Anda di halaman 1dari 13

TRAUMA HEPAR

1. Latar Belakang
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar meyebabkan kerusakan yang serius organ-organ
padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.
Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan trauma
tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera tersembunyi yang mungkin
sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan dengan trauma yang penanganannya
terlambat lebih besar dari insiden yang berhubungan dengan cidera tusuk.

2. Pengertian
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun yang berongga.
Trauma tumpul kemungkinan besar meyebabkan kerusakan yang serius organ-organ
padat dan trauma penetrasi sebagian besar melukai organ-organ berongga.
Trauma abdomen menurut penyebabnya, dibagi atas :
A. Trauma Tembus
Yaitu dengan penetrasi kedalam rongga perut, dapat disebabkan oleh luka tusuk
atau luka tembak.
B. Trauma Tumpul
Yaitu tanpa penetrasi kedalam rongga perut, dapat disebabkan oleh ledakan,
benturan atau pukulan.
 Cidera Pada Hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum mengalami
cidera, baik trauma tumpul penetrasi dapat menyebabkan cidera. Trauma
hepatik dapat menyebabkan kehilangan banyak darah kedalam peritoneum.
Trauma hepar lebih banyak disebakan oleh trauma tumpul. Pasien dengan
trauma tumpul adalah suatu tantangan karena adanya potensi cidera
tersembunyi yang mungkin sulit dideteksi. Insiden komplikasi berkaitan
dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang
berhubungan dengan cidera tusuk.
3. Patogenesis
Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi trauma tajam dan
trauma tumpul. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul
adalah efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat
menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar.
Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama
lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik. Trauma tajam
terjadi akibat tusukan senjata tajam atau oleh peluru. Berat ringannya kerusakan
tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan arah trauma. Karena ukurannya
yang relatif lebih besar dan letaknya lebih dekat pada tulang costa, maka lobus kanan
hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar trauma hepar juga
mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya merupakan akibat
dari kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding posterior abdomen.
Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah kanan
bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada
permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup biasanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali
mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan
kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar.
Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti :
1. Subcapsular atau intrahepatic hematom
2. Laserasi
3. Kerusakan pembuluh darah hepar, dan
4. Perlukaan saluran empedu
Saat ruptur hepar mengenai kapsul Glissoni maka akan terjadi ekstravasasi
darah dan empedu ke dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh,
pengumpulan darah di antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada
permukaan superior dari hepar. Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim
hepar.
Pathway

Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis dan mengenai hepar

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus → Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari
dan eloktrolit kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

(Sumber : Mansjoer, 2001)


4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni,
tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda
a. syok,
b. iritasi peritoneum dan
c. nyeri pada epigastrium kanan.
Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu
a. hipotensi, takikardi,
b. penurunan jumlah urine,
c. tekanan vena sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan
gambaran suatu trauma hepar. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis
biliar dari kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen,
juga disertai mual dan muntah.

5. Pemeriksaan Laboratorium
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan penurunan
kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya
setelah ruptur hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam
serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hepar, meskipun juga dapat
disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya.
Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4
setelah trauma.

6. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT-scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan
trauma tumpul abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana diagnostik utama. CT-scan
bersifat sensitif dan spesifik pada pasien yang dicurigai suatu trauma tumpul hepar
dengan keadaan hemodinamik yang stabil. Penanganan non operatif menjadi penanganan
standar pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan CT-
scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hepar, menilai derajat
hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera,
identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang memerlukan penanganan
segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan digunakan untuk monitor
kesembuhan. Penggunaan CT-scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis dan
penentuan penanganan trauma hepar. Dengan CT-scan menurunkan jumlah laparatomi
pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi
penanganan non operastif dari kasus trauma hepar.

7. Komplikasi
Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi,
khususnya jika tindakan operasi dilakukan.
Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah
a. perdarahan post operatif,
b. koagulopati,
c. fistula bilier,
d. hemobilia, dan
e. pembentukan abses.
Perdarahan post operasi terjadi sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin
karena hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif atau karena
keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi, koagulopati atau asidosis,
maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh darah yang
tampak mengalami perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi,
meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat.

