BLOK 26 - PSIKIATRI
MODUL CERIA
PRASYARAT 1 - FISIOLOGI SISTEM SARAF (FISIOLOGI NYERI)
Nyeri pengalaman emosional & sensorik yang tidak menyenangkan, berhubungan dengan adanya kerusakan /
ancaman kerusakan jaringan tubuh / sesuatu yg di gambarkan sebagai suatu kerusakan jaringan. (International
Association for Study of pain-1979).
Salah satu teori dari terjadinya sensasi nyeri yg masih dianggap benar :
Gate control theory : Dalam perjalanannya, impuls sensorik untuk nyeri dapat mengalami penghambatan di
presinaptik oleh impuls sensorik lain.
Klasifikasi Nyeri
Secara kualitatif
1. Nyeri tipe 1 / Fast Pain / nyeri akut – nyeri tajam, cepat timbul, lokalisasi baik, seperti ditusuk, reseptornya
berupa high threshold mechanoreceptor, merupakan specific nociceptor, dihantarkan oleh serabut syaraf tipe
A.
2. Nyeri tipe II / Slow Pain / nyerik kronik – timbul lambat, lokalisasi buruk, dihantar serabut syaraf tipe C
Berdasarkan sumber
1. Nyeri permukaan reseptor kulit 3. Nyeri visceral
2. Nyeri dalam reseptor dalam jaringan
Pembagian lain
1. Nyeri nosiseptik akibat adanya kerusakan jaringan atau yang sejenis dengannya.
2. Nyeri neuropatik akibat adanya kerusakan pada syarafnya
Untuk terjadinya sensasi nyeri diperlukan proses aktifitas dari serangkaian unsur syaraf dari perifer sampai dengan ke
sentral, yaitu :
- Reseptor – bekerja mengubah berbagai bentuk energi dari rangsangan menjadi potensial listrik proses
tranduksi
- Syaraf-syaraf penyalur / syaraf afferent / syaraf sensorik yang bekerja menyalurkan muatan-muatan listrik
dalam bentuk impuls yang dihasilkan reseptor dalam bentuk sinyal potensial listrik proses transmisi
- Pusat-pusat sensorik – tempat pengolahan / interaksi dari impuls sensorik dan dapat dihasilkan suatu sensasi
atau persepsi proses integrasi
Dikenal dua jalur transmisi yang terpisah dari sinyal impuls untuk nyeri dari perifer ke pusat yang terutama
berhubungan dengan fast pain dan slow pain, yaitu
1. Untuk fast pain sinyal akan ditransmisikan di dalam syaraf afferent / syaraf sensorik tipe A delta ke dalam
medulla spinalis.
2. Untuk slow pain, sinyal ditransmisikan didalam syaraf afferent / syaraf sensorik tipe C ke dalam medulla
spinalis.
Sinyal untuk nyeri dari kedua macam syaraf afferent ini (syaraf orde I) akan berakhir di kornu dorsalis medulla
spinalis pada tempat yang berbeda pula.
1. Untuk fast pain akan berakhir terutama pada lamina 1 (lamina marginalis) dari kornu dorsalis dan disini
keluar syaraf sensorik orde II yang akan masuk membentuk traktus neospinothalamikus. Dari nucleus
syaraf sensorik orde II keluar serabut syaraf yang panjang, dalam perjalanannya segera akan menyilang
medulla spinalis di depan comissura anterior kemudian berjalan ke atas ke batang otak dan columna
anterolateral medulla spinalis. Sebagian kecil serabut-serabut neospinothalamikus akan berakhir di daerah
retikuler dalam batang otak, tetapi kebanyakan serabut-serabut ini akan menuju serta berakhir di ventrobasal
kompleks thalamus. Ada juga sedikit yang berakhir di kelompok nucleus posterior thalamus. Di sini yang
menjadi neurotransmitter adalah glutamate, yang disekresikan pada akhir serabut saraf sensorik A delta.
2. Untuk slow pain melalui traktus paleospinothalamicus serabut saraf sensorik orde 1 akan berakhir pada
lamina II dan III dari cornu dorsalis atau substantia gelatinosa. Kemudian melalui serabut” saraf pendek,
sinyal kebanyakan akan diteruskan ke dalam lamina V cornu dorsalis medulla spinalis. Baru setelah dari
lamina V akan keluar serabut saraf panjang yang perjalanan seterusnya akan berjalan ke atas dalam
anterolateral medulla spinalis. Neurotransmitter disini adalah substansi P. Slow chronic paleospinothalamic
pathway ini hanya 1/10 sampai 1/4nya saja yang terus dan berakhir di thalamus, kebanyakan berakhir secara
luas pada batang otak yaitu di nuclei reticularis medulla, pons, dan mesencephalon, di tectal area
mesencephalon, lebih dalam
terhadap collicuclus superior dan inferior atau di daerah sekeliling aquaductus sylvii / PAG. Kemudian dari
bagian” batang otak ini melalui serabut” saraf pendek signal diteruskan ke dalam thalamus tepatnya di
nucleus intralaminer, nucleus ventrolateral, dan bagian daerah yang berdekatan dari basis otak.
(Lebih enak dbikin bagan / liat gambar)
Morfin atau Morphine like agent dapat mengontrol terjadinya sensasi nyeri dengan cara bekerja pada beberapa
tempat, termasuk kornu dorsalis medulla spinalis dari analgesia sistem, karena adanya “Morphine receptor” disitu.
Bahan-bahan ini mengubah eksitabilitas dari neuron. Hal yang sama terjadi dengan bahan seperti morfin yang normal
disekresikan dalam otak sebagai neurotransmitter. Terdapat sejumlah macam substansi seperti opiate didapatkan
dalam bagian-bagian yang berbeda dari sistem saraf. Yang penting diantaranya adalah beta endorphine,
metenkhephalin, leuenkhephalin, dan dynorphin.
Cara kerja substansi seperti opiate ini dalam menghilangkan nyeri tidak semuanya dipahami, pengaktifan sistem
analgesia oleh sinyal yang memasuki periaqueductal gray dan daerah periventricular atau pengnonaktifan saluran
untuk nyeri oleh substansi seperti morfin dapat menghilangkan atau mengurangi hampir total penyaluran sinyal nyeri
yang memasuki saraf tepi.
* Tindakan akupuntur dapat mengontrol nyeri diduga karena mengaktifkan sistem analgesia.
* Kontrol terhadap pengaktifan sinyal nyeri dapat juga dengan melakukan pemberian rangsang terhadap serabut saraf
sensorik A beta melalui reseptor” raba. Juga pemberian rangsang listrik pada daerah tertentu pada kulit (TENS)
dengan cara implant pada medulla spinalis dapat mengurangi sensasi nyeri.
Reseptor opioid, tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah
yaitu di :
o sistem limbik,
o thalamus,
o hypothalamus corpus striatum,
o sistem aktivasi retikuler,
o korda spinalis yaitu substansia gelatinosa
o dijumpai pula di pleksus saraf usus
Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ
tubuh juga mirip.
ASPEK PSIKIATRIK PENGGUNAAN NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya)
Penyalahgunaan NAPZA suatu kondisi yang dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu ggg kejiwaan, karena
penyalahgunan NAPZA biasanya tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam masyarakat, dan menunjukkan
perilaku yang maladaptive atau menyimpang. Kondisi demikian dapat dilihat dari adanya hendaya (impairment)
dalam fungsi social, pekerjaan atau sekolah, di samping tak mampu mengendalikan diri / menghentikan penggunaan
NAPZAnya dan dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis yang parah.
Minuman Keras
Menurut peraturan Menkes No. 36 tahun 1977, minuman keras dibagi dalam 3 golongan :
Golongan A, kadar ethanol 1-5 % (bir)
Golongan B, kadar ethanol 5-20% (anggur)
Golongan C, kadar ethanol 20-40% (whiski, vodka, brandy)
UU RI tentang Narkotika
UU RI No.35/2009 pasal 43 dan 53-58 mengatur tentang pengobatan dan rehabilitasi pengguna narkotika sedangkan
pasal 60 tentang pembinaan dan pengawasan
ISTILAH PENTING
Tiap –tiap zat psikoaktif mempunyai gejala pemakaian, putus zat dan keracunan yang berbeda-beda. Menemukan
gejala tsb, merupakan hal yg sangat penting untuk mendeteksi seorang pengguna. Pemakaian lebih dr 1 jenis zat
memang akan mempersulit penafsiran gejala, gejala” tsb :
DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis tidak selalu mudah, keterangan pengguna sering tidak bisa dipercaya
(menyangkal/mengecilkan masalah), sedangkan keterangan keluarga biasanya juga tidak lengkap. Meskipun
demikian, dengan catatan tentang keterbatasannya, keterangan pengguna dan keluarganya tetap di perlukan untuk
mendapatkan gambaran riwayat penggunaan zat psikoaktif. Selanjutnya pemeriksaan fisik tentang tanda-tanda
pemakaian akan memperkuat dugaan penggunaan zat psikoaktif dan diagnosis pasti adalah melalui pemeriksaan
laboratorium (urine atau darah) terhadap zat psikoaktif yang dicurigai.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada narkotika dan zat adiktif dapat dilakukan untuk tujuan
1. Penapisan
2. Diagnosis pada keadaan emergensi
3. Pemantauan detoksikasi
4. Kepentingan forensic
Untuk pemeriksaan penapisan / skrining umumnya menggunakan metode immunochromatography dengan BP urine,
karena non-invasif dan mempunyai nilai sensitivitas tinggi.
Untuk kepentingan keadaan emergensi & pemantauan detoksikasi dapat menggunkn metode :
1. Enzyme Mediated Immunologic Technique (EMIT)
2. Fluorescence Polarization Immunoassay (FPIA)
3. Thin Layer Chromatography (TLC)
tetapi BP yang digunakan pada umumnya serum karena diharapkan dapat menggambarkan kadar obat / zat pada saat
itu.
Untuk kepetingan foreksik, selain menggunakan metode pemeriksaan diatas juga dapat dilakukan pemeriksaan
konfirmasi dengan menggunakan metode Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS). GC-MS biasanya
dgunakan sebagai uji baku bagi metode yang lain.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk deteksi narkotika dan zat adiktif adalah pemeriksaan
drug-strip immunochromatographic assay dengan menggunakan BP urine. Pemeriksaan ini bersifat kualitatif, mudah,
cepat, dan hasilnya dapat dibaca secara visual tanpa alat khusus. Prinsip pemeriksaan ini adalah bila konsentrasi
zat/obat bebas sama atau lebih besar dari nilai cut off yang telah ditentukan maka drug free akan berikatan dengan anti
drug antibody. Ikatan ini akan menghambat timbulnya pita warna merah pada membrane yang menunjukkan hasil
positif. Sedangkan bila tidak ada zat/obat bebas maka anti drug antibody akan bereaksi dengan antigen conjugated dan
menghasilkan pita warna merah pada membrane yang menunjukkan hasil negatif.
PRINSIP PENANGGULANGAN
1. Landasan hukum
Ketentuan hukum tentang zat psikoaktif di Negara kita saat ini diatur oleh UU No.5 th 1997 tentang
Psikotropika dan UU No.22 th 1997 tentang Narkotika. Meskipun cukup komprehensif, kekurangan UU tsb
adalah belum mencakup semua zat psikoaktif seperti yg tercantum dalam PPDGJ III serta masih memasukkan
ganja ke dalam UU Narkotika.
2. Upaya preventif-promotif
Penyembuhan pengguna zat psikoaktif sangat sulit, sehingga upaya pencegahan sangat penting. Sasarannya
adalah unsur zat psikoaktif itu sendiri, pemakai, dan lingkungan dengan mempengaruhi factor-faktor penyebab,
pendorong, dan peluang bagi pengguna zat psikoaktif, sehingga timbul kesadaran, kewaspadaan, daya tangkal,
pada remaja umumnya, khususnya “calon pengguna”. Beberapa bentuk upaya preventif adalah : pemberian
informasi yang benar, objektif, secara hati-hati, tanpa menakut-nakuti, dan tidak merangsang penerima
informasi untuk justru mencoba zat psikoaktif. Program teman sebaya untuk melatih kemampuan menolak
penggunaan zat psikoaktif (Just Say No). program pilihan lain yaitu menawarkan bermacam-macam program
kegiatan remaja sebagai alternative yang sehat bagi pengguna zat psikoaktif dan lain-lain.
