Anda di halaman 1dari 338

Modul Ajar

AGROEKOLOGI

TIM PENGAJAR
AGROEKOLOGI

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM BANDA ACEH, 2017

UNSYIAH PRESS
2011
AGROEKOLOGI
Kini sedang terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Deretan
bencana seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan gagal
panen telah menimbulkan dampak yang nyata terhadap
kehidupan manusia dan alam sekitar. Hal-hal tersebut dipicu
oleh proses kimiawi, diantaranya adalah pembakaran bahan
bakar fosil seperti bensin, solar, gas, minyak tanah, batu bara
dll. Disamping itu pembakaran/penggundulan hutan juga telah
menambah panjangnya kerusakan di atas muka
bumi. Penggundulan hutan seperti ini makin memperburuk
keadaan, di satu sisi terjadi peningkatan gas rumah kaca yang
semakin besar dan di sisi lainnya jumlah pepohonan semakin
berkurang.
Efek lainnya juga menyebabkan penipisan dan kerusakan
keanekaragaman hayati. Dalam buku ini kita tidak hanya
mencoba menyoroti keadaan agroekosistem Indonesia yang
semakin buruk, tapi juga mencoba mengemukakan
alternatif cara menanggulanginya. Reboisasi saja tidak cukup
untuk menyelamatkan hutan dari kehancuran, karena
penanaman kembali tidaklah mengembalikan unsur-unsur
hayati dan ekosistem asli hutan tersebut.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang ekologi atau
khususnya agroekologi sangat penting dipahami oleh setiap
orang, khususnya golongan pelajar dan mahasiswa, sehingga
kita dapat memiliki persepsi yang utuh tentang lingkungan dan
interaksi yang terjadi guna menciptakan keseimbangan alam
dan menjamin pertanian yang akan berkelanjutan.
PRAKATA
Penulisan buku ajar ini adalah untuk memenuhi kurikulum pendidikan
tinggi, sehingga diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi yang
baik dalam mengelola suatu agroekosistem. Dengan demikian, mampu
memahami dan menjelaskan tentang pengertian ekologi, agroekologi,
ruang lingkup agroekologi, konsep ekosistem, vegetasi, siklus
biogeobiokimia dan faktor pembatas. Mahasiswa juga dituntut untuk
mampu menganalisis interaksi tanaman dengan lingkungannya,
dampak pertanian pada lingkungan, restorasi agroekosistem,
perencanaan dan pengembangan agroekosistem, serta estetika
lingkungan dan ekowisata.
Buka ajar ini disusun untuk mendukung sistem pembejalaran
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yaitu dengan menggunakan
sistem pembelajaran multimedia; bersifat interaktif, yaitu memiliki
hyperlink; disertai dengan tugas-tugas dan soal-soal latihan yang
terstruktur dan interaktif untuk melatih tercapainya kompetensi
mahasiswa; menyajikan banyak illustrasi, gambar, dan foto-foto yang
relevan atau kontekstual; disajikan dalam bentuk e-paper atau format
file pdf. Sehingga memungkinkan mahasiswa mengakses secara
interaktif dan lebih leluasa di website E-Learning, Universitas Syiah
Kuala (http://www.unsyiah.ac.id).

Banda Aceh, 7 Februari 2011


Tim Penyusun,

iii
KATA PENGANTAR
Kini telah dan sedang terjadi perubahan iklim yang ekstrim.
Deretan bencana seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan gagal
panen telah menimbulkan dampak yang nyata terhadap kehidupan
manusia dan alam sekitar. Hal-hal tersebut dipicu oleh proses
kimiawi, diantaranya adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti
bensin, solar, gas, minyak tanah, batu bara dll. Disamping itu
pembakaran/penggundulan hutan juga telah menambah panjangnya
kerusakan di atas muka bumi. Penggundulan hutan seperti ini makin
memperburuk keadaan, di satu sisi terjadi peningkatan gas hasil
pembakaran fosil yang semakin besar dan di sisi lainnya jumlah
pepohonan semakin berkurang.
Efek lainnya bukan hanya itu saja, tapi juga rusaknya
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Dalam buku ini kita
bukan hanya menyoroti keadaan agroekosistem Indonesia yang
semakin parah, tapi juga mencoba mengemukakan alternatif cara
menanggulanginya. Jika selama ini pemerintah menggalakkan
reboisasi atau penanaman kembali lahan bekas tebangan pohon, tapi
menurut data dari Badan Konservasi Dunia bahwa reboisasi saja tidak
cukup untuk menyelamatkan hutan dari kehancuran, karena
penanaman kembali tidaklah mengembalikan unsur-unsur hayati dan
ekosistem asli hutan tersebut.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang ekologi atau khususnya
agroekologi sangat penting dipahami oleh setiap orang, khususnya
golongan pelajar dan mahasiswa, sehingga kita dapat memiliki
persepsi yang utuh tentang lingkungan dan interaksi yang terjadi guna
menciptakan keseimbangan alam dan menciptakan pertanian yang
berkelanjutan.

Tim Penyusun

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan


tim pengajar Agroekologi yang telah berpartisipasi dalam
pembentukan outline untuk buku ajar ini, khususnya kepada Prof. Dr.
Ir. Zainal Abidin Pian, M.S., Prof. Dr. Ir. Sabaruddin, M.Agr, Prof.
Dr. Ir. Abubakar Karim, M.S., Dr. Ir. Ashabul Anhar, M.Sc., Ir.
Jumini, M.P., Ir. Abdul Halim Achmad, M.P., Ir. Abduh Ulim, M.P.,
Ir. Syammiah, S.U., dan Ir. Agus Halim, M.S.
Secara khusus kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tinggi kepada Prof. Dr. Ir. Lukman Hakim,
M.S yang telah berkenan menjadi editor, reviewer, sehingga buku ini
dapat disajikan dengan sempurna. Akhirnya, tim penyusun
menghaturkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Aceh yang
telah mendanai terbitnya buku ini melalui dana APBA.

Tim Penyusun

v
DAFTAR ISI
PRAKATA ……………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR ………………………………………….. iv
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Ekologi ……………………………………….… 1
1.2 Ekologi Sebagai Ilmu …………………………………….… 6
1.3 Ekologi Tanaman …………………………………………... 8
1.4 Tingkat Organisasi Makhluk Hidup .………………………. 10
1.5 Pembagian Ekologi ………………………………………... 12
1.6 Hubungan Ekologi dengan Ilmu Lainnya ………………….. 13
1.7 Rangkuman ………………………………………………... 14
1.8 Latihan …………………………………………………….. 15
1.9 Glossarium ............................................................................ 17
1.10 Daftar Pustaka ..................................................................... 18
BAB II KONSEP AGROEKOLOGI
2.1 Pengertian Agroekologi ......................................................... 19
2.2 Ruang Lingkup Agroekosistem ............................................. 21
2.3 Prinsip Dasar Pengelolaan Agroekosistem ............................ 23
2.4 Rangkuman ………………………………………………… 26
2.5 Latihan ……………………………………………………... 26
2.6 Glossarium …………………………………………………. 28
2.7 Daftar Pustaka ……………………………………………... 28
BAB III KONSEP EKOSISTEM
3.1 Pengertian Ekosistem ………………………………………. 30
3.2 Komponen Ekosistem ……………………………………… 34
3.3 Produksi dan Dekomposisi …………………………………. 38
3.4 Stok Karbon (Carbon Stock) ………………………………... 43
3.5 Produktivitas Ekosistem Tropika …………………………... 50
3.6 Aliran Energi ………………………………………………… 54
3.7 Ekosistem Pertanian ………………………………………… 59
3.8 Rangkuman ………………………………………………….. 76
3.9 Latihan ……………………………………………………… 80
vi
3.10 Glossarium ………………………………………………… 80
3.11 Daftar Pustaka …………………………………………….. 81

BAB IV VEGETASI
4.1 Jenis-jenis Vegetasi ……………………………………….. 85
4.2 Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest) ………………. 86
4.3 Hutan Gugur Tropis (Tropical Deciduous Forest) ………… 88
4.4 Hutan Montana (Montana Forest) ………………………… 90
4.5 Savana …………………………………………………….. 92
4.6 Gurun (Desert) …………………………………………….. 94
3.7 Vegetasi Rawa …………………………………………….. 95
4.8 Rangkuman ………………………………………………... 97
4.9 Latihan …………………………………………………….. 98
4.10 Glossarium ………………………………………………… 99
4.11 Daftar Pustaka ……………………………………………. 99
BAB V SIKLUS BIOGEOKIMIA DAN FAKTOR PEMBATAS
5.1 Pengertian dan Proses Biogeokimia ………………………... 102
5.2 Siklus O2 …………………………………………………… 103
5.3 Siklus CO2 ………………………………………………….. 105
5.4 Siklus N …………………………………………………….. 106
5.5 Siklus P ……………………………………………………... 108
5.6 Siklus K ……………………………………………………. 109
5.7 Siklus Hara …………………………………………………. 111
5.8 Siklus Hidrologi ……………………………………………. 111
5.9 Azas-azas Mengenai Faktor Pembatas ……………………... 112
5.10 Rangkuman ………………………………………………. 116
5.11 Latihan ……………………………………………………. 117
5.12 Glossarium ……………………………………………….. 118
4.13 Daftar Pustaka …………………………………………… 118
BAB VI INTERAKSI TANAMAN DENGAN LINGKUNGANNYA
6.1 Hubungan Antara Tanaman dan Tanah …………………… 120
6.2 Hubungan Tanaman dengan Air …………………………… 144
6.3 Hubungan Tanaman dengan Cahaya ……………………… 156
6.4 Hubungan Tanaman dengan Udara ……………………….. 174
6.5 Interaksi antar Tanaman …………………………………… 194
6.6 Hubungan Tanaman dengan Hewan ………………………. 210
6.7 Hubungan Tanaman dengan Manusia …………………….. 228

vii
6.8 Rangkuman ………………………………………………. 244
6.9 Latihan …………………………………………………… 246
6.10 Glossarium ……………………………………………….. 247
6.11 Daftar Pustaka ……………………………………………. 248

BAB VII DAMPAK PERTANIAN TERHADAP LINGKUNGAN


7.1 Dampak Revolusi Hijau.tem …………………………..….. 250
7.2 Dampak Pemanasan Global ....….............................……….. 252
7.3 Kerusakan Ekosistem Lahan Pertanian ……....……………. 257
7.4 Dampak Pertanian Terhadap Pencemaran Lingkungan .…… 259
7.5 Rangkuman ………………………………………………… 260
7.6 Latihan ……………………………………………………... 261
7.7 Glossarium …………………………………………………. 262
7.8 Daftar Pustaka ……………………………………………… 263

BAB VIII RESTORASI AGROEKOSISTEM


8.1 Potret Kerusakan Ekosistem …………………………..….. 265
8.2 Degradasi Cagar Alam …………………………………….. 268
8.3 Strategi Konservasi dan Restorasi …………………………. 269
8.4 Perubahan Iklim dan Restorasi Ekosistem ………………… 271
8.5 Posisi Ekologi Restorasi dalam Perubahan Iklim …………… 277
8.6 Rangkuman ………………………………………………… 279
8.7 Latihan ……………………………………………………... 280
8.8 Glossarium …………………………………………………. 280
8.9 Daftar Pustaka ……………………………………………… 281
BAB IX PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN
AGROEKOSISTEM
9.1 Konsep Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem .….. 283
9.2 Strategi Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem ….. 285
9.3 Manajemen Lahan pada Agroekosistem ....………………… 291
9.4 Rangkuman …………………………………………...……... 298
9.4 Latihan ……………………………………………………... 299
9.5 Glossarium …………………………………………………. 299
9.6 Daftar Pustaka ……………………………………………… 300

viii
BAB X ESTETIKA LINGKUNGAN DAN EKOWISATA
10.1 Estetika dan Keindahan ..…………………………………. 301
10.2 Manfaat Vegetasi pada Estetika Lingkungan ...................... 303
10.3 Perkembangan Ekowisata di Indonesia ............................... 313
10.4 Pariwisata Masal Versus Ekowisata .................................... 318
10.5 Rangkuman ........................................................................... 319
10.6 Latihan .................................................................................. 320
10.7 Glossarium ........................................................................... 321
10.8 Daftar Pustaka ..................................................................... 322
INDEKS ………………………………………………………... 325
BIOGRAFI PENULIS ………………......……………………… 327

ix
Agroekologi: Pendahuluan 1

BAB I
PENDAHULUAN

Setelah mengkaji bab ini diharapkan pembaca mampu memahami,


menjelaskan dan mendiskusikan pengertian dan ruang lingkup
ekologi, yang meliputi pengertian ekologi, ekologi sebagai ilmu sains,
ekologi tanaman, tingkat organisasi makhluk hidup, pembagian
ekologi, dan hubungan ekologi dengan ilmu-ilmu lainnya. Selanjutnya
setelah bab ini dipahami dengan baik, pembaca diharapkan juga dapat
menjawab latihan-latihan pada bagian akhir bab, memberikan
presentasi dan diskusi serta menyimpulkan materi yang diberikan
dalam bab ini.

1.1 Pengertian Ekologi

Vickery (1984) dalam bukunya Ecology of Tropical Plants memberi


batasan tentang Ekologi sebagai cabang biologi yang mempelajari
tentang hubungan timbal balik secara menyeluruh antara makhluk
hidup dengan semua unsur-unsur lingkungan di sekitarnya. Istilah
Ekologi pertama sekali dikemukakan oleh Reiter pada tahun 1865
dengan menggabungkan dua kata yang berasal dari bahasa Yunani,
oikos yang berarti rumah, dan logos yang berarti pengetahuan
tentang. Berdasarkan bahasa Inggris, istilah Ecology berasal dari dua
gabungan kata, eco- yang berarti lingkungan, alam, atau tempat
tinggal alami, sedangkan -logy berarti ilmu. Pada 1866, istilah
Ekologi dikembangkan oleh Haeckle menjadi sebuah definisi yang
formal dan paling banyak digunakan yaitu “Ekologi sebagai suatu
keseluruhan pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan-hubungan
total antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang bersifat
organik maupun anorganik”.
Dalam berbagai media, kita sering menemukan bahwa Ekologi
seringkali disebut juga disebut dengan Biologi Lingkungan, karena
Ekologi memfokuskan bagaimana faktor-faktor luar mempengaruhi
Agroekologi: Pendahuluan 2

organisme, dan bagaimana pula organisme itu mengubah atau


merespon keadaan sekelilingnya. Lingkungan mengandung pengertian
sebagai suatu kombinasi khusus dari keadaan luar yang
mempengaruhi organisme. Lingkungan terdiri dari unsur-unsur biotik
dan abiotik. Unsur-unsur biotik di antaranya adalah manuasia, hewan,
tumbuhan, dan mikroorganisme. Sedangkan unsur-unsur abiotik
meliputi air, tanah, udara, dan cahaya.
Ekologi memang mempelajari interaksi antara organisme
dengan lingkungannya dalam suatu habitat tertentu. Namun demikian,
apa yang menjadi perbedaan antara lingkungan dan habitat, kadang-
kadang kita belum memahami sepenuhnya. Jadi, lingkungan
mencakup semua faktor luar yang bersifat biologis, kimiawi maupun
fisik yang langsung mempengaruhi semua aktifitas kehidupan,
pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi organisme. Sedangkan
habitat dalam arti luas adalah tempat terjadinya aktivitas atau ruang
lingkup yang menjadi tempat di mana organisme beraktifitas bersama
semua faktor-faktor lingkungannya (Gambar 1.1). Jadi, makna habitat
lebih kepada bentang alam (lansdscape) yang mempunyai batas-batas
wilayah tersendiri di dalam lapisan biosfir, yang mencakup atmosfir,
hidrosfir, dan litosfir (Gambar 1.2).

Gambar 1.1 Hubungan organisme dengan lingkungan merupakan aspek yang


sangat menarik untuk dikaji dalam ilmu Ekologi (Illustrasi: Georgia
Department of Natural Resources-USA, 2010)
Agroekologi: Pendahuluan 3

Gambar 1.2 Habitat


suatu makhluk hidup
dapat terdiri dari tiga
lapisan atau wilayah,
yang meliputi atmosfir
(udara), hidrosfir (air),
serta litosfir (bumi).
Ketiga lapisan terse-
but dikenal dengan
biosfir (Oracle-Think
Quest-USA, 2010).

Semua organisme yang berinteraksi dengan seluruh unsur


lingkungan disebut dengan ekosistem. Suatu ekosistem dapat
berukuran sangat kecil seperti lambung seekor hewan pemakan
rumput (herbivora), atau dapat pula berukuran besar, misalnya beribu-
ribu kilometer persegi areal yang menjadi tempat sekelompok hewan
herbivora mendapatkan makanannya, seperti padang Savana di Afrika.
Pemahaman beberapa ilmu lainnya sangat diperlukan untuk
dapat memahami ekologi. Ekologi bersifat interdisipliner karena untuk
mengerti dan memahami secara utuh hubungan antara organisme
dengan lingkungannya haruslah berdasarkan pada berbagai pengertian
dari banyak bidang ilmu yang berkaitan. Ekologi secara khusus terkait
erat dengan fisiologi, genetika, evolusi dan tingkah laku organisme.
Berdasarkan tingkat kompleksitas interaksi yang terjadi antara
organisme dengan lingkungannya, maka berdasarkan Gibson dan
Gibson (2006), makhluk hidup dapat diorganisasikan dari tingkat
yang kecil hingga yang terbesar, yaitu sebagai berikut (Gambar 1.3):
(1) organisme (individu makhluk hidup),
(2) populasi (kelompok),
(3) komunitas (masyarakat), dan
(4) bioma (jenis ekosistem)
Agroekologi: Pendahuluan 4

Gambar 1.3. Suatu organisme sebenarnya terdiri dari partikel sub-atom, atom,
molekul, dan protoplasma (protoplasm).Suatu populasi adalah kum-
pulan individu yang memiliki sel, jaringan, organ, dan sistem organ
yang sama. Komunitas adalah kumpulan populasi yang mendiami
suatu habitat tertentu. Kumpulan beberapa komunitas yang saling
pengaruh mempengaruhi disebut dengan ekosistem. Seluruh ekosis-
tem yang mendiami planet bumi disebut dengan biome (Gibson
dan Gibson, 2006).
Agroekologi: Pendahuluan 5

Organisme adalah suatu individu makhluk hidup yang


merupakan suatu unit terkecil dari ekosistem. Setiap individu selalu
mengadakan interaksi, baik secara langsung dengan lingkungannya
maupun antar individu itu sendiri. Apabila tingkat interaksi pada
tingkat individu berubah, maka akan menyebabkan perubahan pula
pada tingkat organisasi yang lebih tinggi. Perubahan perilaku suatu
individu akan mempengaruhi perilaku individu-individu dalam
kelompoknya.
Populasi adalah kelompok yang merupakan gabungan individu-
individu yang memiliki kesamaan genetik dan berada bersama-sama
dalam suatu tempat dan waktu yang sama. Apabila kita membicarakan
populasi, maka yang kita maksud adalah anggota-anggota dari spesies
yang sama, yang satu sama lain berdekatan. Misalnya adalah
sekelompok tanaman kelapa yang ada di suatu hutan desa.
Komunitas adalah kelompok populasi yang berada bersama-
sama dalam tempat tertentu dan waktu tertentu. Misalnya populasi
tanaman padi yang hidup di suatu persawahan (Gambar 1.4). Kita
dapat menggunakan komunitas untuk menunjukkan semua makhluk
yang hidup di dalam suatu ekosistem, atau kita dapat pula membatasi
perhatian hanya pada komunitas tumbuhan saja, komunitas serangga
saja, atau komunitas lainnya.

Gambar 1.4 Kelompok populasi tanaman padi nampak tumbuh serasi menyatu
dengan lingkungan alam sekitarnya (Lambeugak, Aceh Besar, 2008)
Agroekologi: Pendahuluan 6

Gambar 1.5 Tanaman violet (Viola)


merupakan sejenis tanaman yang
bunganya berbau manis yang tum-
buh ditengah hutan (Grows on You
-USA, 2011).

Lingkungan tumbuh tanaman violet ini sangat membutuhkan


kombinasi antara sinar matahari, suhu, air, gas dan berbagai mineral
yang dibutuhkan, serta hewan-hewan yang secara langsung mempe-
ngaruhinya. Tanaman violet itu umumnya tumbuh bercampur dengan
violet lainnya, dan kelompok violet itu merupakan suatu populasi.
Spesies tanaman lainnya tumbuh bercampur pula dengan violet itu.
Maka kelompok tanaman yang berbeda spesies tersebut tinggal
bersama-sama membentuk suatu guild. Seluruh guild yang menjadi
suatu ekosistem dalam suatu kawasan di hutan itu membentuk suatu
biome.

1.2 Ekologi Sebagai Ilmu

Sesungguhnya setiap organisme (makhluk hidup) tidak dapat hidup


tanpa berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh,
sebutir benih baru dapat tumbuh kalau air atau kelembaban sudah
tersedia. Interaksi benih dengan air/uap airlah yang menjadi penyebab
tumbuhnya benih tersebut. Apabila hal ini dikaji akan membuka
cakrawala kita yang lebih luas. Kajian tentang interaksi secara terus
Agroekologi: Pendahuluan 7

menerus antara makhluk hidup dengan lingkungannya dikenal dengan


istilah Ekologi. Sebagai contoh (Gambar 1.5), tumbuhan memerlukan
sinar matahari, tanah, air, hewan. Beberapa tumbuhan bahkan juga
memerlukan tumbuhan lain sebagai tempat hidupnya (inang).

Gambar 1.5 Tumbuhan


merupakan organisme
yang bersifat primer da-
lam proses aliran energi
dari matahari. Tumbuh-
an mampu mengkonver-
si energi cahaya ke da-
lam bentuk energi kimia
yang disimpan dalam
berbagai molekul, seper-
ti karbohidrat, lemak,
serta protein (Foto:
123RF, 2011).

Di samping itu, tumbuhan menjadi sumber makanan bagi hewan


dan manusia. Sebaliknya ada juga tumbuhan yang dapat memangsa
serangga (hewan) sehingga ia bersifat karnivora, seperti kantong
semar (Gambar 1.6). Ada pula hewan menjadi makanan hewan lain.
Demikian pula proses kelahiran, kehidupan, pergantian generasi, dan
kematian, kesemuanya telah menjadi pengetahuan manusia yang dapat
dipakai untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita berserta seluruh
makhluk di bumi.
Semua proses yang telah disebut di atas berlangsung terus secara
berkesinambungan mengikuti apa yang kita namakan “Hukum Alam”.
Ekologi dalam pemahaman kuantitatif relatif masih baru. Umpamanya
berapa jumlah energi matahari, jumlah air, dan luas tanah yang paling
optimum untuk satu pohon kakao. Berapa luas tanah dan padang
rumput yang layak untuk tiap satu ekor kambing agar daya dukung
lingkungan alam berada pada tingkat optimum? Dengan perkembang-
an dunia teknologi informasi (digitalisasi), maka Ekologi saat ini
bukan hanya mencari pola kehidupan secara kualitatif, tetapi juga
Agroekologi: Pendahuluan 8

berupaya untuk mencari jawaban secara kuantitatif. Upaya ini


dilakukan melalui pengukuran-pengukuran hubungan pertumbuhan
dan perkembangan organisme dengan memakai berbagai parameter,
seperti kita mengukur berapa intensitas cahaya yang terbaik untuk
menghasilkan tanaman yang tingginya berada dalam kondisi optimum
untuk mendapatkan hasil tertinggi.
Gambar 1.6. Tumbuhan kantung
semar (Nepenthes sp) yang bersifat
karnivora dapat memangsa serang-
ga untuk menjadi salah satu sum-
ber makanannya (Foto: National
Botanic Gardens - Ireleand, 2010).

1.3 Ekologi Tanaman

Ekologi tanaman mengandung dua pengertian, yaitu ekologi sebagai


ilmu dan tanaman sebagai objek. Tanaman mengandung arti tumbuh-
an yang telah dibudidayakan untuk maksud tertentu, sehingga hasilnya
dijadikan sebagai alat pemenuhan kebutuhan yang memiliki nilai
ekonomis, seperti tanaman padi (Gambar 1.7). Dengan demikian,
Ekologi Tanaman dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan timbal-balik antara tanaman dengan lingkungannya, baik
dengan unsur-unsur biotik maupun dengan unsur-unsur abiotik.
Unsur-unsur biotik diantaranya adalah tumbuhan, hewan, manusia,
dan mikroorganisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam unsur-unsur
abiotik adalah air, tanah, udara, dan cahaya.
Agroekologi: Pendahuluan 9

Interaksi yang holistik antara tanaman dengan lingkungannya


penting untuk disadari, karena tanaman tidak dapat hidup dan
berkembang sebagai individu atau kelompok individu yang terisolasi.
Semua tanaman berinteraksi dengan lingkungan sejenisnya (tanaman
yang sama), dengan tanaman lain, dan dengan lingkungan fisik tempat
hidupnya, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Ciri khas Ekologi
Tanaman adalah tanaman dapat mengubah bahan anorganik menjadi
bahan organik pada proses fotosintesis. Tanaman mampu mengubah
karbon dioksida dan air menjadi molekul organik yang disebut dengan
karbohidrat sebagai sumber bahan baku untuk membentuk senyawa
organik lainnya.

Gambar 1.7 Padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan pokok sebagian besar penduduk bumi saat ini
(Foto: Global Marketing Partnership, 2006).

Sebagai suatu ilmu, Ekologi berkembang pesat setelah tahun


1900, dan lebih pesat lagi dalam 3 dasawarsa terakhir ini. Sekarang
kita kenal pula Ilmu Lingkungan (Environmental Science) dan Biologi
Lingkungan (Environment Biology) yang merupakan ilmu tersendiri,
berbeda dengan ekologi tanaman yang sedang kita bahas. Ekologi
adalah bagian yang lebih kecil dari biologi. Seperti telah kita ketahui,
Agroekologi: Pendahuluan 10

biologi murni pada umumnya dapat dibagi dua, yaitu pembagian


berdasarkan lapisan vertikal, dan pembagian berdasarkan keeratan
taksonomi.
(1) lapisan vertikal, yaitu:
Morfologi – ilmu tentang bentuk-bentuk luar
Anatomi – ilmu tentang bagian-bagian dalam
Fisiologi – ilmu tentang aktivitas atau metabolisme
Histologi – ilmu tentang jaringan mikroskopik
Genetika – ilmu tentang sifat keturunan
Ekologi – ilmu tentang hubungan organisme dengan
lingkungannya
(2) keeratan taksonomi atau sistematika, yaitu:
Mikologi – ilmu tentang jamur (fungi)
Mikrobiologi – ilmu tentang jasad renik (mikroorganisme)
Entomologi – ilmu tentang serangga (insekta)
Ornitologi – ilmu tentang burung
Botani – ilmu tentang tumbuh-tumbuhan
Zoologi – ilmu tentang hewan

1.4 Tingkat Organisasi Makhluk Hidup

Makhluk hidup atau organisme memiliki tingkat organisasi yang


mulai dari tingkat paling sederhana sampai ke tingkat organisasi yang
paling kompleks. Bila kita urutkan dalam pemahaman ekologi akan
terlihat suatu urutan organisasi biologi yang disebut sebagai Spektrum
Biologi, yaitu sebagai berikut:
Protoplasma → Sel → Jaringan → Organ → Sistem Organ →
Organisme → Populasi → Komunitas → Ekosistem → Biosfir.
Tingkat organisasi dari kiri ke kanan semakin kompleks, berikut ini
diberi penjelasan masing-masing tingkat organisasi tersebut, yaitu:
(1) protoplasma adalah zat hidup dalam sel dan terdiri atas berbagai
senyawa organik yang kompleks seperti karbohidrat, lemak,
Agroekologi: Pendahuluan 11

protein, vitamin, hormon dan senyawa-senyawa lain serta


berbagai organella sel seperti mitokondria, ribosom, dan lain-lain;
(2) sel adalah satuan dasar suatu organisme dan terdiri atas
protoplasma dan inti yang terkandung di dalamnya. Di alam bebas
membran itu sendiri menjadi pemisah dari satuan dasarnya;
(3) jaringan adalah kumpulan sel yang memiliki bentuk dan fungsi
yang sama, misalnya jaringan pengangkut (xylem, floem);
(4) organ atau alat tubuh merupakan bagian dari suatu organisme
yang mempunyai fungsi tertentu, misalnya kaki atau telinga pada
hewan; daun, akar, batang, bunga pada tumbuhan;
(5) sistem organ adalah kerjasama antara struktur dan fungsional
yang harmonis, umpamanya kerjasama antara mata dan tangan,
dan lain sebagainya dalam suatu tubuh;
(6) organisme adalah suatu benda hidup, jasad hidup, atau makhluk
hidup;
(7) populasi adalah kelompok organisme yang sejenis yang hidup dan
berbiak pada suatu daerah tertentu, umpamanya populasi manusia
di Aceh, populasi harimau di Sumatera, populasi penyu di Pulau
Banyak, kabupaten Aceh Selatan;
(8) komunitas adalah semua populasi dari berbagai jenis makhluk
hidup yang menempati suatu daerah tertentu. Di daerah itu tiap
populasi berinteraksi satu sama lainnya, misalnya Harimau
berinteraksi dengan populasi gajah di hutan Sumatera Selatan.
Populasi rumput dapat berinteraksi dengan populasi Kirinyu,
populasi ikan Mas dengan populasi ikan Mujair, dan sebagainya;
(9) ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh
antara segenap unsur lingkungan yang saling mempengaruhi,
ekosistem merupakan hubungan timbal balik yang kompleks
antara organisme dan lingkungannya baik yang hidup maupun
yang tidak hidup (tanah, air, udara, atau kimia-fisik) yang secara
bersama-sama membentuk suatu sistem ekologi;
(10) biosfir adalah lapisan bumi tempat ekosistem beroperasi. Lapisan
bisofir tipis sekali, yaitu sekitar 9.000 meter di atas permukaan
Agroekologi: Pendahuluan 12

bumi, hanya beberapa meter di bawah permukaan tanah dan


beberapa ribu meter di bawah permukaan laut, padahal diameter
bumi kira-kira 6.378 kilometer. Oleh sebab, itu pakar lingkungan
sering menyatakan bahwa biosfir tersebut sangat rapuh. Biosfir
merupakan organisasi yang paling kompleks. Menurut hasil
penelitian antariksa, dalam sistem tatasurya matahari kita yang
memiliki sembilan planet, hanya bumi ini saja satu-satunya yang
memiliki biosfir. Planet yang lebih dekat ke matahari akan terlalu
panas, sedangkan planet yang lebih jauh akan terlalu dingin untuk
mengemban kehidupan. Biosfir secara fisik terdiri dari komponen
utama yaitu: litosfer, hidrosfir, dan atmosfir (Gambar 1.2).

