PENDAHULUAN
1
pada produk-produk pertanian dan lingkungan perairan (Pesticide Action
Network Asia and The Pacific, 1999; Sofia, 2001).
Serangan organisme pengganggu telah menjadi masalah di lahan
pertanian, dan merupakan alasan mengapa petani meningkatkan penggunaan
bahan kimia pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman
(OPT). Padahal di sisi lain, peningkatan penggunaan pestisida ini dikhawatirkan
menyebabkan pencemaran lingkungan, bahkan kepada manusia. Menurut Sofia
(2001), kesalahan dalam pemakaian dan penggunaan pestisida akan
menyebabkan pembuangan residu yang tinggi pada lingkungan pertanian
sehingga akan mengganggu keseimbangan lingkungan. World Health
Organization (WHO) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada sekitar 3
juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang
terkena racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap
tahun (Miller, 2004). Di Indonesia, pernah dilaporkan dampak penggunaan
pestisida yang terjadi, salah satunya di Semarang pada bulan Juli tahun 2007.
Kejadian luar biasa akibat penggunaan pestisida dari jenis fungisida dan juga
insektisida menyebabkan beberapa orang meninggal dunia akibat terpapar zat
kimia tersebut.
Salah satu organisme penggangu tanaman yang keberadaannya sangat
mengganggu di lahan pertanian adalah gulma. Gulma mengganggu karena
bersaing dengan tanaman utama terhadap kebutuhan sumberdaya (resources)
yang sama yaitu unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Sebagai akibat dari
persaingan tersebut, produksi tanaman menjadi tidak optimal atau dengan kata
lain ada kehilangan hasil dari potensi hasil yang dimiliki tanaman (Purba, 2009).
Pengendalian gulma yang sering dilakukan adalah secara kimiawi yaitu
dengan menggunakan herbisida, keuntungannya karena cepat dan efektif,
terutama untuk areal yang luas. Namun segi negatifnya ialah bahaya keracunan
tanaman, mempunyai efek residu terhadap lingkungan dan alam sekitar. Secara
teknis pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual, mekanik, maupun
kimiawi. Pemilihan teknik pengendalian bergantung pada luas lahan pertanian
ataupun biaya yang dimiliki pihak pemilik kebun atau lahan pertanian. Saat ini
banyak pengelola perkebunan atau pertanian lebih memilih menggunakan teknik
kimiawi, dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga. Menurut Valverde (2003),
teknik pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan herbisida cenderung
mengalami peningkatan baik kualitas maupun kuantitas dari tahun ke tahun di
2
banyak negara di dunia, dengan volume pemakaian herbisida yang jauh lebih
tinggi (70%) di negara-negara maju dibanding dengan di negara-negara sedang
berkembang. Lebih lanjut, menurut Purba (2009) peningkatan penggunaan
herbisida dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, ketersediaan
tenaga kerja yang terbatas, pengendalian gulma relatif singkat, dan biaya
pengendalian lebih murah (cost-effective) dibanding dengan teknik lain.
Perkebunan tebu PT Rajawali II PG. Subang merupakan salah satu
perkebunan yang menerapkan teknik pengendalian gulma secara kimiawi yaitu
dengan menggunakan herbisida. Lahan dengan luas sekitar ± 5400 ha membuat
pengelola kebun mengambil kebijakan pengendalian gulma dengan cara kimiawi,
disamping menggunakan teknik manual. Penggunaan herbisida di perkebunan
tebu ini dilakukan pada saat sebelum masa tanam (sebar benih) atau segera
setelah masa tanam, yang dikenal dengan herbisida pre-emergence maupun
setelah masa tanam (post-emergence). Pemberian herbisida di lapang akan
tergantung kepada jenis gulma yang tumbuh. Jika setelah beberapa waktu
setelah aplikasi gulma tumbuh kembali maka akan diberikan aplikasi berikutnya.
Penggunaan herbisida yang intensif di lapang memerlukan kehati-hatian
dalam mengaplikasikannya. Terutama keselamatan bagi para pekerja, dan juga
dampaknya pada lingkungan. Sehingga informasi mengenai pengetahuan akan
herbisida dan bahayanya perlu disosialisasikan dengan benar tidak hanya
kepada para konsumen, tetapi juga kepada pihak yang bekerja langsung dengan
pemakaian herbisida. Berkaitan dengan masalah tersebut, adanya Standard
Operating Procedure (SOP) dari perusaahan harus dapat menjamin keselamatan
bagi semua pekerja perusahaan, dan juga pengawasan dalam pelaksanaan SOP
tersebut harus tetap berjalan.
Untuk meminimalisasi dampak yang tidak diharapkan pada lingkungan,
maka perlu dilakukan pemantauan terhadap residu herbisida pada komponen
lingkungan seperti tanah dan tanaman yang berpotensi ikut tercemar atau
terganggu, mengingat produk pertanian tebu (gula) merupakan salah satu
komoditas penting nasional.
3
untuk menggunakan bahan kimia tersebut. Namun disamping manfaatnya yang
besar, herbisida dikhawatirkan memiliki dampak yang cukup merugikan pada
penggunaannya, seperti halnya jenis pestisida lainnya. Penggunaan herbisida di
lahan tebu secara intensif dikhawatirkan akan meninggalkan residu baik pada
tanaman maupun tanah. Residu merupakan salah satu konsekuensi dari
penggunaan suatu jenis pestisida, dan dapat bersifat toksik bagi lingkungan dan
manusia. Selain itu dapat menghambat usaha pengembangan produk pertanian,
terutama untuk komoditas ekspor, karena negara-negara pengimport akan
menolak komoditas yang mengandung residu yang telah melewati ambang batas
residu di negaranya.
Pada lingkungan tanah, herbisida dapat mencemari tanah yang kemudian
masuk ke air tanah dan akhirnya mencemari sungai-sungai sekitar lahan. Selain
itu, di dalam tanah, akar tanaman tebu dapat menyerap herbisida yang kemudian
menjadi residu di dalam tanaman. Oleh karena tanaman tebu ini akan diolah
lebih lanjut untuk dijadikan produk jadi berupa gula, maka kandungan zat kimia
yang berasal dari herbisida perlu diperhatikan.
Selain masalah tersebut, herbisida juga dapat mengganggu keselamatan
dan kesehatan pekerja. Para pekerja pada umumnya kurang atau tidak
memperhatikan tata cara penggunaan pestisida di lapangan, maupun
bahayanya. Hal inilah yang dikhawatirkan penggunaan herbisida dengan tidak
bijaksana akan membawa dampak buruk baik bagi pekerja itu sendiri maupun
lingkungan. Maka perlu dipertimbangkan beberapa hal dalam penggunaan
herbisida yaitu memerlukan pengetahuan (pengenalan bahan, penggunaan alat,
perlengkapan pelindung, penentuan dosis), keamanan bagi lingkungan,
keselamatan pemakai, dan pendidikan konsumen.
Hingga saat ini belum banyak informasi diketahui mengenai kadar residu
herbisida di lahan tebu maupun perilaku pekerja/petani terhadap herbisida
tersebut. Mengetahui bahaya yang dapat ditimbulkan dari penggunaan herbisida,
maka diperlukan penelitian di lokasi perkebunan tebu untuk melengkapi informasi
mengenai residu herbisida yang terdapat di lahan tebu dan persepsi pekerja
kebun tebu.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dapat dirangkum rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi pekerja kebun terhadap herbisida dan perilaku
dalam pengaplikasian herbisida di lapang?
4
2. Bagaimana tingkat residu herbisida di dalam tanah dan tanaman tebu?
5
perusahaan yang ada. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pemikiran dari
penelitian ini secara skematik.
Peningkatan/Optimalisasi
Hasil Kebun
Pengendalian
Gulma
Pengawasan
Aplikasi Herbisida Perilaku Pekerja
Pekerja
Tebu Tanah
Metabolisme
Degradasi dan
Akumulasi
Detoksifikasi
dan Akumulasi
Analisis Residu
Baku Mutu/Batas
Nilai Standar