Anda di halaman 1dari 11

MODUL 1 - NAPZA

BLOK 26 - PSIKIATRI

MODUL CERIA
PRASYARAT 1 - FISIOLOGI SISTEM SARAF (FISIOLOGI NYERI)

Nyeri  pengalaman emosional & sensorik yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan adanya kerusakan /
ancaman kerusakan jaringan tubuh / sesuatu yg di gambarkan sebagai suatu kerusakan jaringan. (International
Association for Study of pain-1979).
Salah satu teori dari terjadinya sensasi nyeri yg masih dianggap benar :
 Gate control theory : Dalam perjalanannya, impuls sensorik untuk nyeri dapat mengalami penghambatan di
presinaptik oleh impuls sensorik lain.

Klasifikasi Nyeri
Secara kualitatif
1. Nyeri tipe 1 / Fast Pain / nyeri akut – nyeri tajam, cepat timbul, lokalisasi baik, seperti ditusuk, reseptornya
berupa high threshold mechanoreceptor, merupakan specific nociceptor, dihantarkan oleh serabut syaraf tipe
A.
2. Nyeri tipe II / Slow Pain / nyerik kronik – timbul lambat, lokalisasi buruk, dihantar serabut syaraf tipe C
Berdasarkan sumber
1. Nyeri permukaan  reseptor kulit 3. Nyeri visceral
2. Nyeri dalam  reseptor dalam jaringan
Pembagian lain
1. Nyeri nosiseptik akibat adanya kerusakan jaringan atau yang sejenis dengannya.
2. Nyeri neuropatik akibat adanya kerusakan pada syarafnya

Untuk terjadinya sensasi nyeri diperlukan proses aktifitas dari serangkaian unsur syaraf dari perifer sampai dengan ke
sentral, yaitu :
- Reseptor – bekerja mengubah berbagai bentuk energi dari rangsangan menjadi potensial listrik  proses
tranduksi
- Syaraf-syaraf penyalur / syaraf afferent / syaraf sensorik yang bekerja menyalurkan muatan-muatan listrik
dalam bentuk impuls yang dihasilkan reseptor dalam bentuk sinyal potensial listrik  proses transmisi
- Pusat-pusat sensorik – tempat pengolahan / interaksi dari impuls sensorik dan dapat dihasilkan suatu sensasi
atau persepsi  proses integrasi

Reseptor untuk nyeri / Nocireceptor


berupa ujung-ujung syaraf sensorik yang tidak berbentuk khusus, disebut akhiran syaraf bebas / FNE / free nerve
ending. Akhiran syaraf bebas ini tersebar luas diseluruh jaringan organ tubuh dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Syaraf afferent
sebagai transmitter impuls nyeri. Ada 2jenis serabut syaraf afferent dengan 2 macam ukuran diameter serta 2 macam
kecepatan hantar impuls, yaitu tipe A yang bermyelin sebagai penghantar cepat dan tipe C yang tidak bermyelin
sebagai penghantar lambat.
Pusat-pusat sensorik
terdiri dari pusat sensorik di medulla spinalis, thalamus maupun korteks sensorik.

Dikenal dua jalur transmisi yang terpisah dari sinyal impuls untuk nyeri dari perifer ke pusat yang terutama
berhubungan dengan fast pain dan slow pain, yaitu
1. Untuk fast pain sinyal akan ditransmisikan di dalam syaraf afferent / syaraf sensorik tipe A delta ke dalam
medulla spinalis.
2. Untuk slow pain, sinyal ditransmisikan didalam syaraf afferent / syaraf sensorik tipe C ke dalam medulla
spinalis.
Sinyal untuk nyeri dari kedua macam syaraf afferent ini (syaraf orde I) akan berakhir di kornu dorsalis medulla
spinalis pada tempat yang berbeda pula.
1. Untuk fast pain akan berakhir terutama pada lamina 1 (lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan disini
keluar syaraf sensorik orde II yang akan masuk membentuk traktus neospinothalamikus. Dari nucleus
syaraf sensorik orde II keluar serabut syaraf yang panjang, dalam perjalanannya segera akan menyilang
medulla spinalis di depan comissura anterior kemudian berjalan ke atas ke batang otak dan columna
anterolateral medulla spinalis. Sebagian kecil serabut-serabut neospinothalamikus akan berakhir di daerah
retikuler dalam batang otak, tetapi kebanyakan serabut-serabut ini akan menuju serta berakhir di ventrobasal
kompleks thalamus. Ada juga sedikit yang berakhir di kelompok nucleus posterior thalamus. Di sini yang
menjadi neurotransmitter adalah glutamate, yang disekresikan pada akhir serabut saraf sensorik A delta.
2. Untuk slow pain melalui traktus paleospinothalamicus serabut saraf sensorik orde 1 akan berakhir pada
lamina II dan III dari cornu dorsalis atau substantia gelatinosa. Kemudian melalui serabut” saraf pendek,
sinyal kebanyakan akan diteruskan ke dalam lamina V cornu dorsalis medulla spinalis. Baru setelah dari
lamina V akan keluar serabut saraf panjang yang perjalanan seterusnya akan berjalan ke atas dalam
anterolateral medulla spinalis. Neurotransmitter disini adalah substansi P. Slow chronic paleospinothalamic
pathway ini hanya 1/10 sampai 1/4nya saja yang terus dan berakhir di thalamus, kebanyakan berakhir secara
luas pada batang otak yaitu di nuclei reticularis medulla, pons, dan mesencephalon, di tectal area
mesencephalon, lebih dalam

