Anda di halaman 1dari 45

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara agraria yang terletak di daerah tropis.
Ekosistem yang belum terjamah oleh peran manusia, mampu menyediakan unsur
hara bagi tumbuhan yang hidup di dalamnya. Keadaan di alam bebas dari
pengaruh manusia perkembangan tanaman seimbang dengan pelapukan batu-
batuan dan pelapukan sisa-sisa organisme, akan tetapi akibat usaha pertanian yang
dilakukan manusia sekarang ini menyebabkan proses pencucian hara yang
menguntungkan lebih efektif. Hal demikian itu menyebabkan usaha pertanian
yang dilakukan memerlukan masukan dari luar, agar terpenuhi kebutuhan hara
tanaman sehingga dapat menghasilkan output secara maksimal. Pemberian
masukan dari luar ini dalam pengertian sehari-hari dikenal dengan pemupukan.
Secara dari luar pemupukan sebenarnya juga termasuk penambahan bahan-bahan
lain yang dapat memperbaiki sifat-sfat tanah misalnya pemberian pesin pada tanah
liat, penambahan tanah mineral pada tanah organik, pengapuran dan ameliorasi.
Kegiatan pemupukan dalam usaha pertanian perlu mengetahui keadaan dasar
pupuk tersebut, antara lain, sifat fisiknya, sifat kimianya, dan efeknya bagi
tanaman yang dibudidayakan.

Kesuburan tanah itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu kesuburan tanah
aktual dan juga kesuburan tanah potensial. Kesuburan tanah aktual adalah
kesuburan tanah yang hakiki. Kesuburan tanah potensial adalah kesuburan tanah
maksimum yang dapat dicapai dengan intervensi teknologi yang mengoptimalkan
semua faktor. Intervensi teknologi yan gdapat mengoptimalkan semua faktor
tersebut diantaranya: (1) terdapat keseimbangan antara tambahan hasil panen atau
nilai tambah ekonomi dari komoditi sesuai yang diharapkan dengan tambahan
biaya yang harus dikeluarkan, (2) kemampuan masyarakat untuk membiayai
intervensi tersebut, (3) keterampilan masyarakat dalam menerapkan teknik
intervensi tersebut secara berkesinambungan. Ketiga faktor intervensi tersebut
tidak dapat diterapkan apabila salah satu dari ketiganya tidak dimiliki oleh petani
sendiri, karena ketiga faktor intervensi tersebut saling mempengaruhi.
Kemampuan itu sendiri dipengaruhin oleh dua faktor yaitu petani itu sendiri
termasuk koperasinya dan juga pemerintah dengan subsidi atau kreditnya.
Keterampilan teknik melaksanakan intervensinya dipengaruhi oleh keterampilan
petani dan bantuan pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana teknik
yang meliputi jalan, bendungan, saluran irigasi, drainase dan juga bimbingan
teknologi. Semua faktor diatas dapat dilaksanakan dengan baik maka sifat dan
kelakuan tanah menjadi penentu tanggapan tanah terhadap intervensi teknologi
yang diberikan. Tingkat dan juga macam intervensi yang diberikan ditentukan
oleh jenis tanah dan keadaan lingkungan yang mempengaruhi sifat tanah tersebut.
Setiap wilayah memilik kriteria yang berbeda- beda dalam pemberian intervensi
teknologinya.

Tanah merupakan faktor terpenting dalam tumbuhnya tanaman dalam


suatu sistem pertanaman, pertumbuhan suatu jenis dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya ialah tersedianya unsur hara, baik unsur hara makro maupun
unsur hara mikro. Tanah sebagai medium pertumbuhan tanaman berfungsi pula
sebagai pemasok unsur hara, dan tanah secara alami memiliki tingkat ketahanan
yang sangat beragam sebagai medium tumbuh tanaman.

Tanaman memerlukan makanan yang sering disebut hara tanaman (plant


nutrient) untuk memenuhi siklus hudupnya. Apabila suatu tanaman kekurangan
suatu unsur hara, maka akan menampakkan gejala pada suatu organ tertentu yang
spesifik yang biasa disebut gejala kekahatan. Unsur hara yang diperlukan tanaman
tidak seluruhnya dapat dipenuhi dari dalam tanah. Oleh karena itu perlu
penambahan dari luar biasanya dalam bentuk pupuk. Pupuk adalah bahan yang
diberikan kedalam tanah atau tanaman untuk memenuhi kebutuhan unsur hara
bagi tanaman dan dapat berfungsi untuk memperbaiki sifat fisika, kimia dan
biologi tanah.

Salah cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan dampak negatif


yang ditimbulkan sampah organik domestik adalah mengolah sampah tersebut
dengan teknik komposter tanpa penambahan aktivator pengomposan, disamping
terdapat berbagai teknik pengolahan lain (dengan penambahan aktivator
pengomposan) menghasilkan produk yang bernilai lebih, baik dari segi nilai
ekonomi yaitu memiliki suplemen bagi tanaman. Meskipun dalam metode ini
tidak ditambahkan aktivator pengomposan, namun kedalamnya ditambahkan
organik agen (serbuk gergaji dari kotoran hewan) yang berfungsi memacu
pertumbuhan mikroba dan menambah unsur hara dalam kompos.

Proses pengomposan merupakan suatu proses biologi secara alami dalam


melakukan dekomposisi bahan organik yang mengandung karbon, mineral
meliputi nitrogen dan nutrisi lainnya, serta air dengan dikendalikan oleh
mikroorganisme dengan dukungan ketersediaan oksigen.

Tanah memang diciptakan untuk terus menerus dikelola, namun karena


adanya pengelolaan tanah yang terus menerus sehingga mengakibatkan tingkat
kesuburan tanah dapat menurun. Menurunya tingkat kesuburan suatu tanah
menyebabkab berkurangnya ketersediaan unsur hara di dalam tanah sehingga
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Salah satu usaha yang dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah


di daerah pertanian adalah penggunaan pupuk secara benar. Pupuk sendiri di
bedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organic (kompos) dan pupuk an-organik
(kimia) yang keduanya memiliki fungsi yang sama yaitu untuk memenuhi
kebutuhan hara bagi tanaman.

B. Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan praktikum kesuburan tanah ini, adalah :
1. Membandingkan hasil pengomposan dengan empat macam probiotik
berdasarkan data pengamatan yang diperoleh.
2. Membandingkan hasil budidaya kacang tanah dengan perlakuan pupuk.
3. Dalam membandingkan menggunakan uji yang sudah diperoleh dalam
pelajaran rancangan percobaan.
4. Memberikan bahasan dari hasil pembandingan tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kompos
Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang ketika
dikonsumsi dalam jumlah memadai, dapat memberikan manfaat kesehatan pada
host nya (Pineiro dan Stanton, 2007). Mikroorganisme tersebut dipercaya mampu
meningkatkan atau menjaga rasio antara mikrobiota gastrointestinal (GI) .
Probiotik yang banyak digunakan saat ini termaksud dalam spesies bakteri asam
laktat (BAL), diantaranya adalah : laktobacilli, bifidobacteria, Escherichia coli
non-patogenik, bacilli, serta spesies yeast seperti Saccharomyces boulardii.
(O’Hara dan Shanahan, 2007).
Probiotik dapat dibagi 2 kelompok yaitu ; bentuk cair merupakan
mikroba dalam bentuk suspensi (inokulan tunggal maupun multikultur) antara lain
Lactobacillus, Bacillus sp, Nitrobacteria dan bentuk padat yaitu mikroba
diinokulasi (tunggal atau multikultur) dalam media carier. (Simamora, 2006).
Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan – bahan
hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat
proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa
ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea. Sampah kota bisa juga digunakan
sebagai kompos dengan catatan bahwa sebelum diproses menjadi kompos sampah
kota harus terlebih dahulu dipilah- pilah, kompos yangrubbishharus dipisahkan
terlebih dahulu. Jadi yang nantinya dimanfaatkan sebagi kompos hanyalah
sampah-sampah jenis garbagesaja. Berbeda dengan proses pengolahan sampah
yang lainnya, maka pada proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat
pembuatan maupun cara pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan
dimanapun. Kompos dapat digunakan untuk tanaman hias, tanaman sayuran,
tanaman buah-buahan maupun tanaman padi disawah. Bahkan hanya dengan
ditaburkan diatas permukaan tanah, maka sifat-sifat tanah tersebut dapat
dipertahankan atau dapatditingkatkan. Apalagi untuk kondisi tanah yang baru
dibuka, biasanya tanah yang baru dibuka maka kesuburan tanah akan menurun.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan atau mempercepat kesuburannya maka
tanah tersebut harus ditambahkan kompos (Sulistyorini, 2005).
Pembuatan Kompos Cara Krantz yaitu dengan menggunakan bahan-bahan
mentah (serasah, sampah organic, dll) ditumpuk sampai setinggi 50 cm atau lebih.
Kemudian diberi pupuk kandang sebagai aktifator, setelah beberapa hari temperature
mencapai 50oC-60oC, temperatur ini bisa mematikan kuman-kuman serta biji-biji
tanaman pengganggu. Tumpukan diinjak-injak sehingga keadaan menjadi anaerob,
selanjutnya ditambahkan bahan-bahan mentah sehingga tumpukan mencapai sekitar 80
cm, demikian seterusnya perlakuan penamabahan dilakukan sampai tumpukan menjadi
tinggi sekitar 1,5 m. kemudian tumpukan harus ditutup dengan lapisan tanah bagian
atasnya, perlakuan demikian untuk mencegah kehilangan N lebih lanjut dan juga
melindungi kompos dari pengaruh teriknya sinar matahari. Setelah 3 bulan biasanya
kompos telah matang dan dapat dipergunakan (Sutejo, 2002).
Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan
mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Mikrobia
tersebut adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya.(Afandie dan Nasih Widya,
2002).Pengomposan merupakan proses penguraian senyawa-senyawa yang
terkandung dalam sisa-sisa bahan organik (seperti jerami, daun-daunan, sampah
rumah tangga, dan sebagainya) dengan suatu perlakuan khusus. Hampir semua
bahan yang pernah hidup, tanaman atau hewan akan membusuk dalam tumpukan
kompos (Outterbridge, 1991).
Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti 1) karbohidrat,
selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air, 2) zat putih telur
amonia, CO2, dan air, 3) peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat
diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut kadar karbohidrat akan hilang atau
turun dan senyawa N yang larut (amonia) meningkat. Dengan demikian C/N
semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Indriani, 2007).
Sutanto (2002) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Kelembapan timbunan bahan kompos, berpengaruh terhadap kehidupan
mikrobia,agar tidak terlalu kering atau basah dan tergenang.
2. Aerasi timbunan, berhubungan erat dengan kelengasan.
3. Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 600C), dan
jugadilakukan pembalikkan untuk menurunkan temperatur.
4. Suasana, dalam pengomposan menghasilkan asam-asam organik sehingga
pH turun, untuk itu diperlukan pembalikkan.
5. Netralisasi keasaman, dapat dilakukan dengan menambah kapur seperti
dolomit atau abu.
Tanah sebagai media pertumbuhan tanaman berada dalam kondisi yang
optimum jika komposisinya terdiri dari : 25% udara, 25% air, 45% mineral dan
5% bahan organik. Atas dasar perbandingan ini, nampak kebutuhan tanah
terhadap bahan organik adalah paling kecil. Namun demikian kehadiran bahan
organik dalam tanah mutlak dibutuhkan karena bahan organik merupakan bahan
penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia maupun
dari segi biologi tanah (Lengkong dan Kawulusan, 2008).
C-organik bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika,
maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organic dilakukan
berdasarkan jumlah c-oraganik. Sumber utama CO2 di alam berasal dari
dekomposisi bahan organik berupa sisa-sisa tanaman ataupun hewan dan dari
respirasi invertebrata, bakteri serta fungi. Keperluan seluruh tanaman yang hidup
diperkirakan sekitar 80 x 109 ton karbon/tahun. Dengan perediaan CO2 dalam
udara sebesar 0,03% volume, maka CO2 tersebut akan habis diserap tanaman
dalam waktu beberapa dekade saja. Berkat adanya daur (siklus) yang
menghasilkan CO2, maka kadar gas tersebut relatif stabil (Konova, 1966).

C-Organik (Bahan organik) merupakan bagian dari tanah yang


merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman
dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami
perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia. C-
Organik juga merupakan bahan organik yang terkandung di dalam maupun pada
permukaan tanah yang berasal dari senyawa karbon di alam, dan semua jenis
senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan
organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air,
dan bahan organik yang stabil atau humus. Standar kandungan C menurut SNI
kompos adalah 9,8-32 %, sehingga kandungan C dari kompos ataupun POG yang
diteliti berada pada level C yang tinggi. Tingginya kandungan nilai C organik
mengindikasikan pula tingginya kandungan bahan organik, yang mengindikasikan
bahan yang tidak diinginkan rendah, atau dengan kata lain kemurnian dari kompos
atau POG yang dihasilkan cukup tinggi(Triesia, 2011).

Bahan organik tanah sangat menentukan interaksi antara komponen


abiotik dan biotik dalam ekosistem tanah. Musthofa (2007) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kandungan bahan organik dalam bentuk C-organik di tanah
harus dipertahankan tidak kurang dari 2 persen, Agar kandungan bahan organik
dalam tanah tidak menurun dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi
maka sewaktu pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus
diberikan setiap tahun.

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik


kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa
humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi
dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada
didalamnya (Nabilussalam, 2011).

Kandungan bahan organik antara lain sangat erat berkaitan dengan KTK
(Kapasitas Tukar Kation) dan dapat meningkatkan KTK tanah. Tanpa pemberian
bahan organik dapat mengakibatkan degradasi kimia, fisik, dan biologi tanah yang
dapat merusak agregat tanah dan menyebabkan terjadinya pemadatan tanah
(Suriawiria, 2003).

B. Keasaman

Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi


aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5 (netral).
Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau
abu dapur untuk menaikkan pH (Indriani, 2007).
Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses dekomposisi
kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan pH netral sampai sedikit
masam, dengan kisaran pH antara 5.5 sampai 8. Selama tahap awal proses
dekomposisi, akan terbentuk asam-asam organik. Kondisi asam ini akan
mendorong pertumbuhan jamur dan akan mendekomposisi lignin dan selulosa
pada bahan kompos. Selama proses pembuatan kompos berlangsung, asam-asam
organik tersebut akan menjadi netral dan kompos menjadi matang biasanya
mencapai pH antara 6 – 8. Jika kondisi anaerobik berkembang selama proses
pembuatan kompos, asam-asam organik akan menumpuk. ( Mengel, K. , and E.
Kirby. 1987).

C. Temperatur

Temperatur atau suhu udara diukur dengan menggunakan alat


termometer. Temperatur dipermukaan bumi berbeda – beda dari satu tempat
ketempat yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. (Rosmarkam
dan Yuwono, 2002).

Pada proses pengomposan dimulai sebagian energi yang dihasilkan akan


meningkatkan suhu. Peningkatan suhu merupakan indicator adanya proses
dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar air dan kerja mikroorganisme. Pada
saat bahan organik dirombak oleh mikroorganisme maka dibebaskanlah sejumlah
energi berupa panas. Pada tahap awal pengomposan mikroorganisme
memperbanyak diri secara cepat dan menaikkan suhu (Dalzell et al., 1987).

Pada pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang


cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperatur kompos dapat mencapai 55-
700C. Kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Pada kisaran temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh tiga
kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 550C. Selain itu, pada
temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan
organik. Penurunan nisbah C/N juga dapat berjalan dengan sempurna (Djuarnani
dkk, 2005).
Suhu yang tinggi selama pengomposan merupakan indikator laju proses
pengomposan dan kegiatan mikroba. Pada suhu diatas 400C mikroorganisme
mesolifik digantikan dengan mikroorganisme termolifik dan pada tahap termolifik
inilah laju dekomposisi yang terjadi sangat tinggi (Gaur, 1980).

