Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit thalasemia masih kurang dikenal oleh masyarakat.
Padahal, di Indonesia terdapat banyak penderita penyakit kelainan darah
yang bersifat diturunkan secara genetik dan banyak terdistribusi di Asia
ini. Pencegahan thalasemia pun sulit dilakukan karena minimnya perhatian
masyarakat dan sarana yang dimiliki oleh tempat pelayanan kesehatan di
Indonesia.
Beberapa data menunjukkan bahwa ada sekitar ratusan ribu orang
pembawa sifat thalasemia yang beresiko diturunkan pada anak mereka,
serta data lain yang menemukan bahwa 6-10% penduduk Indonesia
merupakan pembawa gennya. Penderita thalasemia mayor di negara
Indonesia sudah tercatat sekitar lima ribu orang, selain yang belum terdata
atau kesulitan mengakses layanan kesehatan. Angka penderita di dunia
lebih besar, yaitu setiap tahunnya ada sekitar seratus ribu penderita baru
yang lahir dari pasangan pembawa gen.
Begitu banyak penderita thalasemia di Indonesia, akan tetapi
layanan kesehatan di Indonesia masih sulit diakses oleh penderita
thalasemia. Biaya pengobatannya pun mahal, karena pasien biasanya
membutuhkan transfusi darah dan suntikan desferal terus menerus untuk
memperpanjang hidup. Sedangkan tidak ditemukan adanya kesembuhan
yang sempurna pada penyakit thalasemia.
Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap penyakit ini dan
tidak sempurnanya kesembuhan yang dicapai oleh penderita thalasemia
membuat penulis merasa perlu memberikan perhatian lebih pada penyakit
ini.
1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Masalah


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan informasi kepada mahasiswa & mahasiswi
tentang kasus Thalasemia pada anak, serta dapat memahami seperti
apa karakteristiknya.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui apa itu Thalasemia.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Thalasemia.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan
agar pertumbuhan anak bisa berkembang dengan baik dan sehat.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Penulis
Memberikan pengalaman dan menambah pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pasien dengan Thalasemia
1.4.2 Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai inovasi bagi isntitusi Pendidikan dalam
pengembangan dan peningkatan Pendidikan di masa yang akan
datang.
1.4.3 Bagi Rumah Sakit
Bermanfaat bagi perawat untuk melakukan asuhan keperawatan
yang lebih professional dalam melakukan tugasnya.
BAB II

TI NJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Thalasemia


Thalasemia adalah penyakit genetik (turunan) yang menyerang sel
darah merah sehingga sel darah merah menjadi mudah rusak dan rapuh.
Secara normal umur sel darah merah adalah 120 hari tetapi pada kasus ini
umurnya menjadi sangat pendek yaitu bisa kurang dari 1/2-nya. Di
Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit
ini. Sedang mereka yang tergolong thalasemia trait jumlahnya mencapai
sekitar 200.000 orang. Thalasemia, meski terdapat di banyak negara,
memang secara khusus terdapat pada orang-orang yang berasal dari
kawasan Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia. Jarang sekali ditemukan
pada orang-orang dari Eropa Utara ( Brozovic M, Henthorn J. , 1995 :
249).
Ketua Pusat Thalasemia Indonesia Prof Dr Iskandar Wahidijat
SpA(K) memaparkan, thalasemia adalah suatu penyakit genetik/keturunan
yang diturunkan dari kedua orangtua. Kedua orangtua secara klinis sehat,
tetapi karena keduanya sebagai pembawa sifat dan kebetulan gen yang
buruk bertemu pada satu anak, maka ini yang disebut thalasemia mayor.

2.2 Klasifikasi
1. Thalasemia Mayor
karean sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan
penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam
darah. Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa
menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya
jadi cepat rusak dan umumnya pun sangat pendek, hingga yang
bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang
hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir,
namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia.
Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih
kencang dan feces cooley. Faices coolay adalah ciri khas thalasemia
mayor, yakni batang hidung masuk kedalam dan tulang pipi menonjol
akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi
hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan nampak memerlukan
perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor
harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa
perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya
bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus
dilakukan lagi-lagi tergantung dari berat ringannya penyakit, kian
sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.
2. Thalasemia Minor
Individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu
hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau
thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan
thalasemia minor juga akan terjadi masalag. Kemungkinan 25% anak
mereka menderita thalasemia mayo. Pada garis keturunan pasangan
ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai ragam
keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo, dan sering
mengalami perdarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan
akan tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak
memerlukan transfusi darah disepanjang hidupnya. (NUCLEUS
PRECISE, 2010).

2.3 Etiologi
Thalasemia, menurut pakar hematologi dari Rumah Sakit Leukas
Stauros, Yunani, dr Vasili Berdoukas, merupakan penyakit yang
diakibatkan oleh kerusakan DNA dan penyakit turunan. Penyakit ini
muncul karena darah kekurangan salah satu zat pembentuk hemoglobin
sehingga tubuh tidak mampu memproduksi sel darah merah secara normal.
Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi
(Fe). Kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan
zat besi akan tertinggal di dalam tubuh. Pada manusia normal, zat besi
yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk membentuk sel darah merah
baru. Pada penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel darah
merah yang rusak itu menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan
hati (lever). Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron
overload ini akan mengganggu fungsi organ tubuh. Menurut Berdoukas,
penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh
suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila
tidak dikeluarkan, akan sangat membahayakan karena dapat merusak
jantung, hati, dan organ tubuh lainnya, yang pada akhirnya bisa berujung
pada kematian. Penderita thalasemia tidak bisa memproduksi rantai globin
sehingga tidak bisa memproduksi hemoglobin dan sel darah merahnya
mudah rusak. (Cappellini N, 2000:201).
Menurut Berdoukas, tidak sedikit penderita thalasemia yang
meninggal dunia akibat penimbunan zat besi pada organ jantung. Walau
penimbunan zat besi akibat transfusi darah terjadi di berbagai organ
( paling banyak di hati ). Namun karena jantung mempunyai daya
kompensasi yang kurang di banding organ lain, maka banyak penderita
thalasemia meninggal karena komplikasi jantung.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang
diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen
cacat yang diturunkan. Penderita memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya.
Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena.

2.4 Manifestasi Klinis


Tanda dn gejala dari thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor
a. Pucat
b. Lemah
c. Anoreksia
d. Sesak napas
e. Peka rangsang
f. Tebalnya tulang kranial
g. Pembesaran hati dan limpa
h. Menipisnya tulang kartilago , nyeri tulang
i. Distritmia
j. Epistaksis
k. Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
l. Kadar Hb kurang dari 5 gram/100ml
m. Kadar besi serum tinggi
n. Ikterik
o. Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit; dasar
hidung lebar dan datar
2. Thalasemia Minor
a. Pucat
b. Hitung sel darah merah normal
c. Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di
bawah kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
sedang.

2.5 Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb A dengan polipeptida
rantai alfa dan dua rantai beda, pada beta thalasemia adalah tidak adanya
atau kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada
gangguan kemampuan eritrosit membawa oksigen. Adanya suatu
kompensator yang meningkat dalam rantai alfa, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus menerua sehingga menghasilkan hemoglobin
defective. Ketidakseeimbangan polipeptida ini memudahkan
ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini, menyebabkan sel darah merah
menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan dalam rantai beta dan gamma ditemukan pada thalasemia alfa.
Kelebihan rantai polipeptida kini mengalami presipitasi dalam sel
eritrosit. Globin intra eritrositik yang mengalami presipitasi, yang terjadi
sebagai rantai polipeptida alfa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak
stabil badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan
hemolisis. Produksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow,
produksi RBC diluar menjadi eritropoetik aktif. Kompensator produksi
RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik. Dan dengan cepatnya
destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan dekstruksi RBC menyebabkan bone marrow
menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
2.6 Pathway

Kelainan perubahan/mutasi pada gen alpha/glpbin beta

Produksi rantai globin menurun

Mutasi thalassemia

Pematangan sel darah merah lambat

Eritropolesis darah merah

Anemia

Hb kurang

Sel darah merah mudah rusak

Suplai oksigen ke jaringan perifer menurun

Ketidak efektipan
perpusi jaringan perifer
Ketidakseimbangan suplai oksigen dan kebutuhan

Hipoksia

Dipsneu

Kelelahan malas intake nutris


menurun

Ketidakseimbangan nutrisi
Intoleransi aktivitas kurang dari kebutuhan
2.7 Komplikasi
Akibat dari anemia yang berat dan lama , sering terjadi gagal
jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis
menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun
dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan
lain-lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan.
Kadang-kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti
leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh
infeksi dan gagal jantung
Hepatitis pasca transfusi bisa dijumpai, apalagi bila darah transfusi
telah diperiksa terlebih dahulu terhadap hbsAg. Hemosiderosis
mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus, dan jantung. Pigmentasi
kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena peningkatan deposisi
melanin.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Thalasemia Mayor
a. Darah tepi hipokrom mikrositer, anisotisos, dan adanya sel targer:
jumalh retikolusit meninggu serta adanya eritrosit muda:
normoblast.
b. Hb rendah
c. Resistensi osmotok patologi
d. Nilai MC: MCV, MCH, MCHC menurun
e. Elektropoesis Hb memastikan diagnosis
f. Tes kleihauer (penentuan HbF secara elusi asam) positif
g. Jumlah leukosit normal atau meninggi
h. Sum sum tulang : hiperaktif, terutama seri eritrosit
i. Kadar besi serum normal atau meninggi. Adar bilirubin serum
meninggi. SGOT dan SGPT meninggi karena kerusakan parenkim
hati oleh hemosiderosis.
j. Asam urat dalam darah meninggi. HbsAG dan anti HbsAG biasa
postif pada kasus kasus yang mendapat transfusi darah yang
berulang ulang, disebabkan karena transmisi HbsAG melalui
produk produk darah transfusi.
2. Thalasemia Intermedia dan Minor
a. Darah tepi : kadar Hb bervariasi, mormal agak rendah atau
meninggi (polisitemia). gambaran darah tepi dapat menyerupai
thalasemia mayor atau hanya sebagian.
b. Nilai MC : MCV, MCH, MCHC nomal.
c. Resistensi osmotik meninggi : sedikit meninggi kadar bilirubin
dalam serum dan adanya kenaikan SGOT karena hemolisi perlu
dibedakan dari hepatitis kronik viral.
d. Pemeriksaan sinar x pada thalasemia mayor, tulang panjang :
bagian medula melebar, erosi dan penipisan korteks.
e. Tulang tengkorak: gambaran menyerupai rambut berdiri potongan
pendek pada anak besar
Pemeriksaan Khusus:
a. Hb F meningkat 20%-90% Hb normal.
b. Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb F
c. Pemeriksaan pedigree: kedua orangtua pasien thalasemia mayor
merupakan trait (carier) dengan HbA2 meningkat (>3,5% dari Hb
total). Pemeriksaan lain:
a. Foto rontgen tulang kepala
b. Foto tulang pipih dan tulang wajah.

Pemeriksaan darah:

a. Kadar Hb 3-9 g%
b. Pewarnaan SDM :anisitosis, poikilositosis, hipokronia berat, target
cel, tear drop sel.
Gambaran sum sum tulang eitripoesis hiperaktif.
Elektroforesis Hb:
a). Thalasemia alfa: ditemukan Hb bart’s dan Hb H
b). Thalasemia beta: kadar Hb F bervariasi antara 10-90% (N:<=1%).

2.9 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah
kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg// atau saturasi transferin
lebih 50% ata sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine , dosis
25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam
waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut turut setiap
selesai transfusi darah. Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian
kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi darah. Asam folat 2-5
mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat. Vitamin E 200-
400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah.
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi :
Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya
terjadinya ruptur hipersplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC)
melebihi 250 ml/kg berat badab dalam satu tahun. Transpalantasi sum
sum tulang telah memeri harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil
tersembuhkan degan tanpa ditemukannya akumulasi besi dan
hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada anak usia
dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA spesifik
dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
tranplantasi ini.
3. Suportif
Transfusi darah, Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5
g/dl. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi sum sum tulang
yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita.
Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB
untuk kenaikan Hb 1 g/dl.

2.10 Deteksi Dini Thalasemia


Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak masih di dalam kandungan.
Jika suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka
anak mereka memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita
thalasemia. Karena itu, ketika sang istri mengandung, disarankan untuk
melakukan tes darah di laboratorium untuk memastikan apakah janinnya
mengidap thalasemia atau tidak.
Selain dalam kandungan, thalasemia juga bisa dideteksi ketika si anak
telah lahir dan mulai tumbuh. Gejala dini thalasemia dapat dilihat dari
kulit dan wajah yang tampak pucat, pertumbuhan lebih lambat dibanding
anak-anak pada umumnya, dan terjadi pembengkakan pada perut akibat
pembengkakan limpa.
Hanya saja, gejala ini amat umum dan dapat terjadi pada banyak
penyakit. Karena itu, untuk memastikan apakah seseorang menderita
thalasemia atau tidak, maka harus dilakukan pemeriksaan darah. Gejala
thalasemia dapat dilihat pada anak usia tiga sampai 18 bulan. Bila tidak
mendapat perawatan serius, anak-anak dengan kelainan darah bawaan
yang disebut thalasemia ini hanya dapat hidup hingga delapan tahun saja.
2.11 Rencana Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai