WEDA II
OLEH:
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan
rahmatnya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berupa sebuah
analis dari sebuah cerita Mahabharata yakni cerita kedua (sabhaparva) dari 18 parva, dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami cerita ini dengan
hubungan tiga kerangka dasar agama hindu, yakni etika, susila maupun ritual.
Harapan saya semoga karya tulis ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi dari tulisan ini sehingga
kedepanya dapat lebih baik lagi.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang.Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………
3.1 Simpulan………………………………………………………………..
3.2 Saran…………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
Mahabharata merupakan salah epos besar India yang telah termasyur di seluruh dunia.
Mahabharata merupakan kisah agung yang terdiri dari delapan belas parva. Mahabharata berasal
dari kata maha yang berarti ‘besar’ dan kata bharata yang berarti ‘bangsa Bharata’. Pujangga
Panini menyebut Mahabharata sebagai “Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”.
Dalam anggapan tradisional, Bhagawan Wyasa sebagai pengarang-penyair epos
Mahabharata, dikatakan juga menyusun kitab-kitab suci Weda, Wedanta, dan Purana, kira-kira
pada 300 tahun sebelum Masehi sampai abad keempat Masehi. Dengan jarak waktu seperti itu,
maka sulit dipercaya bahwa Bhagawan Wyasa adalah pengarang-penyair Mahabharata dan juga
penyusun-pencipta kitab-kitab suci. Dalam kitab-kitab suci Purana dikenal adanya wyasa yang
berjumlah 28 orang. Kata wyasa artinya ‘penyusun’ atau ‘pengatur’. Dalam hubungan arti ini
maka mungkin penyusun-pencipta atau pengarang-penyair pada jaman dahulu disebut Bhagawan
Wyasa. Terlebih jika hasil ciptaannya merupakan monumen atau mahakarya dari jamannya,
maka wajarlah para pengarang-pencipta itu mendapat pujian dan dihormati jika tidak boleh
dikatakan “didewa-dewakan”. Lagi pula, tidak jarang dijumpai, suatu ciptaan atau karya besar
dari jaman dahulu itu tanpa nama atau tidak diketahui pengarang-penciptanya. Situasi semacam
ini kiranya menambah kuat kesimpulan yang menyatakan bahwa karya-karya itu adalah ciptaan
seorang wyasa, atau dengan sebutan penghormatan: Bhagawan Wyasa.
Interpretasi ini dikuatkan oleh pendapat seorang sarjana kebudayaan kuna yang
mengatakan, “Mahabharata bukan hanya suatu buku, melainkan karya kesusastraan yang luas
cakupannya dan disusun dalam jangka waktu yang sangat lama.”1 Pendapat M. Winternitz itu
didasarkan pada kisah-kisah dalam epos Mahabharata yang melukiskan kejadian, peristiwa,
masalah dan berbagai keterangan tentang keadaan masyarakat dan pemerintahan yang terdapat
dalam kitabkitab suci Weda, Wedanta, dan Purana.
Meskipun demikian, para ahli kebudayaan kuna dari Barat maupun Timur, baik yang
bersepakat dengan pendapat tradisional maupun pendapat modern, semua setuju bahwa
pengarang-penyair atau penyusun epos Mahabharata adalah Wyasa, atau secara lengkap disebut
Krishna Dwaipayana Wyasa.
Wyasa adalah anak Resi Parasara dengan Satyawati, buah dari hubungan yang tidak sah.
Wyasa dibesarkan di dalam lingkungan keagamaan dan kesusastraan dengan bimbingan
ayahnya. Satyawati, gadis nelayan yang ayu itu, diceritakan menjadi gadis perawan lagi berkat
restu suci Resi Parasara, suaminya. Raja Santanu bertemu dengan Satyawati di tepi hutan.
Sang Raja jatuh cinta kepadanya dan mengangkat Satyawati menjadi permaisurinya.