D. Identifikasi Pupuk Anorganik


Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk mengubah sifat fisik,
kimia, biologi, tanah sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan
tanaman(Afandie dan Nasih Widya, 2002).

Pupuk anorganik adalah pupuk yang terbuat dengan proses fisika, kimia,
atau biologis. Pada umumnya pupuk anorganik dibuat oleh pabrik. Bahan bahan
dalam pembuatan pupuk anorgank berbeda beda, tergantung kandungan yang
diinginkan. Misalnya unsur hara fosfor terbuat dari batu fosfor, unsure hara
nitrogen terbuat dari urea.Pupuk anorganik sebagian besar bersifat hidroskopis.
Hidroskopis adalah kemampuan menyerap air diudara, sehingga semakin tinggi
higroskopis semakin cepat pupuk mencair (Teti Suryati, 2009).

Pupuk anorganik atau pupuk buatan dapat dibedakan menjadi pupuk


tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal adalah pupuk yang hanya
mengandung satu unsur hara misalnya pupuk N, pupuk P, pupuk K dan
sebagainya. Pupuk majemuk adalah pupuk yang mengandung lebih dari satu
unsur hara misalnya N + P, P + K, N + K, N + P + K dan sebagainya
(Hardjowigeno, 2004).

Jenis unsur hara yang dikandung suatu pupuk tidak dinyatakan sebagai
unsur tunggal tetapi dinyatakan dalam persentase total N ( total amonium dan
nitrat ), P2O5 dan K2O. Jenis pupuk yang sama belum tentu mengandung
analisa yang sama. Contohnya adalah Urea ( 46 % N), SP-36 ( 36 % P2O5), KCl
(60 % K2O)

Kelebihan pupuk anorganik yaitu hasil cepat terlihat pada


tanaman, kandungan unsur hara jelas, mudah pengaplikasian,tidak bau dan
pengangkutan mudah. Sedangkan kekurangan pupuk anorganik mengakibatkan
residu pada tanah,penggunaan tidak bijaksana dapat merusak tanah, Harga
mahal, bersifat higroskopis.

Higroskopis adalah sifat pupuk yang berkaitan dengan potensinya atau


kemampuannya untuk mengikat uap air dari udara bebas. Suatu pupuk dikatakan
sangat bersifat higroskopis adalah bila ditempatkan pada tempat terbuka mudah
sekali mencair. Urea adalah salah satu contoh yang bersifat higroskopis.Sifat
higroskopis ini sangat menentukan daya simpan dan penanganan penyimpanan
pupuk tersebut. Misalnya pupuk yang bersifat higroskopis sebaiknya tidak
disimpan terlalu lama dan harus disimpan dalam wadah yang kedap udara, bila
tidak pupuk akan cepat mencair atau menggumpal dengan cepat( Goenawan.
1999).

Urea termasuk pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air). Pada
kelembaban 73%, pupuk ini sudah mampu menarik uap air dan udara. Oleh
karena itu urea mudah larut dan mudah diserap oleh tanaman. Urea dapat
membuat tanaman hangus, terutama yang memiliki daun yang amat peka.
Untuk itu, semprotkan urea dengan bentuk tetesan yang besar. Berdasarkan
bentuk fisiknya maka urea dibagi menjadi dua jenis, yaitu urea prill dan urea
non prill (Lingga dan Marsono, 2002).

Kelarutan menunjukkanmudahtidaknyapupuklarutdalam air


danmudahtidaknyaunsur yang terdapatdalampupukdiambilolehtanaman.
Umumnyapupuk N dan K mudahsekalilarutdalam air, sedangkanpupuk P
dapatdibedakanmenjadi:

a) Mudahlarutdalam air (superpospat).


b) Larutdalamasamsitratatau ammonium sitrat (FMP – Fused Magnesium
Phosphate).
c) Larutdalamasamkeras (fosfatalam) (Mulyani, 1999).

E. Budidaya Tanaman Kacang Tanah


Kedudukan kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dalam sistematika
tumbuhan adalah sebagai berikut:
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Familia : Fabaceae
Genus : Arachis
Species : Arachis hypogaea L (Adisarwanto, 2007).
Kacang tanah merupakan tanaman herba annual, tegak atau menjalar dan
memiliki rambut yang jarang (Purseglove,1987). Kacang tanah memiliki sistem
perakaran tunggang. Akar-akar ini mempunyai akar-akar cabang. Akar cabang
mempunyai akar-akar yang bersifat sementara, karena meningkatnya umur
tanaman, akar-akar tersebut kemudian mati, sedangkan akar yang masih tetap
bertahan hidup menjadi akar-akar yang permanen. Akar permanen tersebut
akhirnya mempunyai cabang lagi. Kadang-kadang polong pun mempunyai alat
pengisap, yakni rambut akar yang menempel pada kulitnya. Rambut ini berfungsi
sebagai alat pengisap unsur hara (Kanisius, 1989). Pada akar biasanya terdapat
bintil akar (Purseglove,1987)
Derajat keasaman tanah yang sesuai untuk budidaya kacang tanah adalah
pH antara 6,0-6,5 (Prihatman, 2000). Dituntut adanya unsur-unsur hara dalam
jumlah yang cukup dan dapat mendukung pertumbuhan kacang tanah, antara lain
unsur P, Ca, dan K. Kebutuhan tanaman kacang tanah akan unsur N dapat disuplai
sendiri melalui bintil-bintil akar tanaman itu sendiri yang mampu mengikat unsur
N (Kanisius, 1989). Nitrogen sangat dibutuhkan kacang tanah karena digunakan
untuk menyusun asam nukleat, protein, dan hormon (Campbell dkk., 2003).
Fosfor dibutuhkan kacang tanah karena digunakan untuk menyusun
banyak gula fosfat dan karena fosfat berperan penting dalam metabolisme energi.
Tanaman yang kekurangan fosfor menunjukkan gejala tanaman berwarna hijau
tua dan sering muncul warna merah dan ungu.Kacang tanah membutuhkan kalium
karena kalium berperan penting dalam pembentukan polong dan pengisian biji
kacang tanah. Tanaman yang kekurangan kalium akan menunjukkan gejala
munculnya bercak jaringan mati pada daun (Salisbury dan Roos, 1995). Kalsium
dibutuhkan oleh kacang tanah karena berperan penting dalam pembentukan
stabilitas dinding sel dan respon sel terhadap rangsangan (Campbell dkk., 2003).
13

III. MEMBUAT PROBIOTIK

A. Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum pembuatan probiotik dilaksanakan pada hari rabu, 14 Maret
2018, pukul 14.00-16.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu
Tanah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk membuat probiotik
untuk membantu proses pengomposan.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat :
1) Ember plastik
2) Autoklaf
3) Gelas ukur 1 liter
4) Gelas ukur 100 ml
5) Timbangan Analitik
b. Bahan :
1) Urin sapi
2) Bekatul
3) Terasi
4) Gula jawa
5) Air
2. Cara Kerja
a. Menyiapkan bahan untuk satu paket probiotik, yaitu bekatul 750 gram,
terasi 125 gram, dan gula jawa 500 gram.
b. Mensterilisasi bekatul dan terasi menggunakan autoklaf dengan tekanan
1 atm selama 15-20 menit.
c. Mengeluarkan hasil sterilisasi, kemudian mendinginkan.
d. Menyiapkan urin sapi sebanyak 500 ml.

1
e. Setelah hasil sterilisasi dingin, kemudian memasukkan hasil sterilisasi
tersebut ( bekatul dan terasi ) kedalam ember plastik.
f. Menambahkan 500 ml urin sapi dan 1 liter air sambil diaduk sampai
merata.
g. Membiarkan campuran tersebut selama 3 hari dan melakukan
pengadukan setiap harinya.
h. Setelah 3 hari probiotik siap digunakan.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil

Gambar 1. Campuran semua bahan pembuatan probiotik

Gambar 2. Probiotik siap digunakan


2. Pembahasan
Pada praktikum acara pembuatan probiotik kali ini digunakan dua
macam bahan utama, yaitu berupa urine sapi digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan probiotik. Dan juga bahan pendukung lainnya seperti bekatul,
terasi, dan juga gulajawa yang berfungsi sebagai tempat tumbuh dari
bakteri/sumber makanan bakteri.

Pembuatan probiotik ini dilakukan selama 3 hari dimana selama 3 hari


tersebut probiotik mengalami fermentasi yaitu suatu reaksi oksidasi reduksi di
dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan
aseptor elektron digunakan senyawa organik.Selama fermentasi setiap hari
dilakukan pengadukan agar bahan dan organisme tercampur rata dan proses
pembuatan probiotik dapat berhasil.

Dari hasil pembuatan probiotik didapatkan cairan probiotik yang


disaring 600 - 800ml. Dengan kenampakan cairan keruh kekuningan dan
sedikit endapan berwarna putih keruh, dengan bau tidak enak. Dari hasil
praktek pembuatan probiotik ini diharapkan tumbuh baktreri-bakteri
bermanfaat bagi tanaman dan bakteri pengurai kompos karena probiotik ini
akan digunakan untuk bahan tambahan untuk pembuatan pupuk kompos.
Sayangnya hasil daripada pembuatan probiotik ini tidak dilakukan uji
lanjutan seperti penghitungan jumlah mikroorganisme yang ada. Namun
probiotik ini dapat langsung digunakan untuk pembuatan pupuk kompos.

E. Kesimpulan
Hasil pembuatan probiotik selama 3 hari yang disaring adalah
sebesar 600-800 ml, dengan keanmpakan cairan keruh kekuningan dan
sedikit endapan berwarna putuh dengan bau tidak sedap yang merupakan
hasil dari fermentasi selama 3 hari.
IV. PENGOMPOSAN
A. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum pengomposan dilaksanakan pada hari rabu, 21 Maret-23
April 2018, pukul 14.00-16.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium
Ilmu Tanah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk membuat kompos
dari bahan organik.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat:
1) Ember Plastik
2) Gelas ukur 1 liter
3) Gelas ukur 100 ml
4) Timbangan analitik
b. Bahan :
1) Probiotik (pupuk kandang)
2) Sampah Organik
3) Abu Dapur
2. Cara Kerja
a. Mengambil sampah organik sebanyak 5 kg yang telah dipisahkan dari
bahan-bahan anorganik.
b. Memotong-motong sampah organik dengan ukuran kurang lebih 5 cm.
c. Mencampur secara merata potongan sampah dengan probiotik ( 0,5ml
EM-4).
d. Sambil mengaduk-aduk, menambahkan air sampai dicapai kelembaban
kurang lebih 30% (jika dikepal tidak keluar air, tetapi jika kepalan dibuka
akan berurai lagi).
e. Memasukkan kedalam ember dan membagi menjadi 3 lapis.
f. Menaburi masing-masing lapisan dengan abu dapur ( total yang
diperelukan 0,5 kg) kemudian menutup ember.
g. Melakukan pengukuran pH dan Suhu pengomposan setiap hari sampai
menjadi kompos (C/N ≤ 20).

D. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil

Gambar 3. Kompos organik


2. Pembahasan
Pengolahan sampah organik salah satu nya adalah dengan
menjadikannya kompos. Pada praktikum Pembuatan Kompos yang
dilakukan adalah dengan mengunakan cara Krantz, yaitu dengan
menggunakan bahan-bahan mentah (serasah, sampah organic, dll) ditumpuk
sampai setinggi 50 cm atau lebih. Kemudian diberi pupuk kandang sebagai
aktifator, setelah beberapa hari temperature mencapai 50oC-60oC.
Pada praktikum acara pengomposan menggunakan sisa – sisa
tanaman seperti dedaunan kering, kemudia dipotong kira – kira berukuran 5
cm supaya pada saat pengomposan bahan tersebut mudah terurai dan cepat
menjadi pupuk kompos. Pengecilan ukuran bahan akan mendukung
percepatan perombakan bahan organik. Semakin kecil ukuran potongan
bahan mentahnya, semakin cepat pula waktu pembusukannya. Penghalusan
bahan akan meningkatkan luas permukaan spesifik bahan kompos sehingga
memudahkan mikroba dekomposer untuk menyerang dan menghancurkan
bahan-bahan tersebut. Penghalusan bahan yang terlalu kecil akan membuat
timbunan menjadi mampat dan menyebabkan udara menjadi sedikit.
Ukuran bahan sekitar 2-10 cm sesuai untuk pengomposan di tinjau dari
aspek sirkulasi udara yang mungkin terjadi. Dan untuk menetralkan pH dari
kompos tersebut pada setiap lapisan tumpukan kompos ditambahkan abu
sekam supaya saat kompos tersebut telah jadi PH kompos tersebut berada
dalam keadaan netral.
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua
tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal
proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan
meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan
pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o 70o C. Suhu akan tetap
tinggi selama waktu tertentu. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan
menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap
air dan panas.
Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan
berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan
kompos tingkat lanjut (fase kematangan/ripertess), yaitu pembentukan
komplek liat humus. Pada proses ini kompos akan berubah menjadi gelap,
wangi, remah, mudah hancur, dan penyusutan volume maupun biomassa
bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal
bahan.
Pengomposan secara aerob membutuhkan udara, sehingga perlu
dilakukan pembalikan (turning) pada kompos agar tercipta pergerakan
udara. Temperatur akan naik pada tahap awal pengomposan, namun
temperatur tersebut akan berangsur – angsur turun mencapai suhu kamar
pada tahap akhir. Keasaman kompos akan meningkat, karena bahan yang
dirombak menghasilkan asam – asam. Dalam proses pengomposan, harus
dilakukan pengontrolan terhadap kelembaban, aerasi (tata udara),
temperatur, dan derajat keasaman (pH) (Djuarnani dkk, 2005).

E. Kesimpulan
Kesimpulan pada praktikum ini antara lain sebagai berikut :
1. Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan
mikrobia agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik.
Mikrobia tersebut adalah bakteri, fungi, dan jasad renik lainnya.
2. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu
tahap aktif dan tahap pematangan.
3. Pada tahap aktif, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi
akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos
akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan
peningkatan pH kompos.
4. Pada tahap pematangan, kompos akan berubah menjadi gelap, wangi,
remah, mudah hancur, dan penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Serta terjadi penurunan pada suhu dan PH kompos.
V. TEMPERATUR DAN KEASAMAN

A. Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum Temperatur/suhu dan keasaman/pH dilaksanakan pada hari
rabu, 28 Maret-23 April 2018, pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan
di Laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk
mengamatitemperatur/suhu dan keasaman dalam proses pengomposan.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat :
1) Thermometer
2) Pengukur keasaman (pH meter)
3) Gelas ukur 100 ml
4) Beaker glas
5) Timbangan analitik
b. Bahan :
1) Sampah organik
2) Air suling
2. Cara Kerja
a. Temperatur/Suhu
1) Menyiapkan alat pengukur temperatur/suhu ( thermometer).
2) Memasukkan (menancapkan) thermometer ke bagian kanan, tengah-
tengah dan kiri pengomposan (± 15 cm dari permukaan).
3) Setelah 5 menit, mengambil thermometer dan mencatat
temperaturnya.
4) Membuat rata-rata dari tiga hasil pengukuran.
b. Keasaman/pH
1) Mengambil contoh kompos 10 gram. Memasukkan kedalam beker
glas 50 ml.
2) Menambahkan air suling sebanyak 25 ml kedalam beker glas.
3) Mengaduk air dan kompos dalam beker glas sampai kompos menjadi
larut.
4) Larutan dibiarkan mengendap selama kurang lebih 30 menit.
5) Setelah mengendap, melakukan pengukuran pH menggunakan pH
meter (kertas lakmus).
6) Menyambungkan elektroda pada meterannya.
7) Mencelupkan elektroda pada larutan penyangga pH 7 dan menekan
tombol pada tanda “ON” menyesuaikan dengan keadaan tombol
“TEMP” pada angka temperatur larutan penyangga pH 7, dan
mengatur tombol “CALIB” hingga terbaca pada angka 7,00 pada
layar pH meter.
8) Mencuci elektroda pada pancaran air suling dibagian bawahnya
sampai bersih.
9) Mencelupkan elektroda pada larutan penyangga pH 4 dan menekan
tombol pada tanda “ON” menyesuaikan dengan keadaan tombol
“TEMP” pada angka temperatur larutan penyangga pH 4 dan
mengatur tombol “ SLOPE” hingga terbaca angka 4,00 pada layar
pH meter.
10) Mencuci elektroda dengan pancaran air suling sampai bersih.
11) Dengan mengikuti langkah f-j, maka pH yang diteliti siap diamati.
12) Mencelupkan elektroda pada larutan kompos, kemudian mengamati
dan mencatat angka pada monitor menunjukkan pada pH berapa.
13) Mengulang pengukuran sebanyak tiga kali, dan merata-rata hasilnya.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil
a. Keasaman/PH Pengomposan
Grafik 1. Rerata Pengamatan Keasaman/PH Pengomposan

Pengamatan Keasaman
8.8 8.65
8.6 8.43
8.4 8.3
8.16
8.2
8
PH

7.75
7.8
7.6 7.43
7.4 7.28 7.26
7.2
7
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minggu Pengamatan

b. Temperatur/Suhu
Grafik 2. Rerata Temperatur/Suhu Tiap Minggu

Pengamatan Temperatu/Suhu 0C
40 37.16
32.83 33.33
35 31.13
29.15 29.33
30 28 27.16

25
SUHU 0C

20

15

10

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Minggu Pengamatan
2. Pembahasan
a. Keasaman/PH Pengomposan
Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses
dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan pH
netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5.5 sampai 8.
Dimana pada pengamatan ini dilakukan pengambilan sampel setiap
harinya untuk diamati. Adapun alat yang digunakan adalah PH meter
namun pada beberapa pengamatan menggunakan kertas lakmus.
Dari hasil praktikum menunjukan pada minggu pertama PH
kompos 7,43 kemdian mengalami penuruana pada minggu ke-2 yaitu
pada PH 7,2 namun minggu ke-3 mengalami kenaikan hingga pada
minggu ke-6 dimana pada minggu 6 tersebut menunjukan kenaikan
tertinggi yaitu pada PH 8,65. hal ini dikarenakan kurang ratanya sampel
dalam pengambilan sampel ataupun berat sampel yang sedikit berbeda,
dan juga banyaknya abu yang ikut terbawa saat pengecekan kadar pH,
semakin banyak abu yang terbawa semakin tinggi kadar pH yang
diamati, alat ukur yang digunakan ada 2 macam, sehingga nilai PH
yang keluar berbeda dan pada saat pengadukan sampel tidak merata saat
akan dicek pHnya menggunakan pH meter, sehingga dapat
mengakibatkan pH berubah – ubah.
Namun kemudian pada minggu ke-7 dan 8 terjadi
penurunanan PH secara berangsur yaitu pada minggu ke- 7 pada PH 8,3
dan pada minggu ke-8/terakhir pengamatan pada PH 7,26 dimana nilai
tersebut masih pada ph optimum menurut SNI. Menurut standart
kualitas SNI, pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar
antara 6.5 sampai 7.5. pH. Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri.
Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal,
akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi
amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan
meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang
sudah matang biasanya mendekati netral.
Adapun faktor lainnya derajat keasaman perlu dikontrol
selama proses pengomposan berlangsung. Jika derajat keasaman terlalu
tinggi atau terlalu basa konsumsi oksigen akan semakin naik dan akan
memberikan hasil yang buruk bagilingkungan. Derajat keasaman yang
terlalu tinggi juga akan menyebabkan unsure nitrogen dalam bahan
kompos berubah menjadi ammonia (NH3) sebaliknya dalam keadaan
asam (derajat keasaman rendah) akan menyebabkan sebagian
mikroorganisme mati. Derajat keasaman yang terlalu tinggi dapat
diturunkan dengan menambahkan kotoran hewan, urea, atau pupuk
nitrogen. Jika derajat keasaman terlalu rendah bisa ditingkatkan dengan
menambahkan kapur dan abu dapur kedalam bahan kompos.
b. Temperatur/ Suhu
Pola perubahan temperatur dan tumpukan sampah bervariasi
sesuai dengan tipe dan jenis mikroorganisme. Pada proses
pengomposan dimulai sebagian energi yang dihasilkan akan
meningkatkan suhu. Peningkatan suhu merupakan indikator adanya
proses dekomposisi sebagai akibat hubungan kadar air dan kerja
mikroorganisme. Pada saat bahan organik dirombak oleh
mikroorganisme maka dibebaskanlah sejumlah energi berupa panas.
Pada tahap awal pengomposan miroorganisme memperbanyak diri
secara cepat dan menaikkan suhu.

Dari hasil grafik pengukuran, grafik menunjukan pada minggu


pertama sampai minggu ke-5 mengalami kenaikan suhu dengan niliai
suhu terbesar yaitu 37,16 0C, yang kemudian pada minggu berikutnya
sampai minggu terakir pengamatan suhu mengalami penurunan yang
signifikan yaitu sebesar 27,16 0C pada pengamatan minggu terakhir,
dimana temperatur ini sama dengan temperatur tanah dan telah sesuai
dengan persyaratan kompos matang. Hal ini menunjukan bahwa
pengukuran temperatur kompos mengalami tiga tahap proses
pengomposan. Pada tahap pertama yaitu tahap penghangatan (tahap
mesofilik), mikroorganisme hadir dalam bahan kompos secara cepat
dan temperatur meningkat. Mikroorganisme mesofilik hidup pada
temperatur 10-45 0C dan bertugas memperkecil ukuran partikel bahan
organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat
proses pengomposan.

Pada tahap kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme


termofilik hadir dalam tumpukan bahan kompos. mikkroorganisme
termofilik hidup pada tempratur 45-60 0C dan bertugas mengkonsumsi
karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi
dengan cepat. Mikroorganisme ini berupa Actinomycetes dan jamur
termofilik. Sebagian dari Actinomycetes mampu merombak selulosa
dan hemiselulosa. Kemudian proses dekomposisi mulai melambat dan
temperatur puncak dicapai. Setelah temperatur puncak terlewati,
tumpukan mencapai kestabilan, dimana bahan lebih mudah
terdekomposisikan.

Tahap ketiga yaitu tahap pendinginan dan pematangan. Pada


tahap ini, jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena bahan
makanan bagi mikroorganisme ini juga berkurang, hal ini
mengakibatkan organisme mesofilik mulai beraktivitas kembali.
Organisme mesofilik tersebut akan merombak selulosa dan
hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya menjadi gula yang
lebih sederhana, tetapi kemampuanya tidak sebaik organisme
termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun jumlahnya dan
panas yang dilepaskan relatif kecil.

Temperatur puncak kompos tidak mencapai temperatur dimana


mikroorganisme termofilik tumbuh dan berkembang, karena kondisi
tumpukan yang berada pada skala laboratorium sehingga tumpukan
tidak dapat mengisolasi panas dengan cukup. Hal ini mengakibatkan
sululosa yang ada dalam limbah organic tertentu tidak dapat
terdekomposisi, sehingga kompos yang dihasilkan menjadi sedikit.
Semakin tinggi volume tumpukan, semakin besar isolasi panas dan
semakin mudah tumpukan menjadi panas, sehingga akan dicapai suhu
dimanabakteri termofilik dapat tumbuh.

E. Kesimpulan
1. Pengamatan pH kompos berfungsi sebagai indikator proses
dekomposisi kompos. Mikroba kompos akan bekerja pada keadaan
pH netral sampai sedikit masam, dengan kisaran pH antara 5.5
sampai 8.
2. Pengukuran temperatur kompos mengalami tiga tahap proses
pengomposan, yaitu tahap penghangatan/mesfilik, tahap termofilik,
dan tahap pendinginan/pematangan.
VI. KADAR C-ORGANIK

A. Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum Kadar C-Organik dilaksanakan pada hari rabu, 23 Mei 2018,
pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengamati kadar C-
Organik kompos pada proses pengomposan.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat :
1) Labu takar 50 ml
2) Pipet ukur 10 ml dan 5 ml
3) Gelas ukur 10 ml
4) Labu erlenmeyer 250 ml
5) Buret
6) Timbangan analitik
7) Botol pemancar
b. Bahan :
1) K2Cr2O7 1N
2) H2SO4 Pekat
3) H3PO4 85%
4) Indikator Diphenylamine

2. Cara Kerja
a. Menimbang bahan kompos kering 0,1 g dan memasukkannya kedalam
labu takar .
b. Menambahkan K2Cr2O7 1 N sebanyak 10 ml dengan pipet ukur.
c. Menambahkan H2SO4 pekat 10 ml dengan gelas ukur, dan
menggocoknya dengan gerakan memutar.
d. Warna harus tetap merah jingga, apabila warna menjadi hijau atau biru
menambahkan lagi K2Cr2O7 1 N dan H2SO4 pekat ( jumlah penambahan
dicatat), Mendiamkannya lebih kurang 30 menit sampai larutan dingin.
e. Menambahkan 5 ml H3PO4 85 % dan 1 ml Indikator Diphenylamin.
f. Menambahkan air suling sampai volume 50 ml.
g. Mengocok dengan membolak balikkan sampai homogen dan mengendap.
h. Mengambil dengan pipet ukur 5 ml larutan jernih, kemudian dimasukkan
ke dalam labu erlenmeyer dan menambahkan air suling 15 ml.
i. Larutan dititrasi dengan FeSO4 1 N , sehingga warna menjadi kehijau-
hijauan.
j. Mengulangi langkah a-i tanpa sempel untuk keperluan blangko.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil
a. Kadar C-organik
Dari praktikum dan pengamatan pada acara Kadar C-organik yang
telahdilakukan dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
Rumus C-organik :
(𝐵−𝐴)𝑥𝑁𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠𝐹𝑒𝑆𝑂₄𝑥3 100
𝐶= 100 𝑥 10 𝑥 𝑥 100 %
𝑥𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ (𝑚𝑔) 77
100+𝑘𝑎

Tabel 1. Hasil kadar C-organik


Perlakuan Ulangan Total P Rerata
U1 U2
Urin Sapi 6,70 10,67 17,37 8,68
EM4 20,76 19,47 40,17 20,08
Pupuk Kandang 14,27 15,57 29,84 14,92
Stardek 23,22 32,25 55,47 27,73

Tabel 2. Purata hasil Kadar C – Organik pada perlakuan macam


probiotik
Perlakuan C – Organik
Urine 8,69 a
EM – 4 20,12 a
P.Kandang 14,92 a
Stardek 27,74 a
Keterangan : angka rerata pada baris dan kolom yang samadan
diikuti huruf yang sama pula tidak menunjukkan perbedaan pada uji F
dengan taraf 5%.
b. Bahan Organik
BO 1 = C-Organik x 100%
58
14,278 x 100%
=
58
= 24,61%
C−Organik x 100%
BO 2 =
58
15,576 𝑥 100%
=
58
= 26, 85%
2. Pembahasan
C-Organik (Bahan organik) merupakan bagian dari tanah yang
merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa
tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus
mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika,
dan kimia. Pada praktikum ini perlakuan yang diunakan adalah EM-4,
Stardek, Urin sapi, dan Pupuk kandang.

Dari hasil mengamatan Kadar C-organik diperoleh purata yaitu,


urin sapi sebesar 8,69%, EM-4 sebesar 20,12%, pupuk kandang 14,92% dan
Stardek sebesar 27,74% yang dimana menunjukan bahwa kadar EM-
4,Pupuk kandang, dan Stardek bisa digunakan kecuali pada kadar c-organik
perlakuan urin sapi, dimana standar kandungan C menurut SNI kompos
adalah 9,8-32 %, sehingga kandungan C dari kompos ataupun POG yang
diteliti berada pada level C yang tinggi. Tingginya kandungan nilai C
organik mengindikasikan pula tingginya kandungan bahan organik, yang
mengindikasikan bahan yang tidak diinginkan rendah, atau dengan kata lain
kemurnian dari kompos atau POG yang dihasilkan cukup tinggi.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan macam probiotik terhadap
kadar C-Organik kompos maka dilakukan penukaran data dengan semua
kelompok sehingga didapatkan data seperti yang terlihat pada tabel 2.
Setelah dilakukan uji lanjut BNT dengan taraf 5% pada perlakuan macam
probiotik diperoleh hasil yang tidak menunjukkan perbedaan perlakuan pada
uji F dengan taraf 5%. Artinya baik urin sapi, pupuk kandang dan EM4
mampu menghasilkan kompos dengan kadar C/N rasio yang rendah.

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik


kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik
berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil
mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang
terlibat dan berada didalamnya (Nabilussalam, 2011). kandungan bahan
organik dalam bentuk C-organik di tanah harus dipertahankan tidak kurang
dari 2 persen, Agar kandungan bahan organik dalam tanah tidak menurun
dengan waktu akibat proses dekomposisi mineralisasi maka sewaktu
pengolahan tanah penambahan bahan organik mutlak harus diberikan setiap
tahun(musthofa,2007).
E. Kesimpulan
1. Dari hasil praktikum diperoleh kadar C- Organik pada penggunaan
starter EM-4 lebih tinggi daripada starter yang lainnya dan paling
rendah pada starter urin sapi.
2. Uji lanjut BNT dengan taraf 5% pada perlakuan macam probiotik
diperoleh hasil yang tidak menunjukkan perbedaan perlakuan pada uji F
dengantaraf5%.
VII. KADAR AIR

A. Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum pengomposan dilaksanakan pada hari rabu, 16 Mei 2018,
pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengamati kadar air
kompos.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat :
1) Botol Timbang
2) Oven
3) Timbangan analitik
4) Penjepit
5) Desikator
b. Bahan :
1) Kompos
2. Cara Kerja
a. Mengambil 10 gram kompos.
b. Memasukkan kedalam botol timbang dengan 2 kali pengulangan.
c. Mengoven kompos sampai konstan, kurang lebih 24 jam.
d. Setelah konstan, mengambil botol timbang yang berisi kompos dan
memasukkan kedalam desikator selama 3-5 menit.
e. Menimbang kompos yang telah di oven.
f. Menghitung kadar air kompos.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Tabel 3. Kadar air pengomposan
Perlakuan Kadar air kompos
starter Bobot Bobot Bobot botol + isi Hasil
probiotik botol botol setelah di oven
kosong kosong +
isi
KA 1 34 gr 30,04 gr 36 gr 5%
KA 2 30,04 37 gr 32,5 gr 6,64%

2. Pembahasan
Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Hal
tersebut terjadi apabila kandungan air terlalu rendah atau tinggi akan
mengurangi efisiensi proses pengomposan (Luo dan Chen. 2007). Kadar air
yang optimal adalah 45% - 55% (Hoitink, 2008). Apabila kadar air melebihi
60% maka volume udara berkurang, bau akan dihasilkan (karena kondisi
anaerobik), dan dekomposisi diperlambat. Salah satu permasalahan kadar air
kompos adalah berkurangnya kadar air tumpukan kompos selama proses
pengomposan, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan air dan
pengadukan (Suehara et al., 1999).
Dengan kadar air yang tinggi menyebabkan volume udara
berkurang, sehingga menyebabkan suhu rendah mikroorganisme tidak dapat
berkembang dengan baik, menghasilkan kompos yang bau, dan proses
pengomposan berjalan sangat lambat sehingga kompos yang dihasilkan
kurang baik.
Pengukuran kadar air dilakukan setiap hari agar kadar air tetap
terjaga. Apabila kadar air kurang dari yang ditentukan dilakukan
penambahan air, sedangkan apabila kadar air melebihi dari yang ditentukan
maka dilakukan pembalikan agar udara masuk ke dalam tumpukan dan
mengeringkan bahan.
E. Kesimpulan
Kadar air menjadi kunci penting pada proses pengomposan. Hal tersebut terjadi
apabila kandungan air terlalu rendah atau tinggi akan mengurangi efisiensi proses
pengomposan.kadar air yang tinggi menyebabkan volume udara berkurang,
sehingga menyebabkan suhu rendah mikroorganisme tidak dapat berkembang
dengan baik, menghasilkan kompos yang bau, dan proses pengomposan berjalan
sangat lambat sehingga kompos yang dihasilkan kurang baik.
VIII. HIGROSKOPISITAS

A. Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum Higroskopisitas dilaksanakan pada hari rabu, 4 April 2018,
pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengamati kemampuan
pupuk dalam menyerap air pada kondisi suhu kamar.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat :
1) Timbangan analitik
2) Sendok
3) Bak plastik
b. Bahan :
1) Pupuk anorganik
2) Kantong plastik
3) Alat tulis
2. Cara Kerja
a. Menimbang sampel pupuk sebanyak 10 gram.
b. Menimbang kantong plastic tempat pupuk.
c. Memasukan pupuk dalam plastik dalam keadaaan terbuka.
d. Meletakkan kantong plastik berisi pupuk ditempat yang aman dan
dibiarkan tetap terbuka.
e. Melakukan pengamatan setiap satu minggu sekali dengan cara
menimbang pupuk bersama kantong plastiknya.
f. Melakukan pengamatan selama 4 minggu (satu bulan).
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Grafik 3. Rerata Higroskopisitas Minggu ke-1
Rerata Higroskopisitas Minggu ke-1
10.8
10.73
10.7
10.6
10.6
10.53 10.53
10.5

10.4 10.36

10.3

10.2

10.1
Urea KCL NPK SP-36 ZA

Grafik 4. Rerata Higroskopisitas Minggu ke-2

Rerata Higroskopisitas Minggu ke-2


11.4
11.2
11.2
11
11

10.76
10.8
10.6
10.6 10.53

10.4

10.2

10
Urea KCL NPK SP-36 ZA
Grafik 5. Rerata Higroskopisitas Minggu ke-3

Rerata Higroskopisitas Minggu ke-3


11.4 11.3
11.16
11.2

11
10.86
10.8
10.66
10.56
10.6

10.4

10.2

10
Urea KCL NPK SP-36 ZA

Grafik 6. Rerata Higroskopisitas Minggu ke-4

Rerata Higroskopisitas (gram) Minggu ke-4


11.8
11.58
11.6

11.4
11.2
11.2

11 10.9

10.8 10.73
10.63
10.6

10.4

10.2

10
Urea KCL NPK SP-36 ZA
Grafik 7. Higroskopisitas (gram) Berbagai Macam Pupuk Anorganik

11.8
11.58
11.6
11.3
Higroskopisitas (gram)

11.4
11.2 11.16 11.2
11.2
11 Urea
11 10.86 10.9
KCL
10.73 10.76 10.73
10.8 10.66 NPK
10.6 10.6 10.63
10.53 10.53 10.56
10.6 SP-36
10.36 ZA
10.4

10.2
0 1 2 3 4 5
Minggu Pengamatan

2. Pembahasan
Higroskopisitas ini memang secara langsung tidak mempengaruhi
nilai pupuk sebagai penambah kesuburan tanah, tetapi mempengaruhi cara
penyimpanan dan cara pemakaiannya. Pupuk yang higroskopis harus
disimpan ditempat-tempat yang benar-benar kering, sebab kalau sudah
menarik air akan memerlukan cara-cara istimewa untuk
mempergunakannya.

Dalam praktikum ini perlakuan yang digunakanyaitu barbagai


macam jenis pupuk yang sering digunakan oleh petani seperti ZA, UREA,
TSP, KCL, dan NPK. Masing-masing pupuk tersebut memiliki tingkat
higrospisitas yang berbeda seperti dapat dilihat pada grafik pengamatan.
dimana pupuk UREA persentase rata-rata higroskopisitasnya paling tinggi
yaitu 11,58 gram. Hal ini dikarenakan Urea termasuk pupuk yang
higroskopis (mudah menarik uap air). Pada kelembaban 73%, pupuk ini
sudah mampu menarik uap air dan udara. Oleh karena itu urea mudah larut
dan mudah diserap oleh tanaman(Lingga dan Marsono, 2002).
Kemudian untuk persentase ke dua yaitu pupuk ZA dengan nilai
sbesar 11,2gram dan diikui pupuk KCL sebesar10,9 gram, SP-36 sebesar
10,73gram dan yang terakhir NPK sebesar 10,63 gram. Tinggi rendahnya
persentase higroskopisitas dapat dipengaruhi oleh beberapa factor misalnya
saja bentuk dari pupuk tersebut misalnya butiran halus lebih besar tingkat
higroskopisitasnya dibanding dengan pupuk yang berbentuk butiran kasar,
kandungan dalam pupuk tersebut, keadaan lingkungan misalnya
suhu/temperature, kelembababn udara dan lain-lain.

E. Kesimpulan
1. Higroskopis adalah sifat pupuk yang berkaitan dengan potensinya atau
kemampuannya untuk mengikat uap air dari udara bebas.
2. Pupuk UREA memiliki persentase nilai higroskopisitas yang paling
tinggi yaitu 11,58 gram.
3. Tinggi rendahnya persentase higroskopisitas dapat dipengaruhi oleh
beberapa factor, yaitu halus kasarnya butiran pupuk dan faktor
lingkungan misalnya suhu/temperature, kelembababn udara dan lain-lain.
IX. TINGKAT KELARUTAN

A. Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum tingkat kelarutan dilaksanakan pada hari rabu, 4 April 2018,
pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah,
Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengamati kemampuan
pupuk untuk larut dalam air.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Alat :
1) Timbangan analitik
2) Sendok
3) Bak plastik
4) Kertas saring
5) Beaker glas
b. Bahan :
1) Pupuk anorganik
2) Gelas ukur
3) Alat tulis
4) Air
2. Cara Kerja
a. Menimbang sampel pupuk sebanyak 10 gram.
b. Memasukkan pupuk kedalam gelas ukur.
c. Menambahkan air ke dalam gelas ukur dengan volume 2 kali lipat
volume pupuk.
d. Setelah satu jam, menyaring larutan pupuk dengan kertas saring.
e. Mengangin-anginkan kertas saring dan endapan pupuk.
f. Setelah kering, menimbang pupuk dan kertas saring tersebut.
g. Membersihkan endapan pupuk dan menimbang kertas saring.
h. Dari hasil penimbangan kita bisa mengetahui berapa endapan yang
diperoleh.
i. Menghitung persentase kelarutan.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Hasil
Grafik 8. Tingkat Kelarutan

Pengamatan Tingkat Kelarutan (%)


100 92 94
90
80
70
60
50
40
30 25

20
10 9
10
0
NPK P-36 ZA KCL Urea

2. Pembahasan
Tingkat kelarutan pupuk sangat menentukan mudah tidaknya
unsur-unsur yang terkandung diambil oleh tanaman. Dengan pasti dapat
dikatakan bahwa pupuk pupuk yang sukar larut sukar pula dihisap unsur-
unsurnya oleh tanaman.
Pada praktikum ini pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK, SP-36, ZA,
KCL dan UREA. Dari hasil pengamatan tingkat kelarutan diperoleh hasil rata-
rata persentase kelarutannya yaitu pupuk NPK diperoleh rata-rata sebesar
10%, pupuk SP-36 sebesar 25%, pupuk ZA sebesar 92%, pupuk KCL sebesar
9% dan kemusian pupuk UREAsebesar 94%. Sehingga diperoleh rata-rata
persentase tingkat kelarutan paling tinggi adalah UREA, dan persentase yang
paling tinggi adalah KCL. Pupuk Urea adalah pupuk kimia mengandung
Nitrogen (N) berkadar tinggi.Pupuk urea dengan rumus kimia NH2 CONH2
merupakan pupukyang mudah larut dalam air dan sifatnya sangat mudah
menghisap air (higroskopis), karena itu sebaiknya disimpan di tempat yang
kering dan tertutup rapat. Pupuk urea mengandung unsur hara N sebesar 46%
dengan pengertian setiap 100kg mengandung 46 Kg Nitrogen, Moisture 0,5%,
Kadar Biuret 1%, ukuran 1-3,35MM 90% Min serta berbentuk Prill(Mulyani,
1999).
Tinggi rendahnya persen kelarutan dipengaruhi oleh beberapa
faktor dari bentuk fisik misalnya bentuk butiran lebih lembut maka tingkat
kelarutan pada pupuk tersebut akan lebih cepat terlarut dibandingkan
dengan yang memiliki bentuk butiran yang lebih kasar (besar).misalnya saja
pada pupuk urea memiliki bentuk fisik lebih halus dibanding ZA.
E. Kesimpulan
1. Tingkat kelarutan pupuk sangat menentukan mudah tidaknya unsur-
unsur yang terkandung diambil oleh tanaman.
2. Pupuk UREA memiliki presentase kelarutan rata-rata sebesar 94%.
3. Tinggi rendahnya persen kelarutan dipengaruhi olehfaktor dari bentuk
fisik pupuk itu sendiri.
X. BUDIDAYA TANAMAN KACANG TANAH
A. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum budidaya tanaman kacang tanah dilaksanakan pada hari
rabu, 11 April 2018, pukul 14.00-17.00 WIB. Praktikum dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Tanah, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mempelajari pengaruh
pemberian berbagai macam pupuk anorganik terhadap pertumbuhan tanaman
kacang tanah.
C. Metode Praktikum
1. Bahan dan Alat Praktikum
a. Bahan
1) Media tanam
2) Benih kacang tanah
3) Polybag
4) Pupuk Urea, SP-36, KCL, ZA dan NPK.
b. Alat
1) Cangkul
2) Ember
2. Cara Kerja
1) Menyiapkan media tanam dan 8 buah polybag.
2) Memasukkan media tanam kedalam polybag.
3) Memasukkan benih kacang tanah kedalam media tanam.
4) Memasukkan pupuk kedalam media tanam untuk memupuk tanaman
kacang tanah. Masing-masing pupuk 2 kali percobaan.
5) Setelah 2 minggu setelah tanam sampai 4 minggu setelah tanam ,
melakukan pengukuran tinggi tanaman.
6) Setelah selesai pengamatan, dari 2 sampel yang diberi 1 perlakuan pupuk
yang sama diambil satu tanaman untuk ditimbang bobot segar dan bobot
kering tanaman.
7) Satu sampel yang tersisa dibiarkan tetap tumbuh sampai muncul
polongnya. Setelah muncul polong, kemudian memanen tanaman kacang
tanah untuk diambil polongnya.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Tabel 4. Tinggi tanaman dan jumlah daun kacang tanah umur 2 sampai 4 HST
Tinggi Tanaman Jumlah Daun
Perlakuan
2 HST 3 HST 4 HST 2 HST 3 HST 4 HST
Urea 5,38 a 8,63 a 12,38 a 6,25 a 9,75 a 12,75 a
KCL 9,38 ab 15,75 a 19,00 a 5,75 a 7,50 a 10,75 a
SP – 36 10,25 b 17,5 a 20,38 a 5,75 a 8,50 a 12,00 a
P.Kandang 12,50 b 19,88 a 25,38 a 7,75 a 12,25 a 17,50 a
Keterangan : Nilai Purata pada baris dan kolom yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut uji F taraf 5 %, akan tetapi
pada variabel pengamatan tinggi tanaman pada umur 2 HST mununjukkan
perbedaan yang nyata menurut BNT taraf 5%.
Tabel 5. Pengaruh jenis pupuk terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah
Perlakuan Bobot Segar Bobot Kering
Urea 23,275 a 8,375 a
KCL 17,225 b 9,05 a
SP - 36 17,025 b 9,55 ab
P.Kandang 13,475 b 15,675 b
Keterangan : Nilai Purata pada baris dan kolom yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan perbedaan menurut DMRT taraf 5 %
Tabel 6. Jumlah polong dan bobot polong dengan perlakuan macam pupuk
Perlakuan Jumlah Polong Bobot Polong
Urea 6,5 a 10,6 a
KCL 4,75 a 8,40 a
SP – 36 6,5 a 10,55 a
P.Kandang 6,75 a 10,40 a
Keterangan : angka rerata pada baris dan kolom yang sama dan diikuti huruf
yang sama pula tidak menunjukkan perbedaan pada uji F dengan taraf 5%.
2. Pembahasan
Hasil analisis sidik ragam dengan taraf 5 % pada pengamatan di
minggu ke 2 sampai minggu ke 5 menunjukkan bahwa tidak terjadi
perbedaan yang nyata pada perlakuan pemberian berbagai macam pupuk
terhadap tinggi dan jumlah daun kacang tanah (Lampiran). akan tetapi pada
pengamatan pertama yang dilakukan pada minggu kedua setelah tanam
menunjukkan perbendaan yang nyata pada tinggi tanaman (Lampiran).
Purata tinggi tanaman dan jumlah daun disajikan pada tabel 4.
Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa
terjadi perbedaan yang nyata pada variabel pengamatan bobot segar pada
perlakuan pupuk urea dengan jenis pupuk yang lainnya yang menunjukkan
bobot segar tanaman lebih tinggi dengan penggunaan pupuk urea, akan
tetapi pada variabel pengamatan bobot kering perlakuan pupuk SP-36 dan
pupuk kandang berbeda nyata dengan pupuk yang lain. Purata dari bobot
segar dan kering disajikan pada tabel 5.

Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa


tidak terjadi perbedaan yang nyata pada variabel hasil. baik pada jumlah
polong maupun bobot polong per tanaman sampel (Lampiran). Purata
jumlah polong dan bobot polong disajikan pada tabel 6.

E. Kesimpulan
1. Hasil analisis sidik ragam dengan taraf 5 % pada pengamatan di minggu
ke 2 sampai minggu ke 5 menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan
yang nyata pada perlakuan pemberian berbagai macam pupuk terhadap
tinggi dan jumlah daun kacang tanah.
2. pada pengamatan pertama yang dilakukan pada minggu kedua setelah
tanam menunjukkan perbendaan yang nyata pada tinggi tanaman.
3. Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa terjadi
perbedaan yang nyata pada variabel pengamatan bobot segar pada
perlakuan pupuk urea dengan jenis pupuk yang lainnya, akan tetapi
pada variabel pengamatan bobot kering perlakuan pupuk SP-36 dan
pupuk kandang berbeda nyata dengan pupuk yang lain.
Hasil dari analisis sidik ragam dengan taraf 5% diketahui bahwa tidak terjadi
perbedaan yang nyata pada variabel hasil. baik pada jumlah polong maupun bobot
polong per tanaman sampel.
DAFTAR PUSTAKA

Afandie,R..dan Nasih Widya Y. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.


Yogyakarta.Agromedia Pustaka. Jakarta.
Dallzell, H.W..AJ.Riddlestone, K.R. Gray and K Thurairajan. 1987. Soil
management : compost production and use in tropical and subtropical
environments. FAO. Rome. Soil Bull 56:175-177.
Djuarnani, N., Kristian, B. S. Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos.
Agromedia Pustaka. 74 hal.
Gaur, D. C. 1980. Present Status of Composting and Agricultural Aspect, in:
Hesse, P. R. (ed). Improvig Soil Fertility Through Organic Recycling,
Compost Technology. FAO of United Nation. New Delhi.
Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta.
Indriani, Y.H. 2007. Membuat Kompos Secara Singkat. Penebar Swadaya.Jakarta.
Lingga. P. dan Marsono. 2005. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.
Jakarta. Hal 86-87.
Murbandono, L. 1995. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sosrosoedirdjo, Soeroto, R, dkk. Ilmu Memupuk I. C.V. Yasaguna. Jakarta.
Sudiarto 2004. Pemanfaatan Bahan Organic Insitu Untuk Efisiensi Budi Daya
Jahe Yang Berkelanjutan. Jurnal Litbang PertanianVol 23 (2) Hal 37-
38.
Sutanto, Rachman. (2002). Pertanian organik: Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Jakarta:Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai