Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ni Nyoman Indah Satria Pratiwi

Kelas : XI MIPA III


Sekolah : SMA Negeri Dua Sukawati
No. Hp : 081915916004

Jayaprana dan Layonsari

Di sebuah desa dari Negeri Kalianget, hidup keluarga yang serba kekurangan.
Keluarga tersebut terdiri dari ibu, ayah, satu anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Pada
suatu saat, desa tersebut diserang wabah. Akibatnya, banyak warga desa yang meninggal
dunia termasuk empat anggota keluarga tersebut. Hanya satu anak laki-laki yang dapat
bertahan hidup, bernama Nyoman Jayaprana. Jayaprana diselamatkan oleh seorang utusan
Raja Kalianget yang sedang bertugas ke desa yang terserang wabah, bernama Saunggaling.
Setelah diselamatkan oleh Patih Saunggaling, Jayaprana memutuskan untuk menjadi abdi
Kerajaan Kalianget.

Selama mengabdi, Jayaprana ditugaskan untuk menjadi penjaga gedung lontar.


Jayaprana adalah anak yang pintar dan bisa membaca aksara lontar dibandingkan dengan
anak-anak yang lainnya. Karena hal itu, dijadikanlah Jayaprana sebagai abdi kesayangan raja.

Waktu telah berlalu, Jayaprana telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan dan
berhati mulia. Ketampanan Jayaprana berhasil memikat hati dayang-dayang di Puri. Suatu
malam, atas perintah dari Raja Kalianget dan saran dari Selir Raja Luh Metri, Jayaprana
diperintahkan untuk mencari seorang istri. Jayaprana menerima perintah Raja tersebut dan
mulai besok Jayaprana akan mencari seorang gadis untuk dijadikan istri olehnya.

Pada keesokan harinya, Jayaprana pergi ke pasar untuk melihat gadis desa yang
sedang berbelanja. Ditemani oleh teman kecilnya, bernama Bli Genyol. Dari kejauhan,
Jayaprana terpaku oleh seorang gadis cantik yang sedang membawa wadah berisi kain. Gadis
itu bernama Nyoman Sekarsari, Sekarsari berjalan menyusuri pasar hingga tidak sengaja
menjatuhkan salah satu kain yang dibawanya. Kain yang jatuh kemudian dibawa lari oleh
seorang pria tua. Melihat kejadian itu, Jayaprana mengejar pria tua yang mengambil kain
yang jatuh. Setelah didapatkan pria tua tersebut, awalnya pria tua menolak sehingga
Jayaprana membelinya dengan dua uang kepeng. Akhirnya, pria tua itu mengembalikan kain
tersebut ke Jayaprana.
Disisi lain, Sekarsari kebingungan mencari kain yang hilang. Kain itu adalah kain
endek sanan peg yang digunakan untuk upacara bayi. Sekarsari harus menemukan kain endek
sanan peg karena kain itu sudah ditagih oleh pemesannya. Setelah pencarian menyusuri pasar,
akhirnya Jayaprana dan Sekarsari bertemu. Jayaprana mengembalikan kain yang hilang.
Sekarsari terlihat sangat senang karena kain yang dicari-cari telah ditemukan. Setelah
memberi uang kepada Jayaprana, Sekarsari kemudian pergi untuk memberikan kain tersebut
ke pemesannya. Melihat kepergiannya, Jayaprana mengejar Sekarsari untuk mengembalikan
uang yang telah diberikan. Dipertemuan kedua ini, Jayaprana dan Sekarsari saling
memperkenalkan diri. Dan dari perkenalan tersebut tumbuhlah rasa cinta baik pada Jayaprana
dan pada Sekarsari.

Jayaprana mengakui bahwa dia telah jatuh cinta pada Sekarsari. Tapi dia ragu dengan
dirinya sendiri, Jayaprana yang hidup miskin bersanding dengan Sekarsari anak dari Kepala
Desa Sekar. Keraguan tersebut dipatahkan oleh temannya. Nasihat dari Bli Genyol, yaitu
menyarankan Jayaprana segera menikahi Sekarsari sebelum dinikahi oleh pria lain.

Pada keesokan harinya, Jayaprana menghadap raja. Jayaprana memberitahu bahwa


dia telah menemukan seseorang yang akan dijadikannya istri. Mendengar hal itu, Raja
kemudian membuat surat lamaran dan meminta Jayaprana mengirim surat tersebut ke rumah
tempat tinggal Sekarsari. Setelah keluarga Sekarsari menerima surat itu, mereka menyetujui
lamaran tersebut. Begitupula dengan Sekarsari yang menerima lamaran tersebut.

Akhirnya, Jayaprana dan Sekarsari menikah. Pada hari pernikahan, Jayaprana dan
beberapa keluarga kerajaan menuju ke rumah kepala desa untuk menjemput Sekarsari.
Setelah selesai upacara pernikahan, Jayaprana dan Sekarsari menghadap ke Raja untuk
meminta doa restu Raja Kalianget. Saat sedang melakukan doa, Raja Kalianget terpikat
dengan kecantikan Sekarsari. Raja Kalianget jatuh hati dengan istri dari abdinya. Perasaan itu
membuat Raja Kalianget ingin merebut Sekarsari dari Jayaprana. Raja Kalianget berkata
bahwa dia akan gila bila tidak mendapatkan Sekarsari.

Raja Kalianget bercerita dengan Demang dan Saunggaling tentang masalahnya.


Masalah perasaannya itu membuat Raja Kalianget tidak fokus dengan pekerjaannya di
kerajaan. Demang kemudian menyarankan untuk membunuh Jayaprana dengan mengirimnya
ke Teluk Terima yang seolah-olah sedang mengerjakan perintah Raja yaitu membasmi begal
yang terjadi di Teluk Terima. Raja Kalianget setuju dengan saran Demang. Dipanggillah
Jayaprana dan beberapa prajurit lain untuk melakukan rapat terkait masalah di Teluk Terima.
Akhirnya, Jayaprana mengikuti rombongan prajurit yang akan bertugas dibawah pimpinan
Patih Saunggaling ke Teluk Terima.

Jayaprana kemudian memberitahu istrinya tentang rencana penyerangan tersebut.


Sekarsari menolak dan melarang Jayaprana untuk pergi karena dia bermimpi terjadi banjir
besar yang menenggelamkan Jayaprana. Tetapi Jayaprana berjanji, bahwa dia pasti pulang
setelah pertempuran selesai. Janji tersebut sedikit membuat Sekarsari tenang, tetapi tidak
menyurutkan rasa khawatirnya pada Jayaprana.

Keesokan harinya, Jayaprana dan prajurit kerajaan berangkat ke Teluk Terima. Setelah
perjalanan yang jauh, akhirnya mereka sampai di Teluk Terima. Patih Saunggaling membagi
pasukan ke berbagai arah. Jayaprana mendapat bagian naik ke Bukit Terima bersama Patih
Saunggaling. Setelah perjalanan menuju bukit, Patih Saunggaling menghentikan perjalanan.
Patih Saunggaling memberikat surat yang berisikan masalah Raja Kalianget kepada
Jayaprana. Jayaprana membaca surat tersebut, surat tersebut terdapat perintah Raja untuk
membunuh Jayaprana agar Raja Kalianget dapat memperistrikan Sekarsari.

Membaca surat tersebut, Jayaprana siap untuk dibunuh oleh Patih Saunggaling. Patih
Saunggaling terdiam. Beliau merasa sangat berat untuk melakukan hal tersebut karena
sebelumnya Patih Saunggaling yang membawa Jayaprana ke Puri. Kini dia harus memenuhi
perintah Raja untuk membunuh Jayaprana.

Sebelum dibunuh, Jayaprana memohon agar diberikan kesempatan untuk


sembahyang. Setelah sembahyang, Jayaprana mulai bernyanyi. Nyanyian itu berhenti setelah
Patih Saunggaling meminta Jayaprana untuk mengangkat keris yang dibawanya dan mulai
melawan Sang Patih. Jayaprana terdiam tidak mengangkat kerisnya, melainkan berkata,
“Silahkan Bapak.” dengan posisi sama saat sembahyang. Patih Saunggaling terus memaksa
agar Jayaprana mengangkat kerisnya, namun Jayaprana tidak menyentuh kerisnya sama
sekali. Karena lelah memaksa Jayaprana, akhirnya ditancapkanlah keris tersebut ke perut
Jayaprana oleh Patih Saunggaling.

Beberapa hari kemudian, prajurit telah Kembali ke Puri. Sekarsari menunggu


kedatangan Jayaprana yang tak kunjung datang. Suatu saat, disaat hujan, Sekarsari bertemu
dengan Jayaprana. Sekarsari menangis lalu memeluk suaminya di bawah derasnya hujan.
Sesampainya mereka di rumah, Jayaprana mengatakan bahwa dia sudah menepati janji
kepada Sekarsari. Jayaprana berjanji bahwa dia pasti pulang. Setelah menepati janji,
Jayaprana kemudian menghilang. Hilangnya Jayaprana membuat Sekarsari menangis.
Sekarsari mengetahui bahwa suaminya, Jayaprana telah tiada.

Keesokan harinya, Sekarsari tidak sanggup ditinggalkan oleh Jayaprana. Dia


memutuskan untuk mati mesatya dengan melompat ke pembakaran api Jayaprana. Sebelum
melompat, seorang utusan Raja menghentikan kegiatan itu. Didoronglah Sekarsari agar
menghadap Raja Kalianget. Setelah menghadap kepada Sang Raja, Raja Kalianget terkejut
dengan penampilan Sekarsari yang menggunakan pakaian serba putih. Dijelaskanlah bahwa
Sekarsari akan melakukan mati mesatya untuk menyusul suaminya. Raja yang mendengar hal
itu terkejut. Dipanggillah Demang tentang kabar Jayaprana. Demang menjelaskan bahwa
benar Jayaprana mengikuti rombongan prajurit ke Teluk Terima yang akhirnya meninggal
karena dimakan oleh harimau.

Mendengar hal tersebut, Raja Kalianget pura-pura menunjukkan wajah sedihnya. Raja
Kalianget meminta agar Sekarsari membatalkan mati mesatyanya dan hidup sebagai istri
Raja. Akan tetapi, Sekarsari menolaknya. Dia berpegang teguh dengan pendiriannya untuk
mati mesatya.

Mendengar penolakan itu, Raja Kalianget terus memaksa Sekarsari. Sampai akhirnya
Sekarsari mengancam jika Raja Kalianget memaksanya, maka ambil dirinya disaat sudah
menjadi mayat. Mendengar ancaman itu Raja Kalianget terdiam, dibiarkan Sekarsari pergi
begitu saja. Tetapi Raja Kalianget tetap menginginkan Sekarsari menjadi istrinya.

Setelah Sekarsari pergi dari Puri. Dalam perjalanan pulang, Sekarsari melihat sebuah
pisau diatas tumpukan daun kering. Sekarsari kemudian mengambil pisau tersebut dan
menikam dirinya sendiri sehingga meninggal dunia menyusul suaminya, Jayaprana ke
Swarga Loka.

Mayat Sekarsari ditemukan oleh rakyat sekitar, akhirnya dibawalah mayat tersebut ke
Puri. Di dalam Puri, Raja Kalianget melihat tubuh Sekarsari yang sudah tidak bernyawa.
Kematian Sekarsari menciptakan tragedi di Negeri Kalianget. Pada saat itu Raja menjadi gila,
kejam, dan membunuh setiap orang yang ada di sekitarmya dengan kerisnya. Darah mengalir
dimana-mana. Raja akhirnya menjadi gila sesuai dengan perkataan sebelumnya bahwa, Raja
akan gila bila tidak mendapatkan Sekarsari.

Layonsari terdiri dari kata layon dan sari. Layon yang berarti tubuh kasar atau sarira.
Sari yang berarti harum dan wangi. Layonsari adalah tubuh kasar seseorang(mayat) yang
harum dan wangi. Mayat Sekarsari mengeluarkan bau harum yang menandakan Sekarsari
adalah orang yang mulia.
Nilai-nilai yang terdapat pada cerita Jayaprana dan Layonsari, yaitu:

a) Nilai Setia
Kesetiaan istri terhadap suaminya, seperti setianya Sekarsari pada suaminya,
Jayaprana.
b) Nilai Bela Negara
Kepatuhan dan keberanian Jayaprana dalam membela Negeri Kalianget
c) Pentingnya menahan nafsu dan emosi
Setelah selesai upacara pernikahan Jayaprana dan Sekarsari, Raja Kalianget terpikat
dengan kecantikan dari Sekarsari sehingga Raja memiliki hasrat untuk memiliki
Sekarsari.
d) Menahan emosi dan tamak
Menahan emosi sangatlah penting karena dengan menahan emosi kita bisa
mengurangi sifat tamak.

Anda mungkin juga menyukai