Anda di halaman 1dari 7

DHAMMAPADA ATTHAKATHA

Bab XVI
KECINTAAN
piya vagga

Syair 209, 210, dan 211 XVI. (1) Kisah Tiga Pertapa
Syair 212 XVI. (2) Kisah Seorang Perumah Tangga Kaya
Syair 213 XVI. (3) Kisah Visakha
Syair 214 XVI. (4) Kisah Pangeran-Pangeran Licchavi
Syair 215 XVI. (5) Kisah Anitthigandha Kumara
Syair 216 XVI. (6) Kisah Seorang Brahmana
Syair 217 XVI. (7) Kisah Lima Ratus Anak Laki-Laki
Syair 218 XVI. (8) Kisah Seorang Thera Anagami
Syair 219 dan 220 XVI. (9) Kisah Nandiya

Syair 209, 210, dan 211


XVI. (1) Kisah Tiga Pertapa
Suatu ketika terjadi di Savatthi, satu-satunya putra dari sebuah keluarga, pertama kali
menjadi seorang bhikkhu, kemudian sang ayah mengikuti menjadi bhikkhu, dan
akhirnya sang ibu menjadi seorang bhikkuni. Mereka sangat dekat satu sama lainnya
sehingga mereka jarang tinggal terpisah. Keluarga itu tinggal di vihara seperti tinggal
di rumah sendiri, berbicara dan makan bersama, membuat bhikkhu-bhikkhu lain
merasa terganggu. Bhikkhu lain melaporkan kelakuan mereka kepada Sang Buddha,
dan Sang Buddha memanggil mereka.

Sang Buddha berkata, "Sekali kamu telah bergabung dalam pasamuan Sangha, kamu
seharusnya tidak lagi tinggal bersama seperti sebuah keluarga. Jangan melihat mereka
yang kaucinta dan melihat mereka yang tidak kaucinta, kedua hal itu merupakan
penderitaan, maka kamu seharusnya tidak tergantung kepada seseorang atau sesuatu
yang kamu cintai."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 209, 210, dan 211 berikut ini :

Orang yang memperjuangkan apa yang seharusnya dihindari, dan tidak


memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan; melepaskan apa yang baik
dan melekat pada apa yang tidak menyenangkan, akan merasa iri terhadap mereka
yang tekun dalam latihan.
Janganlah melekat pada apa yang dicintai atau yang tidak dicintai. Tidak bertemu
dengan mereka yang dicintai dan bertemu dengan mereka yang tidak dicintai,
keduanya merupakan penderitaan.

Oleh sebab itu janganlah mencintai apapun, karena berpisah dengan apa yang dicintai
adalah meyedihkan. Tiada lagi ikatan bagi mereka yang telah bebas dari mencintai
dan tidak mencintai.

Syair 212
XVI. (2) Kisah Seorang Perumah Tangga Kaya
Suatu saat seorang perumah tangga merasa sangat sedih atas kematian putranya. Dia
sering pergi ke makam dan menangis di sana. Suatu pagi, Sang Buddha melihat
perumah tangga kaya tersebut dalam penglihatan Beliau. Oleh karena itu, Sang
Buddha bersama seorang bhikkhu pergi menuju ke rumah perumah tangga kaya
tersebut.

Di sana, Sang Buddha bertanya kepada lelaki tersebut mengapa dia merasa sangat
tidak bahagia. Lelaki tersebut menjelaskan kepada Sang Buddha tentang kematian
putranya, dan tentang kesedihan serta duka cita penderitaannya. Kepadanya Sang
Buddha berkata, "Murid-Ku, kematian tidak hanya terjadi di satu tempat. Semua
makhluk yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian pada suatu hari,
sesungguhnya kehidupan berakhir dengan kematian. Kamu harus menyadari
kenyataan bahwa kehidupan berakhir dengan kematian. Janganlah kau anggap hanya
putra tersayangmu saja yang mengalami kematian. Jangan terlalu sedih ataupun
terlalu goncang. Duka cita dan ketakutan timbul dari kesayangan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 212 berikut :

Dari yang disayangi timbul kesedihan, dari yang disayangi timbul ketakutan; bagi
orang yang telah bebas dari yang disayangi, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Perumah tangga kaya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma
itu berakhir.

Syair 213
XVI. (3) Kisah Visakha
Suatu hari, seorang cucu Visakha yang bernama Sudatta meninggal dunia, dan
Visakha merasa sangat kehilangan dan bersedih atas kematian cucu tersebut. Maka dia
pergi menghadap Sang Buddha.

