50 – 70% 1,8

 Luka bakar 70 – 90% 2,0

FAKTOR SUHU (TF) Koreksi

 38OC 1,1

 39OC 1,2

 40OC 1,3
47
 O
41 C 1,4

c. Kebutuhan kalori

Untuk menentukan kebutuhan kalori perlu mengatahui gambaran fisiologis


dari keadaan hiperkatabolik. Dalam keadaan hiperkatabolik terjadi peningkatan
produksi panas, peningkatan kebutuhan energi (meningkat 25 – 50%),
meningkatnya kecepatan nafas, dan meningkatnya kecepatan nadi.

Kebutuhan kalori (kcal/kg BB) : 25 – 30 kcal/kg BB

Glukosa merupakan substrat kalori primer, sedangkan kebutuhan lemak sekitar 15


– 40%. Dalam menentukan kebutuhan kalori harus dihindari terjadinya
hiperglikemia.

d. Kebutuhan nitrogen

Menghitung balance nitrogen dengan menggunakan urea urine 24 jam dan


dalam hubungannya dengan urea darah dan Albumin. Tiap gram nitrogen yang
dihasilkan menggunakan energy sebesar 100-150 kkal. Nitrogen dibutuhkan pada
penderita-penderita dengan :

hipermetabolik, stress dan penderita yang mengalami trauma.

Penderita yang mengalami ekskresi urea sebesar 85% dari protein tubuh yang
mengalami pemecahan.

Idealnya pemberian nitrogen harus :

1. Seminimal mungkin sesuai dengan yang hilang

2. Cukup untuk mempertahankan masa tubuh

3. Nitrogen cukup untuk penyembuhan

4. Cukup adekwat untuk penyembuhan

5. Rata-rata kebutuhan nitrogen 14 - 16 gm/hari (90 – 100 g r protein) (1 gr


nitrogen = 6.25 gr protein = 30 gr jaringan).

47
Tabel Ringkasan Rekomendasi Kebutuhan Macronutrien Untuk Pasien ICU

Substrat Nutrisi Jumlah

20 – 25 cc/kg/hari fase kritis


Air
30 – 50 cc/kg/hari fase recovery
20 – 25 kcal/kg/hari fase akut dari sakit kritis
Energi
30 – 50 kcal/kg/hari fase recovery
1,2 – 1,5 g/kg/hari
1.2-2.0g protein/kg (BMI<30kg/m2)
Protein / asam amino
2g/kg ideal weight (BMI 30-40kg/m2)
2.5g/kg ideal weight (BMI >40kg/m2)
Na 1 – 2 mEq / kg / hari

K 1mEq/kg/hari

Glukosa 3-5 g/kg

0.7-1.5g/kg.
Lemak
0.8-1g/kg in sepsis/SIRS.

Penetapan Resting Energy Expenditure (REE) harus dilakukan sebelum


memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energy yang dikeluarkan untuk
mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat dan 12 - 18 jam setelah makan. REE
sering juga disebut Basal Metabolic Rate (BMR), Basal Energy Requirement (BER),
atau Basal Energy Expenditure (BEE). Perkiraan REE yang akurat dapat membantu
mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi (overviding) seperti infiltrasi
lemak ke hati dan pulmonary compromise

2.8 Dukungan Nutrisi

Bantuan nutrisi merupakan bagian rutine dari terapi pasien di ICU. Tujuan
pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan nitrogen, tapi menghindari
masalah-masalah yang disebabkan overfeeding atau refeeding syndrome seperti uremia,
dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-
ketotik hiperosmolar dan hiperlipidemia Adapun tujuan pemberian bantuan nutrisi
penderita di ICU yaitu : 47

1. Memperoleh bantuan nutrisi yang sesuai dengan kondisi medik penderita, status
nutrisi dan cara pemberiannya.

2. Mencegah atau mengobati kekurangan atau defisiensi makro nutrient dan mikro
nutrien.

3. Memperoleh nutrien yang layak dengan adanya metabolism.

4. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan tehnik pemberian diet

5. Memperbaiki pengeluaran penderita dari rumah sakit yang ada berhubungan dengan
penyakitnya.

Sedangkan indikasi pemberian dukungan nutrisi pada penderita di ICU adalah :

1. Penderita tidak dapat makan

2. Penderita harus puasa

3. Penderita tidak mau makan

4. Penderita tidak cukup makan

Cara pemberian nutrisi pada penderita dapat dimulai dengan energi yang rendah
sampai maksimal, kemudian diturunkan sampai semula ,semuanya dimulai dan diakhiri
dengan perlahan- lahan. Bentuk pemberian kalori yaitu :

a. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energy yang penting. Setiap gram karbohidrat


menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di dalam diit sebaiknya
berkisar 50%-60% dari kebutuhan kalori.

b. Lemak

Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral maupun


parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat mencapai 20% -40% dari
total kebutuhan. Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori. Lemak memiliki fungsi
47
antara lain sebagai sumber energi, membantu absorbsi vitamin yang larut dalam
lemak, menyediakan asam lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ
internal, membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-jaringan tubuh.

c. Protein (Asam Amino)

Kebutuhan protein adalah 0,8gr/kgbb/hari atau kurang lebih 10% dari total
kebutuhan kalori. Namun selama sakit kritis kebutuhan protein meningkat menjadi
1,2-1,5 gr/kgbb/hari. Pada beberapa penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol,
misalnya kegagalan hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5
gr/kgbb/hari. Kebutuhan micro nutrient juga harus dipertimbangkan, biasanya
diberikan natrium, kalium 1 mmol/kgbb, dapat ditingkatkan jika terdapat kehilangan
yang berlebihan. Elektrolit lain seperti magnesium, besi, tembaga, seng dan selenium,
juga dibutuhkan dalam jumlah yang lebih sedikit. Pasien dengan suplementasi nutrisi
yang lama membutuhkan pengecekan kadar elektrolit-elektrolit ini secara periodik.
Elektrolit yang sering terlupakan adalah fosfat, kelemahan otot yang berhubungan
dengan penggunaan ventilator yang lama dan kegagalan lepas dari ventilator, dapat
disebabkan oleh hipofosfatemia

Pasien kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1 (tiamin), B3 (niasin),


B6 (piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan asam folat yang lebih banyak
dibandingkan kebutuhan normal sehari-harinya.

Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses


penyembuhan luka, sintesis protein, sel kekebalan aktif, dan paracrine messenger.
Disamping itu, serum glukosa dijaga antara 100 - 200 mg/dL.3,15 Hiperglisemia tak
terkontrol dapat menyebabkan koma hiperosmolar non ketotik dan resiko terjadinya
sepsis, yang mempunyai angka mortalitas sebesar 40%.

Hipofosfatemia merupakan satu dari kebanyakan komplikasi metabolik yang


serius akibat Refeeding Syndrome. Hipofosfatemia yang berat dihubungkan dengan
komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk insufisiensi respirasi, abnormalitas
jantung, disfungsi SSP, disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit dan kesulitan untuk
menghentikan penggunaan respirator.

Pada pasien sakit kritis yang menderita kurang gizi dan tidak menerima
makanan melalui oral, enteral atau parenteral, maka nutrisi 47
harus dimulai sedini
mungkin. Keuntungan pemberian dini, menyebabkan hemodinamik pasien menjadi
stabil, yang telah ditunjukkan dengan penurunan permeabilitas intestinal dan
penurunan disfungsi organ multipel.

2.9. Rute Pemberian Nutrisi

Idealnya rute pemberian nutrisi adalah yang mampu menyalurkan nutrisi


dengan morbiditas minimal. Masing-masing rute mempunyai keuntungan dan
kerugian tersendiri, dan pemilihan harus tergantung pada penegakkan klinis dari
pasien. Meskipun rute pemberian nutrisi secara enteral selalu lebih dipilih
dibandingkan parenteral, namun nutrisi enteral tidak selalu tersedia, dan untuk kasus
tertentu kurang dapat diandalkan atau kurang aman. Dalam perawatan terhadap
penderita sakit kritis, nutrisi enteral selalu menjadi pilihan pertama dan nutrisi
parenteral menjadi alternatif berikutnya.

2.9.1. Nutrisi Enteral

Pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute
oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (Gastric tube/G-
tube, Nasogastric Tube/NGT) atau duodenum, atau jejunum. Dapat secara manual
maupun dengan bantuan pompa mesin. Dosis nutrisi enteral biasanya berkisar
antara 14-18 kkal/kgbb/ hari atau 60-70% dari tujuan yang hendak dicapai.

Larutan nutrisi enteral yang tersedia dipasaran memiliki komposisi yang


bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein utuh (berasal dari whey, daging,
isolat kedelai dan kasein), karbohidrat dalam bentuk oligosakarida atau
polisakarida. Formula demikian memerlukan enzim pancreas saat absorbsinya.

Nutrisi elemental dengan sumber nitrogen (asam amino maupun peptida)


tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin, namun dapat membantu bila
absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada insufisiensi pankreas atau setelah
kelaparan dalam jangka panjang. Lipid biasanya berasal dari minyak nabati yang
mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi juga berisi trigliserida rantai
sedang yang lebih mudah diserap. Proporsi kalori dari non protein seperti
karbohidrat biasanya dua pertiga dari total kebutuhan kalori. Serat diberikan untuk
menurunkan insiden diare. Serat dimetabolisme oleh bakteri47menjadi asam lemak
rantai pendek, yang digunakan oleh koloni untuk pengambilan air dan elektrolit.

Suplementasi glutamin enteral telah menunjukkan manfaat terhadap hasil


ada pasien luka bakar dan trauma. Ada rekomendasi bertentangan mengenai
penggunaan glutamin enteral dalam patients kritis lainnya. Glutamine dicampur
dengan air dapat diberikan secara enteral terbagi dalam 2-3 dosis untuk
memberikan 0,3 - 0.5g/kg/hari

Bukti menunjukkan nutrisi enteral membantu untuk menjaga integritas


usus, mencegah stasis usus, mempertahankan massa usus, menjaga usus terkait
jaringan limfoid, dan mencegah stres ulserasi. Nutrisi enteral yang dini (dalam
waktu 24-48 jam dari ICU) menguntungkan bagi patients ICU. Penderita yang
tidak mendapat nutrisi enteral dapat mengalami atrofi mukosa usus, karena tidak
ada bahan nutrien untuk enterosit dan colonosit. Bila pemberian nuitrisi enteral
tidak cukup , maka fungsi barier usus mengalami kegagalan dan mengakibatkan
translokasi endotoksin dan bakteri dan ini sangat membahayakan penderita

Nutrisi enteral adalah faktor resiko independent pnemoni nosokomial yang


berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara pemberian sedini mungkin dan
benar nutrisi enteral akan menurunkan kejadian pneumonia, sebab bila nutrisi
enteral yang diberikan secara dini akan membantu memelihara epitel pencernaan,
mencegah translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi gaster, kolonisasi
kuman, dan regurgitasi. Posisi pasien setengah duduk dapat mengurangi resiko
regurgitasi aspirasi. Diare sering terjadi pada pasien di Intensif Care Unit yang
mendapat nutrisi enteral, penyebabnya multifaktorial, termasuk therapy antibiotic,
infeksi clostridium difficile, impaksi feses, dan efek tidak spesifik akibat penyakit
kritis. Komplikasi metabolik yang paling sering berupa abnormalitas elektrolit dan
hiperglikemi.

Indikasi pemberian nutrisi enteral yaitu :

1. Pasien dengan malnutrisi berat yang akan menjalani pembedahan saluran


cerna bagian bawah.

2. Pasien dengan malnutrisi sedang-berat yang akan menjalani prosedur mayor


elektif saluran cerna bagian atas. 47

3. Asupan makanan yang diperkirakan tidak adekuat selama >5-7 hari pada
pasien malnutrisi, >7-9 hari pada pasien yang tidak malnutrisi.

