Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi
Ruang submandibula memiliki batas inferior yaitu lapisan superficial fascia leher dalam
memanjang dari hyoid ke mandibula, batas lateral dibentuk oleh mandibula itu sendiri dan
batas superior yaitu mukosa dari dasar mulut.

Gambar 1 : Ruang Submandibula dan Sublingual

Ruang submandibula terbagi atas ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh
Muskulus mylohyoid. Ruang submaksila terdiri dari kelenjar sublingual, Nervus Hipoglosus,
dan Duktus Wharton yang berhubungan dengan ruang submaksila melalui batas posterior dari
Muskulus Miohyoid, disekitar inilah pus dapat dengan mudah terkumpul. Ruang submaksila
dibagi oleh anterior belly Muskulus digastrikus menjadi kompartemen sentral submental dan
ruang submaksila lateral

A. Abses Submandibula
 Definisi
Abses submandibular didefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang potensial di regio
submandibular yang disertai dengan rasa nyeri tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan
membuka mulut. Abses submandibular merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses leher
dalam terbentuk di ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan diruang leher dalam yang
terlibat.

 Epidemiologi
Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti
oleh angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).

 Etiologi
Abses submandibula, infeksi terjadi akibat perjalan dari infeksi gigi dan jaringan sekitarnya
yaitu pada P1,P2,M2,M2 namun jarang terjadi pada M3. Beberapa jenis bakteri yang menjadi
penyebab abses submandibula ini dibagi menjadi golongan bakteri Aerob dan Anaerob

Untuk golongan aerob terdiri dari :

 Alfa Streptokokus hemolitikus


 Stafilokokus
 Bakteroides
Sedangkan yang termasuk kedalam golongan bakteri anaerob yaitu:3

 Peptostreptokokus
 Peptokoki
 Fusobakterium nukleatum

Hasil kultur abses leher dalam Bagian THT-KL dr. M.Djamil Padang periode April 2010-Oktober 2010.
Jenis Kuman Jumlah %
Streptocccus α haemoliticus 6 37
Klepsiella sp 4 25
Enterobacter sp 3 19
Staphylococcus aureus 2 12,5
Staphilococcus epidermidis 1 6
E. Coli
Proteus vulgaris 1 6
1 6

 Patofisiologi

Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui beberapa proses,
diantaranya: 2

1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut ,wajah atau infeksi leher
superficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik.
2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi abses fokal.
3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang leher dalam
4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.

Diagnosis

Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan


pemeriksaan penunjang seperti foto polos jaringan lunak leher atau tomografi komputer.4

Tanda dan gejala dari suatu abses leher dalam timbul oleh karena : 4

1. efek massa atau inflamasi jaringan atau cavitas abses pada sekitar struktur abses.
2. keterlibatan daerah sekitar abses dalam proses infeksi.

A. Anamnesis

Beberapa gejala berikut dapat ditemukan pada pasien dengan abses submandibula adalah : 1

1. asimetris leher karena adanya massa atau limfadenopati pada sekitar 70%.
2. trismus karena proses inflamasi pada m.pterigoides
3. torticolis dan penyempitan ruang gerak leher karena proses inflamasi pada leher.
Riwayat penyakit dahulu sangat bermanfaat untuk melokalisasi etiologi dan perjalanan abses
pasien seharus ditanya :

1. tentang riwayat tonsillitis dan peritonsil abses.


2. riwayat trauma retrofaring contoh intubasi
3. dental caries dan abses.

B. Pemeriksaan Klinik

Diagnosis untuk suatu abses leher dalam kadang-kadang sulit ditegakkan bila hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Ditemukan pembengkakan dibawah rahang
baik unilateral maupun bilateral dan berfluktuasi. Karena itu diperlukan studi radiografi untuk
membantu menegakkan diagnosis, menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya dan perluasan
penyakit.

Pemeriksaan tomography komputer dapat ditemukan daerah dengan densitas rendah,


peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edem jaringan sekitar abses. Pemeriksaan
kultur dan sensitivitas test dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang sesuai.

