Bab III
PIKIRAN
citta vagga
Syair 33 dan 34
III. (1) Kisah Meghiya Thera
Pada suatu waktu Meghiya Thera menghadap Sang Buddha dan tinggal beberapa
waktu di sana. Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima
dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada suatu hutan mangga yang menyenangkan
dan indah.
"Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk tempat berlatih meditasi,"
demikian pikirnya. Setibanya di Vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan
meminta ijin agar diperbolehkan segera pergi ke sana.
Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena
dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi.
Tetapi Meghiya Thera ingin segera pergi, lalu ia mengulangi dan mengulangi lagi
permohonannya. Akhirnya Sang Buddha mengatakan agar melakukan apa yang dia
inginkan.
Segera Meghiya Thera pergi ke hutan mangga, duduk di bawah pohon dan berlatih
meditasi. Tetapi pikirannya berkeliaran terus, tanpa tujuan, dan sukar berkonsentrasi.
Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha mengapa sepanjang
waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama
vitakka, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka).
Atas pertanyaan itu Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34 berikut
ini :
Pikiran itu mudah goyah dan tidak tetap; pikiran susah dikendalikan dan dikuasai.
Orang bijaksana meluruskannya bagaikan seorang pembuat panah meluruskan anak
panah.
Bagaikan ikan yang dikeluarkan dari air dan dilemparkan ke atas tanah, pikiran itu
selalu menggelepar. Karena itu cengkeraman dari Mara harus ditaklukkan.
Meghiya Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Syair 35
III. (2) Kisah Seorang Bhikkhu Tertentu
Suatu ketika, enam puluh bhikkhu, setelah mendapatkan cara bermeditasi dari Sang
Buddha, pergi ke desa Matika, di kaki sebuah gunung. Di sana, Matikamata, ibu dari
kepala desa, memberikan dana makanan kepada para bhikkhu; Matikamata juga
mendirikan sebuah vihara untuk para bhikkhu bertempat tinggal selama musim hujan.
Suatu hari Matikamata bertanya kepada para bhikkhu perihal cara-cara bermeditasi.
Bhikkhu-bhikkhu itu mengajarkan kepadanya bagaimana cara bermeditasi dengan tiga
puluh dua unsur bagian tubuh untuk menyadari kerapuhan dan kehancuran tubuh.
Matikamata melaksanakannya dengan rajin dan mencapai tiga magga dan phala
bersamaan dengan pandangan terang analitis dan kemampuan batin luar biasa,
sebelum para bhikkhu itu mencapainya.
Dengan munculnya berkah magga dan phala ia dapat melihat dengan mata batin
(dibbacakkhu). Ia mengetahui para bhikkhu itu belum mencapai magga. Ia juga tahu
bahwa bhikkhu-bhikkhu itu mempunyai cukup potensi untuk mencapai arahat, tetapi
mereka memerlukan makanan yang cukup dan penuh gizi, karena tubuh yang lemah
akan mempengaruhi pikiran untuk berkonsentrasi.
Akhir musim hujan, para bhikkhu kembali ke vihara Jetavana, tempat bersemayam
Sang Buddha. Mereka melaporkan kepada Sang Buddha bahwa mereka semua dalam
keadaan kesehatan yang baik dan menyenangkan, mereka sudah tidak khawatir
perihal makanan. Mereka juga menceritakan Matikamata mengetahui pikiran mereka
dan menyediakan serta memberi mereka banyak makanan yang sesuai.
Ia menyampaikan kepada Sang Buddha bahwa ia tidak dapat tinggal di desa Matika
karena ia khawatir bahwa umat dermawan yang setia itu mungkin melihat ketidak-
sucian pikirannya.
Sang Buddha kemudian berkata kepada bhikkhu itu untuk memperhatikan hanya pada
satu hal, yaitu mengawasi pikiran. Beliau juga berkata kepada bhikkhu itu untuk
kembali ke vihara desa Matika, tidak memikirkan sesuatu yang lain, tetapi hanya pada
obyek meditasinya.