8. Penatalaksanaan.
a. Pra Rumah Sakit.
Fase ini dimulai pada tempat kecelakaan dengan pengkajian cepat terhadap cedera-
cedera yang mengancam keselamatan jiwa.
1. Tingkat kesadaran .
a. Airway.
 Ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas karena darah, cairan, lender
 Lidah jatuh kebelakang atau tidak.
 Jalan nafas efektif lewat hidung atau mulut.
 Jaga kepatenan jalan nafas.
 Apakah ada trauma pada wajah atau leher.
b. Breathing.
 Kaji frekuensi dan kedalaman nafas.
 Inspeksi kesimetrisan dada.
 Pergerakan nafas atau pergerakan dada.\
 Ada atau tidak trauma pada dada.
 Perkusi jalan nafas.
 Auskultasi jalan nafas.
c. Sirkulasi.
 Ukur nadi arteri karotis.
 Akral dingin atau tidak.
 Warna kulit mengalami sianosis atau tidak.
b. Rumah Sakit.
Pengkajian dan perawatan yang dilakukan setibanya dirumah sakit dibagi kedalam
empat fase :
1. Evaluasi Primer.
 Airway.
 \Breathing.
 Sirkulasi.
 Informasi tentang mekanisme terjadinya cidera dan gambaran tentang keadaan
kecelakaan. Untuk memberikan petukjuk tentang kemungkinan terjadinya cidera
seruis.
2. Resusitasi.
Resusitasi seringkali mulai dilaksanakan selama evaluasi primer dan memcakup
tindakan terhadap kondisi-kondisi yang mengancam keselamatan jiwa sambil
evaluasi pasien secara simultan.
3. Pengkajian Sekunder.
Apabila kondisi pasien sudah distabilkan, riwayat kesehatan yang lengkap
termasuk informasi tentang mekanisme cidera harus diperoleh dan pemeriksaan
fisik secara menyeluruh harus dilakukan. Pemeriksaan dapat mencakup CT-Scan.
4. Penatalaksanaan Non-Operatif
Pasien dengan trauma tumpul hati yang stabil secara hemodinamik tanpa
adanya indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80%
pada dewasa, 97% pada anak-anak).Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan
non operatif adalah: Hemodinamik stabil setelah resusitasi, Status mental normal
dan Tidak ada indikasi lain untuk laparatomi.
Pasien yang ditangani secara non operatif harus dipantau secara cermat di
lingkungan gawat darurat. Monitoring klinis untuk vital sign dan abdomen,
pemeriksaan hematokrit serial dan pemeriksaan CT/USG akan menentukan
penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat dipindahkan ke ruang intermediate care
unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih harus istrahat ditemapt tidur sampai 5
hari. Embolisasi angiografi juga dimasukkan ke dalam protokol penanganan non
operatif trauma hati pada beberapa situasi dalam upaya menurunkan kebutuhan
transfusi darah dan jumlah operasi. Jika pemeriksaan hematokrit serial (setelah
resusitasi) normal pasien dapat dipulangkan dengan pembatasan aktifitas.
Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-8 minggu. Waktu untuk
penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan antara 18-88 hari
dengan rata-rata 57 hari.
Penatalaksaan Operatif
Prinsip fundamental yang diperlukan di dalam penatalaksanaan operatif
pada trauma hati adalah: Kontrol perdarahan yang adekuat, Pembersihan seluruh
jaringan hati yang telah mati (devitalized liver). Drainase yang adekuat dari
lapangan operasi
 Tehnik Untuk Kontrol Perdarahan Temporer/Sementara
Dilakukan untuk dua alasan;
1. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume
sirkulasi sebelum kehilangan darah lebih lanjut terjadi.
2. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain
terlebih dahulu apabila trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan
segera dibandingkan dengan trauma hati tersebut.

Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah:

1. Kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan


parasat pringle. Kompresi manual secara periodik dengan tambahan
bantalan laparatomi (Laparatomy pads) berguna dalam penatalaksanaan
trauma hati kompleks dalam menyediakan waktu untuk resusitasi.
Bantalan tambahan dapat ditempatkan diantara hati dan diafragma dan
diantara hati dengan dinding dada sampai perdarahan telah terkontrol. 10
hingga 15 bantalan dibutuhkan untuk mengontrol perdarahan yang
berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah berguna pada trauma lobus
kiri, karena ketika abdomen dibuka, dinding dada dan abdomen depan
tidaklah cukup menutup lobus kiri hati untuk menciptakan tekanan yang
adekwat. Untungnya, perdarahan dari lobus kiri hati ini dapat dikontrol
dengan memisahkan ligamentum triangular kiri dan ligamentum
coronarius kemudian menekan lobus tersebut diantara kedua tangan.
2. Parasat Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk
membantu pembalutan /packing dalam mengontrol perdarahan
sementara. Prasat Pringle adalah suatu tehnik untuk menciptakan oklusi
sementara vena porta dan arteri hepatika yang dilakukan dengan
menekan ligamentum gastrohepatik (portal triad). Penekanan ini dapat
dilakukan dengan jari atau dengan menggunakan klem vaskuler
atraumatik. Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu dalam
mengevaluasi trauma hati grade IV dan V. Biasanya, pengkleman pada
portal triad direalese setiap 15-20 menit selama 5 menit untuk
memberikan perfusi hepatik secara intermitten. Bukti terbaru, dengan
memberikan komplet oklusi sekitar satu jam tidak memberikan kerusakan
iskemik pada hepar.
Perut kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU untuk resusitasi
dan koreksi kekacauan metabolik. Dalam 24 jam, pasien dikembalikan ke
ruang operasi untuk pengankatan balut itu kembali. Tindakan ini
diindikasikan untuk trauma grade IV- V dan pasien dengan trauma yang
kurang parah tetapi menderita koagulopati yang disebabkan oleh trauma
yang menyertai.
Trauma vena juxtahepatik sering kali berakibat kematian. Prosedur
kompleks dibutuhkan untuk mengontrol sementara perdarahan dari vena
besar ini. Prosedur yang paling penting dilakukan adalah isolasi vascular
hepatik dengan klem, shunt atrium kava, dan dengan penggunaan balon
Moore-Pilcher, serta dengan melakukan pintas venovena.
 Tehnik – Tehnik Dalam Penatalaksanaan Definitif Trauma Hati
Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati
berkisar dari kompresi manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim
hati grade 1 atau 2 dapat secara umum diatasi dengan kompresi manual.
Apabila dengan tehnik ini tidak berhasil, seringkali trauma seperti ini diatasi
dengan tindakan hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana adalah
dengan elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari
pembuluh darah kecil yang dekat dengan permukaan hati. Perdarahan tidak
berespon dengan elektrokauter mungkin dapat berespon dengan argon beam
koagulator. Kolagen mikrokristalin bentuk bubuk juga berguna dalam situasi
seperti ini. Bubuk tersebut ditempatkan dalam sponge bersih ukuran 4 x 4
kemudian digunakan langsung pada permukaan yang mengeluarkan darah
dengan menekan bagian tersebut dan dipertahankan selama 5 hingga 10
menit. Lem fibrin (fibrin glue) telah digunakan dalam pengobatan laserasi
superfisial dan laserasi yang dalam dan tampil sebagai agen topikal yang
paling efektif. Lem fibrin ini pula dapat diinjeksikan secara dalam pada
perdarahan akibat luka tembak dan luka tikam untuk mencegah diseksi luas
dan kehilangan darah. Lem fibrin ini dibuat dengan mencampur fibrin
konsentrat manusia (cryopresipitat) dengan larutan yang mengandung
trombin bovine dan kalsium.
Perihepatik mesh yang merupakan absorbe mesh yang terdiri
polyglactin oleh Brunet dkk, telah digunakan untuk perlukaan hepar grade II-
V. Dilaporkan dengan cara ini tidak terbentuk hemobilia dan absces. Dengan
penggunaan mesh sejak awal perdarahan dalam jumlah yang besar dapat
dikurangi.
Meskipun beberapa laserasi grade III dan IV berespon terhadap
tindakan topikal yang disebutkan sebelumnnya, tetapi pada kebanyakan kasus
tidaklah demikian. Pada keadaan ini, satu satunya pilihan adalah dengan
menjahit parenkim hati. Meskipun dikatakan sebagai penyebab nekrosis, akan
tetapi tindakan ini masih sering digunakan. Menjahit parenkim hati seringkali
dilakukan untuk mengatasi perdarahan persisten akibat laserasi dengan
kedalaman kurang dari 3 cm. Bersama dengan hepatotomi dan ligasi selektif,
tindakan ini juga merupakan alternatif yang cocok pada laserasi yang lebih
dalam jika pasien tidak dapat mentoleransi perdarahan lebih lanjut. Material
yang diperlukan adalah catgut chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva
ujung tumpul. Untuk laserasi yang dangkal jahitan terus menerus sederhana
(simple continuous suture) dapat digunakan untuk mendekatkan tepi luka.
Untuk laserasi yang dalam , jahitan matras horizontal terputus (interrupted
horizontal mattres suture) dapat ditempatkan secara pararel pada tepi luka.
Ketika mengikat jahitan, satu yang harus dipastikan bahwa ketegangan yang
adekuat telah tercapai apabila perdarahan telah berhenti.
Hepatotomi dengan ligasi selektif pembuluh darah yang mengalami
perdarahan adalah tehnik penting yang lazim dipakai untuk luka tembus yang
dalam atau luka tembus transhepatik. Tehnik finger frakture digunakan untuk
memperluas panjang dan dalamnya laserasi hingga pembuluh darah yang
mengalami perdarahan dapat diidentifikasi dan dikontrol.
Hepatotomi yang meliputi
a) Finger fracture,
b) pemisahan pembuluh darah atau duktus,
c) memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah.
Tindakan tambahan dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomy
adalah penggunaan omentum untuk mengisi defek luas pada hati sekaligus
sebagai penopang jahitan. Alasan penggunaan omentum ini adalah bahwa
omentum menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi ruang
mati potensial dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan
sebagai tamponade bagi perdarahan.

Omentum pack

Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan


arteri dari dalam organ hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit
berperan pada keseluruhan penatalaksanaan trauma hati. Hal ini disebabkan
karena tindakan ini tidak menghentikan perdarahan yang berasal dari sistem
vena potra dan vena hepatika. Peranan primer tindakan ini adalah dalam
penatalaksanaan trauma lobus yang dalam ketika penggunaan parasat pringle
berhasil dalam menghentikan perdarahan arteri.

Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer


yang mati (nonviable). Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi
25% keseluruhan organ hati. Tindakan ini dilakukan dengan tehnik finger
fracture atau elektrokogulasi dan cocok pada pasien trauma hati grade III
hingga grade V.

Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang luas adalah
reseksi hepar anatomis. Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis dapat
dilakukan dengan hasil yang sangat memuaskan. Reseksi anatomik pada
trauma dibatasi pada lobektomi kanan, lobektomi kiri, dan segmentektomi
lateral kiri. Jenis dan luasnya reseksi biasanya ditentukan dari sifat trauma.
Untuk melakukan reseksi hati, hati harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan
memotong perlekatan ligamentumnya.
Mobilisasi Hepar

Untuk melakukan lobektomi kanan, kedua daun ligamentum


koronarius harus dipotong. Jalur ke reseksi lobus kiri dipermudah dengan
pemotongan ligamentum triangularis. Setelah kapsule hati diinsisi, parenkim
hati mudah didiseksi dengan gagang pisau scalpel yang tumpul. Kehilangan
darah dikurangi dengan kompresi hati oleh tangan asisten. Pembuluh darah
dan saluran empedu yang ditemukan dapat diligasi sendiri-sendiri dengan
benang atau klip. Segmentomi lateral kiri terdiri dari reseksi hati yang terletah
di bagian kiri ligamentum falsiformis. Harus berhati hati untuk tidak meligasi
pembuluh darah yang mungkin memasok segmen medial (segmen 4) lobus
kiri. Setelah reseksi permukaan yang terbuka dapat ditutupi dengan
memobilisasi ligamentum falsiformis dan memindahkannya ke daerah yang
terbuka. Jika segmen medial lobus kiri (segmen 4) mengalami kerusakan
yang parah, lobektomi hati kiri diindikasikan. Garis resksi untuk lobektomi
kiri harus dilakukan ke bagian kiri fossa kandung empedu. Mutlak perlu
untuk mengidentifikasi vena hepatik medial selama reseksi karena ia
mengalirkan segmen superior lobus kanan dan sering mengalir ke vena
hepatik kiri. Vena hepatik kiri harus diligasi dan dipotong prioksimal dari
persambungan dengan vena hepatik medial. Vena porta kiri tidak boleh
diligasi sampai terpapar dengan baik di dalam hilum karena ia mungkin
memiliki cabang ke segmen anterior lobus kanan. Harus berhati-hati saat
memotong saluran hepatik kiri karena saluran hepatik segmental dari kanan
seringkali menyeberangi fisura segmental untuk mengalir ke saluran hepatik
kiri. Arteri hepatik kiri hanya mempedarahi sisi kiri dan dapat diligasi dengan
mudah.

Dalam melakukan lobektomi hati kanan, garis reseksi harus dibawa ke


bagian kiri fossa kandung empedu. Vena hepatik medial harus diidentifikasi,
dan diseksi harus dilakukan menuju vena kava ke bagian kanan vena hepatik
medial. Arteri hepatik kanan dan vena porta dapat didiseksi pada awal reseksi
dan diligasi untuk mengurangi
Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi akibat trauma hati atau
pada mereka yang memerlukan reseksi hati total, maka transplantasi hati
dapat mejadi pilihan penatalaksanaan selanjutnya dan telah berhasil
dilakukan. Jika transplantari sedang dipertimbangakan untuk penatalaksanaan
selanjutnya, maka pasien hendaknya dirujuk ke pusat transplantasi secepatnya
karena ketersediaan organ tidak dapat diramalkan.

Anda mungkin juga menyukai