 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan anjuran yang digunakan di antaranya:

1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang purulen
dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.
2. Radiologis
 Rontgen jaringan lunak kepala AP
Rontgen panoramic: Dilakukan apabila penyebab abses submandibula berasal dari gigi.
 Rontgen thoraks : Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.
3. Tomografi Komputer (CT-scan)
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan gold standar pada abses leher dalam.
Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih
jelas, dan kadang ada air fluid level. Pemerksaan fisik yang ditunjang CT-scan memiliki
sensitivitas 95%.

 Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana pada pasien abses submandibula adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi
1. Antibiotik (parenteral)
Antibiotik kombinasi adalah pilihan terbaik karena mikroorganisme penyebabnya adalah
campuran. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik.
Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat, pemberian antibiotik dapat disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas >70% terhadap terhadap
ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone. Metronidazole dan klindamisin
angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk bakteri anaerob gram negatif. Antibiotik
biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.

2. Insisi dan drainase.


Hal ini dapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral tergantung pada lokasi infeksi.
Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan metode pengambilan sampel lebih akurat karena
mengurangi kontaminasi dan membantu melindungi dari bakteri anaerob. Pembengkakan yang
berfluktuasi menunjukkan adanya pus dan didefinisikan sebagai transmisi fluida dengan
menggunakan palpasi bidigital.
Pada pasien dilakukan insisi drainase. Insisi dilakukan dengan panjang kurang lebih 2 cm pada
daerah yang paling fluktuatif. Setelah di insisi, eksplorasi pus dilanjutkan secara tumpul dengan
menggunakan klem bengkok sampai ruang submandibula. Setelah pus berhasil dieksplorasi,
dilakukan pemasangan draine handschoen yang dilumuri dengan betadine pada luka insisi
kemudian ditutup dengan mengguankan kasa steril dan direkatkan dengan menggunakan
hipafix.

 Komplikasi

Infeksi leher dalam dengan penatalaksanaan inadekuat dapat menyebar ke ruang leher
dalam lainnya, ditambah dengan keterlambatan dalam mendiagnosis dan penatalaksanaan beresiko
tinggi untuk meliki berbagai komplikasi yang mengancam jiwa yaitu:

 Obstruksi jalan nafas akibat tertekannya trakea


 Aspirasi yang dapat terjadi pada intubasi endotracheal
 Komplikasi vaskular seperti trombosis vena jugularis interna, erosi dan ruptur arteri
carotid.
 Defisit neurologis seperti disfungsi saraf kranial atau saraf otonom di leher yang
menimbulkan disfoni akibat terkenanya nervus vagus atau Sindrom Horners akibat
pengaruh saraf simpatis.
 Emboli septik pada paru-paru, otak.
Beberapa faktor memiliki resiko yang lebih tinggi untuk timbulnya komplikasi, yaitu jenis
kelamin dimana wanita lebih sering dari pria, pasien dengan pembengkakan pada leher, serta
penderita diabetes yang memperburuk keadaan umum.

 Prognosis

Pada awalnya, kematian yang terjadi akibat kasus abses submandibula ini lebih dari 50% kasus.
Namun seiring dengan penggunaaan antibiotic yang semakin luas, angka mortalitas tersebut turun
hingga mencapai di bawah 5%. Penggunaan antibiotic intravena memberikan prognosis yang baik
jika digunakan pada masa-masa awal kasus penyakit. Kemudian tindakan operasi dilakukan jika
terjadi obstruksi jalan napas, abses yang terlokalisir dan kegagalan penggunanaan antibiotic untuk
meningkatkan kemungkinan kesembuhan.

B. Space Occupying Lesions (SOL) Intracranial


 Definisi
Tumor yang jinak atau ganas baik bersifat primer atau sekunder, dan juga sebagai massa
inflamatorik maupun parasitic yang berletak pada rongga cranium. Sol juga berupa hematoma,
berbagai jenis kista dan malformasi vaskuler.
 Epidemiologi
Berdasarkan penelitian terdapat 42 kasus SOL mempengaruhi rongga intrakranial dan tulang
belakang. 39 kasus berasal dari otak dan selaput-selaput otak dan 3 berasal dari lumbar pinalis.
Dari 39 kasus, 26 (67%) adalah akibat tumor dan 13(33%) adalah akibat infeksi, terutama
tuberculosis.
 Etiologi
 Riwayat trauma kepala
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput otak).
Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum diketahui gejala
klinis.