Santanu adalah kakek Dritarastra dan Pandu, dan moyang Kaurawa dan Pandawa. Sebagai putra
Satyawati, boleh dikatakan Wyasa adalah kakek tiri dan berkerabat dekat dengan Kaurawa dan
Pandawa yang menjadi pelaku utama dalam perang dahsyat di padang Kurukshetra.
Jika kita cermati garis keturunan Wyasa, kita akan tahu bahwa wajar jika Wyasa dapat
melukiskan peristiwa dalam Mahabharata dengan sangat jelas dan mengharukan. Teristimewa
pula, Wyasa dapat dikatakan selalu “terlibat” dalam peperangan besar itu, setidak-tidaknya dari
segi moral dan spiritual.
Di bawah ini disajikan ringkasan dari delapan belas buku (parwa) epos Mahabharata:
Parwa ke 4. Virata parwa (Buku Pandawa di Negeri Wirata): mengisahkan kehidupan Pandawa
dalam penyamaran selama setahun di Negeri Wirata, yaitu pada tahun ketiga belas masa
pembuangan mereka.
Parwa ke 5. Udyoga parwa (Buku Usaha dan Persiapan): memuat usaha dan persiapan
Kaurawa dan Pandawa untuk menghadapi perang besar di padang Kurukshetra.
Parwa ke 6. Bhisma parwa (Buku Mahasenapati Bhisma): menggambarkan bagaimana
balatentara Kaurawa di bawah pimpinan Mahasenapati Bhisma bertempur melawan musuh-
musuh mereka.
Dilihat dari segi kesusastraan, epos Mahabharata memiliki sifat-sifat dramatis. Tokoh-
tokohnya seolah-olah nyata karena perwatakan mereka digambarkan dengan sangat hidup,
konflik antara aksi dan reaksi yang berkelanjutan akhirnya selalu mencapai penyelesaian dalam
bentuk kebajikan yang harmonis. Nafsu melawan nafsu merupakan kritik terhadap hidup,
kebiasaan, tatacara dan citacita yang berubah-ubah. Dasar-dasar moral, kewajiban dan kebenaran
disampaikan secara tegas dan jelas dalam buku ini. Menurut Mahatma Gandhi, konflik abadi
yang ada dalam jiwa kita diuraikan dan dicontohkan dengan sangat jelas dan membuat kita
berpikir bahwa semua tindakan yang dilukiskan di dalam Mahabharata seolaholah benar-benar
dilakukan oleh manusia.
Pentingnya epos Mahabharata dapat kita ketahui dari peranan yang telah dimainkannya
dalam kehidupan manusia. Lima belas abad lamanya Mahabharata memainkan peranannya dan
dalam bentuknya yang sekarang epos ini menyediakan kata-kata mutiara untuk
persembahyangan dan meditasi; untuk drama dan hiburan; untuk sumber inspirasi penciptaan
lukisan dan nyanyian, menyediakan imajinasi puitis untuk petuah-petuah dan impian-impian, dan
menyajikan suatu pola kehidupan bagi manusia yang mendiami negeri-negeri yang terbentang
dari Lembah Kashmir sampai Pulau Bali di negeri tropis.
Dalam kepercayaan Hindu, epos Mahabharata juga dikenal sebagai Weda yang kelima
(pertama = Regweda, kedua = Samaweda, ketiga = Yayurweda, dan keempat = Atharwaweda),
terutama karena memuat Bhagavadgita yang dipandang sebagai kitab suci oleh penganut agama
Hindu. Ajaran-ajaran Bhisma kepada Pandawa yang termuat dalam Santiparwa dan
Anusasanaparwa juga dianggap kitab suci.
Epos Mahabharata telah meletakkan doktrin dharma yang menyatakan bahwa kebenaran
bukan hanya milik satu golongan dan bahwa ada banyak jalan serta cara untuk melihat atau
mencapai kebenaran karena adanya toleransi. Epos Mahabharata mengajarkan bahwa
kesejahteraan sosial harus ditujukan bagi seluruh dunia dan setiap orang harus berjuang untuk
mewujudkannya tanpa mendahulukan kepentingan pribadi. Itulah dharma yang diungkapkan
epos Mahabharata sebagai sumber kekayaan rohani atau dharmasastra.
1.2. Rumusan Masalah
Parva atau buku ini merupakan buku ke-4 yang menceritakan tentang penyamaran
Pàóðava selama tahun terakhir masa pengasingan mereka. Mereka menghabiskan masa ini di
Viratanàgara tanpa dikenali. Ketika saudara ipar dari Raja Viràta mencoba untuk mengganggu
Drupadì, Bhìma membunuhnya.
Setelah masa tiga belas tahun itu berakhir, para Pàóðava membuka identitas mereka.
Parva ini terdiri dari 4 subparva dengan jumlah úloka sebanyak 2.222 buah, yang masing-masing
subparva menguraikan sebagai berikut.
Merupakan parva ke-5. Úrì Kåûóa sungguh-sungguh berusaha untuk mewujudkan perdamaian antara
Kurava dan Pàóðava. Duryodhana menolak tawaran perdamaian tersebut. Úrì Kåûóa kemudian
membujuk Karóa agar berada di pihak Pàóðava, tapi Karóa juga menolak.
Akhirnya, kedua kekuatan pun bertemu di Kurukûetra. Parva ini terdiri dari 10 subparva dengan
jumlah úloka sebanyak 5.920 buah, yang masing-masing subparva menguraikan sebagai berikut.
2.3 Bhìûmaparva
Parva ini merupakan parva ke-6 Mahàbhàrata. Parva ini menceritakan tentang persiapan
panjang dari perang Mahàbhàrata. Doa Gìtà yang terkenal di dunia pun dihubungkan dengan
layar ini, dimana Úrì Kåûóa membimbing Arjuna agar tidak ragu-ragu untuk berperang
meskipun lawannya adalah saudara dan kerabatnya sendiri.
Bhìûma sedikit menahan diri dalam peperangan ini ketika berhadapan dengan Úikhaóði;
dan akhirnya Arjuna mengalahkan Bhìûma dengan panah-panahnya. Terdiri dari 4 subparva
dengan jumlah seluruh úloka seluruhnya sebanyak 5.957 buah. Berikut uraian sepints tentang isi
kitab Bhìûmaparva:
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipapakarkan, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut.
1. Kajian filosofisnya yakni Draupadi sebenarnya merupakan perwujudan ibu pertiwi
yang tidak boleh direndahkan dan dilecehkan oleh siapapun. Ketika dussasana melucuti pakaian
Draupadi itu adalah bentuk penghinaan terbesar kepada ibu pertiwi. Draupadi yang dilindungi
oleh darma tidak akan pernah kalah oleh adarma.
2. Dalam sabhaparva ditekankan bahwa nilai yang terkandung yakni nilai ketuhanan.
Nilai moral atau etika, keadilan dan pencerminan sifat-sifat atau karakter baik buruk seseorang.
Sabhaparva terdiri dari dua kata yakni sabha dan parva, sabha merupakan ruang sidang , jadi
dalam sabha parva ini ditekankan mengenai cerita tentang diruang perjudian sang pandava dan
kaurawa yang bermain dadu.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas penulis berharap segenap orang yang membaca makalah
yang sederhana ini dapat mengkritisi materi-materi yang tersaji. Penulis menyarankan pembaca
mampu membaca referensi-referensi terkait permasalahan yang tersaji dalam makalah ini. Jika
memang tulisan dalam makalah ini salah atau menyimpang dari koridor keilmuan yang berlaku,
penulis sangat mengharapkan adanya masukan yang bersifat kontruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Rachel.2011.”Pendahuluan”.https://anothermahabharata.wordpress.com/2011/04/25/pendahulu
an/.Di akses pada tanggal 10 Januari 2017
Mata Kuliah:
Dosen pengampu:
NAMA KELOMPOK:
PRODI: PAH II
2019