Anda di halaman 1dari 65

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

Diare Akut Et Causa Infeksi Bakterial dengan


Dehidrasi Ringan-Sedang dan Anemia Defisiensi Besi

Oleh:

Nerissa Alviana Sutantie

NIM. 2017-84-043

Konsulen:

dr. Rahmi Meitia Ambon, Sp.A, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2019
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AT
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 01-12-2018 (9 bulan)
Alamat : Waai
Agama : Islam
Tanggal masuk : 26-08-2019

IDENTITAS ORANG TUA


Ayah Ibu
Nama Tn. N Ny. L
Umur 24 tahun 25 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Nelayan Ibu Rumah Tangga
Kesehatan Sehat Sehat

B. Status Umum
(Alloanamnesis oleh orangtua)
- Keluhan utama: BAB Encer Sejak ± 1 hari yll.
- Riwayat Penyakit Sekarang: Seorang anak perempuan berusia 9 bulan diantar
orang tuanya ke instalasi gawat darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah
dr. H. Ishak Umarella dengan keluhan BAB encer sebanyak 6 kali sejak ± 1
hari yang lalu. BAB berwarna kuning, berbau tinja pada umumnya, terdapat
ampas dan lendir, namun tidak disertai darah. Jumlah tinja setiap kali mencret
+ 1/2 pampers. Pasien juga mengalami mual dan muntah 1 kali berisi
makanan. Selama mencret pasien masih mau minum ASI, namun pasien
terlihat agak rewel, gelisah, lebih haus dan terlihat lebih lemas dibanding
biasanya. Perut pasien terlihat lebih datar dan matanya terlihat agak cowong.

2
Satu hari SMRS pasien diberi makan bubur daun kelor dan minum ASI.
Riwayat alergi makanan dan susu disangkal. Keluhan demam ada, batuk dan
pilek tidak ada, BAK normal.
- Riwayat penyakit sebelumnya: Pasien mempunyai riwayat diare sebelumnya
pada usia 7 bulan. Riwayat pengobatan sebelumnya diberikan oralit dan tablet
zinc dari puskesmas.
- Riwayat penyakit keluarga: -
- Riwayat Sosial: Pasien tinggal bersama keluarga besar orang tua, Rumah
terbuat dari beton, jarak rumah dengan rumah lain agak berdempetan, ventilasi
baik, listrik dari PLN, air diambil dari mata air. Saat ini pasien dalam tahap
belajar merangkak dan memiliki kebiasaan memegang dan memasukan benda
ke dalam mulut.

C. Status Neonatal dan Tumbuh Kembang


 Tempat lahir: Rumah
 Ditolong oleh : Bidan
 Lahir: Spontan, BBL: 3000 gr, PB= 50cm, Vit K: (+),Ibu riwayat
keguguran: tidak pernah. Pasien merupakan anak pertama.
 Berbalik: 6 bulan
 Duduk : 7 bulan
 Gigi pertama: 8 bulan
 Bicara: belum dapat dilakukan
 Jalan sendiri: belum dapat dilakukan
 BB saat ini: 7,5 kg, PB: 75 cm
 Pola makan: makan sehari-hari bubur dicampur dengan sayur-sayuran,
susu formula (2 botol/hari). ASI: (+) sampai saat ini, 3 kali sehari.

3
D. Status Imunisasi

Vaksin Jumlah Belum Vaksin Belum Vaksin Jumlah


Pernah Pernah
BCG 1x PVC Belum HPV Belum
Hep B 4x Influenza Belum Lain-lain
Polio 4x MMR Belum Lengkap
DPT 3x Tifoid Belum
Campak Belum Hep. A Belum
Hib 3x Varisela Belum

E. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4V5M6
TANDA VITAL
Nadi : 120 x/m
Pernapasan : 38 x/m
Suhu : 38,5°C
Sp02 : 99%
Status gizi: didasarkan pada index BB/U gizi baik (Z score: +2 SD),
PB/U normal (Z score: -2 SD), BB/PB gizi normal (Z Score: + 2SD).

Kepala:Normocephal, bentuk simetris


Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun : Menutup, agak cekung
L.Kepala : 44 cm

Wajah:Pucat (+) Ikterus (-) Edema (-)


Mata: Cekung (+/+), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Pupil: isokor, Refleks cahaya (+/+)
Hidung: Rhinorea (-), epistaksis (-)
Telinga: otorhea (-), nyeri tarik (-), nyeri tekan tragus (-)
Tenggorokan: Tonsil: T1/T1, tenang, Faring: Hiperemis (-)
Bibir: Kering(+), Sianosis (-)

4
Gigi: terdapat 4 buah gigi seri (2I/2I), Caries: (-)
Leher: Pembesaran KGB (-)

Dada
Inspeksi: Pengembangan dada simetris kanan=kiri
Palpasi: krepitasi (-), massa (-), nyeri (-)
Perkusi: sonor (+)
Auskultasi: Bunyi pernapasan: BND vesikular +/+
Bunyi Tambahan: ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Irama: BJ I/II regular, murmur dan gallop tidak ditemukan
Ictus Cordis: Tidak terlihat, tidak teraba
Thrill: (-)
Shouffle: (-)
Perut
Inspeksi: perut datar, venektasi, massa, bekas operasi tidak ada
Auskultasi: BU (+) meningkat
Palpasi: supel, nyeri tekan (-)
Lien, Hepar : Tidak teraba
Massa, Nyeri tekan : Tidak ada
Perkusi: timpani
Cubitan kulit perut kembali agak lambat.

Ginjal:
Nyeri tekan : TDP
Nyeri ketok : TDP
Ballotemen : TDP

Columna vertebra
Inspeksi : Kesan simetris, tidak tampak kelainan

5
Palpasi : Kesan simetris, tidak tampak kelainan

Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), kulit tampak pucat, CRT kembali agak lambat
Tonus otot : Baik
Kekuatan otot : 5/5/5/5

Genitalia : Dalam batas normal

Pemeriksaan neurologi
Refleks fisiologis
KPR : TDP
APR : TDP
Nervus kranialis : TDP
Refleks patologis : TDP

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk : TDP
Kernig sign : TDP
Brudsinzki I : TDP II: TDP III: TDP IV: TDP
Keterangan: TDP= Tidak dilakukan pemeriksaan

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 27 Agustus 2019

Darah Lengkap Hasil


Eritrosit 3,89 X 106 /µl
Hemoglobin 7,3 g/dl
Hematokrit 24,0%

MCV/MCH/MCHC 61,8 ft/18,8 pg/30,4%


Trombosit 1.100 x103 / µl
Leukosit 12,7 x103 / µl
Resume Pasien
- An. AT berusia 9 bulan MRS dengan keluhan BAB encer sebanyak 6 kali
sejak ± 1 hari yang lalu. BAB berwarna kuning, berbau tinja pada umumnya,

6
terdapat ampas dan lendir, namun tidak disertai darah. Jumlah tinja setiap kali
mencret + 1/2 pampers. Pasien juga mengalami mual dan muntah 1 kali berisi
makanan. Selama mencret pasien masih mau minum ASI, namun pasien
terlihat agak rewel, gelisah, lebih haus dan terlihat lebih lemas dibanding
biasanya. Perut pasien terlihat lebih datar dan matanya terlihat agak cowong.
Satu hari SMRS pasien diberi makan bubur daun kelor dan minum ASI.
Riwayat alergi makanan dan susu disangkal. Keluhan demam ada, batuk dan
pilek tidak ada, BAK normal. Pasien mempunyai riwayat diare sebelumnya
pada usia 7 bulan. Riwayat pengobatan sebelumnya diberikan oralit dan tablet
zinc dari puskesmas. Riwayat keluarga dan penyakit lainnya tidak ada.
Riwayat Sosial: Pasien tinggal bersama keluarga besar orang tua, Rumah
terbuat dari beton, jarak rumah dengan rumah lain agak berdempetan, ventilasi
baik, listrik dari PLN, air diambil dari mata air. Saat ini pasien dalam tahap
belajar merangkak dan memiliki kebiasaan memegang dan memasukan benda
ke dalam mulut.
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit sedang, Nadi: 120x/m,
Pernapasan: 38x/m, Suhu: 38,5°C, Sp02: 99%. Pemeriksaan head to toe
didapatkan ubun-ubun agak cekung, mata agak dalam, konjuntiva anemis (+/
+), abdomen supel, bising usus meningkat, turgor kulit kembali agak lambat,
tampak kulit ekstremitas agak pucat, CRT kembali agak lambat.
- Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan anemia mikrositik
hipokrom, trombositosis dan leukositosis.

Diagnosis Kerja:
- Diare Akut, Dehidrasi Ringan – Sedang
- Anemia Mikrositik Hipokrom e.c suspek defisiensi Besi

Diagnosis Banding:
- Diare Akut e.c Infeksi Bakterial?
- Diare Akut e.c Amoeba?

7
- Infeksi cacing?
Terapi:
- IVFD RL 12 tpm
- Paracetamol syr 3 x ¾ cth/PO
- Zinc 1x 20 mg/PO

Follow up

Hari/ SOA P
tanggal
27/8/2019 S: Pasien BAB encer subuh 1x, lendir dan ampas - IVFD RL 12 tpm
(+), mual-muntah 2 kali isi makanan. Makan makro
minum baik, anak rewel, BAK lancar. - Paracetamol syr 3 x
O: TTV ¾ cth/p.o/ KP
N: 120x/m S: 36° C, P: 30 x/m, SpO2: 99% - Zinc 1x 20 mg/p.o
Head to toe - Inj cefotaxim 400
Ubun-Ubun: agak cekung mg/12 jam/iv
Mata: CA (+/+) SI (-/-) mata cekung (+) - Sangobion kids syr
Bibir: kering (+) 1x 7,5 ml
Abdomen: Supel, timpani, BU + meningkat - Transfusi PRC 50 ml
Eksremitas: Akral dingin, edem (-), CRT agak - Furosemid 5mg/iv
lambat, kulit pucat setelah transfuse
- Periksa Feses
Hasil PEM. ADT
1. Eritrosit: Anisopoikilositosis, mikrositik
hipokrom, ditemukan ovalosit pencil cell dan
burr cell, tidak ditemukan benda inklusi dan
normoblast.
2. Leukosit: jumlah cukup, PMN>Limfosit,
morfologi normal,tidak ditemukan sel muda.
3. Trombosit: jumlah sangat meningkat,
morfologi normal
4. Kesan:
- Anemia Mikrositik Hipokrom suspek kausa
defisiensi besi dengan tanda dehidrasi
- Trombositosis
5. Saran: profil FE

A: Diare Akut Dehidrasi Ringan-Sedang +Anemia


Defisiensi Besi

28/8/2019 S: Pasien BAB encer 3x, lendir dan ampas (+), - IVFD RL 12 tpm
mual-muntah 2 kali isi makanan. Makan minum makro
baik, anak rewel, BAK lancar. - Paracetamol syr 3 x
O: TTV ¾ cth/p.o /KP
N: 100x/m S: 36,1° C, P: 32 x/m, SpO2: 98% - Zinc 1x 20 mg/p.o
Head to toe - Inj cefotaxim 400

8
Ubun-Ubun: agak cekung mg/12 jam/iv-- stop
Mata: CA (+/+) SI (-/-) mata cekung (+) - Sangobion kids syr
Bibir: kering (+) 1x 7,5 ml
Abdomen: Supel, timpani, BU + meningkat - Transfusi PRC ganti
Eksremitas: Akral dingin, edem (-), CRT agak dengan WBC 50 ml
lambat, kulit pucat - Dexametason
1mg/iv sebelum
HASIL PEM. FESES transfusi
1. Warna: kuning-kehijauan - Furosemid 5mg/iv
2. Konsistensi: lembek setelah transfuse
3. Leukosit (+) - Inj Ceftriaxon
4. Eritrosit (+) 400mg/ 12 jam/iv
5. Sel Epitel (+) - Metronidazole
6. Telur cacing (-) 70mg/8jam/iv
- Rawat Ruang
A: Diare Akut e.c. Infeksi Bakterial Dehidrasi Observasi
Ringan-Sedang + Anemia Defisiensi Besi - Observasi ketat TTV
tiap jam

29/8/2019 S: Pasien BAB encer 1x, lendir dan ampas (+), - IVFD RL 10 tpm
mual-muntah 1 kali isi makanan. Makan minum makro
baik, anak rewel, demam (-), batuk (-), BAK - Paracetamol syr 3 x
lancer. ¾ cth/p.o/KP
O: TTV - Zinc 1x 20 mg/p.o
N: 120x/m S: 36,5° C, P: 30 x/m, SpO2: 99% - Sangobion kids syr
Head to toe 1x 7,5 ml
Ubun-Ubun: rata ( p.c)
Mata: CA (-/-) SI (-/-) - Transfusi WBC 50
Bibir: kering (-) ml
Abdomen: Supel, timpani, BU + 3x/m - Dexametason
Eksremitas: Akral hangat, edem (-), CRT <2 1mg/iv sebelum
detik, kulit kemerahan transfusi
A: Diare Akut e.c. Infeksi Bakterial Dehidrasi - Furosemid 5mg/iv
Ringan-Sedang + Anemia Defisiensi Besi setelah transfuse
- Inj Ceftriaxon
400mg/ 12 jam/iv
- Metronidazole
70mg/8jam/iv
- Rawat Ruang
Observasi
- Observasi ketat TTV
tiap jam
- Cek DL Post
Transfusi

30/8/2019 S: Pasien BAB encer 1x, lendir dan ampas (+), - IVFD Tridex 27B 12
mual-muntah 1 kali isi makanan. Makan minum tpm makro
baik, anak sdh tidak rewel, demam (-), batuk (-), - Paracetamol syr 3 x
BAK lancer. ¾ cth/p.o/KP
O: TTV - Zinc 1x 20 mg/p.o
N: 104x/m S: 36,5° C, P: 36 x/m, SpO2: 99% - Sangobion kids syr

9
Head to toe 1x 7,5 ml
Ubun-Ubun: rata ( p.c)
Mata: CA (-/-) SI (-/-) - Transfusi WBC 50
Bibir: kering (-) ml
Abdomen: disten (+), timpani, NT (-), BU + - Inj Ceftriaxon
2x/m 400mg/ 12 jam/iv
Eksremitas: Akral hangat, edem (-), CRT <2 - Metronidazole
detik, kulit kemerahan 70mg/8jam/iv
A: Diare Akut e.c. Infeksi Bakterial Dehidrasi
Ringan-Sedang + Anemia Defisiensi Besi

Hasil DL Post Transfusi


Eritrosit 6,37 x106 /µl
Hemoglobin 11,9 g/dl
Hematokrit 37,2%
MCV/MCH/MCHC 69,2 fl/22,2pg/32,8 g/dl
Leukosit 12,5 x10 3 /µl
Trombosit 871 x10 3 /µl

31/8/2019 S: Pasien BAB 1x (sudah tidak encer), ampas (+), - IVFD Tridex 27B 12
mual-muntah (-). Makan minum baik, anak sdh tpm makro
tidak rewel, demam (-), batuk (-), BAK normal. - Paracetamol syr 3 x
O: TTV ¾ cth/p.o/KP
N: 110x/m S: 37° C, P: 28 x/m, SpO2: 99% - Zinc 1x 20 mg/p.o
Head to toe - Sangobion kids syr
Ubun-Ubun: rata 1x 7,5 ml ( p.c)
Mata: CA (-/-) SI (-/-) - Ceftriaxon 400mg/
Bibir: kering (-) 12 jam/iv
Abdomen: Supel, timpani, BU + 2x/m - Metronidazole
Eksremitas: Akral hangat, edem (-), CRT <2 70mg/8jam/iv
detik, kulit kemerahan - Boleh Pulang
A: Diare Akut e.c. Infeksi Bakterial Dehidrasi - Edukasi Pulang:
Ringan-Sedang + Anemia Defisiensi Besi menjaga higine anak
dan orang tua saat
menyiapkan
makanan, konsumsi
makanan yang
mengandung protein
seperti hati ayam,
daging bisa ikan,
suplemen vit C atau
yang lainnya.
pemberian telur,
dibatasi.
- Kontrol DL 1 bulan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

10
II.1. DIARE

A. Definisi
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan betambahnya frekuensi
defekasi >3x/hari disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan atau
tanpa darah dan atau lendir.1-2
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
sehari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir
dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu.3
Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang umum
terjadi pada anak di berbagai Negara dan merupakan penyebab kematian utama
pada anak di Negara berkembang. Epidemiologi diare bergantung pada faktor
penyebabnya.2

B. Etiologi
Saat ini, dengan kemajuan dibidang teknik laboratorium telah dapat
diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan
diare pada anak dan bayi. Penyebab infeksi utama timbulnya diare yaitu golongan
virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah
non-inflamatory dan inflammatory.1
Enteropatogen menimbulkan non-inflamatory diare melalui produksi
enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh
parasit, perlekatan dan/ atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory
diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung
atau memproduksi sitotoksin.2-3

11
Gambar 1. Organisme pathogen yang sering menyebabkan diare dan mekanisme
virulensinya2
C. Cara penularan dan faktor resiko
Cara penularan diare pada umumnya melalui fekal oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung
tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita
atau tidak langsung melalui lalat (4F= field, flies, fingers, fluid).2-3
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara
lain: tidak memberikan ASI secara penuh selama 4-6 bulan pertama kehidupan
bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja,
kurangnya sarana kebersihan atau MCK, kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara
penyapihan yang tidak baik. 3
Kuman seringkali menyebar melalui berbagai rute. Kemampuan kuman
mengakibatkan penyakit tergantung cara penyebaran, kemampuan untuk
membentuk koloni di saluran cerna, dan jumlah minimal kuman untuk
menyebabkan penyakit.2 Selain itu, beberapa faktor pada penderita dapat
meningkatkan kecenderungan mengalami diare antara lain gizi buruk,
imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik. 3
1. Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan
makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan
kadar antibodi ibu, berkurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang

12
mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia
atau binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen
merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang
berulang yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak
yang lebih besar dan pada orang dewasa.3
2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik
ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif.
pada infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu,
tinja penderita mengandung virus, bakteri, atau kista protozoa yang infeksius.
Orang dengan infeksi yang asimtomatik berperan penting dalam penyebaran
banyak eneteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi,
tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang
lain.3
3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Pada
daerah tropic (termasuk Indonesia) diare yang disebabkan rotavirus dapat terjadi
sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare
karena bakteri terus meningkat pada musim hujan.3
4. Epidemi dan pendemi
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemic
dan pandemic dan mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada
semua golongan usia. Sejak tahun 1961, cholera yang disebabkan oleh v. cholera
0.1 biotipe eltor telah menyebar ke negara-negara di Afrika, Amerika latin, Asia,
Timur tengah, dan beberapa daerah di amerika utara dan eropa. Dalam kurun
waktu yang sama Shigella dysentriae 1 menjadi penyebab wabah yang besar di
Amerika tengah dan terakhir di Afrika tengah dan Asia selatan. Pada tahun 1992
dikenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang menyebabkan epidemic di Asia dan
lebih dari 11 negara mengalami wabah.3

D. Mekanisme daya tahan tubuh

13
Infeksi virus atau bakteri tidak selamanya akan menyebabkan terjadinya
diare karena tubuh mempunyai mekanisme daya tahan tubuh. Usus adalah organ
utama yang berfungsi sebagai front terdepan terhadap invasi dari berbagai bahan
yang berbahaya yang masuk ke dalam lumen usus. Bahan-bahan ini antara lain
mikroorganisme, antigen toksin, dll. Jika bahan-bahan ini dapat menembus barier
mekanisme daya tahan tubuh dan masuk kedalam sirkulasi sistemis, terjadilah
bermacam-macam reaksi seperti infeksi, alergi atau keadaan autoimunitas.3
1. Daya pertahanan tubuh nonimunologi3
a. Flora usus
Bakteri yang terdapat dalam usus normal (flora usus normal), dapat
mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari kuman pathogen yang secara
potensial dapat menyebabkan penyakit. Setelah lahir usus sudah dihuni
oleh bermacam-macam mikroorganisme yang merupakan flora usus
normal. Penggunaan antibiotika dalam jangka panjang dapat mengganggu
keseimbangan flora usus, menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan dari
kuman-kuman non pathogen yang mungkin juga telah resisten terhadap
antibiotika.
Pertumbuhan kuman pathogen dalam usus akan dihambat karena
adanya persaingan dengan flora usus normal. Hal ini terjadi karena adanya
kompetisi terhadap substrat yang mempengaruhi pertumbuhan kuman
yang optimal (pH menurun, daya oksidasi reduksi menurun,dsb) atau
karena terbentuknya zat anti bakteri terhadap kuman pathogen yang
disebut colicines.
b. Sekresi usus
Mucin (Glikoprotein dalam usus) dan kelenjar ludah penting untuk
mencegah perlekatan kuman-kuman Streptococcus, Staphylococcus,
Lactobacilus pada mukosa mulut sehingga pertumbuhan kuman tersebut
dapat diahambat dan dengan sendirinya mengurangi jumlah
mikrooganisme yang masuk ke dalam lambung. Mucin serupa terdapat
pula dalam mucus yang dikeluarkan oleh sel epitel usus atau disekresi oleh
usus secara kompetitif mencegah melekatnya dan berkembangbiaknya
mikroorganisme di epitel usus. Selain itu muci juga dapat mencegah
penetrasi zat-zat toksik seperti allergen, enterotoksin,dll.

14
c. Pertahanan lambung
Asam lambung dan pepsin mempunyai peranan penting sebagai penahan
masuknya mikroorganisme, toksin dan antigen kedalam usus.
d. Gerak peristaltik
Gerak peristaltic merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
usaha mencegah perkembangbiakan bakteri dalam usus, dan juga ikut
mempercepat pengeluaran bakteri bersama tinja. Hal ini terlihat bila karna
sesuatu sebab gerak peristaltis terganggu (operasi, penyakit, kelainan
bawaan dsb), sehingga menimbulkan stagnasi isi usus.
e. Filtrasi hepar
Hepar, terutama sel kupfer dapat bertindak sebagai filtrasi terhadap
bahan-bahan yang berbahaya yang diabsorbsi oleh usus dan mencegah
bahan-bahan yang berbahaya tersebut masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
f. Lain-lain
- Lisosim (mempunyai daya bakteriostatik)
- Garam-garam empedu membantu mencegah perkembangbiakan kuman
- Natural antibody : menghambat perkembangan beberapa bakteri
pathogen, tetapi tidak mengganggu pertumbuhan flora usus normal.
Natural antibody ini mungkin merupakan hasil dari reaksi cross
imunity terhadap antigen yang sama yang terdapat pula pada beberapa
mikroorganisme.

2. Pertahanan imunologik lokal3


Saluran pencernaan dilengkapi dengan sistem imunologik terdapat
penetrasi antigen ke dalam epitel usus. Limfosit dan sel plasma terdapat dalam
jumlah yang berlebihan dalam usus, baik sebagai bagian dari plaque peyeri di
ileum dan apendiks maupun tersebar secara difus di dalam lamina propria usus
kecil dan usus besar. Reaksi imunologik local ini tidak tergantung dari sistem
imunologik sistemik.Reaksi ini terjadi karena rangsangan antigen dari
permukaan epitel usus. Yang termasuk dalam pertahanan imunologik lokal
adalah:
a. Secretory Immunoglobulin A (SIgA)
IgA diketahui terbanyak terdapat pada sekresi eksternal sedangkan IgG
dalam cairan tubuh internal. Strukur SIgA berlainan dengan antibody yang
terdapat dalam serum, berbentuk dimer dari IgA yang diikat oleh rantai
polipeptida. Dimer IgA ini dibuat dalam sel plasma yang terdapat dibawah

15
permukaan epitel usus yang kemudian akan diikat lagi oleh suatu
glikoprotein yang dinamakan sekretori komponen (SC). Dengan ikatan
yang terakhir SIgA akan lebih tahan terhadap perusakan oleh enzim
proteolitik (tripsin dan kemotripsin) yang terdapat dalam usus. Cell
Mediated Immunity (CMI) dikemukakan bahwa peranan limfosit dalam
CMI terletak pada plaque peyeri di ileum. Walaupun demikian peranan
CMI dalam proteksi usus masih dalam tahap penelitian.
b. Imunoglobulin lain
IgG terdapat dalam jumlah kecil dalam usus dan mudah rusak dalam
lumen usus. Hanya bila mukosa usus mengalami peradangan IgG bersama-
sama dengan sel plasma yang terdapat dalam jumlah cukup banyak di usus
dapat merupakan proteksi temporer terhadap kerusakan usus lebih lanjut.
IgM dapat menggantikan fungsi IgA bila karena suatu sebab terjadi
defisiensi IgA. IgE tidak jelas peranannya dalam proteksi usus.

E. Patofisiologi
Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare cair, yaitu sekeretorik dan
osmotik. Meskipun dapat melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik
lebih sering ditemukan pada infeksi saluran cerna. Begitu pula kedua mekanisme
tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu anak.3,4
1. Diare osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori yang dapat dilalui oleh air dan
elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus
dengan cairan ekstrasel. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan
intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertoni dan
menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen
usus dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeable, air akan

16
mengalir kearah jejunum, sehingga akan banyak terkumpul air dalam lumen usus.
Na akan ikut masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan
intraluminal yang besar dengan kadar Na normal. Sebagian kecil cairan ini akan
dibawa kembali, akan tetapi lainya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada
bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukosa, sucrose, lactose, maltose di
segmen ileum dan melebihi kemampuan absorbs kolon, sehinga terjadi diare.
Bahan-bahan seperti karbohidrat dan jus buah, atau bahan yang mengandung
sorbitol dalam jumlah berlebihan akan memberikan dampak yang sama.3
2. Diare Sekretorik
Diare sekterik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus
halus yang terjadi akibat gangguan absorbs natrium oleh vilus saluran cerna,
sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan ini
menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair. Diare
sekretorik ditemukan diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri akbat rangsangan
pada mukosa usus halus oleh toksin E.coli atau V. cholera.01.5

Tabel 1. Perbedaan diare osmotic dan sekretorik3

Osmotik Sekretorik

Volume tinja <200 ml/hari >200 ml/hari

Puasa Diare berhenti Diare


berlanjut
Na+ tinja <70 mEq/L >70 mEq/L

Reduksi (+) (-)

pH tinja <5 >6

Dikenal bahan-bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin


bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu
bentuk dihidroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini
terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP,
atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifasi protein kinase. Pengaktifan ini
akan menyebabkan fosforilase membrane protein sehingga megakibatkan

17
perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Disisi lain terjadi
peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama
Cl-.3
Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas. Meskipun motilitas
jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan motilitas
mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan
motilitas keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat
mengakibatkan bakteri tumbuh terlampau banyak yang menyebabkan diare.
Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi,
Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan statis intestinal bearkibat
inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat
hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diarhhea dapat disebabkan
karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi. Gangguan motilitas
mungkin merupakan penyebab diare pada tirotoksikosis, malabsorbsi asam
empedu, dan berbagai peyakit lain.3
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebakan diare pada beberapa
keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, elektrolit,
mucus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk
dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare
laina seperti diare osmotik dan sekretorik.3
Bakteri enteral pathogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight
junction, menginduksi cairan dan elektrolit, dan mengaktifkan kaskade inflamasi.
Efek infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis
dan fungsi absorbsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian
oleh Bakes J dkk menunjukan bahwa peranan bakteri enteral pathogen pada diare
terletak perubahan barier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu
perubahan pada cellular cytoskeleton dan specific tight junction.3,6

18
F. Manifestasi klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala
lainya bila terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologik.
Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut, dan muntah. Sedangkan
manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.3
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung
sejumlah ion natrium, klorida dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini
bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga akan meningkat bila ada
panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolic, dan hipokalemia.
Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan
hipovolemia, kolaps kardiovaskular dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.
Dehidrasi yang terjadi menurut tonisistas plasma dapat berupa dehidrasi isotonic,
dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat
dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi
berat.2-3
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enteric pathogen
antara lain: vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomyelitis,
meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septic tromboplebitis. Gejala
neurolgik dari infeksi usus bias berupa parestesia (akibat makan ikan, kerang,
monosodium glutamate), hipotoni dan kelemahan otot.3
Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat
dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.
Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus terjadi pada perut bagian bawah serta
rectum menunjukan terkenanya usus besar. Mual dan muntah adalah symptom
yang nonspesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena
mikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seprti: enteric virus,
bakteri yang memproduksi enteroroksin, giardia, dan cryptosporidium.2-3

19
Gambar 2. Bentuk Klinis Diare1

20
G. Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,


frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila
disertai muntah volume dan frekuensinya. BAK biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6-8jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk,
pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare:
member oralit, membawa berobat ke puskesmas atau ke rumah sakit dan obat-
obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya. Laporan setempat mengenai
Kejadian Luar Biasa (KLB) kolera Pengobatan antibiotik yang baru diminum
anak atau pengobatan lainnya Gejala invaginasi (tangisan keras dan kepucatan
pada bayi) juga dapat ditanyakan. 1-3

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari
tanda-tanda tambahan lainya:ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cowong
atau tidak, cubitan kulit perut kembalinya lambat atau sangat lambat, haus/minum
dengan lahap, atau malas minum atau tidak bisa minum. Darah dalam tinja, Tanda
invaginasi (massa intra-abdominal, tinja hanya lendir dan darah), tanda gizi buruk
atau perut kembung dapat dicari. 1-3
Pernapasan yang cepat dan dalam, indikasi adanya asiodosis metabolik.
Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia. Pemeriksaan
ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat
dehidrasi yang terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan
dengan cara: objektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan
sesudah diare. Subjektif dengan menggunakan criteria WHO dan MMWR.1,3

21
Gambar 3. Gejala dehidrasi menurut derajatnya1
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya
tidak diperkukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya
penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau
pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur
urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium
yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut:1-3
 Darah: darah lengkap, serum elketrolit, analisa gas darah, glukosa darah,
kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
 Urine: urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika
 Tinja:
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan ini mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau tinja,
adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu banyak
berkolerasi dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan dengan
adnya warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri
anaerob pada keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya
darah dalam tinja atau obat yang dapat menyebabkan warna merah dalam

22
tinja seperti rifampisin. Konsistensi tinja dapat cair, lembek, padat. Tinja
yang berbusa menunjukan adanya gas dalam tinja akibat fermentasi
bakteri. Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat menunjukan adanya
lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan di kolon ,
khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang sangat berbau
menggambarkan adanya fermentasi oleh bakteri anaerob di kolon.
Pemeriksaan pH tinja menggunakan kertas lakmus dapat dilakukan untuk
menentukan adanya asam dalam tinja. Asam dalam tinja tersebut adalah
asam lemak rantai pendek yang dihasilkan karena fermentasi laktosa yang
tidak diserap di usus halus sehingga masuk ke usus besar yang banyak
mengandung bakteri komensal. Bila pH tinja<6 dapat dinggap sebagai
malabsorbsi laktosa.4
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua
penderita dengan diare meskipun pemeriksaan labotarium tidak dilakukan.
Tinja yang watery dan tanpa mucus atau darah biasanya disebabkan oleh
enteroksin virus, prontozoa, atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran
gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mucus biasanya
disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin bakteri
enteronvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus
seperti : E. hystolitica, B.coli , T.trichiura. Apabila terdapat darah biasanya
bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E.hystolitica darah
sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi Salmonella,
Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.4
Pada diare akut sering terjadi defisiensi enzim lactose sekunder
akibat rusaknya mikrofili mukosa usus halus yang banyak mengandung
enzim lactase. Enzim laktsae merupakan enzim yang bekerja memecahkan
laktosa menjadi glukosa dan galaktosa, yangs elanjutnya diserap di
mukosa usus halus, Salah satu cara menentukan malabsorbsi laktosa
adalah pemeriksaan clinitest dikombinasi dengan pemeriksaan pH tinja.
Pemeriksaan clinitest dilakukan dengan prinsip melihat perubahan reaksi
warna yang terjadi antara tinja yang diperiksa dengan tablet clinitest.

23
Prinsipnya adalah terdapatnya reduktor dalam tinja yang mengubah cupri
sulfat menjadi cupri oksida. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
mengambil bagian cair dari tinja segar (sebaiknya tidak lebih dari 1 jam).
Sepuluh tetes air dan 5 tetes bagian cair dari tinja diteteskan kedalam gelas
tabung, kemudian ditambah 1 tablet clinitest. Setelah 60 detik maka
perubahan warna yang terjadi dicocokan dengan warna standart. Biru
berarti negative, kuning tua berarti positif kuat (++++=2%), antara kuning
dan biru terdapat variasi warna hijau kekuningan (+=1/2%), (++=3/4%), (+
++=1%). Sedangkan terdapatnya lemak dalam tinja lebih dari 5 gram
sehari disebut sebagai steatore.4

b. Pemeriksaan mikroskopik
Infeksi bakteri invasive ditandai dengan ditemukannya sejumlah
besar leukosit dalam tinja yang menunjukan adanya proses inflamasi.
Pemeriksaan leukosit tinja dengan cara mengambil bagian tinja yang
berlendir seujung lidi dan diberi ½ tetes eosin atau Nacl lalu dilihat dengan
mikroskop cahaya:7
 bila terdapat 1-5 leukosit perlapang pandang besar disebut negative
 bila terdapat 5-10 leukosit per lapang pandang besar disebut (+)
 bila terdapat 10-20 leukosit per lapang pandang besar disebut (++)
 bila terdapat leukosit lebih dari ½ lapang pandang besar disebut (+
++)
 bila leukosit memenuhi seluruh lapang pandang besar disebut (+++
+)
Adanya lemak dapat diperiksa dengan cara perwanaan tinja dengan
sudan III yang mengandung alcohol untuk mengeluarkan lemak agar dapat
diwarnai secara mikroskopis dengan pembesarn 40 kali dicari butiran
lemak dengan warna kuning atau jingga. Penilaian berdasarkan 3 kriteria:8
 (+) bila tampak sel lemak kecil dengan jumlah kurang dari 100
buah per lapang pandang atau sel lemak memenuhi 1/3 sampai ½
lapang pandang

24
 (++) bila tampak sel lemak dengan jumlah lebih 100 per lapang
pandang atau sel memenuhi lebih dari ½ lapang pandang
 (+++) bila didapatkan sel lemak memenuhi seluruh lapang
pandang.
Pemeriksaan parasit paling baik dilakukan pada tinja segar. Dengan
memakai batang lidi atau tusuk gigi, ambilah sedikit tinja dan emulsikan
dalam tetesan NaCl fisiologis, demikian juga dilakukan dengan larutan
Yodium. Pengambilan tinja cukup sedikit saja agar kaca penutup tidak
mengapung tetapi menutupi sediaan sehingga tidak terdapat gelembung
udara. Periksalah dahulu sediaan tak berwarna (NaCL fisiologis), karena
telur cacing dan bentuk trofozoid dan protozoa akan lebih mudah dilihat.
Bentuk kista lebih mudah dilihat dengan perwanaan yodium. Pemeriksaan
dimulai dengan pembesaran objekstif 10x, lalu 40x untuk menentukan
spesiesnya.

Uji hydrogen napas


Pemeriksaan yang didasarkan atas adanya peningkatan kadar
hydrogen dalam udara ekspirasi. Gas hydrogen dalam udara ekspirasi
berasal dari fermentasi bakteri terhadap substrat baik di kolon maupun di
usus halus. Fermentasi bakteri di usus besar terjadi karena adanya substrat
yang tidak diabsorbsi tersebut seperti laktosa atau fruktosa akan
difermentasi oleh bakteri komensal menghasilkan asam lemak rantai
pendek, beberapa molekul alcohol dan gas hydrogen. Gas hydrogen
tersebut dengan cepat akan diserap masuk ke sirkulasi darah lalu masuk ke
paru dan dikeluarkan lewat udara napas.4
Fermentasi bakteri di usus halus terjadi karena adanya bacterial
overgrowth, yang didefinisikan sebagai terdapatnya koloni atau spesies
koloni lebih dari 106 unit per milliliter cairan usus halus yang seharusnya
relative steril. Sebelum pemeriksaan uji hydrogen napas penderita
dipuasakan selama 4-6 jam, lalu diambil sampel udara napas dengan cara
meniup (pada bayi dengan menggunakan sungkup) pada alat yang dapat

25
menghitung kadar hydrogen napas sebagai kadar awal hydrogen napas.
Lalu diberikan larutan 2gr/kgBB dengan konsentrasi 20% setelah itu
diambil sampel udara napas seperti sebelumnya setiap 30 menit selam 2-3
jam. Peningkatan kadar hydrogen napas >20ppm, atau 10-20 ppm disertai
gejala klinis (kembung, diare, muntah, sakit perut) disebut positif. Apabila
peningkatan tersebut diperoleh pada 30 menit pertama yang berarti
fermentasi laktosa oleh bakteri sudah terjadi, di usus halus dan
disimpulkan sebagai bacterial overgrowth. Peningkatan yang terjadi
setelah 2 jam menandakan adanya laktosa yang tidak diabsorbsi di usus
halus, sehingga masuk ke kolon dan difermentasi oleh bakteri di kolon
menghasilkan hydrogen yang ditangkap oleh alat.4

H. Penatalaksanaan
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini dikenal sebagai
lima langkah tuntaskan diare (LINTAS DIARE) yaitu:3
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua
Tujuan pengobatan diatas dapat dicapai dengan cara mengikuti rencana terapi
yang sesuai, seperti yang tertera dibawah ini:1-3
Rencana terapi A : penanganan diare di rumah
Jelaskan kepada ibu tentang 4 aturan perawatan di rumah:
 Beri cairan tambahan (sebanyak anak mau)
Jelaskan pada ibu:
- pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang
utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
- jika anak memeperoleh ASI eksklusif, beri oralit, atau air matang sebagai
tambahan

26
- jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini:
oralit, cairan makanan(kuah sayur, air tajin) atau air matang

Anak harus diberi larutan oralit dirumah jika:


- anak telah diobati dengan rencana terapi B atau dalam kunjungan
- anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah berat
Ajari pada ibu cara mencampur dan memberikan oralit. Beri ibu 6 bungkus
oralit (200ml) untuk digunakan dirumah. Tunjukan pada ibu berapa banyak cairan
termasuk oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairanya
sehari-hari:
- <2 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali BAB
- >2 tahun : 100 samapai 200 ml setiap kali BAB
Katakan pada ibu
- agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering dari mangkuk/ cangkir/gelas
- jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi dengan lebih
lambat.
- lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

 Beri tablet Zinc


Pada anak berumur 2 bulan keatas, beri tablet zinc selama 10 hari dengan
dosis umur <6 bulan : ½ tablet (10 mg) perhari dan umur >6 bulan : 1 tablet
(20 mg) perhari. Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Pemberian zinc pada diare dapat
meningkatkan absorbsi air dan elektrolit oleh usus halus meningkatkan kecepatan
regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen di usus.
Pemberian zinc dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
 Lanjutkan pemeberian makanan dan jelaskan Kapan harus kembali

Rencana terapi B

27
Penanganan dehidrasi sedang/ ringan dengan oralit. Beri oralit di klinik
sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.

Tabel 2. Pemberian oralit1

Jumlah oralit yang diperlukan 75 ml/kgBB. Kemudian setelah 3 jam


ulangi penilaian dan klasifikasikan kemabali derajat dehidrasinya, dan pilih
rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika ibu memaksa
pulang sebelum pengobatan selesai tunjukan cara menyiapkan oralit di rumah,
tunjukan berapa banyak larutan oralit yang harus diberikan dirumah untuk
menyelesaikan 3 jam pertama. Beri bungkus oralit yang cukup untuk rehidrasi
dengan menambah 6 bungkus lagi sesuai yang dainjurkan dalam rencana terapi
A. Jika anak menginginkan oralit lebih banyak dari pedoman diatas, berikan
sesuai kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Untuk anak berumur kurang
dari 6 bulan yang tidak menyusu, beri juga 100-200 ml air matang selama
periode ini. Mulailah memberi makan segera setelah anak ingin amkan.
Lanjutkan pemberian ASI. Tunjukan pada ibu cara memberikan larutan oralit.
berikan tablet zinc selama 10 hari.

Rencana terapi C (penanganan dehidrasi berat dengan cepat)


Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui
mulut, sementara infuse disiapkan. Beri 100 ml/kgBB cairan ringer laktat atau
ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai
berikut.

Tabel 3. Pemberian cairan intravena pada dehidrasi berat1

28
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum
membaik, beri tetesan intravena lebih cepat. Juga beri oralit (kira-kira
5ml/kgBB/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi)
atau 1-2 jam (anak) dan beri anak tablet zinc sesuai dosis dan jadwal yang
dianjurkan. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam
(klasifikasikan dehidrasi), kemudian pilih rencana terapi untuk melanjutkan
penggunaan.

Pengobatan dietetik
Memuasakan penderita diare (hanya memberi air teh) sudah tidak
dilakukan lagi karena akan memperbesar kemungkinan terjadinya hipoglikemia
dan atau KKP. Sebagai pegangan dalam melaksanakan pengobatan dietetic
diapakai singkatan O-B-E-S-E, sebagai singkatan Oralit, Breast feeding, Early
Feeding, Simultaneously with Education.8
Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan
setelah sembuh. Tujuanya adalah memberikan makanan kaya nutrient sebanyak
anak mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya
timbul kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan
mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan
menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrient, sehingga memburuknya status gizi
dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan
menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan
kembalinya fungsi usus akan lebih lama.3
Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur,
makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada
umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan
dengan anak sehat.3 Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan

29
selama anak mau. Peranan ASI selain memberikan nutrisi yang terbaik, juga
terdapat 0,05 SIgA/hari yang berperan memberikan perlindungan terhadap kuman
pathogen. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum
paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau
bebas laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu
menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi
dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam
(pH<6) dan terdapat bahan yang mereduksi dalam tinja>0,5%. Setelah diare
berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali
dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2-3 hari.9
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan
lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energy diit
harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6kali atau
lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan
tambahan seperti serealia pada umunya dapat ditoleransi dengan baik pada anak
yang telah disapih. Makanan padat memiliki keuntungan, yakni memperlambat
pengosongan lambung pada bayi yang minum ASI atau susu formula, jadi
memperkecil jumlah laktosa pada usus halus per satuan waktu. Pemberian
makanan lebih sering dalam jumlah kecil juga memberikan keuntungan yang
sama dalam mencernakan laktosa dan penyerapanya. Pada anak yang lebih besar,
dapat diberikan makanan yang terdiri dari:makanan pokok setempat misalnya
nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan
energinya dapat ditambahkan 5-10 ml minyak nabati untuk setiap 100ml
makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten.
Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran,
serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik
untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang
mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman
ringan, sebaiknya dihindari.
Pemberian makanan setelah diare

30
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa
kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi teruatama bila terjadai anorexia
hebat. Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang akan zat gizi
beberapa minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk
mencapai serta mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra
makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak
dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.3,4,9

Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti
antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetic, dan obat yang mempengaruhi
mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja,
banyak diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak
direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2-3 tahun. Secara umum
dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare
akut.3

Antibiotik
Antbiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua daire akut oleh
karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan
tidak dapat dibunuh dengan antibiotik. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang
disebabkan oleh bakteri pathogen seperti V,cholera, Shigella, Enterotoksigenik
E.coli, Salmonella, Campilobacter, dan sebagainya.3

Tabel 4. Rekomendasi pemilihan antibiotic pada kasus diare3

Penyebab Antibiotik pilihan Alternatif


Kolera Tetracycline 12,5 mg/kgBB Erythromycin 12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari 4x sehari selama 3 hari
Shigella Disentri Ciprofloxacin 15 mg/kgBB Pivmecillinam 20 mg/kg BB

31
2x sehari selama 3 hari 4x sehari selama 3 hari
Ceftriaxone 50-100 mg/kgBB
1x sehari IM selama 2-5 hari
Amoebiasis Metronidazole 10 mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari
(10 hari pada kasus berat)
Giadiasis Metronidazole 5mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari

Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan
praktis dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa
dari obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah:1,3
 Adsorben
Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholesteramine).
Obat-obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar
kemampuanya untuk mengikat dan menginaktifasi toksin abkteri atau
bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai
kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare
akut pada anak.
 Antimotilitas
Contoh loperamidhydrocloride, diphenoxylate dengan atropine, tincture
opiii, paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare
pada orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak.
Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat
fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan memperlambat eliminasi
dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedative pada dosis normal.
Tidak satupun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak
dengan diare.

 Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja
pada anak dngan diare akut sebanya 30% akan tetapi, cara ini jarang
digunakan.

32
Obat-obat lain:
 Anti muntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi
rehidrasi oral. Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak
dengan diare, muntah biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi

PROBIOTIK
Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang
difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan
mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan
pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak
minum ASI. 2-4,10
Kemungkinan efek probiotik dalam pencegahan diare melalui perubahan
lingkungan mikrolumen usus, kompetisi nutrient, mencegah adhesi kuman
pathogen pada enterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik
terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrient dan imunomodulasi.
Pemberian makanan selama diare harus diteruskan dan ditingkatkan setelah
sembuh, tujuanya adalah memberikan makanan yang kaya nutrient sebanyak anak
mampu menerima. 2-4,10
Mekanisme kerja probiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri
patogen dalam mukosa usus belum sepenuhnya jelas tetapi beberapa laporan
mneunjukan adanya kompetisi untuk mengadakan perlekatan dengan enterosit
(sel epitel mukosa). Enterosit yang telah jenuh dengan bakteri probiotik tidak
dapat lagi dilekati bakteri yang lain. Jadi dengan adanya bakteri probiotik di
dalam mukosa usus dapat mencegah kolonisasi oleh bakteri patogen.
Lactobacillus strain pada manusia mempunyai kemampuan melekat pada Caco-2
cells dan sel goblet HT 29-MTX pada sel epitel mukosa usus. Lactobacillus
acidophilus LA1 dan LA3 mempunyai kemampuan melekat yang kuat, tidak
tergantung pada calcium, sedangkan Lactobacillus strain LA10 dan LA18
kemampuan melekatnya rendah. Kemampuan perlekatan tersebut dapat

33
dihilangkan dengan adanya tripsin. Strain LA1 mempunyai kemampuan untuk
mencegah perlekatan diarrheagenic Eschercia coli (EPEC) dan bakteri
enteroinvasif seperti Salmonella typhymurium, Yersinia tuberculosis. Kemampuan
mencegah perlekatan strain LA1 lebih efektif bila diberikan sebelum atau
bersamaan dengan infeksi E coli daripada setelah infeksi E coli. 2-4,10
Disamping mekanisme perlekatan dengan reseptor pada epitel usus
untuk mencegah pertumbuhan bakteri patogen melalui kompetisi, bakteri
probiotik memberi manfaat pada pejamu oleh karena produksi substansi
antibakteri misalnya, asam organik, bacteriocin, microcin, reuterin, volatile fatty
acid, hidrogen peroksida dan ion hidrogen.2-4,10

I. Komplikasi1-3
Gangguan elektrolit
- Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma >150 mmol/L memerlukan
pemantauan berkala yang ketat. Tujuanya adalah menurunkan kadar
natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang
cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak.
Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan
paling aman. Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan
menggunakan cairan 0,45% saline-5% dextrose selama 8 jam. Hitung
kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar
natrium plasma setelah 8jam. Bila normal lanjutkan dengan rumatan, bila
sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma
setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline-5% dekstrose,
perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml
cairan infuse setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet
normal dapat mulai diberikan. lanjutkan pemberian oralit
10ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.3
- Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadai hiponatremia ( Na<130

34
mmol/L). Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan
pada anak malnutrisi berat dengan odema. Oralit aman dan efekstif untuk
terapi dari hamper semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil,
koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu :
memakai ringer laktat atau normal saline. Kadar Na koreksi (mEq/L)=125-
kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan.
Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam.
Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.3
- Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K>5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan
pemberian kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB i.v pelan-pelan dalam 5-
10 menit dengan monitor detak jantung.3
- Hipokalemia
Diakatakan hipokalemia bila K<3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menuurut
kadar K: jika kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hr
dibagi 3 dosis. Bila <2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip
(tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5-kadar K
terukurx BBx0,4 +2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam lemudian
20 jam berikutnya adalah (3,5-kadar K terukurx BBx 0,4+1/6x2
mEqxBB). Hipokalemia dapat menyebakan kelemahan otot, paralitik usus,
gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah
dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan makanan
yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.3

Demam
Demam sering terjadi pada infeksi shigella disentriae dan rotavirus. Pada
umunya demam akan timbul jika penyebab diare mengadakan invasi ke dalam sel
epitel usus. Demam juga dapat terjadi karena dehidrasi. Demam yang timbul
akibat dehidrasi pada umunya tidak tinggi dan akan menurun setelah mendapat
hidrasi yang cukup. Demam yang tinggi mungkin diikuti kejang demam.
Pengobatan: kompres dan/ antipiretika. Antibiotika jika ada infeksi.1-2

35
Edema/overhidrasi
Terjadi bila penderita mendapat cairan terlalu banyak. Tanda dan gejala
yang tampak biasnya edema kelopak mata, kejang-kejang dapat terjadi bila ada
edema otak. Edema paru-paru dapat terjadi pada penderita dehidrasi berat yang
diberi larutan garan faali. Pengobatan dengan pemberian cairan intravena dan atau
oral dihentikan, kortikosteroid jika kejang.1-2

Asidosis metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan bertambahnya asam atau hilangnya
basa cairan ekstraseluler. Sebagai kompensasi terjadi alkalosis respiratorik, yang
ditandai dengan pernafasan yang dalam dan cepat (kuszmaull). pemberian oralit
yang cukup mengadung bikarbonas atau sitras dapat memperbaiki asidosis.1-2

Ileus paralitik
Komplikasi yang penting dan sering fatal, terutama terjadi pada anak kecil
sebagai akibat penggunaan obat antimotilitas. Tanda dan gejala berupa perut
kembung, muntah, peristaltic usu berkurang atau tidak ada. Pengobatan dengan
cairan per oral dihentikan, beri cairan parenteral yang mengandung banyak K. 1-2

Kejang1-2
o Hipoglikemia: terjadi kalau anak dipuasakan terlalu lama. Bila penderita
dalam keadaan koma, glukosa 20% harus diberika iv, dengan dosis 2,5
mg/kgBB, diberikan dalam waktu 5 menit. Jika koma tersebut disebabkan oleh
hipoglikemia dengan pemberian glukosa intravena, kesadaran akan cepat pulih
kembali.
o Kejang demam
o Hipernatremia dan hiponatremia
o Penyakit pada susunan saraf pusat, yang tidak ada hubungannya dengan diare,
seperti meningitis, ensefalitis atau epilepsy.

Malbasorbsi dan intoleransi laktosa


Pada penderita malabsorbsi atau intoleransi laktosa, pemberian susu
formula selama diare dapat menyebabkan volume tinja bertambah, berat badan

36
tidak bertambah atau gejala/tanda dehidrasi memburuk dan dalam tinja terdapat
reduksi dalam jumlah cukup banyak. 1-2
Tindakan:
a. Mencampur susu dengan makanan lain untuk menurunkan kadar laktosa dan
menghidari efek “bolus”
b. Mengencerkan susu jadi ½-1/3 selama 24 -48 jam. Untuk mangatasi
kekeurangan gizi akibat pengenceran ini, sumber nutrient lain seperti makanan
padat, perlu diberikan.
c. Pemberian “yogurt” atau susu ynag telah mengalami fermentasi untuk
mengurangi laktosa dan membantu pencernaan oleh bakteri usus.
d. Berikan susu formula yang tidak mengandung/rendah laktosa, atau ganti
dengan susu kedelai.

Malabsorbsi glukosa
Jarang terjadi. Dapat terjadi penderita diare yang disebabkan oleh infeksi,
atau penderita dengan gizi buruk. Tindakan: pemberian oralit dihentikan, berikan
cairan intravena1-2

Muntah
Muntah dapat disebabkan oleh dehidrasi, iritasi usus atau gastritis yang
menyebabkan gangguan fungsi usus atau mual yang berhubungan dengan infeksi
sistemik. Muntah dapat juga disebabkan karena pemberian cairan oral terlalu
cepat. Tindakan: berikan oralit sedikit-sedikit tetapi sering (1 sendok makan tiap
2-3 menit), antiemetic sebaiknya tidak diberikan karena sering menyebabkan
penurunan kesadaran. 1-2

Akut kidney injury


Mungkin terjadi pada penderita diare dengan dehidrasi berat dan syok.
Didiagnosis sebagai AKI bila pengeluaran urin belum terjadi dalam waktu 12 jam
setelah hidrasi cukup. 1-2

37
J. Pencegahan
Mencegah penyebaran kuman pathogen penyebab diare1-3
Kuman-kuman patoggen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal
oral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara
penyebaran. Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:
a. Pemberian ASI yang benar
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI
c. Menggunakan air bersih yang cukup
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis
buang air besar dan sebelum makan
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota
keluarga
f. Membuang tinja bayi yang benar

Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu1-3


Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
anak dan dapat juga mengurangi resiko diare antara lain:
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun
b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi
makan dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status, gizi anak.
c. Imunisasi campak. Pada balita 1-7% kejadian diare berhubungan
dengan campak, dan diare yang terjadi umunya lebih berat dan lebih
lama (susah diobati, cenderung menjadi kronis) karena adanya
kelainan pada epitel usus. Diperkirakan imunisasi campak yang
mencakup 45-90% bayi berumur 9-11 bulan dapat mencegah 40-60%
kasus campak, 0,6-3,8% kejadian diare dan 6-25% kematian karena
diare pada balita.
d. Vaksin rotavirus, diberikan untuk meniru respon tubuh seperti infeksi
alamiah, tetapi infeksi pertama oleh vaksin tidak menimbulkan,
manifestasi diare. Di dunia beredar 2 vaksin rotavirus oral yang
diberikan sebelum usia 6 bulan dalam 2-3 kali pemberian dengan
interval 4-6 minggu.

38
K. Prognosis
Bila tatalaksana diare sesuai dengan 4 pilar diare, sebagian besar
(90%) kasus diare pada anak akan sembuh dalam waktu kurang dari 7 hari,
sebagian kecil (5%) akan melanjut dan sembuh dalam kurang dari 7 hari, sebagian
kecil (5%) akan menjadi diare persisten.4

II.2. ANEMIA DEFISIENSI BESI


A. Definisi
Anemia dapat didefinisikan secara kuantitatif maupun fisiologis. Definisi
kuantitatif anemia yaitu kadar hemoglobin atau hematokrit dengan 2 standar
deviasi (SD) di bawah rerata untuk usia dan jenis kelamin. Pada kondisi tertentu,
anemia dapat timbul dengan kadar hemoglobin normal seperti pada penyakit
jantung sianotik atau paru, atau bila terdapat hemoglobin dengan afinitas tinggi
yang abnormal terhadap oksigen. Pada kondisi tersebut, definisi fisiologik lebih
sesuai. 11
Anemia seringkali bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri,
namun lebih merupakan manifestasi dari suatu proses primer lain dan dapat lebih
menunjukan disfungsi organ lain. Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan
ukuran dan kandungan hemoglobin dalam sel anemia mikrositik hipokromik
(produksi hemoglobin inadekuat), anemia normositik normokromik (berhubungan
dengan penyakit sistemik yang mengganggu sintesis sel darah merah yang

39
adekuat di sumsum tulang) dan juga anemia makrositik (ditemukan pada
defisiensi zat tertentu seperti vitamin B12 atau asam folat). 11
Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh.
Anemia defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat
sehingga menyebabkan eritropoesis terganggu dan menyebabkan terbentuknya
anemia. Keadaan ini akan menyebabkan kelemahan sehingga menjadi halangan
untuk beraktivitas dan juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada
anak. 12-13

B. Epidemiologi
Prevalensi defisiensi besi dengan penyebab paling tersering anemia di
dunia adalah sekitar 9% pada balita, 9-11% pada remaja putri dan <1% pada
remaja putra. Anemia defisiensi besi terjadi pada sekitar sepertiga anak yang
mengalami defisiensi besi. Sejumlah populasi kurang beruntung di USA
mengalami peningkatan risiko ADB akibat buruknya asupan diet. Bayi yang
mendapatkan ASI lebih kecil kemungkinan mengalami defisiensi besi
dibandingkan yang mengkonsumsi susu formula.11

40
Gambar 4. Penggunaan hitung darah lengkap, hitung retikulosit dan hapus darah
dalam diagnosis anemia.11

C. Etiologi
Anemia defisiensi besi (ADB) umumnya ditemukan pada bayi yang
mendapatkan susu sapi pada usia kurang dari 1 tahun, balita yang mendapatkan
susu sapi dalam jumlah besar, dan remaja putri yang mengalami menstruasi tanpa
mendapatkan suplementasi besi beresiko tinggi mengalami defisiensi besi. ADB
juga dapat ditemukan pada anak dengan penyakit inflamasi kronik walaupun
tanpa perdarahan kronik. Secara umum kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh
kebutuhan yang meningkat secara fisiologis, kurangnya besi yang diserap,
perdarahan, transfuse fetomaternal, hemoglobinuria, Iatrogenic blood loss,
Idiopathic pulmonary hemosiderosis, latihan yang berlebihan.14
D. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini
menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3
tahap defisiensi besi, yaitu:11-14
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin
dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekuranganbesi masih normal.
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin
atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC
meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat.

41
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

Tabel 5. Tahap kekurangan besi14

E. Manifestasi klinis
Secara umum, awitan akut anemia dapat terjadi pada tingkat yang tidak
terkompensasi dengan baik dan dapat bermanifestasi pada peningkatan laju denyut
jantung, bising jantung, toleransi yang buruk terhadap kegiatan, sakit kepala, tidur
berlebihan khususnya pada bayi, atau kelelahan, iritabilitas, buruknya asupan
makan atau sinkop. Sebaliknya pada anak dengan anemia kronik seringkali sangat
ditoleransi dan biasanya bermanifestasi pada takikardia dan bising jantung.11
Selain manifestasi anemia, kelainan SSP seperti apatis, iritabilitas,
konsentrasi yang buruk telah dihubungkan dengan defisiensi besi, paling mungkin
akibat kelainan enzim yang mengandung zat besi (monoamin oksidase) dan
sitokrom. Ketahanan otot yang buruk, gangguan fungsi pencernaan, gangguan
sistem imun juga telah dikaitkan dengan kondisi defisiensi besi. Pada bayi,
temuan ADB umumnya berkorelasi dengan defisit kognitif dan prestasi sekolah
yang buruk dikemudian hari.11
Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan gejala
dan baru terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan. Gejala khas
dari anemia defisiensi besi adalah:13

42
1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan mengkilap
yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring
Pada anak dengan ADB dapat ditemukan perilaku memakan sesuatu yang
tidak lazim atau disebut pika. Pica, keinginan untuk mengkonsumsi bahan-bahan
yang tidak dapat dicerna, atau pagofagia, keinginan untuk mengkonsumsi es batu
merupakan gejala sistemik lain dari defisiensi besi. Pica dapat menyebabkan
pengkonsumsian bahan-bahan mengandung timah sehingga akan menyebabkan
plumbisme.15

F. Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai
untuk menentukan ADB. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:11-14
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin <15 % (N ; 20 – 50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:


1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >100 ug/dl
4. Kadar feritin serum <12 ug/dl

43
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP
harus dipenuhi)
Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
2. Red cell distribution width (RDW) > 17%
3. FEP meningkat
4. Feritin serum menurun
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10 setelah pemberian besi
b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCVmeningkat
1% / hari.
7. Sumsum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma
b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian
preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis
dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini
sangat mudah, praktis, sensitif dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko
tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6
mg/kgBB/hari selama 3 – 4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 mg/dl maka

dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.14

Tabel 6. Tingkatan perkembangan ADB11

44
G. Diagnosis Banding
ADB paling sering di diagnosis banding dengan kemungkinan penyebab
anemia mikrositik hipokromik lainnya antara lain:11, 14-15

Tabel 7. Membedakan gambaran Anemia Mikrositik11

H. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80 – 85% penyebab ADB dapat diketahui dengan penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat dilakukan secara oral atau parenteral.
Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama efektifnya dengan pemberian
secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang
tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat dipenuhi
secara peroral karena ada gangguan pencernaan.14
Pada anak yang tidak memiliki masalah kesehatan lain, uji coba zat besi
terapeutik adalah cara diagnostik terbaik untuk defisiensi besi selama anak
diperiksa ulang dan tercatat dengan baik. Respons terhadap zat besi oral
mencakup perbaikan subjektif cepat, terutama dalam fungsi neurologik (dalam 24-
48 jam) dan retikulosis (48-72 jam); peningkatan kadar hemoglobin (4-30 hari)
dan pengisian cadangan besi (1 bulan). Dosis terapeutik biasa 4-6 mg besi
elemental/kgbb/hari memicu peningkatan hemoglobin sebesar 0,25-0,4 g/ dl/hari
(sebesar 1% peningkatan hematokrit per hari). 11-14

45
Bila kadar hemoglobin gagal meningkat dalam waktu 2 minggu setelah
dimulainya terapi zat besi, perlu dilakukan evaluasi ulang secara seksama
terhadap kemungkinan perdarahan yang sedang berlangsung, infeksi, kepatuhan
yang buruk atau adanya penyebab lain anemia mikrositik. Efek samping
pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa
dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang berifat sementara dapat
dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan
cara tetesan.11-14
Pemberian besi parenteral intramuskular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ ml. Dosis dihitung berdasarkan : Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar Hb
yang diinginkan (g/dl) x 2,5.14
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada
keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat
mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu
secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia
dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah
yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu
respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb
< 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian.
disertai pemberian diuretik seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang
nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang
segar.

I. Pencegahan
Bayi yang diberikan minum dengan botol sebaiknya mendapatkan susu
formula yang mengandung zat besi hingga usia 12 bulan, dan bayi usia > 6 bulan
yang diberi ASI sebaiknya mendapatkan suplementasi zat besi. Pengenalan
makanan padat yang diperkaya zat besi pada usia 6 bulan, diikuti dengan transisi

46
ke jumlah susu sapi yang terbatas dan peningkatan makanan padat pada usia 1
tahun, dapat membantu mencegah ADB. Remaja putri yang mengalami
menstruasi sebaiknya memiliki diet yang diperkaya makanan mengandung zat
besi. Vitamin yang mengandung zat besi dapat digunakan juga.11
Edukasi terhadap makanan yang meningkatkan dan menghambat
penyerapan zat besi juga diperlukan. Besi adalah trace mineral yang dibutuhkan
oleh tubuh. Zat besi memainkan peran penting dalam pembentukan sel darah
merah yang sehat, membantu mengangkut oksigen dalam darah dan
mengirimkannya ke otot, dan membentuk komponen penting dari jaringan otot. 16
Dalam makanan, zat besi hadir dalam dua bentuk berbeda: zat besi heme dan zat
besi nonheme. Zat besi heme, yang terikat pada hemoglobin dan mioglobin,
ditemukan dalam daging, ikan, dan unggas. Hanya makanan yang berasal dari
daging hewan yang menyediakan zat besi heme (meskipun dapat juga
menyediakan zat besi non-heme). Besi nonheme, di sisi lain, ada dalam sayuran,
biji-bijian, makanan yang diperkaya, dan suplemen. Sementara penyerapan tepat
besi heme tidak diketahui (diperkirakan sekitar 15-35%), diketahui bahwa besi
heme lebih mudah diserap oleh tubuh daripada zat besi non-heme (sekitar 3-20%).
Namun, terlepas dari kenyataan bahwa heme lebih baik diserap, sebagian besar zat
besi dalam makanan berasal dari sumber nonheme. Karena itu penting untuk
memahami beberapa faktor yang meningkatkan dan menghambat penyerapan
makanan non-heme.15-16

Diet yang dapat meningkatkan penyerapan nonheme:15-18


a. Daging, ikan, atau unggas (Meat, Fish, Poultry), atau "Faktor
MFP":Kombinasikan makanan non-heme seperti sayuran, biji-bijian,
makanan yang diperkaya, atau suplemen, dengan makanan kaya heme. Heme
yang ada di MFP akan meningkatkan penyerapan terhadap besi nonheme.
b. Asam: Konsumsilah makanan non-heme dengan makanan asam. Pikirkan
makanan yang kaya vitamin C, asam sitrat, atau asam laktat. Misalnya, jika
Anda membuat panci sup lentil, masukkan beberapa tomat atau saus tomat.
Vitamin C akan membuat penyerapan besi lebih baik.

47
c. Fructose: (* catatan editor: ini bukan alasan bebas untuk semua gula) Tetap
gunakan sumber fruktosa seperti madu, buah ara kering, anggur, apel, atau
pir, dan makanlah dengan makanan non-heme. Misalnya, apel cincang segar
dan madu meningkatkan daya serap, dan rasanya lezat, di atas semangkuk
bubur gandum yang menyediakan sumber zat besi non-heme yang baik
selain banyak manfaat lainnya.

Sama pentingnya pertimbangkan faktor yang dapat menghambat penyerapan zat


besi nonheme seperti: 15-18
a. Phytate, serat, dan oksalat: Phytate dan serat ditemukan dalam makanan
seperti biji-bijian, kedelai, kacang-kacangan, dan polong-polongan, dan
dapat mengurangi jumlah zat besi nonheme yang diserap dari makanan.
Penting untuk dicatat bahwa beberapa makanan mengandung phytate tinggi,
seperti oatmeal, masih merupakan sumber zat besi non-heme yang baik.
Akan sangat tidak menguntungkan untuk menghindari mengonsumsi
makanan sehat ini, tetapi jika ingin mengkonsumsi makanan yang
mengandung banyak phytate dan serat (seperti bayam, bit, rhubarb, atau
sayuran berdaun), pastikan untuk juga mengkonsumsi makanan yang
meningkatkan penyerapan nonheme. Sebagai contoh, bayam adalah sumber
zat besi nonheme yang sangat baik yang juga kaya akan fitat dan serat.
b. Oksalat: Oksalat adalah bahan kimia makanan yang umum terjadi di
berbagai sumber makanan seperti buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan
dan biji-bijian, biji-bijian, dan teh hitam. Diet ini dapat menghambat
penyerapan zat besi tubuh dengan menggabungkannya dengan besi untuk
membentuk senyawa yang disebut besi oksida. Sementara beberapa
penelitian menunjukkan bahwa makanan yang mengandung oksalat tertentu,
seperti bayam dan buah-buahan, mungkin memiliki efek minimal pada
penyerapan zat besi non-heme, tidak ada salahnya memasangkan makanan
sehat ini dengan makanan penambah nonheme.
c. Kalsium dan fosfor dapat secara signifikan mempengaruhi penyerapan zat
besi. Cobalah untuk menambah waktu antara camilan kaya kalsium dan
fosfor (mis. Susu, yogurt, atau keju) dan makanan nonheme. Untuk

48
memaksimalkan manfaat makanan kaya kalsium dan kaya zat besi,
pertimbangkan untuk memiliki segelas susu beberapa jam sebelum atau
sesudah makan nonheme Anda.
d. Tanin dan polifenol adalah senyawa biologis yang terdapat dalam teh dan
kopi yang dapat memiliki efek penghambatan pada penyerapan zat besi.
Senyawa ini dapat berikatan dengan zat besi, sehingga membuat zat besi
nonheme tidak larut. Sementara penelitian menunjukkan bahwa minuman
dan makanan tertentu yang kaya polifenol, seperti anggur merah, mungkin
tidak secara signifikan mengurangi penyerapan zat besi, jika tergolong
kekurangan zat besi, pastikan untuk meninggalkan beberapa jam antara
makan siang kaya-zat besi nonheme dan teh sore Anda.
e. Kelebihan asupan mineral lain dapat menghambat penyerapan zat besi
nonheme. Seperti besi - seng, kalsium, magnesium, dan tembaga juga
bermuatan positif. Ini berarti bahwa mineral-mineral ini bersaing untuk situs
pengikatan yang sama dengan zat besi dan dapat mencegahnya mengikat dan
diserap. untuk konsumsi Multivitamin, yang sering kali mengandung mineral
yang bermuatan positif ini, pastikan untuk mengambilnya berjam-jam
terpisah dari waktu makan.
f. Asam lambung rendah: Keasaman lambung dapat sangat mengurangi jumlah
zat besi yang diserap di usus. Orang-orang tua sering memiliki asam
lambung lebih sedikit, dan penggunaan antasid yang sering dapat
mempengaruhi penyerapan zat besi lambung.
g. Telur mengandung fosfoprotein, senyawa dengan kapasitas pengikat besi
yang dapat mengganggu penyerapan zat besi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa satu telur rebus dapat mengurangi penyerapan zat besi
dalam makanan sebanyak 28% .

J. Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi
saja dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian

49
preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan
beberapa kemungkinan sebagai berikut :11,14
a. Salah diagnosis, dosis obat tidak adekuat, atau preparat Fe yang tidak tepat
dan kadaluarsa
b. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
c. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti :
infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
d. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan
pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).

II.3. TROMBOSITOSIS PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI


Trombositosis pada anak-anak didefinisikan oleh peningkatan hitung
trombosit, seperti pada orang dewasa. Definisi jumlah trombosit normal dalam
kisaran 150x109/l dan 450x109/l diterima secara umum untuk neonatus, bayi,
anak-anak dan remaja yang sehat. Namun, definisi trombositosis bervariasi antara
trombosit jumlah > 400 x109/l dan >1000x109/l. 19
Untuk mempertimbangkan karakteristik dan implikasi klinis trombositosis
dan untuk membandingkan data yang dipublikasikan, berikut ini klasifikasi dari
trombositosis telah dipilih di Indonesia saat ini: 19
1. Mild - >500 to 699 × 109/L
2. Moderate - >700 to 899 × 109/L
3. Severe - >900 to 999 × 109/L
4. Extreme - >1000x109/L
Trombositosis digolongkan menurut asalnya yaitu bentuk primer dan
sekunder. Trombositosis primer (klonal) adalah kelainan mieloproliferatif, yang
disebabkan oleh kelainan dan ekspansi sel hematopoietik yang tidak terkontrol,
yaitu mungkin dipersulit oleh tromboemboli. Trombositosis sekunder (atau
reaktif) disebabkan oleh berbagai penyebab kondisi seperti infeksi, peradangan,

50
defisiensi besi, kerusakan jaringan, hemolisis, olahraga berat, keganasan,
hiposplenisme, dan penyebab lain dari respons fase akut. 20
Setelah trombositosis diidentifikasi dan dikonfirmasikan oleh apusan
darah tepi, evaluasi diagnostik berubah untuk menentukan apakah prosesnya
reaktif atau klonal. Sebuah langkah awal yang penting dalam hal ini mencari
penyebab yang mendasarinya trombositosis.

Tabel 8. Penyebab trombositosis20

Trombositosis sekunder
Trombositosis sekunder adalah kelainan hematologis yang relatif umum,
diamati pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit. Trombositosis ringan adalah
diamati pada 72-86% kasus, trombositosis sedang dan berat diamati pada 6-8%
kasus, sedangkan trombositosis ekstrem diamati dalam 0,5-3% kasus. Penyebab
paling umum yang menyebabkan trombositosis sekunder pada anak-anak, adalah
infeksi bakteri dan virus, baik dalam perjalanan akut dan kronis. Penyebab yang
sering diamati adalah anemia, karena defisiensi besi (yaitu anemia defisiensi besi),
pada kasus yang diamati trombositosis mungkin terkait dengan peningkatan kadar
erythropoietin yang diinduksi anemia.19
Insiden trombositosis reaktif setelah splenektomi adalah diperkirakan
mencapai 75% -82%. Trombositosis juga dapat diinduksi secara iatrogenik. Obat-
obatan yang menyebabkan peningkatan trombosit adalah: adrenalin, yang
menyebabkannya injeksi kumpulan trombosit yang terakumulasi dalam limpa ke
aliran darah, serta siklosporin, kortikosteroid, terutama pada anak-anak dalam
perjalanan pengobatan kanker (leukemia akut, limfoma), dan antibiotik, seperti:
meropenem dan imipenem.19

Patofisiologi

51
Secondary/Reactive Thrombocytosis (RT) merupakan hasil dari
peningkatan megakaryopoiesis dan trombopoiesis, yang dapat distimulasi hingga
10 kali lipat. Penyebab paling umum dari trombositosis pada masa kanak-kanak
adalah proses reaktif yang disebabkan oleh peradangan infeksi kronis, kerusakan
jaringan (trauma / operasi / luka bakar) atau neoplasia.21
Patogenesis trombositosis sekunder belum sepenuhnya berkembang. Yang
perlu diperhatikan adalah peran sitokin (interkulin, seperti IL-3, IL-6 dan IL-11)
dan trombopoietin, yang merangsang megakaryopoiesis, yang mengakibatkan
peningkatan jumlah platelet. Dalam proses inflamasi, produksi IL-6 pada
fibroblast makrofag meningkat, bersamaan dengan peningkatan yang diamati
secara simultan dalam konsentrasi faktor pertumbuhan granulosit GM-CSF.
Faktor peradangan juga mengarah pada pengurangan hemoglobin, oleh produksi
eritrosit yang terganggu (karena gangguan dalam manajemen zat besi dan
penghambatan dalam penekanan dari erythropoietin), atau memperpendek hidup
sel darah merah. Ada hubungan langsung antara jumlah trombosit dan nilai sel
darah putih, serta hubungan berbanding terbalik antara intensitas trombositosis
dan derajat anemia.21
IL-6 memainkan peran utama dalam patogenesis RT, karena perannya
yang menonjol dalam respon fase akut penyakit inflamasi dan neoplastik. IL-6
merangsang megakaryopoiesis baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan menstimulasi hati memproduksi Tpo. Efek IL-6, disekresikan sebagai
respons terhadap penyakit yang mendasarinya, dapat menjelaskan mengapa
konsentrasi TPO beredar tidak berkorelasi terbalik dengan massa sel bantalan
cmpl di RT. Pada neoplasia, trombositosis dapat disebabkan oleh peningkatan
produksi Tpo, khususnya pada hepatoblastoma, dan juga pada tingkat yang lebih
rendah pada neuroblastoma, limfoma dan lainnya. 19
Kerentanan yang lebih tinggi untuk trombositosis selama masa neonatal
dapat timbul dari berbagai fenomena fisiologis: ekspresi gen Tpo tinggi di
sumsum tulang selama ontogeni haematopoiesis meduler, konsentrasi Tpo yang
bersirkulasi lebih tinggi pada janin dan neonatus daripada anak-anak dan orang
dewasa dan peningkatan sensitivitas stem cell megakaryocytic ke Tpo. Pada bayi

52
'usia kecil untuk kehamilan' (berat lahir di bawah 10 persentil), faktor tambahan
mungkin relevan untuk produksi trombosit yang berlebihan dan trombositosis,
terutama setelah gawat janin atau eklampsia dengan atau tanpa inisial
trombositopenia neonatal. 19
Anemia defisiensi besi adalah penyebab umum reaktif trombositosis dan
evaluasi feritin dan zat besi harus menjadi bagian dari evaluasi setiap pasien
dengan dugaan trombositosis reaktif. Patofisiologi trombositosis reaktif pada
anemia defisiensi besi tetap tidak sepenuhnya dipahami. Akan et al.
mendemonstrasikan bahwa tingkat sejumlah sitokin biasanya meningkat pada
trombositosis reaktif (IL-6, IL-11, dan TPO) tidak meningkat pada pasien dengan
defisiensi besi dan trombositosis bila dibandingkan dengan pasien yang
kekurangan zat besi dengan jumlah trombosit normal. Kadar sitokin ini tidak
berubah dengan terapi besi dan resolusi trombositosis, menunjukkan bahwa
kemungkinan tidak memainkan peran utama dalam trombositosis terkait defisiensi
zat besi. Satu-satunya hematopoietik sitokin ditemukan meningkat secara
signifikan dalam kelompok ini adalah erythropoietin (EPO), yang meningkat pada
pasien dengan dan tanpa trombositosis. 22
Peran EPO dalam trombositosis terkait kekurangan zat besi telah menarik
banyak perhatian, seperti pemberian EPO rekombinan manusia (rh-EPO)
menghasilkan trombositosis dengan derajat dan durasi yang bervariasi dalam
kontrol yang sehat serta pasien dengan penyakit ginjal kronis. Fisiologi yang
mendasari temuan kontroversial ini seperti administrasi rh-EPO sering
menyebabkan kekurangan zat besi, menyebabkan kesulitan dalam menentukan
apakah terjaddi peningkatan atau EPO eksogen adalah penyebab trombositosis
atau pengganti kekurangan zat besi sederhana. 22
Beberapa hasil studi secara konsisten menunjukkan peningkatan jumlah
trombosit dalam 5 hari memulai terapi rh-EPO terlepas dari kadar feritin serum
menunjukkan kemungkinan peran EPO dalam meningkatkan jumlah trombosit
terlepas dari efek zat besi. Telah disarankan bahwa homologi antara reseptor untuk
EPO (EPO-R) dan TPO (MPL) dapat mendasari kenaikan platelet yang diinduksi
EPO ini, tetapi penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa EPO tidak

53
berinteraksi langsung dengan MPL dan lebih mungkin memainkan peran sinergis
bersama dengan TPO di merangsang produksi trombosit. 22
Seperti yang diperlihatkan dalam diskusi ini, patofisiologi trombositosis
reaktif bervariasi dan kompleks. Bahkan dengan semua alat diagnostik saat ini
tersedia, diagnosis pada akhirnya tetap menjadi klinis berdasarkan pada temuan
laboratorium, penentuan penyebab yang mungkin mendasarinya, dan, kapan
mungkin, perbaikan dengan pengobatan yang mendasarinya sebab.

Gambar 5. Modifikasi ekspresi trombopoietin (Tpo) di hati dan sumsum tulang16


Data saat ini menunjukkan bahwa beberapa mekanisme ini terlibat dalam patogenesis bentuk
trombositosis reaktif. (A) Di hati, faktor pertumbuhan hati (HGF), lipopolysaccharides (LPS) dan
interleukin-6 (IL-6) menginduksi produksi Tpo. IL-6 juga langsung merangsang megakaryopoiesis
dan langsung berkontribusi dengan demikian untuk trombositosis reaktif. (B) Di sel stroma
sumsum tulang, ekspresi Tpo mRNA diinduksi oleh trombositopenia dan berbagai protein granular
trombosit (PDGF, faktor pertumbuhan trombosit; FGF2, faktor pertumbuhan fibroblast 2; PF-4,
trombosit faktor 4). Implikasi dari mekanisme ini pada hematopoietik / sel megakaryopoietic
dengan kelainan klon yang mengarah ke trombositosis primer tidak jelas. TSP, trombospondin;
TGFb, mentransformasikan faktor pertumbuhan b.

54
Insiden trombositosis reaktif pada anak-anak menunjukkan pola
ketergantungan usia. Insiden tertinggi memiliki telah ditemukan pada bayi berusia
hingga 24 bulan seperti pada penelitian saat ini. Sebelum usia 2 tahun,
kejadiannya berangsur-angsur berkurang. Dalam sebuah penelitian ditemukan
trombositosis lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak berusia kurang dari
usia 2 tahun (60%).23
Kerentanan yang lebih tinggi untuk trombositosis selama periode neonatal
dapat terjadi dari berbagai fisiologis fenomena: ekspresi gen Tpo tinggi di
sumsum tulang, selama ontogeni haematopoiesis meduler, lebih tinggi konsentrasi
TPO yang beredar pada janin dan neonatus dibandingkan pada anak-anak dan
orang dewasa, dan peningkatan sensitivitas sel progenitor megakaryocytic ke
Tpo.23
Trombositosis diamati lebih umum di antara anak laki-laki (61,2%)
dibandingkan di antara anak perempuan (38,8%) di semua usia kelompok. Hasil
serupa diamati dalam dua penelitian lain dengan dominan laki-laki 64% dan
61,1% kasus, masing-masing. Testosteron memiliki efek sinergis pada
trombopoiesis. Bukti klinis dan molekuler menunjukkan jenis kelamin itu
hormon, androgen spesifik, memediasi jumlah trombosit dan fungsi.23
Pucat adalah tanda paling umum yang diamati di antara populasi penelitian
(30%). Diamati bahwa infeksi dengan anemia adalah penyebab paling umum
untuk trombositosis sekunder (48,3%), infeksi menular saja pada 162 anak-anak
dan anemia saja (tanpa infeksi) pada 172 pasien. Antara infeksi, infeksi saluran
pernapasan (28,3%) paling banyak umumnya dikaitkan dengan trombositosis.
Tujuh anak didiagnosis menderita penyakit Kawasaki dan semuanya memiliki
trombositosis saat presentasi. Dua di antara mereka diamati memiliki
trombositosis berat. Tpo bersamaan dengan IL-6 berkontribusi pada trombositosis
pasien dengan penyakit Kawasaki.20
Kortikosteroid diketahui menyebabkan trombositosis sementara, sebagai
hasil dari pelepasan trombosit yang disimpan limpa ke dalam sirkulasi darah. Obat
lain itu diketahui menyebabkan trombositosis adalah vincristine dan isotretinoin.

55
Tiga kasus dengan ITP, yang mengembangkan rebound thrombocytosis mengikuti
pengobatan steroid. 20
Di antara penyebab trombositosis sekunder yang tidak menular, defisiensi
besi adalah yang umum, karena merupakan penyebab utama defisiensi nutrisi
paling umum di seluruh dunia. Fakta bahwa trombositosis lebih sering terjadi
pada anak-anak untuk usia 2 tahun sebagian karena tingginya insiden defisiensi
zat besi pada kelompok umur ini. Dalam penelitian ini, pada anak-anak dengan
trombositosis, 236 anak (23,6%) mengalami anemia ringan, 328 (32,8%) anak-
anak menderita anemia sedang, dan 48 (4,8%) menderita anemia berat. Diamati
bahwa semakin berat anemia semakin berat trombositosis. Trombositosis reaktif
biasanya jinak dan hitung trombosit normal dengan cepat dengan pengobatan
etiologi yang mendasarinya tanpa menyebabkan manifestasi tromboemboli. 20

Tabel 9. Diagnosis banding antara trombositosis primer dan sekunder pada anak 19

Pengobatan trombositosis primer, dalam studi Dame et al19 tidak


mengamati insiden trombotik, atau diatesis hemoragik, dan jumlah trombosit yang
tidak melebihi 1500 G / L, tidak dianjurkan. Pada pasien dengan risiko tinggi
komplikasi perdarahan, hasil yang baik dapat diperoleh melalui perawatan dengan
hidroksiurea. Penggunaan jangka panjang dari obat ini pada anak-anak, masih
menimbulkan kontroversi besar, karena dugaan peningkatan risiko terkena kanker.
Alternatif untuk hidroksikarbamid yaitu anagrelide, yang dengan mempengaruhi
pematangan megakaryocytes, mengurangi tingkat trombosit dan tidak merangsang

56
proses karsinogenesis. Dalam pengobatan trombosis berulang, sebaiknya juga
menggunakan asam asetilsalisilat dosis rendah (ASA), yang mengurangi agregasi
trombosit. Namun, penggunaan aspirin pada anak di bawah 12 tahun
membutuhkan kehati-hatian yang besar, karena risiko pengembangan sindrom
Reye. Implementasi pengobatan trombositosis berat primer selalu membutuhkan
kehati-hatian, karena potensi risiko komplikasi, seperti myelosupresi atau
transformasi blastik.

Indikasi untuk pengobatan RT


Trombositosis reaktif pada anak-anak tidak dibenarkan untuk diberikan
profilaksis umum dengan antikoagulan atau inhibitor agregasi trombosit, bahkan
jika jumlah trombosit > 1000 x109/l. Tidak ada bukti untuk kemanjuran profilaksis
terhadap komplikasi tromboemboli pada anak tanpa gejala dengan RT.19
Profilaksis trombosis yang disesuaikan secara individual harus
dipertimbangkan jika ada faktor risiko trombotik tambahan. Pengobatan harus
ditargetkan pada penyakit dasar (mis. defisiensi besi). Hanya jika terjadi
trombosis berulang kali, pengurangan agregasi trombosit dan hitung trombosit
ditunjukkan.19
Tidak ada indikasi untuk melakukan profilaksis dengan antikoagulan atau
inhibitor agregasi platelet, bahkan jika tingkat platelet> 1000 G / L, kecuali ada
faktor risiko yang ada untuk komplikasi trombotik.19

57
BAB III

PEMBAHASAN

Seorang anak perempuan berusia 9 bulan MRS dengan keluhan BAB


encer sebanyak 6 kali sejak ± 1 hari yang lalu. BAB berwarna kuning, berbau tinja
pada umumnya, terdapat ampas dan lendir, namun tidak disertai darah. Jumlah
tinja setiap kali mencret + 1/2 pampers. Pasien juga mengalami mual dan muntah
1 kali berisi makanan. Selama mencret pasien masih mau minum ASI, namun
pasien terlihat agak rewel, gelisah, lebih haus dan terlihat lebih lemas dibanding
biasanya. Perut pasien terlihat lebih datar dan matanya terlihat agak layu dan
cowong. Satu hari SMRS pasien diberi makan bubur daun kelor dan minum ASI.
Riwayat alergi makanan dan susu disangkal. Keluhan demam ada, batuk dan pilek
tidak ada, BAK normal. Pasien mempunyai riwayat diare sebelumnya pada usia
7 bulan. Riwayat pengobatan sebelumnya diberikan oralit dan tablet zinc dari
puskesmas. Riwayat keluarga dan penyakit lainnya tidak ada. Riwayat Sosial:
Pasien tinggal bersama keluarga besar orang tua, Rumah terbuat dari beton, jarak
rumah dengan rumah lain agak berdempetan, ventilasi baik, listrik dari PLN, air

58
diambil dari mata air. Pasien saat ini dalam tahap belajar merangkak, memegang
dan memasukan benda ke dalam mulut.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit sedang, Nadi:
120x/m, Pernapasan: 38x/m, Suhu: 38,5°C, Sp02: 99%. Pemeriksaan mata
didapatkan ubun-ubun agak cekung, mata agak dalam, konjuntiva anemis (+/+),
abdomen soepl, cubitan kulit perut kembali lambat, bising usus meningkat,
ekstremitas agak pucat.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan anemia mikrositik
hipokrom, trombositosis reaktif (extreme) dan leukositosis. Hasil feses ditemukan
leukosit, eritrosit dan sel epitel positif.
Hal tersebut diatas mengarahkan diagnosis pada diare akut yang dapat
disebabkan oleh infeksi bakteri dengan derajat dehidrasi ringan-sedang. Selain itu,
berdasarkan hasil ADT ditemukan adanya anemia mikrositik hipokrom dan
mendukung adanya anemia defisiensi besi. Pendekatan kasus pada pasien ini
berupa eradikasi kuman penyebab, pencegahan terjadi rekurensi diare serta
koreksi anemia defisiensi besi.
Sesuai dengan teori, Diare adalah penyakit yang ditandai dengan
betambahnya frekuensi defekasi >3x/hari disertai perubahan konsistensi tinja
(menjadi cair), dengan atau tanpa darah dan atau lendir. 1-2 Diare akut adalah buang
air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali sehari, disertai perubahan
konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu.3 Pada penyebab enteropatogen
menimbulkan non-inflamatory diare melalui produksi enterotoksin oleh bakteri,
destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan/
atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan
oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin. 2-
3
Jika dikaitkan dengan faktor usia, pasien berusia 9 bulan, termasuk dalam
kelompok insidensi tertinggi terjadi diare (pada kelompok umur 6-11 bulan pada
saat diberikan makanan pendamping ASI). Pola ini menggambarkan kombinasi
efek penurunan kadar antibodi ibu, berkurangnya kekebalan aktif bayi,
pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak

59
langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan
infeksi atau penyakit yang berulang yang membantu menjelaskan menurunnya
insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.3 Jika dilihat
dari riwayat social, pasien tinggal dengan keluarga besar orang tuanya dan jarak
antar rumah agak berdempetan sehingga adanya faktor higienitas lingkungan
mungkin berpengaruh.
Tinja yang watery dan tanpa mucus atau darah biasanya disebabkan oleh
enteroksin virus, prontozoa, atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran
gastrointestinal. Tinja yanga mengandung darah atau mucus biasanya disebabkan
infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin bakteri enteronvasif yang
menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. hystolitica, B.coli ,
T.trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada
infeksi dengan E.hystolitica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada
infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides. 4 Pada
kasus ini, ditemukan hasil feses leukosit, eritrosit dan sel epitel postif. Dengan
demikian, mengarah pada suatu infeksi bacterial.
Adapun tanda-tanda dehidrasi ringan-sedang secara subjektif dengan
menggunakan criteria WHO dan MMWR3 antara lain ditemukan anak rewel,
gelisah, ubun-ubun cekung, mata agak cowong, turgor kulit kembali lambat sesuai
pada kasus.
Temuan anemia terutama dikaitkan dengan temuan konjuntiva anemis (+/
+), ekstremitas agak pucat, lebih lemas dari biasanya. Pada kasus anemia
diarahkan sesuai dengan teori dari hasil pemeriksaan lab MCV, MCH, dan MCHC
kurang dari nilai rujukan sehingga tergolong anemia mikrositik hipokrom. Lebih
spesifik pada ADT ditemukan sel burr dan sel pencil yang mengarah ke anemia
defisiensi besi. Akan tetapi untuk pemeriksaan definitf ADB tidak dapat dilakukan
karena keterbatasan fasilitas penunjang.
Pada kasus ini, temuan lab juga menunjukan adanya peningkatan hitung
trombosit. Sesuai dengan teori, pasien tergolong trombositosis reaktif ekstreme
dengan kadar trombosit >1000x109/L. Adapun temuan ini dapat dikaitkan erat

60
dengan adanya anemia defisiensi besi yang diderita anak tersebut. Berdasarkan
teori, diantara penyebab trombositosis sekunder yang tidak menular, defisiensi
besi adalah yang palinh umum, karena merupakan penyebab utama defisiensi
nutrisi paling umum di seluruh dunia. Fakta bahwa trombositosis lebih sering
terjadi pada anak-anak untuk usia 2 tahun sebagian karena tingginya insiden
defisiensi zat besi pada kelompok umur ini. Dalam penelitian ini, pada anak-anak
dengan trombositosis, 236 anak (23,6%) mengalami anemia ringan, 328 (32,8%)
anak-anak menderita anemia sedang, dan 48 (4,8%) menderita anemia berat.
Diamati bahwa semakin berat anemia semakin berat trombositosis.
Patogenesis trombositosis sekunder belum sepenuhnya berkembang. Yang
perlu diperhatikan adalah peran sitokin (interkulin, seperti IL-3, IL-6 dan IL-11)
dan trombopoietin, yang merangsang megakaryopoiesis, yang mengakibatkan
peningkatan jumlah platelet.18 Patofisiologi trombositosis reaktif pada anemia
defisiensi besi tetap tidak sepenuhnya dipahami. Akan et al. mendemonstrasikan
bahwa tingkat sejumlah sitokin biasanya meningkat pada trombositosis reaktif
(IL-6, IL-11, dan TPO) tidak meningkat pada pasien dengan defisiensi besi dan
trombositosis bila dibandingkan dengan pasien yang kekurangan zat besi dengan
jumlah trombosit normal Satu-satunya hematopoietik sitokin ditemukan
meningkat secara signifikan dalam kelompok ini adalah erythropoietin (EPO),
yang meningkat pada pasien dengan dan tanpa trombositosis. 19
Peran EPO dalam trombositosis terkait kekurangan zat besi telah menarik
banyak perhatian, seperti pemberian EPO rekombinan manusia (rh-EPO)
menghasilkan trombositosis dengan derajat dan durasi yang bervariasi dalam
kontrol yang sehat serta pasien dengan penyakit ginjal kronis. Fisiologi yang
mendasari temuan kontroversial ini seperti administrasi rh-EPO sering
menyebabkan kekurangan zat besi, menyebabkan kesulitan dalam menentukan
apakah terjaddi peningkatan atau EPO eksogen adalah penyebab trombositosis
atau pengganti kekurangan zat besi sederhana. 19
Beberapa hasil studi secara konsisten menunjukkan peningkatan jumlah
trombosit dalam 5 hari memulai terapi rh-EPO terlepas dari kadar feritin serum
menunjukkan kemungkinan peran EPO dalam meningkatkan jumlah trombosit

61
terlepas dari efek zat besi. Telah disarankan bahwa homologi antara reseptor untuk
EPO (EPO-R) dan TPO (MPL) dapat mendasari kenaikan platelet yang diinduksi
EPO ini, tetapi penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa EPO tidak
berinteraksi langsung dengan MPL dan lebih mungkin memainkan peran sinergis
bersama dengan TPO di merangsang produksi trombosit.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien selama perawatan antara lain:
- IVFD RL 10 tpm makro (rehidrasi)
- Paracetamol syr 3 x ¾ cth/p.o (antipiretik dan analgetik)
- Zinc 1x 20 mg/p.o selama 10 hari (mencegah diare berulang)
- Sangobion kids syr 1x 7,5 ml ( p.c) (koreksi anemia)
- Transfusi WBC 50 ml (koreksi anemia)
- Inj. Dexametason 1mg/iv sebelum transfusi dan Furosemid 5mg/iv setelah
transfuse (mengendalikan respon hipersensitivas saat transfusi dan mencegah
overload cairan)
- Inj Ceftriaxon 400mg/ 12 jam/iv dan Metronidazole 70mg/8jam/iv (mengatasi
penyebab diare)
- IVFD Tridex 27B 12 tpm makro (tridex mengandung komposisi glucose
monohydrate, potassium chloride, Sodium chloride dan Sodium Lactate;
pemberian diindikasi untuk mengontrol kadar elektrolit yang mungkin
terganggu akibat diare)

Edukasi pulang bagi orang tua pasien menjaga higine anak dan orang tua saat
menyiapkan makanan, konsumsi makanan yang mengandung protein seperti hati
ayam, daging bisa ikan, suplemen vit C atau yang lainnya. Pemberian telur,
dibatasi. Sesuai dengan teori diet yang dapat meningkatkan penyerapan nonheme
seperti daging, ikan, atau unggas (Meat, Fish, Poultry), atau "Faktor MFP":
makanan yang kaya vitamin C, asam askorbat akan membuat penyerapan besi
lebih baik. Sedangkan telur mengandung fosfoprotein, senyawa dengan kapasitas
pengikat besi yang dapat mengganggu penyerapan zat besi. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa satu telur rebus dapat mengurangi penyerapan zat besi dalam
makanan sebanyak 28%.15-18

62
DAFTAR PUSTAKA

1. Diare dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten Kota. Jakarta:
WHO Indonesia; 2009.
2. Gastroenteritis Akut. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB,
Behrman RE, editors. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Singapore: Saunder Elsevier ; 2014. Hal. 481-486.
3. Subagyo B, Santoso NB. Diare akut. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY,
OswariH, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar gastroenterology-
hepatologi. jilid 1. Jakarta: UKK Gastroenterologi-Hepatologi IDAI; 2009.
pp:87-120.
4. Firmansyah A dkk. Modul pelatihan Tata laksana diare pada anak. Jakarta:
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia; 2005.
5. Gaurino et al. European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition/European Society for Paediatric Infectious disease Evidenced
Based Guidelines for Management of Acute Gastroenteritis in Children in
Europe. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2008; 46: S81-
184.
6. Berkes et al. Intestinal Epithelial responses to enteric pathogens: effect on the
tight junction barrier, ion transport and inflammation. Dalam
http:www.glut.bmj.com.

63
7. Sudaryat S. Masalah Rehidrasi Oral dalam Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007. Hlm. 44-53
8. Sudaryat S. Diare dalam Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta:
Sagung Seto; 2007:1-24.
9. Suandi IKG. Manajemen nutrisi pada gastroenteritis dalam Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto;2007. Hlm. 84-100.
10. Isolaun E. Probiotics: A role in the treatment of intestinal infection and
inflammation. Gut.2002;50 (Supple III):III:54-1159.
11. Anemia. Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE,
editors. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6. Singapore: Saunder
Elsevier ; 2014. Hal. 601-607.
12. Muhammad A. Determination of iron eficiency in chronic disease anemia by
the role of sTfR-F index. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory. 2005;2(1): 9–15.
13. Endang, W. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. IDAI; 2013.
14. Özdemir, N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
Türk Pediatri Arşivi. 2015;50(1):11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337.
15. Abdulsalam M, Daniel A. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi. Sari Pediatri. 2002; 4(2): 2–5.
16. Ross A. Modern nutrition in health and disease (11th Ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;2014.
17. Hurrell R, Egli I. Iron bioavailability and dietary reference values. The
American journal of clinical nutrition. 2010; 91(5): 1461S-1467S.
18. Collings R, Harvey RJ, Hooper L, Hurst J, Brown TJ, Ansett J, et al .The
absorption of iron from whole diets: a systematic review. Am J Clin Nutr.
2013;98:65–81.
19. Dame C, Sutor AH.Primary and secondary thrombocytosis in childhood.
British Journal of Haematology. 2005; 129: 165–177. doi:10.1111/j.1365-
2141.2004.05329.x
20. Yadav D, Chandra J, Sharma S, Singh V.Clinicohematological Study of
Thrombocytosis. Indian Journal of Pediatrics.2010;77:643-6.
21. Demidowicz E, Moppert J, Nowacka AZ, Styczynski J, Wysocki M.Essential
Thrombocythemia and Reactive Thrombocytosis in Children. EC Paediatrics.
2016; 2:2: 107-115.

64
22. Bleeker JS, Hogan WJ. Thrombocytosis: Diagnostic Evaluation, Thrombotic
Risk Stratification, and Risk-Based Management Strategies. Thrombosis.
2011; 16 pages. doi:10.1155/2011/536062
23. Subramaniam, Mundkur S, Kini P, Bhaskaranand N, Aroor.
Clinicohematological Study of Thrombocytosis in Children. ISRN
Hematology. 2014; 4 pages. http://dx.doi.org/10.1155/2014/389257

65

Anda mungkin juga menyukai