Bhikkhu tersebut kembali ke desa Matika. Umat dermawan itu tetap memberikan
dana makanan yang baik kepadanya seperti yang dilakukannya kepada para bhikkhu
lain, dan bhikkhu itu melaksanakan meditasi dengan tanpa rasa khawatir lagi. Dalam
jangka waktu yang pendek, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat.
Berkenaan dengan bhikkhu itu, Sang Buddha membabarkan syair 35 berikut ini :
Sukar dikendalikan pikiran yang binal dan senang mengembara sesuka hatinya.
Adalah baik untuk mengendalikan pikiran, suatu pengendalian pikiran yang baik
akan membawa kebahagiaan.
Para bhikkhu yang berkumpul pada saat itu mencapai tingkat kesucian Sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 36
III. (3) Kisah Seorang Bhikkhu yang Tidak Puas
Ada seorang pemuda anak seorang bankir bertanya kepada seorang bhikkhu yang
menghampiri rumahnya untuk berpindapatta, apakah yang harus dilakukan untuk
membebaskan diri dari penderitaan dalam kehidupan saat ini.
Bhikkhu itu menyarankan untuk memisahkan tanahnya dalam tiga bagian. Satu
bagian untuk mata pencahariannya, satu bagian untuk menyokong keluarga, dan satu
bagian lagi untuk berdana.
Ia melakukan semua petunjuk itu, kemudian pemuda itu menanyakan lagi apa yang
harus dilakukan selanjutnya.
Disarankan lebih lanjut; pertama, berlindung kepada Tiratana dan melaksanakan lima
sila; kedua, melaksanakan sepuluh sila; dan ketiga, meninggalkan kehidupan
keduniawian dan memasuki Pasamuan Sangha. Pemuda itu menyanggupi semua saran
dan ia menjadi seorang bhikkhu.
Sebagai seorang bhikkhu, ia mendapat pelajaran Abhidhamma dari seorang guru dan
vinaya oleh guru lainnya. Selama mendapat pelajaran ia merasa bahwa Dhamma itu
terlalu berat untuk dipelajari, dan peraturan vinaya terlalu keras dan terlalu banyak,
sehingga tidak banyak kebebasan, bahkan untuk mengulurkan tangan sekalipun.
Bhikkhu itu berpikir bahwa mungkin lebih baik untuk kembali pada kehidupan
berumah tangga. Karena alasan ragu-ragu dan tidak puas, ia menjadi tidak bahagia
dan menyia-nyiakan kewajibannya. Dia juga menjadi kurus dan kering.
Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui masalahnya, Beliau berkata, "Jika kamu
hanya mengawasi pikiranmu, kamu tidak akan mempunyai apa-apa lagi yang akan
diawasi; jadi jagalah pikiranmu sendiri."
Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus; pikiran bergerak sesuka
hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga
pikirannya akan berbahagia.
Bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain mencapai tingkat kesucian
arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 37
III. (4) Kisah Samgharakkhita Thera
Suatu hari, tinggallah di Savatthi, seorang bhikkhu senior yang bernama
Samgharakkhita. Ketika kakak perempuannya melahirkan anak laki-laki, ia memberi
nama anaknya Samgharakkhita Bhagineyya. Keponakan Samgharakkhita, pada waktu
itu, juga memasuki pasamuan Sangha.
Ketika bhikkhu muda tinggal di suatu vihara desa, ia diberi dua buah jubah, dan ia
bermaksud memberikan satu jubah kepada pamannya, Samgharakkhita Thera. Akhir
masa vassa, bhikkhu muda itu pergi ke pamannya untuk memberi hormat kepadanya
dan memberikan jubah. Tetapi pamannya menolak untuk menerima jubah itu, dan
berkata bahwa ia sudah mempunyai cukup. Walaupun bhikkhu muda mengulangi lagi
permintaannya, pamannya tetap tidak mau. Bhikkhu muda itu merasa sakit hati dan
berpikir bahwa sejak saat itu pamannya tidak sudi untuk berbagi kebutuhan
dengannya. Akan lebih baik baginya untuk meninggalkan pasamuan Sangha dan
hidup sebagai seorang perumah tangga.
Dari masalah itu, pikirannya mengembara dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain.
Ia berpikir bahwa setelah meninggalkan pasamuan Sangha, ia akan menjual jubahnya
dan membeli seekor kambing betina. Kambing betina itu akan segera melahirkan
anak. Anak-anak kambing dijual dan segera ia akan mempunyai uang cukup untuk
menikah. Isterinya akan melahirkan seorang anak laki-laki. Ia akan membawa isteri
dan anaknya dengan sebuah kereta kecil untuk mengunjungi pamannya di vihara.
Dalam perjalanan, ia akan berkata bahwa ia akan menggendong anaknya. Tetapi
isterinya berkata kepadanya agar ia mengendarai kereta saja dan jangan mengurusi
anak. Ia bersikeras dan merebut anak dari isterinya. Sewaktu terjadi perebutan, anak
itu terjatuh dan terlindas roda kereta. Dengan marah ia memukul isterinya dengan
cemeti.
Pada saat itu ia membelakangi pamannya dengan memegang kipas daun palem dan ia
dengan tidak sengaja memukul kepala pamannya dengan kipasnya. Samgharakkhita
tua mengetahui pikiran bhikkhu muda itu dan berkata, "Kamu tidak sanggup
menghajar isterimu; mengapa kamu menghajar seorang bhikkhu tua ?"
Samgharakkhita muda sangat terkejut dan malu atas kata-kata bhikkhu tua itu. Ia juga
menjadi sangat ketakutan dan kemudian melarikan diri. Bhikkhu-bhikkhu muda
lainnya dan penjaga vihara mengejarnya dan akhirnya membawanya ke hadapan Sang
Buddha.
Ketika membicarakan seluruh kisah bhikkhu muda itu, Sang Buddha berkata bahwa
pikiran memiliki kemampuan untuk berpikir pada suatu obyek yang berkepanjangan,
dan seseorang seharusnya berusaha keras untuk bebas dari belenggu nafsu keinginan,
kebencian, dan kegelapan batin.
Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak berwujud, dan terletak jauh di lubuk hati.
Mereka yang dapat mengendalikannya, akan bebas dari jeratan Mara.
Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Syair 38 dan 39
III. (5) Kisah Cittahattha Thera
Seorang laki-laki yang berasal dari Savatti, ketika mengetahui lembu jantannya
hilang, mencarinya ke dalam hutan. Yang dicari tidak juga diketemukan. Akhirnya ia
merasa lelah dan sangat lapar. Ia singgah ke sebuah vihara desa, dengan harapan di
situ ia akan mendapatkan sisa dari makanan pagi.
Pada saat makan, terpikir olehnya bahwa ia bekerja sangat keras setiap hari tetapi
tidak mendapatkan cukup makanan. Para bhikkhu itu kelihatannya tak pernah bekerja,
tetapi selalu mendapat makanan yang cukup. Bahkan berlebih. Maka muncul sebuah
ide yang baik untuk menjadi seorang bhikkhu.
Beberapa waktu kemudian, ia merasa bahwa kehidupannya di rumah terlalu sibuk dan
ia kembali ke vihara untuk diizinkan menjadi seorang bhikkhu untuk kedua kalinya.
Lagi, ia pergi ke vihara untuk ketiga kalinya dan kemudian lepas jubah lagi.
Proses ini terjadi enam kali, dan karena ia melakukan hanya menuruti kemauannya
saja, maka ia dikenal sebagai Citahattha Thera.
Pada saat pulang balik antara rumahnya dan vihara, isterinya hamil. Sebenarnya ia
belum siap menjadi bhikkhu, ia memasuki pasamuan bhikkhu hanya karena
kesenangannya saja. Jadi, ia tidak pernah berbahagia, baik sebagai perumah tangga,
maupun sebagai seorang bhikkhu.
Suatu hari, saat hari terakhir tinggal di rumah, ia masuk ke kamar tidur pada saat
isterinya sedang tidur. Isterinya hampir telanjang, memakai pakaian yang sebagian
terjulai jatuh. Isterinya juga mengorok dengan suara keras melalui hidung dan dari
mulutnya keluar lendir dan ludah. Jadi dengan mulut yang terbuka dan perut yang
gembung, ia terlihat hanya seperti mayat. Melihat keadaan isterinya, ia tiba-tiba
merasa ketidakkekalan dan ketidakindahan tubuh jasmani, dan ia membayangkan:
"Saya telah menjadi seorang bhikkhu beberapa kali dan hal ini hanya dikarenakan
perempuan ini, yang menjadikan saya tidak dapat menjadi seorang bhikkhu……"
Setelah tiba di vihara ia berkata kepada para bhikkhu agar diizinkan diterima dalam
pasamuan Sangha. Para bhikkhu menolak dan berkata, "Kami tidak dapat
mengizinkanmu lagi menjadi seorang bhikkhu. Kamu berulangkali mencukur rambut
kepalamu sehingga kepalamu seperti sebuah batu yang diasah."
Masih ia memohon dengan amat sangat agar diizinkan diterima dalam pasamuan
Sangha sekali ini dan mereka memenuhinya. Dalam beberapa hari bhikkhu
Cittahattha mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan pandangan terang
analitis.
Bhikkhu lain kagum melihat dia sekarang dapat tetap tinggal dalam jangka waktu
lama di vihara. Mereka bertanya apa sebabnya ? Terhadap hal itu, beliau menjawab,
"Saya pulang ke rumah ketika saya masih memiliki kemelekatan dalam diri saya,
tetapi kemelekatan itu sekarang telah terpotong."
Orang yang pikirannya tidak teguh, yang tidak mengenal ajaran yang benar, yang
keyakinannya selalu goyah, orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.
Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian, yang telah
mengatasi keadaan baik dan buruk, di dalam diri orang yang selalu sadar seperti itu
tidak ada lagi ketakutan.
Syair 40
III. (6) Kisah Lima Ratus Bhikkhu
Lima ratus bhikkhu yang berasal dari Savatthi, setelah memperoleh cara-cara
bermeditasi dari Sang Buddha, mengadakan perjalanan sejauh seratus yojana dari
Savatthi dan tiba pada sebuah hutan yang besar, suatu tempat yang cocok untuk
melaksanakan meditasi. Banyak makhluk halus yang berdiam pada pohon-pohon di
hutan tempat para bhikkhu tinggal, para makhluk halus itu merasa tidak sesuai
berdiam di pohon bersama-sama mereka.
Para makhluk halus itu kemudian turun dari pohon dan berpikir, "Ah, para bhikkhu itu
hanya bermeditasi untuk satu malam saja. Biarlah aku mengalah dan menyingkir dari
pohon." Tetapi, sampai dini hari para bhikkhu itu belum pergi juga.
"Celaka, jangan-jangan para bhikkhu itu akan tinggal di sini sampai akhir masa vassa.
Maka aku dan keluargaku terpaksa harus tinggal di tanah dalam waktu yang lama."
Pikir makhluk-makhluk halus itu lagi. Mereka segera berunding dan memutuskan
untuk menakut-nakuti para bhikkhu tersebut pada malam harinya, dengan membuat
suara-suara dan hal-hal aneh yang menakutkan. Mereka memperlihatkan tubuh tanpa
kepala, kepala tanpa tubuh, kerangka-kerangka yang berjalan mondar-mandir, dan
sebagainya.
Setelah mendengarkan laporan mereka, Sang Buddha mengatakan bahwa hal itu
terjadi karena mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Mereka harus kembali ke hutan
itu dengan membawa sesuatu yang sesuai (cinta kasih). Kemudian Sang Buddha
mengajarkan ‘Metta Sutta’ (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) kepada mereka,
diawali dengan syair berikut :
Karaniyamattha kusalena
Yanta santam padam abhisamecca
Sakko uju ca suhuju ca
Hal-hal inilah yang perlu dilakukan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan dan
bermanfaat mencapai ketenangan sempurna (Nibbana).
Ia harus tepat guna, jujur, sungguh jujur, rendah hati, lemah lembut, tiada sombong,
dst.
Bhikkhu-bhikkhu diharapkan untuk mengulang kembali sutta itu pada saat mereka
tiba di pinggir hutan dan berada di vihara.
Para bhikkhu pergi kembali ke hutan dan melakukan pesan Sang Buddha. Makhluk
halus penunggu pohon mendapat pancaran cinta kasih dari bhikkhu-bhikkhu.
Mengetahui bahwa para bhikkhu sebenarnya tidak ingin mengganggu mereka, para
makhluk halus membalas dengan menyambut selamat datang dan tidak mengganggu
lagi. Di hutan itu tidak ada lagi suara-suara dan penglihatan-penglihatan yang aneh.
Dalam suasana damai bhikkhu-bhikkhu bermeditasi dengan obyek tubuh jasmani, dan
mereka memperoleh perealisasian bahwa tubuh ini rapuh dan tidak kekal
keberadaannya.
Dari Vihara Jetavana, Sang Buddha, dengan kekuatan batinnya, mengetahui kemajuan
batin bhikkhu-bhikkhu itu dan mengirimkan cahaya agar membuat mereka merasakan
kehadiran Beliau.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, seperti apa yang kalian telah
realisasikan, tubuh ini sungguh-sungguh tidak kekal dan rapuh seperti sebuah
tempayan tanah."
Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
Syair 41
III. (7) Kisah Putigattatissa Thera
Sesudah mendapatkan cara-cara bermeditasi dari Sang Buddha, Tissa Thera rajin
melaksanakan meditasi dalam keadaan menderita suatu penyakit. Bisul-bisul kecil
nampak di seluruh tubuh dan bisul itu berkembang menjadi luka yang besar. Ketika
luka ini pecah, jubah atas dan bawahnya menjadi lengket, dicemari nanah dan darah,
seluruh tubuhnya berbau busuk. Karena hal itu, beliau dikenal dengan sebutan
Putigattatissa, Tissa yang tubuhnya berbau.
Pada saat Sang Buddha memandang alam semesta dengan penglihatan batin
sempurna, Tissa Thera nampak dalam penglihatannya. Beliau melihat kesedihan Tissa
Thera, yang telah ditinggal sendirian oleh murid-muridnya karena tubuhnya berbau.
Dalam waktu yang sama, Sang Buddha mengetahui bahwa Tissa dapat segera
mencapai tingkat kesucian arahat.
Sang Buddha mengeluarkan pancaran api di dekat tempat tinggal Tissa. Di tempat itu,
Sang Buddha mendidihkan air, kemudian Beliau datang ke tempat Tissa berbaring,
memegang tepi dipan.
Hal ini membuat murid-murid Tissa Thera berkumpul mengelilingi gurunya. Sesuai
petunjuk Sang Buddha, mereka mengangkat Tissa Thera mendekati tempat pancaran
api. Di tempat tersebut Tissa Thera dibasuh dan dimandikan. Ketika ia masih
dimandikan, jubah atas dan bawahnya dicuci dan dikeringkan. Sesudah mandi, tubuh
dan pikiran Tissa Thera menjadi segar. Segera batinnya berkembang mencapai satu
titik konsentrasi.
Berdiri pada kepala dipan, Sang Buddha berkata kepadanya bahwa dalam tubuh ini
tidak ada inti seperti sebatang kayu yang terbujur di atas tanah.
Aduh, tak lama lagi tubuh ini akan terbujur di atas tanah, dibiarkan saja, tanpa
kesadaran, bagaikan sebatang kayu yang tidak berguna.
Atas pertanyaan mengapa Tissa tubuhnya berbau, Sang Buddha menerangkan bahwa
Tissa, pada salah satu kehidupannya yang lampau adalah penangkap unggas yang
kejam. Setelah tertangkap, tulang kaki dan tulang sayap burung itu selalu
dipatahkannya, agar tak bisa melarikan diri. Akibat perbuatan kejamnya itu, Tissa
terlahir kembali dengan tubuh berbau.
Syair 42
III. (8) Kisah Nanda, Seorang Pengawas
Nanda adalah seorang pengawas yang bertugas mengurus sapi-sapi milik
Anathapindika. Meskipun ia hanya seorang pengawas, tetapi ia telah bertindak seperti
pemiliknya.
Pada saat itu, seorang pemburu yang merupakan musuh lama Nanda, memanahnya.
Bhikkhu-bhikkhu, yang mengikuti Sang Buddha, melihat Nanda mati terjatuh.
Mereka melaporkan hal itu kepada Sang Buddha: "Bhante, karena kedatangan Bhante,
Nanda yang telah memberikan banyak persembahan dan menyertai Bhante pulang
telah dibunuh pada saat ia pulang kembali ke rumahnya."
Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan,"Para bhikkhu, apakah saya datang kemari
atau tidak, ia tidak dapat melarikan diri dari kematian, akibat dari kamma lampaunya.
Seperti halnya pikiran yang diarahkan secara keliru akan menjadikan seseorang jauh
lebih berat terluka daripada luka yang dibuat oleh musuh ataupun pencuri. Pikiran
yang diarahkan secara benar, adalah satu-satunya jaminan bagi seseorang untuk
menjauhkan diri dari bahaya."
Luka dan kesakitan macam apapun dapat dibuat oleh orang yang saling bermusuhan
atau saling membenci. Namun pikiran yang diarahkan secara salah akan melukai
seseorang jauh lebih berat.
Syair 43
III. (9) Kisah Soreyya
Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa pembantu pergi dengan
sebuah kereta yang mewah untuk membersihkan diri (mandi). Pada saat itu,
Mahakaccayana Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan
memasuki kota Soreyya untuk berpindapatta. Pemuda Soreyya, melihat sinar
keemasan dari Mahakaccayana Thera, berpikir: "Bagaimana apabila Mahakaccayana
Thera menjadi isteriku, atau bagaimana apabila warna kulit isteriku seperti itu."
Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah menjadi seorang wanita.
Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada jalan menuju ke arah
Taxila. Pembantunya kehilangan dia, mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.
Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki; dan ada juga dua anak laki-laki dari
perkawinan Soreyya pada waktu masih sebagai pria.
Suatu hari, seorang anak orang kaya dari kota Soreyya datang di Taxila dengan lima
ratus kereta. Perempuan Soreyya mengenalinya sebagai seseorang yang telah diutus
oleh teman lamanya. Laki-laki dari kota Soreyya itu merasa senang bahwa ia
diundang oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ia berbicara dengan
Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya, dan bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya
mengetahui dirinya. Soreyya menjawab bahwa ia tahu tentang dirinya dan
menanyakan kesehatan keluarganya dan beberapa orang-orang di kota Soreyya. Laki-
laki dari kota Soreyya berbicara tentang anak orang kaya yang hilang secara misterius
ketika pergi ke luar kota untuk mandi. Soreyya mengungkapkan identitas dirinya dan
menghubungkan semua apa yang telah terjadi, tentang pikiran salahnya kepada
Mahakaccayana Thera, tentang perubahan kelamin, dan perkawinannya dengan orang
kaya di Taxila.
Sesudah itu ia sering ditanya,"Siapa yang kamu cintai, dua anak laki-laki pada saat ia
sebagai seorang laki-laki atau dua anak lain pada saat ia sebagai seorang isteri ?"
Terhadap hal itu ia menjawab bahwa cinta kepada mereka yang dilahirkan dari
rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan ini sering kali muncul, ia merasa sangat
terganggu dan malu. Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan
penghancuran dan proses tubuh jasmani.
Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai tingkat kesucian arahat bersamaan dengan
pandangan terang analitis. Ketika pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia
menjawab bahwa ia telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada sesuatu yang
khusus. Bhikkhu-bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir bahwa ia pasti berkata
tidak benar.
Pada saat dilapori dua jawaban berbeda Soreyya itu, Sang Buddha berkata, "Anak-Ku
berkata benar, ia telah berbicara benar. Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang
telah mencapai tingkat kesucian arahat sehingga ia tidak lagi menyayangi sesuatu
yang khusus. Dengan pikiran terarah benar anak-Ku telah membuat dirinya berada
pada suatu kehidupan baik, yang bukan diberikan oleh ayah maupun ibu."
Banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.