Ketika Sang Buddha melihatnya, Beliau berkata, "Visakha, tidakkah kamu menyadari
bahwa banyak orang meninggal dunia di Savatthi setiap hari ? Jika kamu
memperhatikan mereka semua seperti kamu memperhatikan cucumu, kamu pasti akan
menangis dan berkabung tiada henti-hentinya. Jangan biarkan kematian seorang anak
mempengaruhi kamu berlebih-lebihan. Kesedihan dan ketakutan timbul dari
kecintaan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 213 berikut :

Dari cinta timbul kesedihan, dari cinta timbul ketakutan; bagi orang yang telah
bebas dari rasa cinta, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Syair 214
XVI. (4) Kisah Pangeran-Pangeran Licchavi
Pada suatu hari festival Sang Buddha memasuki kota Vesali ditemani oleh
serombongan bhikkhu. Di perjalanan, mereka bertemu beberapa Pangeran Licchavi
yang mengenakan pakaian bagus. Sang Buddha melihat mereka penuh dengan tanda-
tanda kebesaran, berkata kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu, siapa saja yang tidak
pernah ke alam Dewa Tavatimsa seharusnya melihat pangeran-pangeran Licchavi ini."

Pangeran-pangeran itu menuju ke taman yang indah. Di sana mereka bertengkar


perihal seorang pelacur dan pertengkaran itu menjadi perkelahian. Sebagai hasilnya
beberapa dari mereka berdarah dan dibawa pulang. Ketika Sang Buddha bersama para
bhikkhu berjalan pulang setelah bersantap di kota, mereka melihat pangeran yang
luka-luka dibawa pulang ke rumahnya.

Berkaitan dengan kejadian tersebut para bhikkhu berkata, "Demi seorang wanita,
pangeran-pangeran Licchavi ini bertengkar." Kepada mereka, Sang Buddha
menjelaskan, "Para bhikkhu, penderitaan dan ketakutan timbul dari kesenangan
duniawi dan kemelekatan terhadapnya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 214 berikut :

Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang
yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Syair 215
XVI. (5) Kisah Anitthigandha Kumara
Anitthigandha tinggal di Savatthi. Dia akan menikah dengan seorang wanita muda
cantik dari kota Sagala, dari negara Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke
Savatthi, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika pengantin pria
mendengar kabar tentang kematian pengantin wanitanya, dia menjadi putus asa.

Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi
pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti, Sang Buddha menuju ke rumah
pemuda tersebut. Orang tua pemuda itu memberi dana makanan kepada Sang Buddha.
Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orang tua pemuda itu untuk membawa
anaknya menghadap Sang Buddha.

Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa dia sedih dan putus asa,
pemuda itu menjelaskan seluruh kejadian tragis kematian pengantin wanitanya.
Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, "O Anitthigandha ! Dari nafsu timbul
kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi,
kesedihan serta ketakutan muncul."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 215 berikut :

Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul ketakutan; bagi orang yang telah
bebas dari nafsu, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Anitthigandha mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu


berakhir.

Syair 216
XVI. (6) Kisah Seorang Brahmana
Ada seorang brahmana tinggal di Savatthi, dan dia bukan seorang Buddhis. Tetapi
Sang Buddha mengetahui bahwa sang brahmana akan mencapai tingkat kesucian
sotapatti dalam waktu dekat. Maka Sang Buddha pergi ke tempat brahmana
membajak ladangnya dan mengajak berbicara dengannya. Brahmana menjadi
bersahabat dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah berkenalan
dengannya dan memperhatikan pekerjaannya di ladang.

Suatu hari dia berkata kepada Sang Buddha, "Samana Gotama, bila nanti saya menuai
padi dari ladang ini, pertama sekali saya akan memberikan sebagian hasil panen ini
kepadamu sebelum saya mengambilnya. Saya tidak akan memakan beras saya
sebelum saya memberikan kepadamu." Akan tetapi Sang Buddha mengetahui bahwa
brahmana itu tidak mempunyai kesempatan untuk memanen padi dari ladangnya
tahun itu, tetapi Beliau berdiam diri.

Kemudian pada malam sebelum si brahmana memanen padinya, turun hujan lebat
menyapu semua tanaman padinya. Sang brahmana sangat sedih karena dia tidak
mungkin memberikan sebagian hasil panen kepada temannya, Samana Gotama.

Sang Buddha pergi ke rumah brahmana dan sang brahmana memberitahukan tentang
bencana besar yang menimpanya. Sang Buddha menjawab, "Brahmana, kamu tidak
mengetahui sebab dari penderitaan, tetapi Saya mengetahui. Jika kesedihan dan
ketakutan muncul, hal-hal itu disebabkan oleh keinginan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 216 berikut :

Dari keinginan timbul kesedihan, dari keinginan timbul ketakutan; bagi orang yang
telah bebas dari keinginan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Syair 217
XVI. (7) Kisah Lima Ratus Anak Laki-Laki
Pada suatu hari festival, Sang Buddha memasuki kota Rajagaha untuk berpindapatta
dengan ditemani oleh sejumlah bhikkhu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu
dengan lima ratus anak laki-laki yang sedang berjalan menuju ke suatu taman yang
indah. Anak-anak itu membawa beberapa keranjang kue pancake tetapi mereka tidak
memberikan satupun kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Sang Buddha berkata
kepada para bhikkhu, "Para bhikkhu, kamu akan memakan pancake itu hari ini;
pemiliknya akan datang mendekati kita. Kita akan mendapatkannya hanya setelah ada
yang mengambil beberapa pancake." Setelah mengatakan hal itu, Sang Buddha dan
para bhikkhu berteduh di bawah pohon.

Pada waktu itu Kassapa Thera datang ke sana sendirian. Anak-anak itu melihatnya
dan kemudian menghormat Kassapa Thera, serta mendanakan pancake mereka kepada
Sang Thera.

Kassapa Thera kemudian berkata kepada anak-anak itu, "Guruku Yang Mulia
beristirahat di sana di bawah pohon ditemani oleh beberapa bhikkhu. Pergi dan
danakan pancake kalian kepada-Nya dan para bhikkhu."

Anak-anak itu melakukan apa yang dikatakan oleh Kassapa Thera. Sang Buddha
menerima dana pancake itu. Kemudian, para bhikkhu berkata bahwa anak-anak itu
sangat menyukai Kassapa Thera.

Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu, semua bhikkhu yang seperti
anak-Ku Kassapa disukai oleh para dewa dan manusia. Beberapa bhikkhu hanya
selalu menerima cukup pemberian empat kebutuhan bhikkhu."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 217 berikut :

Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam
Dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua
orang akan mencintainya.

Lima ratus anak laki-laki mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah
Dhamma itu berakhir.

Syair 218
XVI. (8) Kisah Seorang Thera Anagami
Suatu saat murid-murid dari seorang thera bertanya kepadanya apakah dia telah
mencapai tingkat ‘Jalan Kesucian’ (magga); tetapi sang thera tidak berkata apa-apa
meskipun dia telah mencapai ‘Jalan Kesucian Anagami’ (anagami magga), magga
ketiga. Dia berdiam diri karena dia memutuskan untuk tidak membicarakan tentang
pencapaiannya hingga dia mencapai tingkat kesucian arahat. Tetapi sang thera
meninggal dunia sebelum mencapai tingkat kesucian arahat, dan juga tidak berkata
sesuatupun tentang pencapaian anagami magganya.
Murid-muridnya berpikir guru mereka meninggal dunia tanpa mencapai tingkatan
magga dan mereka merasa menyesalinya. Mereka pergi menghadap Sang Buddha dan
bertanya di mana guru mereka dilahirkan kembali. Sang Buddha menjawab, "Para
bhikkhu ! Gurumu telah mencapai anagami magga sebelum meninggal dunia,
sekarang dia lahir kembali di alam brahma (Sudhavasa Brahmaloka). Dia tidak
menyatakan pencapaian anagami magganya karena merasa malu bahwa dia hanya
mencapai itu, dan dia berusaha keras mencapai tingkat kesucian arahat. Gurumu
sekarang telah bebas dari kemelekatan kesenangan duniawi (kamalo) dan pasti akan
meningkat kepada keadaan yang lebih tinggi."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 218 berikut :

Barang siapa bermaksud ingin mencapai ‘Yang Tak Dinyatakan’ (nibbana), yang
pikirannya tergetar dengan ‘Hasil Kesucian’, yang batinnya tidak lagi terikat oleh
kesenangan indria, orang seperti itu disebut "yang telah pergi ke hilir arus
kehidupan".

Para bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 219 dan 220


XVI. (9) Kisah Nandiya
Nandiya adalah seorang kaya berasal dari Baranasi. Setelah mendengarkan khotbah
Sang Buddha tentang manfaat membangun vihara-vihara untuk para bhikkhu,
Nandiya membangun Vihara Mahavihara di Isipatana. Bangunan tersebut tinggi dan
penuh perabotan. Segera vihara tersebut dipersembahkan kepada Sang Buddha,
sebuah rumah besar muncul untuk Nandiya di alam surga Tavatimsa.

Suatu hari, ketika Maha Moggallana mengunjungi alam surga Tavatimsa, dia melihat
sebuah rumah besar diperuntukkan bagi pendana Vihara Mahavihara di Isipatana.
Setelah kembali dari alam surga Tavatimsa, Maha Moggallana Thera bertanya kepada
Sang Buddha, "Bhante ! Untuk mereka yang melakukan perbuatan baik, apakah
mereka akan mempunyai rumah besar dan kekayaan lain tersedia di alam surga,
meskipun mereka masih hidup di dunia ini ?"

Kepadanya Sang Buddha berkata, "Anak-Ku, mengapa kamu bertanya hal itu?
Apakah kamu tidak melihat rumah besar dan kekayaan menunggu untuk Nandiya di
alam surga Tavatimsa ? Para dewa menunggu kedatangan dari orang yang berbuat
baik dan dermawan, seperti sebuah keluarga menunggu kembalinya seseorang yang
telah lama bepergian. Ketika orang baik meninggal dunia, mereka disambut dengan
gembira untuk tinggal di alam surga."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 219 dan 220 berikut :

Setelah lama seseorang pergi jauh dan kemudian pulang ke rumah dengan selamat,
maka keluarga, kerabat dan sahabat akan menyambutnya dengan senang hati.
Begitu juga, perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan akan menyambut
pelakunya yang telah pergi dari dunia ini ke dunia selanjutnya, seperti keluarga yang
menyambut pulangnya orang tercinta.

Anda mungkin juga menyukai