Anda di halaman 1dari 4

Jivaka Komarabhacca (Sanskerta: Jivaka Kumarabhrata)[2] adalah tabib pribadi Raja Bimbisara dari

Magadha dan Siddhartha Buddha Gautama. Ia hidup di Rajagriha, sekarang Rajgir, pada akhir abad
ke-5 SM. Dalam berbagai legenda beberapa negara Asia, Jivaka dikenal sebagai "Raja
Pengobatan".[2] Ia dianggap sebagai sumber rujukan para tabib tradisional (Sanskerta: vaidya)
sejumlah negara di Asia.
Keterangan mengenai Jivaka dapat ditemukan dalam berbagai naskah/kitab agama Buddha, baik
dalam naskah-naskah tradisional terdahulu yang berbahasa Pali dan Mūlasarvāstivāda maupun
dalam sutta-sutta dan Avadana di periode berikutnya. Meski disebutkan bahwa Jivaka terlahir
sebagai seorang abdi istana, riwayat leluhurnya tidak diketahui secara pasti.
Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa Jivaka dirawat dan dibesarkan dalam lingkungan
istana Kerajaan Magadha. Saat beranjak dewasa, Jivaka pergi ke Taksila untuk belajar pengobatan
tradisional dari seorang guru yang terkenal. Ia kemudian menjadi murid yang menonjol di sana.
Setelah belajar selama tujuh tahun, Jivaka kembali ke Rajagriha untuk membuka praktik
pengobatan. Kecakapannya dalam dunia pengobatan membuatnya terkenal dan ia pun diangkat
menjadi tabib keluarga Kerajaan Magadha di masa Raja Bimbisara. Jivaka juga merupakan tabib
keluarga klan Shakya yang berada di wilayah Magadha, yang mana Siddhartha Gautama lahir dari
klan ini. Karena kedekatannya dengan Siddhartha, di kemudian hari Jivaka termasuk pendukung
utama agama Buddha. Jivaka juga berperan dalam membawa Raja Ajatasatru, yang naik tahta
menggantikan ayahnya Bimbisara, menjadi pengikut agama Buddha.
Naskah-naskah tradisional menceritakan bahwa Jivaka mampu melakukan prosedur pengobatan
yang rumit, termasuk tindakan medis yang dapat ditafsirkan sebagai bedah otak—meski interpretasi
ini menjadi perdebatan para sejarawan. Jivaka dihormati sebagai tabib teladan dan orang suci
dalam ajaran Buddha di Asia sepanjang zaman oleh buddhis dan sebagian tabib yang tidak
beragama Buddha. Jivaka dihormati oleh masyarakat India dan Thailand sebagai pelopor
pengobatan tradisional hingga saat ini, ia berperan penting dalam semua upacara pengobatan
tradisional Thailand.
Di luar itu, sosok Jivaka dalam legenda memiliki peran penting dalam penyebaran agama Buddha
meskipun beberapa legenda mengalami penyesuaian dengan tradisi lokal di mana cerita tentang
Jivaka disampaikan. Sangha Jivakarama, yang didirikan oleh Jivaka, ditemukan pada abad ke-7
oleh seorang peziarah Tionghoa bernama Xuan Zang. Situs tersebut baru selanjutnya diekskavasi
pada abad ke-19 . Saat ini, Sangha Jivakarama menjadi salah satu wihara tertua dengan reruntuhan
arkeologinya.
Pada suatu saat Anuruddha Thera mengunjungi Kapilavatthu. Saat Anuruddha
berdiam di vihara, semua anggota keluarganya, kecuali Rohini datang
mengunjunginya. Saat mengetahui bahwa ketidakhadiran Rohini disebabkan ia
menderita kusta, Anuruddha Thera menyuruh salah satu anggota keluarganya
untuk memanggilnya. Dengan menutupi kepalanya karena malu, Rohini pun
datang. Anuruddha Thera menyarankan agar ia melakukan perbuatan baik.
Beliau mengajurkan agar Rohini menjual beberapa pakaian dan perhiasannya,
dan uang hasil penjualan tersebut dapat dipergunakan untuk membangun
sebuah kuti bagi para bhikkhu. Rohini setuju dengan apa yang dinasehatkan
kepadanya. Anuruddha Thera juga meminta anggota keluarganya yang lain
untuk membantu pembangunan tersebut. Selanjutnya Anuruddha Thera meminta
Rohini untuk menyapu lantai dan mengisi tempat air setiap hari meskipun
pembangunan kuti sedang berlangsung. Rohini melakukan semuanya yang
dianjurkan dan kesehatannya pun semakin membaik.

Saat bangunan kuti itu selesai dibangun, Sang Buddha dan para bhikkhu
diundang untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha
bertanya siapa yang berdana kuti dan makanan tersebut. Namun saat itu Rohini
tidak hadir, maka Sang Buddha meminta agar Rohini dipanggil dan ia pun
datang.

Sang Buddha bertanya apakah Rohini tahu mengapa ia menderita penyakit yang
mengerikan itu. Rohini menjawab bahwa ia tidak mengetahuinya. Kemudian
Sang Buddha menjelaskan bahwa Rohini menderita penyakit kusta karena
perbuatan jahat yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lampau,
perbuatan yang diliputi rasa dengki dan marah.
Sang Buddha bercerita, bahwa dulu Rohini adalah permaisuri Raja Banarasi.
Raja Banarasi memiliki seorang penari yang ia kagumi dan hal ini membuat
permaisuri cemburu. Karenanya, permaisuri bermaksud menghukum penari itu.
Suatu hari permaisuri menyuruh para pelayannya untuk menaburkan serbuk
gatal yang terbuat dari kotoran sapi pada tempat tidur dan selimut milik penari
itu. Kemudian mereka memanggil penari tersebut dan dengan tiba-tiba mereka
menebarkan bubuk gatal itu ke tubuhnya. Rasa gatal menyerang seketika dan
penari itu menjadi sangat menderita. Saat rasa gatal itu semakin tak tertahankan,
ia berlari ke kamar dan menjatuhkan diri jatuh di ranjang. Iapun semakin
menderita.

Akibat dari perbuatan jahat itu, Rohini menderita kusta pada kehidupannya
sekarang. Sang Buddha kemudian menasehati semua orang yang hadir agar
menghindari perbuatan bodoh karena marah, dan menghindari perbuatan
mencelakakan orang lain.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 221 berikut :

Hendaklah orang menghentikan kemarahan dan kesombongan,


hendaklah ia mengatasi semua belenggu.
Orang yang tidak lagi terikat pada batin dan jasmani,
yang telah bebas dari nafsu-nafsu,
tak akan menderita lagi.
Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, banyak orang yang hadir mencapai
tingkat kesucian sotapatti. Demikian pula dengan Putri Rohini, ia juga mencapai
tingkat kesucian sotapatti, dan seketika itu pula penyakit kulit yang mengerikan
itu lenyap dan kulitnya berubah menjadi bersih, halus dan menarik.
Upāsaka (maskulin) atau Upāsikā (feminin) adalah dua kata yang diambil dari bahasa Sansakerta
dan Pali, berarti "penunggu" (''"attendant"'' dalam bahasa Inggris). Kedua kata tersebut adalah
sebutan untuk pengikut Buddhisme (atau, dalam sejarahnya, Gautama Buddha) yang bukan
merupakan biksu, biksuni, atau murid di sebuah kuil Buddhis, dan menjalankan sumpah tertentu.
Dalam arti modern, kedua kata ini memiliki konotasi seseorang yang bersungguh-sungguh, yang
mungkin dapat diartikan sebagai "umat awam yang taat" atau "pengikut awam yang taat".

Anda mungkin juga menyukai