Anda di halaman 1dari 31

RENCANA PENELITIAN

JUDUL : EVALUASI PENGELOLAAN DAN


PENANGANAN VAKSIN DI PUSKESMAS
PITUMPANUA KABUPATEN WAJO

NAMA : NURUL DIAN ABDILLAH


NIM : PO.71.3.251.15.1.140
PEMBIMBING I : Dr. H. ASYHARI ASYIKIN, S.Farm., M.Kes.
PEMBIMBING II : RATNASARI DEWI, S.Si, M.Kes

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah penyakit menular

telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya melalui imunisasi.

Imunisasi memiliki peranan yang sangat penting sebagai upaya

pencegahan primer berbagai penyakit menular. (Fitri,2013)

Pemberian imunisasi dilakukan dengan menggunakan vaksin

sebagai komponen utama yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh

terhadap penyakit menular tertentu, untuk itu ketersediaannya harus

terjamin hingga ke sasaran dan masih layak digunakan. Vaksin sangat

rentan terhadap kerusakan, salah satu kerusakan vaksin karena suhu yang

tidak sesuai sehingga pengelolaan vaksin memerlukan penanganan

khusus. Untuk dapat mempertahankan mutu vaksin, maka penyimpanan

dan pendistribusiannya harus dalam suhu yang sesuai dari sejak dibuat

hingga akan digunakan. Jika tidak ditangani dengan sebaik-baiknya maka


2

dapat mengakibatkan kerusakan vaksin, menyebabkan potensi vaksin

dapat berkurang bahkan hilang dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga

dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar. (Maulana,2009 dalam

Gebbie,2015)

Fenomena sekarang banyak penderita anak-anak yang rentan

terkena penyakit menular, oleh sebab itu pemerintah melakukan program

Penyakit Menular yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) melalui

pemberian vaksin. Jenis-jenis vaksin PD3I yaitu, tuberkolosis, difteri,

pertusis, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B. Vaksin berfungsi untuk

merangsang kekebalan tubuh seseorang, sehingga dibutuhkan cara-cara

tertentu untuk mempertahankan mutu vaksin sebelum digunakan oleh

anak-anak. Vaksin merupakan unsur biologis yang memiliki karakteristik

tertentu dan memerlukan penanganan rantai vaksin secara khusus sejak

diproduksi hingga dipakai di unit pelayanan. Penyimpangan dari ketentuan

dapat mengakibatkan kerusakan vaksin dan menurunkan bahkan

menghilangkan potensi vaksin sehingga kekebalan dari penyakit tidak

terbentuk. (Depkes, 2005 dalam Fitri, 2013)

Menurut pedoman pengelolaan vaksin oleh Kementrian Kesehatan

menunjukkan bahwa Semua vaksin disimpan pada suhu 2 oC s/d 8oC, pada

lemari es. Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu +20C s.d. +80C atau

pada suhu ruang terhindar dari sinar matahari langsung. (Depkes,2009)

Hasil penelitian dari Gebbie Prisiliya Lumentut dkk, (2015) pada

Puskesmas Tuminting, Puskesmas Paniki Bawah dan Puskesmas Wenang


3

di Kota Manado menunjukkan bahwa ketiga puskesmas tersebut belum

sesuai dengan pengelolaan cold chain yang merupakan pedoman dari

Kementrian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Kota Manado khususnya

dalam hal pengaturan suhu dan penyimpanan vaksin.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan di Puskesmas Pitumpanua

Kabupaten Wajo menunjukkan adanya kecenderungan kesamaan

permasalahan seperti yang terurai di atas, misalnya karena kurangnya

tenaga kesehatan yang khusus menangani vaksin, jarak yang ditempuh

cukup jauh, serta kurangnya kendaraan yang digunakan untuk mengantar

vaksin ke unit-unit terkecil dari puskesmas yang berdampak pada

permasalahan vaksin. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian

tentang evaluasi pengelolaan dan penanganan vaksin di Puskesmas

Pitumpanua Kabupaten Wajo.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan

Bagaimana sistem pengelolaan dan penanganan vaksin di Puskesmas

Pitumpanua Kabupaten Wajo ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui dan mendeskripsikan

sistem pengelolaan dan penanganan vaksin di Puskesmas Pitumpanua

Kabupaten Wajo berdasarkan standar penyimpanan pengelolaan vaksin

oleh Kemenkes RI.


4

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai referensi atau bahan evaluasi kepada petugas kesehatan dalam

menangani vaksin.

