Anda di halaman 1dari 98

1

Calon Arang (terjemahan Indonesia)

1. 1b //o// Semoga tidak ada halangan //o//


Ada perkataan orang-orang tua yang mengisahkan
hakikat Sri Mpu Baradah ketika beliau tinggal
di pertapaannya di Lemah Tulis. Tidak ada
tandingan mengenai kesaktiannya, terutama
dalam menghayati Dharma. Beliau sempurna
dalam hal penghayatan, mengetahui ilmu
kesempurnaan dunia. Demikianlah pelaksanaan
kesempurnaan tapanya. Beliau mempunyai
seorang putrid, bernama Sang Wedawati,
gadis belum bersanggul, sangat cantik(nya),
bagaikan bidadari turun ke bumi. Setelah itu
sakitlah istri Sri Mpu Baradah, ibu Sang
Wedawati itu. Akhirnya beliau meninggal.
Wedawati sedih dan menangis. Dia memeluk
mayat ibunya, keluh kesahnya mengharukan,
“Aduhai, ibuku, siapakah yang akan mengasihi
hamba lagi?”
2

2a. Maka disuruhlah membawa mayat itu ke


kuburan, agar dibakar di kuburan. Setelah
sempurna, beliau pun mencapai kelepasan.
Tidak diceritakan beliau itu. Lalu Mpu
Baradah mencari istri lagi. Kemudian, beliau
berputra seorang laki-laki. Semakin dewasa
umur(nya) anak itu, sudah cukup usia untuk
berlari-larian, sampai sudah dapat memakai
kain. Mpu Baradah pergi ke pertapaannya, di
tempat tinggal beliau, tempat dia melakukan
yoga, bernama Wisyamuka. Di sanalah beliau
melakukan korban, dihadap oleh para
muridnya. Di tempat itulah beliau
mengajarkan ajaran kebenaran dan kebaikan.
Hentikanlah sejenak, diceritakanlah Sang
Wedawati. Gadis ditu dicaci maki oleh ibu
tirinya, maka Sang Wedawati sangat sedih.
Menangislah dia, tidak sempat memakai
perhiasan dan makan. Kemudian, dia pergi ke
tempat pembakaran ibunya, di kuburan itu.
2b. Lepaslah perjalanannya, telah datang di
bawah lindungan pohon beringin besar. Ia
3

bertemu dengan mayat, mayat orang yang


mati yang diduga karena těluh. Empat mayat
banyaknya. Adapun anaknya hendak menyusu
pada mayat ibunya, (yang) dikerumuni oleh
semut gatal. Sang Wedawati sangat terharu
melihatnya. Dia berjalan perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu, lalu menuju ke
tempat pembakaran ibunya. Duduklah dia di
bawah naungan pohon kepuh. Dia menangis
berlindung di akar pohon kepuh itu,
mengelukan kepada ibunya, “Ibu, jemput aku
segera.” Begitulah seruan Sang Wedawati
memilukan hati. Tidak akan disebutkan Dyah
Wedawati. Diceritakan Sri Mpu Baradah
pulang dari bersembahyang di Wisyamuka.
Beliau duduk di tempat pertemuan. Datanglah
istrinya, memberitahukan ucapan penolakan
Wedawati memetik bunga dengan adiknya.
3ab. Bunga itu direbutnya, keduanya pun
menangis, lalu dia pergi. Dicari oleh sanak
keluarga tidak dijumpai. Sang Pendeta
berkata, “Sayalah yang akan mencarinya
4

sekarang.” Sang Pendeta segera lenyap, ikut


akan mencari anaknya, sampailah beliau di
ladang-ladang. Ada anak gembala ditemuinya.
Sang pendeta bertanya dengan ucapnya halus,
“Hai Anak Gembala, tahukan kau wanita
bernama Wedawati. Adakah dia engkau temui
di sana dan bagaimanakah?” Anak gembala
menjawab, memberitahukan kepada Sang
Pendeta, “Ada putri sangat cantik rupanya.
Dia menangis, mengeluhkan ibunya. Dia
berkerudung pergi ke selatan ke barat”. Sang
Pendeta mempercepat jalannya, menanti
putrinya. Beliau segera datang ke tampat
pembakaran istrinya ditemui jeajaknya. Dia
bersedih sambil menangis, memandang kea
rah utara, selatan, barat dan timur. Kelihatan
Sang Putri menangis duduk di atas batu,
berlindung di akar pohon kepuh. Berkatalah
Sang Pendeta, “Aduhai Anakku, engkau sangat
berani datang ke kuburan ini, ke pembakaran
mayat ibumu. Sudahlah Anakku, janganlah
begitu, sebab perilaku dalam kehidupan,
5

kematianlah akhirnya. Marilah Anakku pulang,


jangan keras (hati) sayangku.” Sang putri
menjawab, “Saya akan turut mati saja
bersama ibu. Hati saya sangat sedih dan pasti
akan mengikuti kepergian ibu.” Sang Pendeta
berkata, “Anakku tersayang ikuti saya
sekarang.” Kemudian, beliau minta Sang Putri
agar pulang. Terbenamlah matahari, tiba di
Lemah Tulis. Dinasihatilah semalam Sang
Wedawati oleh Sang Pendeta, (mengenai)
jalan menuju kebaikan. Sang Wedawati
mengikuti nasihat Sang Pendeta. Setelah
demikian
4a. Sang Pendeta pergi melakukan persembahan
rutin bersama di Wisyamuka. Di sana Sang
Pendeta dihadap oleh muridnya semua, diberi
persembahanlah beliau di sana. Sang Pendeta
mengajarkan ajaran kebaikan kepada
muridnya semua diberitahukanlah mereka di
sana. Sang Pendeta menyampaikan
(mengajarkan) tentang tuntunan kebenaran,
kepada semua muridnya mengenai dharma dan
6

kesempurnaan menuntut ilmu. Tidak


diceritakan Sang Pendeta. Diceritakanlah
Sang Wedawati dimarahi oleh ibu tirinya lagi.
Sang Putri menangis, bingung dalam
bertingkah laku. Dia sangat sedih. Dia pergi
lagi ke tempat pembakaran mayat ibunya.
Tidak diceritakan perjalanannya di jalan. Ia
segera tiba di tempat pembakaran. (Ia)
bersedih dan menangis, keluh kesahnya,
“Ibuku, lihatlah olehmu kesengsaraanku,
(tetapi) permintaanku kepadamu, renggutlah
aku cepat-cepat. Aku akan selalu bersamamu
ibu.” Demikian(lah) keluh kesahnya, keluar air
mata. Sang Wedawati sedih. Jangan
bersamanya. DIceritakanlah Sang Pendeta.
Beliau dating dari melakukan persembahan
utama.
4b. Beliau duduk di balai penghadapan.
Dipanggillah anaknya, “Om putri engkau
Anakku, datanglah kemari (kau) Wedawati
sayangku, berdua bersama adikmu di
penghadapan? (Mengapa) tidak ada yang
7

menjawab?” Kemudian, ibu tirinya mendekat


(lalu) berkata. Ucapnya, “Tuanku Sang
Pendeta, anak Sang Pendeta menolak lagi,
datang berebutan dengan adiknya itu. Hamba
tidak dapat menahan, cepat-cepat pergi,
dicari keluarganya, tidak ditemuinya.” Sang
Maharsi berkata, “Aduh, dia datang lagi ke
pembakaran ibunya di sana.” Sang Pendeta
(lalu) turun dari tempat duduk hendak
mencari anaknya. Dia akan datang ke tempat
yang kotor. Sang Pendeta berjalan cepat,
setibanya Sang Pendeta di kuburan it,
dijumpai putrinya. Sang Pendeta berkata,
“Aduhai Anakku, Wedawati sayangku,
pulanglah anakku ke asrama. Saya akan
mengiringkanmu. (Kamu) tidak lain menjadi
5a. jiwa pikiran dalam lubuk hati. Engkau bunga
jangga. “Sang Wedawati tidak menjawab.
Ucapan Sang Pendeta minta belas kasih.
Bingunglah hati Sang Pendeta, melihat
perilaku anaknya itu. Sang Pendeta duduk di
bawah naungan pohon kepuh. Beliau kemudian
8

mengajarkan tuntunan kebaikan kepada


putrinya. Lama (beliau) Sang Pendeta
memberi ajaran kepada anaknya. Akhirnya
Sang Wedawati berkata, “Sembah sujud di
telapak kaki Paduka. Anak Sang Pendeta
enggan pulang ke Lemah Tulis, ingin mati saja
di sini, mengikuti pesan ibu hamba. Saya ingin
berlindung di bawah naungan pohon kepuh,
hingga pada saatnya menemui ajal. Hamba
mati saja di sini. “Mpu Baradah
memerintahkan kepada murid-muridnya.
Segera menyuruh mengusung balai dan rumah
untuk tempat peristirahatannya di kuburan
itu. Demikianlah keinginan Sang Pendeta.
5b. Di kuburan tempat pembakaran itu akan
dibuat asrama. Mereka meratakan dan
menyucikan tanah kuburan, mendirikan balai,
ruang tamu, ruang tidur, utamanya rumah
kecil, pintu bertingkat di pinggir. Pagar
tanaman suru-suru dijajar padma, dan pete-
petean. Ada angsoka (Tonesia asoka Roxb),
andul (Eleo carpus specious), surabi (Michelia
9

campaka), tanjung, kamuning (Murrava),


campaka gondok, warsiki, angsana (Terminalia
tomentosa), jering (Pithecolibium). Ada lagi
nagasari berdaun muda. Tidak akan
disebutkan segala jenis bunga, cabol atuwa,
gambir, bunga melati (Jasminum
grandiflorum), caparnuja, kuranta (Barbaria),
pohon teri naka (Bauhinia tumentosa), cina
(Artocarpus integrifolia), teleng (Clitorea
ternatea), bunga wari dadu (Pink), putih,
jingga, merah, bunga tali, teratai merah, dan
lungid sabrang. Termasuk bayem raja
(Amarantus oleraccus), bayem suluh,
tumbuhan berakar (Ikut Lutung) (Acalupha
deusiflora), tumbuhan berserabut, disertai
bunga rara emas (Rara Melayu). Bunga seruni
putih, seruni kuning, mayana loreng, mayana
nila (Coleus cutellanoides). Ada yang kuning,
lungid sabrang, andong (Calodracon jaquinia)
ditata, juga pohon kancana (kayu mas),
puring, tunjung, pohon ara di pojok. Lengkap
segala macam bunga dan berjenis-jenis
10

kembang. Pandan janma telah berdiri kokoh,


menuruti cara kehidupan di asrama,
6a. sangat indahnya, mengesankan bagaikan alam
Dewa Wisnu turun ke dunia. Senang hati Sang
Wedawati, setelah asrama itu selasai dibuat,
kuburan tempat ibunya dibakar. Kokoh
tempat tinggal Sang Pendeta, ada di
pertapaannya dihadap oleh murid tua dan
muda pada waktu siang dan malam. Tidak
dikatakan Sang Pendeta. Diceritakanlah Sang
Raja di Daha. Beliau memerintah dengan
damainya, menguasai dunia, aman dan
sejahtera kerajaan dalam kekuasaannya.
Maharaja Erlangga gelar beliau, berbudi
sangat mulia, cenderung meniru Pendeta.
Berbagai pulau di Nusantara tunduk kepada
beliau. Disebutkan ada seorang janda, tinggal
di Girah, Calon Arang namanya. Dia berputra
seorang wanita, bernama Ratna Manggali,
parasnya sangat cantik, bagaikan permata
istana. Lama tidak ada orang yang hendak
11

melamarnya, baik orang dari Girah maupun


orang dari Kerajaan Daha,
6b. atau pun daerah pinggiran, sama tidak ada
yang hendak melamarnya, berani datang ke
tampat anak janda itu, yang bernama
Manggali di Girah, karena terdengar oleh
dunia bahwa beliau (Randa) di Girah berbuat
jahat. Menjauhlan orang yang ingin melamar
Sang Manggali.. Sang Randa pun berkata,
“Aduh apakah ini yang membuat anakku tidak
ada yang melamarnya, (padahal) cantiklah
rupanya, kendatipun demikian tidak ada yang
menanyakannya. Sakit juga hatiku oleh
keadaan itu. Berdasarkan hal itulah aku akan
mengambil pustakaku. Apabila aku telah
memegang pustaka itu, aku akan datang
menghadap Paduka Sri Bagawati. Aku akan
minta anugerah, semoga binasalah orang-
orang di seluruh kerajaan. “Setelah beliau
mengambil pustaka, pergilah ia ke kuburan. Ia
mohon anugerah Tuhan ke hadapan Paduka
12

Batari Bagawati, diikuti oleh muridnya semua.


Adapun nama masing-masing
7a. muridnya itu : Si Weksirsa, Mahisawadana, Si
Lendya, Si Lende, Si Lendi, Si Guyang, Si
Larung, dan Si Gandi. Itulah yang
mengiringkan Sang Randa di Girah. Mereka
(bersama) menari di kuburan itu. Segera
muncul beliau Paduka Batari Durga bersama
pengikutnya banyak, semua turut menari
(bersama). Calon Arang memuja kepada beliau
Paduka Batari Bagawati. Batari berkata,
“Aduhai engkau anakku, Calon Arang. Apa
maksudmu datang menghadap kepadaku,
(maka) engkau diikuti oleh para muridmu
semua, datang memujaku bersama-sama?”
Sang Randa berkata menyembah, “Tuanku,
putra Tuankan hendak mohon, mudah-
mudahan binasalah orang-orang di seluruh
kerajaan. Begitulah tujuan utama putra
Tuanku.” Batari berkata, “Aduh putraku. Ya,
aku bolehkan, tetapi janganlah membunuh
sampai di tengah. Jangan membunuh sangat
13

dendam anakku.” Sang Randa menyetujui,


mohon dirilah ia kepada Batari Bagawati.
Sang Calon Arang
7b. segera pergi, lepas jalannya, diiringi oleh
muridnya semua. Mereka menari di pekuburan
di tengah malam, membunyikan kamanak,
kangsi bersama-sama menari. Setelah selesai
menari, kembalilah mereka ke Girah. Mereka
bersenang hati pulang ke rumahnya. Tidak
lama sakitlah orang-orang di desa-desa.
Banyak yang mati bertumpuk-tumpuk. Tidak
diceritakan Calon Arang itu. Diceritakanlah
Sang Raja di kerajaan. Sri Maharaja
Erlanggya duduk dihadap di balai
penghadapan. Lalu berkatalah Rakryan
Apatih. Ucapnya, “Patik hamba Batara
memberitahukan di hadapan Tuan Hamba,
karena rakyat Tuan Hamba banyak mati, sakit
panas dingin sehari dua hari lalu meninggal.
Adapun yang kelihatan menjalankan ( těluh)
janda Girah, bernama Calon Arang. Dia menari
di sana di pekuburan, datang bersama
14

muridnya. Banyak yang melihat mereka itu


bersama-sama di sana.” Begitulah laporan Ken
Apatih.
8a. Semua orang di tempat persidangan sama-
sama membenarkannya, memang benar
demikian, seperti laporan Ken Apatih. Sang
Raja berkata dengan sedih, kemudian beliau
marah, “Manakah rakyat dan prajuritku.”
Tidak lama bersamaan datang prajurit
“tentara rahasia”. Pergilah kamu, serbu dan
bunuh Calon Arang. Jangan engkau seorang
diri, hendaklah engkau membawa prajurit
banyak, jangan lengah.” Semua prajurit minta
diri menghormat di hadapan Sang Raja,
“Hamba Raja mohon pamit serta mohon
perlindungan Dewa. (Hamba) akan membunuh
janda di Girah.” Prajurit itu berangkat. Tidak
diceritakan perjalanan di jalan, segera sampai
di Girah. Tibalah para prajurit di tempat
tinggal Calon Arang. Mereka hendak
membunuh selagi waktu orang-orang sudah
tidur, pada waktu tidak ada tanda-tanda
15

orang bangun. Para prajurit segera mengikat


erat-erat rambut Sang Randa, menghunus
kerisnya. Ketika mereka hendak menusuk
Randa, tangan prajurit itu terasa berat dan
gemetar. Tiba-tiba Calon Arang terkejut
bangun. Keluarlah
8b. api dari mata, hidung, mulut dan telinga. (Api)
menyala berkobar-kobar membakar prajurit
itu. Matilah dua orang prajurit itu. Yang lain
menjauh, cepat-cepat lari. Tidak diceritakan
perjalanan di jalan. Mereka segera sampai di
istana. Sisa prajurit yang mati itu berkata,
“Tuanku yang mulia, tidak berhasil prajurit
Paduka Tuanku. Dua orang meninggal akibat
sihir janda di Girah. Memancarlah api dari
badan berkobar-kobar, membakar prajurit
Paduka Tuanku.” Sang Raja berdiam tertegun
mendengar laporan prajuritnya. Lalu Sang
Raja berkata, “Hai, Mahapatih, bingunglah
hatiku mendengar laporan “tentara rahasia”
itu. Bagaimanakah engkau menjaga mantriku
semua?” Tiba-tiba Sang Raja segera pergi
16

dari tempat pertemuan, bertambah sedihlah


Raja karena “tentara rahasia” mati dua orang.
Tidak diceritakan Sang Raja, akan
diceritakanlah jandi di Girah. Makin
bertambahlah
9a. marahnya karena kedatangan para prajurit,
apalagi tentara Sang Raja. Calon Arang
berkata memberitahukan kepada muridnya,
mengajak pergi ke kuburan. Dia mengambil
lagi buku suci itu. Setelah mengambil buku
suci itu, dia segera pergi diikuti oleh
muridnya semua. Dia datang di pinggiran
kuburan, tempat di bawah naungan pohon
kepuh, dikelilingi keindahan. Daunnya lebat
menjulur menutup sampai ke bumi. Di
bawahnya jalan yang datar (bersih), seperti
disapu pada siang dan malam. Di sanalah janda
Girah duduk, dikerumuni oleh semua
muridnya. Si Lendya bertanya kepada Sang
Randa, “Mengapa Tuanku berbuat seperti
sekarang, terhadap kemarahan Sang Raja?
Lebih baik mencari keselamatan, menyembah
17

di hadapan Sang Pendeta yang hendak


menunjukkan surga kematian.” Lalu Si Larung
berkata, “Apakah yang dikhawatirkan
terhadap kemarahan Sang Raja? Sebaliknya,
diperkuatlah
9b. penyerangan sampai ke wilayah tengah.”
Mereka (semua) mendukung ucapan Si Larung
(mengikuti) Ni Calon Arang menurut.
Kemudian dia berkata, “Ya, diperkuatlah
tujuanku Larung. Bunyikanlah kamanak
kangsimu itu. Marilah kita menari, satu per
satu, akan kulihat gerakanmu masing-masing.
Nanti jika tiba saatnya, kau bersama menari.’
Si Guyang segera menari, gerak tarinya
merentang-rentangkan tangan menepuk-
nepuk. Dia bergerak terengah-engah sukar
terbalik bersama kainnya. Matanya melirik-
lirik, menoleh ke kanan dan kiri. Si Larung pun
menari, geraknya bagaikan harimau hendak
menerkam mangsa, matanya berwarna merah.
Ia telanjang. Rambutnya terurai ke depan. Si
Gandi menari. Dia menari melompat-lompat,
18

rambutnya terurai di samping. Matanya


kelihatan mirip ganitri. Si Lendi menari,
tariannya dengan melangkah cepat (berhenti
sejenak lari lagi) dengan kainnya. Matanya
10a. menyala, bagaikan api hampir membakar,
mendekat ke rambutnya yang terurai. Si
Weksirsa menari, gerak tarinya membungkuk-
bungkuk, lirikan matanya memandang tanpa
berkedip, rambutnya terurai ke samping. Ia
telanjang. Si Mahisawadana menari dengan
satu kaki. Setelah (menari) dengan satu kaki,
dia berjungkir balik dengan lidahnya menjulur
ke luar, tangannya bagaikan hendak
menerkam. Senanglah hati Calon Arang.
Setelah mereka menari bersama, dia
membagi tugas masing-masing, menjadi lima
arah. Si Lendi di Selatan, Si Larung di Utara,
Si Guyang di Timur, Si Gandi di Barat, Calon
Arang, Si Weksirsa, dan Mahisawadana di
tengah. Setelah mereka membagi menjadi
lima penjuru itu, pergilah Sang Calon Arang
ke tengah kuburan. Ia menemukan mayat
19

orang mati mendadak, pada hari Sabtu


Kaliwon. Mayat itu didirikan,
10b. diikatkan pada pohon kepuh. Mayat itu
dihidupkan, diberi nafas. Si Weksirsa dan
Mahisawadana membukakan matanya. Hidup
kembalilah mayat itu. Mayat itu dapat
berbicara. Ucapnya, “Siapakah Tuan yang
menghidupkan hamba, sangat besar hutang
hamba. Hamba tidak tahu membalasnya itu.
Hamba hendak mengabdi kepadanya.
Lepaskanlah ikatan hamba dari pohon kepuh.
Hamba hendak berbakti dan bersujud,
hendak menjilat debu pada kaki Tuan Hamba.”
Lalu Si Weksirsa berkata, “Engkau kira
engkau akan hidup lama? Sekarang engkau
akan kupenggal lehermu dengan golok.”
Segera lehernya dipenggal dengan golok.
Melesatlah kepala mayat yang dihidupkan itu,
darahnya menyembur menggenang. Darah itu
dipakai mencuci rambut oleh Sang Calon
Arang. Kusutlah rambutnya oleh darah,
ususnya menjadi kalung dan
20

11a. dikalungkannya, dengan secepatnya diolah


dipanggang semua, digunakan untuk korban
para “makhluk buta”, (dan) segala yang tinggal
di kuburan itu, terutama Paduka Batari
Bagawati. Korban utama itu dihaturkan.
Segera muncullah Paduka Batari dari
kahyangannya. Lalu berkatalah ia kepada
Calon Arang, “Aduh, Anakku Calon Arang,
apakah maksudmu mempersembahkan
makanan kepadaku, bakti menyembah? Saya
terima persembahanmu itu.” Janda Girah
menjawab, “Tuanku, penguasa dunia (raja)
marah kepada putra paduka Tuanku Batari.
Maksud Patik Batari, mohon perkenan Batari,
untuk membinasakan orang di seluruh
kerajaan sampai di tengah sekali.” Batari
berkata, “Ya, aku senang Calon Arang, tetapi
engkau jangan tidak waspada dalam
bertindak, jangan lengah.” Lalu janda di Girah
minta pamit, menghormat
11b. kepada Batari. Segera lepaslah
perjalanannya. Mereka bersama-sama menari
21

di perempatan jalan. Seluruh kerajaan


terserang penyakit, sakit semalam dua malam,
tidak lain panas dingin sakitnya. Orang-orang
itu meninggal, bergantian menguburkan
(orang mati). Esok pagi menguburkan
temannya, sore hari ia dikuburkan. Mayat
bertumpuk-tumpuk tindih-menindih di
kuburan. Tidak ada selanya di kuburan dengan
batas lubang pembuangan air, karena
banyaknya mayat itu. Yang lain di ladang atau
pun di jalan, ada pula membusuk di rumahnya.
Anjing melolong makan mayat. Burung gagak
terbang berkeliaran, ikut bersama-sama
mematuk-matuk bangkai. Lalat berdengung
bergemuruh di dalam rumah. Banyak rumah
dan tempat tinggal yang kosong. Ada juga
orangnya yang pergi jauh, mencari tempat
tinggal yang bebas penyakit. Tujuannya
mengungsi agar tetap hidup. Yang sedang
sakit dipikulnya. Ada yang mengemban anak
dan yang dituntunnya, (ada) yang dibawa
22

seseorang. Buta itu menyaksikan berteriak,


teriaknya keras. Katanya,
12a. “Janganlah engkau pergi, desamu telah aman,
penyakit telah hilang, kembalilah engkau ke
sana, engkau pasti hidup.” Setelah Buta
berkata begitu, banyak orang mati di jalan.
Orang-orang itu pergi cepat membawa yang
lain. Buta yang ada di rumah kosong, (mereka)
bersenang-senang, ada yang berjungkir balik,
riang gembira. Yang lain di lebuh dan di jalan
besar. Si Mahisawadana masuk ke dalam
rumah. Dia berjalan di antara batas. Sakitlah
orang-orang serumah. Si Weksirsa masuk di
tempat tidur orang, berjalan di samping
tembok, membuka-buka potongan (leher),
minta korban darah mentah dan daging
mentah. “Itulah yang saya inginkan, janganlah
lama-lama,” ucapnya. Tidak diceritakan orang-
orang yang mati dan sakit dan tingkah laku
Buta membunuh. Diceritakan Sang Raja di
kerajaan. Beliau dihadap di balai
penghadapan, kelihatannya kurang bahagia di
23

balai penghadapan itu, akibat kesedihan Sang


Raja, tingkahnya membingungkan.
12b. karena orang-orang di kerajaan banyak yang
mati. Selain itu banyak orang yang sakit.
Bagaikan tanpa cahaya kerajaan itu. Sang
Raja segera bersabda kepada Apatih dan
para Mentri Utama, mengutus agar
mengundang Sang Pendeta, Sang Resi, Sang
Bujangga, dan para Guru. Diperintahkan
mencari upaya masing-masing, serta memuja
Dewa, karena orang-orang di seluruh
kerajaan merana. Para Guru mengadakan
pemujaan dan Sang Pendeta memohon kepada
Sang Hyang Agni. Kira-kira tengah malam
muncullah Sang Hyang Caturbuja dari Sang
Hyang Agni. Kemudian beliau berkata, “Om-
om, adalah beliau bernama Sri Munindra
Baradah, tinggal di pertapaan (berada) di
Semasana di Lemah Tulis. Pendeta yang
sempurna. Dialah yang dapat meruwat
kerajaanmu, yang akan menghilangkan noda di
dunia, membuat sejahtera dunia.” Setelah
24

beliau bersabda demikian, moksa lenyap


terbang (di angkasa). Para Maharsi yang
mengadakan pemujaan itu senang
mendengarkan semua
13a. sabda Sang Caturbuja. Kemudian pada esok
hari, mereka bersama-sama melaporkan hal
itu kepada Sang Raja, tentang semua ucapan
Sang Caturbuja, ketika Sang Raja sedang
dihadap di luar balai penghadapan. Sang
Pendeta berkata, “Tuanku Sang Raja, adalah
Sang Caturbuja, muncul dari Sang Hyang Agni
(Api Pemujaan), lalu bersabda, bahwa Sang
Sri Munindra Baradahlah yang akan meruwat
kerajaan Tuanku. Beliau yang pertapaannya di
Semasana Lemah Tulis yang akan
menghilangkan noda di dunia. Begitulah sabda
Sang Caturbuja.” Yakinlah Sang Raja,
terhadap ucapan Sri Guruloka. Sang Raja
memerintahkan supaya mengirimkan utusan
menghadap Sang Muniswara, yang ada di
Semasana, “Hai, Kanuruhan! Pergilah engkau
ke pertapaan, di Semasana Wihcitra.
25

Undanglah Sang Pendeta Sri Yogiswara Mpu


Baradah. Kumohon agar meruwat kerajaan
kami yang terserang wabah penyakit.
13b. Janganlah engkau tidak cepat.” Sang
Kanuruhan segera minta pamit, menghormat
di hadapan Sri Raja. Berangkatlah ia naik
kereta ditarik kuda. Cepatlah perjalanan
Kanuruhan itu. Ia kemalaman di jalan, tetapi
berjalan juga diterangi sinar bulan, berkabut
emas terhalang di jalan. Keesokan harinya
Sang Kanuruhan berjalan. (Ia) segera datang
di asrama. Ken Kanuruhan turun dari kereta.
Ia masuk pintu asrama bertemu Sang Pendeta
di pertapaannya. (Sang Pendeta) menyapa
kepada tamu, beliau sungguh budiman, “He,
bahagialah engkau laki-laki, saya tidak
mengetahui engkau datang. Tentang tujuanmu
ke asrama. Mengapa engkau langsung mencari
saya pada pagi hari? Namun saya telah tahu
tentang keinginanmu itu.” Berkatalah
Kanuruhan memberitahukan kepada Sang
Pendeta, “Hamba
26

14a. berasal dari Kerajaan Kadiri. Hamba


Kanuruhan, diperintahkan untuk mendatangi
Tuanku Yang Mulia, Sang Pendeta, untuk
mengundang Sang Pendeta. (Hamba) diutus
oleh Sang Penguasa dunia. Adapun maksud
raja agar Sang Pendeta datang ke kerajaan.
Sang Penguasa dunia meminta belas kasihan
Sang Pendeta, mohon agar orang-orang di
seluruh kerajaan dihidupkan oleh Sang
Pendeta. Sang Pendetalah yang hendak
menyucikan kerajaan dari malapetaka, karena
wabah penyakit, banyak (orang) yang mati.
Adapun kerajaan dilanda wabah penyakit. Ada
janda dari Girah, bernama Calon Arang.
Dialah penyebab sakit itu. (Ia) mempunyai
seorang anak putri bernama Manggali. Adapun
penyebab sedih orang yang bernama Calon
Arang, karena tidak ada orang yang mau
melamar anaknya bernama Manggali. Sang
Calon Arang sangat sedih.” Lalu Sang
Jatiwara berkata, “Benar seperti yang
dikatakan itu. Saya tidak menolak datang
27

bersama ke sana. Ada murid saya seorang.


Dia akan mengikutimu Kanuruhan
14b. ke kerajaan. Namanya Mpu Kebo Bahula. Dia
akan kusuruh melamar Sang Manggali. Engkau
Kanuruhan memberitahukanlah kepada Sang
Penguasa dunia, apabila Mpu Bahula akan
melamar Manggali. Berapa saja mahar yang
diminta hendaklah dipenuhi oleh raja.
Demikian pesan saya kepadamu. Saya juga
nanti menasihati Mpu Bahula, apabila dia
telah sehati dan kawin memadu kasih dengan
Ratna Manggali.” Sang Kanuruhan mengiyakan.
Sang Pendeta berkata lagi kepada
pembantunya, menyuruh memasakkan
makanan dan buah-buahan, karena di
tempat(nya) Sang Kanuruhan tidak ada. Tidak
lama datanglah jamuan dengan segala
perlengkapan upacara sangat indah
kelihatannya, tuak, nasi, ikan, tampo, berem ,
kilang juga sěrěbad budur. Kanuruhan segera
makan bersama-sama. Mereka (bersama)
28

minum cakilang, pikirannya sama-sama senang.


Ada yang bernyanyi, bercerita,
15a. sambil menari. Apakah yang menyebabkan
demikian? Karena sedang diperintah oleh
raja, lalu mendapatkan makanan dan buah-
buahan. Tidak semata-mata sejahtera
seluruh kerajaan itu, pikirnya. Mereka
bermalam di pertapaan semalam. Esok pagi
Sang Kanuruhan minta pamit kepada Sang
Pendeta. Mereka pun menghormat dan Mpu
Bahula diserahkan. Tidak diceritakan dalam
perjalanan Ken Kanuruhan, demikian pula Mpu
Bahula, mereka segera sampai di istana.
Dijumpailah Sang Raja yang sedang dihadap
di Manguntur, dihadap para Adipati dan patih.
Ken Kanuruhan dan Mpu Bahula kemudian
datang ke tempat pertemuan. Ken Kanuruhan
menghormat di depan Sang Raja, lalu ia
berkata kepada Sang Raja, “Tuanku, tidak
dapat didatangkan Sri Munindra oleh hamba.
Itu siswanya saja bernama Mpu Bahula
29

datang menghadap Paduka Sang Raja. Dia


diperintahkan untuk melamar Ratna Manggali.
15b. Demikianlah pesan yang diberikan oleh
Pendeta di Buh Citra. Jika diminta uang
maharnya, berapa pun permintaan Sang Calon
Arang, hendaklah dipenuhi saja oleh Tuanku
Raja. Jika mereka telah sehati Mpu Bahula
dengan Ratna Manggali nanti, pada waktu
itulah Sang Pendeta hendak mengunjungi Mpu
Bahula”. Sang Raja lalu berkata, “Saya
menyetujui ucapmu Kanuruhan. Baiklah
engkau antarkan Mpu Bahula ke Girah,
disertai oleh kawan-kawanmu Kanuruhan!”
Tidak diceritakan mereka di perjalanan. Ia
segera tiba di Girah. Mereka masuk di
perkarangan rumah Calon Arang. Mpu Bahula
duduk di kursi tamu di sana. Tiba-tiba
keluarlah
16a. Calon Arang. Segera menyambut tamu itu
dan menyapanya. Ucapnya, “Om-om, bahagia
engkau anak laki-laki, yang menjadi tamuku.
Dari manakah asal Anda? Lagi pula hendak ke
30

manakah Anda? Wajah penampilanmu sangat


tampan seperti bukanlah keturunan orang
hina. Saya bertanya kepada tamu ini (karena)
tidak mengenalnya.” Mpu Bahula turun dari
tempat duduk dan melepaskan ujung kain
bawah. Lalu katanya perlahan, “Sungguh-
sungguh Paduka sangat bijaksana dalam
sastra dan agama, bagaikan meneteskan gula
madu dari mulut Paduka. Semogalah tidak
salah penerimaan yang Anda berikan yang
membahagiakan diri hamba. Baiklah saya
berterima kasih kepada Anda yang
membahagiakan diri hamba, kepada Tuanku.”
Janda Girah berkata, “Baiklah anak laki-laki
marilah kita duduk di rumah dahulu.” Mpu
Bahula duduk bersama Sang Calon Arang.
Berkatalah
16b. Mpu Bahula, “Saya hendak mohon perkenan
Tuan rumah, minta agar memberikan belas
kasih kepada hamba. Tujuan hamba hendak
melamar putri Tuanku, bernama Ratna
Manggali. Barangkali saya tidak mengetahui
31

isi hati Tuanku. Tentang tempat asal hamba,


hamba bujangga dari Gangga Citra, anak
Maha Pendeta di Lemah Tulis. Saya bernama
Mpu Bahula. San Pendeta menyuruh supaya
melamar putri Tuanku, Si Ratna Manggali.
Tidaklah salah Tuanku berbesan dengan Sang
Pendeta.” Randa diam, lalu berpikir di dalam
hati. Dia sangat senang bermenantukan Mpu
Bahula,, lebih lagi mempunyai besan Sang
Pendeta, sangat senang rasa hati Calon
Arang. Kemudian dia berkata, “Mengapa saya
tidak senang, apabila Mpu Bahula hendak
melamar anakku, seperti perintah Sang
Pendeta?
17a. Namun, janganlah tidak sungguh-sungguh
kamu dengan Ratna Manggali.” Mpu Bahula
berkata, “Mengapa saya tidak akan
bersungguh-sungguh dengan Manggali? Pun
Bahula, hanya dengan surat (lamaran).
Menuruti ucapan Tuanku mengenai uang
maharnya, sepermintaan Tuanku. Saya akan
datang menyediakannya.” Calon Arang
32

berkata, “Hai, laki-laki, bukan tujuan


besarnya mahar. Jika kau mau bersungguh-
sungguh saja sesuai dengan harapanku,
berapa pemberianmu kami terima.” Inilah
yang diserahkan oleh Mpu (Bahula) : sirih
tanda pertunangan, perak hadiah perkawinan,
selendang, permata ratna mutu manikam yang
bersinar. Lalu diterima oleh Calon Arang
(saja) pemberian Mpu Bahula. Panjang apabila
diceritakan. Tidak disebutkan siang dan
malam, berhasillah dipertemukan Mpu Bahula
dengan Ratna Manggali. Bahagia
perkawinannya saling mencintai, mesra
bagaikan dewa dan dewi siang dan malam.
Tidak disebutkan Mpu Bahula.
17b. Diceritakan Calon Arang jika menjelang
malam hari mengambil lipyakara. Setelah
pustaka itu diambil, ia segera pergi menuju ke
kuburan. Kembalinya dari kuburan itu, sekitar
tengah malam. Demikianlah beliau terus
menerus. Mpu Bahula berkata kepada Sang
Manggali, “Dinda, adikku tercinta,
33

mengapakah ibu selalu pergi pada malam hari?


Saya khawatir Dinda. Keinginan saya hendak
mengikutinya, hidup atau pun mati saya akan
bersama dengan ibu. Beritahulah yang
sesungguhnya, Adikku! Apakah sebenarnya
pekerjaan ibu, Dinda! Jika beliau sedang
demikian, saya amat khawatir.” Lalu Ratna
Manggali berkata kepada suami, “Kakakku
akan saya katakan kepadamu, yang
sebenarnya saja. Janganlah kakak
mengikutinya berbuat seperti itu, sebab
beliau pergi ke kuburan,
18a. akan menjalankan sihir, yang menyebabkan
kerajaan hancur. Itulah yang menyebabkan
banyak orang mati, mayat memenuhi tegal dan
kuburan, banyak rumah yang kosong.
Begitulah tujuan ibu.” Mpu Bahula berkata
istrinya, “Adikku permata hati yang saya
cintai, yang menjadi permata dunia. Kakakmu
ingin tahu dan melihat anugerah itu, yang
dipegang oleh ibu. Saya ingin
mempelajarinya.” Ketika Calon Arang sedang
34

pergi ke kuburan, pustaka itu diberikan oleh


Sang Manggali kepada kakaknya. Lalu dibaca
oleh Mpu Bahula, (lalu) hendak dimintakan izin
kepada adiknya, untuk dimohonkan nasihat
kepada Sang Pendeta. Lalu diizinkannya. Mpu
Bahula segera pergi menuju Buh Citra. Tidak
diceritakan dalam perjalanan. Ia segera
datang di asrama
18b. di kuburan itu. Dia langsung menuju tempat
Sang Pendeta. Beliau dijumpai sedang duduk
di rumah kecil dihadap oleh muridnya. Beliau
terkejut melihat Mpu Bahula datang
membawa lipyakara. Menyembahlah Mpu
Bahula di kaki Sang Pendeta, lalu menjilati
debu yang berada di telapak (kaki) Sang
Pendeta ditempatkannya di ubun-ubun.
Senanglah hati Sang Pendeta, melihat
kedatangan muridnya. Berkatalah beliau,
“Om-om anakku Mpu Bahula datang. Kamu
membawa pustaka untuk saya. Apakah barang
itu milik Calon Arang?” Mpu Bahula
memberitahukan kepada Sang Pendeta,
35

memang benar pustaka itu milik Calon Arang.


Lalu pustaka itu dipegang oleh Sang Pendeta.
Sastra itu berisi hal sangat utama untuk jalan
kebaikan, menuju kesempurnaan, puncak
rahasia pengetahuan isi pustaka itu.
Mengapakah (pustaka) diarahkan menuju
jalan yang salah oleh Sang
19a. Calon Arang, menuju ke kiri, yaitu
menjalankan ilmu sihir, kesengsaraan dunia
dipegang. Sang Pendeta berkata kepada Mpu
Bahula, “Kembalilah engkau ke Girah segera,
bawa pustaka olehmu, suruh agar disimpan
oleh adikmu Manggali. Saya besok pagi akan
menceritakan kepadamu. Adapun saya melalui
desa tempat yang terkena musibah dan di
kuburan batas tegalan. Engkau pergilah
mendahului.” Mpu Bahula lalu minta diri
mengusap kaki kepada Sang Pendeta. Ia
berangkat. Tidak diceritakah mengenai Mpu
Bahula dan Ratna Manggali, mereka saling
mencitai siang dan malam. Calon Arang sangat
bahagia hatinya, sangat sayang kepada anak
36

dan menantu, membawanya sampai besok


malam, tidak hilang ditanyakannya.
Diceritakan Sang Pendeta di Lemah Tulis.
19b. Pagi-pagi beliau berangkat dari asrama,
diikuti oleh tiga orang muridnya. Perjalanan
Pendeta Baradah sangat cepat. Tidak
diceritakan perjalanannya, beliau segera
datang di desa yang menderita wabah
penyakit, jalan sepi rumputnya lebat.
Akhirnya, beliau bertemu dengan orang yang
akan menyalakan api, hendak membakar
mayat. Mayat itu didapatkan oleh Sang
Pendeta dalam keadaaan dipeluk oleh istrinya
yang menangis. Mayat itu ditutupi dengan
kain berwarna putih. Sang Pendeta berkata,
“Hai saya kasihan melihatmu, menangis
memeluk mayat suami. Bukalah olehmu mayat
suamimu itu. Saya akan melihat mayatnya
itu.” Mayat itu dibuka, berdenyutlah detak
jantungnya. Dibuka dua kali, bernafaslah.
Kira-kira dua kali waktu orang makan sirih,
dapat duduklah orang yang telah mati itu
37

20a. oleh Sang Pendeta. Lalu berkatalah orang


yang telah mati kepada Sang Pendeta,
“Tuankau alangkah besar utang saya kepada
Sang Pendeta. Saya tidak dapat membayar
utangku itu kepada Paduka Tuan Hamba.”
Berkatalah Sang Yogiswara Baradah, “Hai,
tanpa alasan katamu itu, jangan begitu. Nah
tinggallah kau atau kau pulang ke rumahmu.
Aku meneruskan perjalanan.” Sang Pendeta
pergi, bertemulah beliau dengan mayat tiga
orang berjajar. Dua mayat masih utuh satu
lagi telah rusak. Mayat itu diperciki air
gangga yang suci. Yang masih utuh, berhasil
hidup seperti semula. Beliau segera pergi dari
tempat itu, (beliau) menuju rumah kosong,
halamannya sepi, rumputnya tumbuh subur.
Beliau masuk ke dalam rumah, beliau
menemukan orang sakit. Dua orang sudah
meninggal. Adapun tetangganya yang lain
semuanya sakit. Yang seorang lagi
20b. merintih kesakitan. Yan gseorang lagi tinggal
denyutnya saja. Semua diperciki air suci oleh
38

Sang Pendeta. Keduanya berhasil hidup


kembali, bersama menghormat dan
menyembah di kaki Sang Pendeta. Lalu
menjilat debu di telapak kaki Sang Pendeta.
Sang Pendeta Baradah berkata, menyuruh
kedua orang muridnya itu kembali ke
pertapaan karena di sana sepi, pertapaannya
di Semasana. Pulanglah kedua muridnya itu.
Dia minta diri kepada Sang Pendeta
menghormat. Telah lepaslah perjalanan murid
itu, segera sampai di pertapaan Semasana di
Buh Citra. Tidak diceritakan hal itu.
Disebutlah Sang Pendeta, beliau pergi dari
tempat itu, ke arah barat daya, beliau
melewati tepi kuburan perbatasan tegalan,
rumputnya rimbun, dan pakis, waduri, dan
pepohonan. Serigala meraung memakan
bangkai
21a. di antara rerumputan pakis. Burung gagak
berbunyi keras berkepanjangan di pohon.
Sang Pendeta Baradah datang ke tempat itu.
Anjing diam tidak menggonggong lagi, juga
39

bunyi burung gagak berhenti, melihat Sang


Pendeta dtang, Segala tempat yang dilewati
oleh Sang Jiwatma, yang sedang sakit
menjadi segar kembali seperti semula, yang
mati kembali hidup, setelah dilihat Sang
Pendeta di tengah kuburan. Ada seorang
wanita dalam keadaan menangis, berlari ke
utara dan ke selatan, tidak tahu akan
perbuatannya di jumpai ketika Sang Pendeta
datang. (Ia) mendekat menghormat di kaki
Sang Pendeta, lalu berkata kepada Sang
Pendeta, “Tuanku, mohon belas kasihan
hamba, dihadapan Tuan Hamba Sang Pendeta.
Hamba ingin mengikuti suami hamba. Sedih
juga hati hamba, anugerahilah pertolongan
Tuanku, agar bertemu
21b. suami hamba, Tuanku.” Sang Pendeta
berkata, “Tidak kuasa jika demikian. Apabila
belum rusak mayat suamimu, barangkali
engkau bertemu lagi dengannya olehku. Mayat
itu telah hancur, engkau tidak bertemu lagi,
engkau jumpai bila engkau mati.. Saya akan
40

menunjukkan jalan ke surga bagimu, dan juga


surga bagi suamimu. Inilah sarana dari saya,
terimalah jangan menolak. Juga ada pesan
saya kepadamu, hendaknya kamu ingat,
engkau menemukan suamimu.” Wanita itu
menangis menyembah menerima ucapan Sang
Pendeta. Tidak diceritakan wanita itu, ia
telah pergi. Diceritakan Sang Pendeta. Lalu
beliau pergi ke tengah kuburan. Dijumpailah
si Weksirsa, dan Mahisawadana, murid Calon
Arang itu. Ketika terliahat Sang Pendeta
datang, keduanya mendekat kepada Sang
Pendeta, menghormati di kakinya Si Weksirsa
dan Mahisawadana itu. Berkatalah
22a. Sang Sri Yogiswara Baradah, “Hai, siapakah
engkau, datang menyembah saya di tengah
kuburan ini, serta dari mana asalmu dan
siapakah namamu? Saya tidak mengetahui
engkau, beritahukanlah saya!” Si Weksirsa
dan Mahisawadana, memberitahukan.
Ucapnya, “Tuanku, sebenarnya Si Weksirsa
dan Si Mahisawadana menyembah Tuan
41

Hamba Sang Pendeta. Hamba murid beliau


Sang Randeng Girah. Hamba menghormat ke
hadapan Pendeta mohon belas kasihan
paduka, mohon agar dibebaskan dari
perbuatan yang tidak baik.” Lalu Sang
Yogiswara berkata, “Tidak dapat engkau
kuruwat, jika tidak diruwat Calon Arang lebih
dahulu. Berangkatlah engaku menghadap
Calon Arang, beritahukan bahwa saya ada di
sini. Saya ingin berbicara dengan besan.” Si
Weksirsa dan Mahisawadana mohon diri dan
menghormat, berlutut lalu pergi
22b. keduanya. Diceritakah Sang Calon Arang, ia
sedang memuja di kahyangan kuburan di sana.
Baru saja Paduka Batari Bagawati kembali
dihadap, dalam percakapan (rahasia) dengan
janda dari Girah. Batari memberikan petunjuk
kepada Calon Arang, “Hai, janganlah engkau
tidak waspada, mau dekat dengan dirimu.”
Begitulah pesan Batari. Itulah yang membuat
rasa khawatir hati Calon Arang, diam
tertegun tidak berkata, karena memikirkan
42

pesan beliau Sang Batari. Si Weksirsa dan


Mahisawadana segera datang bersama. Ia
berkata terlebih dahulu kepada Calon Arang,
memberitahukan kedatangan Sang Yogiswara
Baradah. Sang Calon Arang berkata, “Hai,
jadi besan Baradah datang kemari. Itulah
sebabnya saya sekarang menghentikan
kepadanya.” Calon Arang segera pergi. Beliau
sampai di hadapan Sang Mpu Baradah. Sang
Randa di Girah menyapa Sang Pendeta.
Ucapnya,
23a. “Hamba bahagia Tuanku Sang Pendeta, besan
saya Sang Yogiswara Baradah, saya gembira
Sang Pendeta datang. Saya ingin agar
diberikan nasihat utama.” Sang Pendeta
berkata, “Hai, Besan sangat baik ucapan dan
pikiranmu, kalau demikian, baiklah saya
memberitahukan tuntunan kemuliaan, tetapi
janganlah engkau sangat marah Besanku. Saya
beritahukan sebelumnya, Engkau membunuh
orang melaksanakan perbuatan jahat,
menyebabkan kekotoran dunia, membuat
43

penderitaan di dunia, dan membunuh seluruh


dunia. Betapa besar malapetaka di dunia,
begitu kotor menyebabkan orang sakit,
terlalu besar malapetaka yang engkau
perbuat, membunuh orang di seluruh
kerajaan. Engkau tidak dapat dibebaskan dari
dosa, apabila tidak melalui jalan mati seperti
keinginan itu. Kendatipun demikian jika
engkau belum mengetahui seluk beluk
pembebasan, masa engkau akan bebas dari
dosa.” Sang Calon Arang berkata, “Demikian
sangat besar dosa saya di dunia.
23b. Jika demikian ruwatlah saya Sang Pendeta.
Belas kasihan berbesan saya.” Sang Pendeta
berkata, “Saya tidak dapat meruwatmu
sekarang.” Lalu Sang Calon Arang berkata
marah, mukanya merah karena geramnya,
akibat ditolak Sang Pendeta. “Itulah tujuan
saya berbesan dengan kau. Saya ingin bersih
dari mala. Kau menolak meruwat saya. Ya
sekaligus biarlah saya akan mati dengan
malapatekan dan kehancuran. Singkatnya
44

akan saya sihir Resi Baradah.” Kemudian


Calon Arang menari, membalikkan rambut di
atas kepala, matanya melirik-lirik, bagaikan
mata macan yang hendak menerkam orang.
Kedua tangan menuding Sang Pendeta.
“Matilah engkau sekarang olehku Pendeta
Baradah, barangkali engkau tidak mengenal
besan. Ini pohon beringin besar, hendak saya
sihir. Lihat olehmu Mpu Baradah.” Segera
hancur pohon beringin
24a. besar itu sampai akar-akarnya, akibat
tatapan mata yang sangat sakti Calon Arang.
Lalu Sang Mahamuni Baradah berkata, “Hai,
Besan, keluarkan lagi sihirmu yang lebih sakti,
masa saya heran.” Lalu olehnya dipercepat
menyihir. Keluar api menyala berkobar-kobar,
bagaikan bunyi guntur membakar semua
tumbuhan, keluar dari mata, hidung, telinga
dan mulut. (Api) menyala berkobar membakar
badan Sang Pendeta. Tidak terganggulah
Sang Pendeta, beliau enak olehnya memegang
kehidupan di seluruh dunia. Sang Pendeta
45

berkata, “Saya tidak mati kau sihir, Besan.


Aku ambil nyawamu, semoga kamu mati di
tempatmy berdiri itu.” Setelah itu Sang
Pendeta mengenakan astacapala. Sang Calon
Arang mati seketika, di tempat berdirinya itu
juga. Mpu Baradah menjadi berpikir dalam
hati. “Aduh, saya belum memberitahukan
24b. jalan kebebasan kepada Besan. Semogalah
kau besan hidup seperti semula lagi.” Calon
Arang hidup kembali. Kemudian Calon Arang
marah mencaci maki. Ucapnya, “Saya telah
mati, mengapa saya kau hidupkan kembali?”
Sang Pendeta menjawab dengan tenang, “Hai
Besan, tujuan saya menghidupkan engkau
kembali, saya belum memberitahukan
kelepasanmu serta menunjukkan jalan
sorgamu dan menghapuskan nodamu itu,
termasuk engkau belum mengetahui
kesempurnaan ilmu.” Berkatalah Calon Arang,
“Aduhai, itulah yang dimaksud sekarang. Nah,
Syukurlah apabila ada belas kasih sayang
Sang Pendeta kepada saya untuk melepaskan
46

hamba dari dosa. Saya (hendak) menyembah


di kaki Sang Pendeta sekarang, yang dengan
perlahat-lahan hendak meruwat saya.” Lalu
Calon Arang menyembah kepada kaki Sang
Pendeta. Maka ditunjukkan kelepasannya, dan
akan ditunjukkan jalan ke surga, serta seluk
beluk kehidupan.
25a. Setelah ia diberitahukan seluk beluk
kematian oleh Sang Sri Yogiswara Baradah,
senang, enak, lega, bebas, dan lepas hati Sang
Calon Arang, tidak cenderung (berbuat)
caranya semula, hanya nasihat Sang Pendeta
yang dipegangnya. Nasihat utama telah
didengarkan semua dan diresapi olehnya. Lalu
Sang Calon Arang minta diri, menyembah
dengan hormat pada telapak kaki Sang
Pendeta. Sang Pendeta berkata, “Nah, pergi
lepas kamu kembali semula telah diruwat
Besan.” Demikianlah, akhirnya Calon Arang
mati, berhasil diruwat, ia menghilang juga.
Lalu mayat Calon Arang dibakar oleh Sang
Pendeta, telah lebur menjadi abu tidak
47

tersisa. Tidak disebutkan lagi. Kini Si


Weksirsa dan Mahisawadana sama
mendapatkan didikan (brahmana), minta
dijadikan wiku oleh Sang Pendeta. Apakah
sebabnya demikian? Sebab tidak mampu
turut diruwat
25b. bersama janda di Girah. Mereka berdua
dijakan wiku oleh Sang Pendeta. Tidak
disebutkan Calon Arang. Sang Pendeta ingin
pergi ke Girah mengunjungi Mpu Bahula,
hendak memberitahukan bahwa Calon Arang
telah meninggal. Sang Pendeta segera datang
ke Girah, masuk ke kabuyutan orang Girah.
Orang memberitahu Mpu Bahula, bahwa Sang
Pendeta datang. Mpu Bahula segera
menyongsong (kepada) Sang Pendeta,
menghormat dan menyembah di telapak kaki
Sang Pendeta, debu yang ada di kaki Sang
Pendeta yang bebas dari nafsu, dijilati
dijadikan sumber penghidupan dan
ditempatkan di ubun-ubun oleh Mpu Bahula.
Sang Pendeta berkata, “Hai Mpu Bahula, sya
48

memberitahukan kepadamu, besanku Calon


Arang telah meninggal. Sempurna lenyap
teruwat dari mala olehku. Sekarang begini
kehendak saya, pergilah engkau ke kerajaan,
agar memberitahukan kepada Sang Raja
bahwa Calon Arang telah mati. Si Weksirsa
26a. dan Mahisawadana telah menerima ajaran
yang baik dan pengawasan Pendeta. Keduanya
akan mengabdi padaku. Beritahukanlah bahwa
saya ada di sini.” Segera minta pamit
menghormatlah Mpu Bahula di hadapan Sang
Pendeta. Pergilah dia ke kerajaan. Tidak
diceritakan perjalanan Mpu Bahula, segera
datanglah dia di kerajaan. Dijumpainya Sang
Raja sedang di penghadapan, tenang di
tempat persidangan, (dihadiri) Para Adipati,
Patih Amangkubumi, Resi, Bujangga Siwa, dan
Brahmana. Tidak terkira jumlahnya (dari)
para satria utama. Seluruh upacara sama
indah dilihat, disertai tempayan logam dan
keris, dan bermacam-macam pandan. Setelah
datang Mpu Bahula bagaikan menerangi (Sang
49

Pendeta) di Manguntur. Orang-orang


serentak tercengang di tempat pertemuan.
Segera menghadap dekat, Mpu Bahula
berkata. Ucapnya, “Tuanku penguasa dunia,
Mpu Bahula memberitahukan kepada Tuanku,
Calon Arang sudah mati oelh
26b. Sang Pendeta. Si Weksirsa dan
Mahisawadana telah menerima pengakuan suci
Sang Pendeta, bersama-sama mohon dan
menjunjung Tuan Hamba Sang Pendeta. Sang
Pendeta sekarang ada di Girah.” Sang Raja
bersabda, “Hai, bahagialah jika seperti
pemberitahuanmu Mpu Bahula. Aku menjadi
senang sesuai dengan ucapmu apabila Sang
Pendeta berada di Girah. Hai, Patih
Darmamurti, siagakan keretamu dan gajah.
Saya akan bersiap-siap mendatangi Sang
Pendeta disertai permaisuri ikut ke Girah.”
Orang-orang seluruh kerajaan berbondong-
bondong, berdengung dan bergemuruh suara
bunyi-bunyian, gong nyanyian, curing
bersamaan tanpa didengarkan. Ringkik kuda,
50

kibaran bendera, hentakan kaki orang


berjalan bagaikan belah dunia. Jalannya
27a. prajurit sesak berdesakan memenuhi jalan
tanpa henti-hentinya bagaikan laron keluar
dari sarangnya. Tidak diceritakan perjalanan
Sang Raja di jalan, dengan semua upacara
peninjauan. Samar-samar memakai perisai
bersama temannya. Ada yang naik kereta,
yang lain tanpa dirasakan berjalan kaki, yang
lainnya bersenda gurau, perbuatannya hiruk
pikuk. Sang Raja segera tiba di Girah. Tidak
diceritakah orang-orang yang menyaksikan.
Ada yang menonton, ada tanpa pakaian, dan
rambut terurai. Ada yang kehilangan kain
tidak diperhatikan karena besar keinginannya
hendak melihat. Ada lagi yang berlari jatuh
ke tanah. Akhirnya langsung datang di tempat
Sang Pendeta Baradah di kabuyutan orang-
orang Girah. Setelah datang Maharaja
Erlangga ke sana, Sang Pendeta menyambut
hormat kepada Sang Raja. Katanya, “Om-om
Tuanku Paduka Raja, bahagialah apabila
51

mengunjungi hamba. Segeralah Sang Raja


menyucikan orang-orang yang sakit.
27b. Nah, silakan duduk bersama di sini Sang
Penguasa Negara! Saya akan menceritakan
tentang kematian Sang Calon Arang. Si
Weksirsa dan Mahisawadana (mereka) telah
menerima ajaran yang baik, ikut
membebaskan diri dengan saya”. Sang Raja
berkata, “Bahagialah saya, apabila Calon
Arang mati. Sangat senang hati saya. Telah
hilanglah sekarang noda dunia, yang membuat
kekotoran seluruh dunia dan ketakutan dunia.
Dapat dikatakan bagaikan tanaman merambat,
gulma, dan benalu, pada bulan ketiga, debu
berterbangan oleh putaran angin berkisaran,
kering daunnya jatuh runtuh ke bumi, minta
hujan tidak ada. Begitulah persamaannya
dengan negara, telah rusak tidak tahu
menumbuhkannya. Negara tidak bersinar oleh
perbuatan Calon Arang, minta-minta hidup
tidak ada. Sekarang setelah Sang Pendeta
terhormat datang di Girah di sini, bagaikan
52

tanaman merambat mengharapkan datangnya


bulan Kartika (Oktober-November), oleh
karena Tuan hamba seperti meneteskan air
suci Gangga, (dan) air penghidupan. Tidak
akan disangka hidup kembali
28a. kerajaan oleh Sang Pendeta. Sekarang begini
Tuanku, berapakah hutang saya kepada Tuan
Hamba Pendeta yang terhormat, besar tidak
dapat dipeluk, panjang tidak dapat diukur
dengan depa. Tidak dapat saya jawab, tetapi
saya akan membalas sedapat-dapatnya nanti
kepada Sang Pendeta terhormat, karena
tidak terhitung besar hutang saya.”
Berkatalah Sang Pendeta, “Hai, tanpa alasan
ucapan Sang Raja yang demikian. Saya belum
membersihkan muntah Calon Arang. Setelah
dia mati saya ingin membuat upacara
pembersihan lagi. “Setan Banaspati” kotor
Calon Arang, akan dicandikan di Girah dan
disucikannya, supaya dipuja orang-orang
Girah, disebutlah Rabut Girah. Tidak ada
yang hendak merusak lagi, kerajaan itu hingga
53

daerah pinggiran, sebab Rabut Girah sudah


aman.” Sang Raja menyetujui hal itu, atas
perintah Sang Pendeta.
28b. Sang Pendeta berkata lagi, “Hai, Sang Raja
silahkan pulang saja dahulu ke kerajaan. Saya
sedang membersihkan mala yang dibuat Calon
Arang. Apabila saya telah selesai
membersihkan Rabut Girah ini, saya datang
ke pusat kerajaan,mengikuti Sang Raja.” Raja
Erlanggya berkata, “Hai, sesuai dengan
ucapan begitu, sekaranglah Tuan
menyelesaikan.” Kata Sang Pendeta, “Apabila
ada berat ringan, sekaranglah cucu Tuanku
Sang Pendeta ingin pamit, akan pulang dahulu
ke kerajaan cucu Tuanku. Pun Kanuruhan
biarlah tinggal di sini untuk mengiringkan
Sang Pendeta pergi ke istana kerajaan.”
Kemudian Sang Raja pulang segera, diikuti
oleh pasukannya. Beliau tidak diceritakan
dalam perjalanan, segera sampai di keraton.
Diceritakan Sang Pendeta Baradah ada di
Girah menyucikan mala Calon Arang, (atas)
54

biaya dari Sang Raja. Ken Kanuruhan


membantu pekerjaan Sang Pendeta, lengkap
dengan saji-sajian.
29a. Setelah selesai membersihkan mala, jadilah
dinamai Rabut Girah, menjadi tempa suci
orang-orang Girah sampai sekarang. Dipuja
dan dihormatinya. Sang Pendeta mengakhiri
pekerjaannya. Segera pergilah beliau naik
kereta tandu. Ken Kanuruhan naik kuda akan
mengikuti perjalanan Sang Pendeta menuju ke
kerajaan. Tidak ketinggalah Mpu Bahula
menunggang kuda merah. Tidak diceritakan
beliau di jalan, segera sampai di kerajaan.
Sang Raja ingat bahwa Sang Pendeta datang.
Sang Raja Erlangga segera keluar dari istana,
menjemput Sang Pendeta Baradah, sampai di
luar kota di alun-alun. Ribut oleh suara musik,
gong, alat musik pereret bersama-sama.
Demikianlah Sang Pendeta diperlakukan oleh
Sang Raja. Sang Raja segera turun dari
kendaraan, lalu akan menyerta Sang Pendeta
55

menuju keraton. Kemudian dipersilahkan


duduk Sang
29b. Resi di balai gading. Adapun Sang Raja
duduk di balai samping. Lalu Sang Raja
berkata, memberitahukan kepada Sang
Pendeta, “Tuanku, segala ucapan Raja
Erlangga, hendaklah diterima di hadapan
Tuan Sang Pendeta. Sekarang ini kerajaan
telah aman oleh Sang Pendeta. Sekarang
keinginan cucu Tuanku ingin mengikuti
Pendeta yang mulia, minta belas kasih Sang
Pendeta. Akan turut mempelajari Sang Hyang
Dharma, minta menerima ajaran yang baik
seorang pendeta menlepaskan pikiran hina,
memahami ajaran hukum. Pikiran jahat,
perbuatan zina larangan dunia, rakus, hilang
kesadaran, loba, hilang kontrol diri, creyan,
cinta yang besar, sedih, berteman, bijaksana
pikiran kuat oleh cucu Tuanku. Setelah
menjadi raja berkuasa, senang memberi
anugerah berlebih-lebihan dalam lahir, kaya
segalanya serba banyak. Tidak disebutkan
56

permata kemuliaan kerajaan, ada di dalam


keraton. Adapun keinginan saya sekarang
hendak mengetahui seluk beluk berguru, agar
merasakan
30a. Sang Hyang Dharma. Mengetahui jalan
kematian dan yang dituju. Mengetahui isi
surga dan neraka, keluar masuknya dunia
besar dan dunia kecil. Mengetahui jalan
utama, jalan lurus, dan cabang-cabangnya,
yang patut diketahui oleh (orang) yang telah
sempurna, dan dijumpai oleh orang yang
berjalan di sana.” Demikian ucapan Maharaja
Erlangga kepada Sang Pendeta. Sang Pendeta
Baradah pun berkata, “Aduh ucapan Sang
Raja sangat baik, sangat benar sesuai dengan
dunia apabila demikian. Anda hendaklah
memegang teguh Sang Hyang Dharma dan
mengubah budi jahat. Tidak sedikit nyata
benar permata kerajaan.” Sang Raja berkata
lagi, menanyakan pembayaran upacara.
“Tuanku, berapakah besar pembayaran
upacara itu, yang harus diserahkan kepada
57

Tuan? Adapun perak, beritahukan juga


kepada saya, tentang nista madia dan utama
pembayaran upacara itu.” Sang Pendeta
berkata, “Wahai, kalau demikian permintaan
Sang Raja, masalah besarnya bantuan biaya
itu, walaupun tanpa biaya,
30b. apabila sungguh-sungguh memelihara
kelangsungan pendidikan, sama pula dengan
besarnya biaya. Dalam hal biaya apabila tidak
kuat dan sungguh-sungguh terhadap Sang
Guru, sama dengan tanpa biaya, tidak ternilai
kesungguhan itu seperti akan mengantarkan
dari tempat ini. Saya memberitahukan
tentang biaya dan bermacam-macam biaya itu
sekarang. Yang disebut perak sedunia, itulah
pembuka kata namanya. Yang disebut
baturing sasari, yang terkecil 1600. Yang
menengah 4000, yang utama 8000, yang
paling utama 80.000. Itulah besar kecil upah.
Kendati demikian jika tidak bersungguh-
sungguh dalam berguru, sama dengan tanpa
pembayaran. Sungguh-sungguh dan teguh itu
58

menjadi upah juga. Berat dan tidak berat


(ringan), sulit, tidak ada hujan dan panas,
apabila diutus oleh guru dilaksanakan juga.
Tidak pantas membantah perintah, itu
sebagai upah. (Disebut) utama apabila besar
upah, juga (orang) bersungguh-sungguh,
lagipula tidak membantah perintah. Amat
utama jika ada orang seperti
31a. demikian. Demikian pula sang Raja, apabila
rencana membuat tapa, menurut keinginan
Sang Raja dalam menentukan upah. Saya
tidak berhak memastikan itu.” Berkatalah
Sang Sri Raja, “Delapan ribu itu Tuanku,
dijalankan oleh anak Tuan, akan diserahkan
kepada Sang Pendeta.” Sang Pendeta
berkata, “Ya, saya akan menerima ucapan
Sang Raja. Saya akan memberitahukan sifat
bunga-bunga, tidak ada beringin yang tidak
sakti pohonnya, sirih 27 dan kapur,
ditempatkan pada mangkuk berlalpis emas.
Puncaknya batu permata mirah, bunga-
bungaan uraiannya emas dan perak bersinar
59

lembut. Itu ditempa dengan tipis dan gunting,


biji mirah seadanya. Adapun Tuanku (sangat)
tersesat dalam bertapa, di mana pun Anda
datang akhirnya mulainya bumi, serta dipuja-
puja oleh seluruh dunia. Sejak dahulu orang-
orang di pulau lain berbakti, menghormat
kepada Anda.” Sang Raja membenarkan,
ucapan Sang Pendeta. Beliau segera mengutus
(untuk) mempersiapkan bunga, bunga urai, dan
biji tabur, sebagai persiapan awal.
31b. Segalanya telah siap sedia, tidak ada yang
kurang, berisi permata dari gunung terutama
hiasan istana itu telah disiapkan. Sangat
indah itu. Sang Raja telah menyucikan diri,
berdua dengan permaisurinya. Sajian telah
disiapkan lengkap, sangat mempesonakan
dilihat. Maharaja Erlangga mendekat kepada
Sang Pendeta Baradah, (di sana) di tempat
penyambutan. Bukan main pesonanya, asap
mengepul berbau harum dan pendupaan
menyala, memenuhi seluruh bumi, tersebar
hing di angkasa. Golongan resi di langit segera
60

(melihat) pendupaan mengepul tebal, semua


menonton dari angkasa, bagaikan memuji
perbuatan Sang Raja Erlangga, seperti ikut
hadir memberi restu peristiwanya. Bunyi-
bunyian ramai, termasuk alat musik instrumen
tiup, gong, dan gendang berbynya bersamaan.
Pereret, alat musik angin, gendang, gong
serentak
32a. berbunyi riuh. Sang Pendeta berkata,
“Silahkan datang ke mari Paduka Raja.
Sekarang ini saya belum melakukan upacara
sěděp terhadapmu, saya minata duduk di sana
juga. Saya (membuat) upacara sěděp untuk
Anda dengan gelar Jatiningrat.” Sang Raja
bersama permaisuri menghormat kepada
Sang Pendeta Baradah. Dipindahkan bunga-
bunga di dalam mangkuk, didasari emas,
bunga itu digetarkan tiga kali. Segera
diupacarai sang Raja bersama istrinya oleh
Sang Pendeta. Selesai upacara, beliau
diajarkan tentang Sang Hyang Dharma,
mengenai kelahiran dan rasa ketidakjadian
61

serta akhir segala yang ada, baik kecil


maupun besar (di dunia). Semua telah
diajarkan olehnya. Itu diberitahukan secara
rahasia pengetahuan menuju jalan kebenaran,
akan membuat perjalanan selamat,
dijalaninya, yang bertapa di kerajaan,
menjadi pertapa di hutan dan gunung. Lagi
pula tata cara catur asrama
diberitahukannya, seperti : Agrahastana,
Awanapastra, Abiksukana, dan
32b. Brahmacarina. Artinya : Agrahastana
artinya “Pendeta yang beristri beranak dan
bercucu.” Wanapastra artinya “bertempat
tinggal di tengah hutan lebat,” wana artinya
“hutan”, patra artinya “daun-daunan”, dan
“rumput.” Berhenti makan apabila tidak dapat
memetik rumput dan daun (di sana) di
pertapanya. Baik hidup maupun mati tidak
berpindah dari tempat itu. Biksuka artinya
“pendeta yang sejahtera,” berwenang
membunuh, berwenang memiliki hamba sahaya
secukupnya, beristri dan berhubungan
62

seksual, tidak akan dihukum oleh Sang Raja,


sebab telah pada tempatnya demikian.
Brahmacariya namanya itu Catur Beda, yaitu
Suklabramacari, tan trěsnabrahmacari,
swalabramacari, dan bramacari těměn. Yang
disebut Suklabramacari adalah orang (yang)
bertapa, belum mengetahui rasa nasi dan
daging, rasa hubungan suami
33a. istri belum tahu. Menjadi pertapa terus dari
kecil, itu namanya sukla bramacarya. Yang
disebut tan trěsnabrahmacari memiliki budi
pikiran (tidak) bohong merusakkan dharma,
yaitu mendapatkan ajaran mulia, dan
merasakan makna sepatah atau dua patah
kata, lalu merasa banyak olehnya. Akhirnya,
meninggalkan asalnya, anak, dan istrinya
tanpa alasan, lalu belajar. Itu namanya tan
trěsnabrahmacari. Swalabramacari itu
namanya, ialah terjadi perselisihan dengan
istrinya, menimbulkan rasa malu, lebih-lebih
jika disuruh berperang oleh Tuannya. Dia
tidak berhasil malu, lalu bertapa. Bramacari
63

těměn itu namanya, setiap pendeta yang


nyata tahu rasa semua dan mengetahui seluk
beluk alam semesta. Tempatnya, (seperti)
jika telah sempurna mantera. Habis dharma
semua, yaitu bramacari těměn namanya. Itu
catur asrama namanya. Kedudukan Sang
Pendeta
33b. masing-masing. Ingatlah itu jangan lupa
(dengan) kamu, anakku Sang Raja, tapamu di
istana. Janganlah tidak mengikuti prilaku
masa lalu, jangan ada yang mengurangi dan
menambah warna putih dunia. Yang ada pada
waktu dahulu hendaklah ada pada waktu
sekarang, yang tidak ada pada waktu dahulu
hendaklah tidak ada pada waktu sekarang.
Yan gmendalam dijumpai juga olehmu
memandang, turuti (lah) olehmu. Janganlah
engkau tidak perhatikan rakyatmu itu. Ada
yang disebut Dewasasana, Rajasasana,
Rajaniti, Rajakapa-kapa, Manusasana,
Siwasasana, Rěsisasana dan Adigama. Itulah
hendaknya agar senang hati olehmu, enaklah
64

dinikmati di dunia menyakrawati, bukan saja


di pulau Jawa di sini, tetapi juga termasuk
berkuasa di Nusantara. Senang pikiran
seluruh dunia olehmu, sebab engkau telah
mempunyai watak Sang Hyang Dharma,
mengetahui rahasia hidup dan mati, telah
mengetahui surga dan neraka.
34a. Waspada dengan keberhasilanmu. Kamu tahu
seluk-beluk dunia dan tata tertib dunia. Tidak
ada yang patut dikhawatirkan di dunia,
ingatlah pemberitahuanku, Sang Raja, jangan
lupa.” Berkatalah Sang Raja kepada Sang
Pendeta, “Mohon pamit putra Tuan Hamba
Sang Pendeta atas nasihat Sang Pendeta.”
Habis ajaran yang diberikan oleh Sang
Pendeta, sangat sayang Sang Pendeta
terhadap putra Sang Pendeta. Terang
benderang rasa pikiran putra Sang Pendeta
begitu diterangi pleh ucapan Sang Pendeta
budiman. Setelah itu bubar upacara Sang
Raja. Ia yang dipuja oleh orang-orang di
seluruh pertapaan. Mereka diberi makanan.
65

Tidak ada kekurangannya, berbagai isi lautan


dan gunung ada di sana. Sang Raja bersama
istri menghadap beliau, tidak disebutkan
macam perintah yang berupa larangan, dan
temannya menjadi pandu. Semua
34b. turut bersama menghadap di sana. Senang
tertawa-tawa, mereka bercerita panjang
lebar. Setelah malam mereka menginap di
balai-balai, di tempat bermalam Sang
Pendeta. Keesokan hari beliau minta pamit
kepada putranya. Berkatalah beliau Sang
Pendeta kepada Sang Raja, “Ayah ingin pamit
anakku, Sang Raja. Saya akan pulang ke
asrama.” Berkatalah Sang Raja, ”Tuanku yang
mulia, orang tua raja pulang ke asrama,
sekarang putra Sang Pendeta akan memberi
upah kepada Sang Pendeta.” Sang Raja
berkata meneruskan, hendak mengutus
Apatih dan Ken Kanuruhan, agar mengiringi
Sang Pendeta yang akan pulang ke asramanya.
Semuanya menyiapkan kereta gajah dan kuda
diberikanlah kepada sang Pendeta oleh Sang
66

Raja, dan uang 50.000, 50 perangkat pakaian,


emas dan permata serba banyak, juga
pengikut pekerja sawah seratus orang,
pemahat seratus orang, kerbau dan sapi,
pekerja
35a. banyak, akan diserahkan kepada Sang
Pendeta. Sang Pendeta berkata, “Saya terima
pemberian Anda, Sang Raja. Ada lagi pesan
saya kepada Anda, janganlah tidak belas
kasihan kepada yang kasihan, terutama
kepada segenap Pendeta yang hina, janganlah
Anda tidak memuliakan.” Sang Raja
menghormat kepada Sang Pendeta, lalu
mengusap debu kaki Sang Pendeta Baradah,
diletakkan di ubun-ubun Sang Raja, berdua
dengan permaisurinya. Sang Pendeta berkata
lagi, :Ya, tinggallah putraku semoga Anda
selamat, janganlah tidak ingat akan semua
nasihat saya. Siang dan malam hendaklah
diperhatikan.” Sang Pendeta segera pergi. Dia
mengendarai kereta diiringi oleh Rakryan
Apatih, Kanuruhan, dan Tumenggung. Tidak
67

diceritakan beliau di jalan, cepatlah


perjalanan Sang Pendeta. Tidak diceritakan
petani-petani yang dilewatinya, semua heran
terhadap Sang Pendeta, karena beliau sangat
sakti, tidak ada
35b. bandingannya. Beliau segera datang di
asrama Semasana. Ken Apatih segera pamit
menghormat kepada beliau, juga Kanuruhan
dan Tumenggung. Mereka (bersama) kembali
ke kerajaan. Tidak diceritakan Ken Apatih,
Ken Kanuruhan dan Tumenggung. Mereka
telah pergi dari asrama. Diceritakan Sang
Pendeta, beliau disongsong oleh putrinya,
bernama Wedawati. Beliau dijemput di pintu
gerbang, sama senang perasaan Sang Pendeta
dan putrinya. Segera bersama masuk ke
dalam asrama. Tidak diceritakan Sang
Pendeta, telah ada di asramanya. Diceritakan
tingkah laku beliau Sri Raja, ketika ada di
kerajaannya. Senang, sejahtera dan bahagia
hatinya. Enaklah seluruh dunia ketika masa
pemerintahannya, karena kesusahan tidak
68

ada. Adapun jalan dibuka di tempat yang


tertutup sulit didatangi, di tempat penyamun,
dan di tempat perampokan. (Di situ)
ditempatkan orang-orang dan dijadikan desa.
Jalan-jalan menuju tegalan, hutannya
memanjang kejauhan dari utara ke selatan,
barat dan timur, menyebabkan orang-orang
36a. melewati jalan. Di tempat itu disuruhnya
menanami beringin dan pohon bodhi, ambulu
(Ficus infectoria), dijajar-jajarkannya,
sehingga teduhlah tempat-tempat orang
lewat. Tidak diceritakan orang-orang
Nusantara, semua percaya mengabdi kepada
Sang Raja. (Daerah) seberang, Malayu,
Palembang, Jambi, Malaka, Singapura, Patani
(daerah di Semenanjung Malaka), Pahang
(daerah di Semenanjung Malaka), Siyam,
Cempa (daerah di Kamboja), Cina, Koci
(daerah di Vietnam), Keling (daerah di Selat
Malaka), Tatar (bangsa Tatar di Cina), Pego
(daerah di Birma), sampah Kedah (daerah di
Semenanjung Melayu), Kutawaringin (di
69

Kalimantan), Kate (Kutai), Bangka, Sunda,


Madura, dan Kangayan (pulau Kangayan).
Makasar (daerah di Sulawesi), Seram (di
Maluku), Goran (di Maluku), Pandan, Peleke,
Moloko (Maluku), Bolo (Pulau Buru atau
kerajaan Telo di Sulawesi), Dompo (Dompu),
Bima (di Sumbawa), Timur (Timor), Sasak
(Lombok), dam Sambawa (Sumbawa). Sekian
jumlah Nusantara itu yang menyerahkan upeti
kepada Sang Raja. Beliau yang bernama
Jatiningrat dan Maharaja Erlangga nama
nobatnya. Adapun para Brahmana, Buhjangga,
beliau para Rsi, semua menduduki tempatnya
masing-masing, ada di kerajaan dan ada di
asramanya. Senanglah semuanya
36b. sampai para petani. Tidak henti-hentinya
turun hujan, berhasil panennya, murahlah
segala yang dimakan. Rakyatnya semua tertib
mengikuti tata cara lama. Adapun putra
beliau dua orang, sama muda dan tampan
rupanya. Beliaulah yang akan diangkat
menjadi raja, tetapai Sang Raja sedang
70

bingung mengenai tempat pengangkatannya.


Seorang (ingin) akan diangkat (raja) di
Nusantara seorang, yan gsatu lagi diangkat
raja di Pulau Jawa. Sang Raja sedang
khawatir pikirannya. Apa sebabnya begitu?
Sebab putranya itu masih muda tidak tahu
memerintah negara. Jika kurang dana,
akhirnya tidak memiliki rakyat di kemudian
hari. Itulah sebabnya tidak diberikan akan
memerintah jauh. Namun, maksud Sang Rja,
hendak mengangkat raja di Bali seorang dan
di Jawa seorang, sebab di Bali dekat sama
seperti masih di Pulau Jawa. Lalu Sang Raja
keluar dihadap oleh rakyat banyak diam
membungkam. Sang Raja segera berkata,
memberitahukan hal (kepada) para mentrinya
semua. Di sana Patih,
37a. Kanuruhan dan para menterinya, termasuk
pula para Brahmana, Buhjangga, dan Rsi. Sang
Raja berkata, “Keinginan saya, Patih, sekalian
para Menteri saya (semua), serta Kanuruhan
semua. Ada beliau Brahmana, Buhjangga dan
71

Rsi. Saya akan mengangkat raja putra saya, di


Bali seorang dan di Jawa seorang.
Bagaimanakah menurut perasaan kalian? Saya
juga akan menyuruh datang menuju Semasana
di Buh Citra, minta pertimbangan Tuan
Hamba Sang Pendeta, nasihat suci untuk
saya.” Ken Apatih dan para Menteri berkata,
terutama Sang Mahawidja, semua setuju dan
menurut, jika memberitahukan kepada Sang
Pendeta. Sang Raja berkata lagi, akan
mengutus Kanuruhan pergi ke asrama. Ken
Kanuruhan minta diri dan menyembah di
hadapan Sang Raja. Segera berjalan, Ken
Kanuruhan naik di kereta.
37b. Lepaslah perjalanan Kanuruhan, diikuti oleh
pengiringnya. Dia segera datang di asrama.
Turunlah Ken Kanuruhan dari kereta, masuk
ke dalam gapura, bertemu dengan Sang
Pendeta yang sedang dihadap oleh muridnya
semua. Dia menyapa Ken Kanuruhan, “Om-om,
Ken Kanuruhan, bahagia kamu. Apakah tujuan
menghadapku datang ke asrama?” Ken
72

Kanuruhan berkata, “Ken Kanuruhan diutus


oleh putra Tuan Hamba, disuruh agar
menanyakan kepada Sang Pendeta, oleh
karena putra anak Tuanku, Tuan Hamba yang
dua orang itu, akan diangkat raja di Bali
seorang, raja di Jawa seorang. Demikian
pertanyaan anak Tuan Hamba ke hadapan
Sang Pendeta. Nasihat Sang Pendeta akan
dituruti oleh anak Sang Pendetea.”
Berkatalah Sang Bijaksana, “Jika benar
demikian keinginan
38a. Sang Raja, tidak dapatlah jika demikian,
sebab di Bali itu, sungguh tidak ada raja
memerintah sekarang, tetapi ada beliau Sang
Pendeta, tinggal di sana di asrama Desa
Silayukti. (Dia) sesungguhnya lebih tua dari
saya. Beliau sangat sakti, luar biasa tidak ada
bandingannya. Itulah yang barangkali beliau
tidak suka, sebab tidak terhingga saktinya.
Sang Pendeta Kuturan namanya. Saya akan
datang ke Bali terlebih dahulu, akan
mendatangi Sang Pendeta di Sukti, meminta
73

anugrah Sang Pendeta. Kamu Ken Kanuruhan


pulanglah ke kerajaan, beritahukanlah kepada
Sang Raja semua perkataan saya denganmu.
Apabila saya datang dari Bali, saya akan
menuju ke kerajaan untuk menghadap
putraku, akan memberitahukan hasil
perjalanan saya datang dari Bali.” Ken
Kanuruhan minta pamit menyembah di kaki
Sang Pendeta. Pulanglah dia ke kerajaan.
Berangkatlah ia dari
38b. asrama. Tidak diceritakan di jalan. Ia segera
datang di kerajaan, hendak memberitahukan
kepada Sang Raja semua pesan Sang Pendeta.
Tidak diceritakan Sang Kanuruhan, telah
melaporkan kepada Sang Raja. Berkatalah
Sang Pendeta Baradah memberikan perintah
kepada putrinya bernama Wedawati, “E,
putriku Wedawati, janganlah kamu tergesa-
gesa moksa dahulu sampai saya datang dari
Bali, lagi pula pekerjaan saya belum selesa,
kelak engkau bersama saya.” Putrinya
menyetujui (akan) ucapan Sang Pendeta. Lalu
74

Sang Pendeta Baradah berangkat menuju


Bali, tujuannya datang di Asrama Sukti.
Adapun desa-desa yang dilewati dari asrama
di Semasana Lemah Tulis, yaitu di Watulambi,
di Sangkan, Banasara, di Japana, Pandawan,
Bubur Mirah, melewati Desa Campaluk,
Kandikawari, di Kuti dan Koti. DI sana beliau
bermalam semalam. Esok hari beliau berjalan
lagi
39a. sampai Kapulungan, di Makara Mungkur,
Bayalangu, Ujungalang, Dawewihan,
Pabayeman, di Tirah, di Wunut, Talepa, We
Putih (Pasir Putih), dan di Genggong. Gahan,
Pajarakan, Lesan, Sekarawi, dan di Gadi.
Berbelok ke arah utara pergi Sang Pendeta
melewati Desa Momorong, Ujung Widara, di
Waru-Waru, Daleman, Lemah Mirah, Tarapas,
Banyulangu, Gunung Patawuran, Sang Hyang
Dwaralagudi, Pabukuran, Alang-Alang Dawa,
Patukangan, Turayan, Karasikan, Balawan,
Hijin, Belaran, dan Andilan. Tidak dikatakan
desa-desa yang dilewatinya. Beliau segera
75

datang di Sagara Rupek (Selat Bali). Sang


Pendeta Baradah menantikan orang yang
menyeberangkan. Orang-orang yang
menyeberangkan mendadak sepi, tidak ada
yang tampak oleh Sang Pendeta. Ada daun
kalancang (Artocarpus incisa) di pantai. Daun
itu diapungkannya di samudra, dipakai alat
menyeberang oleh Pendeta Baradah.
39b. Akhirnya, dia berdiri di atas daun kalancang,
daun kalancang berlajar di samudra. Sang
Pendeta pergi ke arah timur menuju ke
tempat yang bernama Kapurancak. Di sanalah
beliau turun dari daun kalancang. Lalu daun
kalancang itu disembunyikan oleh Sana
Pendeta. Beliau berjalan ke asrama Silayukti.
Tidak diceritakan beliau tiba di jalan, segera
berjalan ke asrama Silayukti. Tidak
diceritakan beliau tiba di desa Yukti. Di sana
beliau duduk di ruangan tamu, lama tidak ada
yang menyambutnya. Apa sebabnya demikian?
Karena Mpu Yogiswara Kuturan sedang
menjalankan yoga. Beliau lama tidak muncul
76

dari dalam asrama, sangat tekun menjalankan


yoganya. Sang Pendeta Baradah menunggu
tidak sabar, beliau menanti di tempat tamu.
Oleh karena itu beliau menciptakan air
sampai batas leher Mpu Kuturan air itu.
Beliau tetap saja kokoh, tanpa terganggu
beliau mennjalankan yoga,
40a. tidak berubah. Diciptakan banjir semut
gatal, mengambang ada di atas air, berebutan
memenuhi leher. Sang Pendeta Mpu Kuturan
masih saja melanjutkan yoganya dengan sikap
tangan di hidung, menyatukan pikiran utama.
Akhirnya, air itu hilang pelan-pelan lalu
kering, juga semua gatal itu lenyap, bagaikan
disapu bersama dengan hilangnya air besar.
Beliau telah tahu apabila kedatangan dia yang
tinggal di Suti Asrama, saudaranya dari Buh
Citra, tetapi beliau pura-pura tidak tahu saat
itu. Akhirnya, setelah lama lalu keluarlah
beliau menuju ke tempat tamu Sang Pendeta
Kuturan. Mpu Baradah turun dari tempat
duduk. Beliau disambut oleh kakaknya, “Om-
77

om bahagia saudaraku. Apakah yang kau


kerjaka aneh datang ke mari? Nah, Saudara
duduk di sini bersama. Lama kamu tidak
bertemu dengan aku bagaikan rasa rindulah
kakakmu ini.” Lalu menyembahlah Mpu
Baradah, lalu duduk. Ucapnya kepada Sri Mpu
Kuturan.
40b. Mpu Baradah berkata, “Diterima oleh Adik
Anda penyambutan oleh Sang Pendeta, juga
tujuan adik Pendeta datang ke hadapan
Pendeta Kuturan. Adikmu bermaksud
mendapatkan keikhlasan Sang Pendeta, juga
murid adik Sang Pendeta Tuanku. Raja di
Jawa nama penobatannya Maharaja Erlangga,
bergelar Jatiningrat. Dia berputra dua orang,
itulah Tuanku, diharapkan akan diangkat raja
di Bali seorang, yang lainnya (lagi) di Pulau
Jawa. Senanglah kemudian Bali dan Jawa
bersatu. Begitulah tujuan menghadap Tuan
Hamba.” Sri Yogiswara Mpu Kuturan lalu
berkata, “Hai, ternyata begitulah tujuan
kedatangan Anda. Saya tidak setuju jika
78

demikian. Saya tidak tahu beliau akan


mengangkat raja di Bali, sebab di sana
menyiapkan rencananya. Masih ada hubungan
cucu dengan aku, (dia) itulah yang kami
angkat menjadi raja di Bali.” Pendeta Baradah
berkata lagi, “Tuanku, saya
41a. berkata lagi ke hadapan Sang Pendeta.
Apabila sungguh salah di hadapan Tuan
Hamba, seluruh Nusantara itu Tuanku,
daerah-daerah itu sama-sama menyerahkan
upeti semua.” Beliau Mpu Kuturan menjawab,
“Tanpa alasan bahwa Nusantara banyak
menyerahkan upeti tunduk kepada Jawa
semua, jika untuk Bali saya tidak setuju. Jika
begitu, saya senang apabila menyerbu seluruh
negara, ya sedapat-dapatnya saya menerima.
Apabila saya telah mati saat itu jugalah
sekehendak Raja Jawa akan memerintah Bali
itu.” Setelah Mpu Baradah mendengarkan
semua ucapan beliau Mpu Kuturan itu, bahwa
perjalanannya tidak berhasil, tidak disukai
kakaknya. Segera turun Mpu Baradah lalu
79

keluar di luar asarama. Beliau lalu membuat


gempa. Tidak terhitung besar gempa datang,
tumbuh-tumbuhan patah saling bersuara
retak,
41b. yang lainnya rebah. Orang-orang yang berada
di tepi air jatuh di sungai terbenam air.
Rumah-rumah banyak yang roboh. Orang-
orang di seluruh Kerajaan Bali terkejut,
menyuruh pesuruh istana agar pergi ke
Asrama Silayukti menanyakan tentang gempa
bumi, berlari diberitahu. Tidak diceritakan di
jalan, utusan itu segera tiba di Silayukti.
Utusan itu memberitahu Mpu Kuturan,
“Tuanku Sang Pendeta, Bagaimanakah cerita
yang sebenarnya gempa itu, datang tiba-tiba
timbul dan sangat besar gempa itu, dari sejak
dahulu tidak ada (gempa) demikian?” Lalu
Pendeta Kuturan menjawab, “Hai, janganlah
anda khawatir, hendaklah semua tabah di
kerajaan. Ada tamu saya dari Pulau Jawa,
membencanai aku. Dialah yang menyebabkan
gempa.” Setelah utusan itu diberitahu oleh
80

Sang Pendeta, utusan dari Kerajaan Bali


segera minta pamit dan pergi.
42a. Tidak diceritakan perjalanan di jalan, segera
datang di Kerajaaan Bali memberitahukan
kedatangannya kepada para menteri utama.
Tidak diceritakanlah perkataannya.
Diceritakan Mpu Baradah, lalu beliau pergi
dari asrama Desa Silayukti. Beliau segera
sampai di Kapurancak. Lalu diambilnyalah daun
kalancang, hendak diapungkan di air, daun itu
akan ditumpanginya, daun kalewih itu
tenggelam. Itulah sebabnya beliau mengulang
menumpangi daun kalancang itu lagi,
tenggelam lagilah daun kalancang. Beliau
khawatir habis akal, Sang Pendeta Baradah.
Beliau berkata dalamhati, “Hai, apakah
sebanya saya seperti ini, sepertinya tidak
datang ke Pulau Jawa lagi rasa pikiran saya.”
Beliau menjadi mengingatkan dalam hati. Hal
itulah mengingatkannya seperti ada yang
memberikan peringatan, “Hai, saya belum
pamit
81

42b. tadi, di hadapan beliau pendeta di Sukti.


Nah, oleh karena itu, saya balik minta pamit
beliau.” Sang Pendeta Baradah kembali minta
pamit, datang ke tempat Pendeta Kuturan.
Beliau segera tiba di asrama berjumpa Sang
Pendeta Desa Sukti. Pendeta Baradah
menyembah minta pamit, “Tuanku yang tinggal
di sini, minta pamit adik Tuan Hamba Sang
Pendeta.” Sang Pendeta di Sukti menjawab,
“Ya berangkatlah, kau adikku.” Bahaya air
pasang menghilang. Mpu Baradah segera pergi
dari asrama. Lenyap perginya segera tiba di
Kapurancak. Beliau naik di atas daun kalewih
dengan enaknya bergerak ke barat. Segera
tiba di Sagara Rupek, beliau menyeberang di
sana, Sang Pendeta Baradah. Tidak
diceritakan perjalanan Sang Pendeta di jalan
sangat cepat jalannya.
43a. Beliau segera tiba di Kerajaan Daha,
bertemu dengan putranya Sang Maharaja
Erlangga yang sedang dihadap. Penuh sesak di
tempat persidangan. Menteri utama, Patih
82

Amangkubumi dan Rangga Kanuruhan,


termasuk pula Sang Maha Pendeta, Brahmana,
Buhjangga dan Resi. Beliau hadir ketika itu.
Pendeta Baradah tiba-tiba datang dari
angkasa. Mengejutkan, karena beliau tiba-
tiba berdiri di tengah-tengah pertemuan.
Kemudian dipeluklah kaki beliau Sang Pendeta
oleh Maharaja Erlangga. Diusaplah telapak
kaki Sang Pendeta, diletakkan pada ubun-
ubunnya, dan dijilat oleh Sang Raja. Sang
Pendeta berkata, “Om, aduh putraku engkau
Sang Raja, tidak berhasil kepergianku ke Bali.
Beliau yang berasrama di Desa Silayukti tidak
setuju, apabila putra Sang Raja hendak
memerintah di Bali seorang. Beliau sangat
marah tidak menyetujui. Putra yang dalam
hubungan cucunya akan
43b. dijadikan raja, sekarang pikirkan di sini jika
bersamanya. Saya hampir tidak akan kembali
ke Pulau Jawa lagi. Daun Kalancang yang saya
tumpangi tenggelam.” Sang Raja berkata lalu
menghormat kepada Sang Pendeta,
83

memberitahukan kepada Sang Pendete,


“Tuanku yang mulia telah bersungguh-sungguh
Tuanku, jika demikian, (karena) tidak
terhingga saktinya Pendeta dari Bali. Apabila
Tuanku akan melaksanakan itu menyebabkan
kehancuran badan. Adapun Pulau Jawa di sini
saja dibagi dua.” Sang Pendeta berkata, “Ya,
begitulah kata Anda. Saya senang Sang Raja,
agar (putra Sang Raja) memerintah di
Janggala Kadiri. Janganlah lama, segera
persiapkan, kebetulan saya lagi ada di sini.
Saya akan pulang ke penginapan dahulu.”
Diikutilah Sang Pendeta pulang ke tempat
penginapannya oleh Sang Raja, menuju rumah
gading. Di sana dipersembahkan makanan oleh
Sang Raja kepada Sang Pendeta. Tidak
diceritakan Sang Pendeta Baradah.
44a. Diceritakan Sang Raja, beliau keluar lagi,
memerintahkan kepada para Menteri, Patih,
Rangga, Kanuruhan, akan membuat panggung
dua buah dan membuat bangsal, dipakai
tempat penghormatan putranya. Kokoh
84

(tempat) akan berdiri raja dua orang. Tempat


itu sangat indahnya, setiap tiang ditutup
dengan hiasan kain pinggiran. Tidak
diceritakan permata emas bersinar terang
menakjubkan, warnanya gemerlapan. Tidak
disebutkan ular-ular itu, kain bulu (wool)
dengan ekornya bersambungan. Ada yang
berwarna putih dan ungu sepintas lintas
menyilaukan, sutera putih berkibar ditiup
angin bagaikan pelangi dan ombak air.
Dibangun panggung di timur satu dan di barat
satu. Tidak diceritakan para Guru Loka, Sang
Brahmana, Buhjangga, Sang Resi, sama-sama
siaga di tempat. Beliau yang akan
mengucapkan doa-doa di penghormatan.
Putra-putra sudah siap berbusana, keluarlah
beliau berdua.
44b. Mereka berdua naik ke panggung yang
dihiasi, keindahannya bebagai upacara di
sana, hingga nyata seisi laut dan gunung.
Tidak ada kekurangannya. Beliau bersama-
sama direstui oleh para Guru Loka, Brahmana,
85

Buhjangga, Resi, yang menobatkan raja dua


orang. Suara tabuh-tabuhan menggema, gong,
gamelan, terompet bersama dengan gendang,
dan serunai. Tidak henti-hentinya bunyi
terompet , lonceng keras bersama berbunyi,
riuh rendah memecahkan telinga. Setelah
beliau bersama di tempat penghormatan,
direstui doa-doa oleh Sang Pendeta. Beliau
duduk di singgasana masing-masing, sangat
indah kelihatan. Yang duduk di singgasana
timur dinamai Sang Raja Janggala. Yang
duduk di singgasana barat dinamai Sang Raja
Kadiri. Itulah sebabnya dinamai Janggala dan
Kadiri sampai sekarang. Setelah demikian,
sama-sama membuat
45a. keraton, mengatur daerahnya masing-
masing, telah pantaslah dinamai Janggala
Kadiri. Akhirnya, begitu damai beliau
bersaudara, sepertinya menyatu sederajat
sejajar, bersama-sama menjadi raja. Lamalah
olehnya (raja) menikmati (kesejahteraan)
dengan para petani dan masyarakatnya hingga
86

beberapa malam bersama Maharaja Erlangga.


Beliau sama-sama senang memerintah sampai
di kemudian hari mendapatkan fitnah dalam
pemerintahannya. Sang Raja Kadiri membuat
rencana perang, kakaknya Raja Janggala
hendak diserang oleh Sang Raja Kadiri.
Segeralah Sang Raja akan menghancurkan
Janggala. Beliau Sang Raja Janggala
mendengar bahwa dia diserang oleh Raja
Kadiri. Menghadaplah beliau Sang Raja
kepada ayahandanya, mmeberitahukan kepada
Sang Raja Tua, lalu ucapnya, “Ayahanda Raja,
45b. putra Tuan memberitahukan kepada Paduka
Yang Mulia. Hamba diserbu oleh putra
Ayahanda Raja Kadiri.” Raja Erlangga
berkata, “Hai, mengapa demikian seperti
ucapmu? Janganlah kau tergesa-gesa
melawan. Saa akan mengirim utusan ke Kadiri,
pulanglah saja kau ke Janggala dulu.” Minta
dirilah Sang Raja Janggala pulang, dia telah
tiba di Janggala. Utusan Raja Tua segera
berangkat ke Kadiri, hendak mencegah Raja
87

Kadiri, supaya menghentikan perangnya. Raja


Kadiri tidak memperhatikan. Ia tetap ingin
menyerbu dengan kekuatan ke Janggala.
Berdengunglah suara tabuh-tabuhan, pěreret,
surun, gěnding, gendang, gong bersuara
keras, bersama-sama riuh gemuruh,
bercampur dengan ringkik kuda, gajah dan
kelebat bendera tertiup angin.
46a. Jalan kuda mengikuti penuh sesak, bagaikan
gelombang air menggulung. Orang-orang di
Janggala telah siap berjaga-jaga,
menyongsong pasukan Sang Raja Kadiri. Penuh
sesak banyak prajuritnya, gemuruh suara
tabuh-tabuhan, disertai senjata, gegap
gempita bagaikan guntur baru datang. Ujung
pasukan telah bertemu, ramai tembak-
menembak. Hentikan sejenak, diceritakan
Raja Erlangga, sulit merasakan dalam hati,
sebab nasihatnya tidak diperhatikan. Dia
segera memberitahukan kepada Sang
Pendeta, menyuruh melerai peperangan. Sang
Pendeta segera pergi menuju Raja Kadiri. Dia
88

segera datang ke sana, ditemuilah Raja Kadiri


sedang duduk di balai-balai, dihadap oleh
rakyatnya semua. Dia melihat Sang Pendeta
datang,
46b. Raja Kadiri turun dari balai, menghormat di
kaki Sang Pendeta, menyapa Sang Pendeta
dengan senang. Sang Pendete segera berkata,
“Saya minta selamat cucu Sang Raja. Maksud
saya datang ke mari melerai perangmu. Saya
akan berhati-hati membagi dua wilayah desa
di Pulau Jawa ini. Terimalah usul saya cucu,
apabila Sang Raja tidak menerima nasihat
saya, kau akan mendapatkan kutuk, karena
kau berperang dengan saudaramu lagi.” Sang
Raja Kadiri berkata, “Mengapakah cucu
Tuanku Sang Pendeta, tidak menuruti nasihat
Sang Pendeta?” Sang Pendeta berkata, “Kau
ini cucuku, syukurlah apabila kau telah
menerima nasihatku. Nah, tinggallah kau di
sini, cucu. Saya berangkat ke Janggala,
hendak melerai perangnya cucu Raja
89

47a. di Janggala. Saya akan memberikan kutukan


kepada Raja Janggala.” Sang Pendeta
Baradah segera pergi, tujuannya ke Kerajaan
Janggala. Lalu Sang Pendeta berjalan. Beliau
segera tiba di Kerajaan Janggala. Lalu Sang
Pendeta berjalan. Beliau segera tiba di
Kerajaan Janggala, dijumpainya beliau (Raja
Janggala) dihadap oleh rakyatnya banyak.
Beliau (Raja Janggala) melihat bahwa Sang
Pendeta datang, beliau turun dari tempat
duduknya, lalu menyembah menghormat di
kaki Sang Pendeta. Berkatalah Sang Raja
Janggala, “Bahagialah Sang Pendeta. Apakah
maksud Tuan Hamba, sehingga datang ke
tempat cucu, sama-sama duduk Tuan Sang
Pendeta ?” Beliau Sang Pendeta segera
duduk, berdua bersama cucunya. Berkatalah
Sang Bijaksana, “Tujuan saya mendatangi
cucuku Sang Raja, saya hendak melerai
perangmu. Pertama saya datang pada adikmu
di Kadiri, meleraikan perang itu. Terlebih
90

dulu saya akan membagi upetimu di Pulau


Jawa termasuk
47b. para petani semua, selain yang diserahkan
kepada ayahmu, anakku. Aku sekarang
menyatukan hubunganmu bersaudara,
tujuannya agar tidak ada yang akan rebutan.
Terimalah nasihatku cucu. Engkau sama-sama
akan kukutuk, jika pecah perang lagi kelak.
Janganlah engkau cucuku menerima fitnah
buat-buatan. Janganlah tidak memegang
kewajiban utama, kau Sang Raja.” Berkatalah
Sang Raja Janggal kepada Sang Pendeta,
“Mengapakah cucu ada pendeta yang mulia,
tidak akan menerima nasihat Sang Pendeta,
sebab Sang Pendeta hendak berusaha
mencapai damai?” Sesudah demikian lalu
mereka mengundurkan diri bersama
prajuritnya masing-masing. Sang Raja Kadiri
dan Sang Raja Janggala. Dibagilah penduduk
desa semua dan desanya oleh Sang Pendeta.
Mereka ingan bagian masing-masing dan
91

sama-sama diberitahu tentang Manusasana


‘ajaran tingkah
48a. laku manusia.’ Terutama Rajapurana,
mengenai hubungan rakyat petani, tahu
tentang batas-batas wilayah kerajaan. Sama-
sama sejahtera semuanya seperti satu orang
saja. Raja Janggala dan Raja Kadiri sama
bersenang-senang di negaranya. Setelah
beliau bersatu keduanya dengan pembagian
wilayah dan rakyat oleh Sang Pendeta,
kemudian Sang Pendeta pulang ke kerajaan
Bagawan Sri Erlangga. Dijumpainyalah Sang
Raja sedang dihadap, Sang Raja melihat
bahwa Sang Pendeta datang. Beliau turun dari
tempat duduknya, lalu mengatur pakaiannya,
kemudian mengusap debu kaki Sang Pendeta
ditempatkan di ubun-ubun. Sang Pendeta
berkat, “Saya telah selesai melerai
peperangan Putranda dan membagi wilayah
mereka masing-masing. Semoga sama-sama
ingin Putranda itu tidak saling berebutan
batas wilayah. Saya menjatuhkan kutukan,
92

jika berebutan batas-batas wilayah. Sama-


sama menerima Putranda itu.
48b. Seperti Putranda sekarang menurut
keinginanku, putra Ken Apatih jadilah Apatih
Janggala. Keturunan Ken Kanuruhan jadilah
apatih di Kadiri. Itulah hendaknya dikerjakan
dengan baik jangan ada yang berebutan,
hendaklah merata olehnya anggagading, sama
akan dijatuhi kutuk. (Begitulah) saya berkata
demikian, sebabnya Apatih dan Ken
Kanuruhan, sama-sama ingin menjalani
kehidupan suci. Bersama-sama mengikuti
jejak Sang Raja, mempelajari sang Hyang
Dharma.” Berkatalah Sang Raja kepada Raja
Tua, “Om, sungguh mulia Tuanku Sang
Pendeta, sekaranglah Tuanku, Pun Apatih dan
Pun Kanuruhan hendak mengikuti jalan Sang
Pendeta, menjalani kehidupan suci diberi
pelajaran Sang Hyang Dharma, melakukan
permohonan belajar atau tapa. Adapun
maksud Tuanku mendapatkan yang tengah.
Jumlahnya upah 4000, yang diserahkan
93

kepada Sang Pendeta.” Berkatalah Sang


Pendeta, “Hai, itu sangat
49a. baik keinginan Ken Apatih dan Ken
Kanuruhan, oleh karena hendak mengikuti
perjalanan anakku Sang Raja dalam duka dan
nestapa. Baiklah, siapkan jangan lama-lama.
Saya ingin pulang ke asrama.” Lalu disiapkan
bunga-bunga, dengan berbagai bunga dupa
lampu menyala. Semuanya lengkap sesaji itu,
segala isi laut dan gunung. Lalu beliau
mengucapkan mantra dan aksara, menggema
suara gendang gending sangka. Ken Apatih
dan Ken Kanuruhan diberi sěsědep. Setelah
beliau setuju keduanya, diajarlah beliau
tentang Sang Hyang Dharma dan tuntunan
hidup yang utama. Habis seluk beluk rahasia
sedunia dan segala yang tampak. Selesai
upacara Ken Apatih dan Ken Kanuruhan
membuat kebaikan. Sang Yogiswara berkata
kepada Sang Raja, “Hai, anakku Sang Raja,
ayahmu ingin pulang ke asrama. Ajarilah
olehmu Ken Apatih dan Ken Kanuruhan.” Sang
94

Raja menghormat kepada orang yang


dihormatinya,
49b. sambil mengusap debu di kaki Sang Maha
Pendeta, ditempatkan di ubun-ubun oleh Sang
Raja Erlangga. Segera pergilah Sang Kosali.
Adapun Sang Apatih dan Ken Kanuruhan ingin
mengikuti Sang Pendeta, tetapi tidak
diberikan oleh Sang Pendeta, sama-sama
menghaturkan sembah penghormatan, serta
mengusap telapak kaki Sang Pendeta. Beliau
pergi dari kerajaan, senanglah perjalanan
Sang Pendeta menghibur diri. Tidak
diceritakan beliau di jalan. Beliau segera
datang di asramanya di Buh Citra Semasana.
Dijumpai putrinya sedang memperbaiki
sanggulnya yang lepas. Terkejut dan
berkatalah Sang Wedawati, “Ai, beliau yang
Mulia datang.” Lalu turun perlahan dan
mengatur kain Sang Wedawati, menghormat
dan memeluk kaki Sang Pendeta. Berkatalah
Sang Pendeta, “Saya datang anakku, saya
95

telah lama ingin pulang ke asrama, belum


selesai juga
50a. pekerjaan saya. Sekarang telah selesai
pekerjaan saya, karena itu saya pulang ke
asrama.” Sang Wedawati berkata lagi,
“Tuanku Sang Pendeta, kapankan Tuan Yang
Mulia moksa? Putri Tuanku ingin segera
mengikuti ibuku.” Sang Pendeta berkata,
“Apabila demikian keinginan Putriku, kau ingin
segera moksa. Ya, baiklah sekarang juga saya
beritahukan kepada Si Weksirsa.” Segera
datang berlutut menyembah bersama Pun
Mahisawadana. Lalu ucapnya kepada Sang
Pendeta, “Tuanku Yang Mulia, mempunyai satu
keinginan moksa. Si Weksirsa dan
Mahisawadana ingin moksa ikut Tuanku.” Sang
Pendeta berkata, “Tidak dapat dikabulkan
engkau Si Weksirsa dan Mahisawadana
(moksa) bersama dengan saya. Tiga tahun lagi
engkau akan moksa, dapt bertemu dengan
saya, tinggallah engkau di sini.”
96

50b. Setelah beliau selesai berkata, segera


moksa Sang Maha Bijaksana berdua bersama
putrinya Sang Wedawati, moksa hilang
lenyaplah dia. Setelah moksa Sang Pendeta
Baradah, beliau bersama-sama lenyap, suka
tidak kembali duka, lenyap, tidak akan
melihat badannya kembali. Setelah itu tidak
ada lagi cerita Sang Pendeta Baradah yang
tinggal di asrama Semasana, dinamailah
Murare sampai sekarang. (Dia) tidak
diceritakan lagi. Ada putranya yang tinggal di
Lemah Tulis. Beliau bernama Mpu Yajnaswara.
Beliaulan yang mengambil peninggalan di
asrama Semasana dan kekayaan yang ada
semua, termasuk buku-buku suci, juga emas
dan berbagai permata, padi uang serta rakyat
semua, dan kerbau sapi. Itulah diambil oleh
Mpu Yajnaswara dibawanya ke Lemah Tulis.
Yang masih ditinggalkan adalah persediaan
makanan Si Weksirsa dan Mahisawadana,
yang
97

51a. menunggu asrama Semasana. Karena itu


asrama di Uwih Citra menjadi tempat upacara
ritual, sebab keturunan Sang Yogiswara
Baradah. Pertapaan suci di Hanget (Kali
Anget), turun temurun di Rupit (Selat Bali)
murid Sang Pendeta Baradah, karena itu
daerah di Rupit menjadi tempat upacara lagi
sampai sekarang. Tamatlah cerita Mpu
Baradah, ketika tinggal di Semasana Lemah
Tulis. Selesai ditulis di Semadri Camara,
menghadap ke arah barat di bawahnya Sungai
Harung. Ada guanya di sana, pada tahun Saka
1462 (1540 Masehi), tanggal bulan
hamacapmika, paroh terang, ke-10.
Perhitungan hari, tujuh, Sukra (Jumat), hari
lima, Umanis; hari delapan, Sri; hari enam,
Wurukung; hari tiga, dwara (Kajeng); hari
sembilan, gigis; hari empat, laba; kulawu ring
kawi wuku, pratiti, sadayatana (dua belas).
Demikianlah selesainya
51b. karya suci ditulis. Agar dipelihara orang-
orang yang sudi mempelajari akasara, salah
98

tulis, kurang dan lebih. Agar dimaafkan oleh


mereka yang mengetahui tentang aturan
sastra, karena masih muda, memaksa
mengetahui menyalin (menulis) sastra utama,
bermaksud meminjam tidak berhasil. Om, Sri
Saraswati semoga berhasil sejahtera. Om,
semoga panjang umur bagi Sang Penulis dan
yang memiliki sastra utama. Semoga sukses.

*******

Anda mungkin juga menyukai