 Faktor Genetik
Tujuan susunan saraf pusat primer merupakan komponen besar dari beberapa gangguan
yang diturunkan sebagai kondisi autosomal, dominan termasuk sklerasis tuberose,
neurofibromatosis.
 Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik dan virus.
Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus menyebabkan
terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi hubungannya dengan tumor
pada manusia masih belum jelas.
 Defisisensi imunologi dan congenital

 Manifestasi Klinis
Nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum dianggap sebagai karakteristik peninggian
TIK. Demikian juga, dua pertiga pasien SOL memiliki semua gambaran tersebut.

Gejala klinik umum timbul karena peningkatan tekanan intracranial, meliputi

a. Nyeri kepala
Nyeri bersifat dalam, terus menerus, tumpul dan kadang-kadang bersifat hebat sekali,
biasanya paling hebat pada pagi hari dan diperberat saat beraktivitas yang menyebabkan
peningkatan TIK, yaitu batuk, membungkung, dan mengejan.
b. Nausea atau muntah
muntah yang memancar (projectile voiting) biasanya menyertai peningkatan tekanan
intracranial.
c. Papil edema
Titik buta dari retina merupakan ukuran dan bentuk dari papilla optic atau discus optic.
Karena tekanan intracranial meningkat, tekanan ditransmisi ke mata melalui cairan
cerebrospinal sampai ke discus optic. Karena meningens memberi reflex kepada seputar
bola mata, memungkinkan transmisi tekanan melalui ruang-ruang oleh cairan
cerebrospinal.

 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologik yang teliti serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis kita dapat mengetahui
gejala-gejala yang dirasakan seperti ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan
melalui pemeriksaan fisik neurologik ditemukana adanya gejala seperti edema papil dan defisit
lapangan pandang
Perubahan tanda-tanda vital pada SOL
 Denyut nadi : relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan TIK
 Pernapasan : Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan daripada
batang otak pada pasien dewasa. Perubahan pola pernapasan adalah hasil dari tekanan
langsung pada batang otak.
 Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan tekanan
intracranial. tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi, sehingga terjadi
penurunan dari denyut nadi disertai dengan perubahan pola pernapasan.
 Suhu tubuh : Ketika mekanisme dekompensasi berubah, peningkatan suhu tubuh akan
muncul akibat dari disfungsi dari hipotalamus atau edema pada traktus yang
menghubungkannya.
 Pemeriksaan Penunjang
 Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat dijadikan salah satu kunci untuk menemukan kelainan
dalam tubuh. kelainan sitemik biasanya jarang terjadi, walaupun terkadang pada abses otak
sedikit peningkatan leukosit
 CT-Scan kepala
Gambaran CT-Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa
massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak dikelilingi jaringan
oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan
atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya hiperdens.

 MRI
untuk mendeteksi tumor yang berukuran kecil ataupun tumor yang berada dibasis kranium,
batang otak dan di fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi
perdarahan, kistik, atau, massa padat tumor intracranial
 Foto Thoraks
Dilakukan untuk mengetahui apakah ada tumor dibagian tubuh lain, terutama paru yang
merupakan tempat tersering untuk terjadinya metastasis primer paru. Pada hematoma,
mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan
/edema), dan fragmen tulang

 Penatalaksanaan
 Pembedahan
Jika hasil CT-Scan didapati adanya tumor, dapat dilakukan pembedahan. Ada pembedahan
total dan parsial, hal ini tergantung jenis tumornya. Pada kasus abses seperti loculated
abscess, pembesran abses walaupun sudah diberi antibiotik yang sesuai, ataupun terjadi
impending herniation. Sedangkan pada subdural hematoma, operasi dekompresi harus segera
dilakukan jika terdapat subdural hematoma akut dengan middle shift > 5 mm. Operasi juga
direkomendasikan pada subdural hematoma akut dengan ketebalan lebih dari 1 cm.7
 Radioterapi
 Ada beberapa jenis tumor yang sensitif terhadap radioterapi, seperti low grade glioma. Selain
itu radioterapi juga digunakan sebagai lanjutan terapi dari pembedahan parsial.7
 Kemoterapi
Terapi utama jenis limpoma adalah kemoterapi. Tetapi untuk oligodendroglioma dan beberapa
astrocytoma yang berat, kemoterapi hanya digunakan sebagai terapi tambahan.