2. Sebagai bahan bacaan dan referensi untuk peneliti berikutnya yang

terkait dengan isi penelitian ini.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Vaksin

1. Pengertian Vaksin

Vaksin adalah produk biologis yang terbuat dari kuman,

komponen kuman yang telah dilemahkan, dimatikan, atau rekayasa

genetika dan berguna untuk merangsang kekebalan tubuh secara aktif.

Semua vaksin merupakan produk biologi yang tidak stabil dan mudah

menjadi rusak akibat pengaruh suhu dan kelembaban udara yang tinggi.

Oleh sebab itu, vaksin seringkali memerlukan fasilitas pendingin untuk

mencegah kerusakan struktur kimiawinya, karena perubahan dan kerusakan

struktur kimiawinya dapat menyebabkan kehilangan potensi dan menjadi

tidak berguna bagi pengobatan.

Terkait dengan penyimpanan vaksin, aturan umum untuk sebagian

besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperature 2 - 8

derajat Celsius dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, Hepatitis

B dan Hepatitis A) akan tidak aktif bila beku. Vaksin yang disimpan dan

diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada

lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan.

Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena

vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan

temperatur lingkungan. Pada setiap tahapan rantai dingin maka transportasi


6

vaksin dilakukan pada temperature 0 derajat Celsius sampai 8 derajat

Celsius. Vaksin polio boleh mencair dan membeku tanpa membahayakan

potensi vaksin. Vaksin DPT, DT, dT, hepatitis-B dan Hib akan rusak bila

membeku pada temperature 0 derajat Celsius (vaksin hepatitis-B akan

membeku sekitar 0,5 derajat Celsius). (Rinansita,2017)

Tabel 1. Daftar suhu penyimpanan dan umur vaksin berdasarkan jenis


vaksin

Tabel tersebut menunjukan bahwa untuk jenis vaksin sensistif

panas dapat disimpan pada lemari es dan freezer. Umur vaksin polio akan

lebih lama bila disimpan pada suhu freezer jika dibandingkan bila

disimpan pada suhu lemari es. Apabila terjadi penyimpangan terhadap

suhu penyimpanan yang direkomendasikan, maka akan berpengaruh

terhadap umur vaksin, sebagaimana tabel berikut:

Tabel 2. Suhu penyimpanan dan umur vaksin


7

Dasar yang menjadi pertimbangan dalam memilih cold chain

antara lain meliputi jumlah sasaran, volume vaksin yang akan dimuat,

sumber energi yang ada, sifat, fungsi serta stabilitas suhu sarana

penyimpanan, suku cadang dan anjuran WHO atau hasil penelitian atau uji

coba yang pernah dilakukan. Sarana cold chain di tingkat Puskesmas

merupakan sarana penyimpanan vaksin terakhir sebelum mencapai

sasaran. Tingginya frekuensi pengeluaran dan pengambilan vaksin dapat

menyebabkan potensi vaksin cepat menurun. (Hasyim,2012)

2. Penggolongan Vaksin
a. Penggolongan berdasarkan asal antigen (Immunization Essential)

Berdasarkan asal antigen, vaksin dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :

1) Berasal dari bibit penyakit yang dilemahkan (Live Attenuated)

Vaksin yang berasal dari bibit penyakit yang dilemahkan

dibedakan atas dua, vaksin dari virus contohnya, Polio (OPV),

Campak, Yellow Fever.vaksin dari bakteri contohnya, BCG.

2) Berasal dari bibit penyakit yang dimatikan (Inactivated)

Vaksin yang berasal dari bibit penyakit yang dimatikan

dibedakan menjadi tiga yaitu, dengan seluruh partikel diambil,hanya

sebagian partikel yang diambil, dan rekombinan (rekayasa genetika).

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio,

rabies, hepatitis A. Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis,

tifoid, kolera. Sebagian partikel murni, meninggococal,sebagian


8

partikel bagungan Hib ( Haemofilus Infuenza type B). Rekombinan

(rekayasa genetika).Contoh vaksin dari rekayasa genetik yang saat

ini telah tersedia: vaksin Hepatitis B dan vaksin tifoid.

b. Penggolongan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu

1) Vaksin sensitif beku (Freeze Sensitive = FS),

Golongan vaksin yang akan rusak terhadap suhu dingin

dibawahn 00C (beku ), seperti : Hepatitis B, DPT, DPT-HB, DT, TT.

2) Vaksin sensitif panas (Heat Sensitive = HS)

Golongan vaksin yang akan rusak terhadap paparan panas yang

berlebih, seperti: BCG,Polio, Campak.( Depkes,2009 )

B.. Pengelolaan Vaksin

Pengelolaan vaksin sama halnya dengan pengelolaan rantai vaksin

yaitu suatu prosedur yang digunakan untuk menjaga vaksin pada suhu

tertentu yang telah ditetapkan agar vaksin memiliki potensi yang baik mulai

dari pembuatan sampai pada saat pemberiannya kepada sasaran. Pengelolaan

rantai vaksin sebagai suatu sistem pengawasan, mempunyai komponen yang

terdiri dari input, proses, out put, efek, out come dan mekanisme umpan

baliknya.

1. Input

Input dalam pengelolaan vaksin terdiri dari man. money, material,

method, disingkat dengan 4 M. Man atau sumber daya manusia Tenaga

kesehatan di tingkat puskesmas minimal SMA atau SMK yang telah

mengikuti pelatihan cold chain bertugas sebagai petugas imunisasi dan


9

pengelola cold chain. Rumah Sakit dan Rumah Bersalin serta pelayanan

imunisasi pada praktek swasta lainnya, pada prinsipnya hampir sama

dengan di Puskesmas. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga

profesional/terlatih. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan dan

atau ketrampilan petugas pengelola vaksin perlu dilakukan pelatihan.

Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan

faktor yang dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behaviour).

Studi tentang pengelolaan vaksin di Vancouver (2006) menunjukan

bahwa dengan pengetahuan yang baik dan ditindaklanjuti dengan praktik

pengelolaan vaksin yang baik akan menurunkan jumlah vaksin yang rusak.

Pada penelitian tersebut dari 170 responden hanya 23% petugas dengan

pengetahuan memuaskan, dan 49% unit pelayanan ditemukan vaksin yang

rusak. Program pelatihan dapat mempengaruhi perilaku kerja dalam dua

cara dan yang paling jelas adalah dengan langsung memperbaiki

keterampilan yang diperlukan petugas agar berhasil menyelesaikan

pekerjaannya.

Money dalam pengelolaan vaksin adalah tersedianya dana

operasional untuk pemeliharaan peralatan rantai vaksin secara rutin serta

kondisi darurat bila terjadi kerusakan peralatan.

Material dalam pengelolaan vaksin adalah peralatan rantai vaksin

yang meliputi lemari es, vaccine carrier, termometer, kartu suhu, form
10

laporan dan sebagainya. Method antara lain prosedur penerimaan dan

penyimpanan vaksin.

2. Proses

Proses dalam pengelolaan vaksin adalah semua kegiatan

pengelolaan vaksin mulai dari permintaan vaksin,

penerimaan/pengambilan penyimpanan sampai dengan pemakaian vaksin.

a. Permintaan vaksin.

Permintaan kebutuhan vaksin didasarkan pada jumlah sasaran yang

akan diimunisasi dengan mempertimbangkan kapasitas tempat

penyimpanan vaksin. Permintaan vaksin di semua tingkatan dilakukan

pada saat stock vaksin telah mencapai stock minimum oleh karena itu

setiap permintaan vaksin harus mencantumkan sisa stock yang ada.

b. Penerimaan/pengambilan Vaksin.

Pengambilan vaksin harus menggunakan peralatan rantai vaksin

yang sudah ditentukan, Misalnya cold box atau vaccine carrier atau

termos. Sebelum memasukan vaksin ke dalam alat pembawa, petugas

harus memeriksa indikator vaksin (VVM) kecuali vaksin BCG. Vaksin

yang boleh digunakan hanya hanya bila indikator VVM A atau B,

sedangkan bila VVM pada tingkat C atau D, vaksin tidak diterima

karena tidak dapat digunakan lagi. Selanjutnya ke dalam vaccine carrier

dimasukan kotak cair dingin (cool pack) dan di bagian tengah diletakan

termometer. Vaccine carrier yang telah berisi vaksin, selama perjalanan

tidak boleh terkena matahari langsung.


11

c. Penyimpanan Vaksin.

Agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan

kepada sasaran maka vaksin harus disimpan pada suhu tertentu dengan

lama penyimpanan yang telah ditentukan di masing-masing tingkatan

administrasi.

Cara penyimpanan untuk vaksin sangat penting karena

menyangkut potensi dan daya antigennya. Dibawah ini merupakan

gambaran tentang lama penyimpanan vaksin disetiap tingkatan:

Tabel 3. Lama penyimpanan vaksin di setiap tingkatan

Untuk melakukan pemantauan suhu rantai dingin (cold chain)

vaksin maka digunakan pemantau suhu. Pada kamar dingin (cold room)

alat pemantau suhu berupa lampu alarm yang akan menyala bila suhu di

dalamnya melampaui suhu yang ditetapkan. Untuk memantau suhu

lemari es selain menggunakan termometer yang terletak pada dinding

luar lemari es juga menggunakan termometer yang diletakkan dalam

lemari es. Agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu
12

diberikan kepada sasaran maka vaksin harus disimpan pada suhu

tertentu dengan lama penyimpanan yang telah ditentukan di masing-

masing tingkatan administrasi.

Untuk menjaga rantai dingin vaksin yang disimpan pada lemari

es di Puskesmas, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Pengaturan dan penataan vaksin di dalam lemari es, Pengontrolan suhu

lemari es dengan penempatan termometer di dalam lemari di tempat

yang benar dan pencatatan suhu pada kartu suhu atau grafik suhu

sebanyak dua kali sehari pada pagi dan siang hari.

Pencatatan data vaksin di buku catatan vaksin meliputi tanggal

diterima atau dikeluarkan, nomor batch, tanggal kadaluarsa, jumlah

diterima atau dikeluarkan dan jumlah sisa yang ada. Susunan vaksin

dalam lemari es harus diperhatikan karena suhu dingin dari lemari

es/freezer diterima. (Rinansita,2017)


13

Gambar 1. Susunan vaksin dalam Lemari es Rumah Tangga

Vaksin yang berasal dari virus hidup (polio,campak) pada pedoman


o
sebelumnya harus disimpan pada suhu di bawah 0 C. Dalam

perkembangan selanjutnya, hanya vaksin polio yang masih memerlukan

suhu di bawah 0 oC di provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan vaksin

campak dapat disimpan di refrigerator pada suhu 2-8 oC. Adapun vaksin

lainnya harus disimpan pada suhu 2-8 oC. (Hasyim,2012)

d. Pelaksanaan

Pada pelaksanaan program imunisasi, salah satu kebijakan yang

dipersyaratkan adalah tetap membuka vial atau ampul baru meskipun

sasaran sedikit. Jika pada awalnya indeks pemakaian vaksin menjadi

sangat kecil dibandingkan dengan jumlah dosis per vial/ampul, namun

tingkat efisiensi dari pemakaian vaksin ini harus semakin tinggi.


14

Sementara menurut WHO, prinsip yang dipakai dalam mengambil

vaksin untuk pelayanan imunisasi, adalah, Earliest Expired First Out

(EEFO) dikeluarkan berdasarkan tanggal kadaluarsa yang lebih dulu.

Dengan adanya Vaccine Vial Monitor (VVM) ketentuan EEFO tersebut

menjadi pertimbangan kedua. Vaccine Vial Monitor sangat membantu

petugas dalam manajemen vaksin secara cepat dengan melihat perubahan

warna pada indikator yang ada.

e. Pencatatan dan Pelaporan

Stock vaksin harus dilaporkan setiap bulan, hal ini untuk menjamin

tersedianya vaksin yang cukup dan memadai. Keluar masuknya vaksin

terperinci menurut jumlah, no batch, kondisi VVM, dan tanggal

kedaluwarsa harus dicatat dalam kartu stok. Sisa atau stok vaksin harus

selalu dihitung pada setiap kali penerimaan dan pengeluaran vaksin.

Masing-masing jenis vaksin mempunyai kartu stok tersendiri, Selain itu

kondisi VVM sewaktu menerima vaksin juga perlu dicatat di Surat Bukti

Barang Keluar (SBBK).(Rinansita, 2017)

3. Output

Yang menjadi output dalam sistem pengelolaan rantai vaksin

adalah kualitas vaksin. Kualitas vaksin hanya dapat dipertahankan jika

vaksin disimpan dan ditangani dengan tepat mulai dari pembuatan hingga

penggunaan. Monitoring kualitas vaksin dapat dilakukan secara cepat

dengan melihat indikator VVM dan Freeze tag atau freeze watch.
15

VVM adalah indikator paparan panas yang melekat pada setiap

vial vaksin yang digunakan untuk memantau vaksin selama perjalanan

maupun dalam penyimpanan. Semua vaksin program imunisasi kecuali

BCG telah dilengkapi dengan VVM. VVM tidak mengukur potensi vaksin

secara langsung, namun memberikan informasi tentang layak tidaknya

pemakaian vaksin yang telah terkena paparan panas. VVM mempunyai

karakteristik yang berbeda, spesifik untuk tiap jenis vaksin. VVM untuk

vaksin polio tidak dapat digunakan untuk vaksin Hb, begitu juga sebaliknya.

Gambar 2. Cara membaca VVM (Vaccine Vial Monitor)

Freeze tag dan freeze watch adalah alat pemantau paparan suhu

dingin dibawah 0 oC. Freeze tag dan freeze watch digunakan untuk

memantau kinerja leamari es terhadap penyimpanan vaksin yang sensitif

beku. Bila menemukan vaksin yang dicurigai beku maka perlu dilakukan

uji kocok (shake test) dengan prosedur yang baru.


16

Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama

pendistribusian dan penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar/terkena

panas yang berlebih atau suhu yang terlalu dingin (beku). Sehingga

petugas mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik

atau tidak.

Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain, VVM (Vaccine Vial

Monitor ), Setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer

Dial/Muller, Sebuah freeze tag atau freeze watch,Sebuah buku grafik

pencatatan suhu. Bila vaksin tersangka beku maka untuk meyakinkan

apakah vaksin masih layak atau tidak untuk digunakan maka dilakukan

pemeriksaan dengan Uji Kocok (Shake Test). Langkah- langkah shake

test:

a. Periksa freeze watch, freeze tag, catatan/grafik suhu lemari es untuk

melihat tanda-tanda bahwa suhu lemari es tersebut pernah turun di

bawah titik beku. Freeze watch .Apakah kertas absorban berubah

menjadi biru. Bila menggunakan freeze tag : Apakah tanda √ telah

berubah jadi tanda X. Termometer : Apakah suhu turun hingga di

bawah titik beku ?. Bila salah satu atau ketiga jawabannya YA.

b. Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah

beku, utamakan yang dekat dengan evaporator dan bagian lemari es

yang paling dingin.


17

c. Beri label .Tersangka beku.. Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan

batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku padat

seluruhnya dan beri label .

d. Dibekukan ..Biarkan contoh .Dibekukan. dan vaksin. Tersangka beku.

sampai mencair seluruhnya.

e. Kocok contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. Secara

bersamaan.

f. Amati contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. Bersebelahan

untuk membandingkan waktu pengendapan. (Umumnya 5-30 menit).

Bila terjadi :

1) Pengendapan vaksin .Tersangka beku. lebih lambat dari contoh

.Dibekukan., vaksin dapat digunakan.

2) Pengendapan vaksin .Tersangka beku. sama atau lebih cepat daripada

contoh .Dibekukan. jangan digunakan, vaksin sudah rusak.

Uji kocok dilakukan untuk tiap vaksin yang berbeda batch dan

jenis aksiny dengan kontrol “ Dibekukan” yang sesuai.(Rinanstita,2017)


18

C. Imunisasi

1. Pengertian

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit

ringan.

Imunisasi merupakan reaksi antara antigen dan antibody, yang dalam

bidang ilmu imunologi merupakan kuman atau racun (toxin disebut antigen).

Secara khusus antigen merupakan bagian dari protein kuman atau protein

racunnya. Bila antigen untuk pertama kalinya masuk ke dalam tubuh manusia,

maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti terhadap racun kuman

yang disebut dengan antibodi.

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak

dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk

mencegah terhadap penyakit tertentu.(Yanti,2013)

Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan

dibuat oleh individu. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari

ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin.

Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.

Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat

terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah.

Kekebalan aktif biasanya berlangsung lama karena adanya memori.

(Hasyim,2012)
19

2. Manfaat dan Tujuan

Imunisasi sangat penting untuk melindungi bayi terhadap penyakit-

penyakit menular, yang bahkan bisa membahayakan jiwa. Imunisasi juga

merupakan upaya untuk pemusanahan penyakit secara sistematis. Imunisasi

bertujuan agar zat kekebalan tubuh balita terbentuk ,sehingga resiko untuk

mengalami penyakit yang bersangkutan lebih kecil. dan diharapkan anak menjadi

kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu.

3. Pengembangan program imunisasi di Indonesia

Di Indonesia terdapat program imunisasi yang disusun oleh pemerintah

melalui Departemen Kesehatan Program Pengembangan Imunisai (PPI-Depkes)

dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menyusun satgas Imunisasi PP

IDAI. Adapun Kelompok vaksin yang diwajibkan ini disubsidi oleh pemerintah.

Oleh karena itu, baik dari segi harga maupun ketersediaanya, vaksin-vaksin

tersebut mudah dijangkau oleh masyarakat luas melalui puskesmas dan posyandu.

Sedangkan, kelompok yang kedua adalah vaksin-vaksin yang dianjurkan oleh

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jenis vaksin dalam kelompok ini,

meskipun penting, belum diwajibkan karena biayanya masih cukup mahal.

(Yanti,2013)
20

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan imunisasi

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor antara lain: status

imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.

a. Status imun pejamu

Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang

diberikan akan mempengaruhi keberhasilan imunisasi. Misalnya pada bayi

semasa fetus mendapat antibody maternal spesifik terhadap virus campak, bila

imunisasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik terhadap virus

campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan.

Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (slgA)

terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan imunisasi polio yang

diberikan secara oral, namun pada umumnya kadar slgA terhadap virus polio

pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Kadar slgA

tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila imunisasi polio diiberikan pada

masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir),

hendaknya ASI kolostrum jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah

imunisasi.

Keberhasilan imunisasi memerlukan maturitas imunologik. Pada

neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan

antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte antigen) masih kurang pada

permukaannya, selain deformabilitas membrane serta respons kemotaktik yang

masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih

rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T
21

supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena

fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini

masih terlihat pada bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap

antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, imunisasi pada neonatus

akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Oleh karenanya,

apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, disarankan untuk

memberikan imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang

mendapat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau

menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada

penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan imunisasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun

seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral

spesifitasnya rendah. Meskipun kadar globulin γ normal atau bahkan meninggi,

imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik,

karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis

antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag

berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

b. Faktor Genetik

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas

genetik. Secara genetic respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik,

cukup dan rendah terhadap antigen tertentu. Masing-masing dapat memberikan

repsons rendah terhadap antigen tertentu namun terhadap antigen lain dapat
22

lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan

imunisasi yang tidak mencapai 100%.

c. Kualitas dan kuantitas vaksin

Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan

keberhasilan imunisasi seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian,

ajuvan yang dipergunakan dan jenis vaksin. Hal- hal yang harus diperhatikan

dalam pemberian imunisasi adalah:

1) Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.

Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping

sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas

sistemik saja.

2) Dosis vaksin terlalu tinggi atau rendah juga mempengaruhi respons imun

yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang

diharapkan, sedangkan dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel

imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,

karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.

3) Frekuensi pemberian imunisasi juga mempengaruhi timbulnya respons imun

yang terjadi. Pemberian imunisasi ulangan untuk meningkatkan titer

antibodi yang mulai menurun. Respons imun sekunder menimbulkan sel

efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya dan afinitasnya lebih

tinggi. Jarak pemberian imunisasi mempengaruhi respons imun. Vaksin

yang berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,

maka akan segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi.
23

4) Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons

imun terhadap antigen, fungsinya memperluas permukaan antigen, atau

memperlama penyimpanan antigen dalam tubuh hospes, dan dapat

mengembangkan populasi limfosit T dan B. Ajuvan mempertahankan

antigen pada atau dekat dengan suntikan sehingga tidak cepat hilang, dan

merangsang APC mengaktifasi sel APC untuk memproses antigen secara

efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel

imunokompeten lainnya.

5) Vaksin yang mengandung organisme hidup yang dilemahkan akan

menimbulkan respons imun efektif yaitu memberikan perlindungan yang

lebih besar dan lama dengan pemberian satu dosis. Rangsangan sel Tc

memori membutuhkan sel yang terinfeksi, sehingga diperlukan vaksin hidup

untuk menginduksi terbentuknya antibodi. Pemberian vaksin hidup perlu

memperhatikan jadwal waktu pemberian karena bayi masih mempunyai

antibodi maternal yang spesifik.

6) Penanganan vaksin sejak vaksin diterima, disimpan, didistribusikan dan

dipergunakan dengan rantai vaksin merupakan bagian yang penting dan

harus sesuai dengan persyaratan agar potensi vaksin tetap terjamin sampai di

lapangan. Vaksin tidak poten disebabkan oleh buruknya sistem rantai vaksin

dari pabrik sampai ke pelayanan. Ada penurunan yang bermakna titer virus

vaksin sejak dari Biofarma sampai dengan tingkat posyandu. Vaksin yang

telah dilarutkan lebih dari 8 jam potensinya telah menurun. Bila vaksin
24

sudah dilarutkan, vaksin harus terlindung dari sinar matahari dan hanya

tahan 8 jam pada suhu 2-8 0C.(Hasyim,2012)

D. Profil Puskesmas Pitumpanua

Puskesmas Pitumpanua yang terletak di Jalan Poros Palopo No. 2

Siwa, Kecamatan Pitumpanua memiliki luas wilayah kerja 207,13 km2

dengan jumlah penduduk 42.422 jiwa.

Puskesmas Pitumpanua memiliki kurang lebih 100 tenaga

kesehatan baik itu Pegawai Negeri Sipil maupun Honorer, yang terdapat di

Puskesmas maupun Puskesmas Pembantu.

Jenis vaksin yang tersedia di Puskesmas Pitumpanua adalah vaksin

Polio, Campak dan BCG, vaksin Hepatitis B, DPT, TT dan DT. Jumlah

tenaga kesehatan yang bertanggungjawab dalam imunisasi berjumlah 3

orang.
25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

mengetahui sistem pengeloaan dan penanganan vaksin di Puskesmas

Pitumpanua Kabupaten Wajo.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Pitumpanua Kabupaten Wajo pada

bulan April – Juni 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah petugas-petugas yang menangani vaksin di

Puskesmas Pitumpanua Kabupaten Wajo.