1.5 Pembagian Ekologi


Ekologi masa kini menjadi sangat luas cakupannya, namun dapat
digolongkan:
(1) Menurut bidang kajiannya:
a. Autekologi yaitu ekologi yang mempelajari suatu jenis
(spesies) organisme yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Biasanya ditekankan pada aspek siklus hidup, adaptasi
terhadap lingkungan, sifat parasitis atau non parasitis, dan lain-
lain. Umpamanya, seseorang hanya mengkaji seluk beluk
ekologi orang utan (Pongo pygmeaus) di alam asli, perilaku
seekor penyu betina saat mau bertelur di habitatnya, dan lain
sebagainya.
b. Sinekologi yaitu ekologi yang mengkaji berbagai kelompok
organisme sebagai suatu kesatuan yang saling berinteraksi
dalam suatu daerah tertentu. Sering pula kita dengar istilah lain
seperti: Ekologi Jenis, Ekologi Populasi, Ekologi Komunitas,
dan Ekologi Ekosistem. Namun, istilah-istilah ini sekarang
terdapat kecenderungan untuk ditinggalkan.
(2) Menurut habitatnya:
Ada di antara pakar lingkungan yang membuat kajian ekologi
menurut habitat atau tempat suatu jenis atau kelompok jenis
Agroekologi: Pendahuluan 13

tertentu. Oleh karena itu ada beberapa istilah ekologi, yaitu


sebagai berikut:
a. Ekologi lautan atau kelautan
b. Ekologi perairan tawar
c. Ekologi darat atau terestrial
d. Ekologi estuari (pertemuan air tawar dan air asin)
e. Ekologi padang rumput
f. Ekologi hutan tropis
g. Agroekologi
(3) Menurut taksonominya:
Pembagian ini sesuai dengan sistematika makhluk hidup,
misalnya:
a. Ekologi tanaman
b. Ekologi hewan
c. Ekologi mikrobia (mikroorganisme)
d. Ekologi manusia

1.6 Hubungan Ekologi dengan Ilmu Lainnya


Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa ekologi
adalah bagian dari biologi, namun ekologi tidak dapat dipisahkan dari
ilmu-ilmu lainnya.

1.6.1 Hubungan Ekologi dengan Ilmu Alam Lainnya


Ekologi sangat berkaitan dengan ilmu-ilmu lainnya seperti :
(1) Ilmu Fisika berperan karena dalam ekologi adanya faktor fisik
seperti sinar matahari, perubahan suhu, daya serap tanah, hujan,
dan lain-lain termasuk ke dalam kajiannya;
(2) Ilmu Kimia berperan karena dalam ekologi proses kimia seperti
pendauran unsur-unsur C, N, C02 dan lain sebagainya, merupakan
bagian yang penting;
(3) Ilmu Bumi dan Antariksa juga berperan karena ekologi berkaitan
dengan berbagai proses yang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa
Agroekologi: Pendahuluan 14

siang-malam, musim kemarau dan musim hujan, gravitasi,


endapan alluvial, vulkanik, erosi, abrasi, dan sedimentasi.

1.6.2 Hubungan Ekologi dengan Ilmu Sosial


Ilmu sosial sangat penting bila komponen manusia dimasukkan dalam
cakupan ekosistem, atau bila kita mempelajari peran ekosistem
terhadap kehidupan manusia. Dalam hubungan antara tanaman dan
manusia, maka ilmu sosial sangatlah berperan dalam mempelajari
bagaimana manusia mempengaruhi tanaman. Ilmu yang mengkaji
hubungan antara manusia dengan lingkungannya disebut Ekologi
Manusia (Human Ecology). Dalam kaitan sejarah manusia di dalam
alam lingkungannya, maka manusia dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
(1) manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik (man in nature);
(2) manusia mempengaruhi lingkungan fisik (man and nature);
(3) manusia dan lingkungan fisik saling mempengaruhi;
(4) kebudayaan menjadi perantara hubungan manusia dengan
lingkungannya;
(5) hubungan manusia dengan lingkungan fisik sangat kompleks.

Oleh karena itu, untuk memecahkan persoalan-persoalan


tersebut maka diperlukan ilmu-ilmu sosial seperti Sosiologi,
Antrophologi, Filsafat, Agama dan lain-lain.

1.7 Rangkuman

Ekologi dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan


yang berkaitan dengan hubungan-hubungan total antara makhluk
hidup dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik.
Berdasarkan tingkat kompleksitas interaksi yang terjadi antara
organisme dengan lingkungannya, maka makhluk hidup dapat
diorganisasikan dari tingkat yang kecil hingga yang terbesar.
Agroekologi: Pendahuluan 15

Kombinasi antara sinar matahari, suhu, air, gas dan berbagai


mineral yang dibutuhkan, serta hewan-hewan dan mikroorganisme
yang secara menyeluruh mempengaruhinya dikenal sebagai
lingkungan. Ekologi Tanaman mengandung dua pengertian, yaitu
ekologi sebagai ilmu dan tanaman sebagai objek. Tanaman
mengandung arti tumbuhan yang telah dibudidayakan untuk maksud
tertentu, sehingga hasilnya dijadikan sebagai alat pemenuhan
kebutuhan yang memiliki nilai ekonomis.
Makhluk hidup atau organisme memiliki tingkat organisasi
mulai dari tingkat paling sederhana sampai ke tingkat organisasi yang
paling kompleks. Ekologi masa kini menjadi sangat luas cakupannya,
namun dapat digolongkan berdasarkan bidang kajian, habitatnya, dan
taksonomiya. Ekologi secara khusus terkait erat dengan fisiologi,
genetika, evolusi dan tingkah laku organisme
Ekologi saat ini bukan hanya mencari pola kehidupan secara
kualitatif. Namun, Ekologi juga mencari jawaban-jawaban secara
kuantitatif. Ekologi sangat berkaitan dengan ilmu-ilmu lainnya
seperti Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, Ilmu Bumi dan Antariksa, serta ilmu
lainnya. Ilmu sosial juga sangat penting bila komponen manusia
dimasukkan dalam cakupan ekosistem, atau bila kita mempelajari
peran ekosistem terhadap kehidupan manusia.

1.8 Latihan

1.8.1 Soal Essay

1) Uraikan pengertian Ekologi secara lengkap.


2) Jelaskan kenapa Ekologi penting untuk dipelajari dalam
pembangunan pertanian.
3) Uraikan bagaimana peran manusia dalam pengelolaan lingkungan
alam sekitarnya.
4) Jelaskan bagaimana pembagian Ekologi menurut bidang
kajiannya.
Agroekologi: Pendahuluan 16

5) Jelaskan tingkat organisasi makhluk hidup mulai dari tingkat


paling sederhana sampai ke tingkat organisasi yang paling
kompleks.
6) Uraikan bagaimana hubungan Ekologi dengan Ilmu-ilmu lainnya.

1.8.2 Soal Pilihan Berganda

1) Cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang hubungan total


antara makhluk hidup dengan lingkungan alamiahnya disebut:
a. Biologi
b. Ekologi
c. Anatomi
d. Taksonomi
2) Semua faktor luar yang bersifat biologis maupun fisika yang
langsung mempengaruhi semua aktifitas kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi organisme, disebut dengan:
a. Ekositem
b. Lingkungan
c. Komunitas
d. Populasi
3) Untuk memahami Ekologi dianjurkan untuk memiliki pengetahuan
beberapa bidang ilmu lainnya terlebih dahulu. Ekologi secara
khusus terkait erat dengan:
a. Fisiologi,
b. Genetika,
c. Evolusi
d. Semua benar
4) Ekologi yang mengkaji berbagai kelompok organisme sebagai
suatu kesatuan yang saling berinteraksi dalam suatu daerah
tertentu disebut dengan:
a. Autekologi
b. Sinekologi
c. Ekologi Kelompok
d. Ekologi Interaksi
5) Guna memecahkan persoalan-persoalan Ekologi Manusia maka
diperlukan ilmu-ilmu sosial seperti:
Agroekologi: Pendahuluan 17

a. Sosiologi
b. Antrophologi
c. Filsafat/Agama
d. Semua benar

1.9 Glossarium

Abiotik menunjukkan unsur-unsur lingkungan yang sifatnya tidak


hidup atau benda mati
Abrasi adalah pengikisan pantai oleh ombak dari laut
Alluvial berkaitan dengan sedimen tanah yang merupakan hasil
pengendapan oleh aliran air permukaan
Anorganik menjelaskan tentang komponen yang bukan berasal dari
makhluk hidup
Atmosfir merupakan suatu lapisan yang terdiri dari campuran
berbagai gas yang menyelimuti bumi
Biotik menunjukkan unsur-unsur lingkungan yang sifatnya hidup atau
makhluk hidup
Habitat adalah lingkungan beserta kondisi alamiah yang menjadi
tempat hidup atau tinggal suatu organisme
Herbivora adalah hewan pemakan rumput atau tumbuh-tumbuhan
Hidrosfir adalah lapisan permukaan bumi yang terdiri dari air,
baik di laut, darat, maupun di atmosfir.
Karnivora merupakan binatang atau tumbuhan pemakan daging
Litosfer adalah laisan padat dan paling luar dari permukaan bumi
Organik menunjukkan kepada semua bentuk kehidupan di bumi
Sedimentasi merupakan proses pembentukan endapan yang berasal
dari suspensi partikel-partikel
Vulkanik hal-hal yang berkaitan segala sesuatu dengan gunung
merapi
Agroekologi: Pendahuluan 18

1.10 Daftar Pustaka

123RF. 2011. Plant is Under Sun. Online, http://www.123rf.com/


photo_882389_plant-is-under-sun.html, diakses 20 Januari 2011
Georgia Department of Natural Resources-USA. 2010. Education
Park, (Online), (http://www.gastateparks.org/content/Georgia/
parks/education/LakeEcosystem_Poster.jpg, diakses 22 April
2010).
Gibson, J.P. dan Gibson, T.R. 2006. Plant Ecology. Baker and Taylor,
New York.
Global Marketing Partnership. 2006. System of Rice Intensification.
Online, http://sri-rice.net/about-sri.html, diakses 20 Januari
2011.
Grows on You. 2009. My Garden in Flower. Online, http://www.
growsonyou.com/bernieh/blog/6051-my-garden-in-flower-
winter-2009, diakses 20 Januari 2011.
Jumin, H.B. 1992. Ekologi Tanaman, Suatu Pendekatan Fisiologis.
Rajawali Press, Jakarta. 162 hlm.
Manahan, S. E. 1984. Environmental Chemistry. Fourth Edition.
University of Missouri. Brooks/Cole Publishing Company
Monterey, California. 612 p.
McNaughton, S.J. dan L.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum (Ed. 2). Gajah
Mada University Press.Yogyakarta. 1140 hlm.
National Botanic Gardens. 2010. Learning from Nature: Pest control
in the glasshouses. Online, http://www.botanicgardens.ie/news/
20061122.htm, diakses 20 Januari 2011.
Oracle Think Quest-USA. 2010. The World at The Present Time.
Online, (http://library.thinkquest.org/09jan-oracle-n-001/02242/
page_490783175.html, diakses 20 Januari 2011.
Resoedarmo, R.S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Remaja Rosdakarya, Bandung. 174 hlm.
Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley & Sons,
New York. 178 p.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 19

BAB II
KONSEP AGROEKOLOGI

Dengan mempelajari konsep agroekologi diharapkan pembaca mampu


memahami, menjelaskan dan mendiskusikan pengertian dan ruang
lingkup agroekologi, serta prinsip dasar pengelolaan agroekosistem.
Kemudian, diharapkan juga memperoleh persepsi yang utuh tentang
agroekologi, mampu menjawab latihan-latihan pada bagian akhir bab,
serta mampu mengkomunikasikan konsep agroekologi dengan baik.

2.1 Pengertian Agroekologi

Agroekologi adalah ilmu pengetahuan yang diterapkan berdasarkan


prinsip dan konsep ekologi yang bertujuan untuk merancang,
mengembangkan, dan mengelola sistem pertanian berkelanjutan. Hal
ini dapat dilihat seperti pada suatu areal persawahan (Gambar 2.1),
yang memadukan berbagai unsur lingkungan baik hayati amaupun
non-hayati dalam suatu lahan.

Gambar 2.1 Prinsip-prinsip dan konsep-konsep ekologi di suatu lahan diperguna-


kan untuk merancang, mengembangkan, dan mengelola sistem perta-
nian berkelanjutan, seperti sawah (Foto: The Best Baby Diaper, 2010).
Agroekologi: Konsep Agroekologi 20

Para ahli agroekologis mengkaji kehidupan baik di dalam


maupun di sekitar tanah atau lahan untuk meningkatkan hasil,
mengatasi hama penyakit, dan meningkatkan produktivitas secara
keseluruhan. Mereka barangkali mengukur kehidupan yang ada di
dalam tanah, tekstur, struktur, pH, kelembaban, dan sejumlah kualitas
lhan lainnya. Kehidupan di dalam tanah dapat menunjukkan suatu
faktor penting dalam siklus hara yang berguna untuk meningkatkan
hasil pertanian.
Di samping itu, para ahli agroekologis, harus juga memperhati-
kan ekosistem yang luas (landscape) di dalam suatu lahan usaha tani.
Dengan memahami predator dan hubungan sesamanya yang komplek
di antara tumbuhan dan hewan, mereka dapat menciptakan lingkungan
kerja yang lebih baik dibandingkan para petani, sementara metode
bertani adalah berbeda-beda. Secara umum, agroekosistem yang
dimanipulasi secara tradisional berbeda dengan ekosistem alamiah
dalam beberapa hal. Sedangkan pertanian konvensional, secara umum,
meliputi:
(1) pemeliharaan yang intensif;
(2) monokultur;
(3) tanaman ditanam dalam baris;
(4) keanekaragaman hayati yang rendah;
(5) pengolahan tanah yang intensif dan mudah terekspos terhadap
erosi;
(6) menggunakan organisme yang direkayasa secara genetik;
(7) memakai varietas tanaman yang diseleksi secara buatan.
Sedangkan dalam sistem Agroekologi, kita berusaha meminimalkan
praktek-praktek yang demikian serendah mungkin.
Mempelajari suatu agroekosistem secara utuh merupakan ide
kunci dalam agroekologi. Ada para ahli yang mendifinisikan
agroekosistem sebagai "semi-domesticated ecosystems” yang
menunjukkan kepada gradiasi antara ekosistem yang mengalami
dampak minimal dari aktivitas manusia, serta berada dibawah kontrol
manusia secara maksimum. Jadi, agroekosistem secara umum
Agroekologi: Konsep Agroekologi 21

didefinisikan sebagai novel ekosistem (ekosistem turunan) yang


menghasilkan makanan melalui usaha tani dibawah kontrol manusia.
Dalam pengertian yang sangat sempit, "agroekologi merujuk kepada
kajian fenomena ekologi secara murni di dalam suatu lahan pertanian,
seperti hubungan predator dengan prey, atau kompetisi tanaman
dengan gulma.

2.2 Ruang Lingkup Agroekosistem

Gambar 2.2 Suatu sistem usaha tani dipandang oleh para ahli agroekologis sebagai
suatu agroekosistem (Foto: Moriya, 2010).

Para ahli agroekologis memandang suatu sistem usaha tani (Gambar


2.2) dengan “mata ekologis”, yaitu bukan nilai ekonomi yang utama,
bukan pula sebagai suatu industri, tetapi lebih kepada manfaat
ekosistem secara keseluruhan. Dalam kenyataannya, agroekosistem
adalah mencakup hal-hal untuk memahami maupun merancang
prinsip-prinsip ekologi. Sebagai contoh, pengendalian hama terpadu
bertujuan untuk mengontrol permasalahan hama melalui introduksi
spesies lain, bukan memberikan pestisida untuk membunuh hamanya.
Suatu contoh lain yang sangat umum adalah penerapan sistem
Agroekologi: Konsep Agroekologi 22

intercropping untuk menarik serangga ke dalam baris-baris tanaman


sebagai penanda (plagued crop). Jadi, kita harus menghilangkan
praktek-praktek yang tidak berkelanjutan, seperti pemakaian pestisida
secara intensif, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, dan
pembersihan lahan dari semua vegetasi yang ada.
Istilah Agroekosistem muncul pada akhir tahun 1970-an.
Munculnya istilah ini merupakan akibat dari pengakuan bahwa
revolusi hijau (Green Revolution) telah menyebabkan ketergantungan
kepada sarana produksi (agroinput) seperti pestisida, pupuk kimia,
mesin-mesin, dan benih yang dirancang untuk varietas tertentu.
Dampak sistem pertanian yang demikian, ternyata cendrung
memperburuk kondisi sosial, politik, dan ekonomi di negara-negara
yang sedang berkembang.
Para praktisi memandang secara kritis bahwa teknik
industrialisasi pertanian modern merupakan model yang fundamental
dari pertanian yang tidak berkelanjutan. Dewasa ini, banyak usaha
untuk kembali kepada pertanian yang mengandalkan kemampuan
agroekosistem. Salah satu pergerakan penting yang berkaitan dengan
agroekologi adalah agrarianisme, yaitu suatu usaha tani yang
didasarkan kepada alam desa serta nilai-nilai sosial budaya
masyarakat. Dewasa ini ada kecendrungan yang lebih fungsional di
dalam agroekologi yaitu pertanian tradisional atau pertanian
asli/pribumi. Sistem pertanian ini dianggap dapat menjadi alternatif
usaha tani yang ramah lingkungan serta menghasilkan makanan yang
sehat dan bergizi (Gambar 2.3).
Sistem pertanian yang berwawasan agroekosistem merupakan
perwujudan konsep “self-sustaining agroecosystem” yang lebih
mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal yang tersedia di
sekitar lahan atau sekitar desa, tanpa memasukkan sumber daya dari
luar. Dengan demikian, usaha tani seperti ini akan menggunakan input
luar serendah mungkin dengan mengaplikasikan pendekatan LEISA
(Low External Inputs Sustainable Agriculture). Sistem LEISA
merupakan pendekatan yang dipakai pada pertanian berkelanjutan.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 23

Gambar 2.3. Pertanian berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan agroeko-


sistem akan menghasilkan bahan-bahan pangan yang lebih sehat dan
bergizi (Foto: The Digger's Club Pty-Australia, 2010).

2.3. Prinsip Dasar Pengelolaan Agroekosistem


Perencanaan dan pengembangan suatu agroekosistem (Gambar 2.4)
selalu didasarkan kepada penerapan prinsip-prinsip sebagai berikut:
(1) meningkatkan siklus biomas dan mengoptimalkan ketersediaan
dan keseimbangan aliran hara;
(2) menjamin kondisi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan
tanaman, khususnya melakukan pengelolaan bahan organik dan
peningkatan aktivitas biologi tanah;
(3) mengurangi kehilangan unsur hara dan air akibat radiasi matahari,
angin dengan cara mengelola iklim mikro dan pengelolaan tanah
dengan menggunakan mulsa (penutup tanah);
(4) meningkatkan keanekaragaman spesies secara bertahap; dan
(5) meningkatkan keuntungan secara biologis di dalam suatu
agroekosistem.
(6) memenuhi kebutuhan fisik dan jiwa sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan manusia.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 24

Gambar 2.4 Suatu agroekosistem merupakan suatu lahan yang dipengaruhi oleh
lingkungan serta bergai aktivitas manusia dalam membudidayakan
suatu tanaman (Foto: University of Missouri College of Agriculture-
USA, 2010).

Agroekosistem akan terpelihara dengan baik apabila kita semua


memiliki komitmen untuk mendukung pertanian secara berkelanjutan.
Beberapa strategi untuk mengembalikan kondisi agroekosistem yang
baik adalah:
(1) rotasi tanaman, pergiliran tanaman dapat meningkat persediaan
hara serta mencegah perkembangan hama dan penyakit dalam
suatu lahan;
(2) polikultur (Gambar 2.5), penanaman dua atau lebih spesies
tanaman dapat meningkatkan jumlah hasil yang diperoleh serta
mengurangi resiko kegagalan panen.
(3) sistem agroforestri, suatu sistem pertanian yang mencampur aduk
antara tanaman tahunan, tanaman semusim, dan ternak secara
bersama-sama untuk mendapatkan manfaat ganda dari suatu
agroekosistem;
(4) cover crop, penanaman tanaman penutup tanah dari jenis legume
atau lainnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah,
pengendalian hama penyakit, dan modifikasi iklim mikro; dan
(5) penggabungan ternak ke dalam suatu agroekosistem untuk
meningkatkan biomas beserta siklusnya.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 25

Gambar 2.5 Penanaman beberapa jenis tanaman dalam suatu lahan dapat memberi
Keuntungan/hasil yang lebih banyak (Foto: Permaculture Research
Institute of Australia, 2010).

Keanekaragaman ekosistem sangat penting untuk mendukung


suatu agroekosistem yang lebih baik. Keanekaragaman dapat diting-
katkan melalui:
(1) pemeliharaan vegetasi penutup tanah untuk pengawetan tanah dan
air dengan cara: tanpa olah tanah, pemakaian mulsa, dan penaman
tanaman penutup tanah;
(2) penyediaan bahan organik secara berkelanjutan untuk upaya
penambahan bahan oraganik tanah yang dilakukan melalui
pemakaian pupuk hijau, kompos, dan peningkatan aktivitas biologi
di dalam tanah;
(3) peningkatan siklus hara di dalam tanah melalui penerapan sistem
pertanian terpadu dengan peternakan yang memanfaatkan tanaman
legume ;
(4) meningkatkan pengendalian hama penyakit melalui peningkatan
aktivitas agensia hayati dengan memasukkan atau mempertahan-
kan musuh alam.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 26

2.4 Rangkuman
Agroekologi adalah ilmu pengetahuan yang diterapkan berdasarkan
prinsip-prinsip dan konsep-konsep ekologi untuk merancang,
mengembangkan, dan mengelola sistem pertanian berkelanjutan.
Perencanaan suatu agroekosistem didasarkan kepada penerapan
prinsip-prinsip siklus biomas, kondisi tanah, mengurangi kehilangan
hara,meningkatkan keanekaragaman spesies secara bertahap dan
meningkatkan keuntungan secara biologis, seperti rotasi tanaman,
polikultur, sistem agroforestri, cover crop, dan penggabungan ternak
ke dalam suatu agroekosistem.
Keanekaragaman ekosistem dapat ditingkatkan melalui
pemeliharaan vegetasi, tanpa olah tanah, pemakaian mulsa, penaman
tanaman penutup tanah, penyediaan bahan organik secara
berkelanjutan, peningkatan siklus hara melalui sistem peternakan yang
memanfaat legume, dan meningkatkan pengendalian hama penyakit
melalui peningkatan aktivitas agensia hayati.

2.5 Latihan

2.5.1 Soal Essay


1) Jelaskan prinsip-prinsip pengelolaan agroekosistem.
2) Kemukakan beberapa strategi untuk mengembalikan kondisi
agroekosistem yang baik.
3) Uraikan dengan jelas bagaimana kita dapat meningkatkan
keragaman agroekosistem.
4) Jelaskan bagaimana peran vegetasi dalam meningkatkan kualitas
suatu agroekosistem.
5) Bagaiman cara yang dapat ditempuk untuk penyediaan bahan
organik secara berkelanjutan untuk upaya penambahan bahan
oraganik tanah.
6) Kenapa pengendalian hama penyakit dilakukan melalui
peningkatan aktivitas agensia hayati.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 27

2.5.2 Soal Pilihan Berganda

1) Ilmu pengetahuan yang diterapkan berdasarkan prinsip-prinsip dan


konsep-konsep ekologi untuk merancang, mengembangkan, dan
mengelola sistem pertanian berkelanjutan adalah:
a. Agronomi
b. Agribisnis
c. Agroekologi
d. Pertanian Berkelanjutan
2) Beberapa strategi yang dapat dipakai untuk mengembalikan
kondisi agroekosistem yang baik adalah:
a. Rotasi Tanaman
b. Polikultur
c. Sistem agroforestri
d. Semua benar
3) Meningkatkan siklus biomas dan mengoptimalkan ketersediaan
dan keseimbangan aliran hara adalah prinsip dasar pengelolaan.
a. Ekosistem
b. Agroekosistem
c. Habitat
d. Lingkungan
4) Penyediaan bahan organik secara berkelanjutan untuk upaya
penambahan bahan organik tanah dapat dilakukan melalui:
a. Penanaman cover crop
b. Pemupukan an-organik
c. Revolusi hijau
d. Penggunaan agensia hayati
5) Suatu sistem pertanian yang mencampur aduk antara tanaman
tahanun, tanaman semusim, dan ternak secara bersama-sama untuk
mendapatkan manfaat ganda dari suatu agroekosistem adalah:
a. Pertanian berkelanjutan
b. Pertanian organik
c. Agroforestri
d. Agrikultura
Agroekologi: Konsep Agroekologi 28

2.6. Glossarium
Agroforestri adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman
kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian atau
palawija, peternakan atau perikanan di dalam maupun di luar
kawasan hutan.
Biomas merupakan kumpulan seluruh makhluk hidup di dalam suatu
lingkungan atau ekosistem tertentu yang diukur berdasarkan
berat per satuan luas
Cover crop merujuk kepada semua tanaman yang ditanaman untuk
menutupi permukaan tanah guna mencegah erosi atau
memperbaiki kesuburan tanah
Legume adalah kelompok tanaman yang berada dalam satu famili
dengan karakter utama berbunga kupu-kupu, berbuah polong,
dan umumnya bersimbiosis dengan rizobium
Predator merupakan binatang karnivora yang memburu, membunuh,
dan memakan binatang lain untuk mempertahankan hidupnya
Polikultur adalah sistem budidaya tanaman yang menanam berbagai
jenis tanaman pada suatu areal yang sama dan waktu yang sama
Revolusi hijau adalah introduksi teknik budidaya modern dengan
input yang tinggi, varietas yang unggul dengan usaha untuk
meningkatkan hasil yang tinggi

2.7 Daftar Pustaka

Gliessman, R.S. 2001. Agroecosystem Sustainabilty. CRC Press,


Boca Raton, Washington. 210 hlm.
Jumin, H.B. 1992. Ekologi Tanaman, Suatu Pendekatan Fisiologis.
Rajawali Press, Jakarta. 162 hlm.
Manahan, S. E. 1984. Environmental Chemistry. Fourth Edition.
University of Missouri. Brooks/Cole Publishing Company
Monterey, California. 612 p.
Agroekologi: Konsep Agroekologi 29

McNaughton, S.J. dan L.L. Wolf. 1992. Ekologi Umum (Ed. 2). Gajah
Mada University Press.Yogyakarta. 1140 hlm.
Moriya, K. 2010. Studies on the sustainable agricultural production
System in intermediate and mountainous area. Kyoto
University Global COE . Online, http://www.dl.kuis.kyoto-
u.ac.jp/gcoe/field/theme_eng.html, diakses 10 Desember 2010.
Permaculture Research Institute of Australia. 2010. The Edible Urban.
Online, http://permaculture.org.au/2010/04/01/the-edible-urban/,
Diakses 20 Desember 2010
Resoedarmo, R.S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Remaja Rosdakarya, Bandung. 174 hlm.
The best baby diaper. 2010. Go Green. Online, 28 Oktober 2010.
http://thebestbabydiaper.com/go_green.html, diakses 15
Desember 2010
The Digger's Club Pty. Ltd. Australia. 2010. Organic food has 30%
higher antioxidants. Online, http://www.diggers.com.au/
articleOrganicFoodHigher AntiOxidants.shtml, diakses
12 Desember 2010.
University of Missouri College of Agriculture. 2010. Sustainable
Agriculture. Online, http://cafnr.missouri.edu/academics/
sustainable-ag.php, diakses 22 Desember 2010
Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley & Sons,
New York. 178 p.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 30

BAB III
KONSEP EKOSISTEM

Pemahaman yang utuh tentang konsep ekosistem sangat penting


dalam mempelajari agroekologi. Untuk ini, kita diharapkan mampu
memahami, menjelaskan dan mendiskusikan pengertian ekosistem,
komponen ekosistem, produksi dan dekomposisi, carbon stock,
produktivitas ekosistem tropika, aliran energi, serta ekosistem
pertanian. Disamping itu, mampu mengkomunikasikan konsep
agroekologi dengan baik kepada masyarakat.

3.1 Pengertian Ekosistem


Dalam lingkungan alam terdapat unsur-unsur hayati dan unsur-unsur
non-hayati. Antara unsur-unsur tersebut terbentuk hubungan timbal
balik yang disebut sistem ekologi atau sering dinamakan ekosistem.
Menurut UU RI No. 23 tahun 1997, ekosistem adalah tatanan kesatuan
secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang
saling pengaruh mempengaruhi (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Di dalam ekosistem terjadi interaksi menyeluruh antara segenap unsur
lingkungan yang saling mempengaruhi dan membentuk suatu siklus
yaitu rantai makanan (Illustrasi: Rohlen Science, 2011).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 31

Kita dapat membuat batas ekosistem yang kecil atau besar.


Suatu aquarium, misalnya, dapat kita anggap sebagai suatu ekosistem.
Sebuah hutan yang luasnya beberapa puluh ribu hektar merupakan
juga suatu ekosistem. Demikian pula seluruh bumi ini dapat dianggap
sebagai ekosistem yang besar. Dalam hal aquarium (Gambar 3.2),
ekosistem itu terdiri atas ikan, tumbuhan air, dan plankton yang
terapung dan melayang dalam air sebagai komponen makhluk hidup,
serta pasir, air, mineral, dan oksigen yang terlarut dalam air sebagai
komponen tak hidup. Kita dapat melihat adanya hubungan dan
keteraturan dalam ekosistem aquarium itu. Jadi, pemahaman terhadap
ekosistem secara utuh dapat diperoleh kalau kita dapat memahami
hubungan-hubungan yang mendalam (deep ecology) antara semua
unsur yang ada di suatu ekosistem.

Gambar 3.2 Akuarium dapat dipandang sebagai sebuah ekosistem yang kecil,
karena di dalam akuarium terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik,
seperti ikan, rumput laut, planton; dengan unsur-unsur abiotik seperti
sinar, udara, air (Illustrasi: SpyderBlitz, 2011)

Suatu ekosistem dapat dibagi dalam beberapa sub-ekosistem.


Misalnya, ekosistem bumi kita dapat dibagi ke dalam:
 sub-ekosistem lautan,
Agroekologi: Konsep Ekosistem 32

 sub-ekosistem daratan,
 sub-ekosistem danau, dan
 sub-ekosistem sungai.
Sub-ekosistem daratan dapat pula dibagi dalam bagian-bagian sub-
ekosistem hutan, sub-ekosistem belukar, sub-ekosistem padang pasir.
Antara masing-masing sub-ekosistem itu pun terjadi interaksi. Di
antara sub-ekosistem itu terdapat pula arus materi, energi, dan
informasi. Pembagian-pembagian sub-ekosistem yang demikian itu
sangat berguna untuk mempelajari suatu ekosistem yang lebih besar.
Dengan konsep ekosistem itu, kita memandang unsur-unsur
dalam lingkungan hidup kita tidak secara tersendiri, melainkan secara
terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem.
Pendekatan ini disebut pendekatan ekosistem, atau pendekatan
holistik, yang berlawanan dengan pendekatan analitik yang parsial.
Hubungan fungsional antara komponen yang mengikat mereka dalam
suatu kesatuan yang teratur merupakan perhatian utama pendekatan
ekosistem.
Hubungan fungsional ekosistem, misalnya dapat dilihat pada
interaksi yang utuh antara tanaman dengan cahaya, udara, tanah, air,
hewan, mikroorganisme, manusia, mupun hubungan antara satu
tumbuhan dengan tumbuhan lainnya. Sistem ini dalam skala global
pada bumi dikenal dengan istilah “interdependent” atau saling
ketergantungan. Artinya, semua komponen yang ada di bumi adalah
selalu saling ketergantungan atau saling pengaruh-mempengaruhi.
Dalam hal ini, suatu komponen, baik hayati maupun non-hayati sangat
tergantung kepada komponen lainnya.
Istilah ekosistem pertama kali dipakai oleh Tansley dari Inggris
pada tahun 1935. Para ahli lain, seperti: Karl Mobius (Jerman)
menggunakan istilah bioceonocis. S.A Forts dari USA (1887) meng-
gunakan istilah mikrosom. Friederich (1930) menggunakan istilah
holocoen, Vernadsky (1994) memakai untuk bumi istilah bionert
body, dan Duhuchaev menggunakan istilah geobio-coenocis untuk
ekosistem.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 33

Menurut pengertian, suatu sistem terdiri dari komponen-


komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan.
Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu
tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.
Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang
terkendalikan oleh informasi antara komponen-komponen yang ada
dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi
atau relung (nichea) tersendiri. Selama masing-masing komponen itu
melakukan fungsi dan bekerja sama dengan baik, maka keteraturan
ekosistem itu pun terjaga.
Keteraturan ekosistem menunjukkan bahwa ekosistem tersebut
berada dalam suatu keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidaklah
bersifat statis, melainkan dinamis, ia selalu berubah-ubah. Kadang-
kadang perubahan itu besar, kadang-kadang kecil. Perubahan itu dapat
terjadi secara alamiah seperti bencana alam, maupun sebagai akibat
perbuatan manusia, seperti deforestasi (Gambar 3.3).

Gambar 3.3 Keterlibatan manusia di dalam suatu ekosistem sering menimbulkan


perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan kondisi lingkungan
menjadi kurang stabil, seperti erosi atau longsor (Foto: The Planter,
2010).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 34

3.2 Komponen Ekosistem

Komponen ekosistem dapat dibedakan atas dasar fungsi dan


susunannya. Atas dasar fungsinya, maka ekosistem terdiri atas dua
komponen, yaitu autotrofik dan heterotrofik.
(1) komponen autotrofik (auto = sendiri; trophik = menyediakan
makanan), yaitu organisme yang mampu menyediakan atau
mensintesis makanannya sendiri berupa bahan-bahan organik dan
bahan-bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari dan klorofil
(zat hijau daun). Oleh karena itu, semua organisme yang
mengandung klorofil disebut organisme autotrofik. Dengan kata
lain, organisme autotrofik adalah organisme yang mampu merubah
bahan anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan sinar
matahari di dalam klorofil (Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Tumbuhan merupakan suatu komponen ekosistem yang autotrofik


Yang mampu mensintesis makanannya sendiri yang berasal dari
lingkungannya seperti karbondioksida, air, dan berbgaia unsur hara
(Illustrasi: Aussieponics, 2010).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 35

(2) Komponen heterotrofik (hetero = berbeda, lain) yaitu organisme


yang mampu memanfaatkan hanya bahan-bahan organik sebagai
bahan makanannya dan bahan-bahan tersebut disintesis dan
disediakan oleh organisme lain. Manusia, hewan, jamur, dan jasad
renik (mikroorganisme) termasuk dalam kelompok heterotrofik.
Heterotrofik dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: biophag, yaitu
organisme yang memakan organisme hidup, dan saprophag, yaitu
organisme yang memakan organisme yang telah mati. Sebagai
contoh saprofag adalah dapat dilihat pada tumbuhnya jamur pada
kulit atau daun kayu yang telah mati (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Jamur merupakan organisme heterotropik yang dapat memanfaatkan


bahan organik untuk kehidupannya (Foto: Wordpres, 2010).

Berdasarkan susunannya, maka ekosistem dapat dibedakan atas


komponen abiotik dan biotik, yaitu:
(1) Abiotik (bahan tidak hidup, non-hayati), yaitu komponen fisik dan
kimia yang terdiri atas tanah, air, sinar matahari, udara dan
sebagainya yang merupakan medium atau substrat untuk
berlangsungnya kehidupan;
Agroekologi: Konsep Ekosistem 36

(2) Biotik, terdiri dan tiga komponen, yaitu:


a. produsen, yaitu organisme autotrofik yang umumnya
tumbuhan berklorofil, yang mampu mensintesis makanan dan
bahan anorganik yang sederhana. Atau dengan kata lain,
organisme yang mampu merubah bahan anorganik menjadi
bahan organik melalui proses fotosintesis dengan bantuan
cahaya matahari dan klorofil atau melalui proses kemosintesis
oleh mikroorganisme tertentu;
b. konsumen, yaitu organisme heterotrofik, misalnya hewan, dan
marusia yang memakan organisme lain. Dengan kata lain,
konsumen adalah organisme yang makanannya berasal dari
bahan organik yang telah disediakan oleh organisme lain; dan
c. dekomposer (Gambar 3.6), pengurai atau perombak, yaitu
organisme heterotrofik yang menguraikan bahan organik yang
berasal dan organisme yang telah mati (bahan organik
kompleks), dan menyerap sebagian hasil tersebut serta melepas
bahan-bahan yang sederhana yang dapat dipakai oleh
produsen. Bakteri dan jamur termasuk dalam kelompok ini.

Gambar 3.6 Jamur mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu
ekosistem, karena jamur dapat berfungsi untuk mengurai daun (bahan
organik) menjadi kompos yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
tumbuhan. (Foto: Ocean-Leecher, 2010).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 37

Pembagian suatu ekosistem menjadi empat komponen, yaitu


produsen, konsumen, pengurai dan abiotik, adalah klasifikasi ekologi
yang tepat. Tiga komponen selain abiotik tersebut, menurut Odum
(1966) merupakan three fungsional kingdoms of nature, karena ketiga
komponen itu dipisahkan berdasarkan tipe nutrisi dan sumber energi
yang digunakan. Jadi, pembagian itu berdasarkan fungsi ekologi,
bukan berdasarkan jenis atau spesies. Pembagian menurut fungsi akan
lebih tepat dalam mengelola suatu ekosistem.
Organisme yang dinamakan pengurai atau dekomposer adalah
organisme yang memperoleh energi untuk hidupnya melalui absorpsi
hasil penguraian atau dekomposisi. Organisme semacam itu terdiri
atas organisme heterotrofik, seperti bakteri (Gambar 3.7), dan jamur
yang relatif tidak bergerak, ukurannya kecil sekali, hidup terbenam
dalam bahan-bahan yang diuraikannya, dan mempunyai kecepatan
metabolisme tinggi.

Gambar 3.7 Bakteri sangat berperan untuk menjaga keseimbangan di dalam suatu
ekosistem. Bakteri tersebut memiliki berbagai bentuk yang berbeda-
beda (Foto: Worpress, 2008).

Organisme yang disebut konsumen makro adalah organisme


yang memperoleh energi untuk hidupnya dengan cara memakan
Agroekologi: Konsep Ekosistem 38

bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh makhluk hidup lainnya.


Organisme ini sebagian besar berupa hewan pengurai, yaitu berukuran
lebih besar, mempunyai kecepatan metabolisme rendah, dan memiliki
morfologi yang sesuai dengan cara makannya. Konsumen makro
umum lebih mempengaruhi ekosistem bila dibandingkan dengan
konsumen mikro seperti bakteri dan jamur.

3.3. Produksi dan Dekomposisi


Organisme mengadakan berbagai proses metabolisme untuk
melangsungkan kehidupannya. Sintesis karbohidrat, lemak, protein,
dan senyawa lain yang kompleks oleh tumbuhan berklorofil,
merupakan proses yang rumit sekali, sehingga belum dapat difahami
secara lengkap. Meskipun demikian, proses fotosintesis (Gambar 3.8)
yang menghasilkan karbohidrat dan berbgai bahan organik dapat
disederhanakan sebagai berikut:

CO2 + H2O C6H12O6 + O2

Gambar 3.8 Proses fotosintesis menggunakan energi matahari untuk menghasilkan


karbohidrat dan berbagai bahan organik (Illustrasi: Encyclopedia of
Earth, 2010).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 39

Dalam proses seperti tertera di atas, sebagian energi surya


disimpan dalam bentuk energi terikat atau potensial dalam molekul-
molekul organik yang berupa makanan. Bersamaan dengan proses ini,
diperkirakan terjadi pula proses sintesis asam amino, protein, dan
bahan-bahan lain yang penting. Dalam tubuh setiap organisme terjadi
proses pernafasan atau respirasi yang secara kasar merupakan
kebalikan proses fotosintesis. Dalam proses respirasi (Gambar 3.9)
terjadi oksidasi atau pembakaran bahan makanan, khususnya
karbohidrat, yang menghasilkan energi untuk tumbuh, gerak,
reproduksi dan lain-lain. Proses respirasi berlangsung di dalam
organisme secara komplek pula, yaitu terjadi di dalam mitokondria.
Secara sederhana, respirasi dapat ditulis sebagai berikut:

C6H12O6 + O2 Energi + H2O + CO2

Glukosa diurai
menjadi energi,
air, dan CO2

Gambar 3.9 Dalam proses respirasi terjadi oksidasi karbohidrat yang menghasilkan
energi, H2O, dan CO2 (Ilustrasi: Science Unleashed, 2011)
Agroekologi: Konsep Ekosistem 40

Dalam alam terdapat berbagai macam kelompok bakteri,


misalnya bakteri belerang dan bakteri nitrogen, yang mampu
melakukan sintesis bahan-bahan organik dari bahan anorganik
sederhana melalui proses oksidasi kimia, sehingga tidak memerlukan
klorofil dan energi dari matahari. Energi diperoleh dari oksidasi
amonia menjadi nitrogen. Bagi bakteri belerang, energi diperoleh dari
oksidasi sulfit menjadi sulfat.
Di alam terdapat juga bakteri yang mampu melakukan sintesis
bahan organik dan hidup dalam lingkungan tanpa oksigen, disebut
bakteri anaerobik. Anehnya, bakteri ini tidak menghasilkan oksigen
sebagai hasil akhir. Disamping itu, bakteri ini dalam lingkungan gelap
mampu pula berfungsi sebagai organisme heterotrofik. Jadi, ia
disamping merupakan bentuk antara produsen dan konsumen, juga
sebagai bentuk antara produsen dan pengurai.
Dekomposisi merupakan akibat dari proses jasad renik
memperoleh energi untuk keperluan hidupnya. Proses ini berfungsi
sangat vital, sebab bila seandainya dekomposisi tidak pernah terjadi,
maka dipermukaan bumi ini akan tertimbun serasah, kayu mati, dan
bangkai hewan, sehingga kehidupan baru tidak pernah akan terjadi.
Jasad renik mengeluarkan berbagai enzim yang diperlukan untuk
kelangsungan proses kimia yang spesifik. Berbagai enzim ini
ditransfer ke dalam organisme mati, dan sebagian hasil dekomposisi
diserap oleh jasad renik sendiri sebagai makanannya; sebagian lagi
tertinggal di dalam tanah. Sebenarnya tidak ada satu jasad renik pun
yang mampu melaksanakan dekomposisi secara total. Tetapi populasi
jasad renik yang beragam jenisnya dalam bisofir mempunyai
kemampuan yang beranekaragam pula, sehingga dapat menyelesaikan
proses dekomposisi secara tuntas. Proses dekomposisi ini terjadi
secara berkelanjutan di alam.
Perlu kita ketahui bahwa tidak semua bagian organisme yang
mati dapat diuraikan dengan kecepatan yang sama. Umpamanya gula,
dan protein mudah sekali diuraikan, sedangkan selulosa, lignin dan
kayu serta rambut dan tulang hewan, sangat lambat diuraikan. Bahan-
Agroekologi: Konsep Ekosistem 41

bahan organik yang resisten terhadap dekomposisi, secara kolektif


disebut humus. Proses dekomposisi ini dapat dibagi menjadi dua
tahap, yaitu produksi humus yang berjalan cepat, dan mineralisasi
humus yang berjalan lambat.
Antara berbagai jasad renik itu, tampaknya terdapat pembagian
tugas dalam proses dekomposisi tersebut. Bakteri berfungsi lebih
banyak dalam dekomposisi daging hewan sedangkan jamur lebih
banyak berperan dalam dekomposisi tumbuhan. Terdapat tiga tahapan
proses dekomposisi, yaitu:
(1) pembentukkan butiran kecil sisa-sisa oleh aksi biologi;
(2) produksi humus dan pelepasan bahan organik yang larut oleh
saprotrof; dan
(3) mineralisasi humus.
Jika organisme besar mati (termasuk tanaman) akan menjadi
habitat khusus mikroorganisme yang dipecahkan oleh detrivora,
misalnya serangga menjadi detritus. Meskipun serangga tidak makan
selulosa akan tetapi membantu penguraiannya, hal disebabkan karena:
(1) memecah kayu menjadi bagian kecil-kecil sehingga mudah diurai;
(2) menghasilkan faktor tumbuh (growth factor); dan
(3) dengan memakan, bakteri mempertahankan populasi bakteri dalam
keadaan fase log, yaitu fase perkembangan sangat cepat.
Beberapa detrivora adalah coprophagus (Gambar 3.10a), yaitu
pemakan pelet kotoran setelah pelet diperkaya oleh mikroba, misalnya
Popilus (sejenis kumbang) yang hidup pada kayu membusuk.
Kumbang ini mempergunakan saluran rumahnya sebagai wadah bagi
pelet kotoran dan partikel kayu. Pelet dan partikel tersebut, kemudian
diperkaya oleh jamur sehingga dapat mempercepat pembusukan kayu.
Coprophagus dalam hal ini melibatkan kerjasama insekta dan jamur
serta menggunakan kumbang untuk memanfaatkan energi kayu dan
mempercepat proses pembusukan.
Bahan organik hasil pembusukan mempunyai pengaruh khusus
terhadap pertumbuhan organisme lain dalam ekosistem. Bahan ini
oleh Julian Huxley (1935) disebut hormon difusi eksternal, sedangkan
Agroekologi: Konsep Ekosistem 42

Lucas menyebutkan environmental hormon atau exocrine. Bahan


tersebut dapat menghambat pertumbuhan organisme lain misalnya
antibiotika atau sebaliknya merangsang pertumbuhan misalnya
vitamin (thiamin, biotin, B12), uracil, histidin dan lain-lain. Saprotroph
(Gambar 3.10b) memegang peranan dalam penghasil exocrine
(eksokrin). Fenomena penting lain ialah penghasil minyak menguap
yang disebut pheromones yang dapat mengendalikan tingkah laku
insekta dan organisme lain.

a b
Gambar 3.10 a. Coprophagus yaitu pemakan pelet kotoran setelah pelet diperkaya
oleh Mikroba (Foto: BrenNolasco, 2011).
b. Saprotroph memegang peranan dalam penghasil exocrine (Foto:
Mushroom Appreciation, 2011).

Dalam agroekosistem, tanah yang subur dipengaruhi oleh


beberapa hal. Salah satunya adalah adanya detrius di dalam tanah.
Detritus, humus dan senyawa lain yang mengalami pembusukan
memegang peranan penting dalam menyuburkan tanah. Senyawa
organik kompleks bersama-sama dengan mineral dapat diserap oleh
tanaman. Pembentukan kompleks bahan organik bersama dengan
mineral disebut chelation (kelasi). Degredasi bahan organik
mengendalikan sejumlah fungsi dalam ekosistem misalnya:
(1) peredaran kembali hara melalui mineralisasi;
(2) pembentukan makanan dalam rantai makanan detritus;
(3) pembentukan ekstokrin yang bersifat mengatur; dan
(4) modifikasi bahan-bahan yang masih asli dari tanah.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 43

3.4 Stok Karbon (Carbon Stock)


3.4.1 Pengertian Stok Karbon
Jumlah karbon yang tersimpan pada suatu tempat di bumi disebut
dengan “pool”. Tempat ini bisa berbentuk sebuah daerah reservoir
yang merupakan sistem yang memiliki kapasitas untuk menambat atau
melepaskan karbon. Contoh dari karbon “pool” adalah biomassa hidup
(termasuk biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah); bahan
organik yang mati (termasuk kayu mati atau serasah tanaman); tanah
(bahan organik tanah). Semua bahan organik ini merupakan suatu
kesatuan yang disebut dengan masa atau biomassa.
Dalam hubungan dengan hutan (Gambar 3.11), biomassa
berhubungan dengan jumlah karbon yang ditambat di ekosistem hutan
dunia. Umumnya biomassa dianggap sebagai semua bahan organik
yang berasal dari seluruh makhluk hidup, baik hewan, tumbuhan,
maupun organisme lainnya yang hidup di dalam biosfir. Namun ada
kalanya dalam konteks yang lebih kecil, biomassa sering dianggap
hanya yang berasal dari kayu yang mati dan serasah tanaman saja.

Gambar 3.11 Hutan merupakan penambat karbon terbesar dalam ekositem bumi,
Hal ini terutama terjadi pada hutan-hutan hujan tropis, seperti di
Brazil dan Indonesia (Foto: Mairi Jay, 2009).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 44

3.4.2. Sumber-sumber Karbon


Sumber-sumber karbon dapat berasal dari berbagai macam sumber
mulai dari dalam tanah hingga di atas permukaan tanah, yang utama
diantaranya adalah:
(1) karbon di atas permukaan tanah, yaitu karbon yang terdapat pada
semua biomassa hidup di atas tanah, termasuk batang, cabang,
puntung, kulit, benih, dan daun tanaman;
(2) karbon di bawah permukaan tanah, yaitu karbon yang terdapat di
semua biomassa akar hidup, termasuk puntung di bagian bawah,
batas bawah untuk akar adalah yang berdiameter >2 mm;
(3) karbon di dalam biomasa kayu mati, yaitu karbon yang terdapat
didalam bagian kayu yang mati tidak termasuk yang berada di
serasah tanaman, baik yang berdiri di atas tanah atau berada di
dalam tanah;
(4) karbon di dalam serasah (litter), yaitu karbon yang berada di
selaruh biomass tidak hidup dengan diameter yang lebih kecil pada
berbagai stadia dekomposisi, termasuk serasah, lapisan humus;
(5) karbon di dalam tanah, yaitu baik karbon organik di dalam mineral
maupun di dalam bahan organik tanah (termasuk gambut) hingga
pada lapisan tertentu (Gambar 3. 12).

3.4.3 Peningkatan Stok Karbon

Volume dari seluruh kayu yang hidup di suatu areal hutan atau lahan
berkayu yang memiliki diameter tertentu pada ketinggian sekitar 1 m
dari permukaan tanah merupakan sumber karbon yang besar. Jumlah
karbon yang ada umumnya diukur pada satuan meter kubik (m3).
Peningkatan stok karbon memberikan informasi terhadap sumberdaya
kayu yang ada, juga sebagai dasar pendugaan terhadap jumlah karbon
yang dikandungnya. Jumlah karbon pada areal hutan tersebar mulai
daerah tropis sampai ke daerah subtropis. Total stok karbon di dunia
diduga sekitar 434 miliar m3, dimana 30% diantaranya berada di
Amerika Selatan.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 45

Gambar 3.12 Karbon organik di dalam mineral dan di dalam bahan organik tanah
Tampak hingga pada lapisan tertentu (Foto: Radio Nederland
Wereldomroep, 2009).

Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon


dipertukarkan antara biosfir, pedosfir, geosfir, hidrosfir, and atmosfir
bumi (Gambar 3.13). Siklus ini umumnya meliputi empat bagian
utama penampungan karbon yang meliputi: sistem air tawar, bahan
organik tanah, lautan, dan sedimen termasuk fosil. Baik pergerakan
karbon dalam setahun, maupun pertukaran karbon antara pool terjadi
karena berbagai proses kimia, fisika, geologi, dan biologi. Lautan
mengandung kandungan karbon terbesar di bagian permukaan
tanahnya, namun bagian lautan yang dalam, pertukaran karbon dengan
atmosfir tidak aktif. Sehingga kandungan karbon relatif terbatas di
dasar laut yang dalam.
Total karbon dunia merupakan jumlah yang berada pada
keseimbangan akibat pertukaran karbon antara atmosfir dengan
biosfir. Pengamatan dari total karbon di tempat panampungan karbon
memberikan informasi apakah penampungan karbon berfungsi sebagai
sumber (source) atau pemegang (sink) dari karbon dioksida.
Pemegang karbon terbesar salah satunya adalah hutan gambut yang
menyimpan atau memegang karbon secara baik.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 46

Gambar 3.13 Diagram dari siklus karbon yang menunjukkan jumlah karbon yang
dikandung di berbagai penampungan, karbon yang berpindah antara
penampungan pada setiap tahun, serta sedimen sebagai bentuk
karbonat dan kerogen (Illustrasi: Harrison, 2003).

3.4.4 Biomass dan Karbon

Total biomassa dan karbon secara sederhana merefleksikan kondisi


hutan dan stok karbon yang terkandung di dalamnya. Pemahaman
yang lebih jelas dapat dilihat dalam konteks siklus karbon global,
perubahan iklim pada saat kesepakatan internasional seperti the
United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC). Lembaga ini menyatakan bahwa setengah dari total berat
kering biomassa adalah karbon (IPCC, 2003).
Hutan, seperti ekosistem lainnya dipengaruhi oleh perubahan
iklim. Peningkatan suhu akibat pemanasan global dapat meningkatkan
level air laut. Apabila level air permukaan laut naik akan
membahayakan hutan pantai, atau menyebabkan kenaikan temperatur
dan perubahan pola curah hujan. Pada suatu tempat pengaruhnya
Agroekologi: Konsep Ekosistem 47

dapat negatif, sementara ditempat lainnya positif. Namun demikian,


keberadaan hutan juga mempengaruhi iklim atau perubahan iklim.
Hutan menyerap karbon di batang, daun, dan tanah serta
melepaskannya kembali ke atmosfir ketika dibakar, sebagai contoh
saat kebakaran hutan atau pembukaan lahan (Gambar 3.14).

Gambar 3.14 Kebakaran hutan akan melepaskan karbon kembali ke atmosfir dalam
jumlah besar (Foto: Al Feldstein, 2011)

3.4.5 Penambatan Karbon

Kehilangan atau penambahan karbon dari atmosfir di penampungan


karbon (seperti lautan, hutan atau tanah) dapat terjadi melalui proses
fisika, atau biologi seperti fotosintesis. Manusia mencoba untuk
meningkatkan penambatan karbon melalui penanaman hutan baru.
Penambatan karbon merupakan salah satu bentuk upaya penurunan
konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2 di atmosfer. Upaya ini
sudah menjadi kewajiban baik bagi negara maju maupun negara-
negara sedang berkembang terutama yang merupakan penyumbang
emisi gas rumah kaca (GRK) global terbesar.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 48

Bagi negara berkembang upaya ini belum merupakan kewajiban


mutlak, sehingga inisiatif baru yang dilakukan negara berkembang
untuk menurunkan konsentrasi GRK di atmosfer akan mendapat
insentif dari negara maju melalui dua jalur, yaitu jalur perdagangan
karbon dan/atau jalur bukan perdagangan karbon seperti konvensi
international menyangkut konvensi perubahan iklim, keanekaragaman
hayati, dan lain-lain. Jalur perdagangan karbon juga dapat dibagi dua
yaitu lewat jalur Kyoto dan non-Kyoto. Jalur Kyoto dikenal dengan
nama clean development mechanism (CDM).
Upaya penurunan emisi gas rumah kaca sangat penting artinya
bagi lingkungan global. Pada saat ini konsentrasi GRK di atmosfer
meningkat dari waktu ke waktu dengan cepat. Apabila tidak ada upaya
untuk menekan emisi GRK ini, maka diperkirakan dalam waktu 100
tahun (tahun 2100), konsentrasi GRK, khususnya CO2 akan mencapai
dua kali lipat dari konsentrasi saat ini. Peningkatan sebesar ini
diperkirakan akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global
antara 1oC sampai 4,5oC. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan
level air laut setinggi 60 cm. Naiknya muka air laut akan
mempersempit daratan dan menenggelamkan beberapa negara
kepulauan kecil atau kota dekat tepi pantai (Gambar 3.15).

Gambar 3.15 Pemanasan global berpotensi menenggelamkan kota-kota dan pulau-


pulau kecil (Illustrasi: Wordpress, 2010).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 49

Kegiatan di sektor land use, land use change and forestry


(LULUCF) secara potensial dapat menekan terjadinya perubahan
iklim. Kegiatan ini dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi
hutan, peningkatan penambatan karbon dan subtitusi penggunaan
bahan bakar fosil dengan biomassa (Trexler et al., 2000). Kegiatan
konservasi meliputi perlindungan hutan dari kegiatan perambahan dan
perusakan akibat aktivitas manusia. Peningkatan penambatan karbon
dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman
pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan
dan bukan hutan serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem
pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil
dengan energi biomassa akan mengurangi emisi GRK secara langsung
akibat dari penurunan tingkat konsumsi bahan bakar fosil, dan
penanaman lahan kosong untuk memproduksi biomassa.

3.4.6 Perdagangan Karbon Lewat Mekanisme Kyoto


Di dalam kesepakatan yang dibuat di Marokko (COP-6) yang dikenal
dengan Marrakech Accord, untuk komitmen pertama, maka jenis
kegiatan di sektor LULUCF yang diperbolehkan untuk CDM ialah
afforestasi dan reforestasi. Namun demikian, keputusan tentang
bentuk kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam kategori afforestasi
dan reforestasi (A&F) masih belum dirumuskan. Sebelum ada
keputusan tentang definisi A&F untuk CDM maka untuk komitmen
pertama akan digunakan definisi A&R untuk negara maju. Definisi
afforestasi dan reforestasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
 Afforestasi: kegiatan konversi lahan yang sebelumnya bukan
hutan selama kurun waktu 50 tahun menjadi hutan.
 Reforestasi: kegiatan penanaman pohon pada kawasan hutan
yang sejak awal tahun 1990 kawasan tersebut sudah tidak
memenuhi kriteria hutan.
Mengikuti definisi tersebut, maka sebagian besar lahan di
Indonesia pada 50 tahun yang lalu masih berupa hutan, sehingga lahan
Agroekologi: Konsep Ekosistem 50

pertanian yang ada walaupun dialihfungsikan menjadi hutan tidak


dapat dinyatakan sebagai kegiatan afforestasi. Jadi dengan demikian,
kegiatan CDM di Indonesia pada umumnya akan termasuk kategori
reforestasi.
Pasar karbon lewat mekanisme non-Kyoto juga terbuka lebar,
khususnya dengan keluarnya Amerika dari Kyoto Protokol.
Perdagangan karbon lewat mekanisme non-Kyoto akan menggunakan
prosedur yang sama dengan mekanisme Kyoto. Oleh karena itu,
dengan membangun kemampuan untuk ikut dalam era perdagangan
karbon lewat mekanisme Kyoto (Gambar 3.16), berarti juga
membangun kemampuan untuk ikut dalam perdagangan karbon lewat
mekanisme non-Kyoto. Selain itu, prinsip dasar penyaluran dana
konvensi adalah untuk mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Gambar 3.16. Protokol Kyoto dirumuskan untuk mengurangi emisi/pengeluaran


karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya yang telah
dikaitkan dengan pemanasan global (Foto: ABC News, 2010).

3.5. Produktivitas Ekosistem Tropika


Setiap ekosistem, atau komunitas, atau bagian-bagiannya memiliki
produktivitas dasar yang disebut pula dengan produktivitas primer.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 51

Produktivitas primer adalah kecepatan penyimpanan energi potensial


oleh organisme produsen, melalui proses fotosintesis dan atau
kemosintesis, dalam bentuk bahan-bahan organik yang dapat
digunakan sebagai bahan pangan. Produktivitas primer dapat dibagi
dalam dua kategori yaitu produktivitas primer kotor dan produktivitas
primer bersih.
Produktivitas primer kotor adalah kecepatan total fotosintesis,
mencakup pula bahan organik yang dipakai untuk respirasi selama
pengukuran. Istilah lain untuk produktivitas primer kotor adalah
fotosintesis total atau asimilasi total. Produktivitas primer bersih
adalah kecepatan penyimpanan bahan-bahan organik dalam tumbuhan,
sebagai kelebihan bahan yang dipakai untuk respirasi oleh tumbuhan
itu selama pengukuran. Istilah lain untuk produktivitas bersih adalah
fotosintesis nyata atau asimilasi bersih.
Kecepatan penyimpanan energi potensial pada tingkat konsumen
dan pengurai, disebut produktivitas sekunder. Dengan sendirinya,
energi ini semakin kecil pada tingkat berikutnya. Arus energi total
pada tingkat heterotrofik yang analog dengan produktivitas kotor pada
tingkat autotrofik, sebaiknya dinamakan “asimilasi” bukan kata
“produksi”.
Dalam konsep produktivitas, faktor satuan waktu sangat
penting, karena sistem kehidupan adalah proses yang berjalan secara
seimbang. Hal ini tentu berbeda dengan proses-proses dalam
pengertian kimia atau industri, khususnya dalam istilah produksi. Kita
harus berhati-hati agar istilah produksi jangan dikacaukan dengan
istilah produksi atau biomassa pada suatu waktu tertentu.
Produktivitas tidak dapat ditentukan hanya dengan menghitung jumlah
dan bobot individu saja. Namun demikian, kita dapat menaksir
produktivitas bersih.
Dalam ekosistem terjadi pendauran bahan-bahan seperti
nitrogen, fosfor, karbon, air dan lain-lain yang diperlukan oleh
organisme hidup. Hal yang penting kita perhatikan adalah arus energi
tidak didaurkan; energi berjalan hanya satu arah yang bersumber dari
Agroekologi: Konsep Ekosistem 52

matahari. Kehidupan di bumi berjalan terus dengan pendauran bahan-


bahan yang berulang-ulang dan dengan pengaliran energi surya yang
sinambung dan datang dari luar ekosistem bumi.
Berbagai macam ekosistem mempunyai produktivitas yang
berbeda dan hal ini banyak berkaitan dengan berbagai faktor
lingkungan, seperti iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air
dan ketinggian di atas permukaan laut (dpl) atau elevasi. Dalam
ekosistem buatan, misalnya sawah, perkebunan, hutan, dan kolam,
pemasukan bahan dari luar ekosistem menentukan produktivitas
ekosistem itu. Di bawah ini tertera beberapa contoh produktivitas
berbagai ekosistem alam dan ekosistem buatan. Dari Tabel 3.1 tampak
bahwa suatu ekosistem yang subur, misalnya terumbu karang, ternyata
4 kali lebih produktif dari pada laut terbuka yang miskin hara, bila
ditinjau dari produksi rata-rata sepanjang tahun.
Tabel 3.1 Produktivitas primer kotor beberapa ekosistem perairan alam berdasarkan
pengukuran selama 6-12 bulan.

