JABARIYAH
1. Latar belakang Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam kamus Munjid di
jelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti
Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah segala aktivitas manusia
digerakan atau dijalankan oleh Allah atau Menolak adanya perbuatan dari manusia. Dalam artian
manusia berbuat sesuatu secara terpaksa.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah
bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi
diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia
ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran
ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan
dengan munculnya aliran Qadariayah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini
diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan
bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang
sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang
kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya
udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak
melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya
mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham
fatalisme.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah,
diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
b. QS al-Anfal: 17
Artinya: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar”. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka)
c. QS al-Insan: 30
Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalahTakdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari
kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika di Introgasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian
marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua
jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman
dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan
siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi
dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali
menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa
akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak
ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik
dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh
berkembang di Syiria.
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman
terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul
karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab
Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran
Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-
ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah
kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam
melahirkan aliran ini.
2. Ajaran-Ajaran Jabariyah
Ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu
ekstrim dan moderat.
- Pertama aliran ekstrim mengatakan manusia tidak menciptakan pebuatannya. Perbuatan itu
hanya ada pada Allah. Manusia tidak mempunyai pebuatan karena dia tidak mempunyai
kemampuan(istitha’ah) untuk berbuat. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Tokoh dalam jabariyah ekstrim adalah Jaham Ibn Shafwan
dengan pernyataannya segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalkan seseorang mencuri
sesuatu, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul
karena qada dan qadar tuhan yang menghendaki yang demikian. Dengan kata kasarnya, ia
mencuri bukan atas kehendaknya, tetapi Tuhanlah yang memaksakannya mencuri. Manusia,
dalam paham ini, hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Dengan demikian manusia
gerak dari tuhan, tanpa tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
- Kedua aliran jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik
itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak
dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham
seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh
jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
MATUDIRIYAH
a. Sejarah Aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah lahir di samarkhand pertengahan kedua dari abad IX masehi.
Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Riwayat
hidupnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut abu hanifah sehingga paham teologinya
memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifah. Sistem
pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Menurut buku (literatur) yang membahas persoalan sekte-sekte tidak banyak yang
memuat keterangan mengenai aliran Al-Maturidiyah maupun pengikut-pengikutnya. Karangan
Al-Maturidiyah masih berbentuk mahtutat. Diantaranya kitab Al-Tauhid dan kitab Ta’wil Al-
Qur’an yang belum di cetak, sehingga buku Maturidiyah sebagai acuan/literature tidak banyak
membahas persoalan teologis seperti halnya ajaran Asy’ariyah maupun mu’tazilah. Ada juga
suatu pendapat yang mengatakan bahwa ada karangan-karangan yang disusun oleh Al-Maturidi,
yaitu risalah fi Al-‘aqaid dan syarh al-Fiqh Al-Akbar. Sebagai informasi yang menambah
kawasan tentang maturidiyah adalah buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya, seperti
buku Isyarat al-Maram oleh Al-Bayadi dan Al-Bazdawi dengan bukunya usul Al-din. Untuk
mengetahui sistem pemikiran Al-Maturidi kita tidak bias meninggalkan pemikiran-pemikiran
Asy’ary dan aliran mu’tazilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dan
asy’-ariyah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu
mu’tazilah. Namun perbedaan dan persamaannya masih ada.
Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin
banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifah karena Al-Maturidi sebagai pengikut Abu Hanifah. Dan
timbulnya Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah.
MU’TAZILAH
Aliran m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat
dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah,
di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.
disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu dikota ini. dengan
demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin
menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat
islam secara dogmatis. Mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu
pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya.
Adapun hasarat untuk menghancurkan islam dikalangan peneluk islam sendiri, dalam
sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya,
amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif
mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. Suatu hari, salah
seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang
berbuat dosa besar (Murtakib al-kabair). Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir,
sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak
setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (Al-Manzilah bin al-Manzilataini). Setelah itu dia
berdiri dan meninggalkan al-Hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk
pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita).
Dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
Untuk mengetahui corak rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran
pokok yang berasal darinya, yakni al-ushul al-khamsah. Ajaran ini berisi at-tauhid, al-’adlu, al-
wa’du dan al-wa’idu, al-manzilah baina al-manzilataini dan amar ma’ruf nahyi munkar.
Dalam hal attauhid (kemahaesaan Tuhan), merupakan ajaran dasar terpenting bagi kaum
mu’tazilah, bagi mereka, Tuhan dikatakan Maha Esa jika ia merupakan Dzat yang unik, tiada
sesuatupun yang serupa dengan Dia. oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham
Antropomorphisme/al-tajassum, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai
makhluknya, misalnya Tuhan Bertangan dsb. Untuk menghindari paham ini, mu’tazilah
melakukan interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang Dzonni : Yadullah (Tangan
Allah), berarti kekuasaan Allah, Wajhullah (Wajah Allah), Berarti keridhaan-Nya Dsb. Mereka
juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti
(dengan mata kepala). Satu satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada
makhluk-Nya adalah sifat Qadim. paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat
Tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat Tuhan.
1. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin
Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia
fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah
awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan
akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada
akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk
ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan
ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani
pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini
bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang
berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji
dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
QADARIYAH
1. Latar Belakang Aliran Qodariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang
bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran-aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Dalam aliran ini
jelas sangat berlawanan dengan aliran jabariyah yang mengatakan segala perbuatan manusia
digerakan oleh Allah semata, manusia ibarat wayang digerakan dalang.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Aliran Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H/689 M, dan banyak
hubungan/persamaannya dengan Mu’tazilah, karena mereka sependapat dalam hal kemampuan
manusia untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan dan sependapat pula menolak
segala sesuatu itu terjadi karena Qada dan qadar Allah. Aliran Qadariyah dipelopori oleh seorang
bernama Ma’bad Al-Jauhani Al-Bishri yang pernah berguru pada Hasan Al-Dimasqy.dan pada
awalnya aliran Qadariyah belum terlalu pesat untuk dikenal oleh bangsa arab, tapi setelah
Ma’bad wafat karena terbunuh dalam pertempuan melawan al-Hajaj pada tahun 80 H. Paham
Qadariyah dilanjutkan oleh temannya Ghailan samapai Damaskus, beliau seorang orator handal
sehingga banyak orang tertarik dengan pendapatnya sehingga banayk pengikut aliran tersebut.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Qadariyah,
diantaranya:
a. QS al-Kahfi: 29
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir) Biarlah ia kafir".
b. QS ar-Ra'd:11
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaanyang ada pada diri mereka sendiri”.
c. QS. An-Nisa: 111
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri”.
2. Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak
dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-
perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa
manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya. Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala
atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat
dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib
yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan
Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum
yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hukum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang
mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti
gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram. Dengan pemahaman seperti ini dan
sesuai ayat-ayat Al-Qur’an yang tercantum diatas, sangat jelas, manusia tidak ada alasan untuk
menyandarkan perbuatan kepada Allah.
KELOMPOK 6
SYIAH
A. PENGERTIAN ALIRAN SYIAH
Menurut bahasa Syi’ah berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan
secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam spiritual dan keagamaanya selalu
merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW, atau orang yang disebut sebagai ahl al-bait.1[1]
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain
itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama
di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin,
demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau
B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ALIRAN SYIAH.
Secara umum kemunculan aliran syiah bermula dari pergantian kepemimpinan
sepeninggaln rasulullah saw. ali bin abi tahlib meyakini bahwa dia adalah penerus sebenarnya
kepemimpinan rasulullah selanjutnya.
Sedangkan Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul pasda masa akhir pemerintahan
Usman bin Affaan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pewmerintahan Ali bin Abi
Thalib.2[2] adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar. Muncul ketika berlangsung
peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Dalam peperangan
ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbritase yang ditawarkan Mu’awiyah.
Pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua. Satu kelompok mendukung sikap Ali
(Syi’ah) dan kelompok mendak sikap Ali (Khawarij).
Untuk Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan
masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin
Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib
yang berhak mengantikan Nabi SAW. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut
sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan Nabi SAW, pada masa hidupnya.
Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menyampaika dakwah ke
kerabatnya, yang pertama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada
saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama menemui ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang luar
biasa besar. 3[3]
Perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu
yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang
memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh
momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah
Perang Siffin.
Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh
ke tangan Abu Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak
di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin syi’ah kepada
masyarakat.
Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terdapat ahl al-
Bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan pengusaha bani Umayyah. Yazid bin
Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad
untuk memenggal kepala Husein bin Ali di Karbala.
Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan dengan
tonkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya sering dicium
Nabi.[13] Kekejaman seperti ini menyebabkan kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti
mazhab Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang menimpa
ahl al-bait.
perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti
Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkitan
dengan teologi, mereka mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada
kenabian), Nubuwwah (Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya hidup
diakhirat), imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl
(keadaan ilahi).
C. TOKOH-TOKOH DALAM ALIRAN SYIAH.
1. Abdullah bin saba’
Abdullah bin saba’juga dikenal dengan nama panggilan Ibnu Saudah merupakan
seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian
menyulut pemberontakan terhadap khalifah waktu itu, serta kemudian diriwayatkan oleh
sebagian sejarawan muslim sebagai pendiriSyi'ah.
Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, merupakan fokus perselisihan diantara tiga golongan
besar, yaõtu: Golongan Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya masih ada
kelompok terselubung yang cukup potensial dalam mewujudkan ambisinya sebagai penguasan
tunggal, ialah golongan Bani Umayyah. Sikap golongan terakhir ini, tercermin pada sikap tokoh
utamanya yaitu Abu Sufyan yang enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam lain, sebagai yang dilakukan
oleh kaum Bani Hasyim.
Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah yang dimotori oleh Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-
benar menggugah kembali bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar suku
yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat dipahami bahwa pemilihan khalifah tersebut,
tanpa keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani Hasyim, tampaknya membawa kekecewaan mereka
yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus
jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih berhak dan lebih utama
menggantikannya, karena dia adalah menantunya, dan selain itu ia juga seorang yang mula-mula
masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah. Selanjutnya tak seorang pun yang mengingkari
perjuangan, keutamaan, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang
berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan Ansar yaitu Munzir ibn Arqam, ia
menyatakan dalam suatu pertemuan di Saqifah: " ... Kami tidak menolak keutamaan orang-orang
yang kalian sebutkan (AbuBakr, Umar, dan'Ali), sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang
yang seandainya ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan menentangnya ('Ali ibn
Abi Talib) ...[8]
Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada tahun 12 H (634 M), tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya
melahirkan berbagai pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara tokoh-tokoh sahabat itu
yang lebih berhak menduduki jabatan khalifah. Selain itu, juga merupakan awal terbentuknya
pemikiran golongan ketiga yakni Bani Hasyim, disamping golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh
karenanya tidak mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at 'Ali ibn Abl Talib.
Keinginan tersebut secara tegas ditolak 'Ali dan sebagai akibatnya, para pendukung 'Ali
menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.
Memang benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama ini, isu politik tentang hak
legitimasi Ahlul-Bait, sebagai pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda
sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn Khattab. Peredaan isu politik ini,
mungkin sekali disebabkan oleh keberhasilan kedua khalifah tersebut dalam mempersatukan
potensi ummat Islam untuk menghadapi musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.