2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah petugas-petugas yang menangani vaksin di di

Puskesmas Pitumpanua Kabupaten Wajo. Criteria puskesmas yang dipilih

sebagai tempat penelitian adalah puskesmas yang berada pada wilayah

padat penduduk dengan tingkat penggunaan vaksin yang tinggi.

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri atas variabel terikat dan variabel bebas. Sebagai

variabel terikat adalah kualitas pengelolaan vaksin, sedangkan variabel

bebasnya meliputi :

1. Fungsi lemari es
26

2. Vaksin tidak ada yang kadaluarsa

3. Ketersediaan thermometer

4. Suhu lemari es

5. Ketersediaan catatan suhu

6. Ketersediaan pedoman pengelolaan vaksin

7. Cara membawa vaksin

8. Cara menyimpan vaksin

9. Cara mengunakan vaksin

10. Cara memantau suhu vaksin

E. Defenisi Operasional

Untuk menyamakan pemahaman terhadap variabel penelitian, perlu ditetapkan

definisi operasional masing-masing variabel penelitian. Definisi operasional

yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel terikat

Kualitas pengelolaan vaksin adalah penilaian terhadap pengelolaan vaksin

berdasarkan kualitas vaksin saat dilakukan penilaian

2. Variabel bebas

Variabel bebas terdiri atas 10 variabel, defenisi operasional masing-

masing variabel dan cara pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 1

berikut:
27

Tabel 3. Defenisi operasional, cara pengukuran dan skor penilaian variabel


penelitian

No. variabel Defenisi operasional Cara pengukuran dan skor


penilaian
1. Fungsi lemari peruntukan lemari es Pengamatan/observasi
es dalam penyimpanan - khusus vaksin (skor 1)
vaksin - tidak khusus (skor 0)
2. Vaksin tidak Vaksin yang tersedia Wawancara dan pengamatan
kadaluarsa di puskesmas tidak - jika tidak ada yang kadaluarsa
ada yang kadaluarsa (skor 1)
- jika ada yang kadaluarsa (skor
0)
3. Ketersediaan Ada tidaknya Pengamatan/observasi
thermometer thermometer di dalam - ada (skor 1)
lemari es - tidak ada (skor 0)
4. Suhu lemari es Suhu lemari es yang Pengamatan/observasi:
ditunjukkan oleh - 2-8 oC (skor 1)
termometer - bukan 2-8 oC (skor 0)
5. Ketersediaan Ada tidaknya sarana Wawancara dan pengamatan
kartu/catatan Untuk mendoku- - ada (skor 1)
suhu mentasikan catatan - tidak ada (skor 0)
suhu
6. Ketersediaan Ada tidaknya Wawancara, Pengamatan
pedoman pedoman - ada (skor 1)
pengelolaan pengelolaan vaksin - tidak ada (skor 0)
vaksin
7. Cara membawa Tempat dan Wawancara
Vaksin perlengkapan - benar, jika vaksin diletakkan
saat membawa vaksin dalam termos/vaccine carier
dari puskesmas ke yang berisi cool pack dan
UPS thermometer (skor 1)
- salah, jika tidak sesuai dengan
pernyataan (skor 0)
8. Cara Susunan vaksin dalam Wawancara, pengamatan
Penyimpanan lemari es - benar, jika : vaksin heat sensitif
vaksin diletakkan di rak atas dan vaksin
freeze sensitive diletakan di rak
bawah; - tidak ada vaksin di rak
pintu (skor 1)
- salah, jika tidak sesuai dengan
ketentuan pada pernyataan di
atas (skor 0)
28

9. Cara pemakaian Prosedur pemilihan Wawancara, pengamatan


Vaksin vaksin yang akan - benar, jika pemilihan vaksin
digunakan/diberikan didasarkan pada prinsip EEFO
kepada sasaran dan pertimbangan kondisi VVM
(skor 1)
- salah, jika tidak sesuai dengan
pernyataan di atas (skor 0)
10. Cara Kegiatan untuk Wawancara, pengamatan
pemantauan memantau suhu - benar, jika suhu dipantau secara
Suhu vaksin rutin sehari 2x. (skor 1)
- salah, jika tidak dilakukan
pemantauan suhu secara rutin
(skor 0)

F. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang

dikumpulkan dengan cara wawancara dan pengamatan/observasi langsung,

penilaian kualitas dilakukan dengan cara check list format wawancara dan

observasi langsung

G. Pengolahan Data

Data hasil wawancara dan pengamatan langsung kualitas penanganan vaksin

dibagi 2 kategori, yaitu :

