Anda di halaman 1dari 9

HIKAYAT MASHUDULHAKK (perkara si bungkuk dan si panjang)

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit


sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka
bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang
laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu
hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada
orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun
berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu
terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi
bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
Katanya, “Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?”
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang
itu, “Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba
tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah
didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu
baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya,
“Untunglah sekali ini!”
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga
lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang
tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,
“Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang
juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam.”
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka
turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata
Bedawi itu, “Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba
seberangkan.” Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah
maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka
pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka
sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan
itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba
berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu,
agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-
bagailah katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu.”
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah,
setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala
kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan
itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun
berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya
berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, “Daripada hidup melihat hal yang
demikian ini, baiklah aku mati.”
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya
sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya
Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat
Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka
disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah
dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Istri siapa perempuan ini?”
Maka kata Bedawi itu, “Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba
pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba.”
Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.”
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka
orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah
Masyhudulhakk kepada perempuan itu, “Berkata benarlah engkau, siapa suamimu
antara dua orang laki-laki ini?”
Maka kata perempuan celaka itu, “Si Panjang inilah suami hamba.”
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,
supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.”
Maka kata Masyhudulhakk, “Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan
siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk,
“Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?”
Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula
perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu
perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di
mana kampung tempat ia duduk?”
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan
laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata
Masyhudulhakk, “Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-
benamya?”
Maka kata orang tua itu, “Daripada mula awalnya.” Kemudian maka dikatakannya,
siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah
Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk
akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga
perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan
perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu,
jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
HIKAYAT SANG POHON
Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang
sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum,
semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai
sekali para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai
yang berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati
mereka membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh
dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap
agar suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon
Cantik akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa
saja, untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu
sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik,
maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu
saja membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam
hutan itu. Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan
pohon cantik itu ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak
tercapai, maka mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para
pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan
dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon
tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-
sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga
dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung
kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun
menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir
wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik
tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga
dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para
pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari
helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di
atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon
cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada
suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon
cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang
mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak,
awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya
serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan
dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya
angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah
gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga
mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat
gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan
keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk.
Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu
benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu,
kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya.
Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di
sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku
mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku.
Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat
berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!”
Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa
angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa
urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa,
hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau,
dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata
dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak
merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah
segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa
ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan
dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk
berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah
mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan
hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan
perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa
lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan
itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang
dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan
kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus
bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak
menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok
mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat
di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya
yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak
disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar
tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh.
Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki
cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa
menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-
berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari
kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak
tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!!
” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..”
demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan
dan digemilangkan. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah..
HIKAYAT PANGLIMA BURUNG ( BULAN JIHAD)
Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan
etnis tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai tokok
gaib Dayak benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis
tertentu dari seberang. Apa boleh buat, sesuatu yang telah dilupakan menjadi
bangun ke alam nyata. Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang
ketokohannya? Inilah sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak
yang mendiami DAS Barito.
Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa
Panglima Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir
warga etnis Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak
turun sendiri tetapi membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul
Hadi Bondo Arsyad, seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang,
Katingan Hulu, “Panglima Burung muncul dengan membawa 87 orang pasukan
khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren
Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah) seorang wanita berparas cantik
namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar hajjah”
Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga
menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai,
Panglima Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan
beberapa panglima sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat
dua panglima wanita cantik yakni Panglima Burung dan Panglima Api.
Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji
M. Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita
berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum
Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran
ini adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan
menyandang titel seorang hajjah.
WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut
keberaniannya luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi
Gusti (Ratu) Zaleha dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-
1901, dimana suku-suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai,
Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu
membahu menghadapi serangan Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti
Pangeran Antasari Gusti Muhammad Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu
bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan Dayak seperti) Temanggung
Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-lain yang merupakan
kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.
Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung
yang sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada
yang menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”.
Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha
kawan seperjuangannya.
Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera
Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito
Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah,
Waja Sampai ka Puting”.
Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau
Bulan Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah
(Kaltim). Yang pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan
Barito Selatan”, imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu
kebal tahan senjata, bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan
selendang saja. Dia selalu berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang
puteri Banjar”. Dengan demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat
dan Adonis Samat (1948) sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun
1905, lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa
keputusan Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap
bertekad meneruskan perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah
perpisahan yang sangat memilukan. Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari
hutan menuju Muara Teweh dan selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama
ibunya Nyai Salmah.
Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad
dan kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad
datang melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga
saat itulah dia baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun
semakin luluh begitu mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama
meninggal dunia (24 September 1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali
melihat pemunculannya dan hari itu pula dia kembali mengembara ke hutan rimba
untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah muslimah Bulan Jihad yang setia
berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri Zaleha (1903-1906), bahkan dia
terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti kolonialis lainnya di tanah Dayak
ini.
Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa
kebulatan tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di
dalam Perang Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang
Leman, Gusti Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan
Jihad, Panglima Batur, Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya,
adalah gambaran bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun,
Kayan, Kenyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam
maupun Kaharingan. Kata Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada
kesepakatan tekad bahwa suku Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah
berperang sesamanya sampai kapan pun juga”.

Anda mungkin juga menyukai