Anda di halaman 1dari 9

Sinopsis Bab Sinopsis Struktur

Dahulu kala, ada sebuah negara bernama Daha yang dipimpin oleh Raja Erlangga.
Kehidupan di Daha begitu makmur, aman, dan sejahtera. Hasil panen para petani selalu baik
1 karena tidak adanya gangguan hama. Anak-anak muda dilatih menjadi prajurit dan perwira.
Para pendeta mendapat perlindungan apabila ingin bertapa di gunung. Tak ada negara lain
yang bisa menandingi kemakmuran Daha.

Di dalam Daha terdapat sebuah dusun bernama Girah. Disana tinggal seorang janda
bernama Calon Arang bersama putrinya yang cantik, Ratna Manggali. Calon Arang adalah
seorang dukun pemuja Dewi Durga yang terkenal jahat. Tak ada satupun penduduk Girah
yang ingin mendekati Calon Arang dan Ratna Manggali karena takut pada mantra-
2 mantranya. Suatu ketika, Calon Arang marah karena ia mendengar dari para pengikutnya
bahwa penduduk Girah sering membicarakan Ratna Manggali yang belum juga diperistri
orang meskipun memiliki paras yang cantik. Lalu, Calon Arang melakukan pemujaan
bersama murid-muridnya untuk memanggil Dewi Durga. Calon Arang ingin meminta izin
untuk menyebarkan penyakit yang bisa membunuh banyak orang. Pemujaan itu berjalan
dengan lancar dan Calon Arang mendapat persetujuaan dari Dewi Durga atas keinginannya.
Disisi lain hiduplah seorang pertapa bernama Empu Baradah yang saleh dan taat pada
agamanya.ia tinggal di Dusun Lemah Tulis yang terletak di pegunungan. Empu Baradah
dianggap sebagai dewa kerena kebaikannya. Ia memiliki istri dan dikaruniai anak bernama
3 Wedawati yang cantik, baik hati, dan dianggap sebagai kembang desa. Suatu hari ibu
Wedawati meninggal karena sakit yang tidak bisa disembuhkan. Kemudian Empu Baradah
menikah lagi lalu memiliki anak laki-laki. Istrinya selalu bersikap buruk pada Wedawati
sehingga Wedawati tidak betah dan memutuskan pergi dari rumah dan pergi ke kuburan ibu
kandungnya.

Calon Arang dan muridnya terkenal kejam oleh warga terutama terhadap warga yang
memiliki masalah dengannya. Sehingga setiap hari para orang tua melarang anaknya bermain
dekat rumah Calon Arang atau muridnya. Karena itu anak-anak tak senang dan merasa tidak
bebas untuk bermain. Suatu hari, anak kepala dusun manabrak salah satu murid Calon Arang.
4 Keesokannya matanya hilang, kakinya lumpuh, dan rambutnya tidak tumbuh. Kepala dusun
datang kepada Calon Arang untuk meminta maaf dan memohon agar anaknya disembuhkan,
bukannya disembuhkan Calon Arang dan para muridnya malah tertawa gembira. Kepala
dusun yan merasa tidak terima mengambil tombak dan mendongkannya kedepan Calon
Arang, melihat hal itu Calon Arang tertawa terbahak-bahak dan tiba-tiba tubuh kepala dusun
itu langsung roboh ketanah dan meninggal. Sejak kejadiaan tersebut para orang tua dan anak-
anak tidak berani menyebut nama Calon Arang dan muridnya pun kian merajalela. Suatu
malam Calon Arang dan muridnya melakukan ritual untuk menanamkan teluh di perempatan
jalan, tak lama kemudian penyakit itu merejalela di Negeri Daha sehingga banyak warga
yang tewas.

Calon Arang yang membunuh ribuan rakyat, membuat Sri Baginda Erlangga gelisah
melihat rakyatnya menderita. Sehingga ia membuat keputuasan dengan mengirimkan
5 balatentara untuk menangkap atau membunuh Calon Arang bersama muridnya. Pada suatu
malam, sesampainya balatentara di rumah Calon Arang, balatentarapun menjambaknya.
Namun, mereka kena teluhnya. Sebagian balatentara yang selamat kembali ke istanapun
menceritakan apa yang telah terjadi kepada baginda Raja. Kemudian Baginda Raja
memerintah agar diadakannya sidang kembali.

Calon Arang sangat marah, ia menyumpah-nyumpah menakutkan kepada sang


Baginda Erlangga. Tiba-tiba tukang sihir itu punya maksud. segera masuk ke dalam sanggar
pemujaan. Murid-muridnya diperintah agar supaya ikut mereka ke kuburan yang jarang
6 dikunjungi orang. Disinilah tempat mereka berunding, mereka merancang bagaimana harus
menyelamatkan diri. Larung berpendapat agar mereka menghadapi sang raja dan semua
pasukannya dengan teluhnya. Lalu, mereka berlatih mengucap mantra dan melaksanakan
syarat-syarat peneluhan. Setelah itu segera ke Candi Durga untuk bersesaji kepada Dewi
Durga dengan menggunakan bangkai mayat yang dihidupkan kembali. Mereka meminta
bantuan dari Durga untuk membalas dendam pada Baginda Raja

7
Sang ibu tiri merasa senang ketika melihat Wedawati pergi, saat Empu Barada
pulang, ia dikabarkan oleh istrinya tentang apa yang telah terjadi. Karena merasa khawatir
sang Empu bergegas mencari keberadaan Wedawati. Setelah lama mencari, ia mendapatkan
petunjuk tentang keberadaan anaknya.
Ditemukanlah Wedawati di makam mendiang ibu kandungnya, lalu diajaklah
Wedawati pulang ke asrama Lemah Tulis. Disana, Wedawati banyak berubah dan mulai
mempelajari berbagai ilmu. Seiring waktu, pudarlah sifat buruk dalam diri Wedawati

Penyakit dan kekacauan merajalela di Kerajaan Daha akibat ulah calon arang serta
murid-muridnya karena kewalahan, sang raja pun mengadakan sidang untuk mencari solusi
atas permasalahan tersebut. Setelah persidangan sang raja meminta bantuan kepada para
8 pendeta. Sehabis bertapa para pendeta mendapatkan jawaban di sosok Empu Baradah.
Mendengar hal tersebut, Sri Baginda mengutus tangan kanan nya yang bernama Kanduruan
untuk meminta bantuan Empu Baradah secara hormat. Sesampainya di asrama, kanduruan
menceritakan tentang keadaan di Kerajaan Daha yang sedang kacau balau akibat teluh Calon
Arang dan meminta Empu Baradah untuk mematahkan nya, sang Empu pun
menyanggupinya dengan syarat menikahkan murid Empu Baradah yang bernama Empu
Bahula dengan Ratna Manggali, anak dari Calon Arang. Pihak kerajaan pun
menyanggupinya dan Empu Barada setuju membantu.

Empu barada adalah seorang guru yang pandai, jujur, dan berbudi. Ia mempunyai
seorang putri sulung dari istri pertama yang sudah tiada yang bernama wedawati. setelah
kepergian istri pertamanya Empu barada menikah lagi dan memiliki seorang anak yang
menjadi adik tiri Wedawati

Di suatu hari ketika empu barada sedang pergi, Wedawati mengerjakan pekerjaan
rumah seperti biasa. Tiba-tiba ibu tiri Wedawati datang dan mengusir Wedawati tanpa sebab.
Wedawati tidak mengerti apa kesalahan yang dilakukannya. Karena paksaan ibu tirinya,
Wedawatipun pergi seorang diri dengan kondisi seadanya tanpa memberi tahu siapapun. Tak
lama kemudian Empu Barada sampai dirumah, ia tidak melihat keberadaan Wedawati. Ia pun
menanyakan kepada istri dan anak-anak muridnya namun mereka menyembunyikan kejadian
9 yang sebenernya. Firasat Empu Barada mengatakan bahwa Wedawati ada di makam istri
pertamanya. Disanalah didapatinya Wedawati sedang melamun dan bersedih di makam istri
pertamanya. Empu Barada membujuk wedawati agar pulang, tetapi Wedawati sudah berniat
untuk tinggal di kuburan dan tidak akan kembali ke rumah lamanya. Empu barada merasa
sedih dengan keputusan wedawati tetapi karena kasih sayang seorang ayah Empu Barada
mengalah dan membangunkan rumah di pekarangan makam istri pertamanya untuk menjadi
tempat tinggal Wedawati.

Setelah Wedawati menempati rumah tersebut, ia mengurus rumahnya dengan sangat


baik sehingga banyak orang yang datang untuk melihat kuburan yang sudah menjadi taman
bunga. Namun mereka tidak berani mendekat dan hanya melihatnya dari jauh saja karena
menyegani wedawati yang kisahnya sudah banyak tersebar

Setelah Empu Bahula menikahi Ratna Manggali, ia menyadari bahwa mertua nya
memiliki kebiasaan pergi pada sore hari dan pulang pada malam hari sembari membawa
kitab. Hal itu membuat empu bahula curiga lalu bertanya kepada istrinya. Istrinya pun
menceritakan bahwa mertuanya pergi ke kuburan untuk meneluh semua penduduk negeri,
10 yang menjadikan penyebab banyaknya orang yang meninggal dan banyaknya orang yang
ketakutan. Dan kitab yang dibawa calon arang, sang mertua, merupakan kitab keramat yang
berisi segala macam ilmu gaib. Hal tersebut membuat empu bahula meminta istrinya untuk
mengambil kitab tersebut. Istrinya mengiyakan permintaan suaminya sehingga pada suatu
hari saat calon arang sedang tidur, Ratna Manggali mengambil kitab keramat itu dan
menyerahkannya kepada suaminya. Kemudia empu bahula menyerahkan kitab tersebut
kepada gurunya yaitu empu barada. Setelah empu barada menerima dan membaca kitab
tersebut, Empu Barada mengembalikan kitab tersebut kepada Empu Bahula. Setelah Empu
Barada mengetahui rahasia kitab Calon Arang, ia pun pergi ke tempat tempat orang yang
terkena teluhan Calon Arang untuk membantu menyembuhkan orang orang tersebut.

Pada suatu hari, Calon Arang sedang memuja di Candi Durga. Lalu, datanglah Dewi
Durga untuk memberi peringatan kepada Calon Arang atas bahaya yang akan dihadapinya.
Terpikir olehnya untuk meminta tolong kepada Empu Baradah agar menyucikan dirinya.
Namun, sang pendeta yang Ia mintai pertolongan ternyata tidak ingin menyucikan dirinya.
Meluaplah amarah Calon Arang hingga mengeluarkan kekuatannya yang sayangnya tidak
cukup kuat mengalahkan kesucian sang pendeta. Setelah takluknya Calon Arang, Empu
Baradah memahami keinginan Calon Arang karena jika Ia hanya dibunuh tanpa disucikan,
11 maka kejadian ini adalah pembunuhan. Akhirnya, Calon Arang dihidupkan sementara hanya
untuk disucikan dirinya. Mendengar kabar tentang terbunuhnya Calon Arang, Sri Baginda
sangat girang saat mengetahuinya dari Empu Baradah. Kabar ini membuat Sri Baginda
mendatangi Empu Baradah untuk mengucapkan terima kasih dan juga meminta persetujuan
sang pendeta untuk belajar budi pekerti darinya. Sejak saat itu, Dusun Girah menjadi
makmur kembali dan rakyat tidak merasakan adanya ancaman lagi.
Setelah sekian lama menjadi paduka raja, Sri Baginda merasakan bahwa sudah
waktunya Ia meninggalkan tahtanya dan bertapa. Namun, kekosongan kekuasaan ini
menimbulkan rasa kebingungan bagi sang Baginda. Hal ini dikarenakan putra keduanya tidak
akan merasakan tahta sebagai seorang raja jika putra pertamanya menjadi penggantinya.
Iapun berpikir untuk mengangkat putra keduanya menjadi Raja Bali. Atas utusan Sri
Baginda, Empu Baradah pun pergi ke Bali untuk menemui Empu Kuturan untuk meminta
izin darinya. Sesampainya di Bali, Empu Baradah bertemu dengan Empu Kuturan yang
sedang bersamadi. Setelah menunggu terlalu lama, Empu Baradah pun jengkel sehingga Ia
berusaha mengganggu keseriusan Empu Kuturan, tetapi tidak berhasil. Seusai bersamadi,
12 Empu Kuturan pun menemui Empu Baradah. Mendengar kabar dari Empu Baradah, Empu
Kuturan merasa kesal. Ia pun tidak mengizinkan putra kedua Sri Baginda untuk memimpin
Pulau Bali. Empu Baradah pun terbawa emosi sehingga Ia pergi tanpa berpamitan.

Sesampainya di tepi laut, Empu Baradah memantrai daun agar menjadi perahu.
Namun, untuk kali ini Ia tidak berhasil, Ia pun menyadari bahwa Ia telah meninggalkan
Empu Kuturan tanpa berpamitan. Empu Baradah pun meminta maaf kepadanya karena telah
berlaku tidak sopan. Empu kuturan pun memaafkannya. Lalu, Empu Baradah pun kembali ke
tanah Jawa dengan daun yang telah dimantrai.
Sesampainya di Pulau Jawa, Empu Baradah pun memberitahukan keputusan Empu
Kuturan kepada Sri Baginda. Empu Baradah pun berpikir untuk Kerajaan Daha ini dibagi
menjadi dua, yaitu Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh oleh putra sulung dan Kerajaan
Jenggala yang dipimpin oleh putra bungsu Sri Baginda. Pendapat ini pun disetujui oleh
seluruh menteri dan punggawa. Setelah itu, Empu Erlangga pun bisa melaksanakan
keinginannya untuk bertapa serta Empu Barada bisa kembali mengajarkan murid-muridnya
12 di pertapaannya.

Tak lama setelah itu, Kerajaan Kediri menyerang Kerajaan Jenggala, Empu Barada
pun menengahi perselisihan kakak-beradik itu dengan membuat batasan-batasan untuk kedua
kerajaan tersebut. Oleh karena jasanya tersebut, Ia dihadiahi segala macam perhiasan oleh
kedua raja serta sang ayahnya. Seluruh perhiasannya diberikan kepada anak lelakinya.
Setelah itu, Ia pun pergi ke tempat Wedawati bertapa. Kemudian, mereka berpergian bersama
untuk menaiki gunung hingga tak terlihat lagi keberadaannya.

Anda mungkin juga menyukai