1. Kualitas penanganan baik, jika skor perolehan rata-rata : ≥ 8

2. Kualitas penanganan buruk, jika skor perolehan rata-rata : < 8


29

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 2009, Pedoman Pengelolaan Vaksin, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan,
Jakarta. http://Pedoman.pengeloaan.vaksin.ac.id.pdf, diakses 18 Januari
2018

Fitri R.2013.Faktor yang Berhubungan Dengan Praktik Bidan Dalam Distribusi


Dan Penyimpanan Vaksin DPT.Jurnal berkala epidemiologi,
Surabaya,http://respiratory.unair.ac.id/Faktor.yang.berhubugan.dengan.pra
ktik.bidan.id,eprint/23219Socialshare.pdf,diakses 18 Januari 2018

Gebbie,dkk. 2015. Evaluasi Penyimpanan dan Pendistribusian Vaksin dari Dinas


Kesehatan Kota Manado ke Puskesmas Tuminting,Puksesmas Paniki
Bawah dan Puskesmas Wenang.Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT Vol.4
No.3 Agustus 2015 ISSN 23022493, Manado,
http://download.portalgaruda.org.article.php?article.evaluasi.penyimpanan.
dan.pendistribusian.vaksin.pdf, diakses 18 Januari 2018

Hasyim, 2012. Studi Kualitas Penanganan Vaksin Di Beberapa Puskesmas Kota


Makassar. KTI.Poltekkes Kemenkes Makassar Jurusan Farmasi.

Kairul,dkk.2013.Gambaran Pengelolaan Ranta Dingin Vaksin Program


Imunisasi Dasar.Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-journal) Volume 4
nomor 4, oktober 2016 (ISSN :2356-3346).Semarang,
http://ejournal3.undip.ac.id/Gambaran.pengelolaan.rantai.dingin.vaksin.ind
ex.php/jkm.pdf, Diakses 20 Januari 2018

Rinansita, 2017. Menjamin Kualitas Vaksin Dengan Manajemen Rantai


Dingin.Jurnal.Yogyakarta,http://jurnal.poltekkapp.ac.id/menjamin.kualitas
.vaksin.dengan.manajemen.rantai.dingin./JMIL/article/download/7/6.pdf.,d
iakses 20 Januari 2018

Yanti, 2013. Faktor-Faktor Internal Yang Berhubungan Dengan Kelengkapan


Imunisasi Dasar Balita Usia 1-5tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Situ
Gintung Ciputat Tahun 2013.Skripsi.Universitas Islam Negti Syarif
Hidayatullah.Jakarta.Http://lib.unair.ac.id..Faktorfaktor.internal.yang.berh
ubungan.dengan.kelengkapan.imunisasi.dasar.balita.pdf,diakses 20 Januari
2018

World Health Organization,1998, Thermostability of Vaccines.Book.


www.clinisense.com/WHO_vaccine_stability_1998.pdf, Diakses 20
Januari 2018
30

FORMAT PENGUMPULAN DATA

Check
No. variabel Pengamatan Ket.
list
1. Fungsi lemari khusus vaksin
es
2. Vaksin tidak Ada yang kadaluarsa
kadaluarsa
3. Ketersediaan Ada thermometer
thermometer
4. Suhu lemari es Suhu 2-8 oC
5. Ketersediaan Tersedia kartu catatan suhu
kartu/catatan
suhu
6. Ketersediaan Ada pedoman pengelolaan
pedoman vaksin
pengelolaan
vaksin
7. Cara Vaksin dibawa dalam
membawa termos/vaccine carrier yang
Vaksin berisi cool pack dan
termometer
8. Cara - vaksin heat sensitif
Penyimpanan diletakkan di rak atas dan
vaksin vaksin freeze sensitive
diletakan di rak bawah
- tidak ada vaksin di rak
pintu
9. Cara pemilihan vaksin didasarkan
pemakaian pada prinsip EEFO dan
Vaksin pertimbangan kondisi VVM
10. Cara suhu dipantau secara rutin 2
pemantauan kalisehari
Suhu
31

Lampiran I
SKEMA KERJA

Surat Izin Ketua Jurusan Farmasi


POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

Kepala Puskesmas
Pitumpanua Kabupaten Wajo

PENGUMPULAN DATA

PENGOLAHAN DATA

PEMBAHASAN

KESMIPULAN

Skema Kerja : Alur Penelitian Evaluasi Pengelolaan Dan Penanganan Vaksin Di


Puskesmas Pitumpanua Kabupaten Wajo

Anda mungkin juga menyukai