Munculnya Bani Umayyah dalam pemerintahan 'Usman, sebagai kekuatan politik baru, telah
mengundang reaksi keras ummat Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama sesudah
enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah ketiga ini terletak pada
ketidakmampuannya membendung ambisi kaum kerabatnya yang dikenal sebagai kaum
aristokrat Mekkah yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu politik tentang
hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, tindakan politik Khalifah yang memberhentikan para
gubernur yang diangkat oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru dari
keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan keresahan ummat secara luas.
Seperti: Pengangkatan Marwan ibn Hisyam sebagai sekretaris Khalifah, Mu'awiyah sebagai
Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali di Mesir, dan ia masih saudara seibu
dengan Khalifah, dan Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai penguasa yang
lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompoknya, daripada berorientasi pada
kepentingan dan aspirasi rakyat. Sikap politik seperti ini tampaknya merupakan faktor penyebab
timbulnya protes-protes sosial yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada
pemerintahannya sendiri.
Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon utama untuk menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan
khalifah kali ini, segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang berambisi
menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh itu adalah Talhah dan Zubair yang mendapat
dukungan dari 'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal dengan perang Jamal.
Akhirnya kedua tokoh tersebut terbunuh, sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke
Madinah.
Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai akibat kegagalan kedua tokoh itu dalam memenuhi
ambisinya. Disamping itu, keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan
Basrah untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang terhunus. Alasan terakhir ini rupanya
dijadikan alasan baru untuk menuntut Khalifah, mereka berjanji akan taat dan patuh, jika
Khalifah menghukum semua orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn
'Affan. Tuntutan tersebut senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar Khalifah 'Ali mengadili
Muhammad ibn Abu Bakr, anak angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang keladi peristiwa
terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali dihadapkan pada posisi yang cukup sulit
di awal pemerintahannya.
Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair tersebut, dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk
memojokkan 'Ali, yang dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan semangat
antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali, Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang
berlumuran darah beserta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari Madinah ke Syria oleh
Nu'man ibn Basyar.[9] Posisi 'Ali yang sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya
terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah sebagai faktor yang
mempercepat berkobamya perang Siffin. Perang ini mengakibatkan munculnya golongan
Khawarij, musuh 'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya upaya perdamaian dari pihak
Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada al-Qur-an, setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali
dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini,
sebenarnya telah diketahui oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat licik ini terhalang
oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang memaksanya menerima tawaran damai tersebut.
Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus diwakili oleh
seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan pihak 'Ali
diwakili Abu Musa al-Asy'ari.
Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan oleh peristiwa tahkim atau arbitrase antara 'Ali
dengan Mu'awiyah, semakin mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama sekali
sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum separatis ini di Nahrawan. Perang di
Nahrawan, menyebabkan dendam mereka semakin memuncak terhadap Khalifah. Dalam
hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum Khawarij membentuk pasukan berani mati
yang terdiri: 'Abdur-Rahman ibn Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah as-Sarimi
untuk membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk membunuh 'Amr ibn 'As. Akan tetapi, dua
petugas yang disebut belakangan ini gagal mencapai maksudnya.[11] Dengan demikian, posisi
Mu'awiyah semakin kuat.
Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih tampak sebagai seorang panglima perang daripada
sebagai seorang politikus. Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus banyak
memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang pernah ditempuhnya, ia tampak lebih
banyak didikte oleh pihak lawan. Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan oleh sekte
Syi'ah Zaidiyyah.
Para pendukung dan pengikut setia Khalifah 'Ali apabila dilihat dari aspek akidah mereka, tidak
jauh berbeda dengan akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang tentu, mereka
belum mengenal sama sekali apalagi memiliki doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum
Syi'ah sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian mereka bahwa 'Ali lebih
utama memangku jabatan Khalifah sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih kecil. Dengan
demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita perjuangannya saat itu belum berorientasi
pada suatu doktrin tertentu, maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum lahir. Ini berbeda
dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada hukum yang wajib dipatuhi selain hukum Allah,"
sejak keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai doktrin dan pengikutnya selalu berorientasi
pada ajaran itu. Oleh karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?
Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat beberapa pendapat yang kontroversial . Pendapat al-Jawad
yang dikutip oleh Prof. H. Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah,
menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan lahirnya nas (hadis) mengenai
pengangkatan 'Ali ibn Abi Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya nas yang dimaksud
antara lain, mengenai kisah perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh Nabi di
rumah pamannya, Abu Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam perjamuan
itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali) saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk
kalian, oleh karena itu, dengar dan taati (perintahnya) ..." Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi
sesudah 'Ali menerima tawaran beliau sebagai khalifahnya.
Nas seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu
golongan Sunni menolak nas tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim kekhilafahan bagi
'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum Syi'ah. Sebaliknya, tidak dimuatnya nas-nas
semacam itu, demikian Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadis tersebut dalam kitab
sahihnya merupakan manipulasi golongan Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan
dengan kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi senjata kaum Syi'ah untuk
menyerang paham mereka.[12] Abu Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa
pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur untuk berkembangnya paham
tersebut, kemudian menyebar ke Irak dan di sinilah mereka menetap.[13]
Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi
sakit keras, pamannya, 'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap Nabi
untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan menggantikan kepemimpinan beliau,
namun maksud tersebut ditolak 'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah tidak akan
memintanya.[14] Selanjutnya masih ada pendapat yang mengatakan bahwa lahirnya Syi'ah itu
bersamaan dengan terjadinya perang Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena pada
saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah kecuali orang yang mengunggulkan
kekhilafahan 'Ali daripada 'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah disinggung diatas.
Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa pendapat diatas, maka pendapat pertama tampak sama
sekali tidak realistis, sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih menitikberatkan pada
adanya sikap dan tindakan-tindakan nyata sebagai pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa
hidupnya. Akan tetapi, apabila kelahiran Syi'ah dilihat sebagai suatu aliran keagamaan yang
bersifat politis secara utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau doktrin politiknya,
yaitu tentang hak legitimasi kekhilafahan pada keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri Rasulullah,
sebab dari segi doktrin inilah identitas Syi'ah tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas sekte-
sekte Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah seperti ini adalah bermula sejak timbulnya
tuntutan penduduk Kufah - pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan kepada
keluarga Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan orang-orang yang dianggap telah merampasnya.
Dari penerapan doktrin ini, penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan waktunya
dengan pengangkatan Hasan ibn 'Ali ibn Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas
para pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya, hanyalah merupakan faktor
yang mempercepat proses tumbuhnya benih-benih Syi'ah yang sudah siap tumbuh dan
berkembang.
Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan yang berkaitan dengan
perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara garis besar, serta hubungannya dengan paham
Mahdiyyah.
Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum Syiah semakin goyah karena derasnya fitnah,
perselisihan, dan perpecahan di kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan
Saba'iyyah, pengikut Ibn Saba'.[15] Lemahnya daya juang dan kurang wibawanya Hasan adalah
menjadi faktor yang mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha Hasan dalam memerangi
golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh
hasilnya sangat mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh kaumnya,
demikian Ihsan Ilahi Zahir, sehingga sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan
Saba'iyyah, sebagian lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan Khawarij.[16] Oleh karena
itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai dengan pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur
dari jabatan khalifah secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara de jure, ia
menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga
hari.
Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali sebagai Imam. Putera 'Ali kedua
ini tampak memiliki semangat dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang, ia
harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang Karbela secara memilukan, pada tanggal 1
Oktober 680 M.
Kematian Husain ini merupakan bencana bagi kaum Syi'ah, sehingga makamnya dipandang
sebagai tempat yang keramat serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran kecintaan
mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu, mereka mentradisikan ziarah umum ke makamnya
setiap bulan Muharam.
Kematian Husain tersebut bermula dari banyaknya surat penduduk Kufah yang menyatakan janji
setianya kepada putera 'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia lebih
mempercayai janji orang Kufah daripada ia mempertimbangkan saran-saran para penasihatnya
yang cukup berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang Kufah yang telah mengkhianati
keluarganya. Dan karenanya, kematian Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam
moral agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat berdosa atas kematian
Husain dan mereka berkeinginan untuk menebus dosa mereka dengan mengangkat senjata
menuntut bela atas kematiannya pada penguasa Umayyah. Golongan tersebut menamakan
dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).
Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa mati berperang karena membela kepentingan Ahlul-
Bait adalah mati syahid. Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali dan
keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi atau agama.
Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa Umayyah, mendorong mereka dan
memberi arah yang sama sekali baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah,
demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin sekali ia orang Arab, tetapi para
pengikutnya beralih dari bangsa Arab ke bangsa Persia.[17] Sejak itulah kaum Syi'ah mengalami
perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada
gerakan keagamaan yang bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir menjelaskan
bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur asing yang melindas, maka Syi'ah terlepas dari
kebiasaan bangsa Arab yang terdidik secara Islami, dan sekalipun mereka kaum Syi'ah masih
berada dalam lingkaran Islam, namun bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam dalam
bentuknya yang baru.[18]
Pada saat yang sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran asing secara terselubung, aliran ini
juga merupakan wadah dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh Islam
yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang
banyak sekali. Diantara kelompokkelompok yang memasukkan ajaran-ajaran nenek moyang
mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu
berkeinginan melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam dengan menyembunyikan niat jahat
mereka dan menunjukkan sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait sebagai kedok.[19] Seperti
ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah ar-Raj'ah, ucapan sementara golongan ini bahwa api neraka tidak
akan membakar mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka ada yang
mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan, sifat ketuhanan yang menyatu dengan
sifat kemanusiaan seperti pada diri seorang imam, juga ada yang mengatakan bahwa kenabian
atau kerasulan itu tidak akan terhenti untuk selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka
yang menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau Reinkarnasi dan Hulul dan lain
sebagainya.
Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah mempunyai keistimewaan tersendiri; terutama bagi
Syi'ah Persia. Hal itu mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu pihak, sedangkan
istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III, mantan raja Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di
Persia telah berkembang suatu tradisi yang bertolak dan pandangan tentang "Hak Ketuhanan"
atau Divine right yang berarti bahwa dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan.
Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat
pengayoman Allah di bumi untuk menegakkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan
seperti ini, demikian Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah orang Persia itu memeluk Islam,
sehingga karenanya mereka memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak memerintah dan
harus ditaati oleh manusia.[20] Rupanya pandangan seperti inilah yang membentuk konsep pola
keimaman dalam Syi'ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah
seperti sekarang ini adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah
berakar pada suatu masyarakat di suatu negeri, dan pernah memiliki peradaban yang lebih maju
daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk pola kehidupan keagamaan
yang berbeda dan bahkan sering bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya.
Kepercayaan hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan yang berbeda, yaitu Islam dan non-
Islam, yang melahirkan praktek keagamaan baru dalam Islam merupakan bid'ah yang sangat
dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab Allah (al-Quran) dan petunjuk yang
terbaik adalah petunjuk Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru yang
dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah sesat". (Hadis riwayat Muslim).
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, agama Nasrani setelah memasuki kerajaan Romawi, juga
mengalami distorsi yang jauh lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran Nasrani dengan kepercayaan dan
kebudayaan Romawi, berakibat munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang diikuti oleh
lahirnya berbagai sekte keagamaan. Demikian pula dengan sekte-sekte Syi'ah yang muncul
sesudah Husain wafat.
Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu
siapakah yang berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat itu
belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia dewasa. Rupanya kaum Syi'ah sulit
menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.
Golongan pertama, memandang bahwa keimaman harus berada di tangan keturunan Husain dan
tidak boleh lepas dari mereka, dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal
maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putera Husain yang belum dewasa
sebagai imam. Golongan ini kemudian disebut golongan Imamiyyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak
sah. Mereka tidak yakin bahwa Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang
puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap menunggu-nunggu sampai munculnya
seorang putera keturunan Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan,
keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim.
Oleh karenanya golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka menghentikan aktivitasnya
selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah
yang memberontak kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. Kemudian
golongan ini dikenal dengan nama Syi'ah Zaidiyyah.
Golongan ketiga berpendapat bahwa jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn
al-Hanafiyyah yaitu saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi.
Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa 'Ali ibn Abi Talib
meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada putera-
puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya
agar keduanya berbuat baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu,
kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya menerima wasiat
'Ali tersebut, menunjukkan bahwa dia juga memperoleh hak untuk diangkat sebagai imam.[21]
Golongan ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah. Pendirinya adalah Kaisan bekas
budak 'Ali, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga
golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.
Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat langsung terhadap lahirnya sekte-sekte baru dengan corak
pemikiran yang berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman lebih
menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan al-Waqifah yang kemudian dikenal
dengan Syi'ah Zaidiyyah, lebih memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan yang
harus dimiliki oleh seorang imam. Mereka tidak perduli, apakah dia keturunan Hasan atau
keturunan Husain asalkan dia masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi golongan
Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan itu dari Nabi, namun yang terpenting
adalah jalur keturunan 'Ali ibn Abi Talib.
Syi'ah Kaisaniyyah
Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang
tertua. Mereka mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih
membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak dan
Persia, yang diperlakukan oleh pemerintah Umayyah sebagai masyarakat kelas dua. Sebagai
akibatnya penduduk kedua kota tersebut tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.
Sekte ini mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam, sedangkan ajarannya
bersumber pada ajaran Ibn Saba' dan golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah,
'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam yang telah wafat), dan Tanasukh.
Al-Syahrasrani menyatakan, bahwa sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah yang dikenal sebagai
orang yang berpengetahuan luas dan berpikiran cemerlang mengerti bahwa sekte ini
mengajarkan ajaran bohong dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan
kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut aliran ini terhadap dirinya.
Mereka beranggapan bahwa dia memiliki berbagai keluarbiasaan atau al-Makhariqul-
Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang mereka buat-buat untuk Muhammad ibn al-
Hanafiyyah.[22]
Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu Hasyim, kemudian lahirlah
subsekte baru yang dikenal dengan al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah
siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini tampaknya menjadi rebutan diantara
kelompok-kelompok yang berambisi, sehingga timbul pendapat yang kontroversial. Dalam
hubungan ini asy-Syahrastani menjelaskan bahwa kelompok yang berselisih itu ada yang
mengatakan, sebenarnya Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad ibn
'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat dalam perjalanan pulang dari Syria.
Selanjutnya penerima wasiat ini terus mewasiatkan keimaman ini kepada anak keturunannya,
sehingga jadilah kekhilafahan itu jatuh ke tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan
bahwa jabatan imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn Muhammad al-
Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan, keimaman itu dilimpahkan kepada saudara
Abu Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan pada puteranya, Hasan. Adapun
kelompok terakhir mengatakan, bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia
telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,[23] oleh karenanya menurut golongan ini, ruh
Abu Hasyim telah berpindah ke dalam diri 'Abdull-ah al-Kindi, sehingga berkembanglah paham
Reinkarnasi di kalangan pengikutnya.
Syi'ah Zaidiyyah
Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain wafat, di bawah pimpinan Imam
Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan masalah dunia), pemberani, pemurah, dan
mau berjihad di jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik dia dari putera
Hasan atau Husain.
Dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini rupanya lebih moderat. Mereka bisa
menerima Imam Mafdul yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam al-Afdal atau
imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini, tentunya karena pendiri sekte Zaidiyyah, pernah
berguru kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu, aliran ini tidak menyalahkan
atau membenci khalifah-khalifah sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang [kata-kata Arab]
yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya seorang imam yang lebih utama,
tampaknya mendapat reaksi keras dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut. Itulah
sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.
Sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa 'Ali ibn Abi Talib adalah satu-
satunya orang yang lebih berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda paham
tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu
rupanya menjadi faktor yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai contoh sekte
Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka
menempuh jalan kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib sama dengan
nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi korban kecurangan penduduk Kufah karena kurang
memperhatikan saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan saran dari
saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada saat dia berada di
ujung pedang Yusuf ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh orang-orang
Kufah.[24] Sesudah ia wafat pada 122H, jabatan imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang
menyingkir ke Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan
Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman
dipegang oleh Muhammad ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan an-Nafsuz-Zakiyyah,
bersama-sama dengan Ibrahim, dan keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer
di Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan dalam mengembangkan ide-
ide doktrinalnya yaitu dengan menyebarkan karya-karya ijtihad para imam mereka, tentu
keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam masyarakat.
Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah
tidak terorganisasikan lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan mazhab
Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang kemudian menjadi basis Syi'ah
Zaidiyyah.[25] Sebagaimana sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyyah pun mengalarni
perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang menyimpang jauh dari doktrin
Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah. Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah
sebagai al-Mahdi.