terhadap collicuclus superior dan inferior atau di daerah sekeliling aquaductus sylvii / PAG. Kemudian dari
bagian” batang otak ini melalui serabut” saraf pendek signal diteruskan ke dalam thalamus tepatnya di
nucleus intralaminer, nucleus ventrolateral, dan bagian daerah yang berdekatan dari basis otak.
(Lebih enak dbikin bagan / liat gambar)

Kontrol terhadap nyeri


Tiap orang akan bereaksi dengan tingkatan yang bervariasi terhadap sensasi nyeri. Hal ini segaris tengah dengan
kemampuan dari otak sendiri yang berbeda dalam menekan masukan sinyal nyeri ke dalam sistem saraf yaitu dengan
cara pengaktifan sistem kontrol terhadap nyeri (sistem analgesia). Sistem analgesia ini terdiri dari 3 komponen utama
yaitu :
(1) Periaquaductal gray/PAG area periventricular dari mesencephalon, bagian atas pons sekeliling aquaductus
sylvii, serta sebagian dari ventrikel III dan IV. Neuron-neuron daerah ini mengirim sinyalnya ke (2)
(2) Nucleus raphe magnus yang terletak di daerah tengah dari pons bagian bawah sampai medulla bagian atas
dan nucleus paragigantocellularis yang terletak di dalam medulla sebelah lateral. Dari nucleus-nucleus ini
akan mengirimkan sinyal turun ke komplek bekerja pada inhibitor nyeri yang berlokasi di dalam kornu
dorsalis medulla spinalis. Di tempat sinyal nyeri akan diblokir sebelum diteruskan ke otak.
(3) Beberapa neurotransmitter terlibat dalam kerja analgesia sistem ini terutama enkefalin dan serotonin.
Enkefalin banyak disekresi oleh akhir dari serabut2 syaraf yang keluar dari nucleus periaqueductal.
Sedangkan serabut saraf yang keluar dari raphe magnus dan berakhir pada kornu dorsalis mensekresikan
serotonin. Selanjutnya serotonin akan menyebabkan neuron-neuron local disini mensekresikan enkefalin.
Enkefalin inilah yang diyakini melakukan presinaptik inhibition dan post-synaptic inhibition yaitu dengan
cara memblokir kanal kalsium pada membrane saraf bagian terminal.

Morfin atau Morphine like agent  dapat mengontrol terjadinya sensasi nyeri dengan cara bekerja pada beberapa
tempat, termasuk kornu dorsalis medulla spinalis dari analgesia sistem, karena adanya “Morphine receptor” disitu.
Bahan-bahan ini mengubah eksitabilitas dari neuron. Hal yang sama terjadi dengan bahan seperti morfin yang normal
disekresikan dalam otak sebagai neurotransmitter. Terdapat sejumlah macam substansi seperti opiate didapatkan
dalam bagian-bagian yang berbeda dari sistem saraf. Yang penting diantaranya adalah beta endorphine,
metenkhephalin, leuenkhephalin, dan dynorphin.
Cara kerja substansi seperti opiate ini dalam menghilangkan nyeri tidak semuanya dipahami, pengaktifan sistem
analgesia oleh sinyal yang memasuki periaqueductal gray dan daerah periventricular atau pengnonaktifan saluran
untuk nyeri oleh substansi seperti morfin dapat menghilangkan atau mengurangi hampir total penyaluran sinyal nyeri
yang memasuki saraf tepi.
* Tindakan akupuntur dapat mengontrol nyeri diduga karena mengaktifkan sistem analgesia.
* Kontrol terhadap pengaktifan sinyal nyeri dapat juga dengan melakukan pemberian rangsang terhadap serabut saraf
sensorik A beta melalui reseptor” raba. Juga pemberian rangsang listrik pada daerah tertentu pada kulit (TENS)
dengan cara implant pada medulla spinalis dapat mengurangi sensasi nyeri.

PRASYARAT 2 - BIOKIMIA SISTEM SARAF

NEUROTRANSMITTER, RESEPTOR-RESEPTOR NYERI, RESEPTOR OPIOID


 Jenis neurotransmitter
o Dopamin,
o Serotonin,
o Gama Amino Butyric Acid (GABA),
o Endorphin (opioid),
o Norepinefrin,
o Peniletilamin (PEA),
o Enkefalin  neurotransmitter penghambat utama
 Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5
golongan, antara lain :
1. Reseptor μ (mu)
o μ1 : analgesia supraspinal, sedasi
o μ2 : analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.
2. δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen, modulasi pembebasan hormon & neurotransmitter
3. κ (kappa)
o κ-1 : analgesia spinal 4. ς (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung
o κ-2 : tidak diketahui 5. ε (epsilon) : respon hormonal
o κ-3 : analgesia supra spinal

 Reseptor opioid, tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah
yaitu di :
o sistem limbik,
o thalamus,
o hypothalamus corpus striatum,
o sistem aktivasi retikuler,
o korda spinalis yaitu substansia gelatinosa
o dijumpai pula di pleksus saraf usus
 Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ
tubuh juga mirip.

ASPEK PSIKIATRIK PENGGUNAAN NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya)

Penyalahgunaan NAPZA  suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu ggg kejiwaan, karena
penyalahgunan NAPZA biasanya tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam masyarakat, dan menunjukkan
perilaku yang maladaptive atau menyimpang. Kondisi demikian dapat dilihat dari adanya hendaya (impairment)
dalam fungsi social, pekerjaan atau sekolah, di samping tak mampu mengendalikan diri / menghentikan penggunaan
NAPZAnya dan dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis yang parah.

JENIS NARKOTIKA DAN MINUMAN KERAS

Menurut UU RI No. 22 / 1997 tentang narkotika


Narkotika = zat / obat yang berasal dari tanaman / bukan tanaman, baik sintetis / semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan / perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotik dibedakan ke dalam golongan” sebagai berikut:
Narkotika golongan I Narkotika golongan II Narkotika golongan III
Hanya dapat digunakan untuk tujuan Dapat digunakan untuk tujuan Berkhasiat pengobatan dan banyak
pengembangan ilmu pengetahuan pengembangan ilmu pengetahuan digunakan dalam terapi dan/atau untuk
Tidak digunakan dalam terapi Pilihan terakhir untuk digunakan sbg tujuan pengembangan ilmu
Potensi tinggi mengakibatkan adiksi terapi pengetahuan
Potensi tinggi mengakibatkan adiksi Potensi ringan mengakibatan adiksi
Contoh: Contoh: Contoh:
• Heroin • Morfin • Kodein
• Kokain • Petidin • Garam narkotika gol sb
• Ganja • Turunan/garam dalam gol
tsb.
UU Narkotika pasal tersebut juga menyebutkan bahwa pecandu narkotika wajib menjalankan pengobatan dan/atau
perawatan.

Menurut UU RI No.35/2009 tentang Psikotropika


Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
Psikotropika dibedakan ke dalam golongan” :
PSIKOTROPIKA PSIKOTROPIKA PSIKOTROPIKA PSIKOTROPIKA GOLONGAN
GOLONGAN I GOLONGAN II GOLONGAN III IV
Psikotropika yang hanya Psikotropika yang Psikotropika yang Psikotropika yang berkhasiat
dapat digunakan untuk berkhasiat pengobatan berkhasiat pengobatan dan pengobatan dan sangat luas
tujuan ilmu pengetahuan dan dapat digunakan dalan banyak digunakan dalam digunakan dalam terapi dan /
dan tidak digunakan terapi dan / atau untuk terapi dan / atau untuk atau untuk tujuan ilmu
dalam terapi, serta tujuan ilmu pengetahuan tujuan ilmu pengetahuan pengetahuan serta
mempunyai potensi serta mempunyai potensi serta mempunyai potensi mempunyai potensi ringan
sangat kuat kuat mengakibatkan sedang mengakibatkan mengakibatkan sindroma
mengakibatkan sindroma sindroma ketergantungan sindroma ketergantungan ketergantungan
ketergantungan
Contoh: Contoh: Contoh: Contoh:
• Ekstasi • Amfetamin • Fenobarbital • Diazepam
• MDMA • Metamfetamin • Pentobarbital • Klobazepam
• LSD • Fensiklidin • Flunitrazepam • Bromazepam
• STP • Sekobarbital • Klonazepam
• Metakualon • Klordiazepoxide
• Metilfenidat • Nitrazepam (BK, DUM,
(ritalin) MG)
UU Psikotropika pada pasal 37 menyatakan : penggunaan psikotropika yg menderita sindroma ketergantungan
berkewajiban untuk ikutserta dalam pengobatan dan/atau perawatan.

Minuman Keras
Menurut peraturan Menkes No. 36 tahun 1977, minuman keras dibagi dalam 3 golongan :
Golongan A, kadar ethanol 1-5 % (bir)
Golongan B, kadar ethanol 5-20% (anggur)
Golongan C, kadar ethanol 20-40% (whiski, vodka, brandy)

UU RI tentang Narkotika
UU RI No.35/2009 pasal 43 dan 53-58 mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi pengguna narkotika sedangkan
pasal 60 tentang pembinaan dan pengawasan

ISTILAH PENTING

1. Zat psikoaktif / psychoactive substance


Zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.
9 kelompok zat psikoaktif : alkohol, opioida, kanabinoida, kokain, stimulansia lain (kafein, halusinogenika,
tembakau, dan pelarut yang mudah menuap/solven)
NAPZA sering disebut juga zat psikoaktif, NAPZA  bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh
manusia akan mempengaruhi tubuh t.u. otak / SSP  ggg kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena
terjadi kebiasaan, adiksi, dan ketergantungan terhadap NAPZA
2. Toleransi / tolerance
Peristiwa dimana dosis obat harus dinaikkan terus menerus untuk mencapai efek terapeutik yang sama.
3. Sindroma putus zat / withdrawal syndrome – sakaw/sakau
Suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan secara rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan
atau menurunkan jumlah zat yang biasa digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
4. Sindroma ketergantungan / dependence syndrome
Suatu kondisi yang terjadi akibat pemakaian zat yang disertai dengan adanya toleransi zat, menimbulakn
dorongan untuk mempergunakan obat secara periodik / kontinu.
Dalam batasan terakhir ini tampak ada 2 jenis ketergantungan :
− ketergantungan fisik ditandai oleh adaptasi faal tubuh terhadap zat psikoaktif (toleransi, gejala putus zat).
− ketergantungan psikis ditandai oleh keinginan sangat kuat yang tidak dapat dikendalikan (crawing) untuk
terus menggunakan zat psikoaktif, sekalipun dampaknya jelas negatif.
Dari sudut psikiatri penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan gangguan mental organic akibat NAPZA / disebut
juga Sindrom Otak Organik, yang disebabkan oleh efek langsung dari NAPZA tersebut terhadap SSP/otak.
Akibat lainnya adalah berfokus pada perubahan perilaku yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA yang
mempengaruhi SSP.
Menurut Hawari, mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA ini biasanya disebabkan oleh adanya interaksi dari
beberapa factor, yaitu :
• Faktor Predisposisi (kepribadian tertentu, kecemasan, depresi)
• Faktor Kontribusi (keluarga)
• Faktor Pencetus (zat itu sendiri)
Mengenai faktor predisposisi ini beberapa ahli juga membagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
Faktor Individu Faktor Lingkungan
- Rasa ingin tahu yang kuat dan ingin mencoba - Mudah untuk memperoleh NAPZA
- Tidak tegas terhadap tawaran - Komunikasi anak – orang tua kurang efektif
- Penilaian diri yang negatif ( < mampu dlm pelajaran, - Hubungan dengan orang tua tidak harmonis
pergaulan, penampilan diri, sosial ekonomi rendah) - Ada anggota keluarga / teman yang memakai NAPZA
- Kurang percaya diri, Tidak tekun dan cepat jenuh - Orang tua otoriter/dominan
- Untuk mengurangi rasa tidak enak, ingin menambah - Tekanan teman sekelompok dan sebaya yang sangat kuat
prestasi - Ancaman fisik dari teman sebaya
- Sikap memberontak terhadap peraturan - Lingkungan sekolah tidak tertib & tidak memberi fasilitas
- Identitas diri yg tidak jelas akibat proses identifikasi ekskul
dg orang tua yang kurang berjalan dengan baik - Bergaul dengan pengguna atau pengedar NAPZA
- Depresi, cemas, hiperkinetik, persepsi tidak realistis - Di antara barang milik pribadi ditemukan alat suntik,
- Kepribadian dissosial, Penghargaan sosial kurang ampul berisi rajangan daun kering, bubuk putih
- Keyakinan bahwa penggunaan obat2an merupakan kekuningan, tablet atau kapsul.
lambang kemodernan dan keperkasaan - Lain-lain: sering mengalami cedera jasmani, menderita
- Kurang menghayati pelajaran agama penyakit infeksi tertentu (hepatitis, AIDS, endocarditis,
- Merasa diri sudah dewasa dll.), kejang” terutama terjadi pertama kali pada usia 10-30
th, ggg paru dan keadaan umum yang buruk

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI KASUS

Mekanisme kerja heroin


- Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di otak dan
medulla spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri.
- Di dalam otak terdapat endogenous peptide (peptida endogen) yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu
β-endorfin (dengan reseptor μ) dan dynorpin.
o Reseptor μ merupakan reseptor untuk morfin (heroin).
Reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan
penurunan formasi siklik AMP (cAMP) sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat.
Efek inhibisi opiat dalam pelepasan neurotransmitter
- Pelepasan noradrenalin
o Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan mengaktivasi reseptor μ yang berlokasi di daerah
noradrenalin.
o Efek tidak terbatas dikorteks, tetapi juga di hipokampus, amigdala, serebelum, daerah periaquaduktal,
dan lokus cereleus.
- Pelepasan asetilkolin
o Inhibisi pelepasan asetilkolin terjadi di daerah striatum oleh reseptor delta, di daerah amigdala dan
hipokampus oleh reseptor μ.
Tempat Kerja
Ada 2 tempat kerja obat opiat yang utama, yaitu
1. Susunan Saraf Pusat (SSP)
o Opiate berefek di beberapa daerah termasuk
 korteks,  sistem mesolimbik,
 hipokampus,  lokus cereleus,
 thalamus,  daerah periakuaduktal,
 hypothalamus,  medulla oblongata,
 nigrostriatal,  medulla spinalis.
2. Visceral.
o Opiat bekerja pada
 pleksus myenterikus menyebabkan efek konstipasi
 pleksus submukosus yang
Efek ke sistem organ lainnya
# Susunan saraf pusat #
1. Analgesia
Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor :
 Meningkatkan ambang rangsang nyeri
 Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi yang timbul menyertai rasa nyeri
pada waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap merasakan
(menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidak lagi timbul. Efek obat ini relative lebih besar
mempengaruhi komponen efektif (emosional) dibandingkan sensorik
 Memudahkan timbulnya tidur
2. Euphoria
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan perasaan euphoria dimana penderita
akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan
kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai
mual, muntah, apatis, aktivitas fisik berkurang, dan ekstremitas terasa berat.
3. Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan letargi. Kombinasi morfin dengan obat yang berefek
depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam.
4. Pernapasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernapasan, yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada pusat
respirasi di batang otak. Depresi pernapasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah injeksi IV atau 30 menit
setelah injeksi SC/IM. Respirasi kembali normal dalam 2-3 jam.
5. Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus
Edinger Westphal N.III
6. Mual dan muntah
Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di batang otak.

# Susunan saraf perifer # (Saraf Visceral)


1. Saluran cerna
 Pada lambung  menghambat sekresi asam lambung, motilitas lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum
meninggi
 Pada usus besar  mengurangi gerakan peristaltic  konstipasi
2. Sistem kardiovaskuler
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama jantung. Perubahan yang
tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur. Hipotensi disebabkan
dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilisasi vasomotor dan
pelepasan histamin.
3. Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga tampak merah dan terasa panas. Seringkali terjadi
pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral
dan pelepasan histamin.
4. Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot spinchter meningkat  retensi urine.

Mekanisme terjadinya toleransi, ketergantungan obat, dan putus obat.


Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas
enzim, pelepasan biogenic amin tertentu atau beberapa respon imun. Nukleus locus ceroleus diduga bertanggung
jawab dalam menimbulkan gejala withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alfa-adrenergik, dan
reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid dan alfa-adrenergik memberikan respon yang sama pada intraseluler.
Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi
ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari
adenilsiklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiate ini dihentikan dengan mendadak atau diganti dengan
obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsiklase pada siklik AMP secara
mendadak dan berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas. Gejala putus obat (gejala abstinensi
atau withdrawl syndrome) terjadi bila pecandu obat tersebut menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba. Gejala
biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl
dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-tiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian
antagonis opioid seperti naloxone, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul gejala
withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian menghilang setelah 1 jam.

GEJALA-GEJALA PEMAKAIAN, PUTUS ZAT DAN KERACUNAN (Siregar, 1990)

Tiap –tiap zat psikoaktif mempunyai gejala pemakaian, putus zat dan keracunan yang berbeda-beda. Menemukan
gejala tsb, merupakan hal yg sangat penting untuk mendeteksi seorang pengguna. Pemakaian lebih dr 1 jenis zat
memang akan mempersulit penafsiran gejala, gejala” tsb :

Opiat (morfin, heroin)


Gejala pemakaian : gembira, pupil mata kecil, nadi lambat, nafas lambat, susah BAB, mengantuk.
Gejala putus zat : gelisah, mual, muntah, mata dan hidung berair, sendi nyeri, menggigil, pupil mata melebar,
merinding.
Gejala intoksikasi : pupil mata kecil, TD turun, nafas lambat, nadi cepat, pingsan bisa meninggal.
1. Obat penenang atau obat tidur
Gejala pemakaian : mula-mula gelisah, mengamuk lalu menganttuk, daya pikir dan ingat turun, bicara
dan tindakan lambat
Gejala putus zat : gelisah, sukar tidur, muntah, gemeter, kejang-kejang
Gejala intoksikasi : gelisah, kendali diri turun, banyak bicara, suka bertengkar, bicara tdak jelas,
sempoyongan, nafas lambat, kesadaran turun, pingsan dan bias meninggal
2. Alkohol
Gejala pemakaian : gembira, hambatan diri turun, muka kemerahan
Gejala putus zat : gemetar muntah, kejang, gelisah, sukar tidur, gangguan jiwa
Gejala intoksikasi : gelisah, tingkah laku kacau, kendali diri hilang, banyak bicara, bicara tak jelas,
mengantuk, ggg organ
3. Ganja
Gejala pemakaian : gembira, melayang, santai, tenang, kepala berat, efisiensi intelektual dan motoric
terganggu, mata merah, curiga, moral turun, flashback
Gejala putus zat : susah tidur, gelisah, nafsu makan turun
Gejala intoksikasi : panic, mengamuk, gila, demam,pupil mata melebar
4. Amfetamin
Gejala pemakaian : siaga, percaya diri, euphoria, banyak bicara, mudah lelah, ga nafsu makan, berdebar,
nafas cepat, TD naik
Gejala putus zat : lesu, apatis, tidur berlebihan, curiga, depresi (bunuh diri)
Gejala intoksikasi : berdebar cepat, TD naik, pendarahan, bisa meninggal

DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis tidak selalu mudah, keterangan pengguna sering tidak bisa dipercaya
(menyangkal/mengecilkan masalah), sedangkan keterangan keluarga biasanya juga tidak lengkap. Meskipun
demikian, dengan catatan tentang keterbatasannya, keterangan pengguna dan keluarganya tetap di perlukan untuk
mendapatkan gambaran riwayat penggunaan zat psikoaktif. Selanjutnya pemeriksaan fisik tentang tanda-tanda
pemakaian akan memperkuat dugaan penggunaan zat psikoaktif dan diagnosis pasti adalah melalui pemeriksaan
laboratorium (urine atau darah) terhadap zat psikoaktif yang dicurigai.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium pada narkotika dan zat adiktif dapat dilakukan untuk tujuan
1. Penapisan
2. Diagnosis pada keadaan emergensi
3. Pemantauan detoksikasi
4. Kepentingan forensic
Untuk pemeriksaan penapisan / skrining umumnya menggunakan metode immunochromatography dengan BP urine,
karena non-invasif dan mempunyai nilai sensitivitas tinggi.
Untuk kepentingan keadaan emergensi & pemantauan detoksikasi dapat menggunkn metode :
1. Enzyme Mediated Immunologic Technique (EMIT)
2. Fluorescence Polarization Immunoassay (FPIA)
3. Thin Layer Chromatography (TLC)
tetapi BP yang digunakan pada umumnya serum karena diharapkan dapat menggambarkan kadar obat / zat pada saat
itu.
Untuk kepetingan foreksik, selain menggunakan metode pemeriksaan diatas juga dapat dilakukan pemeriksaan
konfirmasi dengan menggunakan metode Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS). GC-MS biasanya
dgunakan sebagai uji baku bagi metode yang lain.

Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk deteksi narkotika dan zat adiktif adalah pemeriksaan
drug-strip immunochromatographic assay dengan menggunakan BP urine. Pemeriksaan ini bersifat kualitatif, mudah,
cepat, dan hasilnya dapat dibaca secara visual tanpa alat khusus. Prinsip pemeriksaan ini adalah bila konsentrasi
zat/obat bebas sama atau lebih besar dari nilai cut off yang telah ditentukan maka drug free akan berikatan dengan anti
drug antibody. Ikatan ini akan menghambat timbulnya pita warna merah pada membrane yang menunjukkan hasil
positif. Sedangkan bila tidak ada zat/obat bebas maka anti drug antibody akan bereaksi dengan antigen conjugated dan
menghasilkan pita warna merah pada membrane yang menunjukkan hasil negatif.
PRINSIP PENANGGULANGAN

1. Landasan hukum
Ketentuan hukum tentang zat psikoaktif di Negara kita saat ini diatur oleh UU No.5 th 1997 tentang
Psikotropika dan UU No.22 th 1997 tentang Narkotika. Meskipun cukup komprehensif, kekurangan UU tsb
adalah belum mencakup semua zat psikoaktif seperti yg tercantum dalam PPDGJ III serta masih memasukkan
ganja ke dalam UU Narkotika.
2. Upaya preventif-promotif
Penyembuhan pengguna zat psikoaktif sangat sulit, sehingga upaya pencegahan sangat penting. Sasarannya
adalah unsur zat psikoaktif itu sendiri, pemakai, dan lingkungan dengan mempengaruhi factor-faktor penyebab,
pendorong, dan peluang bagi pengguna zat psikoaktif, sehingga timbul kesadaran, kewaspadaan, daya tangkal,
pada remaja umumnya, khususnya “calon pengguna”. Beberapa bentuk upaya preventif adalah : pemberian
informasi yang benar, objektif, secara hati-hati, tanpa menakut-nakuti, dan tidak merangsang penerima
informasi untuk justru mencoba zat psikoaktif. Program teman sebaya untuk melatih kemampuan menolak
penggunaan zat psikoaktif (Just Say No). program pilihan lain yaitu menawarkan bermacam-macam program
kegiatan remaja sebagai alternative yang sehat bagi pengguna zat psikoaktif dan lain-lain.
3. Upaya kuratif dan rehabilitasi
Merupakan 2 upaya yang berkesinambungan untuk mengakhiri ketergantungan pada zat psikoaktif, mengatasi
bermacam-macam dampak fisik, psikis dan social, serta mengembalikan pengguna ke masyarakat sebagai
warga yang produktif, berguna, dan hidup sejahtera.
Tahapannya adalah :
 Penerimaan awal (1-3 hari) dilakukan evaluasi medic-psikologi menyeluruh termasuk aspek sosiolegal
dan status penggunaan zat psikoaktif sebagai dasar rencana terapi selanjutnya.
 Detoksifikasi dan terapi komplikasi medis (1-3 minggu) : terjadi proses penghentian penggunaan zat
psikoaktif adan pengobatan komplikasi medic yang mungkin terjadi. Penghentian bisa bertahap atau
langsung, dengan atau tanpa terapi

simptomatis (untuk mengatasi sampai meringankan gejala putus zat ), dengan atau tanpa terapi subtitusi
(bahan pengganti yang lebih “aman”), dengan atau tanpa zat antagonis (bahan pelawan zat psikoaktif
tertentu untuk mengatasi gejala keracunan dan mencegah pemakaian ulang di masa yang akan dating).
Kedua tahap ini dilaksanakan secara rawat inap, sedang tahap selanjutnya dilaksanakan di luar tempat
perawatan
 Stabilisasi (3-9 bulan) : meliputi upaya pembinaan-pemantapan fisik, mental, keagamaan, komunikasi,
interaksi social, edukasional, kultural, vokasional, dll.
 Persiapan kembali ke masyarakat (3-12 bulan) : bimbingan melalui program-program khusus
(sheltered workshops, day centers, night centers)
 Resosialisasi (sampai sekitar 1000 hari) : mantan pengguna diharapkan mampu mengembangkan
kehidupan yang bermakna di masyarakat.