Kecepatan Produksi
No Ekosistem
(gram/m2/hari)
1. Laut terbuka yang miskin (Laut Sargasso) 0,5
2 Perairan pantai dangkal (Long Island Sound) 3,2
3. Danau dalam dan bening „Oligotrofik” (Wisconsin) 0,7
4. Danau dangkal “Eutrofik” (Jepang) 2,1
5. Estuari (Texas) 4,4
6. Terumbu Karang (Pasifik) 2,1

Sumber: Odum (1966).

Selanjutnya, Tabel 3.2 melukiskan taksiran produktivitas bersih harian


dan tahunan tanaman budidaya, padang rumput, hutan serta gurun
pasir. Faktor waktu dan ruang merupakan faktor penting yang
menentukan produktivitas suatu ekosistem. Misalnya produktivitas
hutan tropis di Semenanjung Malaya lebih tinggi dari pada hutan iklim
temperate di Inggris, hutan hanya tumbuh pada musim semi dan
musim panas. Kebanyakan tanaman budidaya juga hanya tumbuh pada
Agroekologi: Konsep Ekosistem 53

musim tertentu, baik di daerah tropika maupun di daerah iklim sedang


dan dingin, kecuali tebu yang dapat tumbuh sepanjang tahun.
Produktivitas juga ditentukan oleh faktor ruang atau lahan. Jarak
tanam yang lebih rapat dan digarap secara intensif akan memperoleh
produktivitas yang lebih tinggi.
Tabel 3.2 Produktivitas primer bersih tahunan pada ekosistem buatan dan
ekosistem alam.
Produktivitas Primer Bersih
No Ekosistem (gram/m2)
Tahun Hari
A. Tanaman budidaya
1 Gandum (rata-rata dunia) 344 0.94
2 Jagung (rata-rata dunia) 412 1.13
3 Padi (rata-rata dunia) 497 1.36
4 Padi (rata-rata tertinggi di Italia dan Jepang) 1440 3.93
5 Tebu (rata-rata dunia) 1723 4.73
B. Ekosistem alam
1 Hutan tropika (Malaysia) 2200 6.30
2 Hutan iklim Sedang 1500 3.00
3 Padang rumput (Oklahoma & Nebraska) 446 1.22
4 Gurun pasir (Nevada) 40 0.11
Sumber: Odum (1966) dan Kira et al. (1972).

Umumnya komunitas yang kaya mempunyai banyak organisme,


akan tetapi hal ini tidak selalu demikian. Seseorang tidak dapat
mengukur produktivitas hanya dengan menghitung/menimbang
organisme pada suatu saat. Daerah gurun pasir yang diberi pengairan,
karena banyak cahaya matahari, maka produktivas primernya tinggi,
akan tetapi produktivitas bersihnya seimbang atau bahkan dapat lebih
kecil dari daerah iklim sedang. Hal ini disebabkan pada daerah gurun
temperaturnya tinggi untuk mempertahankan diri (penguapan
merupakan cara untuk pendinginan). Karena itu di daerah ekuator,
produktivitas bersih lebih kecil dari pada daerah sedang.
Produksi primer hutan dapat lebih tinggi daripada daerah
pertanian. Akan tetapi manusia dapat memperbesar produksi dengan
Agroekologi: Konsep Ekosistem 54

mempergunakan bibit unggul dan penggunaan pupuk. Dengan kata


lain, penambahan produksi terjadi karena adanya penambahan energi.
Di USA, produksi pertanian per hektar dapat mencapai 3 kali produksi
pada negara berkembang tetapi energi yang diperlukan untuk produksi
tersebut 10 kali lipat. Karena itu salahlah jika ingin menaikkan
produksi negara berkembang hanya memberi bibit unggul dan tenaga
ahli tanpa memberi energi dalam bentuk pupuk dan pengairan.
Hubungan antara produksi kotor dan produksi bersih dapat
diterangkan dengan model grafik Leaf Area Index (LAI). LAI yang
digambarkan pada sumbu dapat dianggap sebagai ukuran fotosintesis
biomassa. Produktivitas maksimum didapatkan pada LAI sekitar 4
(yaitu luas permukaan daun yang terkena cahaya 4 kali luas
permukaan tanah). Akan tetapi produksi kotor (GPP) tercapai apabila
LAI 8-10 yaitu pada hutan tua. Produksi bersih (NPP = Net Primary
Production) menurun pada derajat tinggi karena kehilangan akibat
adanya respirasi untuk menghasilkan daun yang luas dan jaringan
pendukungnya. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa alam
akan memaksimumkan GPP sedangkan manusia akan memaksimum-
kan NPP.

3.6. Aliran Energi

3.6.1 Proses Aliran Energi

Para ahli ekologi mengkategorikan elemen-elemen yang membentuk


atau yang memberi efek pada sebuah ekosistem menjadi 6 bagian
utama yang berdasarkan pada aliran energi dan nutrien yang mengalir
pada sistem, yaitu:
(1) matahari,
(2) bahan-bahan abiotik,
(3) produsen,
(4) konsumen pertama,
(5) konsumen kedua, dan
(6) pengurai.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 55

Sebuah ekosistem yang sederhana dapat digambarkan seperti


berikut. Matahari menyediakan energi yang dibutuhkan oleh hampir
semua produsen untuk membuat makanan. Produsen terdiri dari
tanaman-tanaman hijau seperti rumput dan pohon yang membuat
makanan melalui proses fotosintesis. Tanaman juga membutuhkan
bahan-bahan abiotik seperti air dan pospor untuk tumbuh. Yang
termasuk konsumen pertama diantaranya tikus, kelinci, belalang dan
binatang pemakan tumbuhan lainnya. Ular, macan dan konsumen
kedua lainnya atau yang disebut dengan predator adalah pemakan
binatang (Gambar 3.17). Pengurai seperti jamur dan bakteri,
menghancurkan tanaman dan binatang yang telah mati menjadi
nutrien-nutrien sederhana. Nutrien-nutrien tersebut kembali ke dalam
tanah dan digunakan kembali oleh berbagai jenis tanaman.

Gambar 3.17 Aliran energi yang terjadi dari matahari sampai kepada konsumen dan
pengurai (Illustrasi : Britannica, 2006).

Tingkatan-tingkatan energi yang berkesinambungan yang


berlangsung dalam bentuk makanan ini disebut rantai makanan. Di
Agroekologi: Konsep Ekosistem 56

dalam sebuah rantai makanan yang sederhana, rumput adalah


produsen, konsumen pertama seperti kelinci memakan rumput. Kelinci
selanjutnya dimakan oleh konsumen kedua misalnya ular atau macan.
Bakteri pengurai menghancurkan sisa-sisa rumput, kelinci, ular,
macan yang mati, serta kotoran hewan.
Sebagian besar ekosistem memiliki berbagai produsen,
konsumen dan pengurai yang membentuk sebuah rantai makanan yang
saling pengaruh-mempengaruhi. Jaringan-jaringan makanan yang
panjang umumnya terdapat di ekosistem wilayah tropis dan ekosistem
lautan. Beberapa spesies dapat mengkonsumsi berbagai jenis makanan
tetapi ada juga yang membutuhkan makanan yang khusus. Konsumen
seperti koala dan panda memakan satu jenis tanaman. Makanan utama
koala adalah eucalyptus dan makanan utama panda adalah bambu.
Jika tanaman ini mati maka kedua binatang tersebut juga ikut mati.
Energi yang berpindah melalui sebuah ekosistem berada dalam
sebuah urutan transformasi. Pertama produsen merubah sinar matahari
menjadi energi kimia yang disimpan di dalam protoplasma (sel-sel
tumbuhan). Selanjutnya konsumen pertama memakan tanaman,
merubah energi menjadi bentuk energi kimia yang berbeda yang
disimpan di dalam sel-sel tubuhnya. Energi ini berubah kembali ketika
konsumen kedua memakan konsumen pertama.
Sebagian besar organisme memiliki efisiensi ekologi yang
rendah. Ini berarti mereka hanya dapat merubah hanya sedikit bagian
dari energi yang tersedia bagi mereka untuk disimpan menjadi energi
kimia. Contohnya, tanaman-tanaman hijau hanya dapat merubah
sekitar 0,1 hingga 1% tenaga matahari yang mencapainya ke dalam
protoplasma. Sebagian besar energi yang tertangkap dibakar untuk
pertumbuhan tanaman dan sebagian lepas ke dalam lingkungan
sebagai panas. Begitu juga baik herbivora (binatang pemakan
tumbuhan) dan karnivora (binatang pemakan daging) merubah energi
ke dalam sel-sel tubuh hanya sekitar 10 - 20% dari energi yang
dihasilkan oleh makanan yang mereka makan. Hal ini menunjukkan
tingkat efesiensi energi yang rendah pada hewan.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 57

Karena begitu banyaknya energi yang lepas sebagai panas pada


setiap langkah dari rantai makanan, maka semua ekosistem
mengembangkan sebuah piramida energi (Gambar 3.18). Tanaman
sebagai produsen menempati bagian dasar piramid, herbivora
(konsumen pertama) membentuk bagian berikutnya, dan karnivora
(komsumen kedua) membentuk puncak piramida. Piramid tersebut
mencerminkan kenyataan bahwa banyak energi yang melewati
tanaman dibandingkan dengan herbivora, dan lebih banyak yang
melalui herbivora dibandingkan dengan karnivora.

Gambar 3.18 Piramida energi yang mencerminkan aliran dan jumlah kehilangan
energi di dalam suatu ekosistem (Illustrasi: Anderson, 2011).

Di dalam ekosistem-ekosistem daratan piramida energi tersebut


menghasilkan sebuah piramida biomasa (berat). Ini berarti bahwa
berat total dari seluruh tanaman-tanaman yang ada di bumi adalah
lebih besar dibandingkan dengan berat total herbivora, dan jumlah
herbivora ini lebih berat dibandingkan dengan berat karnivora
seluruhnya. Tetapi di dalam lautan biomasa (berat) tanaman-tanaman
dan binatang-binatang adalah relatif sama. Ahli-ahli ekologi
mengumpulkan informasi pada sebuah piramida biomasa pada Kebun
Nasional Isle Royale, USA. Mereka meneliti hubungan piramida
Agroekologi: Konsep Ekosistem 58

diantara tanaman, rusa dan serigala. Dalam sebuah penelitian mereka


menemukan bahwa diperlukan tanaman seberat 346 kg untuk
makanan rusa seberat 27 kg. Rusa seberat inilah yang diperlukan
serigala untuk meningkatkan beratnya sejumlah 0,45 kg (Vickery,
1984).

3.6.2. Perputaran Material-material

Semua benda hidup terdiri dari unsur-unsur kimia tertentu dan


senyawa-senyawa kimia. Diantaranya adalah air, karbon, hidrogen,
nitrogen, oksigen, fospor dan sulfur. Semua material-material ini
berputar melalui ekosistem secara terus menerus. Perputaran fospor
misalnya, semua organisme membutuhkan fospor. Tanaman
mengambil senyawa fospor dari dalam tanah dan binatang
memperoleh fospor dari tanaman dan binatang lainya yang dimakan.
Pengurai mengembalikan fospor ke dalam tanah setelah tanaman dan
binatang mati.
Di alam ekosistem-ekosistem yang tidak terganggu, jumlah
fosfor adalah tetap. Tetapi ketika sebuah ekosistem terganggu
terutama oleh aktifitas manusia, fospor seringkali keluar dari
ekosistemnya. Hal ini akan mengurangi kemampuan ekosistem untuk
mendukung kehidupan tanaman. Salah satu contoh adalah ketika
manusia merubah hutan menjadi lahan pertanian. Dengan tidak adanya
hutan yang melindungi, maka fospor hanyut bersama tanah dan
tersapu ke dalam sungai atau danau. Hal ini sangat mengganggu
pertumbuhan algae. Pada akhirnya fospor terjebak di dalam endapan
lumpur di dasar danau atau lautan. Karena kehilangan fospor maka
petani harus membeli pupuk yang mahal untuk mengembalikan unsur
fospor tersebut kedalam tanah.
Perubahan ekosistem muncul setiap hari, secara musiman dan
ketika terjadi suksesi (peralihan) ekologi, sehingga perubahan
ekosistem terjadi sepanjang masa. Kadangkala perubahan terjadi
secara berulang-ulang dan secara mendadak, seperti ketika terjadi
kebakaran hutan atau ombak tsunami yang menyapu pantai.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 59

Perubahan yang paling sering terjadi dari hari ke hari adalah pada
lingkaran nutrien. Perubahan ini sulit dilihat secara visual, sehingga
sering dianggap bahwa kondisi ekosistem stabil. Padahal, perubahan
ekosistem seperti ini merupakan suatu dinamika alam, yang akhirnya
membentuk suatu kestabilan yang dinamis. Kestabilan yang nyata
diantara tanaman dan binatang serta lingkungannya disebut
keseimbangan alam. Kondisi keseimbangan alam yang baik sangat
penting untuk menunjang seluruh bentuk kehidupan di bumi. Apabila
keseimbangan terganggu, maka kehidupan di bumi juga tidak akan
stabil dan dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat
merugikan kita semua. Oleh karena itu, upaya menjaga keseimbangan
alam sangat penting dilakukan secara kontinyu dan konsekuen.

3.7 Ekosistem Pertanian

3.7.1 Ancaman Lingkungan

Dalam sistem yang saling tergantung (interdependent system) seperti


halnya “bumi”, maka setiap makhluk hidup berinteraksi dan
bergantung kepada atmosfir, air, cahaya dan tanah yang semuanya
harus dijaga dan diawetkan sebagai keragaman biologi untuk sumber
daya alam yang dibutuhkan manusia. Konservasi keanekaragaman
hayati bukan hanya meliputi perlindungan terhadap sumber daya
hayati yang berada dalam taman nasional saja, namun mencakup juga
usaha untuk melindungi sistem yang alami secara terus menerus.
Sistem tersebut meliputi: siklus air, oksigen, dan karbondioksida;
pemeliharaan kesuburan tanah; produksi sumber makanan dan obat-
obatan; serta menjaga sumberdaya genetik. Dalam sistem yang ada di
bumi, seluruh makhluk hidup saling pengaruh-mempengaruhi serta
saling tergantung pada komponen-komponen hayati maupun non
hayati, dan manusia juga merupakan suatu bagian yang utuh dari
sistem tersebut. Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman
dalam seluruh dunia makhluk hidup, yang mencakup gen, spesies, dan
ekosistem (Gambar 3.19).
Agroekologi: Konsep Ekosistem 60

Gambar 3.19 Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman dalam


seluruh dunia makhluk hidup, yang mencakup gen, spesies, dan
ekosistem (Foto: Yoretul Forest, 2008)

Namun demikian, kehidupan di bumi semakin terancam akibat


hal-hal sebagai berikut:
(1) konsumsi makanan yang berlebihan,
(2) pencemaran lingkungan,
(3) penebangan dan kebakaran hutan,
(4) cepatnya laju pertumbuhan penduduk,
(5) pola pemilikan tanah yang tidak adil,
(6) pola perkampungan dan perpindahan penduduk yang tidak
merata, dan
(7) melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dengan yang
miskin.
Kecendrungan tersebut tidak dapat diatasi, kecuali jika seluruh
masyarakat dunia mau mengelola sumber-sumber kekayaan alam
dunia sebagai sistem penyokong kehidupan untuk generasi sekarang
maupun generasi mendatang sebagai suatu sistem keadilan antar
generasi (intergeneration equity). Konsep keadilan seperti sangat
penting disadari bagi kita semua, supaya generasi mendatang setidak
Agroekologi: Konsep Ekosistem 61

masih memiliki alternatif kehidupannya. Kita diharapkan tidak


meninggalkan lingkungan yang buruk bagi generasi mendatang.
Manusia saat memasuki abad industri memiliki populasi satu
milyar, dengan keanekaragaman hayati yang masih sangat tinggi.
Sumberdaya biologi merupakan bagian dari keragaman yang sangat
potensial yang tersedia dengan bebas untuk mendukung
pembangunan. Walaupun pada akhir abad ke-20, dinyatakan bahwa
sumberdaya hayati jumlah di masa depan akan menjadi terbatas.
Namun sayangnya manusia telah telah mengeksploitasi sumber daya
hayati secara berlebihan. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya
keanekaragaman hayati dan mengancam kesejahteraan ummat
manusia. Padahal setiap tahun jumlah penduduk dunia makin
bertambah dan iklim pun akan berubah lebih cepat.
Ternyata aktifitas manusia secara progresif telah mengikis
kemampuan bumi, terutama sebagai akibat peningkatan jumlah
penduduk yang cepat dan disertai kebutuhan pangan yang tinggi. Hal
ini tentu saja akan menuntut ketersediaan sumber daya bumi yang
lebih besar pula. Pada skala global, hal tersebut akan berdampak
negatif terhadap produktivitas bumi untuk menyediakan sumber daya
alam di masa yang akan datang. Oleh karena itu, usaha-usaha
konservasi keanekaragaman hayati sama sekali tidak dapat diabaikan,
apalagi dipisahkan dari pembangunan sosial ekonomi.
Akibat peningkatan perubahan global yang menyangkut kondisi
lingkungan dewasa ini, maka pemeliharaan sumber keanekaragaman
hayati menjadi sangat mendesak. Hal ini penting, karena
keanekaragaman gen, spesies, dan ekosistem dapat menyediakan
bahan baku untuk mendukung manusia tahan terhadap perubahan-
perubahan. Di samping itu, adanya keanekaragaman hayati yang
tinggi tentunya akan mencegah kehilangan alternatif untuk merubah
kondisi menjadi lebih baik di masa depan. Daerah tropik memiliki
bagian terbesar proporsi keanekaragaman hayati dunia. Negara-negara
industri sangat tergantung kepada sumber daya alam tropis, baik
sebagai bahan baku industri, bahan pemuliaan, obat-obatan, daerah
Agroekologi: Konsep Ekosistem 62

turis, maupun berbagai keuntungan-keuntungan yang nyata maupun


yang tidak nyata. Namun dewasa ini ekploitasi berlebihan terhadap
daerah-daerah tropik oleh masyarakat industri telah menghasilkan
keuntungan besar secara sepihak, tanpa investasi yang sepadan untuk
konservasi sumber daya alam. Penipisan dan penghancuran
sumberdaya alam makin meningkat terutama diakibatkan oleh:
(1) murahnya tenaga kerja;
(2) harga bahan baku yang tidak mencerminkan nilai yang
sesungguhnya (true value),
(3) arah pembangunan yang tidak tepat; dan
(4) pengontrolan harga dan tarif komoditas yang tidak seimbang.
Situasi demikian secara terus menerus memburuk dan
menyebabkan krisis sumber daya alam bumi. Dengan demikian,
pihak-pihak pemerintah, badan-badan pembangunan, dan masyarakat
umum harus terus meningkatkan kesadaran dan perhatiannya untuk
mencegah penipisan dan penghancuran keanekaragaman hayati serta
memeliharanya untuk generasi mendatang melalui berbagai usaha
konservasi.

3.7.2 Konservasi Keanekaragaman Hayati

Konservasi keanekaragaman hayati yang baik haruslah mencakup


beberapa hal sebagai berikut:
(1) Bagaimana cara memobilisasi pengetahuan ilmiah, sehingga
keanekaragaman hayati dapat dikonservasi dengan jalan terbaik.
(2) Bagaimana dapat mengelola proses perubahan, sehingga
keanekaragaman hayati dapat memberikan sumbangan terbaik
untuk pembangunan berkesinambungan?
(3) Prioritas masalah yang perlu didahulukan pemecahannya.
(4) Bagaimana dapat mengkoordinasi inisiatif dalam konservasi
keanekaragaman hayati secara efektif?
(5) Dari mana sumber daya dapat diperoleh?
Agroekologi: Konsep Ekosistem 63

Keanekaragaman hayati melingkupi total keseluruhan gen,


spesies dan ekosistem dalam suatu daerah. Kekayaan kehidupan bumi
yang ada sekarang ini merupakan hasil proses evolusi selama berjuta-
juta tahun. Melewati masa tersebut, kebudayaan manusia telah
berkembang dan telah menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat
yaitu dengan menemukan, menggunakan dan merubah
keanekaragaman hayati di sekitarnya. Banyak areal yang nampak
alami, tetapi sebenarnya merupakan hasil dari ribuan tahun
kebudayaan manusia, misalnya budidaya tanaman serta pemungutan
hasil alam. Pemeliharaan dan pemuliaan varietas lokal juga telah
membentuk atau meningkatkan keanekaragaman hayati. Pada
dasarnya keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kategori:
(1) keanekaragaman gen (genetic diversity),
(2) keanekaragaman spesies (spesies diversity), dan
(3) keanekaragaman ekosistem (ecosystem diversity).

Keanekaragaman gen menunjukkan kepada variasi gen dalam


suatu spesies, yaitu perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam suatu
spesies yang sama, misalnya keragaman gen yang terdapat pada
ratusan varietas tradisional padi India (Gambar 3.20). Keanekara-
gaman spesies menunjukkan kepada keragaman spesies dalam suatu
daerah. Keragaman seperti ini dapat diukur dengan banyak cara
karena para ilmuan tidak membuat suatu tolak ukur tunggal.
Keanekaragaman ekosistem meliputi total keseluruhan keanekara-
gaman spesies maupun keanekaragaman gen yang terdapat pada
daerah yang tergabung dalam suatu ekosistem tertentu.
Pengelolaan keanekaragaman hayati tidak cukup hanya
mempertimbangkan keanekaragaman gen, spesies maupun ekosistem.
Namun untuk merancang suatu managemen khusus dan kebijaksanaan
tertentu untuk pengelolaan sumber daya hayati, maka bentuk dan
fungsi keanekaragaman kebudayaan suatu masyarakat juga sangat
penting untuk dilibatkan. Keanekaragaman kebudayaan dicerminkan
oleh bahasa, agama, kepercayaan, seni, musik, praktek pengelolaan
Agroekologi: Konsep Ekosistem 64

tanah, seleksi tanaman, makanan, struktur sosial dan beberapa atribut


sosial masyarakat lainnya.

Gambar 3.20 Keanekaragaman yang dijumpai pada beras Brasmati India terjadi
akibat adanya keaneragaman gen yang tinggi (Foto: Tanna Group,
2011).

3.7.3 Kekayaan Sumber Daya Hayati Bumi


Ada hal yang sangat mengejutkan bahwa para ahli lebih memahami
beberapa jumlah bintang-bintang yang ada dalam sistem galaksi
daripada jumlah spesies yang menghuni bumi. Suatu perkiraan dasar
memaparkan, keanekaragaman spesies bervariasi dari 2 juta sampai
100 juta spesies. Perkiraan yang paling tepat, spesies bumi dapat
mencapai 10 juta, namun hanya 1.4 juta yang telah diberi nama atau
dideskripsikan.
Sejak tahun 1980, para ahli telah menemukan secara besar-
besaran keanekaragaman serangga di daerah hutan tropis. Di Panama,
suatu studi hanya pada 19 pohon ditemukan 80% spesies beetle baru
dan 1200 spesies lainnya, yang sebelumnya belum pernah diketahui
para ahli. Paling kurang, 6 sampai 9 juta spesies arthropoda menghuni
daerah tropis. Satu meter persegi daerah hutan temperate dapat
Agroekologi: Konsep Ekosistem 65

mengandung 200.000 mite dan 10.000 invertebrata. Dalam ukuran


plot yang sama pada padang rumput tropis dapat mengandung 32 juta
nematoda, dan satu gram tanah yang sama dapat mengandung
mikroorganisme lainnya sebanyak satu juta.
Para ahli yakin bahwa di dasar laut yang dalam mengandung
berjuta-juta spesies organisme yang belum dikenal. Dalam 20 tahun
terakhir, di daerah vent (daerah air panas dasar laut) telah ditemukan
20 famili atau subfamili, 50 genera, dan 100 spesies baru.
Keanekaragaman spesies menunjukkan kepada keragaman makhluk
hidup yang menghuni bumi. Para ahli biologi mengklasifikasikan
kehidupan bumi ke dalam suatu hirarki yang telah diterima secara
luas, yang mencerminkan hubungan evolusi antara organisme.
Kategori utama atau taxa dari makhluk hidup adalah: spesies, genus,
famili, order, class, phylum, dan kingdom. Suatu informasi informal
tentang jumlah spesies yang telah dikenal disajikan sebagai berikut:
Insecta: 751.000 (Gambar 3.20); Plantae: 248.428; Non-insect
arthopoda: 123.150; Molusca: 50.000; Fungi: 46.983; Protozoa:
30.800; Algae: 26.900; Pisces: 19.056; Plathelminthes: 12.200;
Nematoda: 12.000; Annelida: 12.000; Aves: 9.040; Coelenterata:
9.000; Reptilia: 6.300; Echinodermata: 6.100; Porifera: 5.000;
Monera: 4.760; Amphibia: 4.184; Mammalia: 4.000 (Museum of
Paleontology of the University of California, 2002).

3.7.4 Erosi Genetik Akibat Pertanian Modern

Organisasi dunia Food and Agriculture Organization (FAO)


memperingatkan bahwa dunia sekarang sedang menghadapi
kehilangan sumber daya genetika tumbuhan besar-besaran dan
mengakibatkan terjadi erosi keanekaan hayati yang cepat. Akibat
semua itu akan mengancam kelangsungan pertanian dan ketersediaan
pangan. Disebutkan bahwa penerapan pertanian modern dan
komersial, introduksi tanaman pangan jenis baru menjadi penyebab
utama hilangnya keanekaragaman genetik. Di Cina, jumlah varietas
gandum yang ditanam menurun drastis menjadi hanya sekitar 1.000
Agroekologi: Konsep Ekosistem 66

varietas pada tahun 1970-an dibandingkan tahun 1949 yang mencapai


10.000 varietas (90% hilang). Di Amerika Serikat, 95% persen
varietas jagung, 94 persen varietas kacang polong, dan 81% varietas
tomat menghilang. Keanekaragaman kehidupan di bumi sangat perlu
untuk kelangsungan kehidupan manusia. Konservasi dan pemanfaatan
sumber daya genetika tanaman sesuatu yang vital untuk meningkatkan
produktivitas dan keberlanjutan pertanian.

Gambar 3.20 Insekta merupakan organisme yang memiliki kergaman jenis yang
terbesar di bumi (Freewareme, 2011).

Beberapa faktor yang menjadi penyebab kehilangan sumber


daya genetik diberbagai negera terutama di banyak kawasan Afrika,
Asia, dan Amerika Latin adalah:
(1) degradasi dan kerusakan hutan maupun hanya semak-semak,
(2) penggembalaan ternak yang berlebihan,
(3) eksploitasi,
(4) peperangan,
Banyak tanaman pangan yang menjadi sumber makanan utama seperti
sorgum, jenis padi-padian, dan kentang bagi jutaan umat manusia
yang miskin, tidak mendapatkan cukup perhatian atau investasi pada
penelitian untuk konservasi dan pengembangannya. Hal ini sangat
Agroekologi: Konsep Ekosistem 67

mengecewakan, karena alternatif untuk mengatasi krisis pangan di


masa depan menjadi lebih sempit.

3.7.5 Lingkungan Makin Memburuk

Lima tahun setelah pertemuan para pemimpin dunia di KTT Bumi


atau Earth Summit di Rio de Janerio, Brasil (3 s.d. 14 Juni 1992)
lingkungan bumi semakin memburuk. Perjanjian untuk melindungi
atmosfer dan keanekaan hayati terperosok, jumlah penduduk dunia
naik terus dan lebih dari satu milyar orang tidak bisa memberi makan
diri sendiri. Demikian diungkapkan Worldwatch Institute, sebuah
organisasi non-pemerintah berkantor di Washington, Amerika Serikat.
Worldwatch Institute membeberkan sejumlah persoalan menjadi
semakin memburuk terutama setelah pertemuan besar membahas
persoalan lingkungan dunia itu. Beberapa aspek yang dinilai menjadi
persoalan lingkungan hidup dunia pada saat itu adalah kerusuhan
sosial dan politik dan berkurangnya harapan untuk memberi makan
diri sendiri.
Sejak pertemuan di Rio, jumlah manusia berkembang mencapai
450 juta dalam waktu kurun 5 tahun (1992-1997). Sekarang penduduk
dunia mencapai 7 milyar, meningkat sebanyak 1.7 milyar selama 18
tahun (1992-2010). Akibat berbagai aktivitas manusia, banyak
kawasan-kawasan yang dulunya hutan luas, sekarang tidak ada lagi
pohonnya (Gambar 3.21). Emisi karbon dioksida tahunan hasil
pembakaran bahan bakar fosil yang merupakan gas utama rumah kaca
meningkat semakin tinggi dan mengancam komposisi atmosfer. Hal
ini akan membahayakan keberadaan bumi dan generasi mendatang
secara keseluruhan.
Dua inisiatif kunci dari pertemuan Rio, yaitu Konvensi
Perubahan Iklim suatu kesepakatan mengurangi emisi dari bahan
bakar fosil yang membuat pemanasan global dan Konvensi Keanekaan
Hayati berupa kesepakatan melindungi keanekaan hayati. Ke dua
kesepakatan itu tidak berjalan dengan baik akibat kurangnya
Agroekologi: Konsep Ekosistem 68

komitmen dari negara-negara industri utama. Worldwatch Institute


secara khusus menyinggung kepemimpinan Amerika Serikat dalam
bidang lingkungan hidup menyurut dalam lima tahun terakhir, seperti
kegagalan menetapkan target dalam Konvensi Perubahan Iklim dan
gagal meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Gambar 3.21 Kondisi lahan setelah deforestasi, yang dulunya hutan kini berubah
menjadi calon padang pasir. Kejahatan penggundulan hutan itu
terutama dilakukan oleh kaum berkuasa dan kroni kroninya (Foto:
Green Peace, 2007).

