Anda di halaman 1dari 5

Data Stunting dan Kemiskinan Indonesia Sama-sama Beda

Belum lama ini Kementerian Kesehatan Indonesia merilis hasil Pemantauan Status Gizi (PSG)
2016. Disebutkan bahwa sebanyak 27,5 persen bayi usia di bawah lima tahun (Balita) mengalami
stunting (tinggi badan di bawah standar/pendek). Jumlah tersebut terdiri dari 8,5 persen berstatus
tinggi badan sangat pendek, dan 19 persen pendek. World Health Organization (WHO) telah
menetapkan standarnya, bahwa suatu wilayah mengalami masalah kekurangan gizi kronis jika
prevalensinya di atas 20 persen.
WHO sendiri sudah melaporkan hasil pantauan status gizi di Indonesia lebih dulu, yang berbeda
dengan hasil pantauan Kementerian Kesehatan. Badan PBB yang membidangi masalah kesehatan
itu menyebutkan bahwa 7,8 juta dari 23 juta anak, atau 35,6 persen dari total populasi balita
Indonesia adalah penderita stunting. Sebanyak 18,5 persen berkategori sangat pendek dan 17,1
persen pendek. WHO menetapkan Indonesia sebagai Negara dengan status gizi buruk.
Laporan Bank Dunia tahun ini juga menyebutkan angka stunting di Indonesia lebih tinggi lagi,
yaitu 37,2 persen. Fakta ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-4 tertinggi pengidap
stunting di dunia. Laporan itu juga menyebut 19,6 persen balita (atau setara 4,4 juta) berberat
badan rendah sebagai akibat malnutrisi. Satu dari tiga balita Indonesia adalah pengidap stunting.
Bayi stunting kebanyakan lahir dari keluarga miskin. Semakin merebak kemiskinan di suatu
negara semakin tinggi pula angka stunting. Seribu hari pertama (sejak dalam kandungan hingga
berusia dua tahun) setiap bayi memasuki usia emas bagi pertumbuhannya. Upaya mendapatkan
asupan gizi yang baik dan mencukupi tentu saja sangat tergantung pada kemampuan ekonomi
keluarga.
Keluarga miskin, kebanyakan bukan tidak mengerti dan tidak mau mencukupi kebutuhan gizinya,
melainkan tidak mampu. Anak-anak yang seharusnya menjadi harapan Indonesia untuk masa
depan mengalami kekurangan gizi sejak usia paling dini. Pemerintah lebih suka menempatkan
masalah stunting ini bersifat kasuistik, tidak holistik dan sistemik, karena jika problemnya bersifat
sistemik akan berdampak pada citra pemeritnah sendiri.

Awal tahun ini informasi dari pemerintah tentang kemiskinan seharusnya mengundang rasa senang
masyarakat, tapi nyatanya malah memunculkan keheranan publik. Berdasarkan data yang
dihimpun BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2018 jumlah penduduk miskin di Indonesia
sebanyak 25,95 juta orang (9,82 persen). Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 633,2 ribu
orang, dari yang sebelumnya tercatat sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen) pada September
2017. Sepenuh kebanggaan pemerintahan sekarang menyatakan, bahwa pemerintahan sebelumnya
di Indonesia tak pernah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10 persen dari
seluruh penduduk.
Selidik punya selidik, perhitungan angka kemiskinan di Indonesia itu menurun bukan lantaran
jumlah orang miskin itu sendiri yang menurun karena ada 633,2 ribu orang yang meningkat taraf
hidupnya, melainkan karena standar kemiskinan di Indoneisa yang lebih rendah dibandingkan
standar internasional. Pendapatan minimum masyarakat dikatakan memenuhi standar hidup
nasional jika mencapai angka Rp 401.220/kapita/bulan. Bandingkan dengan pendapatan minimum
garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yaitu sebesar USD 1,9 per hari atau setara Rp
865.260 per bulan (kurs sekarang 15.180 per dolar Amerika). Sungguh jomplang. Karena jika
standar Bank Dunia itu yang dipakai maka jumlah orang miskin di Indonesia lebih dari 70 juta
orang.

Jika garis kemiskinan nasional Rp 401.220/kapita/bulan dan rata-rata setiap satu rumah tangga
miskin memiliki 4,59 anggota keluarga, maka pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi standar
hidup mencapai Rp 1,84 juta/rumah tangga miskin/bulan. Jika kurang dari angka tersebut maka
masuk kategori keluarga miskin.

Sebagai perbandingan, garis kemiskinan di DKI Jakarta mencapai Rp 593.108/kapita/bulan maka


pengeluaran keluarga miskin di Ibu Kota mencapai Rp 3,08 juta/bulan. Sementara garis
kemiskinan di Nusa Tenggara Timur Rp 354.898/kapita/bulan maka garis kemiskinan rumah
tangga miskin di daerah tersebut mencapai Rp 2,12 juta/bulan. Data-data berikut contoh-contoh
itu tidak simetris dengan kesulitan hidup sehari-hari yang dialami masayarakat juga tidak sesuai
dengan fakta tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia.
Akhirnya harus ditegaskan bahwa stunting karena gizi buruk harus dipahami sebagai masalah
sistemik. Kebiasaan pemerintah yang cenderung menggap masalah ini bersifat kasuistik harus
segera dihentikan. Kita tidak bisa berharap pemerintah, yang lebih suka akrobat statistik, seperti
dalam laporannya mengenai stunting dan angka kemiskinan di Indonesia, bisa melakukan
terobosan mendasar untuk menyelamatkan generasi emas Indonesia. Kita harus mencari kekuatan
di dalam masayarakat sendiri dengan merintis suatu gerakan penyelamatan generasi emas
Indonesia.

Pelayanan kesehatan termasuk dalam hak azasi warga negara Indonesia. Perlindungannya berada
dalam lingkup Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1), (2), dan, (3) dan Pasal 34 ayat (1),
2), dan (3). Dalam Pasal 34 ayat (3) disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Namun pada prakteknya
masih terdapat empat masalah utama pelayanan kesehatan di Indonesia. Ada empat hal terkait
layanan kesehatan, yakni; Accessibility, Capability, Capacity, dan Affordability. Affordability
adalah keterjangkauan terutama dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan harus sesuai dengan
kemampuan ekonomi masyarakat. Banyak faktor-faktor yang memengaruhi kualitas kesehatan,
salah satunya adalah stunting.
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih
pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan
terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak
stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah mencanangkan program intervensi pencegahan stunting
terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Pada tahun
2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari
sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak
berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki
prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi
29,6% pada tahun 2017.
Pada tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan
stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun berikutnya. Dengan
adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia sehingga
dapat tercapai target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan
angka stunting hingga 40%.
Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi balita stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT)
menempati posisi puncak yakni sebesar 42,6 persen atau tertinggi dibandingkan provinsi lainnya
di Indonesia. Jika estimasi jumlah balita NTT sebanyak 633 ribu jiwa (BPS) maka terdapat 270
ribu jiwa anak-anak di Bumi Flobamora mengalami masalah gizi dimana tinggi badannya tidak
sesuai dengan umur mereka.
Tingginya prevalensi balita stunting didukung oleh proporsi balita dengan gizi buruk yang cukup
besar yakni 29,5 persen. Artinya bahwa tiga dari sepuluh balita di NTT mengalami gizi buruk.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan proporsi balita gizi buruk di tingkat nasional yaitu sebesar
17,7 persen. Selain itu, persentase penduduk miskin NTT pada September 2018 sebesar 21,03
persen.
Angka tersebut memang lebih rendah dibanding empat tahun terakhir yakni sebesar 22,58 persen
pada September 2015. Namun, proporsi penduduk miskin NTT tergolong cukup tinggi dan berada
pada posisi ketiga di bawah Papua dan Papua Barat.
Kondisi kemiskinan sejalan dengan rendahnya daya beli masyarakat. Sehingga ibu dan
keluarganya tidak mampu mencukupi kebutuhan gizi. Kecukupan asupan makanan dan gizi
merupakan salah satu penyebab terjadinya stunting.
Upaya Pemerintah dalam pencegahan terhadap stunting bertujuan agar generasi penerus bangsa
dapat berkembang secara optimal dengan pertumbuhan fisik yang baik disertai perkembangan
mental, emosional dan kemampuan berpikir.
Pemerintah desa yang menghadapi permasalahan Stunting, mengalokasikan anggaran untuk
mendanai koordinasi Kegiatan Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi lintas sektor dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 61/PMK.07/2019 tentang Pedoman
Penggunaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa untuk Mendukung Pelaksanaan Kegiatan
Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang selanjutnya disingkat TKDD adalah bagian dari
Belanja Negara yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
kepada Daerah dan Desa dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan yang telah
diserahkan kepada Daerah dan Desa.
2. Kegiatan Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi adalah aksi integrasi atau
konvergensi program dan kegiatan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/ atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, dalam rangka pencegahan terjadinya kondisi gagal tumbuh kembang
pada anak di bawah lima tahun (stunting), yang dilaksanakan secara sinergi, terpadu, tepat
sasaran, dan berkelanjutan dengan mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran
pembangunan.
3. Stunting atau yang disebut kerdil adalah kondisi gagal tumbuh pada anak dibawah lima
tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial
yang tidak memadai terutama dalam 1000 (seribu) Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK),
yaitu dari janin sampai anak berusia dua tahun.
4. Intervensi Gizi Spesifik adalah intervensi yang menyasar penyebab langsung Stunting yang
meliputi kecukupan asupan makanan dan gizi, pemberian makan, perawatan dan pola asuh,
dan pengobatan infeksi/penyakit.
5. Intervensi Gizi Sensitif adalah intervensi yang menyasar penyebab tidak langsung Stunting
yang meliputi peningkatan akses pangan bergizi, peningkatan kesadaran, komitmen, dan
praktik pengasuhan gizi ibu dan anak, peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan
kesehatan, serta penyediaan air bersih dan sanitasi.
Kerangka Penanganan Stunting

Menyediaan Makanan Tambahan bagi Ibu Hamil Kurang Energi Kronis (KEK); Penyediaan Makanan
Tambahan bagi Balita Kekurangan Gizi; Peningkatan Surveilans Gizi dan Pengadaan Obat Gizi (Vit A, TTD),
Keluarga Miskin Yang Mendapat Bantuan Tunai Bersyarat dan Penyelenggaraan Bantuan Pangan Non
Tunai.

Penguatan Intervensi Paket Gizi (PMT, Vit A, TTD) pada Ibu Hamil dan Balita;

Kabupaten/Kota Yang Mendapat Pembinaan Dalam Peningkatan Pelayanan

Antenatal; Kampanye Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Promosi Kesehatan);

Pembinaan Kabupaten/Kota dalam Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup

Sehat; dan Pemberdayaan Masyarakat (Promkes)

Bimbingan Perkawinan Pra Nikah

Hal tersebut dikarenakan balita yang mengalami kondisi stunting berpeluang mendapatkan penghasilan
20 persen lebih rendah dibandingkan balita yang tidak mengalami stunting ketika dewasa nanti. Hal
tersebut dikarenakan balita yang mengalami kondisi stunting berpeluang mendapatkan penghasilan 20
persen lebih rendah dibandingkan balita yang tidak mengalami stunting ketika dewasa nanti. Jika
menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia tahun 2018 sebesar Rp.14.837 triliun
makadiperkirakan potensi kerugian akibat stunting sekitar Rp. 297-445 triliun per tahun.

Anda mungkin juga menyukai