PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara agraria yang terletak di daerah tropis.
Ekosistem yang belum terjamah oleh peran manusia, mampu menyediakan unsur
hara bagi tumbuhan yang hidup di dalamnya. Keadaan di alam bebas dari
pengaruh manusia perkembangan tanaman seimbang dengan pelapukan batu-
batuan dan pelapukan sisa-sisa organisme, akan tetapi akibat usaha pertanian yang
dilakukan manusia sekarang ini menyebabkan proses pencucian hara yang
menguntungkan lebih efektif. Hal demikian itu menyebabkan usaha pertanian
yang dilakukan memerlukan masukan dari luar, agar terpenuhi kebutuhan hara
tanaman sehingga dapat menghasilkan output secara maksimal. Pemberian
masukan dari luar ini dalam pengertian sehari-hari dikenal dengan pemupukan.
Secara dari luar pemupukan sebenarnya juga termasuk penambahan bahan-bahan
lain yang dapat memperbaiki sifat-sfat tanah misalnya pemberian pesin pada tanah
liat, penambahan tanah mineral pada tanah organik, pengapuran dan ameliorasi.
Kegiatan pemupukan dalam usaha pertanian perlu mengetahui keadaan dasar
pupuk tersebut, antara lain, sifat fisiknya, sifat kimianya, dan efeknya bagi
tanaman yang dibudidayakan.
Kesuburan tanah itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu kesuburan tanah
aktual dan juga kesuburan tanah potensial. Kesuburan tanah aktual adalah
kesuburan tanah yang hakiki. Kesuburan tanah potensial adalah kesuburan tanah
maksimum yang dapat dicapai dengan intervensi teknologi yang mengoptimalkan
semua faktor. Intervensi teknologi yan gdapat mengoptimalkan semua faktor
tersebut diantaranya: (1) terdapat keseimbangan antara tambahan hasil panen atau
nilai tambah ekonomi dari komoditi sesuai yang diharapkan dengan tambahan
biaya yang harus dikeluarkan, (2) kemampuan masyarakat untuk membiayai
intervensi tersebut, (3) keterampilan masyarakat dalam menerapkan teknik
intervensi tersebut secara berkesinambungan. Ketiga faktor intervensi tersebut
tidak dapat diterapkan apabila salah satu dari ketiganya tidak dimiliki oleh petani
sendiri, karena ketiga faktor intervensi tersebut saling mempengaruhi.
Kemampuan itu sendiri dipengaruhin oleh dua faktor yaitu petani itu sendiri
termasuk koperasinya dan juga pemerintah dengan subsidi atau kreditnya.
Keterampilan teknik melaksanakan intervensinya dipengaruhi oleh keterampilan
petani dan bantuan pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana teknik
yang meliputi jalan, bendungan, saluran irigasi, drainase dan juga bimbingan
teknologi. Semua faktor diatas dapat dilaksanakan dengan baik maka sifat dan
kelakuan tanah menjadi penentu tanggapan tanah terhadap intervensi teknologi
yang diberikan. Tingkat dan juga macam intervensi yang diberikan ditentukan
oleh jenis tanah dan keadaan lingkungan yang mempengaruhi sifat tanah tersebut.
Setiap wilayah memilik kriteria yang berbeda- beda dalam pemberian intervensi
teknologinya.
A. Kompos
Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika
dikonsumsi dalam jumlah memadai, dapat memberikan manfaat kesehatan pada
host nya (Pineiro dan Stanton, 2007). Mikroorganisme tersebut dipercaya mampu
meningkatkan atau menjaga rasio antara mikrobiota gastrointestinal (GI) .
Probiotik yang banyak digunakan saat ini termaksud dalam spesies bakteri asam
laktat (BAL), diantaranya adalah : laktobacilli, bifidobacteria, Escherichia coli
non-patogenik, bacilli, serta spesies yeast seperti Saccharomyces boulardii.
(O’Hara dan Shanahan, 2007).
Probiotik dapat dibagi 2 kelompok yaitu ; bentuk cair merupakan
mikroba dalam bentuk suspensi (inokulan tunggal maupun multikultur) antara lain
Lactobacillus, Bacillus sp, Nitrobacteria dan bentuk padat yaitu mikroba
diinokulasi (tunggal atau multikultur) dalam media carier. (Simamora, 2006).
Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan – bahan
hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat
proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa
ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea. Sampah kota bisa juga digunakan
sebagai kompos dengan catatan bahwa sebelum diproses menjadi kompos sampah
kota harus terlebih dahulu dipilah- pilah, kompos yangrubbishharus dipisahkan
terlebih dahulu. Jadi yang nantinya dimanfaatkan sebagi kompos hanyalah
sampah-sampah jenis garbagesaja. Berbeda dengan proses pengolahan sampah
yang lainnya, maka pada proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat
pembuatan maupun cara pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan
dimanapun. Kompos dapat digunakan untuk tanaman hias, tanaman sayuran,
tanaman buah-buahan maupun tanaman padi disawah. Bahkan hanya dengan
ditaburkan diatas permukaan tanah, maka sifat-sifat tanah tersebut dapat
dipertahankan atau dapatditingkatkan. Apalagi untuk kondisi tanah yang baru
dibuka, biasanya tanah yang baru dibuka maka kesuburan tanah akan menurun.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan atau mempercepat kesuburannya maka
tanah tersebut harus ditambahkan kompos (Sulistyorini, 2005).
Pembuatan Kompos Cara Krantz yaitu dengan menggunakan bahan-bahan
mentah (serasah, sampah organic, dll) ditumpuk sampai setinggi 50 cm atau lebih.
Kemudian diberi pupuk kandang sebagai aktifator, setelah beberapa hari temperature
mencapai 50oC-60oC, temperatur ini bisa mematikan kuman-kuman serta biji-biji
tanaman pengganggu. Tumpukan diinjak-injak sehingga keadaan menjadi anaerob,
selanjutnya ditambahkan bahan-bahan mentah sehingga tumpukan mencapai sekitar 80
cm, demikian seterusnya perlakuan penamabahan dilakukan sampai tumpukan menjadi
tinggi sekitar 1,5 m. kemudian tumpukan harus ditutup dengan lapisan tanah bagian
atasnya, perlakuan demikian untuk mencegah kehilangan N lebih lanjut dan juga
melindungi kompos dari pengaruh teriknya sinar matahari. Setelah 3 bulan biasanya
kompos telah matang dan dapat dipergunakan (Sutejo, 2002).
Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan
mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Mikrobia
tersebut adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya.(Afandie dan Nasih Widya,
2002).Pengomposan merupakan proses penguraian senyawa-senyawa yang
terkandung dalam sisa-sisa bahan organik (seperti jerami, daun-daunan, sampah
rumah tangga, dan sebagainya) dengan suatu perlakuan khusus. Hampir semua
bahan yang pernah hidup, tanaman atau hewan akan membusuk dalam tumpukan
kompos (Outterbridge, 1991).
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat,
selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air, 2) zat putih telur
amonia, CO2, dan air, 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat
diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut kadar karbohidrat akan hilang atau
turun dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian C/N
semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Indriani, 2007).
Sutanto (2002) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Kelembapan timbunan bahan kompos, berpengaruh terhadap kehidupan
mikrobia,agar tidak terlalu kering atau basah dan tergenang.
2. Aerasi timbunan, berhubungan erat dengan kelengasan.
3. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 600C), dan
jugadilakukan pembalikkan untuk menurunkan temperatur.
4. Suasana, dalam pengomposan menghasilkan asam-asam organik sehingga
pH turun, untuk itu diperlukan pembalikkan.
5. Netralisasi keasaman, dapat dilakukan dengan menambah kapur seperti
dolomit atau abu.
Tanah sebagai media pertumbuhan tanaman berada dalam kondisi yang
optimum jika komposisinya terdiri dari : 25% udara, 25% air, 45% mineral dan
5% bahan organik. Atas dasar perbandingan ini, nampak kebutuhan tanah
terhadap bahan organik adalah paling kecil. Namun demikian kehadiran bahan
organik dalam tanah mutlak dibutuhkan karena bahan organik merupakan bahan
penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun
dari segi biologi tanah (Lengkong dan Kawulusan, 2008).