Setiap tahun, sekitar 27.000 jenis makhluk hidup musnah, dan


para ilmuwan menemukan bukti mengapa manusia harus lebih
khawatir jika semakin banyak makhluk hidup musnah akan
menggangu ekosistem. Penelitian para ahli ekologis itu menambah
kuat pandangan yang mengatakan ekosistem menjadi lebih baik jika
semakin banyak jenis makhluk hidup di dalamnya. Semakin banyak
jenis tanaman yang hidup di plot penelitian mereka semakin baik
tumbuhnya tanaman-tanaman itu. Tanaman itu lebih cepat tumbuh,
dan lebih besar serta lebih efisien dalam pemanfaatan nitrogen sebagai
sumber utama nutrisi untuk tumbuhan.
Pada ekosistem padang rumput, produktivitas meningkat secara
nyata, sejalan dengan semakin beranekaragamnya tanaman. Selain itu,
nitrogen dimanfaatkan lebih sempurna jika jenisnya semakin beragam.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 69

Hal yang sama juga terjadi di lokasi padang rumput yang alami. Hasil
penelitian menunjukkan hilangnya jenis-jenis makhluk hidup
mengancam fungsi ekosistem dan kelestariannya.
Kita semua memiliki tanggungjawab terhadap kelestarian semua
unsur-unsur di dalam ekosistem bumi. Tidak seorang pun di antara
kita yang mempunyai keinginan untuk menceritakan pada anak-cucu
bahwa kita diam saja ketika ketidakpedulian dan keserakahan telah
mengakibatkan hilangnya kekayaan flora dan fauna dunia.

3.7.6 Masuknya Produk Transgenik

Indonesia perlu mewaspadai masuknya produk tanaman yang sudah


dimodifikasi secara genetik (transgenik), karena sekarang di Amerika
27 persen produksi kedelai dan 24 persen produksi jagungnya berasal
dari hasil rekayasa genetika (Kompas, 1999). Demikian juga dengan
tanaman lain seperti tomat dan kanola. Kewaspadaan perlu
ditingkatkan, mengingat Indonesia mengimpor kedelai dan jagung dari
Amerika dengan jumlah cukup besar. Uni Eropa masih
memperkarakan masuknya tanaman transgenik ini, sehingga impor ke
Eropa terhambat.
Umumnya ada tiga tipe gen yang diintroduksikan ke tanaman
komersial, yaitu gen ketahanan terhadap herbisida, gen ketahanan
terhadap hama penyakit, dan gen yang memperbaiki mutu hasil panen.
Namun dampaknya terhadap manusia, lingkungan, dan
ketergantungan ekonomi para petani, perlu dikaji lebih lanjut. Produk
tanaman transgenik diperkirakan mengandung bahan alkaloid baru
yang dampaknya terhadap kesehatan belum dapat diduga.
Apabila dikaji dampak terhadap lingkungan, tanaman transgenik
dengan modifikasi tahan virus bisa memunculkan strain virus baru
yang lebih ganas dan gulma super yang tahan herbisida. Sekarang
telah diketahui, tipe kubis kubisan yang diberi gen ketahanan terhadap
herbisida, serbuk sarinya membuahi tanaman sejenis yang merupakan
gulma dan dikhawatirkan biji yang dihasilkan akan berkembang biak
menjadi gulma yang tahan herbisida. Di Irlandia diketahui, burung
Agroekologi: Konsep Ekosistem 70

yang makan serangga yang menkonsumsi tanaman transgenik, maka


kemampuan reproduksinya menurun. Tanaman jagung yang
direkayasa dengan gen anti serangga dari bacillus, akan
mengakibatkan menurunnya daya hidup serangga di sekitar kebun.
Bakteri bacillus memiliki gen yang mampu merusak pola pencernaan
serangga, sehingga berfungsi sebagai insektisida (Gambar 3.22).

Gambar 3.22 Tanaman jagung yang ditambahi gen anti serangga dari bakteri
bacillus, ternyata dapat menurunkan daya hidup serangga di sekitar
kebun (Illustrasi: Hardy Hall, 2011).

Sementara bahaya kedua, penambahan penanda genetik (marker


DNA) pada benih transgenik biasanya dipatenkan, sehingga
perusahaan pemilik paten gen tersebut mungkin saja mengajukan
klaim terhadap tanaman petani yang memiliki gen itu, walau tampilan
varietasnya sudah sangat beda di sisi lain, benih transgenik umumnya
juga disisipi gen yang bisa membuat tanaman menghasilkan biji tidak
viable alias mandul, sehingga petani tidak bisa menyediakan benih
sendiri dari tanaman yang dipanennya. Akibatnya, petani setiap kali
harus membeli benih dari perusahaan penghasil benih.
Jadi, penambahan sifat baru akan mengubah pola metabolisme
tanaman, sehingga selain perubahan komposisi nutrisi hasil panen
juga terjadi perubahan sifat-sifat lain yang saling berhubungan. Ini
Agroekologi: Konsep Ekosistem 71

yang harus dikaji, apakah perubahan itu aman atau tidak bagi manusia
dan lingkungan.
Para pencinta lingkungan mendesak agar ditetapkan moratorium
untuk menghentikan produksi bahan makanan yang berasal dari hasil
usaha rekayasa genetika, sampai semua negara menandatangani
Protokol Keamanan Hayati. Hal ini diperlukan karena belum adanya
informasi yang jelas mengenai dampak penggunaan atau
mengkonsumsi organisme hasil rekayasa genetika untuk jangka
panjang, baik ditinjau dari segi kesehatan maupun lingkungan.
Diperkirakan kurang lebih dua persen panenan kedelai AS dan empat
persen panenan kedelai Argentina adalah kedelai Mosanto. Indonesia
termasuk negara yang banyak mengimpor kedelai dari Amerika
Serikat. Tetapi tidak diketahui apakah kedelai yang diimpor ke
Indonesia juga termasuk kedelai hasil rekayasa genetika, karena
kedelai impor itu tidak diberi label. Sampai saat ini dampak negatif
tumbuhan hasil rekayasa genetik belum terungkap dengan jelas,
namun demikian diperlukan perhatian seksama untuk mempelajarinya
secara mendalam, khususnya dalam kaitan dengan kesehatan
konsumen.
Rekayasa genetika tanaman perlu diwaspadai berkaitan dengan
dampak sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungannya, terutama
pada tingkatan varietas (Variety level Genetic Use Restriction
Technologies, VGURT). Untuk mengantisipasinya, perlu dikaji resiko
pemanfaatannya, termasuk kena tidaknya petani kecil dan ada
tidaknya dampak pada penyusutan keanekaan hayati. Pertemuan
Subsidiary Body Scientific, Technological, and Technical Advice
(SBSTTA) di Montreal, 21-25 Juni 1999, adalah bagian dari Konvensi
Keanekaragam Hayati yang ditugasi mengkaji pelepasan produk
bioteknologi pertanian ke alam. Di negara maju dengan kepemilikan
lahan perorangan sangat luas, petani banyak menggunkan produk
bioteknologi yang dikenal sebagai benih transgenik. Benih ini berupa
bahan tanam yang disusupi gen-gen tahan hama dan penyakit. Namun,
banyak lembaga swadaya masyarakat tidak setuju, karena potensi
Agroekologi: Konsep Ekosistem 72

dianggap mengandung bahaya yang dapat menimbulkan kerusakan


terhadap lingkungan.
Kekhawatiran berbagai LSM beralasan, karena mereka belajar
dari pengalaman Revolusi Hijau. Revolusi hijau yang sederhana saja,
hanya menggunakan bibit unggul dengan memaksimalkan
penggunaan input seperti air, pupuk, dan pestisida, sudah berdampak
negatif terhadap lingkungan. Dampak ini mengakibatkan
berkurangnya plasma nutfah, tergantungnya petani pada pupuk dan
pestisida, serta terjadinya berbagai pencemaran. Apalagi dengan
teknologi yang lebih canggih ini. Paling tidak petani akan menjadi
tergantung pada benih dan pestisidanya dari produsen yang
mengeluarkannya. Sehingga hal ini dianggap sangat merugikan para
petani.
Teknologi proteksi benih seperti yang terdaftar sebagai US
Patent 5.723.765, sampai saat ini masih dalam taraf penelitian dan
pengembangan. Belum ada satu tanaman pun yang direkayasa dengan
gen steril ini, apalagi diuji coba di lapangan. Monsanto percaya,
bioteknologi dapat menjawab tantangan ketersediaan pangan maupun
lingkungan. Namun, teknologi ini tidak akan dikomersialkan sampai
semua penelitian selesai dan semua pandangan dipertimbangkan.
Dengan teknologi ini, nantinya benih disisipi gen yang membuat
keturunan pertamanya tidak bisa tumbuh. Dengan demikian, petani
harus selalu membeli benih, tidak bisa menyediakan sendiri. Hal ini
dianggap merugikan para petani.
Di lain pihak para peserta sepakat, benih transgenik pada tingkat
sifat, fungsi dan dampaknya perlu diteliti lebih lanjut. Namun
diingatkan, Indonesia hanya bisa menyikapi teknologi ini secara baik
bila seluruh kekuatan yang ada di bidang teknologi di lembaga
penelitian, universitas, dan swasta didayagunakan. Sementara sarana,
prasarana, dan sumber daya manusia masih belum memadai untuk
mengkaji berbagai resiko produk transgenik. Hal ini sangat
mengkuatir kita semua.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 73

3.7.7 Rekayasa Genetika Versus Harmoni Alam

Ketika teknologi rekayasa genetika diperkenalkan awal tahun 1980-


an, banyak yang menyambut gembira. Maklumlah, Revolusi Hijau
yang waktu itu didewakan, sudah mencapai titik jenuh. Penggunaan
bibit unggul, irigasi, pupuk, pestisida dan herbisida, tidak lagi
meningkatkan produksi pangan. Padahal, jumlah penduduk dunia
terus bertambah. Revolusi Hijau juga sudah mulai sarat kritik karena
ternyata mengganggu lingkungan. Penggunaan bibit unggul secara
meluas telah menciptakan konsep tanaman monokultur yang jadi
sumber ledakan hama dan penyakit tanaman. Pupuk dan intensifikasi
pertanaman merusak kesuburan tanah, sedang penyemprotan pestisida,
herbisida justru memicu kekebalan pada hama dari penyakit tanaman,
sekaligus mematikan musuh-musuh alaminya.
Maka kehadiran teknologi rekayasa genetika dikenal sebagai
bioteknologi membuat lega. Bioteknologi memperbaiki genotipe
tanaman melalui fusi tanaman, transfer gen, dan perkawinan somatik.
Perkembangan teknik kultur jaringan, kultur polen, kultur embrio, dan
teknik isolasi serta transfer gen, tentu saja sangat membantu.
Bioteknologi diharapkan menghasilkan tanaman unggul yang tahan
hama penyakit, bisa tumbuh di lahan kritis, dan seterusnya.
Bioteknologi dianggap sebagai modernisasi metode pencarian
bibit unggul konvensional yang menyilangkan tanaman, sehingga saat
itu tidak banyak yang khawatir. Orang lupa bahwa dulu gen-gen yang
ditransfer melalui persilangan konvensional masih sekerabat.
Sekarang, perbaikan sifat pada tanaman hasil rekayasa genetika bisa
saja menggunakan gen dari organisme yang lain sama sekali.
Misalnya, para peneliti mengintroduksi gen tahan beku dari ikan
flounder ke tanaman tomat agar tahan terhadap pembekuan.
Bioteknologi membuat manusia mampu melewati batasan biologi baik
itu kelompok hewan, tumbuhan, maupun mikroorganisme, dalam
mengintroduksikan sifat yang diinginkan. Kesadaran inilah yang
membuat ahli ekologi dan pecinta lingkungan mulai mengkhawatirkan
dampaknya pada keseimbangan ekosistem. Bayangkan apa yang
Agroekologi: Konsep Ekosistem 74

terjadi, dengan adanya rencana ambisius membuat tanaman transgenik


yang berfungsi sebagai pabrik bahan kimia dan obat-obatan, vaksin,
atau enzim yang dibutuhkan industri. Bagaimana kalau tanaman ini
dimakan hewan herbivora, burung pemakan biji, serangga tanah, atau
benang sarinya menyebar menyerbuki tanaman lain?
Namun, bioteknologi terus berkembang dan kini justru
bersinergi dengan industri modal besar, dan paten, yang bisa
menjanjikan keuntungan jutaan dollar. Maka muncullah raksasa-
raksasa industri di bidang bioteknologi; Monsanto dan
DuPont/Pioneer Hi Bred dari Amerika Serikat, AstraZeneca (Inggris/
Swedia), Novartis (Swiss), AgnEvo (Jerman). Monsanto dan Novartis
telah menghasilkan Bt-corn, jagung dengan gen bakteri Bacillus
thuringensis yang menghasilkan enzim perusak pencernaan serangga,
sehingga tiap sel tanaman bisa mematikan serangga yang
memakannya. Bt-corn yang dengan cepat jadi favorit petani AS.
Tetapi kini diketahui bahwa Bt-corn ternyata berdampak pada
menurunnya populasi kupu-kupu monarch dan mengganggu daya
reproduksi burung di Irlandia. Apa pula dampaknya bagi manusia
yang memakannya dalam jangka panjang, tidak diketahui.
Perusahaan herbisida paling laku di dunia, Roundup, juga telah
mengintrodusir tanaman transgenik hasil transfer genetik yang tahan
herbisida. Dengan demikian, petani bisa lebih efisien membasmi
gulma karena penyemprotan herbisida selama musim tanam tak akan
mengganggu tanaman utama. Padahal justru itu yang dikhawatirkan
para pecinta lingkungan; penggunaan herbisida menjadi tak terkontrol
sehingga dapat memicu munculnya gulma super yang tahan herbisida.
Belum lagi dampak penumpukan residu herbisida itu sendiri di alam
yang dapat menimbulkan efek negatif bagi lingkungan.

3.7.8 Benih Terminator


Sekarang, dunia kembali dikejutkan dengan munculnya benih
terminator. Teknik yang sudah dipatenkan oleh Delta & Pipe Land
dengan Departemen Pertanian AS (USDA) dengan nomor US Patent
Agroekologi: Konsep Ekosistem 75

5723765 yang berasal lebih dari 78 negara telah dibeli Monsanto


senilai satu milyar dollar AS. Benih terminator tersebut telah disisipi
dengan gen yang membuat turunan pertamanya tidak dapat tumbuh
(steril). Artinya, petani tak dapat lagi menyisihkan hasil panennya
sebagai sumber benih dan setiap kali tanam harus membeli.
Menurut The Rural Advancement Foundation International
(RAFI) yang berbasis di Kanada, petani akan kehilangan otonomi dan
tergantung pada perusahaan multinasional. Maka upaya peningkatan
kesejahteraan pada petani miskin di negara berkembang makin jauh
karena keuntungan menumpuk di perusahaan tertentu. Adilkah bila
hanya 10 produsen benih mengontrol sepertiga perdagangan benih
dunia? Benih terminator juga mengancam 1,4 milyar petani subsisten
yang bertanam bukan untuk diperdagangkan yang selama ini
mengandalkan benih sendiri untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Jangan lupa, lebih dari 10.000 petani subsisten telah menyumbang
keragaman hayati tanaman pertanian dunia dengan memuliakan dan
menyimpan benih miliknya.
Di sisi lain, tak ada yang berani menjamin teknologi baru ini
aman bagi manusia dan lingkungan. Siapa yang tahu apa yang bakal
terjadi bila gen “bunuh diri” ini terbawa serbuk sari menyebar
menyerbuki tanaman lain? Siapa yang bisa memastikan bahwa dalam
jangka panjang gen steril ini aman bagi kesehatan reproduksi manusia
maupun hewan yang memakannya?
Untunglah benih terminator tersebut baru memasuki pasar
komersial tahun 2003-2004. Tetapi para produsen benih ini (semua
industri bioteknologi raksasa) mengembangkannya dengan berbagai
variasinya dan sudah mematok target. Sebagai contoh monopoli
perdagangan di 70-90 negara dengan luas 400 juta hektar lahan
termasuk padi dan gandum telah direncanakan untuk ditanami dengan
benih terminator.
Maka mumpung masih ada waktu, para ilmuwan, LSM, juga
pecinta lingkungan, berupaya untuk mengajak banyak negara
mewaspadainya. Consultative Group on International Agricultural
Agroekologi: Konsep Ekosistem 76

Research (CGIAR) adalah salah satu organisasi bergengsi yang


menyatakan tidak akan menyetujui pelepasan benih terminator. Pusat
bioteknologi Tanaman di Universitas Wageningen, Belanda, juga
menolak menggunakan gen itu. Bahkan USDA yang ikut berperan
menemukan gen terminator, telah berjanji tidak akan melepas benih
dengan gen tersebut ke petani. Sementara di seluruh dunia, masyarakat
yang melek teknologi telah menyerukan pada pemerintah negaranya
untuk waspada. Gaung ini pula yang ditangkap Konvensi Keanekaan
Hayati PBB, dengan menugasi para pihak pesertanya mengkajinya
lebih mendalam.
Walau debat belum selesai tiap negara harus siap dengan aturan,
infrastruktur, dan sumber daya manusia untuk mencegah masuknya
benih-benih yang bisa membahayakan alam itu. Indonesia seharusnya
telah siap dengan peraturan tahap-tahap apa yang harus dilalui
tanaman transgenik sebelum sampai ke petani, peraturan mengenai
pemanfaatan produk transgenik, maupun ke mana harus melapor bila
ada konsumen yang bermasalah setelah menyantap tanaman
transgenik. Selain itu harus ada badan yang melaksanakan dan
mengawasi peraturan yang sudah dibuat. Mulai dari menguji
keamanan tanaman transgenik terhadap lingkungan sebelum dilepas,
sampai menguji keamanan bahan pangan dan pakan dari produk
transgenik. Tanpa itu semua, Indonesia hanya akan menjadi tempat
dumping (pembuangan) produk transgenik yang ditolak di negara lain.

3.8 Rangkuman

Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu


tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.
Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang
terkendalikan oleh informasi antara komponen dalam ekosistem. Oleh
karena itu, kita harus memandang unsur-unsur dalam lingkungan
hidup kita tidak secara tersendiri, melainkan secara terintegrasi.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 77

Pendekatan ini disebut pendekatan ekosistem, atau pendekatan


holistik.
Dalam ekosistem terjadi sintesis karbohidrat, lemak, protein,
dan senyawa lain yang kompleks oleh tumbuhan berklorofil. Sistesis
ini merupakan proses yang rumit sekali, yang dikenal dengan proses
fotosintesis. Disamping itu, terjadi juga respirasi dan dekomposisi
yang merupakan akibat dari proses jasad renik memperoleh energi
untuk keperluan hidupnya. Proses ini berfungsi sangat vital, sebab
mengurai semua serasah, kayu mati, dan bangkai hewan, sehingga
kehidupan baru terus terjadi. Degredasi bahan organik berperan dalam
mengendalikan sejumlah fungsi dalam ekosistem, seperti siklus
nutrien.
Ekosistem dapat terjaga dengan baik karena adanya pengikatan
atau stok karbon. Sumbernya dapat berasal dari berbagai macam,
mulai dari dalam tanah hingga di atas permukaan tanah, yang utama
diantaranya adalah, karbon di atas permukaan tanah, karbon di bawah
permukaan tanah, karbon di dalam biomasa kayu mati, karbon di
dalam serasah, dan karbon di dalam tanah. Kehilangan atau
penambahan karbon dari atmosfir di penampungan karbon dapat
terjadi melalui proses fisika atau biologi seperti fotosintesis.
Penambatan karbon merupakan salah satu bentuk upaya penurunan
konsentrasi gas rumah kaca. Penurunan gas emisi ini diprogramkan
melalui perjajian perdagangan karbon lewat mekanisme Kyoto yang
memutuskan tentang bentuk kegiatan afforestasi dan reforestasi.
Di dalam suatu ekosistem, alam ini memiliki produktivitas dasar
yang disebut pula produktivitas primer, yaitu kecepatan penyimpanan
energi potensial oleh organisme produsen, melalui proses fotosintesis
atau kemosintesis. Setiap ekosistem mempunyai produktivitas yang
berbeda dan ini banyak berkaitan dengan berbagai faktor lingkungan,
seperti iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air dan ketinggian
di atas permukaan laut atau elevasi.
Berdasarkan para aliran energi dan nutrien yang mengalir pada
sistem, para ahli ekologi mengkategorikan elemen-elemen yang
Agroekologi: Konsep Ekosistem 78

membentuk atau yang memberi efek pada sebuah ekosistem menjadi


enam bagian utama, yaitu matahari, bahan-bahan abiotik, produsen,
konsumen pertama, konsumen kedua, dan pengurai. Tingkatan-
tingkatan energi yang berkesinambungan dan berlangsung dalam
bentuk makanan ini memiliki berbagai produsen, konsumen dan
pengurai yang membentuk sebuah rantai makanan yang saling
pengaruh mempengaruhi. Dalam siklus ini sering terjadi pelepasan
energi (panas) pada setiap mata rantainya. Hal ini menyebabkan
semua ekosistem mengembangkan sebuah piramida energi.
Total seluruh makhluk hidup terdiri dari unsur-unsur tertentu
dan senyawa-senyawa kimia. Diantaranya adalah air, karbon,
hidrogen, nitrogen, oksigen, fospor dan sulfur. Semua material-
material ini membentuk siklus nutrien ekosistem secara terus menerus
menuju kepada suatu kestabilan, yang disebut keseimbangan alam. Di
lain pihak, perubahan ekosistem muncul setiap hari, secara musiman
dan ketika terjadi suksesi ekologi. Kadangkala perubahan terjadi
secara berulang-ulang dan secara mendadak. Sehingga keseimbangan
alam bersifat dinamis.
Setiap makhluk hidup berinteraksi dan bergantung kepada
atmosfir, air, cahaya dan tanah yang semuanya harus dijaga dan
diawetkan sebagai keragaman biologi untuk sumber daya alam.
Konservasi keanekaragaman hayati bukan hanya meliputi
perlindungan terhadap sumber daya hayati dalam taman nasional,
namun mencakup juga usaha untuk melindungi sistem atau fungsi
ekosistem yang alami secara terus menerus. Sistem tersebut meliputi:
siklus air, oksigen, dan karbondioksida; pemeliharaan kesuburan
tanah; produksi sumber makanan dan obat-obatan; serta menjaga
sumberdaya genetik. Namun demikian, kini bumi sedang terancam
akibat konsumsi makanan yang berlebihan, pencemaran lingkungan,
penebangan dan kebakaran hutan, cepatnya laju pertumbuhan
penduduk, pola pemilikan tanah yang tidak adil, pola perkampungan
dan perpindahan penduduk yang tidak merata, dan melebarnya jurang
pemisah antara yang kaya dengan yang miskin.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 79

Oleh karena itu, kita harus mengelola sumber daya alam ini
dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan keanekaragaman hayati tidak
cukup hanya mempertimbangkan keanekaragaman gen, spesies
maupun ekosistem, namun bentuk dan fungsi kebudayaan suatu
masyarakat juga sangat penting dilibatkan. Keanekaragaman
kebudayaan dicerminkan oleh bahasa, agama, kepercayaan, seni,
musik, praktek pengelolaan tanah, seleksi tanaman, makanan, struktur
sosial dan beberapa atribut sosial masyarakat.
Kini bumi sedang berada dalam krisis global. Dunia sekarang
sedang menghadapi kerusakan lingkungan yang parah dan kehilangan
sumber daya genetika tumbuhan secara besar-besaran dan terjadi erosi
keanekaan hayati yang sangat cepat. Akibat semua itu akan
mengancam kelangsungan pertanian dan ketersediaan pangan.
Degradasi dan kerusakan hutan tebal maupun hanya semak-semak,
penggembalaan ternak yang berlebihan, eksploitasi, peperangan, juga
disinggung sebagai faktor lain penyebab erosi genetik. Setiap tahun,
puluhan ribu jenis makhluk hidup musnah, dan para ilmuwan
menemukan bukti mengapa manusia harus lebih khawatir jika
semakin banyak makhluk hidup musnah akan menggangu ekosistem.
Di lain pihak kehadiran teknologi rekayasa genetika telah
menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Rekayasa
genetika tanaman perlu diwaspadai berkaitan dengan dampak sosial,
ekonomi, kesehatan, dan lingkungannya, terutama pada tingkatan
varietas. Untuk mengantisipasinya, perlu dikaji resiko
pemanfaatannya, termasuk kena tidaknya petani kecil dan ada
tidaknya dampak pada penyusutan keanekaan hayati. Di negara maju
dengan kepemilikan lahan perorangan sangat luas, produk
bioteknologi dikenal sebagai benih transgenik berupa benih yang
disusupi gen-gen tahan hama dan penyakit telah banyak digunakan.
Namun, banyak Lembaga swadaya masyarakat tidak setuju, karena
potensi bahayanya pada lingkungan.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 80

3. 9 Latihan
1) Uraikan pengertian atau pemahaman Anda tentang konsep
ekosistem.
2) Komponen ekosistem dapat dibedakan atas dasar fungsi dan
susunannya. Atas dasar fungsinya tersebut, maka ekosistem terdiri
atas dua komponen. Sebut dan jelaskan dengan rinci serta disertai
dengan contohnya masing-masing.
3) Buatlah analisis bagaimana perbedaan-perbedaan antara produksi
dan dekomposisi dalam suatu ekosistem tropis. Uraikan pula
melalui sebuah siklus produksi dengan dekomposisinya.
4) Karbon yang ditambat dengan berbagai proses biologi
menghasilkan berbagai sumber stok karbon di bumi. Uraikan
dimana saja sumber-sumber stok karbon beserta contohnya.
5) Jelaskan konsep perdagangan kabon, baik melalui mekanisme
Kyoto maupun non-Kyoto.
6) Produktivitas primer dapat dibagi dalam dua kategori yaitu
produktivitas primer kotor dan produktivitas bersih. Uraikan
perbedaan dan persamaan antara ke dua produktivitas tersebut.
7) Para ahli ekologi mengkategorikan elemen-elemen yang
membentuk sebuah ekosistem menjadi enam bagian utama
berdasarkan para aliran energi dan nutrien yang mengalir pada
sistem. Uraikan dengan jelas elemen-elemen tersebut.
8) Kelestarian dan keseimbangan alam terus terancam. Jelaskan
faktor-faktor yang mengancam kelestarian dan keseimbangan
alam, dan bagaimana pula solusi yang Anda tawarkan.

3. 10 Glossarium

Afforestasi adalah usaha mengkonversi lahan yang sebelumnya bukan


merupakan hutan menjadi hutan
Anaerob merupakan kondisi tidak tersedianya oksigen dalam suatu
proses fisik, kimia atau biologi
Degredasi menunjukkan kepada proses penguraian bahan-bahan yang
Agroekologi: Konsep Ekosistem 81

komplek seperti bahan organik menjadi bahan-bahan yang lebih


sederhana
Ekploitasi adalah upaya mengembangkan atau memanfaatkan sesuatu
untuk mendapat keuntungan bagi manusia
Emisi merupakan proses pelepasan gas-gas tertentu ke atmosfir bumi
akibat perubahan fisik atau kimia
Difusi menunjukkan proses penyebaran atau perpindahan suatu bahan
dari kosentrasi tinggi ke kosentrasi yang lebih rendah di dalam
suatu medium tertentu
Geosfir adalah lapisan zat padat yang mengelilingi seluruh permukaan
bumi
Humic adalah komponen organik tanah yang berasal dari proses
dekomposisi bahan organik
Litter adalah serasah atau sisa-sisa tanaman yang terdapat atau jatuh di
atas permukaan tanah
Mineralisasi adalah proses transformasi bahan organik yang ada di
dalam tanah menjadi mineral
Reforestasi adalah upaya menghutankan kembali suatu lahan yang
telah rusak dan sebelumnya juga berbentuk hutan
Reservoir merupakan suatu tempat atau wadah yang dipergunakan
sebagai tempat penampungan air
Selulosa adalah komponen utama dinding sel yang terbuat dari
karbohidrat
Transgenik merujuk kepada metode pemuliaan tanaman modern
dengan melakukan transformasi suatu gen dari suatu organisme
kepada organisme lainnya

3.11 Daftar Pustaka

ABC News. 2007. Kyoto protocol 'major challenge' for business.