Syi'ah Imamiyyah
Aliran ini menjadikan semua urusan agama harus berpangkal pada Imam, sebagaimana halnya
kaum Sunni mengembalikan seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran
Nabi. Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari imam, karena
masalah keagamaan dan keduniaan selalu membutuhkan bimbingan para imam. Bahkan mereka
mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam, melainkan menentukan seorang imam.
Kebangkitannya adalah untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh
karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan menempuh jalannya sendiri
yang berbeda-beda yang mengakibatkan perpecahan.
Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib sesudah wafat Nabi adalah dengan
nas yang jelas dan benar. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak hanya
merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan kepada ummat untuk menentukarrnya,
bahkan imam merupakan tiang agama dan tatanan Islam yang tidak mungkin dilupakan oleh
Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus seorang yang ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas
itu sendiri menurut mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang samar-samar.[26]
Konsep keimaman mereka, bagi sekte Zaidiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun dalam
Muqaddimah-nya, pengangkatan seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang diberi wewenang mengangkat
dan menetapkan seorang imam. Jika Syi'ah Imamiyyah menerima kekhilafahan Abu Bakr dan
'Umar, maka berarti mereka harus menerima paham Sunni, dan secara tidak langsung mereka
harus mengakui pula kekhilafahan Bani Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok
Sunni. Oleh karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka tolak keabsahannya.
Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan Ahlul-Bait yang menjurus ke arah kultus individu di
satu pihak, dan kebencian mereka terhadap Bani Umayyah karena penindasannya pada Ahlul-
Bait di pihak lain, bermula dari dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani
Umayyah sebelum Islam.
Di sisi lain, rupanya hubungan kaum Mawali Persia dengan keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan
cara menunjukkan kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak Ahlul-Bait, tampaknya
menjadi faktor penyebab retaknya keluarga Bani Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan
lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib di satu pihak, yang dikenal dengan
golongan Syi'ah, dan munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali selalu gagal
merebut kekuasaan politik pada masa pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan 'Abbas,
lewat Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil merebutnya dan mendirikan dinasti 'Abbasiyyah.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya
kelompok terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan politiknya sebagaimana
halnya orang-orang Umayyah, sehingga penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas dari sikap dan
tindak kekerasan terhadap saudara sesukunya (Bani Hasyim) seperti yang pernah dilakukan oleh
dinasti Umayyah terhadap lawan-lawan politiknya.
Sebagai yang telah disinggung diatas, perpecahan Syi'ah Imamiyyah bermula dari masalah siapa
yang berhak menjadi imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu dapat
dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang sah pengangkatan 'Ali ibn Husain
yang dijuluki dengan Zainal-'Abidin,[27] sekalipun ia belum dewasa. Imam ini selamanya
tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H, dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi
kekerasan terhadap penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn Husain wafat, enggan
mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir.
Dalam usia 19, ia menduduki jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan al-Walid,
namun ia tetap tinggal di Madinah sebagaimana ayahnya.[28] Sepeninggal al-Baqir, jabatan
imam dipegang oleh puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam ini, dari jalur ayahnya sampai
kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya, Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq.
Ketenarannya sebagai guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh semua pihak yang
mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang ilmu fiqh dan hadis.
Sejumlah muridnya telah memberikan andil besar dalam memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam,
sepeffi: Abu Hanifah dan Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama seperti
Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai
ahli kimia yang masyhur. Karena kemasyhurannya itu, beberapa tokoh Syi'ah abad modern
seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 'Ali Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap
ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima pikiran-pikiran hasil ijtihad
Imam Ja'far as-Sadiq sebagai mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian, karya-karya besar
Imam ini, di perguruan tinggi Timur Tengah, seperti Universitas al-Azhar di Mesir, telah
dijadikan bidang studi sendiri dalam Ilmu Fiqh.
'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait ini menyatakan berlepas tangan dari segala kebohongan
dan kebodohan ucapan serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada dirinya,
seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah, ar-Raj'ah, al-Bada', Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih
atau penyerupaan Tuhan dengan manusia. Penolakannya terhadap kebid'ahan-kebid'ahan kaum
Syi'ah dinyatakan dengan tegas sebagai berikut:
"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum Syi'ah), sesungguhnya kami tidak membiarkan para
pendusta yang senantiasa membuat kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, Allah
sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah menyangatkan panasnya siksa
pada diri mereka."[29]
Dari uraian diatas, nyatalah bahwa tokoh-tokoh Ahlul-Bait yang diangkat sebagai Imam oleh
kaum Syi'ah, pada umumnya tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya yang
bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang pun di antara para Imam itu yang
menyimpang dari ajaran Islam, dan bahkan mereka tidak suka menyerang pribadi Abu Bakr atau
'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh karena itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas
terhadap segala penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai salah satu faktor yang
menambah kejengkelan mereka dan sebagai reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut
nama baik imam-imam mereka untuk menguatkan pendirian atau paham masing-masing. Tidak
mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian mendirikan sub-sub sekte yang ekstrem dengan menyerap
ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka membuat cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan
keluarbiasaan imam-imam mereka.
Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far as-Sadiq wafat, semakin meluas dan perpecahan ini
tampaknya berpangkal, siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak menggantikannya.
Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru seperti: An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-
Sadiq sebagai al-Qa'im atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan al-Musawiyah, pengikut
Musa al-Kazim yang berkeyakinan bahwa Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali
lagi ke dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh karena itu, sekte yang
terakhir ini disebut juga dengan al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua subsekte
yang terpenting, dan keduanya mempunyai corak kemahdian yang berbeda satu sama lain.
Syi'ah Ismailliyyah
Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah Batiniyyah. Disebut demikian,
karena pengikut sekte berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah Isma'il atau
karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan
setiap ayat yang turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.
Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut penuturan al-Mahdi Lidinillah
Ahmad yang mengutip pernyataan al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang
yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang Majusi dan sisa-sisa pengikut
aliran Huramiyyah.[30] Mereka dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan
orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif mereka tidak lain, karena mereka ingin
membuat tipu daya guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya kedalam
masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri terhadap kejayaan Islam.[31] Untuk
pertama kalinya sekte ini lahir di Irak, kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia,
Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut, ajaran-ajarannya bercampur dengan
kepercayaan versi lama dan pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman menjelaskan
bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M,
sehingga ia pernah menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika sampai ke India
dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme
dan gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem filsafat diatas mana dibangun suatu
agama baru, setelah merongrong struktur keagamaan ortodoks.[32]
Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya melalui nas dari ayahnya, Ja'far
as-Sadiq. Pengikut sekte ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai al-Qa'im (yang
bangkit) sampai ia menguasai bumi dan menegakkan urusan manusia. Sesudah Isma'il, jabatan
imam diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya jabatan tersebut
diteruskan oleh puteranya, Muhammad al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-
Mahdi. Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu 'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia
lolos dari tempat penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah Kairuwan dan Magrib
(Afrika). Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat
menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyyah.
Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn
Muhammad al-Habib yang mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara sub
sektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang dipelopori oleh Hamdan ibn
Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9 M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu
berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang sosial, membangun masyarakat
yang didasarkan atas asas kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir
menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan aliran ini terhadap al-Mahdi,
tidak jauh berbeda dengan keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte
Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih
hidup dan tidak akan mati serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan
keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya telah disampaikan oleh imam-imam
pendahulunya.[33]
Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah, yang dipimpin dan didirikan oleh ad-
Durzi. Tampaknya aliran ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir di masa
al-Hakim bi Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir di tahun 386 H. Dialah yang didewa-
dewakan sebagai tuhan. Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah Hamzah ad-
Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian membujuk al-Hakim agar dirinya
diperbolehkan untuk mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah tuhan,
sehingga manusia mau menyembahnya.[34] Sangat boleh jadi, ajaran tentang Hulul dan
Tanasukh versi aliran Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922 M), yang
dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
kemanusiaan (an-Nasut), dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut). Kemudian
ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.
Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah Batiniyyah yang inovatif, terutama dalam menginterpretasikan
ayat-ayat al-Quran, adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita pada aliran
kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India,
demikian Ahmad Syalabi menjelaskan, dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan Islam dan
menguasai ummat Islam dengan hak dan kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah
pihak.[35] Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya terhadap golongan
Ahmadiyah, yaitu untuk membantu kepentingan Inggris di India. Dalam kerjasamanya dengan
Inggris, aliran Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini, mendapat kebebasan menyebarkan pahamnya di
koloni-koloni Inggris, dan sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.
Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih kuat posisinya sampai hari ini bila dibandingkan
dengan pengaruh dan posisi aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini tinggal di
Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad ke-3 H, akan tetapi ada pula yang berpendapat,
bahwa ia lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara misterius pada tahun
260 H.
Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far as-Sadiq, adalah Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan
imam dipegang oleh puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari Ahlul-Bait yang
diangkat sebagai putera mahkota oleh Khalifah al-Ma'mun dari dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian
keimaman sesudahnya beralih kepada puteranya Muhammad at-Taqi, dan selanjutnya ia pun
digantikan oleh puteranya 'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi
pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam terhadap Khalifah al-Mu'tasim, ia
dipenjarakan di Samarra sampai wafatnya tahun 254 H/ 868 M dalam usia 40 tahun. Selanjutnya
keimaman beralih kepada puteranya, Hasan al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun
dan menguasai beberapa bahasa.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini semakin meluas, dan banyak
diantara para pengikutnya, terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib)
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani, Hasan al-'Askari wafat dalam
usia 28 tahun (260 H/874 M) di Samarra.[36] Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn
Hasan al'Askari sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan sebagai al-Mahdi al-Muntazar
karena ia dianggap hilang secara misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan kembali
lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan, sebagaimana bumi ini dipenuhi oleh
kecurangan. Demikian menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran ini sejak
berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya kurang terorganisasikan. Akan tetapi,
demikian Gibb dan Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini
pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah berdirinya dinasti Safawiyah dimana para
penguasanya mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa al-Kazim. Mereka
menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa
Syah Isma'il, ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah formula khutbah
dan azannya, yaitu dengan menyebutkan nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah
dan menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya, formula semacam ini tentunya
dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas kesyi'ahan.[37]
Beberapa Ajaran Pokok Syi'ah Yang Berkaitan Dengan Paham Mahdi Atau Mahdiisme
Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang berkaitan erat dengan doktrin
Mahdiisme, yaitu pada masalah Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
Masalah Keimaman
Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental, terutama bagi Syi'ah Isna
'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas. Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka
guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai mutawatir. Oleh karena ia
merupakan anugerah Tuhan yang harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu
merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun tekstual.
Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau memelihara kemaslahatannya serta
melindunginya dari berbagai kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga harus
menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya
seorang Mufassir (Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum dari ayat-ayat
al-Quran.[38] Alasan kedua ini senada dengan argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud
dalam Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir al-Quran sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada hadis Gadir Khum, yang diyakini
sebagai mutawatir. Di Gadir Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya
beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji dan di tempat ini, Nabi di depan
mereka, menunjuk 'Ali ibn Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara riwayatnya ialah
apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam al-Kabir:
" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan membenarkan aku hendaknya ia
menjadikan 'Ali ibn Abi Talib sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya
adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara berkesinambungan dari imam yang satu
kepada imam yang lain, dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari keturunan
Ahlul-Bait.
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih berjalan terus sampai sekarang,
terutama dalam melaksanakan tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang
Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali. Jabatan ini dalam dekade
terakhir dipegang oleh Ayatullah Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam
adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum
muncul, ia diwakili oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi dalam
pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar:
"Barangsiapa mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti mengakui semua
nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.[39]
Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan erat dengan kepercayaan tentang
akan kembalinya imam-imam Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan [kata-
kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan bahwa imam yang mereka cintai itu
tidak mati, tetapi hanya menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita pada
pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat, ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali, aku tidak akan membenarkan
kematiannya"[40]
Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai kepadamu," demikian kata Abu
Ja'far, "berita tentang kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka janganlah
kalian mengingkarinya."[41] Demikianlah kepercayaan kaum Syi'ah terhadap imam mereka.
Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk mempertahunkan eksistensi suatu aliran
tertentu yang terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara sekte-sekte yang ada saat
itu. Dengan demikian teori tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan, karena
aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup serius. Semula kaum Syi'ah hanya
bersikap menunggu, akan tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi
dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul bersamaan dengan timbulnya
ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam
Muhammad ibn Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang al-Bab dan
teori mengenai Mandataris Imam.
Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu
selalu mengejawantah dan muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki yang disebut
sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali. Teori ini kemudian dikembangkan oleh
'Ali Muhammad asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran tersebut.
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu
perantara) antara [kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum Syi'ah yang
ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.[42] Akhimya lahirlah aliran baru yang dikenal
sebagai aliran al-Babiyyah.
Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori ini adalah pengembangan dari
teori yang pertama diatas. Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad as-Samin,
ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada
Muhammad al-Hasan sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada
Muhammad al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali sampai datang saat yang telah
ditentukan oleh Tuhan, yaitu sesudah hati manusia menjadi beku dan kecurangan telah
merajalela di atas bumi.[43] Sehingga dalam kepercayaan tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-
Sugra atau gaib sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan duta yang
terakhir adalah as-Samiri. Kedua, al-Gaibah al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama
al-Mahdi absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai Mandataris Imam, dan jabatan ini
merupakan peringkat pertama dalam hirarki Syi'ah Dua belas.
Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang akan kembalinya seorang imam
yang telah wafat, adalah bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah 'Uzair
dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi Harun dibunuh oleh Nabi Musa di
padang Tih, karena kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi mengatakan
bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak
wafat, dia hanya gaib dan akan kembali lagi.[44] Adanya kesamaan antara kepercayaan kaum
Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan sesudah kedua belah pihak terjadi
kontak langsung secara akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah,
Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa 'Aqidah Raj'ah tersebut diterima kaum
Syi'ah lewat Ibn Saba' dan ajaran golongan Saba'iyyah.
Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis tentang terbentuknya 'Aqidah
Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah. Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari
keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah terhadap imam-imam mereka yang telah
wafat. Akibat kesedihan yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka
amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu. Akhimya mereka ragu-ragu
akan kematiannya, dia hanya absen dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan
yang kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun kadang-kadang apa yang diyakininya
itu bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa
perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan keinginan kuat untuk menjumpai seorang
(imam) yang dicintai itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan kehadirannya
kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.[45]
Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang pemimpin yang dicintai, sering menimbulkan
perubahan sikap atau tingkah laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi. Keadaan
semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn Khattab sewaktu mendengar berita
Rasulullah wafat. Ia tidak mengakui Nabi telah wafat, dengan pedang terhunus ia mengancam
siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah tiada. Akan tetapi, perubahan sikap
demikian itu, tampaknya hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami 'Umar
tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia lainnya. Dan bahkan jauh sebelum agama
Yahudi lahir, bangsa Chaldea sudah pernah mengalami kasus seperti itu, yaitu tidak mau
mengakui kematian Qabil sewaktu dibunuh oleh saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan
kembali lagi ke dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nasrani, mereka meyakini bahwa
Yesus yang mati di tiang salib, bangkit kembali dan terus naik ke langit dan duduk di sisi Tuhan,
dia akan datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan kedamaian dan kesucian.
Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat al-Bahi tersebut memandang
berpengaruhnya ajaran Yahudi di kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang mempercepat
proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan seperti itu merupakan gejala umum
jiwa manusia dan tidak terbatas pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya 'Aqidah
Raj'ah dalam suatu kelompok, terbatas pada para pencinta pimpinan atau imam, mereka
menderita kesedihan yang hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang dicintai tersebut.
Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat dengan 'Aqidah ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari
kepercayaan Syi'ah terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah yang
ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah Duabelas. Rupanya sekte ini saja yang
masih gigih mempertahankan paham Mahdi, sedangkan sekte-sekte lainnya yang semula
memiliki kepercayaan yang serupa semakin lama semakin memudar bersama dengan
memudarnya pengaruh sekte-sekte tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan sekte Syi'ah
Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham Mahdi, kecuali golongan al-Jarudiyyah yang
merupakan sub sekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah menyimpang jauh dari doktrin
kezaidiyyahannya.
Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya, banyak dipengaruhi oleh ajaran-
ajaran non-Islam dan hanya Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila
dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap kaum Syi'ah dalam menghadapi
penetrasi budaya dan kepercayaan non-Islam yang pernah berakar dalam suatu masyarakat
sebelum Islam datang, agaknya merupakan salah satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam
ortodoks dalam kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor terbentuknya paham
Mahdi dengan berbagai macam versinya.
Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian Syi'ah Dua belas, sehingga
sekte yang disebut belakangan ini mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang Mandataris
Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan daripada yang lain.