3. Upaya kuratif dan rehabilitasi
Merupakan 2 upaya yang berkesinambungan untuk mengakhiri ketergantungan pada zat psikoaktif, mengatasi
bermacam-macam dampak fisik, psikis dan social, serta mengembalikan pengguna ke masyarakat sebagai
warga yang produktif, berguna, dan hidup sejahtera.
Tahapannya adalah :
Penerimaan awal (1-3 hari) dilakukan evaluasi medic-psikologi menyeluruh termasuk aspek sosiolegal
dan status penggunaan zat psikoaktif sebagai dasar rencana terapi selanjutnya.
Detoksifikasi dan terapi komplikasi medis (1-3 minggu) : terjadi proses penghentian penggunaan zat
psikoaktif adan pengobatan komplikasi medic yang mungkin terjadi. Penghentian bisa bertahap atau
langsung, dengan atau tanpa terapi
simptomatis (untuk mengatasi sampai meringankan gejala putus zat ), dengan atau tanpa terapi subtitusi
(bahan pengganti yang lebih “aman”), dengan atau tanpa zat antagonis (bahan pelawan zat psikoaktif
tertentu untuk mengatasi gejala keracunan dan mencegah pemakaian ulang di masa yang akan dating).
Kedua tahap ini dilaksanakan secara rawat inap, sedang tahap selanjutnya dilaksanakan di luar tempat
perawatan
Stabilisasi (3-9 bulan) : meliputi upaya pembinaan-pemantapan fisik, mental, keagamaan, komunikasi,
interaksi social, edukasional, kultural, vokasional, dll.
Persiapan kembali ke masyarakat (3-12 bulan) : bimbingan melalui program-program khusus
(sheltered workshops, day centers, night centers)
Resosialisasi (sampai sekitar 1000 hari) : mantan pengguna diharapkan mampu mengembangkan
kehidupan yang bermakna di masyarakat.
KOMPLIKASI MEDIS
H, Laki-laki, 17 tahun
Heteroanamnesis :
• Keluhan utama nyeri hebat diseluruh tubuhnya terutama di sendi-sendi dan perut disertai diare.
• Merintih-rintih kesakitan dikamarnya karena berusaha untuk tidak memakai putau sejak 1 hari yang lalu.
gejala putus obat
Autoanamnesis :
• Menggunakan putau sejak kelas 2 SMA
Pemeriksaan Fisik :
• H tampak pucat dan kesakitan, matanya merah berari mata dan agak cekung, dan hidungnya banyak
mengeluarkan ingus
• Tanda Vital :
– TD : 140/90 mmHg (Hipertensi) – Nadi : 108 x/menit (takikardi)
– Suhu : 37,5 C (subfebris) – Respirasi : 20 x/menit
• Pupil mata midriasis • Piloereksi • Mengeluh diare
• Palpitasi positif • Menggigil • Nyeri sendi dan otot
Pemeriksaan Psikis/Psikologik :
• Roman muka depresif • Emosi meninggi disertai agitasi • Merasa dibicarakan orang
• Perhatian kurang • Bicara mulai melantur sekitar (waham)
• Halusinasi auditorik • Dekorum buruk
Pemeriksaan Lab : normal. Belum ada pemeriksaan zat aktif putau.
DIAGNOSIS KERJA
Withdrawal Syndrome/ Sindroma Putus Obat disertai Depresi dengan ciri-ciri Psikosis
1. Dasar menentukan adanya gejala putus zat Adanya penemuan objektif seperti piloereksi, pupil melebar,
dan adanya hipertensi (tekanan darah sistolik > 10 mmHg melampaui nilai dasar)
2. Tujuan utamanya adalah pencegahan komplikasi mediknya dan pengurangan dari gejala putus zat.
3. Terapi jangka panjang dapat diberikan Terapi Rumatan Metadon. Pada kebanyakan pasien dapat
dipertahankan dengan dosis 60 mg perhari.
4. Naltrexon (antagonis opioida) dapat diberikan secara oral untuk 2 bulan yang dapat membantu pasien
mempertahankan abstinensinya terhadap Heroin/Pt (rapid detoxification cara Weisman).
5. Program Rehabilitasi dapat berupa Komuniti Terapeutik dan Terapi Kelompok amat membantu dalam
rehabilitasi pasien dengan ketergantungan opioida.
PROGNOSIS