 Antikolvusan
Pasien SOL sering mengalami peningkatan tekanan intrakranial, yang salah satu gejala klinis
yang sering terjadi adalah kejang. Phenytoin (300-400mg/kali) adalah yang paling umum
digunakan. Selain itu dapat juga digunakan carbamazepine (600-1000mg/hari), phenobarbital
(90-150mg/hari) dan asam valproat (750-1500mg/hari).7
 Antibiotik
Jika dari hasil pemeriksaan diketahui adanya abses, maka antibiotik merupakan salah satu
terapi yang harus diberikan. Berikan antibiotik intravena, sesuai kultur ataupun sesuai data
empiris yang ada. Antibiotik diberikan 4-6 minggu atau lebih, hal ini disesuaikan dengan
hasil pencitraan, apakah ukuran abses sudah berkurang atau belum
 Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema peritumoral dan mengurangu tekana intrakranial. Efeknya
mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah kortikosteroid yang dipilh
karena aktivitas mineralkortikoid yang minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari
16mg/hari, tetapi dosisnya dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk mencapai dosis yang
dibutuhkan untuk mengontrol gejala neurologik.

C. Massa Mediastinum
 Definisi
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang
berada di antara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri,
pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan
salurannya.
Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat
menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa.
Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor
cukup besar, disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya.
 Klasifikasi mediastinum
Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting :
1. Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke vertebra torakal ke-5
dan bagian bawah sternum
2. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafargma di depan
jantung.
3. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di belakang
jantung.
4. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di
antara mediastinum anterior dan posterior
A. Diagnosis
Secara umum diagnosis tumor mediastinum ditegakkan sebagai berikut:
 Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat,
a. batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea
dan/atau bronkus utama,
b. disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
c. sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum
yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak,
d. suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis diafragma
timbul apabila penekanan nervus frenikus
e. nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem
syaraf.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya.
Kemungkinan tumor mediastinum dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan beberapa
keadaan klinis lain, misalnya:
a. Miastenia gravis mungkin menandakan timoma
b. Limfadenopati mungkin menandakan limfoma
B. Prosedur Radiologi

1. Foto toraks : Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior,
medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan
lokasi yang pasti.
2. Tomografi: Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi pada
lesi, yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan kadang-kadang timoma.
Tehnik ini semakin jarang digunakan.
3. CT-Scan toraks dengan kontras : Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi
kelainan tumor secara lebih baik dan dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan
jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma. CT-Scan juga dapat menentukan stage pada
kasus timoma dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum. Perkembangan
alat bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi.
Untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastinum sebaiknya dilakukan CT-
Scan toraks dan CTScan abdomen.
4. Flouroskopi: Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.
5. Ekokardiografi: Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga
aneurisma.
6. Angiografi: Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi
dan ekokardiogram.
7. Esofagografi: Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke
esofagus.
8. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir: Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan
terkadang harus dilakukan untuk beberapa kasus tumor mediastinum.

C. Prosedur Endoskopi
1. Bronkoskopi harus dilakukan bila ada indikasi operasi: Tindakan bronkoskopi dapat
memberikan informasi tentang pendorongan atau penekanan tumor terhadap saluran napas
dan lokasinya. Di samping itu melalui bronkoskopi juga dapat dilihat apakah telah terjadi
invasi tumor ke saluran napas. Bronkoskopi sering dapat membedakan tumor mediastinum
dari kanker paru primer.
2. Mediastinokopi. TIndakan ini lebih dipilih untuk tumor yang berlokasi di mediastinum
anterior.
3. Esofagoskopi
4. Torakoskopi diagnostik

D. Prosedur Patologi Anatomik


1. Pemeriksaan sitology:
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan sitologi ialah:
a. Biopsi, jarum halus (BJH atau fine needle aspiration biopsy, FNAB), dilakukan bila
ditemukan pembesaran KGB atau tumor supervisial.
b. Punksi pleura bila ada efusi pleura
c. Bilasan atau sikatan bronkus pada saat bronkoskopi
d. Biopsi aspirasi jarum, yaitu pengambilan bahan dengan jarum yang dilakukan bila terlihat
masa intrabronkial pada saat prosedur bronkoskopi yang amat mudah berdarah, sehingga
biopsi amat berbahaya
e. Biopsi transtorakal atau transthoracal biopsy (TTB) dilakukan bila massa dapat dicapai
dengan jarum yang ditusukkan di dinding dada dan lokasi tumor tidak dekat pembuluh
darah atau tidak ada kecurigaan aneurisma. Untuk tumor yang kecil (<3cm>, memiliki
banyak pembuluh darah dan dekat organ yang berisiko dapat dilakukan TTB dengan
tuntunan flouroskopi atau USG atau CT Scan.

2. Bila BJH tidak berhasil menetapkan jenis histologis, perlu dilakukan prosedur di bawah
ini:
a. Biopsi KGB yang teraba di leher atau supraklavikula. Bila tidak ada KGB yang teraba,
dapat dilakukan pengangkatan jaringan KGB yang mungkin ada di sana. Prosedur ini
disebut biopsi Daniels.
b. Biopsi mediastinal, dilakukan bila dengan tindakan di atas hasil belum didapat.
c. Biopsi eksisional pada massa tumor yang besar
d. Torakoskopi diagnostik
e. Video-assisted thoracic surgery (VATS), dilakukan untuk tumor di semua lokasi,
terutama tumor di bagian posterior.

E. Pemeriksaan Laboratorium

a. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sering tidak memberikan informasi yang berkaitan
dengan tumor. LED kadang meningkatkan pada limfoma dan TB mediastinum.
b. Uji tuberkulin dibutuhkan bila ada kecurigaan limfadenitis TB · Pemeriksaan kadar T3
dan T4 dibutuhkan untuk tumor tiroid.
c. Pemeriksaan a-fetoprotein dan b-HCG dilakukan untuk tumor mediastinum yang
termasuk kelompok tumor sel germinal, yakni jika ada keraguan antara seminoma atau
nonseminoma. Kadar a-fetoprotein dan b-HCG tinggi pada golongan nonseminoma.

A. Tindakan Bedah
Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik bila semua upaya diagnostik tidak berhasil
memberikan diagnosis histologis.

B. Pemeriksaan Lain
EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma atau tumortumor
lainnya. Kegunaan pemeriksaan ini adalah mencari kemungkinan miestenia gravis atau
myesthenic reaction.

Klasifikasi Tumor Mediastinum

Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau jenis
histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg (tabel 1).
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan sedangkan untuk
tumor ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum jenis limfoma
Hodgkin's maupun non Hondgkin's diobati sesuai dengan protokol untuk limfoma dengan
memperhatikan masalah respirasi selama dan setelah pengobatan.
Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umu adalah multimodality meski
sebagian besar membutuhkan tindakan bedah saja, karena resisten terhadap radiasi dan
kemoterapi tetapi banyak tumor jenis lain membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan
kemoterapi, sebagai terapi adjuvant atau neoadjuvan.
Syarat untuk tindakan bedah elektif adalah syarat umum, yaitu pengukuran toleransi
berdasarkan fungsi paru, yang diukur dengan spirometri dan jika mungkin dengan body box.
Bila nilai spirometri tidak sesuai dengan klinis maka harus dikonfirmasi dengan analis gas
darah. Tekanan O2 arteri dan Saturasi O2 darah arteri harus >90%.

Syarat untuk radioterapi dan kemoterapi adalah: ·


Hb > 10 gr%
leukosit > 4.000/dl
trombosit > 100.000/dl
tampilan (performance status) > 70 Karnofsky
Jika digunakan obat antikanker yang bersifat radiosensitaizer maka radio kemoterapi dapat
diberikan secara berbarengan (konkuren). Jika keadaan tidak mengizinkan, maka kombinasi
radiasi dan kemoterapi diberikan secara bergantian (alternating: radiasi diberikan di antara
siklus kemoterapi) atau sekuensial (kemoterapi > 2 siklus, lalu dilanjutkan dengan radiasi, atau
radiasi lalu dilanjutkan dengan kemoterapi). Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu
diawasi terjadinya melosupresi dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai