Anda di halaman 1dari 8

Dikisahkan seorang ahli ilmu pengeleakan/ilmu hitam yang bernama Dayu Datu

Perilaku jahat Dayu Datu membuat masyarakat mengusirnya hingga mengungsilah ia ke Gunung
Mumbul

Di Gunung Mumbul, Dayu Datu hidup bersama abdi setianya, Ni Klinyar dan sisya-sisyanya yang lain.
Dayu Datu yang sudah diusir tidak pernah merasa jera justru api dendamnya selalu berkobar untuk terus
membalaskan sakit hati atas pengusiran itu. Karenanya Dayu Datu dan muridnya tak henti-henti
mengganggu penduduk desa dengan pengeleakan /ilmu hitam.

Wayan Buyar, seorang pria yang merasa diri paling hebat dan kaya. Ia selalu membuat warga di sekitar
resah. Kesehariannya dipergunakan untuk berjudi, mabuk-mabukan dan main perempuan. Tak ada yang
tidak mungkin untuk Wayan Buyar.

Suatu hari Wayan Buyar mendengar kabar bahwa di Pedukuhan Suladri, Gunung Kawi ada seorang
wanita cantik bernama Ni Kusuma Sari. Timbullah niat Wayan Buyar untuk menjadikan Ni Kusuma Sari
sebagai istri. Bersama para abdinya, berangkatlah Wayan Buyar menuju ke Gunung Kawi.

Kehidupan di gunung tentu saja damai, nyaman dan tenteram. Begitulah yang selalu dirasakan dalam
keseharian Ni Kusuma Sari dan ayahnya, Dukuh Suladri. Selain sebagai anak, Ni Kusuma Sari juga
menjadi murid kesayangan Dukuh Suladri. Setiap pengetahuan yang diberikan, selalu dapat dipahami
oleh Ni Kusuma Sari. Lengkaplah apa yang dimiliki oleh Ni Kusuma Sari. Selain cantik, ia juga paham
sastra agama dan ini terimplementasikan pada kesehariannya.

Dukuh Suladri, dengan kemampuan yang dimiliki telah mampu membuat suasana Gunung Kawi menjadi
nyaman dan tentram. Pun dengan binatang-buinatang buas yang ada di hutan, telah dibuat menjadi
jinak dan ikut menjaga keamanan pedukuhan.

Terasa seperti tidak ada tempat untuk bersandar apalagi menumpahkan kasih sayang karena hidup
hanya seorang diri. Semenjak kecil I Mudita tanpa orangtua. Inilah yang membuat hidupnya gelisah
tanpa arah. Namun demikian ia masih memiliki semangat, wasiat pesan orang tua. I Mudita diminta agar
menemui pamannya, Dukuh Suladri, di Gunung Kawi. Berbekal cincin “Jaga Satru” sebagai pengingat
bahwa I Mudita adalah keponakan Dukuh Suladri. Langkah tegak kaki I Mudita meninggalkan Desa
Memeling menuju Pedukuhan Seladri di Gunung Kawi.
Sejatinya I Mudita adalah putra Dukuh Suladri dan Ni Kusuma Sari adalah keponakan sang dukuh. Tidak
diceritakan kenapa terjadi pertukaran putra ini.

Kedatangan I Mudita di Pedukuhan Gunung Kawi disambut dengan kebahagiaan. Laksana Bhatara Ratih
dan Kamajaya sedang berlila cita di pedukuhan, I Mudita dan Ni Kusuma Sari saling jatuh cinta. Apalagi
hal ini mendapat restu dari Dukuh Suladri.

Ketika sedang asiknya I Mudita dan Ni Kusuma Sari bermesraan, tiba-tiba datanglah Wayan Buyar
dengan maksud untuk merebut Ni Kusuma Sari. Berbagai rayuan diberikan oleh Wayan Buyar namun Ni
Kusuma Sari tetap kukuh akan cintanya pada I Mudita.

Wayan Buyar kehabisan akal, ia marah, terbakar oleh api cemburu lalu menyerang dan mengikat I
Mudita di sebatang pohon. Bangga akan keberhaslannya, Wayan Buyar segera melarikan Ni Kusuma
Sari.

Mendengar jeritan Ni Kusuma Sari, Dukuh Suladri mengerahkan semua binatang di hutan Gunung Kawi
untuk melakukan pengejaran. Dalam pelariannya, Wayan Buyar dihadang oleh sekumpulan binatang
buas yang bertujuan untuk membebaskan Ni Kusuma Sari. Wayan Buyar tak mampu berbuat apa-apa
kecuali melepaskan Ni Kusuma Sari dan berlari menyelamatkan diri. Berhasil menyelamatkan tuannya,
sekumpulan binatang mengantarkan Ni Kusuma Sari kembali ke pedukuhan.

Kesal, kecewa, marah, dendam, bercampur menyelimuti pikiran Wayan Buyar yang telah gagal
melarikan Ni Kusuma Sari. Ia yang selama ini selalu terkabulkan keinginannya, kali ini harus meminum
getah pahit, kegagalan. Demi harga diri, ia bertekad membalas dendam atas perlakuan yang telah
diterimanya.

Terketuklah hatinya untuk meminta bantuan pada Dayu Datu. Ketika tekad bulat itu menjadi keputusan,
berangkatlah Wayan Buyar ke Gunung Mumbul. Berbekal kebencian, kemarahan dan nafsu balas
dendam, disepakatilah bahwa Dayu Datu akan membantu Wayan Buyar untuk membuat wabah
penyakit

Dayu Datu, Ni Klinyar dan para sisya menuju Setra Gandamayu. Mereka berdoa, memohon restu
Sanghyang Durga Berawi agar dapat menyebar wabah penyakit di masyarakat.

Wabah penyakit aneh menyerang masyarakat. Banyak warga sakit secara tiba-tiba kemudian meninggal.
Kondisi masyarakat seperti ini membuat Dukuh Suladri bersedih. Berkat kamampuan dan
pengetahuannya, Dukuh Suladri mampu mengetahui bahwa wabah penyakit aneh ini adalah ulah dari
Dayu Datu atas permintaan Wayan Buyar.

Segeralah Dukuh Suladri menuju Gunung Mumbul. Maka terjadilah adu kesaktian antara Dukuh Suladri
melawan Dayu Datu.
Jayaprana dan layonsari

Inilah cerita kisah cinta Jayaprana dan Layonsari dari Bali Utara. Makam Jayaprana

dan Layonsari hingga kini ada dan dipercaya itu benar-benar makam mereka berdua.

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang
laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka
empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalah seorang laki-laki
yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu,
maka ia puan memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun
amat kasih sayang kepadanya. Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras
muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.

Beberapa tahun kemudian.

Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam
istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan
alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana
menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu
lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni
Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.

Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus
membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru
memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap
di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak
melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja
menulis sepucuk surat.

I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah
jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu
kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati.
Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikimpoikan dengan I Jayaprana. Setelah
ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.

Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap
pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang
isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara
perkimpoiannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap
perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I
Jayaprana.

Menjelang hari perkimpoiannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara
gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkimpoian I Jayaprana diiringi oleh
masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat
upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja
dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua
mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan
hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.

Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di
paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk
meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari
supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat
diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.

Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan
pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan
pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang
yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I
Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat
brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu,
datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya
menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama
perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk
menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I
Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana
menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.

Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari
tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia
meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I
Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan
Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni
Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali
mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah
meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil
menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:

“Hai engkau Jayaprana

Manusia tiada berguna

Berjalan berjalanlah engkau

Akulah menyuruh membunuh kau


Dosamu sangat besar

Kau melampaui tingkah raja

Istrimu sungguh milik orang besar

Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang

Jangan engkau melawan

Layonsari jangan kau kenang

Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia
pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada
menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin
mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada
berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta
kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling
mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati
yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur
harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti:
gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.

Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat
sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati.
Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana
itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan
dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta
murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal
dunia. (Sumber : http://www.wayantulus.com/cerita-kisah-cinta-jayaprana-dan-layonsari#more-1136)

Makam Jayaprana di Teluk Terima


Teluk Terima,sangat terkenal di kalangan masyarakat Bali,tempat terjadinya tragedi wafatnya I Nyoman
Jayaprana adbi setia Raja Kalianget,yang diperdaya memerangi musuh kerajaan yang tidak pernah ada
karena dendam sang raja yang mencitai istrinya Ni Nyoman Layonsari.

Makam keramat ini terletak di atas bukit,menghadap ke sebuah teluk,Teluk Terima ,12 km di utara
Gilimanuk atau 135 km di barat laut Denpasar.Dari sini kita bisa melihat pemandangan yang sangat
indah di teluk. Lebih-lebih bila di senja hari,saat matahari terbenam sunshet kata wisatawan dari
Jerman,terkesima melihatnya. Air laut di teluk akan memancarkan rona biru berbaur dengan garis-garis
merah jingga,berkedap-kedip gemerlap diterpa matahari senja.

Akan menimbulkan tanda tanya apa penyebab garis-garis merah itu. Menurut legenda itu tak lain adalah
percikan darah I Nyoman Jayaprana ketika di bunuh disini dan kuburannya berada di atas bukit.

Di bukit itu dibangun kuburan yang menyerupai tempat pemujaan.yang dikelilingi tembok.Pintu
masuknya terbuka setiap hari. Penjaga makam itu “Pemangku” I Ketut Murda. Di samping makam
terdapat patung I Nyoman Jayaprana dan Ni Layonsari di dalam kotak kaca.Kenapa kururan itu berada di
bukit ini.Inilah kisahnya.

I Jayaprana atau I Nyoman Jayaprana anak laki-laki yatim piatu.Ketika desanya di serang wabah penyakit
ia ditinggal mati oleh orang tuanya di desa Kalianget.Ia pergi terlunta-lunta tanpa arah dan dipungut
oleh Raja Kalianget hingga dewasa,dan ia mengabdi kepada Raja.I Nyoman tumbuh dewasa dengan
paras sangat tampan selain rupawan I Jayaprana sangat mahir dalam seni sastra dan geguritan .Ia sangat
disayangi oleh Raja dan idola tua dan muda bagi rakyat Kalianget.Setelah cukup dewasa Raja
memerintahkan I Nyoman Jayaprana untuk menikah dengan bebas memilih gadis pujaannya.Titah raja
dipenuhinya,setelah berjumpa dengan seorang kembang desa yang sangat ayu rupanya dari Banjar
Sekar.Pertemuan yang tiba-tiba itu terjadi saat Ni Layonsari nama gadis ayu itu berbelanja ke pasar.Sejak
pandangan pertama itu terjalin cinta kasih yang membara di hati kedua insan itu.Atas restu raja kedua
kekasih ini melangsungkan pernikahannya dengan upacara besar oleh keluarga keraton.Sejak itu Ni
Layonsari tinggal bersama di rumah I Jayaprana. Tidak berselang lama,waktu raja mengadakan ekspedisi
di luar keraton tanpa sengaja Raja Kalianget melihat Ni Layonsari bak bidadari yang turun dari kayangan
itu,hati raja bergetar. Saat itu terdengar bisikan setan menyapanya,Ni Layonsari hanya cocok untuk
permaisuri raja,bukan untuk I Jayaprana.

Mulai saat itu raja hati raja gungahgulana,hanya bayangan Ni Layonsari mengikuti kemana ia pergi.
Untuk mewujudkan niatnya jahatnya,raja lantas membuat tipu daya.Bersama pengiringnya.I Jayaprana
diutus ke Teluk Terima,yang jauh di sebelah barat kerajaan untuk mengusir orang Bajo yang sering
merampas harta benda penduduk.

Akan tetapi setibanya di sana, bukan perompak laut yang dihadapi,melainkan sebilah keris yang
ditancapkan ke jantungnya oleh Mahapatih Ki Sawunggaling. Bersamaan dengan itu bak air mancur
darah merah mengalir berbau harum semerbak memenuhi hutan Teluk Terima .Dari sana darah itu terus
mengalir ke laut,berbaur dengan air laut dan sampai kini dapat dilihat berbentuk garis-garis merah di
laut.

Setelah itu jenasahnya dikuburkan di atas bukit menghadap ke Teluk Terima.


Akan halnya Raja Kalianget,sepeninggal I Jayaprana menunaikan tugasnya,beliau bertandang ke rumah I
Jayaprana untuk bertemu dengan Ni Layonsari. Akan tetapi akal licik raja telah tercium oleh Ni Layonsasi
bahwa suaminya telah dibunuh.Tanpa peduli dan rasa takut ia mencaci maki tingkah laku Raja Kalianget
yang datang merayunya.Dengan sebilah keris ia mengumpat Sang Raja,ia tak sudi dijamah oleh raja
laknat itu. Sebagai bukti setia dan cinta kasih kepada suaminya I Jayaprana ia lantas mesatya dengan
menikamkan keris kedadanya,dan mengalirlah darah merah berbau harum menyelimuti
jazadnya.Layonsari pekik orang-orang disekitarnya.Melihat tragedi sekejap itu dan dilandasi hati yang
hancur luluh,Raja Kalianget gelap mata dan mengamuk membunuh semua pengiringnya,tanpa dapat
mengendalikan dirinya.Setelah mati pengiringnya lalu ke keraton dan membabat seisi rumah,dan
setelah itu Raja menikamkan kerisnya ke dada.hingga wafat.

Oleh pengikut setia raja,tidak percaya raja bunuh diri,tetapi di bunuh oleh rakyat.Mereka lalu
mengamuk membunuhi rakyat tak peduli anak,wanita,orang tua. Rakyat tak terima dan serentak
melawan perang besar tak terelakkan.Perang saudara yang maha dahsyat,dan penuh
kebencian.Akhirnya seluruh rakyat Kalianget tewas dalam perang campuh itu.Begitulah dalam sehari
Kerajaan Kalianget di Buleleng Barat itu musnah dengan bergelimpangan mayat manusia.Konon lama
kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara.Cerita ini telah melekat di sanubari rakyat Bali
dan diceritakan dari generasi ke generasi.Tanggal 12 Agustus 1949 silam dilakukan upacara Ngaben di
Desa Kalianget.Pengunjung membludak datang dari berbagai belahan dunia untuk menyaksikan.

Anda mungkin juga menyukai