Kontraindikasi pemberian nutrisi enteral yaitu :

1. Pasien yang diperbolehkan untuk asupan oral non-restriksi dalam waktu <7
hari.

2. Obstruksi usus.

3. Pankreatitis akut berat.


4. Perdarahan masif pada saluran cerna bagian atas.

5. Muntah atau diare berat.

6. Instabilitas hemodinamik.

7. Ileus paralitik.

Keuntungan pemberian nutrisi enteral yaitu :

1. Peningkatan berat badan dan retensi nitrogen yang lebih baik

2. Mengurangi frekuensi steatosis hepatic

3. Mengurangi insiden perdarahan gastrik dan intestinal

4. Membantu mempertahankan integritas barier mukosa usus, struktur mukosa


serta fungsi dan pelepasan hormon-hormon trofik usus.

5. Mengurangi risiko sepsis

6. Beberapa zat gizi tidak dapat diberikan parenteral, seperti: glutamin, arginin,
nukleotida, serat (dan asam lemak rantai pendek yang dihasilkannya melalui
proses degradasi usus), dan mungkin juga peptida.

7. Meningkatkan angka ketahanan hidup.

Para dokter sering terlalu berhati-hati dalam menentukan


47 saat pemberian
nutrisi enteral. Banyak yang mengatakan bahwa saat yang tepat untuk
memberikan nutrisi enteral adalah jika bising usus telah terdengar, hal ini tidak
tepat karena fungsi usus dapat cukup normal walaupun bising usus tidak
terdengar. Kehadiran bising usus bukan merupakan prasyarat yang diperlukan
untuk memulai makanan enteral di ICU. Nutrisi enteral dapat dimulai pada pasien
bedah tanpa menunggu flatus atau motion usus.

Pada nutrisi enteral, hindari kalori yang berlebihan, makanan yang hanya
tinggal diserap (predigested food) dan overfeeding. Selain itu berikan makanan
yang mengandung serat dan banyak vitamin. Tidak ada bukti yang menyokong
bahwa pemberian nutrisi enteral hendaknya dimulai dari jumlah kecil, kecuali
pada pasien yang telah kelaparan dalam waktu lama, karena risiko sindrom
refeeding. Secara umum, pemberian nutrisi enteral harus cukup sejak awal. Diare
dapat timbul pada pemberian makanan yang berlebihan, selain karena terapi
antibiotika multipel, berkepanjangan dan tidak sesuai. Diare bukan indikasi untuk
menghentikan nutrisi enteral dan sering akan hilang jika pemberian nutrisi enteral
diteruskan.

Anggapan bahwa pada pankreatitis akut tidak boleh diberi nutrisi enteral
untuk mengistirahatkan pankreas juga akhir-akhir ini dianggap tidak benar,
bahkan pasien akan lebih baik jika diberi nutrisi secara enteral. Kekurangan nutrisi
enteral selama sakit kritis juga berhubungan dengan penurunan besar dalam
konsentrasi lipid bilier yang akan berangsur-angsur menjadi normal kembali
setelah nutrisi enteral selama 5 hari. Kemungkinan hilangnya stimulasi enteral
pada pasien ICU menyebabka n metabolism lipid pada hati terganggu.

2.9.2 Nutrisi Parenteral

Jalur nutrisi enteral merupakan pilihan pertama bagi setiap penderita yang
memungkinkan penggunaan jalur ini, namun bila dijumpai kontraindikasi, barulah
dipertimbangkan penggunaan jalur parenteral. Nutrisi parenteral adalah suatu
bentuk pemberian nutrisi yang diberikan langsung melalui pembuluh darah tanpa
melalui saluran pencernakan. Nutrisi parenteral diberikan apabila usus tidak
dipakai karena suatu hal misalnya: malformasi congenital intestinal, enterokolitis
nekrotikans, dan distress respirasi berat. Nutrisi parsial parenteral diberikan
47
apabila usus dapat dipakai, tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi untuk
pemeliharaan dan pertumbuhan.

Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat


dipenuhi dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk memberikan nutrisi enteral
walaupun parsial dan tidak adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral.
Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk
dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Hal yang paling ditakutkan pada
pemberian nutrisi parenteral total (TPN) melalui vena sentral adalah infeksi.

Penemuan metode kanulasi intravena memberikan jalan bagi


perkembangan nutrisi parenteral yang kita kenal sekarang. Berbagai teknik insersi
vena sentral mengalami perkembangan seperti metode kanulasi subklavia melalui
supraklavikula, vena subklavia, vena jugularis interna dan eksterna, vena basilica,
vena femoralis dan kateterisasi atrium kanan.

Indikasi nutrisi parenteral yaitu:

1. Hemodinamik tidak stabil

2. Gangguan absorbsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia


intestinal, colitis infeksiosa, obstruksi usus halus.

3. Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pancreatitis berat, status
pre operatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, diare berulang.

4. Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan.

5. Makan, muntah terus menerus, hiperemisis gravidarum.

6. Suplemen parsial untuk nutrisi enteral.

Pertimbangkan nutrisi parenteral ketika makanan enteral tidak mungkin


atau adekuat. Beberapa merekomendasikan memulai Parenteral Nutrition dalam
pasien kritis jika nutrisi enteral tidak dapat dimulai dalam waktu 24 sampai 48 jam
dari sejak masuk ICU. Digunakan untuk melengkapi nutrisi ketika secara enteral
tidak mencukupi, akhir nutrisi parenteral (hari 8) dikaitkan dengan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan awal PN inisiasi dalam satu study. Study lain
47
menemukan bahwa tambahan PN pada hari 4 dari nutrisi enteral tidak memadai,
untuk mencapai 100 % dari nutrisi kebutuhan, memiliki hasil yang
menguntungkan secara signifikan. Sebuah pemicu waktu yang wajar dari 72 jam
untuk dimulai PN di ICU, dapat digunakan di mana EN telah gagal atau
merupakan kontraindikasi.

Berdasarkan cara pemberian nutrisi parenteral dibagi atas:

1. Nutrisi parenteral sentral

Indikasi jalu vena sentral pada pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral:

a. Nutrisi parenteral dalam jangka waktu yang lama.


b. Jalur vena perifer tidak adekuat.

c. Membutuhkan nutrisi spesifik tertentu.

d. Akses vena sentral telah tersedia. Misalnya pada pasien sakit berat yang
dirawat di ICU dengan monitorin tekanan vena sentral.

e. Jalur vena perifer diperkirakan sulit untuk diakses dan dipertahankan.

f. Gagal melakukan akses vena perifer.

g. Membutuhkan volume nutrisi yang besar. Misalnya pada penderita fistula


enterokutaneus dengan output tinggi.

Kontarindikasi nutrisi parenteral sentral yaitu :

a. Riwatar trombosis pada vena sentral

b. Telah mengalami komplikasi akibat kateterisasi vena sentral.

c. Secara teknis, kanulasi pada vena sentral diperkirakan sulit atau berbahaya.

Tempat kanulasi vena sentral yang paling sering adalah pada vena subklavia. Ada 2
metode utama dalam mengakses vena ini yaitu melalui:

a. Infraklavikula

Vena subklavia melengkung di belakang klavikula diatas segmen anterior iga


pertama. Pada titik inilah tempat yang paling aman untuk mengakses vena
subklavia. Landmark tempat insersi vena subklavia adalah pada daerah insersi
47
muskulus skalenus anterior pada tuberositas iga pertama, yang terletak di
posterior klavikula.

b. Supraklavikula

Landmark pada kanulasi venasubklavia jalur supraklavikula serupa dengan


jalur infraklavikula, kecuali tempat insersinya pada sudut antara sisi lateral
muskulus sterkleidomastoideus dengan klavikula.

Peripeherally Inserted Central Catheter (PICC) adalah kanulasi vena sentral


melalui vena perifer, biasanya di daerah fosa kubiti yakni pada vena sefalika atau
vena basilika, menggunakan kateter diameter kecil, namun fleksibel dan cukup
panjang (hingga 90 cm). Untuk mencegah komplikasi perlu diperhatikan visibilitas
dan ukuran vena-vena di lengan, keadaan klinis, mobilitas dan kenyamanan pasien,
pemakaian jangka lama tidak ideal untuk metode ini. PICC tidak cocok bagi pasien
yang harus duduk di kursi roda atau memakai tongkat sebab dapat menimbulkan
gesekan antara kateter dengan tunika intima sehingga timbul phlebitis.

2. Peripheral Parenteral Nutrition (PPN)

Indikasi PPN yaitu :

a. Suplementasi terhadap nutrisi enteral yang tidak adekuat

b. Pemenuhan kebutuhan basal pada penderita nin-deplesi dan dapat mentolernsi


3 liter cairan perhari

c. Penderita dengan akses vena sentral dikontraindikasikan

Kontraindikasi PPN yaitu :

a. Penderita hiperkatabolisme seperti luka bakar dan trauma berat

b. Penderita dengan kebutuhan cairan substansial tertentu, misalnya pada pasien


fistula enterokutaneus dengan output tinggi

c. Penderita yang telah memakai akses vena sentral untuk tujuan lain dimana
nutrisi parenteral dapat menggunakan kateter yang telah ada
47
d. Akses vena perifer tidak dapat dilakukan

e. Pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral jangka lama (>1 bulan).

Keuntungan PPN yaitu :

a. Terhindar dari komplikasi kanulasi vena sentral

b. Perawatan kateter yang lebih mudah

c. Mengurangi biaya

d. Mencegah penundaan nutrisi parenteral oleh keterbatasan kemampun


pemakaian akses vena sentral.

Keterbatasan pemakaian jalur ini dapat diatasi dengan penjelasan berikut:


Mayoritas pasien yang memerlukan nutrisi parenteral hanya membutuhkan kurang
dari 0,25 gram Nitrogen/kgBB/hari atau 30 Kcal/kgBB/hari yang dapat dicukupi
dalam 3 liter cairan/hari dapat menggunakan jalur perifer. 75% penderita yang
membutuhkan nutrisi parenteral hanya memerlukan nutrisi ini selama kurang dari
14 hari dan bahkan 50% penderita hanya perlu TPN selama kurang dari 10 hari.
Dengan kurun waktu demikian maka kebanyakan pemakaian PPN bukan
merupakan halangan karena PPN aman dipakai hingga 3 minggu.

Keterbatasan PPN yang sering adalah akses vena perifer yang inadekuat,
khususnya penderita yang sakit serius dan kasus darurat bedah. Namun suatu
penelitian dijumpai 56% pasien yang diberikan PPN dapat menyelesaikan TPN
hingga sembuh. Hal ini membuktikan bahwa PPN harus dipertimbangkan pada
pasien yang membutuhkan nutrisi parenteral. Lagipula akses vena perifer dapat
dilakukan melalui venous cut down. Pada praktek klinis, pemberian makanan
enteral dini dimulai dalam 24 hingga 48 jam setelah trauma. Moore, dkk
mengamati adanya penurunan pada komplikasi klinis pasien dengan cedera
abdomen yang menerima makanan melalui NGT dibandingkan grup kontrol yang
menerima Total Parenteral Nutrition yang dimulai pada hari ke-6 setelah operasi.
Peneliti yang lain juga mengkonfirmasikan hasil yang sama yang mendukung
keuntungan pemberian nutrisi secara dini.
47

BAB III
FORMAT PENGKAJIAN & LITERATURE REVIEW

3.1 Form Pengkajian

1. Malnutrition Screening Tool (MST)

No. Parameter Skor


1. Apakah pasien mengalami penurunan BB yang tidak diinginkan dalam 6 bulan
terakhir?
a. Tidak ada penurunan BB 0
b. Tidak yakin/tidak tahu/terasa baju lebih longgar 2
c. Jika ya, berapa penurunan BB tersebut?
- 1-5 kg 1
- 6-10 kg 2
- 11-15 kg 3
- >15 kg 4
2. Apakah asupan makanan berkurang karena tidak nafsu makan?
a. Ya 0
b. Tidak 1
Total skor

Pasien dengan diagnosis khusus: Ya ( ) Tidak ( )

(misal: DM, gangguan fungsi tiroid, infeksi kronis, dan atau lain-lain)

Sebutkan: . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Interpretasi:

MST = 0-1 tidak berisiko malnutrisi

MST = ≥ 2 berisiko malnutrisi

47
47
2. Form SGA (Subjective Global Assesment)

DESKRIPSI JAWABAN SKOR SGA

RIWAYAT MEDIS
Berat Badan (BB)
- BB biasa ........ kg Tidak tahu TB = ....... cm
- BB awal masuk
........ kg Tidak tahu (jika tidak
RS/saat ini (bila
tahu, ukur TB
ada data dikutip,
(selagi pasien
bila tidak ada
tidak tirah
pasien ditimbang)
baring))
Kehilangan BB selama 6 ( ) tidak ada
bulan terakhir ( ) ada perubahan, bertambah/menurun 5%
BB biasanya/BB awal ( ) ada penurunan BB 5-10%
masuk RS ( ) ada penurunan >10%
( ) tidak tahu
Perubahan BB selama 2 ( ) tidak ada
minggu terakhir ( ) tidak ada, tapi BB dibawah normal
Bila pasien tidak yakin, ( ) ada kenaikan, tapi BB belum normal
tanyakan: ( ) BB menurun
a. Perubahan pada
ukuran ikat
pinggang
b. Perubahan pada
47
ukuran pakaian
c. Asumsi teman
“terlihat lebih
kurus”
Asupan Makanan ( ) asupan cukup dan tidak ada perubahan,
sedikit ada keluhan namun dalam waktu yang
Perubahan dalam jumlah singkat
asupan akhir-akhir ini ( ) asupan menurun daripada sebelum sakit
dibandingkan dengan tapi masih dalam tahap ringan
DESKRIPSI JAWABAN SKOR
kebiasaan ( ) asupan rendah, tapu ada peningkatan
Kapasitas Fungsional ( ) aktivitas normal, tidak ada kelainan,
( ) asupan sangat tidak cukup dan menurun,
kekuatan/stamina tetap stabil
tahap ini lebih berat dari sebelumnya
Deskripsi keadaan
Lamanya fungsional
perubahan ( ) <2(minggu,
) aktivitas ringan, mengalami
sedikit/tanpa perubahan hanya
tubuh makanan
asupan ( ) >2sedikit penurunan
minggu, perubahan(tahap ringan)
ringan-sedang
( ) tidak( bisa
) tanpa
makan,aktivitas/hanya
perubahan drastisberbaring
Gejala Gastrointestinal Frekuensiditempat Lama
tidur, penurunan
1) Anoreksia ( ) tidak pernah ( ) >2 minggu
kekuatan/stamina (tahap buruk)
Penyakit dan Hubungan dengan hari
( ) tiap ( ) <2 minggu

Kebutuhan Gizi Pasien ( ) 1-2x/minggu


( ) 2-3x/minggu
2) Mual ( ) tidak pernah ( ) >2 minggu
Secara umum, apakah terdapat ( ) tidak
( ) tiap hari ( ) <2 minggu
gangguan stress metabolik? ( ) ya
( ) 1-2x/minggu
( ) 2-3x/minggu
Bila3) ada, kategorinya:
Muntah (stress ( pernah
( ) tidak ) rendah (misal:
( ) >2hernia inguinal,
minggu
metabolik akut atau kronis) ( ) tiapinfeksi,
hari penyakit jantung
( ) <2 kongestif)
minggu
( ( ) sedang (misal: DM + pneumonia)
) 1-2x/minggu
( ( ) tinggi (misal: ulcerative colitis +
) 2-3x/minggu
4) Diare ( ) tidak pernah
diare, ( ) >2 berat)
kanker, peritonitis minggu
( ) tiap hari ( ) <2 minggu
PEMERIKSAAN FISIK
( ) 1-2x/minggu
Kehilangan lemak subkutan ( ) tidak ada
( ) 2-3x/minggu
(trisep, bisep) ( ) salah satu tempat
( ) kedua tempat
Kehilangan massa otot (tulang ( ) tidak ada 47

selangka, tulang scapula, tulang ( ) salah satu tempat


belikat, tulang rusuk, dan betis) ( ) kedua tempat
Edema ( ) tidak ada/ada, tapi sedikit
( ) sedang/ di tungkai
( ) berat (anasarka)
Asites ( ) tidak ada
( ) sedang
( ) berat

TOTAL KESELURUHAN SKOR SGA


A = Gizi baik/ normal (skor “A”)
B = Gizi kurang/sedang (skor “B”)
C = Gizi buruk (skor “C”)
Subjective Global Assesment (SGA)

Name :
Date :
Medical History A B C

WEIGHT Usual weight ....... Current weight .......


Wt change past 6 months Amount weight loss .... % weight loss .........
0-<5 loss *
5-10% loss *
>10% loss *

Weight change past 2 weeks Amount ..................


No change; normal weight *
Increase to within 5% *
Increase (1 level above) * *
No change, but below usual wt *
Increase to within 5-10% *
Decrease *

DIETARY INTAKE
No change; adequate *
No change; inadequate *

Change Duration of change ......................................


Suboptimal diet *
Full liquid *
Hypocaloric liquid *
Starvation *
*
Intake borderline; increasing
Intake borderline; decreasing 47 *
Intake poor; no change * *
Intake poor; increasing *
Intake poor; decreasing *

GASTROINTESTINAL SYMPTOMS
Frequency (never, daily, no. of times/week) Duration (<2/>2wk)
Nausea .................................. ..................................
Vomiting .................................. ..................................
Diarrhoea .................................. ..................................
Anorexia .................................. ..................................
*
None; intermittent
Some (daily >2 week) *
All (daily >2 week) *

FUNCTIONAL CAPACITY
No dysfunction Duration of change ............................. *
Difficulty with ambulation/normal activities *
Bed/chair-ridden *

Change past 2 week


Improved *
No change *
Regressed *
METABOLIC REQUIREMENT
High metabolic requirement No Yes

SGA RATING
A : Well- nourished B : Mildly/moderately malnuurished C : Several malnourished
Normal Some progressive nutrional loss
Evidence of wasting
and progressive
symptoms

CONTRIBUTING FACTOR
CACHEXIA – (fat adn muscle wasting due to SARCOPENIA – (reduced muscle mass and
disease and inflammation) strength)

Physical Examination A B C

SUBCUTANEOUS FAT
Under the eyes Slightly bulging Hollowed look,
47
area depression, dark
circles
Triceps Large space Very little space
between fingers between fingers, or
fingers touch
Biceps Large space Very little space
between fingers between fingers, or
fingers touch

MUSCLE WASTING
Temple Well-defined Slight depression Hollowing,
muscle/flat depression
Clavicle Not visible in Some protrusion; Protruding/promin
Males; may be may not be all the ent bone
visible but not way along
prominent in
females
Shoulder Rounded No square look; Square look; bones
acromion process prominent
may protrude
slightly
Scapula/ribs Bones not Mild depressions Bones prominent;
prominent; no or bone may show significant
significant slightly; not all depressions
depressions areas
Quadriceps Well rounded; no Mild depression Depression; thin
depressions
Calf Well developed Thin; no muscle
definition
Knee Bones not Bones prominent
prominent
Interosseous musle between Musle protrudes; Flat or depressed
thumb and forefinger could be flat in rea
females

47
OEDEMA (related to No sign Mild to moderate Severe
malnutrition)

ASCITES (related to No sign Mild to moderate Severe


malnutrition)

OVERALL SGA RATING A B C


A – Well – nourished no decrease in food/nutrient intake; <5% weight loss; no/minimal
symptoms affecting food intake; no deficit in function; no deficit in fat or muscle mass
OR *an individual with criteria for SGA B or C with recent adequate food intake; non-
fluid weight gain; significant recent improvement in symptoms allowing adequate oral
intake; significant recent improvement in function; and chronic deficit in fat and muscle
mass but with recent clinical improvement in function.

B - Mildly/moderately malnourished definite decrease in food/nutrient intake; 5% - 10%


weight loss without stabilization or gain; mild/some symptoms affecting food intake;
moderate functional deficit or recent deterioration; mild/moderate loss of fat and/or
muscle mass OR *an individual meeting criteria for SGA C but with improvement (but
not adequate) of oral intake, recent stabilization of weight, decrease in symptoms affecting
oral intake, and stabilization of functional status.

C - Severely malnourished severe deficit in food/nutrient intake; > 10% weight loss
which is ongoing; significant symptoms affecting food/ nutrient intake;severe functional
deficit OR *recent significant deterioration obvious signs of fat and/or muscle loss.

Cachexia – If there is an underlying predisposing disorder (e.g. malignancy) and there is


evidence of reduced muscle and fat and no or limited improvement with optimal nutrient
intake, this is consistent with cachexia.

Sarcopenia – If there is an underlying disorder (e.g. aging) and there is evidence of


reduced muscle and strength and no or limited improvement with optimal nutrient intake.

47
3.2 Literature review

Analisis Tabel PICO

Jurnal Problem/Population Intervensi Comparator Outcome


Judul: Problem: Pada penelitian ini Uji coba dengan Metode skrining MST
Metode Skrining Gizi di Keadaan gizi pasien dilakukan skrining gizi menggunakan metode dinilai lebih cepat,
Rumah Sakit dengan sangat berpengaruh pada sebagian pasien skrinning MST dengan sederhana dan spesifik.
MST Lebih Efektif terhadap keadaan pasien, malnutrisi yang dirawat jumlah pasien yang Format PAGT dapat
dibandingkan SGA sering terjadi kondisi di RSI Unisma Malang terskrinning yaitu dibuat lebih sederhana
pasien semakin buruk dengan menggunakan sebanyak 48,3% dari dan mudah dilakukan
Peneliti: karena tidak di perhatikan metode SGA (Subjective jumlah seluruh pasien namun tetap mengacu
Herawati keadaan gizinya. Global Assesment) dan rawat inap. Hasil ini pada format ADIME.
Triwahyu S Keadaan ini dapat sebagian pasien menunjukkan Untuk meningkatkan
Arief Alamsyah diminimalisir dengan cara malnutrisi berisiko peningkatan tinggi pasien implementasi perlu
skrining gizi dan sedang dilakukan yang terskrinning (2-3 disusun SPO dan program
Tahun: penerapan PAGT untuk skrinning dengan metode kali). kerja pelayanan asuhan
2014 menunjang pelaksanaan skrinning MST. Selain Peneliti melakukan PAGT gizi rawat inap di RSI
asuhan gizi rawat inap menggunakan dua sebanyak 50% dan 7,1% Unisma Malang.
yang lebih berkualitas metode tersebut peneliti dari jumlah pasien rawat

47
juga melakukan PAGT inap yang berisiko tinggi
Population: dengan cakupan pasien malnutrisi. Sedangkan
Pasien baru yang yang berisiko tinggi untuk pasien beresiko
menjalani rawat inap malnutrisi sedang tidak dapat
sebanyak 143 orang diketahui karena metode
dengan kriteria dan skrinning SGA tidak
pasien tersebut yang dapat mengidentifikasi
menjalani rawat inap risiko sedang. Setelah
harus dilakukan skrining dilakukan uji coba selama
dalam 1x24 jam. 2 minggu penerapan
metode skrining MST,
SGA, dan PAGT di RSI
Unisma Malang, terjadi
peningkatan cakupan
jumlah pasien yang
terskrining sebesar 34,4%
dan cakupan jumlah
pasien yang dilakukan
PAGT sebesar 100% dari

47
pasien yang beresiko
tinggi malnutrisi

Judul Kelebihan Kekurangan


Metode Skrining Gizi di Rumah Sakit - Jurnal ini tersusun rapi dan lengkap - Jurnal ini tidak mencantumkan waktu
dengan MST Lebih Efektif dibandingkan dengan abstrak dan hasil kesimpulan penelitian
SGA dari metode skrinning yang dilakukan
- Jurnal ini membahas tentang penilaian
status gizi dengan menggunakan
metode skrinning MST dan SGA selain
itu juga dilakukan PAGT dengan
pasien yang berisiko tinggi malnutrisi
- Jurnal ini dilengkapi dengan hasil dari
metode skrinning yang telah dilakukan
- Jurnal ini mencantumkan alat-alat apa
saja yang tersedia di rumah sakit

Pembahasan:

Berdasarkan hasil penelitian ini, menggunakan skrinning gizi yang dinilai lebih cepat, sederhana efisien, mampu dilakukan, murah,
tidak beresiko kepada individu yang diskrining, valid dan reliabel serta dapat dilaksanakan petugas kesehatan ruangan dan penetapan diit

47
oleh dokter. Metode skrinning MST menunjukkan hasil peningkatan tinggi pasien yang terskrinning (2-3 kali), lalu peneliti melakukan
form PAGT mendapatkan hasil sebanyak 50% pasien menderita malnutrisi tinggi, berdasarkan skrinning SGA tidak dapat diketahui
hasilnya. Berdasarkan Journal of Clinical Nursing Tahun 2011, alat skrining gizi yang cepat, mudah dan cocok digunakan sesuai dengan
kondisi pasien yang dirawat di rumah sakit adalah MST (Malnutrition Screening Tools) dibandingkan dengan alat skrining lain seperti
MUST, NRS 2002, MNA, SNAQ, STAMP, PNI dan SGA. Kelebihan dari alat skrining MST adalah lebih efisien (waktu 30 detik),
pertanyaan lebih sederhana, nilai sensitivitas dan spesifisitas 93-95%, nilai keandalan 90-97%, tidak tergantung pada nilai antropometri dan
laboratorium. American Dietetic Association (ADA), menyatakan bahwa P AGT merupakan suatu metode pemecahan masalah yang
sistematis dalam membuat keputusan untuk menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan gizi sehingga dapat memberikan asuhan
yang aman, efektif dan berkualitas tinggi.

Jurnal Problem/Population Intervensi Comparator Outcome

Judul: Problem: Pasien yang Pada penelitian ini SGA mempunyai reproduksibilitas Terdapat perbedaan
Perbandingan dirawat di rumah sakit, dilakukan pemantauan yang tinggi 91%. Informasi yang akurasi dan kepekaan

47
Penilaian Status diperkirakan 3-50% nutrisi pada dibutuhkan terkait SGA antara MST dan SGA
Nutrisi mengalami gizi kurang, sebahagian pasien dikumpulkan langsung dari pasien, dalam menilai status
Menggunakan nutrisi yang tidak adekuat yang dirawat di ICU atau jika tidak nutrisi pasien di
MST merupakan faktor risiko RSUD Achmad memungkinkan dapat menyertakan ruang ICU Rumah
(Malnutrition independen untuk terjadinya Mochtar, bertujuan anggota keluarga. Sakit Ahcmad Mochtar
Screening Tool) luka tekan. Gangguan untuk menganalisis Bukittinggi dengan
Dan SGA nutrisi dapat dicegah atau perbedaan akurasi MST terdiri atas 2 (dua) Nilai P Value =0,0036
(Subjective diminimalkan dengan MST dan SGA dalam pertanyaan yang bertujuan untuk yang berarti terdapat
Global melakukan pemantauan menilai status nutrisi menilai kehilangan berat badan pebedaan yang
Assessment) terhadap status nutrisi serta perbedaan dan perubahan asupan makanan bermakna.
Dalam Menilai pasien menggunakan MST kepekaan MST dan baru-baru ini, kemudian nilainya
Status Nutrisi dan SGA. Penilaian status SGA sebagai akan di jumlah dan
Terhadap nutrisi harus dilakukan indikator kejadian diklasifikasikan, bila nilainya > 2
Kejadian Luka secara luka tekan pada maka pasien dikatakan risiko
Tekan Pada rutin di rumah sakit, pasien. malnutrisi.
Pasien Di Ruang termasuk di ICU.
Intensive Care
Unit (ICU) Population: Sampel pada
RSUD Achmad penelitian ini adalah

47
Mochtar. sebahagian pasien yang
dirawat di ruang ICU
Peneliti: Rumah Sakit Achmad
Fauzi Ashra dan Mochtar Bukittinggi yang
Rina memenuhi kriteria
sampel.
Tahun:
2017

Pembahasan :

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui kejadian luka tekan pada pasien di ruang ICU Rumah Sakit Ahcmad Mochtar Bukittinggi
terdapat 10,5% pasien yang mengalami kejadian luka tekan dan terdapat perbedaan akurasi dan Kepekaan MST dan SGA dalam menilai

47
status nutrisi pasien di ruang ICU Rumah Sakit Ahcmad Mochtar Bukittinggi dengan Nilai P Value =0,0036 yang berarti terdapat pebedaan
yang bermakna. Menurut Langemo, 2012 malnutrisi telah terbukti mempunyai hubungan yang kuat dengan resiko perkembangan luka
karena dampak negatifnya terhadap penyembuhan luka. Luka tekan dan malnutrisi merupakan kombinasi yang membahayakan untuk
pasien dan sistem perawatan kesehatan. Brito et al., (2012) melakukan penelitian tentang hubungan status nutrisi menggunakan SGA
dengan kejadian luka tekan. Hasilnya dari 473 pasien, 16,9% pasien mengalami luka tekan dan untuk status nutrisi berdasarkan SGA;
47,4% nutrisi baik, 30,3% resiko atau malnutrisi sedang dan 22,4% malnutrisi berat. Sedangkan untuk hubungan antara malnutrisi dan luka
tekan didapatkan hasil bahwa malnutrisi 10 x meningkatkan resiko luka tekan dengan OR 10,46%. Status nutrisi dikelompokkan menjadi
status nutrisi baik (SGA A), malnutrisi ringan/sedang dengan kriteria kehilangan BB 5-10%, penurunan intake dalam 1 minggu sebelumnya
dan kehilangan jaringan subkutan (SGA B) dan malnutrisi berat dengan kriteria kehilangan BB > 10%, kehilangan yang berat pada massa
otot dan jaringan subkutan, atau adanya edema (SGA C) (Barker et al., 2011; Moriana et al.,2014). Hasil Penelitian ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya dimana, SGA mempunyai reproduksibilitas yang tinggi 91%. Informasi yang dibutuhkan terkait SGA dikumpulkan
langsung dari pasien, atau jika tidak memungkinkan dapat menyertakan anggota
keluarga. SGA menjadi alat yang paling umum digunakan pada pasien rawat inap di berbagai situasi klinis (Fontes et al., 2012).

Judul Kelebihan Kekurangan


Perbandingan Penilaian Status Nutrisi - Jurnal ini disusun secara teratur mulai - Pada metode penelitian, jumlah
Menggunakan MST (Malnutrition Screening dari abstrak hingga kesimpulan. sampel tidak disebutkan secara
- jurnal ini membahas tentang
Tool) Dan SGA (Subjective Global akurat, serta perlakuan yang
perbandingan penilaian status nutrisi

47
Assessment) Dalam Menilai Status Nutrisi menggunakan MST dan SGA. diberikan kepada sampel penelitian
Terhadap Kejadian Luka Tekan Pada Pasien tidak dijelaskan secara rinci,
Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD sehingga membuat pemabaca sulit
Achmad Mochtar. memahami metode penelitian.
- Tidak dijelaskan secara rinci hasil
penelitian yang didukung oleh
pembahasan dari penelitian-
penelitian sebelumnya.
- Tidak menjelaksan intervensi yang
dilakukan serta mencantumkan alat
yang dibutuhkan dalam penelitian.

Jurnal Problem/Population Intervensi Comparator Outcome


Jurnal: Problem: Malnutrisi sering Dilakukan pengukuran Pada penelitian ini mendapati Penggunaan metode
Status Nutrisi ditemukan pada pasien TB dengan menggunakan sebagain besar subjek mengalami MST merupakan
Pasien Rawat paru, khususnya pasien rawat metode skrining malnutrisi pada saat masuk rumah metode skrining nutrisi
Inap inap, dan dapat malnutrisi untuk sakit setelah dilakukan skrining yang sederhana, cepat

47
Tuberkulosis memperburuk hasil pasien dewasa yang dengan menggunakan metode dan valid untuk
Paru di Rumah pengobatan. menjalani perawatan MST didapatkan bahwa sebagain mengidentifikasi pasien
Sakit Cipto Populasi: Pasien rawat inap akut dirumah sakit. besar subject dipenelitian ini dengan resiko
Mangunkusumo, dengan Tuberkulosis Paru di Metode tersebut memiliki skor MST >2 yang malnutrisi. Selain itu
Jakarta Rumah Sakit Cipto dinamakan berarti sebagian besar pasien keunggulan MST
Peneliti: Mangunkusumo Jakarta Malnutrition tuberkulosis paru memiliki resiko adalah cara
Irwin Tedja , Ari dalam kurun waktu Januari Screening Tool (MST) malnutrisi. pengisiannya yang
F Syam , dan 2011 sampai dengan dan Subjective Global sederhana dan cepat
Cleopas M September 2013 dengan Assessment (SGA). sehingga dapat
Rumende kriteria pasien berusia >18 dilakukan juga oleh
Tahun: tahun. perawat, ahli gizi, staf
2014 administrasi atau
bahkan pasien sendiri.

Judul Kelebihan Kekurangan


Status Nutrisi Pasien Rawat Inap - Menampilkan hasil tabel penelitian - Tidak menampilkan waktu penelitian
Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Cipto dan pembahasan dengan jelas. secara rinci.
- Menjelaskan keunggulan dengan
Mangunkusumo, Jakarta.
menggunakan metode skrining MST.

47
Pembahasan:

Dari Jurnal Status Nutrisi Pasien Rawat Inap Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan subject penelitian
pasien Rawat Inap dengan Tuberkulosis paru dalam kurun waktu Januari 2011 sampai September 2013 dengan usia >18 tahun. Dari hasil
skrining menggunakan metode Malnutrition Screening Tool (MST) yang terdiri dari dua pertanyaan berkaitan dengan penurunan berat
badan dan penurunan nafsu makan. Skor MT dapat berkisar 0 samapi 5. MST memiliki realibitas yang tinggi dengan tingkat kesesuaian
antar pengguna berkisar 93-97%. MST merupakan metode skrining nutrisi yang sederhana, cepat dan valid untuk mengidentifikasi pasien
dengan resiko malnutrisi. Selain itu keunggulan MST adalah cara pengisiannya yang sederhana dan cepat sehingga dapat dilakukan juga
oleh perawat, ahli gizi, staf administrasi atau bahkan pasien sendiri. Dari hasil skrining didapatkan bahwa sebagian besar pasien
tuberkulosis paru yang menjalani rawat inap di RSCM memiliki resiko malnutrisi.

47
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Ruang perawatan intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit
perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien kritis. Pada pasien
kritis sering terjadi gangguan nutrisi sehubungan dengan meningkatnya
metabolisme dan katabolisme.

4.2 Saran

Diharapkan pembaca mampu memberikan kritik dan saran pada penulis


yang bersifat membangun. Untuk memperbaiki dalam penulisan da nisi
makalah ini.

47

Anda mungkin juga menyukai