Anda di halaman 1dari 4

2.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma
mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan
bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi
Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam
sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya
dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran
Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa
Indonesia pada umumnya.
Tujuan Muhammadiyah ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah
Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis
terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus
pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang
didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan
atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai
berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan
Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi
ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar
(H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
3. isi ikrar mukkadimah anggaran dasar dan jelaskan
Basmalah.
Al-fatihah.
Baiat: Radhitubillahi rabba wabil islamidina wabi Muhammadinnabiayu Warasuula.
Pokok pikiriam (isi):
1. Hidup manusia bertauhid,bertuhan,beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada
Allah.
2. Hidup manusia itu bermasyarakat
3. Hukum Allah sbg satu2nya hukum yg membawa kebahagiaan
4. Wajib berjuang menegakan dan menjujung agama islam
5. Perjuangan harus itiba’ rasul, perjuangan menegakan dan munjujung tinggi agama islam
untuk mewujudkan masyarakat utama,adil dan makmur dengan mengikuti jejak
perjuangan para Nabi,terutama perjuangan Nabi Muhammad Saw.
6. Perjuangan harus dengan organisasi
7. Perjuangan itu untuk mewujudkan cita-cita Muhammadiyah yaitu; Terwujudnya
masyarakat utama adil makmur diridhoi Allah SWT.

4. Apa maksud dakwah amar ma’ruf nahi munkat dan sebutkan masing-masing contohnya
Jawaban : dakwah amar ma’ruf nahi munkar yaitu gerakan menyeru kepada yang ma’ruf dan
meninggalkan perbuatan yang buruk dengan sasaran individu dan masyarakat. Contohnya :
• individu
Muslim : mengembalikan kepada ajaran islam yang murni (berdasarkan al-Quran dan hadist)
Non muslim : seruan dan ajakan untuk masuk islam
•masyarakat : perbaikan (ishlah), bimbingan, dan peringatan

7.
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh,
dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi
kalian,” (Surat Al-Baqarah ayat 208). Ayat di atas selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok
Muslim untuk mengampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”. Dalam pandangan
sekelompok Muslim ini, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap Muslim harus
menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur
sampai tidur kembali. Tidak jelas betul makna utuh yang dimaksudkan karena keutuhan itu
ternyata sangat bergantung pada pemahaman tertentu tentang Islam. Ketika pemahaman
tentang Islam bercorak fiqih, maka keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam konteks
fiqih. Itu pun masih dipengaruhi hanya oleh mazhab tertentu dalam fiqih sambil mengabaikan
mazhab-mazhab yang lain. Puncak idealisasi Islam Kaffah adalah mendirikan sebuah negara
yang berasaskan Islam karena, menurut logika mereka, tanpa negara Islam tidak dapat
dijalankan secara utuh. Muncullah simbol-simbol parsial yang secara ketat dikenakan dan
dianggap sebagai bagian dari keutuhan Islam. Gaya pakaian, penampilan fisik, ujaran sehari-
hari, gerakan bahkan organisasi dan ideologi menjadi pilihan untuk menegaskan keutuhan
Islam. Tidak terpikirkan lagi oleh mereka soal otoritas dan interpretasi dalam semangat ini. Dan,
klaim ini mengandung problem mendasar mengingat pemahaman tentang Islam sangat
beragam, baik di masa lalu maupun di masa kini. Kata As-Silmi Sebagian ulama menafsirkan
kata as-silmi dalam ayat di atas sebagai Islam. Namun sebagian yang lain menafsirkannya
sebagai kepasrahan, proses perdamaian dan ketundukan. Sufyan At-Tsauri bahkan menafsirkan
kata as-silmi sebagai simbol berbagai kebajikan, (Tafsir Al-Qurthubi, II, Darul Kutub Ilmiah,
Beirut: 2000). Intinya, tidak ada konsensus (ijma’) ulama bahwa tafsiran kata as-silmi adalah
Islam. Ia memiliki interpretasi yang beragam dan setiap Muslim dapat memilih interpretasi yang
lebih sejalan dengan semangat zaman. Akan lebih menarik jika kata as-silmi dalam ayat di atas
dipahami sebagai proses perdamaian serta ketundukan pada nilai-nilai universal yang ada
dalam setiap ajaran mana pun. Setiap orang beriman diajak untuk selalu menempuh proses
perdamaian dan menjalankan nilai-nilai universal dalam rangka menciptakan kehidupan yang
lebih beradab dan sejahtera. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah dalam proses
perdamaian (dan menjalankan nilai-nilai universal) secara utuh”. Dengan menafsirkan ayat di
atas sebagai ajakan menciptakan perdamaian, maka “sasaran dakwah” ayat tersebut menjadi
lebih luas dan dapat diterima oleh berbagai kalangan yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan.
Andai tafsir ayat itu dipertahankan sebagai ajakan untuk menjalankan Islam secara utuh,
otomatis kita harus mengakui ragam pemikiran yang pernah ada dalam sejarah Islam. Islam
bukan hanya diwakili oleh Syafi‘i (fiqih), Ghazali (tasawuf), Asy’ari (aqidah), Bukhari (hadits) dan
lain-lain yang di kalangan Sunniy dianggap sebagai figur-figur otoritatif. Islam pun tidak hanya
bicara soal fiqih (hukum), tapi Islam juga bicara soal ilmu pengetahuan, kemanusiaan, filsafat,
mistisisme dan lain-lain. Sejarah Islam telah menunjukkan kekayaan pemikiran yang sangat luas
dalam berbagai disiplin ilmu di zamannya. Inilah yang membuat seorang sejarawan asal Belgia,
George Sarton, menyatakan bahwa tugas utama kemanusian telah dicapai oleh para Muslim.
Filsuf terbaik, al-Farabi (339 H/950 M), adalah seorang Muslim. Matematikawan terbaik, Abu
Kamil (850 M) dan Ibn Sina, adalah Muslim. Ahli geografi dan ensklopedia terbaik, Al-Masudi
(856 M), adalah seorang Muslim, dan At-Thabari (310 H), ahli sejarah, juga seorang Muslim
(George Sarton, Introduction to the History of Science, 1948). Di bidang filsafat, tasawuf dan
teologi kita mengenal para tokoh seperti Al-Kindi (873 M), Ibnu Sina (428 H/1037 M), Abu Bakar
Ar-Razi (313 H/925 M), Al-Halaj (923 M), Abu Yazid Al-Bustami (261 H/874 M), Suhrawardi Al-
Maqtul (587 H) dan lain-lain dengan berbagai perbedaan pemikiran spekulatif yang luar biasa.
Berbagai gagasan dan pemikiran yang pernah mereka tuangkan dalam karya-karya mereka
menunjukkan kebebasan berpikir yang jauh lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan oleh
kelompok Muslim yang mengampanyekan Islam Kaffah di zaman sekarang ini. Alih-alih
mengenal kekayaan khazanah pemikiran dalam Islam, kampanye Islam Kaffah justru terjerumus
pada rigiditas dan simplifikasi yang tidak menggambarkan bahwa Islam pernah berada pada
masa keemasannya. Jika Islam hanya diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Syafi‘i (204 H/819 M),
Al-Ghazali (450 H/1058 M), Asy’ari (324 H/935 M), Bukhari (256 H/870 M), dan Ibnu Taimiyah
(728 H/1328 M), terlalu sulit memahami bahwa Islam pernah mencapai masa keemasan.
Kemajuan peradaban tidak akan terwujud jika masyarakatnya hanya mengandalkan “iman” dan
jargon-jargon gigantis yang tidak berdasar. Kapan dan di mana pun, kemajuan peradaban
mengandaikan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, baik yang lunak (soft science) atau
yang keras (hard science). Penguasaan ilmu pengetahuan itu harus didukung oleh suasana
kebebasan yang jauh dari klaim sesat-menyesatkan. Kebebasan dan semangat ilmiah inilah
yang membuat Islam pernah mencapai masa keemasannya. Ulasan singkat ini ingin
menegaskan dua hal: pertama, istilah Islam Kaffah lahir dari kata as-silmi yang terdapat dalam
Surat Al-Baqarah ayat 208. Kata as-silmi tidak hanya memiliki satu arti, tapi ia memliki banyak
arti: Islam, ketundukan, proses perdamaian dan kepasrahan. Setiap Muslim harus berani
berpikir untuk memilih interpretasi yang lebih modern dan sesuai dengan semangat zaman.
Kedua, jargon Islam Kaffah harus ditinjau ulang karena telah terjerumus pada rigiditas
pemahaman terhadap Islam yang begitu kaya dengan berbagai pemikiran yang pernah ada
dalam sejarah Islam. Pengusung Islam Kaffah harus menguji ideologi yang selama ini mereka
perjuangkan dengan penuh semangat. Mereka harus berani membuka diri terhadap berbagai
aliran pemikiran dalam Islam yang sangat plural jika mereka benar-benar ingin menjadi Muslim
yang kaffah.

Anda mungkin juga menyukai