KOMORBIDITAS DAN KOMPLIKASI

Komorbiditas yang sering adalah :


- skizofrenia (agitasi,paranoid),
- mania (kemerahan, paranoid),
- psikosis depresi (keimginan/usaha bunuh diri atau mencederai orang lain),
- retardasi mental,
- gangguan kepribadian (borederline atau antisosial).

KOMPLIKASI MEDIS

Yang sering terjadi adalah :


o Kelebihan dosis yang berakibat fatal
o Keracunan pelarut pada pemakaian lewat suntikan
o Menyuntik tidak steril (abses, sepsis, hepatitis, HIV)
o Gizi buruk
o Penyakit kulit
o Karies dentis
o Anemia
IDENTIFIKASI KASUS DAN DASAR DIAGNOSIS KASUS

H, Laki-laki, 17 tahun
Heteroanamnesis :
• Keluhan utama nyeri hebat diseluruh tubuhnya terutama di sendi-sendi dan perut disertai diare.
• Merintih-rintih kesakitan dikamarnya karena berusaha untuk tidak memakai putau sejak 1 hari yang lalu. 
gejala putus obat
Autoanamnesis :
• Menggunakan putau sejak kelas 2 SMA
Pemeriksaan Fisik :
• H tampak pucat dan kesakitan, matanya merah berari mata dan agak cekung, dan hidungnya banyak
mengeluarkan ingus
• Tanda Vital :
– TD : 140/90 mmHg (Hipertensi) – Nadi : 108 x/menit (takikardi)
– Suhu : 37,5 C (subfebris) – Respirasi : 20 x/menit
• Pupil mata midriasis • Piloereksi • Mengeluh diare
• Palpitasi positif • Menggigil • Nyeri sendi dan otot
Pemeriksaan Psikis/Psikologik :
• Roman muka depresif • Emosi meninggi disertai agitasi • Merasa dibicarakan orang
• Perhatian kurang • Bicara mulai melantur sekitar (waham)
• Halusinasi auditorik • Dekorum buruk
Pemeriksaan Lab : normal. Belum ada pemeriksaan zat aktif putau.

DIAGNOSIS KERJA

Withdrawal Syndrome/ Sindroma Putus Obat disertai Depresi dengan ciri-ciri Psikosis

DASAR DIAGNOSIS MENURUT PPDGJ III

Pedoman Diagnostik (PPDGJ III) F1x.3 Keadaan Putus Zat


• Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan diagnosis sindrom
ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan
• Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan alasan rujukan dan
cukup parah sampai memerlukan perhatian medis secara khusus
• Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis (misalnya anxietas, depresi
dan gangguan tidur) merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat ini.
Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan
penggunaan zat.
Diagnosis keadaan putus zat dapat ditentukan lebih lanjut dengan menggunakan kode lima karakter berikut :
F1x.30 Tanpa komplikasi
F1x.31 Dengan konvulsi

PEMERIKSAAN PENUNJANG KASUS

Pemeriksaan Laboratorium Urin untuk Putau (heroin)

EVALUASI DAN PENGELOLAAN

1. Dasar menentukan adanya gejala putus zat  Adanya penemuan objektif seperti piloereksi, pupil melebar,
dan adanya hipertensi (tekanan darah sistolik > 10 mmHg melampaui nilai dasar)
2. Tujuan utamanya adalah pencegahan komplikasi mediknya dan pengurangan dari gejala putus zat.
3. Terapi jangka panjang dapat diberikan Terapi Rumatan Metadon. Pada kebanyakan pasien dapat
dipertahankan dengan dosis 60 mg perhari.
4. Naltrexon (antagonis opioida) dapat diberikan secara oral untuk 2 bulan yang dapat membantu pasien
mempertahankan abstinensinya terhadap Heroin/Pt (rapid detoxification cara Weisman).
5. Program Rehabilitasi dapat berupa Komuniti Terapeutik dan Terapi Kelompok amat membantu dalam
rehabilitasi pasien dengan ketergantungan opioida.

PROGNOSIS

Quo ad Vitam : ad bonam


Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai