Anda di halaman 1dari 32

DAFTAR ISI

KEBIJAKAN ENERGI ...................................................................................................... 1


1.1 Pengertian Kebijakan Energi .............................................................................. 1
1.2 KEGAGALAN PASAR ..................................................................................... 1
1.3 Energi, pembangunan Nasional, dan Pilihan Kebijakan ..................................... 6
1.4 Formulasi Kebijakan Energi Nasional ................................................................ 8
1.5 Keterkaitan Kebijakan Energi dan Perencanaan Energi ................................... 12
1.6 Interaksi Kebijakan Energi dan Kebijakan Ekonomi Nasional ........................ 14
1.6.1 Kebijakan Energi terhadap Sistem Ekonomi Nasional ............................. 14
1.6.2 Kebijakan Ekonomi terhadap Sistem Energi Nasional ............................. 15
1.7 Kebijakan Energi Negara Industri .................................................................... 18
1.8 Kebijakan Energi Indonesia .............................................................................. 20
1.9 Kemandirian Energi Industri Indonesia ............................................................ 22
1.10 Kemandirian Energi Nasional yang Berkelanjutan .......................................... 25
KEBIJAKAN ENERGI
1.1 Pengertian Kebijakan Energi
Kebijakan energy adalah suatu ketentuan dalam menggunakan energy
seefisien dan seoptimal mungkin yang didalamnya terdapat usaha penghematan
energi. Kebijakan energy diruuskan oleh Pemerintah Digunakan sebagai aturan
main bagi pihak-pihak yang terlibat dalam industry energy.

1.2 KEGAGALAN PASAR

Yang dimaksud dengan kegagalan pasar adalah ketidakmampuan dari suatu


perekonomian pasar untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan keteguhan
dan pertumbuhan ekonomi. Kegagalan ini mendorong pemerintah untuk
menjalankan beberapa kegiatan ekonomi. Di sisi lain, pada konteks politik,
pemegang modal atau saham menggunakan istilah kegagalan pasar untuk situasi
saat pasar dipaksa untuk tidak melayani “kepentingan publik”, sebuah pernyataan
subyektif yang biasanya dibuat dari landasan moral atau sosial. Atau dapat
dikatakan kegagalan pasar adalah dimana suatu pasar tidak dapat menjalankan
secara sempurna sesuai dengan fungsi awal sebagai pasar dan situasi dimana
semua kekuatan yang ada dalam pasar, permintaan dan penawaran, berada dalam
keadaan ketidakseimbangan.

Kegagalan pasar dapat terjadi karena adanya faktor-faktor dibawah ini, yaitu :

1. Adanya Common goods (Barang Bersama)

Dasar adanya sistem pasar persaingan adalah adanya hak pemilikan yang
memberikan hak pemilikan kepada setiap individu atas suatu barang sehingga ia
dapat mengecualikan orang lain untuk memanfaatkan barang itu. Untuk beberapa
jenis barang , hak pemilikan tidak dapat diberikan kepada satu individu melainkan
diberikan kepada sekelompok masyarakat , misalnya saja sebidang padang rumput
milik desa dan sebagainya.

Masalah yang ditimbulkan dalam kasus kekayaan bersama ada 2 faktor yaitu
:indivisibility dan jumlah kelompok masyarakat. Adanya indivisibility

1
menyebabkan suatu kekayaan tidak dapat diberikan hak pemilikannya kepada
setiap anggota kelompok. Apabila jumlah kelompok hanya dua orang , maka
diantara kedua orang itu akan dapat dibuat suatu perjanjian yang mengatur
penggunaan kekayaan tersebut secara optimal akan tetapi apabila anggota
kelompok semakin banyak maka biaya untuk memperoleh persetujuan menjadi
semakin besar dan mahal .

Dalam hal kekayaan bersama, apabila seseorang merasakan manfaat dan bersedia
menanggung biaya tanpa harus ikut menanggung free riders . Free riders adalah
suatu sikap yang tidak menyatakan dengan sebenarnya manfaat suatu barang atau
jasa dengan maksud agar ia dapat memanfaatkan barang tersebut tanpa harus
membayarnya atau tanpa ikut menanggung biaya pengadaan barang atau jasa
tersebut.

Selain perlunya campur tangan pemerintah dalam mengatur kekayaan bersama ,


pemerintah juga harus menetapkan sistem pembayaran yang sifatnya dipaksakan
karena jelas setiap individu tidak bersedia untuk menanggung biaya. Setiap
pembayaran paksaan tersebut adalah yang umumnya disebut pajak.

2. Adanya unsur ketidaksempurnaan pasar

Alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien tidak dapat diserahkan pada


mekanisme pasar oleh karena adanya monopoli, atau adanya usaha yang
mempunyai biaya marjinal yang selalu menurun , dan adanya usaha yang
mempunyai biaya marginal nol. Mekanisme pasar dapat melakukan alokasi factor-
faktor ekonomi secara efisien hanya pada pasar persaingan sempurna oleh karena
hanya pada pasar persaingan sempurna terdapat kesamaan antar motivasi
pengusaha dan tingkat produksi yang oleh masyarakat dianggap efisien . ketidak
sempurnaan pasar Disebabkan oleh perkembangan ekspor tidak menciptakan
perkembangan yang cukup laju pada sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti faktor
 Mobilitas
 Produksi yang terbatas
 Tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah

2
 Kurangnya pengembangan tehnologi
 Kurangnya tenaga wirausaha, dll

3. Adanya barang public


barang publik adalah barang yang memiliki sifat non-rival dan non-eksklusif. Ini
berarti: konsumsi atas barang tersebut oleh suatu individu tidak akan mengurangi
jumlah barang yang tersedia untuk dikonsumsi oleh individu lainnya; dan
noneksklusif berarti semua orang berhak menikmati manfaat dari barang tersebut.
Sebagai contoh: jalan raya adalah barang publik, banyaknya pengguna jalan tidak
akan mengurangi manfaat dari jalan tersebut; semua orang dapat menikmati
manfaat dari jalan raya (noneksklusif); dan jalan raya dapat digunakan pada waktu
bersamaan.

Istilah barang publik sering digunakan untuk merujuk pada barang yang non-
eksklusif dan barang non-rival. Ini berarti bahwa tidak mungkin mencegah
seseorang untuk tidak mengkonsumsi barang publik. Udara dapat dimasukkan
sebagai barang publik karena secara umum tidak mungkin mencegah seseorang
untuk menghirupnya. Barang-barang yang demikian itu sering disebut sebagai
barang publik murni.

4. Adanya eksternalitas

Eksternalitas timbul karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak
mempunyai pengaruh terhadap pihak yang lain dan tidak ada kompensasi yang
dibayar oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Ada eksternalitas positif dan
eksternalitas negatif. Eksternalitas positif terjadi dalam kasus seperti dimana
program kesehatan keluarga di televisi meningkatkan kesehatan publik.
Eksternalitas negatif terjadi ketika proses dalam perusahaan menimbulkan polusi
udara atau saluran air. Eksternalitas negatif bisa dikurangi dengan regulasi dari
pemerintah, pajak, atau subsidi, atau dengan menggunakan hak properti untuk
memaksa perusahaan atau perorangan untuk menerima akibat dari usaha ekonomi
mereka pada taraf yang seharusnya. Jadi ada dua syarat terjadinya eksternalitas,
yaitu :

3
 Adanya pengaruh dari suatu tindakan.
 Tidak adanya kompensasi yang dibayarkan atau diterima.

5. Adanya pasar tidak lengkap

Suatu pasar dikatakan lengkap apabila pasar tersebut menghasilkan semua barang
dan jasa yang biaya produksinya lebih kecil daripada harga yang mau dibayar oleh
masyarakat. Karena ada jenis jasa yang tidak diusahakan oleh pihak swasta dalam
jumlah yang cukup walaupun penyediaan jasa tersebut lebih kecil daripada apa
yang mau dibayar oleh masyarakat. Kondisi seperti ini yang disebut pasar tidak
lengkap.

6. Adanya kegagalan informasi

Kasus dimana terdapat informasi asimetris atau ketidak pastian (informasi yang
inefisien) . Informasi asimetris terjadi ketika salah satu pihak dari transaksi
memiliki informasi yang lebih banyak dan baik dari pihak yang lain. Biasanya
para penjual yang lebih tahu tentang produk tersebut daripada sang pembeli, tapi
ini tidak selalu terjadi dalam kasus ini. Contohnya, para pelaku bisnis mobil bekas
mungkin mengetahui dimana mobil tersebut telah digunakan sebagai mobil
pengantar atau taksi, informasi yang tidak tersedia bagi pembeli.

Bedasarkan kelemahan-kelemahan dari mekanisme pasar seperti yang telah


diterangkan, setiap pasar membutuhkan perhatian pemerintah untuk meningkatkan
keteguhan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi.

1. Tujuan campur tangan pemerintah

 Menjamin agar kesamaan hak untuk setiap individu tetap wujud dan
penindasan dapat dihindarkan.
 Menjaga agar perekonomian dapat tumbuh dan mengalami perkembangan
yang teratur dan stabil.
 Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan
besar dapat mempengaruhi psar agar mereka tidak menjalankan praktek-
praktek monopoli yang merugikan.

4
 Menyediakan barang bersama yaitu barang-barang seperti jalan raya, polisi
dan tentara yang penggunaannya dilakukan secara kolektif oleh masyarakat
untuk mempertinggi kesejahteraan sosial masyarakat.
 Mengawasi agar eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan masyarakat
dihindari atau dikurangi masalahnya.

2. Bentuk-Bentuk Campur Tangan Pemerintah


 Membuat Peraturan-peraturan

` Tujuan pokok dari peraturan pemerintah adalah agar kegiatan-kegiatan


ekonomi dijalankan secara wajar dan tidak merugikan khalayak ramai.
Contohnya peraturan mengenai syarat kerja pada para pekerja di sektor
industri adalah dibuat untuk menjamin dalam pemberian gaji, upah dan
tunjangan lain yang wajar dan tidak menindas. Contoh lain peraturan
mengenai lokasi pengembangan perusahaan yang bertujuan agar industri tidak
dikembangkan secara sembarangan, sehingga kegiatan industri ini tidak
mengganggu masyarakat sekitar dan menghindari pencemaran udara.
Peraturan dibuat oleh pemerintah meliputi berbagai aspek kegiatan ekonomi,
bukan saja terbatas pada kegiatan dan pendirian industri tetapi juga kegiatan
ekspor impor, perbaikan lalu lintas, pengembangan perusahaan dan aspek
kegiatan ekonomi lainnnya.

 Menjalankan Kebijakan Fiskal dan Moneter


Kebijakan Fiskal adalah Strategi dan langkah-langkah pemerintah dalam
pengeluarannya dan dalam sistem dan cara-cara pengumpulan pajak.
Kebijakan Moneter adalah langkah-langkah pemerintah untuk mempengaruhi
situasi keuangan dalam perekonomian, yaitu mempengaruhi suku bunga,
operasi bank-bank dan mengatur jumlah uang yang beredar. Kedua kebijakan
ini sangat penting dalam mengatur kegiatan ekonomi. Perekonomian selalu
menghadapi masalah inflasi dan pengangguran, kebijakan ini merupakan
tindakan untuk mengatasi kenaikan harga dan kekurangan pekerjaan.

5
 Melakukan Kegiatan Ekonomi Secara Langsung
Dalam kegiatan ekonomi terdapat perbedaan nyata antara keuntungan yang
dinikmati oleh orang yang melakukannya (keuntungan pribadi) dan
keuntungan yang diperoleh masyarakat secara menyeluruh (keuntungan
sosial). Adakalanya seseorang memperoleh keuntungan yang besar dalam
kegiatan ekonomi yang dijalankan tetapi masyarakat mengalami kerugian.
Contohnya adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan memberi kemungkinan
untung yang besar apabila sepenuhnya dijalankan oleh pihak swasta, sedang
pada masyarakat merupakan kerugian karena biaya yang besar dalam
memperoleh pendidikan. Tindakan masyarakat menyediakan pendidikan
kepada sebagian besar anak-anak yang memerlukan dapat menghindari
pengeluaran yang sangat besar untuk pendidikan.

1.3 Energi, pembangunan Nasional, dan Pilihan Kebijakan


Energi merupakan sumber daya yang penting bagi pembangunan nasional
karena itu tingkat konsumsi energy dapat dipandang sebagai salah satu ukuran
keberhasilan pembangunan suatu Negara. Tingkat konsumsi energy biasanya
ditekankan pada energi komersial yang mempunyai peran penting dalam sector
industry, pertanian, dan jasa. Tolak ukur efisiensi penggunaan energy memang
masih dapat diperdebatkan, tetapu secara umum diterima bahwa tingkat konsumsi
akhir energy per unit Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi merupakan
indicator tingkat pembangunan nasional. Parameter yang umumnya dipakai
adalah energy per kapita. Konsumsi ini dapat dicerminkan tingkat pembangunan
dan struktur ekonomi, khusunya industi suatu Negara.
Negara-negara maju yang memiliki basis industry kuat dengan tingkat
konsumsi energy yang juga tinggi seperti: Amerika Serikat, Australia, Selandia
Baru, dan Jepang. Sedangkan Indonesia masuk dalam kelompok Negara-negara
berkembang dikawasan Asia Pacific sebagai Net eksportit energy mengikuti
Brunei, Australia, dan Malaysia. Sisanya merupakan Negara berkembang
pengimpor energy termasuk kelompok Negara Industri Baru (NIB) terdiri dari
Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura. Negara-negara lain dikawasan
itu juga mempunyai perbedaan mendasar dalam struktur ekonomi dan politik.

6
Dengan pertimbangan prioritas pembangunan nasional maka dapat
ditentukan berbagai pilihan kebijakan energy sebagai berikut:
a. Mengurangi ketergantungan minyak bumi dengan mengurangi impor,
melakukan perubahan kearah teknologi non minyak bumi, dan mengurangi
permintaan minyak bumi.
b. Mengganti minyak bumi dengan batubara lewat promosi pencairan batubara
atau menu teknologi kereta api diesel dengan teknologi mengembangkan
penggunaan tenaga nuklir, kereta api listrik.
c. Secara lebih hati-hati dengan mendorong penelitian teknologi fusi,
meningkatkan factor keselamatan, dan memperkuat perlindungan terhadap
lingkungan.
d. Memperluas penggunaan sumber daya energy tradisional seperti mengganti
bahan bakar komersial minyak tanah dengan kayu bakar dari biomassa.
e. Mempercepat penelitian dan pengembangan teknologi energy non
konvensional seperti tenaga matahari langsung, angin, pembangkit listrik
tenga air mini, dan OTEC
f. Menintensifkan usaha energy dengan mesin efisiensi konversi perangkat
mengguna akhir seperti kompor untuk memasak.
g. Mengindentifikasi teknologi energy tepat guna dan menengah, serta
mengganti energy hemat dengan factor produksi lain seperti tenaga kerja.
h. Mengubah gaya hidup menjadi lebih hemat energy dengan
menggembangkan pendidikan konsumen, motivasi social politik, dan
perubahan teknologi.
i. Mengontrol tingkat pertumbuhan penduduk khususnya Negara-negara
berkembang yang miskin dengan menyediakan dan insentif.
j. Menyusun perencanaan energy secara sistematis dengan memilih perangkat
analisa yang terbaik dan tepat, memperbaiki kualitas data, dan
merampingkan aturan kelembagaan.
Seberapa jauh pilihan tersebut mencerminkan dalam kebijakan energy
nasional sangat tergantung pada keadaan energy, situasi ekonomi, dan
kepentingan social politik suatu negara. Setiap negara perlu mempertimbangkan
sendiri langkah kebijakan yang paling menguntungkan dalam jangka panjang.

7
1.4 Formulasi Kebijakan Energi Nasional

Formulasi kebijakan energy mencakup berbagai kegiatan yang sangat luas.


Sifatnya terkait erat dengan manajemen penawaran-permintaan energy (kebijakan
inti) dan industry energy (kebijakan umum).

Kebijakan umum sifatnya sangat luas karena mencakup kebijakan yang


diperlukan untuk mendorong perkembangan industry energy, sementara kebijakan
inti terkait erat dengan manajemen penawaran-permintaan. Beberapa kebijakan
umum yang penting diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kebijkan insentif dan Kebijakan disinsentif
Kebijakan insentif ditujukan untuk merangsang kegiatan industry energy
karena kegiatan industry energy tidak terbatas pada kegiatan inti energy.
Seperti eksplorasi, eksploitasi, proses, distribusi dan pemasaran, juga
mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkage) dan kebelakang
(backward linkage). Kegiatan ini tidak hanya didorong untuk sarana dan
prasarana kegiatan industry energy, tetapi juga dingunakanuntuk
meningkatkan nilai tambah pembangunan nasional. Slaah satu bentuk insentif
ekonomi adalah penerapan keringanan pajak. Hal ini agar indusri energy
nasional dapat eksis bersaing di pasar dalam negeri dan internasional.

8
Kebijakan disinsentif dipergunakan untuk menghambat atau membatasi
pengembangan industry energy. Penerapan biasanya dilakukan setelah
melalui berbagai pertimbangan tertentu. Kebijakan disinsentif terutama
diberikan kepada jenis jenis energy yang tidak disarankan untuk
dikembangkan atau dimanfaatkan lebih jauh karena lasana tertentu. Suatu
Negara yang memiliki cadangan minyak bumi yang terbatas dapat saja
menerapkan disinsentif untuk pemakai minyak bumi dan member insentif
bagi pemakaian energy alternative lain.
b. Kebijakan standarisasi dan sertifikasi
Tujun diterapkan kebijakan ini adalah untuk mewujudkan jaminan
kualitas barang dan jasa. Sehingga pihak konsumen akan menikmati manfaat
kepastian barang yang dikonsumsi telah memenuhi kualitas standard tertentu.
Standard yang diberlakukan umumnya mengacu kepada perumusan dengan
skala internasional. Kegiatan standarisasi juga tidak dapat dipisahkan dengan
tingkat akreditasi dan sertifikasi. Sertifikasi tertutama berfungsi sebagai
pengakuan pasar energy internasional. Kegiatan sertifikasi memerlukan
dukungan lembaga atau institusi yang mengeluarkan sertifikasi.

c. Kebijakan pengembangan infrastruktur


Kebijakan pengembangan infrastruktur bertujuan untuk mendukung
pengembangan dan pemanfaatan energy dari lokasi cadangan samapi
konsumen akhir. Karena seringkali lokasi cadangan energy ditemukan di
daeah yang jauh dari kota, ditengah hutan, dipegunungan, dan tempat lain
yang sulit dijangkau. Karena itu produsen energy perlu mengembangkan
infrastruktur untuk kepentingan operasi produksi dan jaringan transportasi.
Kegiatan yang sebenarnya merupakan kepintingan langsung pihak produsen
energy itu secara tidak langsung memberi dampak positif bagi pembangunan
daerah. Dengan demikian kebijakan pengembangan infrastruktur energy
harus dapat sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam masalah
pengembangan daerah. Dalam hal itu produsen energy perlu mendapatkan
insentif.

9
d. Kebijakan pengalihan teknologi
Kebijakan pengalihan teknologi (transfer of technology) terutama
ditunjukan meningkatkan kemampuan nasional dibidang penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi energy. Tujuannya adalah menggembangkan
industry yang terkait dengan jasa dan teknologi energy. Sebagaimana
diketahui, salah satu cirri industry energy adalah penggunaan teknologi
tinggi, teknologi itu biasanya dimiliki banyak para investor energy asing.
Teknologi mereka dapat dipakai dalam pengembangan energy. Mereka perlu
didorong melakukan alih teknologi untuk meningkatkan kemampuan
nasional.

e. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia


Kebijakan pengembangan sumber daya manusia terutama bertujuan
meningkatkan kualitas SDM yang ada. Kualitas SDM yang tinggi amat
diperlukan agar industry energy dapat berkembang. Industry energy domestic
pun mampu tumbuh dan mampu bersaing dipasar internasional. Kebijakan
demikian perlu terus menerus bila mengingat perkembangan pesat teknologi
melalui lembaga pendidikan dan pelatihan didalam maupun luar negeri atau
pusat pengkajian dan pengembangan industry energy internasional serta
industry terkait.
Sementara kebijakan inti dibagi menjadi dua yaitu kebijakan inti sisi
penawaran dan kebijakan inti sisi permintaan. Kebijakan inti sisi penawaran
berhubungan erat dengan kelangsungan penyediaan energy primer pada
bagian hulu (upstream) dan energy skunder pada bagian hilir (dounstream).
Termasuk dalam kebijakan ini adalah kegiatan eksplorasi (energy primer)
eksploitasi (energy primer), prosesing (energy skunder), dan ekspor impor
energy (energy primer dan skunder). Sementara kebijakan inti sisi permintaan
berhubungan erat dengan permintaan energy primer dan skunder konsumen
akhir. Termasuk di sini kebijakan dalam kegiatan diversifikasi (energy primer
dan skunder konservasi energy dan indeksasi (energy skunder).

10
Disamping itu ada pula kebijakan yang secara langsung mempengaruhi
kegiatan sisi penawaran dan sisi permintaan, yaitu kebijakan yang terkait
dengan pembentukan mekanisme pasar (energy primer dan energy skunder)
dan kebijakan pengaturan lingkungan hidup (energy primer dan energy
skunder). Table 2.1 memuat berbagai kebijakan inti energy dari sisi
penawaran dan sisi permintaan.

Table 2.1 Kebijakan Inti Energi


Kebijakan Sisi Penawaran
 Intensifikasi dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi
 Optimalisasi dengan memproduksi energy pada tingkat ekstraksi optimal
 Prosesing untuk memproduksi energy skunder
 Konservasi untuk kontiunitas penawaran dengan cara hemat energy
sehingga dapat digunakan untuk generasi berikutnya
 Impor ekspor untuk penerimaan devisa dengan melakukan impor ekspor
energy

Kebijakan Sisi Permintaan


 Diversifikasi untuk menganekaragamkan pemakaian energy dan tidak
bergantung pada jenis energy tertentu
 Konservasi untuk menghemat pemakaian energy dengan tetap
mempertahankan output semula
 Indeksasi jenis energy tertentu untuk jenis pemakaian tertentu

Kebijakan Sisi Permintaan-Penawaran


 Mekanisme pasar untuk mewujudkan keseimbangan produsen dan
konsumen dalam menyediakan dan memakai energy (Instrument yang
ampuh dengan penetapan harga keseimbanga – harga efisien)
 Lingkungan hidup untuk mengurangi dampak negative akibat produksi
dan konsumsi energy

11
1.5 Keterkaitan Kebijakan Energi dan Perencanaan Energi
Negara maju maupun negara berkembang sejak terjadinya krisis energy mulai
melakukan perencanaan energy secara lebih matang. Tetapi banyak pula ditemui
kebijakan energy yanga harus menyesuaikan dengan kebijakan lain di luar negeri.
Dapat merintangi perencanaan energy yang lebih efektif dan juga berakibat pada
perencanaan ekonomi nasional.
Untuk itu perlu ada konsep perencanaan energy terpadu yang disusun untuk
mengatasi hal-hal tersebut. Secara sederhan perencanaan energy terpadu dapat
dijelaskan sebagai analisa terhadap berbagai masalah energy secara dalam
kesatuan kebijaksanaan. Dengan demikian dapat dihasilkan solusi energy nasional
yang optimal dalam jangka panjang.
Dan terdapat dua tahapan analisa kebijaksanaan hasil perencanaan energy.
Tahapan pertama adalah pengembangan pilihan kebijakan dan tahapan berikutnya
adalah penentuan pilihan kebijakan. Tahapan pertama terkait dengan hasil
proyeksi terutama scenario permintaan dan pilihan penawaran dalam kerangka
ekonomi. Hasil utama proyeksi awal itu adalah neraca penawaran-permintaan
energy. Selanjutnya dibahas dampak kebijaksanaan energy hasil dari berbagai
scenario ekonomi, terutama investasi yang diperlukan dan dampak terhadap
lingkungan hidup.
Scenario permintaan energy yang dibangun mengandung berbagai parameter
ekonomi, geografi, demografi, dan teknis. Berbagai metodologi yang dipakai
untuk mengembangkan scenario itu dapat menggunakan cara sederhana sampai
yang rumit seperti model simulasi. Disamping ketersediaan data dan pendekatan
yang diapakai, diperlukan telaah yang cermat akan kecenderungan dimasa depan
dengan membangun scenario permintaan energy yang realistis. Pilih disisi lain,
menyajikan suatu gambaran penawaran energy, ketersediaan sumber daya dengan
berbagai pilihan teknologi, sebagian besar didasarkan pada informasi teknis dan
perkiraan biaya terkait. Perkiraan biaya tidak dapat secara mudah
diperbandingkan antara sumber daya energy yang tidak dapat diperbarui dengan
sumber daya energy yang dapat diperbarui. Sumber daya energy yang tidak dapat
diperbarui sudah mampu diproduksi dalam skala ekonominya dengan teknologi
yang tersedia. Sedangkan energy yang dapat diperbarui, khususnya energy

12
nonkonvensional seperti tenaga matahari photovilatic, masih belum dapat
diproduksi skla ekonomi hingga harga kelayakan atau harga ambang untuk
memasuki pasar kompetitif masih cukup tinggi.
Hasil pendekatan yang dipilih untuk membuat proyeksi permintaan dan
penawaran cenderung tidak menggunakan model persamaan simultan dalam skala
besar menuju yang lebih sederhana atau pendekatan modular mengaitkan berbagai
elemen melalui model simulasi. Pemggunaan model yang praktiknya berbeda
memberikan hasil yang juga berbeda. Hasil yang berbeda dalam scenario
permintaan memberikan implikasi cukup luas pada scenario penawaran dan
kebijakan energy yang dipilih.
Tujuan kedua menyangkut pilihan kebijakan untuk mencapai keseimbangan
antara penawaran dengan permintaan energy, serta untuk mengatasai
keseimbangan ekonomi secara keseluruhan manajemen energy seperti itu
dihadapkan pada pilihan sisi penawaran maupun permintaan. Perhatian lebih besar
biasnya dicurahkan pada sisi permintaan karena keberhasilannya lebih cepat
diacapai.
Neraca penawaran-permintaan harus luwes dapat disesuaikan berulang-ulang
dengan perubahan yang mungkin terjadi di masa depan. Neraca yang dipilih
sebagai patokan dasar dalam suatu sistem ekonomi perlu memperhatikan tingkat
sensitivitas sebagai parameter utamanya. Dengan neraca tersebut dapat
dikembangkan sebagai scenario bhan bakar dan teknologi untuk memenuhi
scenario permintaan energy. Terkait disini adalah kemungkinan kebijaksanaan
impor dan ekspor energy suatu negara.
Kedua tahapan tersebut yang merupakan elemen analisa kebijaksanaan dalam
proses perencanaan energy terpadu saling melengkapi. Kerangka kerja yang
pertama adalah suatu pendekatan simulasi mengkaji alternative keseimbangan
penawaran dan permintaan energy. Tahapan kedua menekankan kajian berbagai
pilihan parameter kebijakan penawaran dan permintaan energy tingkat nasional
dan sektoral. Hasil alternative scenario penawaran dan permintaan pasti
menghasilkan lebih dari satu neraca permintaan penewaran. Kepentingan utama
disini adalah untuk mencapai gambaran sistem penawaran yang sesuai dengan
scenario permintaan hal tersebut mengakibatkan setiap alternative neraca

13
penawaran-permintaan akan mengindikasikan sistem penawran yang berbeda.
Pembentukan alternative sistem penawaran dimulai dengan mengembangkan
kelayakan teknis dan konsisten dengan proyeksi permintaan yang telah
ditentukan. Alternative sistem penawaran ini kemudian dikembangkan menjadi
scenario ekonomi yang memungkinkan sistem penawaran energy kedepan dapat
terpenuhi.

1.6 Interaksi Kebijakan Energi dan Kebijakan Ekonomi Nasional

Salah satu masalah penting dalam memformulasikan kebijakan energy


adalah soal kesepakatan jangka waktu. Kebijaksanaan sisi penawaran,
perencanaan, dan pelaksanaan pada umumnya berjangka waktu dua puluh tahun
kedepan atau lebih. Sementara perencanaan pembangunan ekonomi nasional
cenderung memiliki jangka waktu yang pendek, umumnya sekitar lima tahun.
Pelaksanaan dan pengkajian ulang kebijakan energy sering dilakukan dari waktu
ke waktu. Sebaiknya saat itu pula dilakukan penyesuaian dengan kebijakan
pembangunan ekonomi nasional. Iteraksi kebijakan energy dengan kebijakan
ekonomi dapat terjadi dua arah, yaitu dampak kebijakan energy terhadap sistem
ekonomi secara makro dan dampak kebijakan ekonomi terhadap industry energy
nasional.

1.6.1 Kebijakan Energi terhadap Sistem Ekonomi Nasional

Kebijakan ini menggambarkan konsekuensi kebijakan energy terhadap sistem


perekonomian nasional. Ada dua hal penting yang berkaitan langsung dengan
sector energy, yaitu diantaranya:
 Penentuan total kebutuhan investasi, yang ditekankan disini adalah
penentuan prioritas investasi dan pengidentifikasian hal-hal yang
berhubungan dengan proyek pengembangan dan pemanfaatan energy. Hal
tersebeut mengarah pada besarnya kebutuhan biaya investasi dalam sector
energy criteria investasi memiliki factor keterbatasan kapasitas dan
mobilitas sumber dana. Factor keterbatasan kapasitas adalah batas atas suatu
alokasi dimana sector energy dipandang sebagai bagian dari beberapa
sumber daya nasional. Factor mobilisasi sumber dana merujuk pada

14
kebutuhan pembiayaan yang mungkin melibatkan pinjaman luar negeri.
Batas atas investasi maupun keragaman dan keluasan sumber sumber
pendanaan tergantung alternative sistem penawaran berdasarkan criteria
tekno-ekonominya.
 Mencakup pertimbangan dampak negative terhadap lingkungan hidup
karena kebijakan energy. Metodologi dampak energy terhadap lingkungan
mebantu memformulasikan scenario energy lingkungan dalam sistem
ekonomi. Implikasi sistem penawaran dan permintaan energy sudah ada
dalam bentuk perundang undagan tentang ambang batas polusi atau garis
besar kebijakan yang berhubungan dengan jenis teknologi tertentu, seperti
energy teknologi nuklir. Pada tingkat proyek, analisa dampak lingkungan
perlu lebih banyak dilaksanakan untuk mencap keadaan keseimbangan
energy dan lingkungan.

1.6.2 Kebijakan Ekonomi terhadap Sistem Energi Nasional

Beberapa kebijakan ekonomi yang jelas memberikan dampak langsung


terhadap sector energy diantaranya:

 Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiscal yang terutama adalah pajak (T) dan anggaran
belanja pemerintah (G). kebijakan pajak perusahaan energy disamping
mengikuti perartuan perpajakan yang ada, harus dilengkapi dengan
peraturan perpajakan khusus yang hanya berlaku untuk produsen energy
(lex/spesialis). Disamping dirancang untuk menyerap rente ekonomi yang
biasa diperoleh produsen, peraturan khusus itu juga dimaksudkan menyerap
rente ekonomi yang terkait dengan SDA (resourceren). Dengan demikian
banyak dijumpai peraturan perpajakan dalam pengusahaan energy yang
bersifat khusus dibandingkan dengan komiditi lainnya. Besarnya
penerimaan pemerintah merupakan bagi hasli keuntungan yang diserahkan
perusahaan energy. Besar yang diterima sama dengan pajak yang berlaku
umum ditambah resourcerent. Resourcerent dapat diambil lewat royalty
berdasarkan produksi kotor atau berdasarkan keuntungan bersih perusahaan

15
energy. Perubahan peraturan perpajakan yang menyangkut besarnya
persentase pajak perusahaan (taxrate) tidak akan mempengaruhi secara
langsung keuntungan yang diterima produsen bagi hasil yang diterima
pemerintah disepakati pakan bagian yang tetap. Dengan demikian kenaikan
pajak dapat diartikan sebagai penurunan porsi resourcerent.
Negara Negara industry sudah menerapkan pajak industry. Pajak
semacam itu, disamping pajak yang berlaku umum, dikenakan kepada
konsumen energy. Penerapan pajak dimaksudkan meningkatkan penerimaan
dari konsumsi energy. Dana yang diperoleh dipakai untuk menangani
masalah lingkungan. Penerapan pajak demikian dikhawatirkan mengurangi
konsumsi energy yang pada giliriannya mengurangi produksi energy yang
mengandung kadar pencemar tinggi. Disamping itu Negara-negara
berkembang masih menyangsikan apakah peningkatan pajak memang benar
digunakan untuk mengatasi soal lingkungan atau sekedar menambah
penirimaan Negara dengan memakai dalil lingkungan.
Angggaran yang dipakai untuk belanja pemerintah akan
mempengaruhi perkembangan sector energy besar kecil pengaruhnya
tergantung alokasi anggaran masing-masing sector ekonomi yang sedikit
banyak mempunyai kaitan dengan sector energy. Sector industry
memmerlukan sumber daya energy yang lebih besar daripada sector
pertanian, sehingga pengembangan sector industry akan memberi dampak
besar terhadap pemakiaan energy. Disamping pengaruh langsung alokasi
pembiayaan pemerintah terhadap sector energy, juga ada pengaruh tidak
langsung berbagai sector yang sensitive terhadap pemakaian energy.
Keterkaitan sector energy dengan anggaran pembiayaan pemerentah
biasanya bila telah menyangkut kepentingan piblik secara langsung (public
utility). Dalam banyak hal sector energy disini sudah dapat dikelola secara
mandiri, bahkan tidak jarang member kontribusi terhadap penerimaan
Negara lewat devisa ekspor maupun pajak energy. Sector energy seperti itu
biasanya terkait dengan kegiatan hulu. Jika suatu sistem perekonomian
masih menerapkan subsidi energy dalam sistem anggaran pemerintahan

16
maka alokasi untuk keperluan pembiayaan pengembangan menjadi
berkurang.

 Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang utama adalah kebijaksanaan suku
bunga(i) dan jumlah uang beredar (M). besarnya suku bunga akan
mempengaruhi iklim investasi. Hal demikian juga terjadi dalam sector
energy. Perusahaan memerlukan tingkat pengembalian modal yang cukup
tinggi dalam pengusahaan energy. Tingkat pengembalian modal itu
ditunjukkan dengan besarnya Internal Rate of Return (IRR) yang diminta
perusahaan energy. IRR yang tinggi diperlukan untuk membayar kembali
suku bunga pinjaman dan pengusahaan energy yang mempunyai resiko
cukup tinggi. Risiko yang disertai penggunaan padat modal memerlukan
marjin (spread) cukup besar antara suku bunga pinjaman dengan IRR. Jika
suku bunga pinjaman mningkat, marjin dengan IRR akan megecil sehingga
risiko proyek meningkat. Karena itu perusahaan energy memerlukan tingkat
suku bunga yang stabil dan wajar sehingga perusahaan mampu
mengembangkan dan memanfaatkan energy dengan keuntungan yang wajar.
Besarnya jumlah uang beredar (money supply,M) akan memengaruhi harga
barang dan jasa (P=M.Y). Dampak harga barang dan jasa terlihat pada daya
beli masyarakat tidak terkecuali untuk produk akhir energy seperti listrik,
gas bumi, dan BBM. Gejolak perubahan uang yang beredar memeang sangat
terasa dinegara erkembang yang belum mempunyai fundamental ekonomi
kokoh. Operasi pasar yang dilakukan bank sentral akan sangat menentukan
jumlah peredaran mata uang Negara bersangkutan operasi tersebut
dilakukan lewat pengaturan suku bunga bank sentral yang kemudian
memengaruhi suku bunga pasar. Kebijaksanaan tersebut semata-mata tidak
didasarkan pada per timbangan sektoral, tetapi lebih pada pertimbangan
ekonomi nasional. Karena itu kebijakan yang ditempuh dapat saja memberi
dampak kurang menguntungkan bagi sector energy. Di sisi lain harga
produk akhir energy tidak dapat disesuaikan dengan keinginan produsen
energy untuk mengatasi tingkat inflasi yang membumbung tinggi. Di sini

17
berlaku peran pemerintah terutama di Negara berkembang yang lebih
mengutamakan kesejahteraan masyarakat (konsumen) dan demi stabilitas
ekonomi nasional. Meningkatnya uang yang beredar merangsang konsumen
untuk membelanjakan uangnya dan mendorong kenaikan harga barang dan
jasa. Kenaikan harga atau inflasi membuat harga riel barang dan jasa jadi
merosot.
 Kebijakan Sektor Barang dan Jasa (riel).
Berbagai kebijakan sector barang dan jasa (riel) sedikit banyak
mempengaruhi sector energy. Sector riel adalah sector untuk memproduksi
barang dan jasa yang didukung oleh sistem produksi dan investasi. Dengan
demikian peran investasi menjadi amat sangat penting dalam
mengembangkan sector riel. Karena keterbatasan dana domestic,
penambahan sector riel sebagian besar Negara berkembang dilakukan
terlebih dahulu dengan cara mengundang investor internasional. Kebijakan
insentif untuk menciptakan iklim yang menarik bagi investor akan
mendorong aliran modal masuk kesuatu Negara. Kebijakan itu dapat
menggunakan instrument jalan ekonomi/non-ekonomi. Kebijakan menarik
investasi asing perlu memperhitungkan perkembangan yang terjadi diluar
sistem ekonomi, sehingga kebijakan yang dibangun dapat menciptakan daya
saing terhadap sistem ekonomi yang lain. Iklim kondusif yang diinginkan
para investor asing tidak hanya menyangkut nanti ekonomi semata, tetapi
social dan politik. Resiko yang dihadapi mereka tidak hanya sebatas
ekonomi, tetapi juga social dan politik. Dengan demikian kebijakan sector
riel member dampak langsung maupun tidak langsung terhadap
perkembangan sector energy.

1.7 Kebijakan Energi Negara Industri

Konsumsi energy Negara industry dari tahun ke tahun terlihat cukup tinggi.
Persediaan domestic ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan energy yang
terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka harus melakukan
impor. Kebijakan impor terutama tidak tergantung pada suatu Negara pengekspor
saja. Impor mereka bahan mentah, sehingga industry hilir di Negara itu dapat

18
berkembang dan mendapatkan nilai tambah. Dengan adanya kebijakan
diversifikasi impor, dapat mengendalikan harga dan ketergantungan energy dari
satu sumber. Amerika contoh sebuah Negara yang tidak mengantungkan
kebutuhan minyak hanya dari anggota Negara OPEC Amerika juga melakukan
impor dari Negara non OPEC. Ketergantungan ekonomi Negara-negara Amerika
selatan dan tergantung keamanan Negara-negara Timur Tengah merupakan nilai
tawar yang dimiliki Amerika Serikat untuk jaminan persediaan minyak dari kedua
kawasan tersebut.
Pengalaman masa silam menunjukkan sering terjadinya gangguan persediaan
energy, terutama minyak bumi. Gangguan tersebut memberi dampak cukup serius
bagi perkembangan ekonomi nasional industry. Mereka ini kemudian
mengembangkan kebijakan strategic petroleum reserves (SPR). Minyak bumi
diimpor saat persediaan berlimpah dam harganya rendah. Beberapa diantara
mereka bahkan mengembangkan cadangan buatan dengan menyuntik minyak
impor kedalam perut bumi. Lokasi geologi yang dipilih biasanya kedap dan dapat
menyerap minyak bumi. Lokasi geologi yang dipilih biasanya kedap dan dapat
menyerap minyak bumi. Struktur seperti itu dikenal sebagai salt dome (kubah
garam). Kebijakan yang mereka kembangkan sampai saat ini, mengingat
pertimbangan teknis dan ekonomis, adalah SPR yang mampu member kontiniutas
persediaan selama 100 hari (sekitar 3 bulan). Bila terjadi gangguan persediaan
atau embarg Negara pengekspor minyak, Negara industry masih dapat bertahan
selama 100 hari dan, selama itu, cukup waktu untuk mencari jalan keluar dari
gangguan persediaan.
Kebijakan energy domestic untuk mengontrol impor energy bila terjadi
gangguan penyediaan yang dapat menyebabkan harga energy naik drastic adalah
dengan menerapkan kebijakan harga yang diatur pemerintah (regulated pricing
control). Kebijakan tersebut sudah pernah diterapkan Amerika Serikat saat terjadi
krisis minyak. Peganturan harga energy domestic ditujukan untuk memindahkan
surplus produsen ke konsumen. Pertimbangan penetapan harga energy domestic
itu adalah biaya memproses energy primer menjadi energy skunder industry di
hilir dibiarkan tetap bertahan. Untuk itu pemerintah perlu memberi subsidi agar
produsen energy domestic masih dapat memproduksi energy. Besar kecilnya

19
subsidi merangsang produsen energy memenuhi kebutuhan energy domestic.
Namun penerapan harga yag dikontrol tetap merugikan pihak produsen energy
(dead weight loss for producer).
Negara industry menggunakan energy cukup besar untuk mendukung
kegiatan industry yang sudah berlangsung sejak revolusi industry. Konsumsi
energy terutama dari penggunaan energy fosil yang member kontribusi besar
terhadap pencemaran lingkungan.kebijakan meminimalisasi dampak negative
terhadap lingkungan hidup kemudian menjadi perhatian utama Negara-negara
industry. Berbagai kebijakan energy seperti yang diimplementasikan Negara-
negara berkembang juga terdapat di Negara industry. Beberapa diantaranya
konservasi energy, penelitian dan pengembangan teknologi energy, serta
standarisasi dan ekolabeling. Karena ketersediaan dan alokasi yang lebih baik,
implementasi kebijakan energy tersebut terasa lebih operasional dinegara-negara
industry.

1.8 Kebijakan Energi Indonesia

Formulasi kebijakan energy pertama kali muncul pada 1976. Tujuannya


waktu itu adalah memaksimalkan sumber daya energy. Pemerintah kemudian
membentuk BAKOREN (Badan Koordinasi Energi Nasional), suatu badan
setingkat departemen yang bertanggung jawab memformulasikan kebijakan
energy dan mengkoordinasikan implementasi kebijakan ini.
Berbagai kebijakan energy secara khusus dikeluarkan BAKOREN dalam
paket yang dikenal sebagai Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE). Paket
ini terus menerus diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis lingkungan
yang mempengaruhi pembangunan energy Indonesia. KUBE dalam kaitannya
dengan pembangunan nasional mengalami pembaruan dan disesuaikan dengan
tujuan pembangunan nasional. Dengan cadangan energy yang beraneka ragam
kebijakan sisi penawaran seharusnya perlu terus menerus didorong. Di samping
itu, kebijakan optimalisasi dan konservasi energy perlu terus dilakukan untuk
mendapatkan tingkat produksi yang optimal.
Kebijakan energy sebenarnya dapat dirinci menjadi kebijakan lebih khusus
yang bertujuan antara lain menjamin pasokan yang berkesinambungan dengan

20
mengoptimalkan pemanfaatan dan alokasi sumber daya energy. Kedua,
mengoptimalkan pemanfaatan sumber energy fosil sebagai bahan bakar maupun
sebagai bahan baku agar diperoleh nilai tambah maksimal. Ketiga, mendorong
upaya penyediaan energy secara lebih merata. Keempat, mendorong dan
meningkatkan upaya ekspor jasa dan teknologi energy. Kelima, meningkatkan
upaya komersialisasi pemanfaatan energy baru dan terbarukan serta peningkatan
pemanfaatan energy setempat (in-situ energy). Keenam, mengerahkan
penggunaan energy di sector transportasi agar lebih efisien, beragam, dan bersih.
Ketujuh, menyertakan dan mempertimbangkan aspek lingkungan hidup mulai dari
kegiatan eksploitasi sampai pemanfaatan akhir.

Gambar 2.2 merupakan kebutuhan energy final per sector Indonesia periode
2010-2050. Peningkatan kebutuhan energy final per sector selalu terjadi setiap
tahun pada periode 2010-2015, kecuali pada tahun 2030 dan 2040. Rata. Dengan
antisipasi murahnya pertumbuhan ekonomi masa depan maka permintaan energy
juga akan semakin meningkat. Untuk itu hal yang perlu ditekankan dalam
pembangunan energy adalah pada sisi permintaan dengan melakukan
penghematan dan mengoptimalisasikan penggunan energy. Keadaan eografis
Indonesia sebagai Negara kepulauan menimbulkan masalah disparitas
pembangunan. Pembangunan energy diharpkan dapat mendukung percepatan
pemerataan pembangunan apalagi undang-undang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah (PKPD) yang telah diberlakukan dapat member dana tambahan
pembangunan bagi daerah yang memunyai potensi energy.

21
Devisa ekspor Indonesia selama kurun waktu 20 tahun silam didominasi
hasil ekspor minyak dan gas bumi. Karena permintaan domestic meingkat pesat
dan keperluan mendapatkan devisa, tingkat pengurasan sumber daya energy
terutama minyak dan gas bumi dilakukan dengan sangat tinggi. Itu
menggambarkan kebijakan yang hanya mengarah pada kegiatan pengurasan
semaksimal mungkin dengan mengabaikan prinsip pembangunan yang
berkelanjutan seharusnya perlu diperhatikan keseimbangan pengurasan cadangan
minyak dan gas bumi dengan tersedianya cadangan energy yang lain.
Ketergantungan berbagai sector energy domestic hanya pada minyak bumi
perlu terus dikurangi. Dengan cadangan semakin menipis sementara permintaan
terus meningkat, pemanfaatan minyak bumi perlu diusahakan seefisien mungkin
dan seefektifnya. Sejalan perkembangan kebijakan energy dengan itu perlu ada
energy alternative lain sehingga ketergantungan pada minyak bumi dapat
berkurang. Penggunaan gas bumi perlu ditingkatkan dalam sector industry dan
transportasi domestic. Indoneisa memiliki cadangan gas bumi yang tesebar cukup
besar. Kebijakan pemanfaatan gas bumi seperti LNG,LPG,CNG dan NG untuk
memenuhi keperluan domestic secara bertahap perlu diarahkan untuk membangun
industry gas dalam negeri. Adapun cadangan batubara yang cukup besar perlu
didukung oleh kebijakan yang kondusif untuk ekspor dan pengembangan konversi
batubara cair dan gas dapat dijadikan energy alternative untuk memenuhi
permintaan domestic.
Kebijakan mengembangkan energy baru dan yang dapat diperbaruiperlu
terus dikembangkan. Jenis energy tersebut pada saat ini belum dapat memenuhi
skala keekonomian pengembangannya sehingga masih tergantung subsidi
pemerintah. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, jenis energy alternative
tersebut diharapkan dapat dikembangkan besar-besaran sehingga dapat memenuhi
criteria keekonomiannya.

1.9 Kemandirian Energi Industri Indonesia

1. Potensi cadangan energi minyak


Pada tahun 2013 cadangan minyak bumi Indonesia mencapai 7.549,81
million stocks tank barrels (MMSTB), terdiri dari cadangan terbukti 48,9%

22
dan cadangan potensial 51,1%. Jika cadangan terbukti minyak bumi tersebut
dibagi dengan produksi minyak bumi tahun 2013 yaitu 301,10 million barrels
(mb) maka akan bertahan selama 12,26 tahun. Namun, jika cadangan terbukti
tersebut mampu ditingkatkan dari cadangan potensial maka ketahanan energi
minyak bumi akan meningkat dua kali lipat.
Hingga saat ini, Pertamina masih mengoperasikan 8 kilang minyak dari 10
kilang minyak yang ada di dalam negeri. Meskipun Pertamina memiliki
kilang lebih banyak namun belum mampu menjamin ketersediaan pasokan
minyak. Hal ini disebabkan karena penurunan produksi minyak bumi dari
tahun ke tahun. Sebagai contoh dalam kurun waktu 2004-2012 produksi
menurun dari 400,4 menjadi 314,6 kilo barel per hari. Penurunan produksi
tersebut disebabkan berkurangnya produksi sumur-sumur yang sudah ada
secara alamiah seperti di lapangan Duri-Minas dan terbatasnya penemuan
sumur-sumur baru.

2. Potensi cadangan energi gas bumi


Cadangan gas bumi nasional per tahun 2013 mencapai 150,39 trilion
standard cubic feet (TSCF), terdiri dari cadangan terbukti 67,5% dan
cadangan potensial 32,5%. Dengan tingkat produksi sebesar 2,96 TSCF pada
tahun 2013, dapat diperkirakan bahwa cadangan gas bumi Indonesia akan
habis dalam waktu 34 tahun ke depan. Meskipun sampai dengan saat ini
produksi gas Indonesia sudah sangat besar, Indonesia masih diperkirakan
memiliki potensi sumber gas yang cukup besar.
Pada pasar hulu gas bumi, ada sepuluh perusahaan yang menghasilkan
85% dari total pangsa pasar hulu Indonesia, salah satunya ialah Pertamina
Ltd. yang hanya menghasilkan gas bumi sebesar 12,9%. Oleh karena itu,
untuk meningkatkan produksi gas domestik sejalan dengan kemandirian
energi, pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih serius kepada
Pertamina sebagai perusahaan minyak berkelas dunia. Kepercayaan penuh
kepada BUMN tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan kontrak kerja
Pertamina Ltd. sebagai operator gas dan peningkatan keterlibatan dalam
proyek pengembangan lapangan gas Indonesia.

23
3. Konsumsi dan Proyeksi Energi Nasional
Sektor industri, rumah tangga dan transportasi merupakan sektor yang
paling banyak menyerap energi final hampir mencapai 95%. Untuk mengatasi
semakin tingginya laju konsumsi energi nasional harus didukung oleh
ketersediaan sumber energi yang berkelanjutan. Beberapa solusi yang dapat
dipertimbangkan yaitu dengan meningkatkan jumlah produksi energi migas
dan memanfaatkan serta mengoptimalkan energi baru dan terbarukan (EBT)
dengan berbagai kebijakan strategis.
Kontribusi energi fosil terhadap proyeksi kebutuhan energi nasional
menurut skenario Kebijakan Energi Nasional (KEN) akan berkurang menjadi
76% (2020), 74% (2025), 71% (2030), 68% (2045) hingga 67% (2050).
Artinya terjadi pengurangan ketergantungan energi fosil hingga 16%. Namun
jika mengaju pada skenario Business as Usual (BaU), tanpa kebijakan energi
nasional maka pengurangan energi fosil hanya 7% saja.

4. Potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT)


Biodisel dan bioetanol sangat berpotensi untuk menggantikan peran BBM
dalam sektor transportasi sebagai sektor terbesar kedua pengguna energi final.
Tingginya kebutuhan EBT disebabkan kondisi pada masa mendatang seluruh
BBM, khususnya bensin, minyak solar, dan avtur yang beredar di pasaran
sudah dicampur dengan bahan bakar nabati dengan besar campuran biodiesel
dan bioetanol mulai tahun 2025 masing-masing sebesar 30%, dan 20%,
sedangkan bio avtur sebesar 10% mulai tahun 2030.
Jenis EBT lainnya, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 28.910
MW yang terdiri dari cadangan dan sumber daya panas bumi yang tersebar di
312 lokasi. Potensi tenaga hidro yang tersedia saat ini mencapai 75.000 MW
yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia dengan kapasitas
terpasang pembangkit listrik tenaga air (termasuk PLT-Minihidro dan PLT-
Mikro Hidro) mencapai 7.573 MW (masih 10%), bisa dibayangkan apa yang
akan terjadi jika semua potensi hidro ini sudah terpasang, kebutuhan energi
pasti tercapai. Potensi biomassa mencapai 32.654 MW, dengan kapasitas
terpasang 1.716 MW. Potensi biogas yang berasal dari hewan ternak seperti
sapi dan kambing dapat menghasilkan 2,3 juta SBM biogas. Potensi lainnya

24
adalah tanaman pangan dan perkebunan yang menghasilkan limbah cukup
besar dan dapat dipergunakan untuk keperluan lain seperti bahan bakar nabati.
Sementara itu, sumber daya energi surya sebesar 4,80 KWh/M2/hari, energi
angin sebesar 3-6 m/s, energi laut sebesar 49 GW dan potensi listrik dari
uranium sebesar 3.000 MW. Jika potensi EBT ini sudah dioptimalkan
sebesar-besarnya maka sangat besar kemungkinan Indonesia akan mandiri
energi. Sangat tidak masuk akal jika negeri kita yang sangat melimpah akan
sumber daya alam kekurangan energi. Oleh karena itu diperlukan kerjasama
antara Pemerintah, Pertamina dan Masyarakat Indonesia
Selain energi terbarukan, Pertamina juga masih fokus pada peningkatan
produksi migas melalui berbagai kebijakan strategis untuk membantu
pemerintah dalam mengurangi ketergantungan impor BBM, menjamin
ketersediaan energi yang mandiri yang pada akhirnya akan mendorong
percepatan pembangunan di berbagai sektor. Pertamina telah mengambil
langkah visioner untuk menjadikan perusahaannya menjadi perusahaan
minyak nasional yang berkelas dunia, hal ini sangat penting untuk
menghadapi kompetitor global yang semakin kompetitif.

1.10 Kemandirian Energi Nasional yang Berkelanjutan


PT. Pertamina (Persero) merupakan salah satu BUMN primadona yang
posisinya sangat strategis dalam menentukan ketahanan energi nasional.
Selama 58 tahun, PT. Pertamina (Persero) telah bekerja keras dalam
mengeksplorasi, mengolah dan mendistribusikan pasokan energi hingga ke
pelosok nusantara.

Dalam merayakan HUT 58 Pertamina, perusahaan minyak nasional ini


mengusung harapan dan semangat baru, mengajak semua lapisan masyarakat
untuk mewujudkan kemandirian energi nasional. Setelah mengalami
transformasi dari regulator menjadi regular player sebagai konsekuensi dari
UU No. 22 tahun 2001, Pertamina mengusung visi sebagai World Class
National Oil Company. Kiprah perdana Pertamina di luar negeri dimulai
dengan beroperasinya blok SK-305 di Pantai Barat Sarawak Malaysia pada
tangggal 26 Juni 2010.

25
Dalam mewujudkan kemandirian energi nasional, Pertamina dapat
mengembangkan bisnis migas di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri,
Pertamina seharusnya mendapatkan wewenang yang sama bahkan lebih
dibandingkan dengan Petronas dan Shell. Sementara di luar negeri, Pertamina
diharapkan dapat berkompetisi dengan Top Ten perusahaan minyak asing
seperti Saudi Aramco, Gazprom, National Iranian Oil Co., ExxonMobil,
Petrocina, BP, Royal Ducth Shell, Pemex, Chevron, dan Kuwait Petroleum
Corp. dengan rata-rata produksi minyak mentah per hari lebih dari 3 hingga
9,7 juta barel. Ada beberapa kebijakan yang menurut saya dapat dilakukan
oleh pemerintah dan PT. Pertamina yaitu:

a. Prioritas Utama

Pembangunan Infrakstruktur migas yang memadai


Pembangunan infrastruktur migas yang memadai dimulai dari industri hulu
hingga industri hilir. Perlu dilakukan revitalisasi, pengembangan/upgrade
sumur dan kilang tua serta pembangunan sumur dan kilang minyak baru, depo
migas baru yang didukung dengan sistem perpipaan yang modern mulai dari
pipa Trans Sumatera hingga Indonesia Timur. Pembangunan infrastruktur ini
harus didukung oleh peningkatan investasi hulu minyak dan gas bumi.
Dengan demikian, masalah gangguan operasional produksi dan pengeboran,
kurangnya perawatan dan pengawasan fasilitas produksi dapat dikurangi
dengan infrastruktur yang memadai.

Menyederhanakan regulasi (deregulasi)


Regulasi yang rumit akan menghambat langkah Pertamina dan Kontraktor
Kontrak Kerjasama (KKKS) dalam menjalankan dan mengembangkan sektor
minyak dan gas. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan tata kelola
birokrasi yang mudah, praktis dan efisien dengan tetap mengacu kepada
kemandirian energi jangka panjang. Regulasi yang kontraproduktif terhadap
investasi migas harus ditinjau ulang bahkan direvolusi. Deregulasi dapat
dilakukan antara lain melalui revisi peraturan yang dinilai menjadi
penghambat investasi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010

26
tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak
Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas; birokrasi yang mudah melalui
perizinan satu pintu dan proses pembebasan lahan yang mudah dan tepat
waktu oleh pemda/pemko atau instansi terkait. Kepastian perpanjangan
kontrak pengelolaan migas juga penting untuk menjaga keberlangsungan
produksi. Di samping itu, Presiden juga dapat mengeluarkan Perpres untuk
mempermudah proses pembangunan sumur dan kilang minyak baru. Dengan
adanya sinergi dan koordinasi yang baik antar lintas instansi dan sektoral
dengan pertamina dan KKKS, diharapkan akan mempermudah langkah
Pertamina dalam mewujudkan kemandirian energi nasional.

Meningkatkan volume produksi migas


Meningkatkan volume produksi migas adalah hal yang logis mengingat
potensi cadangan potensial migas masih cukup tinggi. Kebijakan untuk
meningkatkan produksi migas selalu menjadi fokus Pertamina untuk
mengurangi ketergantungan BBM dan Gas. Ironisnya 50% kebutuhan BBM
RI harus didatangkan dari luar negeri.

Hal ini disebabkan kebutuhan BBM nasional mencapai 1,5 juta barel per hari
sementara produksi minyak nasional hanya kurang dari 810.000 barel per
hari. Berkurangnya produksi minyak mentah dari sumur-sumur yang sudah
ada secara alamiah dapat diatasi dengan temuan sumur-sumur baru. Cadangan
potensial minyak bumi jumlahnya 3.857,31 MMSTB lebih tinggi daripada
cadangan terbukti. Sementara gas bumi memiliki cadangan potensial 48,85
TSCF.

Memperluas ekspansi bisnis ke luar negeri yang kaya migas


Sejauh ini Pertamina telah mengembangkan bisnis migas di Malaysia, Irak
dan Aljazair dengan jumlah produksi hingga November 2015 sebanyak 113,4
ribu BOEPD. Meskipun harga minyak dunia diprediksi akan turun,
konsentrasi dan optimalisasi produksi migas harus tetap dipertahankan. Untuk
menguasai pasar energi global, PT. Pertamina Internasional Eksplorasi dan
Produksi (PT. PIEP) sebagai anak usaha Pertamina di luar negeri idealnya

27
melakukan ekspansi migas kepada negara produsen terbesar di dunia seperti
Arab Saudi, Federasi Rusia, USA, China, Kanada dan kawasan Timur
Tengah. Investasi, kondisi pasar global dan regulasi pemerintah terkait serta
kontrak kerjasama operator migas, tentulah faktor-faktor yang sangat
menentukan. Melalui pendekatan dan kerjasama bilateral dan upaya-upaya
kreatif oleh anak usaha Pertamina di luar negeri tentu akan mempermudah
ekspansi dan akuisisi blok-blok migas strategis. Pertamina juga dapat
mengembangkan usaha bisnisnya dengan meningkatkan saham dan market
sharing.

Menyeimbangkan alokasi penggunaan minyak bumi, gas bumi dan batubara


dalam konsumsi energi nasional
Menurut saya perlu dilakukan keseimbangan dalam menggunakan ketiga
sumber energi fosil ini supaya lebih proporsional dan konsumsi EBT harus
dioptimalkan meskipun kebijakan ini memerlukan kajian yang mendalam dari
pemerintah karena konsekuensinya yang sangat kompleks. Hingga saat ini
minyak bumi masih mendominasi berdasarkan konsumsi energi final 46,1%,
diikuti batubara 20,7% dan gas sebesar 14,5%. Akan lebih baik jika
persentase kontribusi energi minyak mentah dan produknya dikurangi
sedangkan porsi gas dan batubara dinaikkan. Pada tahun 2013 sektor yang
paling banyak menggunakan energi akhir yaitu sektor industri sebesar 42,12%
diikuti transportasi 38,80% dan rumah tangga 11,56%. Salah satu cara
menyeimbangkan distribusi konsumsi energi final ini yaitu dengan
meningkatkan alokasi gas dan batubara pada sektor industri dan transportasi
sebagai bahan bakar utama. Peningkatan konsumsi gas bumi oleh masyarakat
juga harus dilakukan mengingat cadangan gas yang masih melimpah dan
harganya yang relatif murah dibandingkan dengan minyak. Namun kebijakan
ini harus didukung oleh infrastruktur gas yang memadai.

Pengembangan, penguasaan dan pemamfaatan teknologi energi baru dan


terbarukan (EBT) sebanyak-banyaknya.
Menurut skenario KEN, pada tahun 2050 sesuai target bauran energi primer,
EBT mencapai 31% mengalahkan minyak bumi 20%, meskipun gas

28
mengalami kenaikan hingga 24%, batubara turun hingga ke 25%. Jika
mengacu kepada proyeksi bauran energi primer maka pasokan energi nasional
akan didominasi oleh EBT dan gas alam. Dengan menguasai teknologi EBT
maka pemamfaatan dan optimalisasinya akan berdampak signifikan pada
porsi konsumsi energi akhir. Teknologi ini harus didukung oleh investasi
infrastuktur EBT yang memadai. Namun, kenyataanya Pertamina harus
bekerja keras untuk mengembangkan teknologi EBT ini. Hal ini disebabkan
anggaran yang dibutuhkan untuk riset teknologi EBT masih sangat besar.
Sebuah harga yang harus dibayar mahal oleh pemerintah jika tetap mengejar
kemandirian energi nasional yang berkelanjutan yaitu dengan mengalokasikan
anggaran yang cukup kepada Pertamina hingga ditemukannya teknologi EBT
yang ekonomis, praktis, sustainable dan berdayaguna.

b. Prioritas Tambahan

Efisiensi produksi migas


Efisiensi di segala lini mulai dari hulu hingga ke hilir harus juga menjadi
prioritas. Salah satu efisiensi pada produksi migas dapat dilakukan dengan
mengurangi losses dan kegagalan produksi. Misalnya saja pada tahun 2012
losses produksi gas cukup besar mencapai 6,7% hampir setara dengan
kebutuhan industri pupuk domestik 8,0 %. Efisensi ini akan tercapai jika
dilalukan dengan tata kelola yang handal.

Mengubah paradigma masyarakat tentang migas berorientasi hemat energi


Mengubah paradigma masyarakat terhadap energi sangatlah penting. Hal ini
karena energi bukanlah lagi dianggap sekedar komoditi saja tetapi ke arah
yang lebih vital. Peran aktif masyarakat dalam mewujudkan kemandirian
energi sangat diperlukan termasuk menggunakan energi seefektif dan
seefisien mungkin. Hal ini terlihat pada tahun 2012, sektor rumah tangga
merupakan sektor ketiga terbesar menggunakan energi final sebesar 11,56%.
Menurut saya, Pertamina dapat melakukan sosialisasi dan edukasi secara
terus-menerus yang berperan dalam terciptanya budaya masyarakat hemat

29
energi. Hemat energi dapat dilakukan antara lain dengan bersepeda,
menggunakan listrik dan barang-barang elektronik sehemat mungkin.

Menjaga kelestarian lingkungan hidup dalam mempertahankan konservasi


energi
Pemerintah dan pertamina secara aktif mengajak masyarakat untuk
memelihara lingkungan hidup yang berdampak pada terpeliharanya
konservasi energi nasional. Hal ini penting untuk menjaga dan
mempertahankan sumber daya alam sebagai bahan baku energi terbarukan
kedepannya.

Menciptakan dan menjadikan moda transportasi massal berbasis energi non-


fosil
Sektor transportasi masih menggandalkan BBM sebagai bahan bakar utama,
oleh karena itu sangat penting untuk menghadirkan moda transportasi massal
yang tidak bergantung kepada BBM. Moda transportasi massal harus
diupayakan pada pemamfaatan EBT di masa mendatang.

Menyelenggarakan kompetisi sains tingkat pelajar dan mahasiswa bertemakan


teknologi EBT yang murah dan praktis
Pelajar dan mahasiswa juga dapat dilibatkan dalam menemukan energi baru
dan terbarukan. Selain meningkatkan kesadaran akan energi, mereka juga
memiliki potensi untuk menghadirkan solusi dan terobosan baru teknologi
EBT.

30
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Dirgantara. 2016. Kebijakan Energi, Online.
(www.scribd/kebijakanenergi).
Anis. Ambarwati. 2016. Kegagalam Pasar, Online
(https://anisambarwati.wordpress.com/ekonomi-publik/kegagalan-pasar-dan-
campur-tangan-pemerintah/)
Sriwijayasih, Imania. Yusmartini, Eka. Ekonomi Energi. 2018. Politeknik Negeri
Seiwijaya. Palembang
Dewan Energi Nasional. 2018.Pointers KEN Rencana KEN. Jakarta

Manurung, Habet. 2018. Kemandirian Energi Nasional yang Berkelanjutan dan


Optimsdi Energi Baru Terbarukan, Online
https://www.kompasiana.com/herbetmanurung/568484b341afbde705997e9e/kem
andirian-energi-nasional-yang-berkelanjutan-dan-optimalisasi-energi-baru-dan-
terbarukan-ebt?page=all

31

Anda mungkin juga menyukai