C-organik bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika,
maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organic dilakukan
berdasarkan jumlah c-oraganik. Sumber utama CO2 di alam berasal dari
dekomposisi bahan organik berupa sisa-sisa tanaman ataupun hewan dan dari
respirasi invertebrata, bakteri serta fungi. Keperluan seluruh tanaman yang hidup
diperkirakan sekitar 80 x 109 ton karbon/tahun. Dengan perediaan CO2 dalam
udara sebesar 0,03% volume, maka CO2 tersebut akan habis diserap tanaman
dalam waktu beberapa dekade saja. Berkat adanya daur (siklus) yang
menghasilkan CO2, maka kadar gas tersebut relatif stabil (Konova, 1966).
Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK
(Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian
bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang
dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah
(Suriawiria, 2003).
B. Keasaman
C. Temperatur
Pupuk anorganik adalah pupuk yang terbuat dengan proses fisika, kimia,
atau biologis. Pada umumnya pupuk anorganik dibuat oleh pabrik. Bahan bahan
dalam pembuatan pupuk anorgank berbeda beda, tergantung kandungan yang
diinginkan. Misalnya unsur hara fosfor terbuat dari batu fosfor, unsure hara
nitrogen terbuat dari urea.Pupuk anorganik sebagian besar bersifat hidroskopis.
Hidroskopis adalah kemampuan menyerap air diudara, sehingga semakin tinggi
higroskopis semakin cepat pupuk mencair (Teti Suryati, 2009).
Jenis unsur hara yang dikandung suatu pupuk tidak dinyatakan sebagai
unsur tunggal tetapi dinyatakan dalam persentase total N ( total amonium dan
nitrat ), P2O5 dan K2O. Jenis pupuk yang sama belum tentu mengandung
analisa yang sama. Contohnya adalah Urea ( 46 % N), SP-36 ( 36 % P2O5), KCl
(60 % K2O)
Urea termasuk pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air). Pada
kelembaban 73%, pupuk ini sudah mampu menarik uap air dan udara. Oleh
karena itu urea mudah larut dan mudah diserap oleh tanaman. Urea dapat
membuat tanaman hangus, terutama yang memiliki daun yang amat peka.
Untuk itu, semprotkan urea dengan bentuk tetesan yang besar. Berdasarkan
bentuk fisiknya maka urea dibagi menjadi dua jenis, yaitu urea prill dan urea
non prill (Lingga dan Marsono, 2002).
1
e. Setelah hasil sterilisasi dingin, kemudian memasukkan hasil sterilisasi
tersebut ( bekatul dan terasi ) kedalam ember plastik.
f. Menambahkan 500 ml urin sapi dan 1 liter air sambil diaduk sampai
merata.
g. Membiarkan campuran tersebut selama 3 hari dan melakukan
pengadukan setiap harinya.
h. Setelah 3 hari probiotik siap digunakan.
E. Kesimpulan
Hasil pembuatan probiotik selama 3 hari yang disaring adalah
sebesar 600-800 ml, dengan keanmpakan cairan keruh kekuningan dan
sedikit endapan berwarna putuh dengan bau tidak sedap yang merupakan
hasil dari fermentasi selama 3 hari.
IV. PENGOMPOSAN
A. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum pengomposan dilaksanakan pada hari rabu, 21 Maret-23
April 2018, pukul 14.00-16.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium
Ilmu Tanah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk membuat kompos
dari bahan organik.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat:
1) Ember Plastik
2) Gelas ukur 1 liter
3) Gelas ukur 100 ml
4) Timbangan analitik
b. Bahan :
1) Probiotik (pupuk kandang)
2) Sampah Organik
3) Abu Dapur
2. Cara Kerja
a. Mengambil sampah organik sebanyak 5 kg yang telah dipisahkan dari
bahan-bahan anorganik.
b. Memotong-motong sampah organik dengan ukuran kurang lebih 5 cm.
c. Mencampur secara merata potongan sampah dengan probiotik ( 0,5ml
EM-4).
d. Sambil mengaduk-aduk, menambahkan air sampai dicapai kelembaban
kurang lebih 30% (jika dikepal tidak keluar air, tetapi jika kepalan dibuka
akan berurai lagi).
e. Memasukkan kedalam ember dan membagi menjadi 3 lapis.
f. Menaburi masing-masing lapisan dengan abu dapur ( total yang
diperelukan 0,5 kg) kemudian menutup ember.
g. Melakukan pengukuran pH dan Suhu pengomposan setiap hari sampai
menjadi kompos (C/N ≤ 20).
E. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum ini antara lain sebagai berikut :
1. Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan
mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik.
Mikrobia tersebut adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya.
2. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu
tahap aktif dan tahap pematangan.
3. Pada tahap aktif, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi
akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos
akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan
peningkatan pH kompos.
4. Pada tahap pematangan, kompos akan berubah menjadi gelap, wangi,
remah, mudah hancur, dan penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Serta terjadi penurunan pada suhu dan PH kompos.
V. TEMPERATUR DAN KEASAMAN
Pengamatan Keasaman
8.8 8.65
8.6 8.43
8.4 8.3
8.16
8.2
8
PH
7.75
7.8
7.6 7.43
7.4 7.28 7.26
7.2
7
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minggu Pengamatan
b. Temperatur/Suhu
Grafik 2. Rerata Temperatur/Suhu Tiap Minggu
Pengamatan Temperatu/Suhu 0C
40 37.16
32.83 33.33
35 31.13
29.15 29.33
30 28 27.16
25
SUHU 0C
20
15
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minggu Pengamatan
2. Pembahasan
a. Keasaman/PH Pengomposan
Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses
dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan pH
netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5.5 sampai 8.
Dimana pada pengamatan ini dilakukan pengambilan sampel setiap
harinya untuk diamati. Adapun alat yang digunakan adalah PH meter
namun pada beberapa pengamatan menggunakan kertas lakmus.
Dari hasil praktikum menunjukan pada minggu pertama PH
kompos 7,43 kemdian mengalami penuruana pada minggu ke-2 yaitu
pada PH 7,2 namun minggu ke-3 mengalami kenaikan hingga pada
minggu ke-6 dimana pada minggu 6 tersebut menunjukan kenaikan
tertinggi yaitu pada PH 8,65. hal ini dikarenakan kurang ratanya sampel
dalam pengambilan sampel ataupun berat sampel yang sedikit berbeda,
dan juga banyaknya abu yang ikut terbawa saat pengecekan kadar pH,
semakin banyak abu yang terbawa semakin tinggi kadar pH yang
diamati, alat ukur yang digunakan ada 2 macam, sehingga nilai PH
yang keluar berbeda dan pada saat pengadukan sampel tidak merata saat
akan dicek pHnya menggunakan pH meter, sehingga dapat
mengakibatkan pH berubah – ubah.
Namun kemudian pada minggu ke-7 dan 8 terjadi
penurunanan PH secara berangsur yaitu pada minggu ke- 7 pada PH 8,3
dan pada minggu ke-8/terakhir pengamatan pada PH 7,26 dimana nilai
tersebut masih pada ph optimum menurut SNI. Menurut standart
kualitas SNI, pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar
antara 6.5 sampai 7.5. pH. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri.
Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal,
akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi
amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan
meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang
sudah matang biasanya mendekati netral.
Adapun faktor lainnya derajat keasaman perlu dikontrol
selama proses pengomposan berlangsung. Jika derajat keasaman terlalu
tinggi atau terlalu basa konsumsi oksigen akan semakin naik dan akan
memberikan hasil yang buruk bagilingkungan. Derajat keasaman yang
terlalu tinggi juga akan menyebabkan unsure nitrogen dalam bahan
kompos berubah menjadi ammonia (NH3) sebaliknya dalam keadaan
asam (derajat keasaman rendah) akan menyebabkan sebagian
mikroorganisme mati. Derajat keasaman yang terlalu tinggi dapat
diturunkan dengan menambahkan kotoran hewan, urea, atau pupuk
nitrogen. Jika derajat keasaman terlalu rendah bisa ditingkatkan dengan
menambahkan kapur dan abu dapur kedalam bahan kompos.
b. Temperatur/ Suhu
Pola perubahan temperatur dan tumpukan sampah bervariasi
sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada proses
pengomposan dimulai sebagian energi yang dihasilkan akan
meningkatkan suhu. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya
proses dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar air dan kerja
mikroorganisme. Pada saat bahan organik dirombak oleh
mikroorganisme maka dibebaskanlah sejumlah energi berupa panas.
Pada tahap awal pengomposan miroorganisme memperbanyak diri
secara cepat dan menaikkan suhu.
E. Kesimpulan
1. Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses
dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan
pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5.5
sampai 8.
2. Pengukuran temperatur kompos mengalami tiga tahap proses
pengomposan, yaitu tahap penghangatan/mesfilik, tahap termofilik,
dan tahap pendinginan/pematangan.
VI. KADAR C-ORGANIK
2. Cara Kerja
a. Menimbang bahan kompos kering 0,1 g dan memasukkannya kedalam
labu takar .
b. Menambahkan K2Cr2O7 1 N sebanyak 10 ml dengan pipet ukur.
c. Menambahkan H2SO4 pekat 10 ml dengan gelas ukur, dan
menggocoknya dengan gerakan memutar.
d. Warna harus tetap merah jingga, apabila warna menjadi hijau atau biru
menambahkan lagi K2Cr2O7 1 N dan H2SO4 pekat ( jumlah penambahan
dicatat), Mendiamkannya lebih kurang 30 menit sampai larutan dingin.
e. Menambahkan 5 ml H3PO4 85 % dan 1 ml Indikator Diphenylamin.
f. Menambahkan air suling sampai volume 50 ml.
g. Mengocok dengan membolak balikkan sampai homogen dan mengendap.
h. Mengambil dengan pipet ukur 5 ml larutan jernih, kemudian dimasukkan
ke dalam labu erlenmeyer dan menambahkan air suling 15 ml.
i. Larutan dititrasi dengan FeSO4 1 N , sehingga warna menjadi kehijau-
hijauan.
j. Mengulangi langkah a-i tanpa sempel untuk keperluan blangko.
2. Pembahasan
Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Hal
tersebut terjadi apabila kandungan air terlalu rendah atau tinggi akan
mengurangi efisiensi proses pengomposan (Luo dan Chen. 2007). Kadar air
yang optimal adalah 45% - 55% (Hoitink, 2008). Apabila kadar air melebihi
60% maka volume udara berkurang, bau akan dihasilkan (karena kondisi
anaerobik), dan dekomposisi diperlambat. Salah satu permasalahan kadar air
kompos adalah berkurangnya kadar air tumpukan kompos selama proses
pengomposan, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan air dan
pengadukan (Suehara et al., 1999).
Dengan kadar air yang tinggi menyebabkan volume udara
berkurang, sehingga menyebabkan suhu rendah mikroorganisme tidak dapat
berkembang dengan baik, menghasilkan kompos yang bau, dan proses
pengomposan berjalan sangat lambat sehingga kompos yang dihasilkan
kurang baik.
Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari agar kadar air tetap
terjaga. Apabila kadar air kurang dari yang ditentukan dilakukan
penambahan air, sedangkan apabila kadar air melebihi dari yang ditentukan
maka dilakukan pembalikan agar udara masuk ke dalam tumpukan dan
mengeringkan bahan.
E. Kesimpulan
Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Hal tersebut terjadi
apabila kandungan air terlalu rendah atau tinggi akan mengurangi efisiensi proses
pengomposan.kadar air yang tinggi menyebabkan volume udara berkurang,
sehingga menyebabkan suhu rendah mikroorganisme tidak dapat berkembang
dengan baik, menghasilkan kompos yang bau, dan proses pengomposan berjalan
sangat lambat sehingga kompos yang dihasilkan kurang baik.
VIII. HIGROSKOPISITAS
10.4 10.36
10.3
10.2
10.1
Urea KCL NPK SP-36 ZA
10.76
10.8
10.6
10.6 10.53
10.4
10.2
10
Urea KCL NPK SP-36 ZA
Grafik 5. Rerata Higroskopisitas Minggu ke-3
11
10.86
10.8
10.66
10.56
10.6
10.4
10.2
10
Urea KCL NPK SP-36 ZA
11.4
11.2
11.2
11 10.9
10.8 10.73
10.63
10.6
10.4
10.2
10
Urea KCL NPK SP-36 ZA
Grafik 7. Higroskopisitas (gram) Berbagai Macam Pupuk Anorganik
11.8
11.58
11.6
11.3
Higroskopisitas (gram)
11.4
11.2 11.16 11.2
11.2
11 Urea
11 10.86 10.9
KCL
10.73 10.76 10.73
10.8 10.66 NPK
10.6 10.6 10.63
10.53 10.53 10.56
10.6 SP-36
10.36 ZA
10.4
10.2
0 1 2 3 4 5
Minggu Pengamatan
2. Pembahasan
Higroskopisitas ini memang secara langsung tidak mempengaruhi
nilai pupuk sebagai penambah kesuburan tanah, tetapi mempengaruhi cara
penyimpanan dan cara pemakaiannya. Pupuk yang higroskopis harus
disimpan ditempat-tempat yang benar-benar kering, sebab kalau sudah
menarik air akan memerlukan cara-cara istimewa untuk
mempergunakannya.
E. Kesimpulan
1. Higroskopis adalah sifat pupuk yang berkaitan dengan potensinya atau
kemampuannya untuk mengikat uap air dari udara bebas.
2. Pupuk UREA memiliki persentase nilai higroskopisitas yang paling
tinggi yaitu 11,58 gram.
3. Tinggi rendahnya persentase higroskopisitas dapat dipengaruhi oleh
beberapa factor, yaitu halus kasarnya butiran pupuk dan faktor
lingkungan misalnya suhu/temperature, kelembababn udara dan lain-lain.
IX. TINGKAT KELARUTAN
20
10 9
10
0
NPK P-36 ZA KCL Urea
2. Pembahasan
Tingkat kelarutan pupuk sangat menentukan mudah tidaknya
unsur-unsur yang terkandung diambil oleh tanaman. Dengan pasti dapat
dikatakan bahwa pupuk pupuk yang sukar larut sukar pula dihisap unsur-
unsurnya oleh tanaman.
Pada praktikum ini pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK, SP-36, ZA,
KCL dan UREA. Dari hasil pengamatan tingkat kelarutan diperoleh hasil rata-
rata persentase kelarutannya yaitu pupuk NPK diperoleh rata-rata sebesar
10%, pupuk SP-36 sebesar 25%, pupuk ZA sebesar 92%, pupuk KCL sebesar
9% dan kemusian pupuk UREAsebesar 94%. Sehingga diperoleh rata-rata
persentase tingkat kelarutan paling tinggi adalah UREA, dan persentase yang
paling tinggi adalah KCL. Pupuk Urea adalah pupuk kimia mengandung
Nitrogen (N) berkadar tinggi.Pupuk urea dengan rumus kimia NH2 CONH2
merupakan pupukyang mudah larut dalam air dan sifatnya sangat mudah
menghisap air (higroskopis), karena itu sebaiknya disimpan di tempat yang
kering dan tertutup rapat. Pupuk urea mengandung unsur hara N sebesar 46%
dengan pengertian setiap 100kg mengandung 46 Kg Nitrogen, Moisture 0,5%,
Kadar Biuret 1%, ukuran 1-3,35MM 90% Min serta berbentuk Prill(Mulyani,
1999).
Tinggi rendahnya persen kelarutan dipengaruhi oleh beberapa
faktor dari bentuk fisik misalnya bentuk butiran lebih lembut maka tingkat
kelarutan pada pupuk tersebut akan lebih cepat terlarut dibandingkan
dengan yang memiliki bentuk butiran yang lebih kasar (besar).misalnya saja
pada pupuk urea memiliki bentuk fisik lebih halus dibanding ZA.
E. Kesimpulan
1. Tingkat kelarutan pupuk sangat menentukan mudah tidaknya unsur-
unsur yang terkandung diambil oleh tanaman.
2. Pupuk UREA memiliki presentase kelarutan rata-rata sebesar 94%.
3. Tinggi rendahnya persen kelarutan dipengaruhi olehfaktor dari bentuk
fisik pupuk itu sendiri.
X. BUDIDAYA TANAMAN KACANG TANAH
A. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum budidaya tanaman kacang tanah dilaksanakan pada hari
rabu, 11 April 2018, pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mempelajari pengaruh
pemberian berbagai macam pupuk anorganik terhadap pertumbuhan tanaman
kacang tanah.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Bahan
1) Media tanam
2) Benih kacang tanah
3) Polybag
4) Pupuk Urea, SP-36, KCL, ZA dan NPK.
b. Alat
1) Cangkul
2) Ember
2. Cara Kerja
1) Menyiapkan media tanam dan 8 buah polybag.
2) Memasukkan media tanam kedalam polybag.
3) Memasukkan benih kacang tanah kedalam media tanam.
4) Memasukkan pupuk kedalam media tanam untuk memupuk tanaman
kacang tanah. Masing-masing pupuk 2 kali percobaan.
5) Setelah 2 minggu setelah tanam sampai 4 minggu setelah tanam ,
melakukan pengukuran tinggi tanaman.
6) Setelah selesai pengamatan, dari 2 sampel yang diberi 1 perlakuan pupuk
yang sama diambil satu tanaman untuk ditimbang bobot segar dan bobot
kering tanaman.
7) Satu sampel yang tersisa dibiarkan tetap tumbuh sampai muncul
polongnya. Setelah muncul polong, kemudian memanen tanaman kacang
tanah untuk diambil polongnya.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Tabel 4. Tinggi tanaman dan jumlah daun kacang tanah umur 2 sampai 4 HST
Tinggi Tanaman Jumlah Daun
Perlakuan
2 HST 3 HST 4 HST 2 HST 3 HST 4 HST
Urea 5,38 a 8,63 a 12,38 a 6,25 a 9,75 a 12,75 a
KCL 9,38 ab 15,75 a 19,00 a 5,75 a 7,50 a 10,75 a
SP – 36 10,25 b 17,5 a 20,38 a 5,75 a 8,50 a 12,00 a
P.Kandang 12,50 b 19,88 a 25,38 a 7,75 a 12,25 a 17,50 a
Keterangan : Nilai Purata pada baris dan kolom yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut uji F taraf 5 %, akan tetapi
pada variabel pengamatan tinggi tanaman pada umur 2 HST mununjukkan
perbedaan yang nyata menurut BNT taraf 5%.
Tabel 5. Pengaruh jenis pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah
Perlakuan Bobot Segar Bobot Kering
Urea 23,275 a 8,375 a
KCL 17,225 b 9,05 a
SP - 36 17,025 b 9,55 ab
P.Kandang 13,475 b 15,675 b
Keterangan : Nilai Purata pada baris dan kolom yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan perbedaan menurut DMRT taraf 5 %
Tabel 6. Jumlah polong dan bobot polong dengan perlakuan macam pupuk
Perlakuan Jumlah Polong Bobot Polong
Urea 6,5 a 10,6 a
KCL 4,75 a 8,40 a
SP – 36 6,5 a 10,55 a
P.Kandang 6,75 a 10,40 a
Keterangan : angka rerata pada baris dan kolom yang sama dan diikuti huruf
yang sama pula tidak menunjukkan perbedaan pada uji F dengan taraf 5%.
2. Pembahasan
Hasil analisis sidik ragam dengan taraf 5 % pada pengamatan di
minggu ke 2 sampai minggu ke 5 menunjukkan bahwa tidak terjadi
perbedaan yang nyata pada perlakuan pemberian berbagai macam pupuk
terhadap tinggi dan jumlah daun kacang tanah (Lampiran). akan tetapi pada
pengamatan pertama yang dilakukan pada minggu kedua setelah tanam
menunjukkan perbendaan yang nyata pada tinggi tanaman (Lampiran).
Purata tinggi tanaman dan jumlah daun disajikan pada tabel 4.
Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa
terjadi perbedaan yang nyata pada variabel pengamatan bobot segar pada
perlakuan pupuk urea dengan jenis pupuk yang lainnya yang menunjukkan
bobot segar tanaman lebih tinggi dengan penggunaan pupuk urea, akan
tetapi pada variabel pengamatan bobot kering perlakuan pupuk SP-36 dan
pupuk kandang berbeda nyata dengan pupuk yang lain. Purata dari bobot
segar dan kering disajikan pada tabel 5.
E. Kesimpulan
1. Hasil analisis sidik ragam dengan taraf 5 % pada pengamatan di minggu
ke 2 sampai minggu ke 5 menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan
yang nyata pada perlakuan pemberian berbagai macam pupuk terhadap
tinggi dan jumlah daun kacang tanah.
2. pada pengamatan pertama yang dilakukan pada minggu kedua setelah
tanam menunjukkan perbendaan yang nyata pada tinggi tanaman.
3. Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa terjadi
perbedaan yang nyata pada variabel pengamatan bobot segar pada
perlakuan pupuk urea dengan jenis pupuk yang lainnya, akan tetapi
pada variabel pengamatan bobot kering perlakuan pupuk SP-36 dan
pupuk kandang berbeda nyata dengan pupuk yang lain.
Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa tidak terjadi
perbedaan yang nyata pada variabel hasil. baik pada jumlah polong maupun bobot
polong per tanaman sampel.
DAFTAR PUSTAKA