Online, http://www.abc.net.au/news/stories/2007/12/04/2109189.
htm, diakses 25 Januari 2011.
Anderson, P. 2011. Energy Movement in Ecosystems: Trophic &
Energy Pyramid. Online, http://schoolworkhelper.net/2011/01/
Agroekologi: Konsep Ekosistem 82

energy-movement-in-ecosystems-trophic-energy-pyramid,
diakses 27 Januari 2011.
Aussieponics. 2010. What is a grow tent? How does it work? Online
http://www.aussieponics.com/img/455px-Autotrophic-
Metabolism.jpg, diakses 19 Desember 2010.
Bloger. 2010. Rantai makanan. Online, htt://www.pandinurdiansyah.
com/wp-content/uploads/2008/01/rantaian_makanan-punya-
andalasdejava.gif, diakses 24 November 2010.
Boer, R. 2001. Economic assessment of technology options for
enhancing and maintaining carbon sink capacity in Indonesia.
Accepted for publication at Mitigation and Adaptation Strategies
for Global Change 6:257-290.
Boer, R., Gintings, A.N. and Bey, A. 1999. Greenhouse gasses
inventory and abatement strategy for forestry and land use change
sector. Journal of Agrometeorology 13:26-26.
Britannica. 2006. Ecosystem: energy transfer through an ecosystem.
Online, http://www.britannica.com/EBchecked/topic-art/66191/
15/Transfer-of-energy-through-an-ecosystem, diakses 27 Januari
2011.
DNM Norway and MSE Indonesia. 1993. Climate change and forestry
Indonesia: Eco-strategies for terrestrial CO2-fixation. Directorate
for Nature and Management-Norway and Ministry of State for
Environment-Indonesia. 117p.
Encyclopedia of Earth. 2010. Photosynthesis. Online, http://www.
eoearth.org/article/Photosynthesis, diakses 10 Desember 2010
Freewareme. 2011. Insects PSD Template. Online, http://freewareme.
com/graphics/psd/page/10/, diakses 26 Januari 2011.
Fuad, E.D. 2000. Analisis potensi dan efektivitas biaya opsi mitigasi
gas rumah kaca pada sektor kehutanan Indonesia dengan
menggunakan model COMAP'. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Green Peace. 2007. Rekord Deforestasi. Online, http://archive.kaskus.
us/thread/2535746, diakses 26 Januari 2011.
Hardy Hall, 2011. Bt Corn: is it worth the risk? Online, http://www.
scq.ubc.ca/bt-corn-is-it-worth-the-risk, diakses 26 Januari 2011
Agroekologi: Konsep Ekosistem 83

Harrison, J.A. 2003. The Carbon Cycle: What Goes Around Comes
Around. Online, http://www.visionlearning.com/library/module_
viewer.php?mid=95, diakses 25 Januari 2011.
Heddy, S dan M. Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi. Suatu
Bahasan Tentang Kaedah Ekologi dan Penerapannya. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-prinsip Ekologi. Ekosistem Komunitas dan
Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.
Kompas Online. 1999. Waspadai Masuknya Hasil Transgenik. Online,
http://groups.yahoo.com/group/mmaipb/message/527, diakses 26
Januari 2011.
Mairi Jay. 2009. Using nature as a carbon sink. University of Waikato,
New Zerland. Online, http://www.waikato.ac.nz/wfass/e-
reflections/2009/09/using-nature-as-a-carbon-sink.shtml, diakses
25 Januari 2011.
MoE. 2003. Final Report: National Strategy Study on CDM in
Forestry Sector. Ministry of Environment. Jakarta.
Mushroom Appreciation. 2011. Facts About Oyster Mushrooms.
Online, http://www.mushroom-appreciation.com/oyster-
mushrooms.html, diakses 25 Januari 2010.
Science Unleashed. 2011. Biology: Plan respiration. Online,
http://www.scienceunleashed.ie/graphics.aspx, diakses pada 18
January 2011.
Soemarwoto, 0. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Spyder Blitz. 2011. Aquarium Fish Screensaver. Online, http://spyder-
blitz.blogspot.com/2010/03/free-aquarium-fish-screensaver-
20.html, diakses 25 Januari 2011.
Radio Nederland Wereldomroep. 2009. Teknologi Eropa Nggak
Cocok. Online, http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/
teknologi-eropa-nggak-cocok, diakses 25 Januari 2011.
Resoedarmo, R. S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Agroekologi: Konsep Ekosistem 84

Rohlen Science. 2011. Energy Notes. Online, http://rohlenscience.


pbworks.com/w/page/7859176/Energy-Notes, diakses 25
Januari 2011.
The Planter. 2011. Pertanian Berdayasaing. Inovasi Menuju Pertanian
Berdayasaing. Online, http://pertanianberdayasaing.blogspot.
Com, diakse 18 Januari 2011.
Trexler, M. C., Kosloff, LH., and Gibbon, R. 2000. Forestry after the
Kyoto Protocol: A review of key questions and issues. In Luis
Gomez-Echeverri (ed.). Climate Change and Development,
UNDP. p131-152.
Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley & Sons,
New York.
Wordpress.com. 2007. Tulip Popular leaf decomposing. Online,
http://farm3.static.flickr.com/2052/1815924528_cc460e5f8e.jpg,
diakses 28 Oktober 2007.
Wordpress.com. 2008. Bakteri – Ciri ciri, Struktur,Perkembangbiakan,
Bentuk dan Manfaatnya. Online, http://gurungeblog.wordpress.
com/2008/11/17/bakteri-ciri-ciri-struktur-perkembangbiakan-
bentuk-dan-manfaatnya, diakses 25 Januari 2011.
Yoretul Forest. 2008. Halt Stranger! This forest is forbidden. Online,
http://www.freewebs.com/yoretulforest, diakses 27 Januari
2011.
Agroekologi: Vegetasi 85

BAB IV
VEGETASI

Pengetahuan yang baik tentang vegetasi yang kita miliki di dalam


biofir sangat penting dalam memahami agroekosistem. Untuk ini, kita
diharapkan mampu memahami, menjelaskan dan mendiskusikan, serta
menganalisis jenis-jenis vegetasi yang meliputi: hutan hujan tropis,
hutan gugur tropis, hutan montana, savana, gurun, dan vegetasi rawa.
Disamping itu, mampu mengkomunikasikan konsep pengelolaan
vegetasi dengan baik.

4.1 Jenis-jenis Vegetasi

Beberapa jenis vegetasi diantaranya adalah hutan hujan tropis, hutan


gugur tropis, hutan montana, savana, gurun, dan vegetasi rawa.
Vegetasi (Gambar 4.1) merupakan sekumpulan tanaman/tumbuhan
yang hidup bersama pada daerah tertentu dengan daya dukung alam
seperti iklim, altitude, tanah dan lain-lain. Vegetasi dapat dicirikan
secara struktural dan fungsional.

Gambar 4.1 Sekumpulan tanaman/tumbuhan yang hidup bersama pada daerah


tertentu dengan daya dukung alam (Foto: Flash-Screen, 2010).
Agroekologi: Vegetasi 86

Daerah Tropika adalah suatu daerah yang terletak pada 23,5 LU


dan 23,5 LS, mempunyai keragaman vegetasi tinggi. Vegetasi di
daerah tropika sangat tergantung kepada curah hujan dan
distribusinya, ketinggian tempat, jenis tanah, angin dan temperatur
yang mempengaruhinya. Keanekaragaman tipe vegetasi yang
ditemukan di beberapa daerah tropik sangat bergantung kepada hujan,
terutama total curah hujan tahunan dan distribusinya sepanjang tahun.
Faktor-faktor keanekaragaman vegetasi mengikuti perubahan
ketinggian, dalam arti kata, vegetasi yang diketemukan di daerah
sedang dan tinggi berbeda dengan daerah tropik yang ada di dataran
rendah. Tipe tanah dan jenis angin juga memegang peranan penting
dan mempengaruhi bentuk vegetasi. Umumnya pada daerah sedang,
temperatur tidak menjadi faktor utama yang mempengaruhi bentuk-
bentuk vegetasi. Tetapi pada dataran tinggi, suhu menjadi faktor
utama yang mempengaruhi pembentukan suatu bentuk vegetasi.

4.2. Hutan Hujan Tropis (Tropical Rain Forest)


Dari segi teori dan bentuk ekosistemnya, hutan hujan tropis
merupakan vegetasi yang paling tua, yaitu hutan yang terletak diantara
100LU dan 100LS. Di samping peranan ketinggian (altitude), manusia
juga bertanggung jawab terhadap keberadaan dan pentingnya hutan
hujan tropis. Areal Hutan Hujan Tropis (selanjutnya disingkat HHT)
mempunyai karakteristik iklim dengan curah hujan 2.000 – 4.000
mm/tahun, dengan temperatur kira-kira 25°C (sedikit berfluktuasi) dan
kelembaban rata-rata sekitar 80%.
Hutan hujan tropis (Gambar 4.2) yang terbesar berada di lembah
Amazon (Amerika Selatan), juga ditemukan di sekitar Indonesia-
Malaysia. Di Afrika, tipe HHT ditemukan di sekitar Gulf of Guenea
dan Lembah Kongo. Hutan hujan tropis memiliki spesies dan
keragaman berbagai vegetasi. Tanaman yang tumbuh di HHT
memperoleh air secara cukup secara berkesinambungan. Demikian
juga dengan unsur hara, tanaman memperoleh kebutuhannya dengan
adanya siklus yang terjadi di ekosistem HHT. Faktor pembatas yang
Agroekologi: Vegetasi 87

utama adalah hanya cahaya terutama untuk tanaman yang berkanopi


kecil.
Tumbuhan dan semak-semak ditemukan di dalam hutan hujan
tropis dan memiliki adaptasi yang baik, sehingga penggunaan cahaya
menjadi lebih baik. Jumlah dan spesies-spesies pepohonan yang
ditemukan di daerah HHT lebih besar dan bervariasi daripada tipe
vegetasi lainnya, dan tidak ada satupun spesies yang mendominasi,
seperti contoh; di bagian-bagian di Amazon memiliki lebih kurang
240 spesies pohon dan semak per ha.

Gambar 4.2 Hutan hujan tropis memilki karakter yang padat dan bergam jenis
tumbuhan yang hidup di dalamnya. (Foto: De-fact-o, 2008)

Hutan di Malaysia didominasi oleh famili Dipterocarpaceae


(Gambar 4.3), sedangkan anggota Leguminosa sering mendominasi
hutan di Amerika Selatan. Hutan di daerah kepulauan berbeda dengan
di daerah daratan. Daratan di daerah India Barat di dominasi oleh satu
species yaitu Mora exelsa. Spesies tunggal juga dimiliki daratan lokal
seperti di Uganda yang hutannya didominasi oleh Cynometra
alexandri. Sedangkan hutan di Gueiana, Zaire didominasi oleh jenis
Eperva falcata.
Agroekologi: Vegetasi 88

Tipikal dari HHT memiliki 2 atau 3 lapisan yaitu sekelompok


semak (shrubs layer) dan lapisan herba (tumbuh-tumbuhan).
Termasuk juga jumlah terbesar spesies pohon-pohonan dan bunga-
bungaan yang sangat bervariasi di antara hutan di kawasan Asia,
Afrika, dan Amerika Selatan. Pada dasarnya vegetasi yang terdapat di
HHT juga berbunga, berbuah, dan gugur daunnya sepanjang tahun.
Famili-famili yang utama dan hidup di HHT tersebut adalah;
Acanthaceae, Araceae, Morantaceae, Commellnaceae, dan famili
Zingiberaceae.

Gambar 4.3 Populasi tumbuhan kayu meranti mendekati kepunahan. Meranti yang
merupakan spesies dari famili Dipterocarpaceae masuk dalam
penetapan spesies prioritas konservasi (Foto: Konservasi, 2010)

4.3 Hutan Gugur Tropis (Tropical Decideous Forest)


Hutan Gugur Tropis (Gambar 4.4), selanjutnya disebut dengan HGT,
terjadi pada daerah pinggiran, hutan hujan tropis dan di daerah yang
memiliki mouson (angin musim) seperti di India, Burma, Indochina,
Afrika Timur, dan Australia Utara.
Agroekologi: Vegetasi 89

Karakteristik iklim HGT adalah daerahnya lebih kering daripada


daerah HHT, dengan curah hujan sekitar 1.000 – 2.000 mm/tahun,
dengan penyebaran di atas 6-9 bulan. Daerah pada iklim mouson
biasanya terdapat angin kencang dan temperaturnya sangat tergantung
pada musim yang ada. Hutan gugur tropis biasanya hanya mempunyai
tiga lapisan dengan kondisi tumbuhan dan belukar yang lebih
banyak/dominan dibandingkan HHT.

Gambar 4.4 Hutan gugur tropis dimana tumbuhannya menggugurkan daunnya


setiap tahun (Foto: Buzzle, 2011).

Musim hujan di daerah HGT sangat kurang dalam setahun, yang


mengakibatkan vegetasi di daerah ini memiliki efek khusus, misalnya
mayoritas pohon-pohon kehilangan daun-daun (gugur) seluruhnya
selama musim kering. Lamanya dan daun hilang (gugurnya daun)
sangat bergantung pada cadangan air di dalam tanah. Khusus di daerah
sepanjang aliran sungai dengan kelembaban tanah yang stabil, daun
yang gugur sangat bervariasi. Di daerah dengan kelembaban yang
tinggi, tidak semua pohon mengugurkan daunnya, beberapa tumbuhan
tetap berdaun hijau atau berkanopi. Daun-daun yang dihasilkan oleh
Agroekologi: Vegetasi 90

pohon berkanopi ini sungguh berbeda dari spesies-spesies yang


menggugurkan daunnya. Pohon-pohon yang tidak mengugurkan
daunnya biasanya memiliki daun yang berukuran kecil, kasar dan
sering sangat beracun terhadap predator.
Proses pembungaan dari vegetasi yang ada di HGT terjadi
kebanyakan pada musim kering. Pembungaan jarang terjadi di musim
hujan, karena pada musim hujan pohon-pohon mengkonsentrasikan
dirinya untuk pembentukan daun baru, buah dan biji. Bunga-bunga
yang dihasilkan oleh pohon-pohon gugur (HGT) sering besar dan
berwarna kontras, terutama pada pohon-pohon yang berkayu. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya mahkota bunga yang muncul di ujung
cabang, sehingga kondisi tersebut lebih mudah terlihat oleh binatang
atau serangga penyerbuk.
Selama periode musim kurang hujan, HGT sangat mudah
terbakar, baik secara alami maupun oleh manusia. Oleh karena itu,
banyak pohon yang berkembang memiliki kulit pohon yang tebal
dengan kedalaman celah untuk mencegah kebakaran. Mayoritas dari
tanaman yang ditemukan di HGT memproduksi bunga dan daun-daun
selama musim penghujan (basah) dan dapat mengatasi masalah musim
kening yang dialaminya, seperti pada ubi, umbi, dan akar umbi
(geophite).

4.4. Hutan Montana (Montana Forest)


Pada kondisi iklim tertentu, tipe-tipe vegetasi yang ditemukan pada
suatu daerah akan sangat bervariasi, tergantung kepada ketinggian
tempat. Vegetasi di dataran rendah akan berbeda dengan vegetasi yang
tumbuh di dataran sedang, demikian pula pada daerah pegunungan
yang tinggi, vegetasinya akan sangat jauh berbeda dengan dataran
rendah. Di daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi dan
kemiringan yang rendah akan menghasilkan keragaman hutan yang
sangat tinggi daripada yang ditemukan di dataran rendah.
Pada daerah pegunungan yang tinggi dengan temperatur yang
rendah terdapat beberapa bagian hutan yang berbeda karakter
Agroekologi: Vegetasi 91

tumbuhannya. Sehingga, hutan Montana sedikitnya terdiri dari 2


tingkatan dan memiliki sekurang-kurangnya 3 spesies (Gambar 4.5).
Hutan montana ditemukan pada daerah berawan dengan temperatur
rendah dan cahaya rendah, dan terus-menerus berawan. Temperatur di
daerah tropis berawan sangat dipengaruhi ketinggian tempat. Hal ini
akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan spesies-spesies di
dalam hutan montana tersebut tersebut.

Gambar 4.5 Hutan Montana ditemukan pada daerah daerah dengan pegunungan
yang tinggi dengan temperatur yang rendah terdapat beberapa bagian
hutan (Foto: BloggersBase, 2011).

Temperatur di dalamnya menunjukkan sedikit perubahan, rata-


rata spesies yang ditemukan di dalam hutan montana membutuhkan
air dan udara yang sama dengan kelembaban relatif 100%. Kondisi
iklim yang ekstrim berpengaruh pada pertumbuhan epifit, khususnya
lumut-lumut dan jenis paku-pakuan/pakis.
Vegetasi di habitat hutan Montana banyak mengandung jenis
tanaman hias yang bergantung (seperti pakis) dan famili
Hymenophyllaceae yang membutuhkan kelembaban relatif 100%.
Anggota dari tanaman Hymenophyllaceae terkenal dengan tanaman
Agroekologi: Vegetasi 92

Higrofites, yang dapat hidup dalam kondisi kelembaban yang tinggi.


Bambu adalah spesies yang dominan yang hidup di daerah
basah/lembab, dengan kemiringan yang rendah di daerah hutan
berawan seperti daerah hutan Montana.

4.5. Savana
Istilah savana (Gambar 4.6) merupakan dipergunakan untuk
menjelaskan kisaran tipe-tipe vegetasi mulai dari hutan pendek yang
lembab sampai ke padang rumput yang kering (kira-kira 65% di
Afrika, 60% Australia, dan 45% di Amerika Selatan). Di Indonesia
savana yang terluas terdapat di NTT. Tipe-tipe savana yaitu:
(1) hutan pendek (woodland);
(2) padang rumput (grassland) ;
(3) semak (bush land).
(4) padang rumput yang tinggi terdapat di daerah yang lebih basah.

Gambar 4.6 Savana merupakan kisaran tipe-tipe vegetasi mulai hutan pendek yang
lembab sampai ke padang rumput yang kering (Foto: Wikimedia,
2010).

Vegetasi savana sangat ditentukan oleh:


(1) iklim, biasanya kering dan curah hujan rendah sampai sedang;
(2) tanah, biasanya lebih masam, dengan kandungan Al yang tinggi
dapat meracuni tanaman dan menghalangi pertumbuhan akar,
Agroekologi: Vegetasi 93

unsur ini juga mengakibatkan pengendapan fosfat yang tidak larut


dan menurunkan stabilitas tanah;
(3) defoliasi oleh kebakaran hutan, contohnya rumput Themedia
ariandra menghasilkan biji yang banyak terkubur di dalam tanah,
sehingga terhindar dari api saat kebakaran hutan. Biji-biji tersebut
akan berkecambah setelah tanah terbuka terhadap intensitas
cahaya dan suhu yang tinggi (Lock dan Milborn, 1971 dalam
Desmukh, 1992).
Savana-savana yang terkenal di dunia adalah:
(1) Savana Alpin Tropis dengan vegetasi sebagai berikut:
(a) roset raksasa dengan batang-batangnya yang dikelilingi oleh
isolator berupa daun-daun mati, seperti di pegunungan Andes
dan Senecio di Afrika Timur, juga jenis Espletia;
(b) rumput merumpun, misalnya Muchienbachia di pegunungan
Andes dan Festuca di Afrika Timur;
(c) roset kecil rapat dengan tanah, seperti Hypochaeris di
pegunungan Andes dan Ranunculus di Afrika Timur;
(d) tumbuhan bantalan (cushion plants), biasanya tersusun atas
suatu gabungan roset-roset kecil (mis: Plantago di
pegunungan Andes dan Agrostis di Afrika Timur) ;
(e) perdu dengan daun-daun kecil (misalnya Hypenicum di
pegunungan Andes dan Afrika Timur (Hedberg, 1969 dalam
Desmukh, 1992).
(2) Savana Afrika yang terkenal dengan nama savana kering (setengah
gersang), produksi pakan ternak (herbaceous forage) dan vegetasi
rumput-rumputan.
Savana hutan pendek yaitu area yang terlalu kering dan
memegang peranan dalam hutan gugur daun di daerah tropis, dengan
curah hujan 1.000 mm/tahun. Vegetasi utama adalah Xerophylus,
tumbuhan epifit sangat jarang ditemukan di daerah yang terlalu
kering. Ciri utama savana hutan pendek adalah pohon-pohonnya kecil
dan daunnya berguguran. Umumnya kehilangan daun dan bunga pada
Agroekologi: Vegetasi 94

musim kering. Bila musim kering berakhir baru daun-daun tersebut


bermunculan kembali, seperti yang terjadi pada famili Leguminosa.
Savana di Afrika menerima curah hujan 250 - 900 mm/tahun,
dengan kelembaban yang rendah dan temperatur berubah antara siang
dan malam. Kondisi seperti ini hampir sama dengan yang terdapat di
NTT. Vegetasi yang banyak terdapat di daerah savana adalah famili
Euphorbiaceae dan Lactaceae. Beberapa savana, terutama hutan
dengan pohon pendek sangat mudah terbakar, baik akibat ulah
manusia maupun secara alami. Pasca kebakaran biji-biji yang
terbenam akan kembali menumbuhkan bermacam vegetasi di daerah
savana tersebut.

4.6 Gurun (Desert)


Gurun (Gambar 4.7) di daerah tropik, seperti Gurun Sahara atau
“Ararabian Desert” terbentuk melalui proses alamiah tanpa campur
tangan manusia. Walaupun secara umum gurun mempunyai curah
hujan sekitar 250 mm/tahun, tetapi ada juga beberapa daerah atau
bagian gurun yang sama sekali tidak mendapat hujan.

Gambar 4.7 Gurun di daerah tropik yang alami seperti Gurun Sahara mempunyai
curah hujan 250 mm/tahun, ada dan daerah atau bagian gurun yang
sama tidak mendapat hujan. (Foto: WallpaperBase, 2004).
Agroekologi: Vegetasi 95

Di daerah gurun, perubahan temperatur yang sangat tinggi terjadi


antara siang dan malam. Ini terbukti dengan tingginya temperatur di
siang hari dan bila ditutupi awan, suhu sedikit menjadi rendah dan bila
malam hari sangat rendah sekali. Proses radiasi terhadap tanah terbuka
juga terjadi di daerah gurun. Selain itu, kelembaban juga sering
berubah-rubah. Karena sifat iklim yang tidak stabil mengakibatkan
tanaman kurang dapat beradaptasi, kecuali hanya beberapa spesies
saja.
Ada beberapa tanaman atau vegetasi yang dapat tumbuh di
daerah gurun seperti famili Euphorbiaceae dan Cactacea yang tahan
kekeringan, dan tanaman Tamanix dengan kedalaman akar 50 meter
dan dapat bersentuhan dengan sumber air untuk pertumbuhannya.
Usaha penghijauan telah dikembangkan di daerah jazirah Arab
khususnya pada gurun dengan membuat embung (penampung air)
khususnya dari air hujan. Embung tersebut ternyata dapat
meningkatkan keanekaragaman tanaman di daerah gurun, tidak hanya
sebatas pohon kurma saja.

4.7 Vegetasi Rawa


Vegetasi rawa (Gambar 4.8) adalah suatu vegetasi yang tumbuh di
daerah yang tergenang air (tidak dapat didrainasekan), rawa bisa
berada di daerah daratan dan sampai ke garis pantai. Vegetasi rawa
biasanya di dominasi oleh anggota dari famili Cyperaceae dengan
palma seperti: Raphia dan spesies Raystonea. Di Indonesia vegetasi
rawa yang terkenal adalah pohon nipah, sagu, bakau, dan lain-lain.
Rawa Sudd di Sudan terdiri dari Papirus (Cypperus papyrus) dan
Vassia grass. Demikian juga spesies Echornia dan Pistia yang
mendominasi Amerika Selatan.
Di Indonesia lahan yang ada di daerah rawa salah satunya adalah
lahan gambut yang terdapat di Kalimantan. Gambut merupakan
akumulasi bahan organik akibat proses dekomposisi yang sangat
lambat. Terhambatnya proses dekomposisi disebabkan karena
Agroekologi: Vegetasi 96

tergenang lahan. Gambut di daerah rawa biasanya terbentuk akibat


terjadinya kejenuhan air yang lebih lama dari satu bulan.

Gambar 4.8 Vegetasi rawa adalah suatu vegetasi yang tumbuh di daerah yang
tergenang air, tidak dapat didrainasekan, bisa berada di daerah daratan
dan sampai ke garis pantai (Foto: Aprijal, 2010).

Gambut dapat dimanfaatkan untuk media tumbuh tanaman


tertentu, seperti kelapa sawit. Tingkat kelayakannya sebagai media
tumbuh tergantung dari tingkat dekomposisi gambut. Apabila tingkat
dekomposisinya semakin matang, maka gambut tersebut semakin baik
untuk digunakan sebagai media tumbuh. Disamping itu, ketebalan
gambut juga berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu vegetasi.
Gambut yang terlalu tebal tidak baik untuk mendukung pertumbuhan
yang optimal. Ketebalan gambut yang baik adalah maksimal satu
meter.
Pohon bakau merupakan salah satu vegetasi yang terpenting di
daerah rawa khususnya air asin, karena dapat dijadikan sebagai pohon
yang melindungi daerah pantai dari hantaman air laut. Vegetasi ini
(bakau) mampu hidup di daerah dengan kadar garam tinggi. Genus
dari bakau yang sangat penting dan tumbuh di daerah rawa adalah
Rhizophora dan Avicennia. Di samping itu, vegetasi rawa yang sangat
Agroekologi: Vegetasi 97

penting adalah beberapa Halophytes dan anggota famili


Chenopodiaceae.
Tanah sulfat masam dengan vegetasi utama nipah, sagu seperti
di Indonesia adalah kurang potensial untuk berkembang mangrove di
daerah rawa pantai, karena kelebihan bahan organik, sulfat dan besi.
Kendala utama dalam pengembangan vegetasi di daerah tanah sulfat
masam adalah tingginya bahan-bahan yang ada akibat oksidasi besi
dan pH yang sangat masam (< 3,5) sehingga menyebabkan keracunan
bagi tanaman.

4.8 Rangkuman
Vegetasi merupakan sekumpulan tumbuhan yang hidup bersama pada
daerah tertentu dengan daya dukung alam seperti iklim, altitude dan
tanah. Beberapa jenis vegetasi di antaranaya adalah hutan hujan tropis,
hutan gugur tropis, hutan montana, savana, gurun, dan vegetasi rawa.
Hutan hujan tropis memiliki keragaman spesies yang tinggi. Berbagai
vegetasi yang tumbuh memperoleh air dan unsur hara secara cukup
dan berkesinambungan. Jumlah spesies-spesies pohonan yang
ditemukan di daerah HHT lebih besar dan bervariasi daripada tipe
vegetasi lainnya, dan tidak ada satupun spesies yang mendominasi.
Hutan Gugur Tropis terjadi di daerah yang memiliki mouson
(angin musim) seperti di India, Burma, Indochina, Afrika Timur, dan
Australia Utara. Karakteristik iklim dan hutan gugur tropis adalah
daerahnya lebih kering daripada daerah hutan hujan tropis, dengan
curah hujan sekitar 1.000 – 2.000 mm/tahun, dengan penyebaran di
atas 6-9 bulan. Pada daerah pegunungan yang tinggi dengan
temperatur yang rendah terdapat beberapa bagian hutan Montana yang
terdiri dari 2 tingkatan dan sedikitnya memiliki 3 spesies. Hutan
Montana ditemukan pada daerah berawan dengan temperatur rendah
dan cahaya rendah.
Hutan savana merupakan kisaran tipe-tipe vegetasi dari mulai
hutan pendek yang lembab sampai ke padang rumput yang kering.
Vegetasi savana sangat ditentukan oleh iklim, biasanya kering dan
Agroekologi: Vegetasi 98

curah hujan rendah sampai sedang, dan tanah biasanya lebih masam,
dengan kandungan Al yang tinggi. Vegetasi lainnya juga terdapat di
gurun. Gurun umumnya mempunyai curah hujan sekitar 250
mm/tahun. Beberapa daerah atau bagian gurun ada juga yang sama
sekali tidak mendapat hujan. Perubahan temperatur yang sangat tinggi
terjadi di daerah gurun antara siang dan malam, siangnya sangat panas
dan malamnya sangat dingin. Karena sifat iklim yang tidak stabil
mengakibatkan tanaman kurang dapat beradaptasi, kecuali hanya
beberapa spesies saja.
Vegetasi lainnya yang banyak ditemui di daerah tropis adalah
rawa, yaitu suatu vegetasi yang tumbuh di daerah yang tergenang air
atau sulit didrainasekan. Rawa dapat dijumpai di daerah daratan yang
datar sampai ke garis pantai. Vegetasi rawa biasanya di dominasi oleh
anggota dan famili Cyperaceae dan mangrove.

4.9. Latihan

1) Uraikan tipe dan karakter-karakter vegetasi yang terdapat di


daerah tropis.
2) Pada vegetasi hutan montana terdapat hubungan yang sangat erat
antara faktor iklim dengan karakter hutannya. Jelaskan hubungan
antara faktor iklim tersebut dengan karakter hutannya.
3) Savana merupakan kisaran tipe-tipe vegetasi dari mulai hutan
pendek yang lembab sampai ke padang rumput yang kering.
Uraikan faktor-faktor yang sangat menentukan pembentukan
vegetasi hutan savana.
4) Vegetasi rawa adalah suatu vegetasi yang tumbuh di daerah yang
tergenang air bisa berada di daerah daratan dan sampai ke garis
pantai. Deskripsikan bagaimana bentuk dan karakter vegetasi
rawa.
5) Jelaskan bagaimana hubungan antara faktor iklim, topografi, dan
latitude terhadap pembentukan berbagai jenis vegetasi.
Agroekologi: Vegetasi 99

4.10 Glossarium

Altitude menunjukkan ukuran ketinggian di atas permukaan laut,


dinyatakan dalam mdpl
Epifit adalah tumbuhan yang hidup menempel pada pohon dan
mengambil makanan dari kulit pohon yang terdekomposisi
Higrofites merupakan tumbuhan yang hidup di dalam air dalam
kondisi lingkungan yang redup
Kanopi adalah bagian teratas dari suatu tumbuhan atau vegetasi di
dalam hutan yang membentuk suatu lapisan
Leguminosa merupakan kelompok tumbuhan yang memiliki karakter
seperti bunga berbentuk kupu-kupu, buah berbentuk polong, dan
sering bersimbiosis dengan bakteri rizobium
Mahkota adalah bagian dari morfologi bunga yang menjadi bagian
terbesar dari bunga dan sering memiliki warna yang menarik
Mouson adalah angin musim yang terjadi akibat pertemuan awan
panas dan awan dingin seperti di India
Topografi merupakan keadaan atau karakteristik lahan atau tinggi
rendahnya suatu permukaan lahan

4.11 Daftar Pustaka

Affandi, P. 1987. Distribusi Lahan Pasang Surut di Indonesia.


Kumpulan Literatur. lll. UGM, Yogyakarta.
Aprijal. 2 010. Lingkungan Hidup. Online, http://aprizal-ijank.
blogspot.com/2010/10/lingkungan-hidup_27.html, diakses 3
Februari 2011.
BloggersBase. 2011. Montana Glacier Country. Online, http://www.
bloggersbase.com/travel/montana-glacier-country, diakses 3
Februari 2011
Buzzle.com. 2010. Deciduous Forest Plants. Online, http://www.
buzzle.com/articles/deciduous-forest-plants.html, diakses 27
Januari 2011.
Crawley, J. 1989. Plant Ecology. Blackwell Scientific Publication,
Oxford. 496 hlm
Agroekologi: Vegetasi 100

De-fact-o. 2008. Tropical Rainforest, Lacey Creek, Queensland,


Australia. Online, http://www.webwallpapers.net/08/40-exotic-
tropical-island-wallpapers/tropical-rainforest-lacey-creek-
queensland-australia, diakses 27 Januari 2011.
Desmukh, I . 1992. Ekologi dan Biologi Daerah Tropika. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Flash-Screen. 2010. Red Leaves In The Fall. Online, http://www.
flash-screen.com/free-wallpaper/red-leaves-in-fall_52369.html,
diakse 27 Januari 2011.
Heddy, S dan M. Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi. Suatu
Bahasan Tentang Kaedah Ekologi dan Penerapannya. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-prinsip Ekologi. Ekosistem Komunitas dan
Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.
Konservasi. 2010. Meranti Terancam Punah. Online, http://konservasi
kita.blogspot.com/2010/10/meranti-terancam-punah.html,
diakses 27 Januari 2011.
Maas, A. 1978. Acidity Characterizations of Peat Soils from
Kalimantan. Indonesia ITC, Gent Belgium (unpublished)
MoE. 2003. Final Report: National Strategy Study on CDM in
Forestry Sector. Ministry of Environment. Jakarta.
Samingan, T. 1975. Dasar-Dasar Ekologi Umum Bagian II. Program
Pascasarjana IPB, Bogor.
Soemarwoto, 0. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Resoedarmo, R. S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and
Sons, New York.
WallpaperBase. 2004. Desert. Online, http://www.wallpaperbase.com/
wallpapers/landscape/deserts/desert_5.jpg, diakses 3 Februari
2011.
Agroekologi: Vegetasi 101

Wikimedia. 2010. Zebras, Serengeti savana plains, Tanzania. Online,


http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Zebras,_Serengeti_
savana_plains,_Tanzania.jpg
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 102

BAB V
SIKLUS BIOGEOKIMIA DAN FAKTOR PEMBATAS

Kajian yang mendalam tentang siklus biokimia dan faktor pembatas


akan membantu kita dalam memahami fenomena-fenomena dalam
mengelola agroekosistem. Untuk ini, kita diharapkan mampu
memahami, menjelaskan dan mendiskusikan, serta menganalisis
pengertian dan proses biogeokimia, siklus O2, CO2, N, P, dan K,
siklus hara, dan siklus hidrologi.

5.1 Pengertian dan Proses Biogeokimia

Dari 90 unsur yang telah diketahui di alam, 30 sampai 40 diantaranya


diperlukan oleh organisme-organisme hidup termasuk tanaman.
Beberapa unsur seperti karbon, hidrogen dan oksigen diperlukan
dalam jumlah yang besar, yang lainnya dalam jumlah yang kecil atau
sedikit sekali. Ditinjau dari tingkat kepentingannya, baik sebagai
unsur-unsur penting atau tidak, maka siklus Biogeokimia akan
memperlihatkan pola yang tertentu pula. Oleh karena itu, pemahaman
kita mengenai istilah biogeokimia penting ditingkatkan guna
mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dari segi pengertiannya, bio dimaksudkan organisme hidup, geo
berarti batu, udara, dan air dari bumi. Geokimia merupakan ilmu fisika
yang membahas komposisi kimia bumi dengan pertukaran unsur
antara berbagai bagian dari kulit bumi dan lautan, sungai serta
perairan lainnya (Valletyne, 1960 dalam Samingan, 1995).
Biogeokimia merupakan studi pertukaran atau perubahan yang terus
menerus (baik gerakan ke belakang dan ke depan) dari bahan-bahan
antara komponen yang hidup dan yang tidak hidup (Hutchinson, 1944
dalam Samingan, 1975).
Menurut Samingan (1975), gerakan unsur-unsur tersebut dari
senyawa anorganik yang diperlukan untuk hidup disebut sebagai
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 103

siklus makanan. Siklus ini dapat ditunjukkkan melalui dua komponen


yang terdiri dari:
(1) komponen cadangan, umumnya komponen non-biologi, besar dan
gerakannya lamban; dan
(2) komponen pertukaran (peredaran), merupakan bagian yang lebih
kecil tetapi lebih aktif yakni yang selalu berubah (bergerak maju-
mundur) secara cepat antara organisme-organisme dan
lingkungannya.
Dari segi biosfir, siklus biogeokimia dapat digolongkan ke dalam
dua tipe dasar:
(1) tipe berbentuk gas, berada dalam atmosfir/lautan
(2) tipe sedimen, terdapat di dalam kulit bumi.
Berdasarkan beberapa kajian, proses biogeokimia terdiri dari tiga fase,
yaitu:
(1) siklus gas (atmosfir, pada troposfir dapat berupa siklus Nitrogen
dan Karbon, merupakan siklus yang konstan, siklus hidrologi juga
merupakan bagian dari siklus atmosfir.
(2) siklus biologis (biosfir), dalam hal ini terjadi proses ekskresi,
respirasi, sintesis dan dekomposisi.
(3) siklus geologis (hidrosfir dan litosfir), di dalam siklus ini terjadi
proses sedimentasi, proses pembentukan batuan dan formasi tanah,
serta proses erosi. Proses-proses yang terjadi termasuk tidak
konstan, salah satunya siklus mineral tanaman.
Melihat dari rangkaian atau prosesnya, maka siklus biogeokimia
secara ringkas dapat diartikan sebagai rangkaian keseluruhan proses
yang terdiri dari siklus-siklus gas, biologis dan geologis. Deshmukh
(1992) menjelaskan siklus biogeokimia adalah suatu proses yang
memfokuskan pada sifat biologis, geologi yang terdapat di dalam
batuan, tanah, dan sedimen.

5.2 Siklus O2
Oksigen atau zat asam adalah unsur kimia dalam sistem tabel periodik
yang mempunyai lambang O dan nomor atom 8. Oksigen merupakan
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 104

unsur golongan kalkogen dan dapat dengan mudah bereaksi dengan


hampir semua unsur lainnya, terutama dalam proses oksidasi. Pada
Temperatur dan tekanan standar, dua atom unsur ini berikatan menjadi
dioksigen, yaitu senyawa gas diatomik dengan rumus O 2 yang tidak
berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Oksigen merupakan unsur
paling melimpah yang ke tiga di alam semesta, dan unsur paling
melimpah di kerak Bumi. Gas oksigen diatomik mengisi 20,9%
volume atmosfer bumi (Vickery, 1984).
Semua kelompok molekul struktural yang terdapat pada
organisme hidup, seperti protein, karbohidrat, dan lemak, mengandung
oksigen. Demikian pula senyawa anorganik yang terdapat pada
cangkang, gigi, dan tulang hewan. Oksigen dalam bentuk O 2
dihasilkan dari air oleh sianobakteri, ganggang, dan tumbuhan selama
fotosintesis, dan digunakan pada respirasi sel oleh hampir semua
makhluk hidup. Oksigen beracun bagi organisme anaerob, yang
merupakan bentuk kehidupan paling dominan pada masa-masa awal
evolusi kehidupan. O2 kemudian mulai berakumulasi pada atmosfer
sekitar 2,5 milyar tahun yang lalu. Terdapat pula alotrop oksigen
lainnya, yaitu ozon (O3). Lapisan ozon pada atmosfer membantu
melindungi biosfer dari radiasi ultraviolet, namun pada permukaan
bumi ia adalah polutan yang merupakan produk samping dari asbut
(Vickery, 1984).
Oksigen secara terpisah ditemukan oleh Carl Wilhelm Scheele
di Uppsala pada tahun 1773 dan Joseph Priestley di Wiltshire pada
tahun 1774. Temuan Priestley lebih terkenal oleh karena publikasinya
merupakan yang pertama kali dicetak. Istilah oxygen diciptakan oleh
Antoine Lavoisier pada tahun 1777, yang eksperimennya dengan
oksigen berhasil meruntuhkan teori flogiston pembakaran dan korosi
yang terkenal.
Oksigen secara industri dihasilkan dengan distilasi bertingkat
terhadap udara cair, dengan munggunakan zeolit untuk memisahkan
karbon dioksida dan nitrogen dari udara, ataupun elektrolisis air, dll.
Oksigen digunakan dalam produksi baja, plastik, dan tekstil, ia juga
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 105

digunakan sebagai propelan roket, untuk terapi oksigen, dan sebagai


penyokong kehidupan pada pesawat terbang, kapal selam,
penerbangan luar angkasa, dan penyelaman.

5.3 Siklus CO2


Mencakup semua gas karbondioksida di atmosfir maupun yang terikat
ke dalam bahan organik melalui fotosintesis (Gambar 5.1). CO2 di
dalam bahan organik atau organisme dapat dilepaskan melalui proses
respirasi oleh semua biota. Karbon juga terdapat dalam batuan bumi,
terutama dalam kalsium karbonat dan magnesium karbonat. Kedua
senyawa tersebut berasal dan bahan organik, hasil mineralisasi sisa-
sisa tulang organisme lautan.

Gambar 5.1 Siklus karbon atau CO2 yang menggambar aliran karbon mulai dari
atmosfir menuju ke litosfir, dan kemudian kembali lagi ke atmosfir
(Illustrasi: The Globe Program, 2010).
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 106

Melalui penaikkan (up lifting) geologi, batuan kapur juga berada


di daratan dan menambah hara tanah dan hara tanaman melalui
pelapukan selanjutnya. Pada skala global, pengalihan yang demikian
termasuk kecil jika dibandingkan dengan perubahan-perubahan antara
biota dan atmosfir.
Jika produksi primer melebihi respirasi komunitas, senyawa
organik yang kaya akan karbon dapat terkumpul dalam berbagai
ekosistem. Pada masa lampau akumulasi demikian menyebabkan
pengendapan bahan bakar fosil yaitu batubara dan minyak. Proses ini
juga terjadi dalam skala kecil di tanah gambut. Dua bagian penting
dari siklus CO2 yaitu konversi CO2 menjadi karbon organik (dalam
lautan) bersifat konstan dan degradasif. Siklus yang kedua adalah
perubahan senyawa organik menjadi CO2.

5.4 Siklus N
Siklus Nitrogen (Gambar 5.2) tidak seluruhnya berasal dari proses
edafik di dalam tanah, tetapi sebagian besar berasal dari komponen
atmosfir yang memasuki tanah melalui proses fiksasi nitrogen dan
denitrifikasi.
Tanaman memperoleh sebagian besar N dari tanah sebagai ion
nitrat dan amonium. Penambatan N dari atmosfir dalam skala dunia
berjumlah sekitar 10 kg/ha/tahun. Jumlah N ini merupakan bagian
yang terfiksasi atau terserap oleh semua makhluk hidup di lapisan
biosfer. Di atas tanah lebih dari 60% penambatan dilakukan oleh
agroekosistem, dan sebesar 33% merupakan konstribusi hutan,
sedangkan sisanya 7% N disumbangkan oleh proses mineralisasi N
pada permukaan bumi atau teristerial (Burn dan Handy, 1975 dalam
Samingan 1995).
Secara keseluruhan penambatan N dari atmosfir berjumlah kira-
kira 2% dari jumlah asimilasi N, sedangkan sisanya berdaur dalam
bentuk gas. Penambatan N tersebut dilakukan oleh bakteri yang
bersimbiosis hidup dalam akar tumbuhan dan sebagian kecil oleh
bakteri tanah yang hidup bebas.
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 107

Ganggang hijau biru (Cyanobacteria) juga menambat N, dan


penting dalam sistem aquatik, tetapi di daratan relatif tak penting.
Rayap menambat nitrogen dari atmosfir, memiliki mikroflora
mutualistik dalam perutnya, seperti rayap pohon di hutan Kostarika,
menambat 0,25 mg dan 1,0 mg per koloni pen jam, dengan laju tinggi
dicapai jika konsentrasi Nitrogen dalam hara rendah (Prestwicth dan
Bentley, 1981 dalam Desmukh, 1992).

Gambar 5.2 Siklus Nitrogen mempunyai komponen atmosfir yang dihubungkan


dengan tanah melalui penambatan (fiksasi) nitrogen dan denitrifikasi
(Illustrasi: Ethereal Templete, 2010).

Bakteri-bakteri tanah, seperti Pseudomonas memegang peranan


penting dalam nitrifikasi, yaitu dengan melakukan pengoksidasian
senyawa amonium (NH4) menjadi nitrat (NO3). Dalam proses
nitrifikasi, beberapa bakteri mengoksidasi ion amonium menjadi nitrit
(NO2), dan bakteri-bakteri lain merampungkan proses ini dengan cara
mengubahnya menjadi nitrat. Bakteri denitrifikasi mengubah nitrat
menjadi gas nitrogen ke dalam keadaan an-aerobik dengan
mengembangkan sebagian kecil nitrogen yang beredar dalam biosfir
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 108

ke atmosfir. Siklus N dapat terjadi secara fisik (elektrolit), melalui


peran mikroorganisme baik melalui proses simbiotik, non-simbiotik
maupun yang berasal dari proses sintetis yang dibuat oleh manusia
secara kimiawi di pabrik (Vickery, 1984).

5.5 Siklus P
Siklus P (Gambar 5.3) lebih sederhana dibandingkan dengan siklus N.
Fosfor merupakan bagian protoplasma yang penting. Di dalam
tanaman cenderung beredar dalam bentuk senyawa-senyawa organik
sederhana dan akhirnya menghasilkan fosfat yang kembali tersedia
bagi tanaman. Cadangan yang besar dari fosfor bukanlah udara
melainkan batu-batu atau pengendapan-pengendapan lain yang telah
terbentuk pada abad-abad geologis masa lampau, melalui
pengendapan sedimen-sedimen dangkal dan sedimen dalam.

Gambar 5.3 Siklus fosfor lebih sederhana dibandingkan dengan siklus karbon atau
siklus nitrogen. Siklus fosfor tidak meliputi pergerakan melalui
atmosfer, karena tidak ada gas yang mengandung fosfor secara
signifikan (Wordpress, 2010).
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 109

Burung-burung laut berperan dalam pengendalian fosfor ke


dalam siklus (seperti endapan guano di Peru). Terkadang manusia
mempercepat hilangnya fosfor dan menjadikan siklusnya kurang
sempurna. Batuan fosfat merupakan cadangan terbanyak yang dapat
menyediakan unsur hara P untuk tanaman. Namun demikian, akibat
semakin parahnya kerusakan lingkungan, maka ketersediaan P
menjadi masalah. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya pengikisan-
pengikisan unsur P di alam. Kehilangan ini ternyata tidak dapat
diimbangi atau digantikan oleh sistem dekomposisi maupun
sedimentasi. Hal ini dapat mengancam produktivitas tanaman. Oleh
karena itu, manusia harus dapat melengkapi siklus fosfor dalam
jumlah besar guna menjamin produksi tanaman dapat memenuhi
kebutuhan tanaman. Sekarang masalahnya adalah tinggal bagaimana
manusia mampu mengelola cadangan P yang ada, baik cadangan P
yang berupa senyawa P in-organik (rock) maupun senyawa P organik
(litter) yang jumlahnya sedikit dan mudah terkikis.

5.6. Siklus K
Kalium adalah unsur kimia yang mempunyai simbol K (Bahasa Latin
"Kalium" berasal daripada bahasa Arab: "alqali") dengan nomor atom
19. Perkataan kalium berasal dari perkataan Arab yang berarti
pembakaran atau abu tumbuh-tumbuhan yang dibakar. Kalium adalah
logam alkali putih keperakan dan lembut yang wujudnya secara alami
terikat dengan unsur-unsur lain, seperti yang dijumpai dalam air laut
atau pada kebanyakan mineral. Kalium dapat teroksidasi cepat dalam
udara, sangat reaktif, terutama dalam air, dan menyerupai natrium
secara kimia.
Kalium memiliki berat jenis yang lebih rendah daripada air.
Kalium adalah logam kedua ringan setelah litium. Kalium berstruktur
lembut dan mudah dikerat dengan pisau dan mempunyai warna
keperakan pada permukaan yang baru dipotong. Kalium teroksidasi
dengan cepat dalam udara, sehingga harus disimpan dalam minyak
mineral atau kerosin untuk tujuan penyimpanan. Seperti juga logam-
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 110

logam alkali lain, kalium mudah bereaksi dengan air dan


menghasilkan hidrogen. Apabila berada dalam air, kalium akan mudah
tereaksi secara spontan. Garamnya memancarkan warna ungu apabila
diekspos kepada nyala api.
Beberapa tanah mempunyai kalium yang melimpah, sehingga
tanaman yang ditanam pada tanah tersebut tidak respon terhadap
pemupukan kalium. Tanaman pada umumnya menggunakan lebih
banyak kalium yang berasal dari tanah daripada kalium yang berasal
dari pemupukan. Dengan demikian, pemupukan kalium tidak begitu
penting untuk kebanyakan tanaman, kecuali pada lahan-lahan atau
agroekosistem yang digunakan secara intensif, pemupukan kalium
tetap diperlukan, seperti layaknya pemupukan nitrogen dan fosfor.
Pada dasarnya, kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral
yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion yang diadsorbsi
pada kation dapat tertukar secara cepat dan tersedia untuk diserap
tanaman.
Kalium banyak tersedia dalam tanah apabila kondisi kelem-
babannya normal atau agak kering, sehingga pencucian kalium jarang
terjadi. Tanah-tanah netral atau alkali pada umumnya tidak
membutuhkan kapur, dan tidak membutuhkan pemupukan kalium.
Dengan demikian, tanaman yang ditanam pada tanah-tanah dengan pH
netral tetap memberikan hasil yang tinggi atau sama baiknya dengan
tanaman yang dipupuk dengan kalium. Namun demikian, pada lahan-
lahan yang basah dan sering terjadi pencucian atau erosi, maka jumlah
kalium menjadi terbatas atau bermasalah. Oleh karena itu, pemupukan
kalium menjadi suatu kebutuhan untuk dapat meningkatkan
produktivitas tanaman.
Tanah-tanah organik seperti yang dijumpai di lahan gambut
terkenal dalam hal defisiensi kalium, sebab gambut mengandung
sedikit mineral, sehingga kandungan kaliumnya juga rendah.
Pembahasan mengenai kalium akan mengutamakan pemanfaatan
kalium alamiah yang terdapat di dalam tanah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kemampuan tanah untuk menyediakan kebutuhan
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 111

kalium bagi tanaman. Tanaman-tanaman menyerap kalium dalam


bentuk K+ yang terdapat dalam larutan tanah, yaitu dalam kebanyakan
tanah mineral. Pengikisan kalium sering terjadi dalam tanah ketika
tanaman dorman atau pada lahan-lahan kritis yang berada pada daerah
yang terjal.

5.7. Siklus Hara

Tubuh organisme, termasuk tanaman tersusun atas unsur-unsur kimia


atau hara (nutrient). Unsur-unsur ini didapat oleh tanaman dari
sumber-sumber an-organik dan lingkungan dan dipersatukan ke dalam
molekul organik dengan menggunakan energi yang disediakan oleh
fotosintesis. Unsur hara dikategorikan ke dalam dua golongan,
meliputi:
(1) hara makro, unsur-unsur kimia utama digunakan dalam jumlah
besar oleh organisme hidup. Hara makro yang membentuk
komponen utama jaringan hidup antara lain: karbon, hidrogen,
oksigen. Hara ini memiliki siklus di atmosfir, dan beberapa hara
diperoleh dari tanah seperti fosfor dan kalium.
(2) hara mikro, unsur-unsur kimia yang digunakan dalam jumlah
1ebih sedikit, tetapi juga penting bagi kehidupan. Hara mikro,
seperti Cu, Fe, Co memiliki siklus yang bersumber dari tanah,
disebut juga siklus edafik.
Jumlah total suatu unsur tertentu dalam batuan dan tanah
mungkin relatif sangat besar dibandingkan dengan pemanfaatannya
oleh komunitas biotik, karena terikat secara kimia sehingga tidak siap
pakai bagi organisme. Berbagai proses biokimia mengatur kaitan
antara hara edafik yang tersedia dan tidak tersedia.

5.8 Siklus Hidrologi

Siklus hidrologi (Gambar 5.4) bukan merupakan siklus unsur, karena


siklus hidrologi mengikuti arus suatu senyawa yaitu air. Gerakan air di
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 112

dalam dan antara berbagai ekosistem merupakan landasan dalam


pemahaman siklus hara, dengan alasan:
(1) Tanaman memperoleh hidrogen untuk fotosintesis dari hasil
penguraian molekul-molekul air.
(2) Tanaman menggunakan sejumlah besar air dalam mempertahan-
kan sistem hidrostatis untuk mengangkut bahan kimia dalam
seluruh tubuhnya.
(3) Tanaman mengambil unsur-unsur dalam larutan air tanah. Tanpa
larutan air tanah, tanaman tidak mampu mempertahankan
keseimbangan mineral yang diperlukan dalam kehidupannya.

Gambar 5.4 Siklus hidrologi merupakan gerakan air di dalam dan antara berbagai
ekosistem merupakan landasan dalam pemahaman siklus hara (Benhan,
2010).

5.9. Azas-azas Mengenai Faktor Pembatas

Suatu organisme harus memiliki bahan-bahan yang penting dan


diperlukan untuk pertumbuhan serta berkembang biak, demikian juga
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 113

untuk dapat bertahan dan hidup. Keperluan-keperluan dasar dalam


kehihidupa dan mempertahankannya sangat bervariasi sesuai dengan
jenis dan keadaan. Dalam keadaan tertentu, kalau bahan yang tersedia
dalam jumlah paling mendekati titik minimum, maka akan cenderung
sebagai faktor pembatas. Hukum ini kurang dapat diterapkan di bawah
keadaan lainnya, yaitu apabila jumlah dan pengaruh dari banyak
bahan-bahan sangat cepat berubah.
Faktor-faktor pembatas yang diusulkan oleh Liebig baik dalam
keadaan sedikit maupun terlalu banyak, maka akan membatasi,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, misalnya faktor-faktor
panas, sinar dan air. Organisme-organisme memiliki batas-batas
maksimum dan minimum ekologis. Kisaran di antara kedua titik
minimum dan maksimum merupakan batas-batas toleransi.
Keberadaan dan keberhasilan suatu organisme untuk hidup dan
berkembang tergantung kepada ketersedian faktor-faktor yang
dibutuhkan selalu berada dalam keadaan optimum. Kegagalan suatu
organisme sangat dipengaruhi oleh kekurangan atau kelebihan suatu
faktor, baik secara kualitatif atau kuantitatif (Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Menurut hukum Leibig
kehilangan suatu hasil tanaman sangat
ditentukan suatu faktor yang berada dalam
keadaan minimum (Justuseme. 2011).

Konsep pengaruh yang


membatasi dari keadaan maksimum
serta minimum telah digambarkan
oleh Shelford dalam tahun 1913.
Mulai sekitar tahun 1910 telah
banyak karya yang dikerjakan
mengenai “ekologi toleransi”
sebagai batas-batas bagi berbagai
tumbuhan dan hewan untuk
mengadakan toleransi dengan
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 114

lingkungannya. Terutama sekali faedahnya apa yang disebut “uji


tekanan di laboratorium”. Dalam hal ini organisme-organisme
dicobakan terhadap kisaran keadaan eksprimen tertentu yang
dirancang secara ilmiah. Pendekatan secara fisiologi demikian telah
membantu kita untuk memahami penyebaran organisme di alam.
Menurut Samingan (1995), beberapa azas tambahan terhadap
Hukum Toleransi dapat dinyatakan sebagai berikut:
(1) Organisme-organisme dapat memiliki kisaran toleransi yang lebar
bagi suatu faktor dan kisaran yang sempit bagi faktor lain,
(2) Organisme-organisme dengan kisaran-kisaran yang luas untuk
semua faktor, maka wajar mereka memiliki tingkat penyebaran
yang paling luas pula.
(3) Apabila keadaan tidak optimum bagi suatu jenis faktor ekologi,
maka batas-batas toleransi terhadap faktor-faktor lainnya juga
dapat berkurang. Misalnya kajian Penman (1956 dalam Samingan,
1975) mengenai N sebagai faktor pembatas. Apabila N total
merupakan pembatas, ketahanan rumput terhadap kekeringan
dikurangi. Dengan kata lain lebih banyak air diperlukan untuk
menjaga kelayuan pada tingkat N yang rendah daripada yang
tinggi.
(4) Seringkali dikemukakan bahwa organisme-organisme di alam
sebenarnya tidak hidup pada kisaran optimum saja dalam hal
faktor fisik tertentu. Di dalam hal demikian, faktor-faktor
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme mempunyai
kisaran yang lebih besar. Seperti Anggrek tropik, tumbuh lebih
baik dalam sinar matahari panas dibandingkan dalam naungan,
asalkan mereka tetap pada kondisi yang sejuk (Went, 1957 dalam
Samingan, 1975). Di alam, anggrek tersebut hanya tumbuh dalam
naungan sebab tidak tahan pada pengaruh panas matahari secara
langsung.
(5) Periode reproduksi biasanya merupakan periode-periode yang
kritis apabila faktor-faktor lingkungan bersifat membatasi.
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 115

Untuk menyatakan taraf toleransi nisbi, suatu istilah telah menjadi


umum dipakai dalam ekologi, yaitu dengan menggunakan awalan
“steno” dan “eury”. Jadi, jika ada istilah stenothermal berarti eury
thermal menunjukkan kepada toleransi temperatur, stenohydrik berarti
euryhidrik menunjukkan kepada toleransi air, stenophagik berarti
euryphagik berhubungan dengan toleransi makanan dan lain-lainnya.
Organisme menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan fisik
sedemikian rupa untuk mengurangi pengaruh faktor pembatas dari air,
temperatur, sinar dan faktor lainnya dalam kehidupan. Faktor
kompensasi demikian terutama efektif pada tingkat komunitas
dibandingkan organisasi, tetapi terjadi dalam satuan jenis atau
individu. Jenis dengan kisaran geografi yang luas hampir selalu
membentuk populasi yang dikenal dengan istilah “ecotype”.
Penyesuaian tersebut mempunyai batas-batas toleransi yang sesuai
dengan keadaan setempat.
Dengan menggabungkan ide/konsep minimum dan batas-batas
toleransi, kita sampai pada konsep yang lebih umum dan berguna
mengenai faktor-faktor pembatas. Adapun faktor-faktor pembatas
yang mengendalikan organisme di alam adalah:
(1) Jumlah dan keragaman material dimana terdapat suatu kebutuhan
minimum
(2) Batas-batas toleransi organismenya sendiri terhadap keadaan yang
ada dan juga terhadap komponen-komponen lainnya.
Konsep faktor-faktor pembatas memberikan celah masuk kepada
ahli ekologi ke dalam studi dan situasi-situasi yang komplek.
Ringkasnya, perhatian pertama harus diberikan kepada faktor-faktor
yang secara operasional mempengaruhi organisme selama siklus
hidupnya. Sangat penting untuk ahli ekologi baru untuk memahami
dan menyadari bahwa tujuan analisis lingkungan bukanlah membuat
daftar yang panjang dari faktor-faktor pembatas. Melainkan tujuan-
tujuan yang lebih nyata yang harus dicapai adalah:
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 116

(1) Menemukan dengan cara pengamatan analisis dan percobaan,


faktor-faktor mana yang secara operasional nyata mempengaruhi
pertumbuhan dan perkebangan mahkluk hidup.
(2) Menentukan bagaimana faktor-faktor itu membawa pengaruhnya
terhadap individu, populasi atau komunitas.

5.10 Rangkuman

Siklus biogeokimia dapat digolongkan ke dalam dua tipe dasar: tipe


gas yang berada dalam atmosfir dan tipe sedimen yang terdapat di
dalam kulit bumi. Proses biogeokimia terdiri dari empat fase, yaitu:
(1) siklus gas pada troposfir dapat berupa siklus Nitrogen dan Karbon,
merupakan siklus yang konstan; (2) Siklus hidrologi, merupakan
bagian dan siklus atmosfir; (3) siklus biologis (biosfir), dalam hal ini
terjadi proses ekskresi, respirasi, sintesis dan dekomposisi; dan (4)
siklus geologis (hidrosfir dan litosfir), di dalam siklus ini terjadi
proses sedimentasi, proses pembentukan batuan dan formasi tanah,
serta proses erosi.
Organisme, termasuk tanaman tersusun atas unsur-unsur kimia
atau hara. Unsur-unsur ini didapat oleh tanaman dari sumber-sumber
an-organik dan lingkungan dan dipersatukan ke dalam molekul
organik. Unsur hara dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu unsur
hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro merupakan
unsur-unsur kimia utama yang digunakan jumlah besar oleh
organisme hidup. Hara makro yang membentuk komponen utama
jaringan hidup antara lain: karbon, hidrogen, oksigen, yang memiliki
siklus di atmosfir, serta beberapa hara yang diperoleh dari tanah
seperti fosfor dan kalium. Unsur hara mikro merupakan unsur-unsur
kimia yang digunakan dalam jumlah 1ebih sedikit, tetapi juga penting
bagi kehidupan. Hara mikro, seperti Cu, Fe, Co memiliki siklus yang
bersumber dari tanah, disebut juga siklus edafik.
Azas Hukum Toleransi dapat dinyatakan sebagai berikut:
organisme-organisme dapat memiliki kisaran toleransi yang lebar
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 117

bagi suatu faktor dan kisaran yang sempit bagi faktor lain;
organisme-organisme dengan kisaran-kisaran yang luas untuk semua
faktor, maka akan memiliki penyebaran yang paling luas. Apabila
keadaan tidak optimum bagi suatu jenis faktor ekologi, batas-batas
toleransi terhadap faktor-faktor lainnya dapat berkurang. Organisme-
organisme di alam sebenarnya tidak hidup pada kisaran optimum
dalam hal faktor fisik tertentu. Periode reproduksi biasanya
merupakan periode-periode yang kritis apabila faktor-faktor
lingkungan bersifat membatasi.

5.11 Latihan

1) Proses biogeokimia terdiri dari tiga fase, yaitu siklus gas, siklus
hidrologi, siklus biologis (Biosfir), dan siklus geologis. Uraikan
dengan rinci dan jelaskan bagaimana semua proses itu terjadi.
2) Gerakan air di dalam dan antara berbagai ekosistem merupakan
landasan dalam pemahaman siklus hara. Mengapa?
3) Jelaskan faktor-faktor yang mengendalikan pertumbuhan dan
perkembangan organisme di alam.
4) Jelaskan beberapa azas tambahan terhadap Hukum Toleransi yang
telah dikemukan oleh beberapa ahli.
5) Sebut dan jelaskan faktor-faktor pembatas yang mengendalikan
organisme di alam.
6) Sangat penting untuk ahli ekologi baru untuk memahami dan
menyadari bahwa tujuan daripada analisis lingkungan adalah
sangat penting. Kemukakan tujuan-tujuan yang lebih nyata yang
harus dicapai.
7) Apabila keadaan tidak optimum bagi suatu jenis faktor ekologi,
batas-batas toleransi terhadap faktor-faktor lainnya dapat
berkurang. Uraikan bagaimana hubungan
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 118

5.12 Glossarium

Edafik adalah siklus hara mikro, seperti Cu, Fe, Co memiliki yang
bersumber dari tanah
Elektrolit merupakan sifat suatu larutan yang dapat menghantarkan
listrik
Geologi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang struktur bumi
Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat, distribusi,
penggunaan, dan sirkulasi air pada bumi dan atmosfir
Mikroflora adalah tumbuhan yang berukuran sangat kecil dan hanya
bisa dilihat dengan bantuan mikroskop
Nutrient adalah zat-zat hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan baik
unsur hara makro maupun unsur hara mikro

5.13 Daftar Pustaka

Benhan, 2010). Banjir Jakarta, Salah Foke? Online, http://benhan8.


wordpress.com/2010/10/26/banjir-jakarta-salah-foke/, diakses 28
Januari 2011.
Crawley, J. 1989. Plant Ecology. Blackwell Scientific Publication,
Oxford. 496 hlm
Deshmukh. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Heddy, S dan M. Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi. Suatu
Bahasan Tentang Kaedah Ekologi dan Penerapannya. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ethreal Templet. 2010. Siklus Biogeokimia. Online, http://a-bi8l8gist.
blogspot.com/, diakses 28 Januari 2011.
Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-prinsip Ekologi. Ekosistem Komunitas dan
Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.
Justuseme. 2011. Liebig's law of minimum. Online, http://justuseme.
info/liebig_s_law_of_minimum.html, diakses 28 Januari 2011
MoE. 2003. Final Report: National Strategy Study on CDM in
Forestry Sector. Ministry of Environment. Jakarta.
Agroekologi: Siklus Biogeokimia dan Faktor Pembatas 119

Samingan, T. 1975. Dasar-Dasar Ekologi Umum Bagian II. Program


Pascasarjana IPB, Bogor.
Soemarwoto, 0. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Resoedarmo, R. S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Schmieg, S. 2011. Kalau mau menyelamatkan lingkungan, jangan
sisakan makanan. Online, http://akuinginhijau.org/2007/page/11/,
diakses 28 Januari 2011.

The Globe Program. 2010. Global Carbon Cycle Diagram. Online,


http://classic.globe.gov/fsl/html/templ.cgi?carboncycleDia,
diakses 28 Januari 2011.

Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and


Sons, New York.
Wordpress, 2010. Resume Kuliah Ekologi Laut Tropis. Online,
http://shifadini.wordpress.com/2010/04/, diakses 28 Januari 2011.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 120

BAB VI
INTERAKSI TANAMAN DENGAN LINGKUNGANNYA

Setelah mengkaji bab ini diharapkan pembaca mampu memahami,


menjelaskan, dan menganalisis interaksi tanaman dengan
lingkungannya, terutama hubungan tanaman dengan tanah, air,
cahaya, udara, hewan, dan manusia. Selanjutnya setelah bab ini
dipahami dengan baik, pembaca diharapkan juga dapat menjawab
latihan-latihan pada bagian akhir bab, memberikan presentasi dan
diskusi serta menyimpulkan materi yang diberikan dalam bab ini.

6.1 Hubungan Antara Tanaman dan Tanah


Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kerak bumi yang telah
mengalami pelapukan serta ditambah dengan produk-produk
dekomposisi makhluk hidup dari organisme yang mati. Campuran
tanah terdiri dari udara, air, dan berbagai organisme hidup seperti alga,
bakteri, fungi, akar tumbuhan, hewan dan serangga (Gambar 6.1).

Gambar 6.1 Campuran tanah terdiri dari udara, air, dan berbagai organisme hidup
seperti algae, bakteri, fungi, akar tumbuhan, hewan dan serangga
tanah. (Foto: Richardson, 2008).
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 121

Tanah dapat diklasifikasikan menurut sifat dan cirinya, dengan


bantuan profil tanah. Profil tanah dapat dibuat dengan potongan
vertikal dari top soil (lapisan atas) ke lapisan bahan induk. Potongan
vertikal tanah tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa horizon. Dari
segi edapologi dan pedologi yang paling penting adalah top soil atau
horizon A, sub-soil atau horizon B, dan horizon C. Lapisan litter
biasanya menutupi top soil.
Sering sekali horizon A dan B sukar dibedakan. Lapisan litter
pada tanah-tanah tropis sangat tebal akibat tingginya temperatur dan
kelembaban yang mempercepat laju dekomposisi lapisan tersebut.
Tanah sangat diperlukan dalam pembudidayaan tanaman. Semenjak
pertanian berkembang, konsep tanah yang sangat penting adalah
konsep sebagai media alami untuk mendukung pertumbuhan tanaman
(Gambar 6.2).

Gambar 6.2. Tanah merupakan media tumbuh yang menyediakan air, unsur hara,
udara, dan berbagai organisme yang bersimbiosis dengan akar
tanaman (Foto: University of Kentucky, 2010).

Meskipun demikian, manusia dapat membudidayakan tanaman


tanpa memakai tanah yang dikenal dengan ―hidroponik‖, tetapi hanya
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 122

sedikit sekali tanaman yang dapat tumbuh secara alami tanpa tanah.
Parasit memperoleh kebutuhannya dari tumbuhan-tumbuhan, dan
beberapa lichen (lumut) dapat tumbuh langsung pada batu-batuan,
akan tetapi kebanyakan tanaman memerlukan tanah untuk
pertumbuhannya hingga mencapai dewasa.
Biji-biji yang jatuh pada batu-batuan atau lingkungan yang tidak
ada tanah dapat berkecambah jika tersedia air, akan tetapi segera mati
bila tanaman mulai besar. Tanah menyediakan berbagai unsur hara
yang penting untuk pertumbuhan. Selain itu tanah juga menyimpan air
yang diperlukan untuk fotosintesis. Udara di dalam tanah diperlukan
oleh akar untuk respirasi. Disamping itu, tanah juga merupakan
medium yang diperlukan akar untuk memperkuat tanaman dan
meningkatkan suplai makanan yang tersedia. Tanaman yang tumbuh
pada tanah dapat mencegah penetrasi akar, pertumbuhan tanaman
menjadi sangat tertekan dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh
pada tanah-tanah yang akarnya dapat menyebar dengan mudah.
Apabila luas permukaan akar yang kontak dengan tanah lebih besar,
maka kemampuan akar untuk menyerap unsur hara dan air menjadi
lebih besar pula. Tidak hanya kondisi tanah yang mempengaruhi
tanaman, akan tetapi tanaman juga mempengaruhi tanah baik secara
fisik maupun kimiawi. Penetrasi akar dapat membantu pemecahan
partikel-partikel tanah yang besar, sedangkan sekresi CO2 dan bahan
lain oleh akar-akar akan membantu memecahkan mineral-mineral
menjadi lebih sederhana, sehingga lebih mudah diserap oleh akar
tanaman.
Oleh karena tanah merupakan bagian lingkungan tanaman yang
penting maka tanaman yang tumbuh secara alami dapat
dikelompokkan menurut jenis tanah seperti pada Tabel 6.1. Jenis-jenis
tanah ini memiliki ciri atau karakternya masing-masing. Tanah masam
banyak dijumpai di daerah tropis, terutama pada lahan gambut. Tanah
alkalin, salin, dan tanah berpasir banyak dijumpai di daerah yang
dekat dengan pantai. Sedangkan tanah batuan banyak dijumpai di
pegunungan atau kaki bukit.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 123

Tabel 6.1 Pengelompokkan Tanaman Menurut Jenis Tanah


No Tanaman Jenis Tanah
1 Oxylophytes Tanah masam
2 Calciphytes Tanah alkalin
3 Halophytes Tanah salin
4 Psammophytes Tanah berpasir
5 Chasmophytes Zona batuan
6 Lithophytes Permukaan batuan

Sumber : Vickery (1984).

Jumlah hara dalam tanah dan kemampuannya menyimpan udara


dan air sangat bervariasi. Variasi jumlah unsur hara pada suatu
lingkungan biasanya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hutan hujan
tropis yang kaya dengan vegetasi, biasanya tanahnya mengandung
sedikit unsur hara. Tanah-tanah yang mengalami proses pelapukan
sangat cepat menyebabkan hara-hara yang tidak diserap oleh tanaman
kebanyakan tercuci keluar sistem. Unsur hara yang dilepaskan dari
proses dekomposisi litter hanya berada sekejap di dalam tanah karena
segera diambil dan disimpan oleh tanaman.
Penebangan dan pembersihan (clearing) hutan-hutan akan
menimbulkan pencucian yang sangat berat, sehingga jika tidak
dilakukan pemupukan buatan, tanah tersebut hanya dapat ditanami
dalam beberapa tahun, selanjutnya tidak dapat lagi mendukung
pertumbuhan tanaman. Jika tanah tersebut ditinggalkan, maka
terbentuk hutan sekunder yang vegetasinya tidak sebanyak hutan
primer dan terdiri dari pohon-pohon yang lebih kecil dari hutan
primer. Hutan sekunder ini diawali dengan tumbuhnya semak-semak.
Pada masa lampau pembersihan hutan sekunder dilakukan secara
periodik untuk ditanami. Kondisi ini tidak begitu merusak karena
hutan ditinggalkan dan tidak diganggu selama bertahun-tahun. Namun
beberapa daerah tropis yang penduduknya sangat padat, waktu yang
diperlukan untuk membentuk hutan sekunder berkurang secara drastis
(Vickery, 1984).
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 124

6.1.1 Formasi Tanah


Jenis tanah yang terbentuk dalam berbagai situasi tergantung paling
tidak pada iklim, organisme, bahan induk, topografi, dan waktu. Di
antara faktor-faktor itu, waktu merupakan faktor yang netral. Kelima
faktor tersebut saling berhubungan satu sama lainnya (Jenny, 1941
dalam Notohadiprawiro dan Hastuti, 1978).
Kebanyakan tanah berada pada tingkat evolusi yang lambat.
Namun demikian pada tanah hutan hujan tropis yang pelapukannya
tinggi dan tidak diganggu oleh manusia, tanah-tanah tersebut berada
dalam kondisi yang mantap dan berada dalam keseimbangan dinamis
dengan lingkungan sekelilingnya.
Pelapukan batuan baik secara fisik dan kimiawi menghasilkan
bahan induk tanah yang juga dikenal dengan istilah ―regoilith‖.
Menurut Foth (1995), regolit sendiri dapat diartikan sebagai lapisan
yang lunak pada batuan yang mudah terlapuk. Pelapukan secara fisik
kurang penting di daerah tropis dibandingkan pada iklim yang lebih
dingin, di mana temperatur yang ekstrim dapat memecahkan bebatuan.
Akan tetapi tanaman tropis seperti Ficus umbrella memiliki perakaran
yang dapat melakukan penetrasi ke dalam batuan yang dapat
menyebabkan disintegrasi mekanik. Aksi abrasif atas partikel-partikel
yang terbawa oleh air dan angin juga dapat membantu pengikisan
batuan besar.
Pelapukan secara kimia merupakan aspek yang sangat penting
dalam proses formasi tanah di daerah tropis. Regolit di tanah tropis
sangat dalam, dapat mencapai 50 meter atau lebih. Pelapukan secara
kimia disebabkan oleh proses-proses hidrolisasi, oksidasi, hidrasi dan
karbonasi. Pelapukan kimiawi banyak ditimbulkan oleh bahan yang
bersifat asam yang terlarut dalam air tanah. CO2 atmosfir larut dalam
air hujan atau hasil respirasi. Perakaran yang larut dalam air tanah
merupakan asam-asam lemah. Di samping itu, asam-asam organik
juga dihasilkan selama proses dekomposisi litter. Asam-asam tersebut
mengikis dan menyebabkan disintegrasi (penghancuran) bebatuan.
Akar-akar fungi dan lichens mengeksresikan bahan-bahan bersifat
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 125

asam yang berperan sama dengan asam-asam lainnya sehingga


melepaskan hara bagi tanaman dan menyebabkan penghancuran
bebatuan.
Bila lumut-lumut mati maka produknya akan memperkaya dan
menjadi bahan pembentuk tanah sehingga tumbuhan Xerophytes dapat
tumbuh pada bebatuan tersebut. Bahkan tumbuhan-tumbuhan lain
dapat tumbuh dari kelompok tumbuhan yang sebelumnya telah mati.
Pelapukan kimiawi mengubah mineral primer menjadi mineral
sekunder seperti liat dan bahan-bahan terlarut. Bahan-bahan terlarut
bisa jadi hilang seluruhnya disebabkan karena tercuci air hujan seperti
yang terjadi pada hutan hujan tropis, atau bisa saja tercuci jauh ke
dalam tanah seperti di beberapa hutan gugur tropis dimana curah
hujannya lebih rendah.
Liat merupakan produk akhir dan pelapukan fisik dan kimiawi
suatu regolit, terdiri dan partikel-partikel yang berdiameter <0,002
mm, partikel yang lebih besar disebut debu/lempung dan pasir. Debu/
lempung berdiameter antara 0,5 - 0,002 mm sedangkan pasir
berdiameter 2 - 0,5 mm. Tanah-tanah yang mengandung persentase
pasir tinggi memiliki drainase baik tetapi sangat cepat mengalami
kekeringan. Sebaliknya tanah-tanah yang memiliki liat tinggi memiliki
drainase jelek tetapi lama kering. Lempung merupakan tanah yang
paling baik untuk ditanami karena campuran pasir, debu, dan liatnya
sehingga drainase tanah menjadi yang sangat baik, dengan syarat
cukup air untuk kebutuhan tanaman.
Kebanyakan tanah tropis mengandung proporsi liat yang tinggi.
Liat terbentuk oleh pelapukan bahan induk dan kombinasi antara
pengendapan garam-garam silikon dan alumunium dalam larutan
tanah. Partikel-partikel liat yang berdiameter <0,001 mm membentuk
koloidal yang komplek berikatan dengan humus membentuk micelles.
Misel-misel tersebut memiliki permukaan yang sangat luas dan
bermuatan negatif sehingga bertindak sebagai anion-anion yang
menyerap kation-kation pada permukaannya.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 126

Kation-kation tersebut dapat dipertukarkan dengan kation-kation


lain, jumlah total kation yang dapat dipertukarkan disebut ―Kapasitas
Tukar Kation‖ tanah. Kation-kation hara seperti kalsium, kalium,
amonium, magnesium, dan sodium merupakan basa dan dapat dengan
mudah digantikan dengan kation-kation hidrogen atau alumunium
yang bersifat asam. Pada tanah tropis yang pelapukannya berjalan
sangat cepat, kation-kation hara digantikan oleh Al dan ion Hidrogen.
Oleh sebab itu, konsentrasi kation basa berada pada tingkat rendah
sehingga tanah bersifat asam. Proses-proses dimana ion-ion hara
digantikan dan kemudian terbasuh oleh air tanah disebut Leaching.
Pada kondisi tropis yang panas dan lembab, silika juga mengalami
pencucian pada beberapa tanah. Proses pencucian tidak dapat
berlangsung pada kebanyakan gurun yang beriklim kering sehingga
tanah-tanah jenuh dengan ion-ion sodium (Na).
Pada daerah tropis ada dua jenis liat yang dominan yaitu kaolinit
dan montmorillinit. Kaolinit pertama sekali diketemukan adalah di
Yauchan Fu di Tiongkok, asal kata kauling. Sedang montmorillonit
ditemukan pertama sekali di Perancis. Kaolinit miskin Fe dan Mg.
Kaolinit merupakan anggota terpenting dan sebagai hasil pelapukan
sulfat atau air yang mengandung karbonat pada temperatur sedang.
Menurut penyelidikan dasar perbandingan persentase kaolinit adalah
Si02 46, 5 %, Al203 39,5 % dan air 14, 0 %. Warna kaolinit murni
umumnya putih, putih kelabu, kekuning-kuningan atau kecoklat-
coklatan. Montmorillinit dapat mengembang dan mengerut,
mempunyai daya ikat air yang tinggi dan kation lebih tinggi
(Darmawijaya, 1997).

6.1.2 Struktur Tanah


Struktur tanah adalah susunan zarah-zarah tanah (di dalam ruang) atau
perlekatan antara butir-butir tanah. Satu dengan yang lainnya
membentuk suatu agregat tanah. Hal ini karena adanya senyawa pada
tanah yang berfungsi sebagai perekat. Senyawa tersebut dapat berupa
bahan organik, kapur serta koloid Fe dan Al. Secara terinci istilah
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 127

struktur mengacu pada bentuk, ukuran derajat perkembangan agregasi


dan partikel-partikel tanah primer menjadi satuan struktural baik
secara alami maupun buatan dan susunan keruangan satuan tersebut
termasuk pemerian (pendeskripsian) pori di antara dan di dalam
agreagat (Hodgson, 1974).
Agregat yang terbentuk secara alami disebut Ped, sedangkan
gumpalan yang terbentuk sebagai akibat penggarapan disebut Clod,
atau yang terbentuk karena sebab lain dari luar (fragmen), atau yang
terbentuk karena akumulasi lokal senyawa-senyawa yang mengikat
partikel tanah (konkresi) tidak termasuk apa yang dinamakan agregat
tanah, karena terjadi bukan perlakuan antara butir-butir yang satu
dengan yang lain, melainkan hasil pengendapan suatu unsur hara
akibat adanya ―leaching‖ (pencucian) dari tanah lapisan atasnya
(Darmawijaya, 1997).
Struktur tanah dapat memodifikasikan pengaruh tekstur terkait
dengan kelembaban, porositas, ketersediaan unsur hara, kegiatan jasad
hidup dan pertumbuhan akar tanaman. Tanah tidak akan produktif jika
tidak terjadi perkembangan struktur yang sempurna yang mampu
memperbaiki sistem aerasi dan gerakan-gerakan air.
Struktur tanah sangat mempengaruhi sifat dan keadaan tanah
seperti antara lain gerakan air, lalu lintas panas, dan aerasi. Oleh
karena itu, tata air, pernafasan akar tanaman dan penetrasi akar
tanaman banyak ditentukan oleh struktur tanah. Petani menggarap
tanah dengan cara membajak, menggaru, mencangkul dan memupuk
bahan organik bertujuan untuk merubah struktur tanah ke arah bentuk,
besar dan ketahanan yang dikehendaki tanaman.
Umumnya struktur tanah yang dikehendaki oleh tanaman adalah
struktur remah, di mana perbandingan antara bahan padat dan ruang
pori kurang lebih seimbang. Oleh karena itu, penggarapan pada
umumnya ditujukan ke arah mendapatkan struktur ini. Keseimbangan
perbandingan volume tersebut di atas menyebabkan kandungan air
dan hawa mencukupi bagi pertumbuhan akar dan bahan padatnya
menyebabkan akar dapat cukup kuat untuk bertahan.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 128

Pengamatan struktur tanah di lapangan meliputi:


(1) Tipe struktur yaitu pengamatan mengenai bentuk dan susunan
agregat tanah, ada 7 tipe struktur tanah, yaitu:
a. Tipe lempeng (platy) yaitu dimensi ke arah horizontal lebih
panjang dari pada dimensi ke arah vertikal.
b. Tipe prismatik, yaitu agregat yang mempunyai ukuran vertikal
lebih panjang daripada horizontal, bagian atasnya datar.
c. Tipe cohumnar/cohumner, yaitu agregat yang mempunyai
ukuran vertikal lebih panjang daripada horizontal, bagian
atasnya membulat.
d. Tipe gumpal membulat, yaitu agregat tanah yang mempunyai
bentuk seperti kubus dengan bagian pinggirnya yang tidak
terlalu menyudut.
e. Tipe gumpal menyudut, yaitu agregat tanah yang mempunyai
bentuk seperti kubus dengan bagian pinggirnya bersudut tajam.
f. Tipe kersai/granuler, yaitu berbentuk butir-butir lepas, antara
satu dengan yang lainnya tidak ada ikatan.
g. Tipe remah (crumb), yaitu berbentuk butir-butir yang saling
mengikat seperti irisan roti, remah sehingga mudah
dihancurkan.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur dan lokasi pada


profit tanah, dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2 Tipe Struktur dan Lokasi pada Profil Tanah

No Tipe Struktur Lokasi pada Horizon


1 Lempeng (platy/plate) Horizon A2 tanah hutan, claypan
2 Prismatik Horizon B
3 Columnar Horizon B
4 Gumpal membulat Horizon B
5 Gumpal menyudut Horizon B
6 Kensai (granuler) Horizon A
7 Remah (crumbs) Horizon A

Sumber: Vickery (1984).


Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 129

6.1.3 Neraca Air Tanah


Air mempunyai arti yang amat penting berdasarkan dua gatra yaitu:
(1) gatra ekologi, air diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan
mengangkut unsur hara dalam bentuk larutan;
(2) gatra pedologi, faktor penting semua proses genesa (pembentukan
tanah): pelapukan, pengayaan humus, mobilitas-unsur, pelindian
(pencucian = leaching), translokasi, perpindahan dan lain-lainnya.
Neraca air di dalam tanah ditentukan berdasarkan curah hujan
efektif yaitu = jumlah curah hujan - semua bentuk kehilangan.
Kehilangan air dapat terjadi dalam bentuk aliran dan kehilangan dalam
bentuk uap. Proses masuknya air dari permukaan ke dalam tanah
disebut infiltrasi; sedang gerakan air di dalam tanah karena gaya
gravitasi disebut perkolasi. Sebagian air perkolasi diadsorbsi oleh
partikel tanah dan pori tanah karena gaya kapiler. Air yang diikat
partikel tanah dan air kapiler disebut sebagai air (lengas) tanah yang
sebagian dapat dimanfaatkan oleh sistem perakaran tanaman, sebagian
lagi terus mengalir sebagai air perkolasi dan bergabung dengan air
tanah.
Perkolasi air di dalam tanah dibedakan atas: aliran jenuh dan
aliran tak jenuh. Aliran jenuh terjadi apabila pori tanah terisi penuh
oleh air, dan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh: banyaknya
ukuran pori tanah (porositas tanah total), distribusi ukuran pori, dan
kesinambungan pori. Tanah yang memiliki pori berkesinambungan
mempunyai permeabilitas (aliran jenuh) tinggi: pasir > debu > liat.
Aliran tak jenuh: tanah dalam keadaan kering, pori yang bebas air
berjumalah besar. Air yang bergerak melalui pori yang kecil
menyebabkan gerakan air menjadi lambat.
Air atau lengas tanah dapat diklasifikasikan secara fisik dan
biologis (Notohadiprawiro, 1986), yaitu:

(1) Klasifikasi lengas tanah secara fisik:


a. Lengas gravitasi
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 130

b. Lengas yang teratur bebas karena pengaruh gaya gravitasi bumi,


sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
c. Lengas kapiler
d. Lengas yang terikat oleh gaya tegangan permukaan berupa
selaput berkesinambungan di sekeliling zarah dan di dalam pori
kapiler tanah. Air ini merupakan air yang tersedia bagi tanaman.
e. Lengas higroskopis
f. Lengas yang terikat kuat oleh zarah tanah sehingga tidak dapat
dimanfaatkan tanaman.

(2) Klasifikasi lengas tanah secara biologis:


a. Lengas tak tersedia bagi tanaman, adalah lengas yang terikat
kuat pada zarah tanah, lengas ini berada di antara lengas titik
layu tetap dan lengas higroskopis.
b. Lengas tanah tersedia bagi tanaman, adalah lengas tanah di
antara titik layu tetap dan kapasitas lapangan.
c. Lengas berlebihan, adalah lengas tanah di atas kapasitas
lapang. Lengas ini kurang menguntungkan untuk pertumbuhan
tanaman, karena aerasinya jelek.
Kadar lengas (air) maksimum tanah adalah kemampuan tanah
untuk mengikat lengas. Pada kondisi alamiah dapat terjadi :
permukaan tanah setelah hujan lebat, setelah tanah diairi/digenangi,
tanah lapisan permukaan yang jenuh air, kedalaman 5 - 10 mm di atas
tanah jenuh air (karena terjadi kenaikan kapiler).
Air yang terdapat di dalam tanah diperoleh dari curah hujan
efektif dan sumber lainnya. Setiap jenis tanah akan mempunyai
kemampuan untuk menyimpan lengas yang berbeda-beda. Ada yang
berkemampuan tinggi, tetapi ada juga yang masih rendah sekali. Besar
kecilnya kemampuan tanah dalam menyimpan lengas dipengaruhi
oleh tekstur tanah dan bahan organik. Apabila tekstur tanah dengan
perbandingan mineral liat dan bahan organik 2:1, maka kecil
kemampuannya menyimpan lengas, sedangkan perbandingan 1:1
mempunyai kemampuan yang besar dalam menyimpan lengas.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 131

6.1.4 Jenis-jenis Tanah Daerah Tropis


Iklim tropika (tropis) basah menyebabkan pelapukan dari
perkembangan tanah berlangsung intensif membentuk jenis tanah
yang berusia lanjut, seperti latosol. Kegiatan vulkanik menjadikan
topografi berbukit-bukit dan sering terjadi peremajaan tanah
membentuk tanah muda, seperti regosol. Keadaan lingkungan
setempat membentuk jenis tanah yang seharusnya hanya terdapat di
daerah iklim sedang, seperti Podsol; demikian juga jenis tanah yang
terdapat dimana-mana seperti Organosol. Secara umum tanah-tanah
yang terbentuk di daerah tropis menurut kajian Vickery (1984)
mencakup: latosol, vertisol, podzol, hidromorfik, kahsiomorfik,
halomorfik, dan tanah-tanah azonal.

6.1.4.1 Latosol
Nama Latosol pertama sekali diajukan oleh Kellog (1949) bagi
golongan tanah yang meliputi semua tanah zonal di daerah tropika dan
khatulistiwa mempunyai sifat-sifat dominan (1) nilai SiO2/
sesquioksida fraksi lempung rendah; (2) kapasitas penukaran kation
rendah; (3) lempungnya kurang aktif; (4) kadar mineral rendah; (5)
kadar bahan larut rendah; (6) stabilitas agregat tinggi dan (7) berwarna
merah (Darmawijaya, 1997).
Konsep lainnya dari tanah Latosol adalah: terbentuk pada daerah
humid tropika (tropis lembab), bebas dari basa dan silika akibat
pencucian, mengandung Al dan Fe yang tinggi yang menyebabkan
warna merah atau merah muda, kandungan bahan organiknya rendah,
kedalaman regolotnya sampai > 50 m, berada pada elevasi di bawah
2000 m, kejenuhan basa rendah, tanahnya masam dan didominasi oleh
liat kaolinit, oksidanya disatukan oleh oksida ferrik, bila vegetasi di
atasnya dihilangkan terjadi erosi di permukaan tanah dan yang
tertinggal lapisan Al dan Fe.
Di Indonesia tanaman karet, kelapa sawit, nilam dapat tumbuh
baik di tanah Latosol. Menurut Darmawijaya (1997) di Indonesia
tanah Latosol umumnya berasal dari batuan induk vulkanik, baik tuff
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 132

maupun batuan beku, terdapat mulai dari tepi pantai sampai setinggi
900 m dpl dengan topografi miring, bergelombang, curah hujan
berkisar 2500-7000 mm/tahun.
Berdasarkan warnanya, tanah Latosol dapat dibedakan Latosol
Merah di Pekalongan, Latosol Merah Kekuningan di Cibinong,
Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol Coklat di Bogor, Latosol
Coklat Kekuningan di Sukabumi dan Latosol Merah Ungu di
Kalimantan dan Sumatera.

6.1.4.2 Vertisol/Grumosol
Soil Survei Staff USDA mengusulkan nama Verisol untuk jenis tanah
yang masih dikenal dengan nama Grumosol. Ciri-ciri tanah ini sebagai
berikut: tekstur liat dalam bentuk yang mencirikan, struktur lapisan
atas granuler dan sering berbentuk seperti bunga kubis dan lapisan
bawah gumpal, mengandung kapur, koefisien pemuaian dan kontraksi
(pengerutan) tinggi jika dirubah kadar airnya, konsistensinya luar
biasa liat, bahan induk berkapur dan berliat sehingga kedap air, dalam
solum 75 cm dan warna kelam (hitam).
Di Indonesia tanah ini terbentuk pada tempat yang tidak lebih
dari 300 m dpl dengan topografi bergelombang atau berbukit, suhu
rata-rata tahunan 25°C dengan curah hujan kurang lebih 2500 mm dan
pergantian musim kemarau dan musim hujan yang nyata.
Bahan induknya terdiri atas bahan-bahan yang sudah
mengalami pelapukan seperti batu kapur, batu napal, tuff, endapan
aluvial dan abu vulkanik. Tanah ini didominasi oleh tipe
Montmorilonit, sehingga tanah mempunyai daya serap air tinggi.
Umumnya jenuh akan basa terutama Ca dan Mg dan pH berkisar 6,0 -
8,2 (makin dalam makin alkalis). Sifat lain dari tanah ini adalah kadar
asam fosfat yang rendah, grumusol muda mengandung abu vulkanik
atau sisa-sisa batuan yang kaya akan fosfat. Kekurangan bahan
organik yang dikandung juga mengakibatkan kurang N dalam tanah.
Walaupun ada beberapa kekurangan, tetapi dengan mengatur
drainase, irigasi dan pengolahan tanah disertai pemupukan bahan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 133

organik, maka sifat-sifat fisik, kimiawi, dan biologi tanah dapat


diperbaiki. Sehingga, jenis tanah ini dapat ditanami dengan beberapa
jenis tanaman. Hal ini, tentu saja dapat memberikan serta
meningkatkan hasil kapas, padi, tebu dan berbagai macam tanaman
perdagangan dataran rendah yang cukup baik.

6.1.4.3 Andosol (Intrazonal)


Istilah Andosol berasal dari kata Jepang Ando yang berarti ―hitam‖
atau ―kelam‖. Tanah Andosol mengandung bahan organik dan liat tipe
amorf, terutama alofan serta sedikit silika, alumina atau hidroksida
besi. Tanah ini tersebar di daerah vulkanik gunung berapi seperti
Indonesia, Jepang, Fhilipina, Papua Nugini, Selandia Baru, Pantai
Barat Amerika Selatan, Amerika Tengah, Kepulauan Hawaii sampai
Alaska.
Andosol mengandung bahan organik yang jauh lebih besar dari
pada tanah non-vulkanik, hal ini karena dekomposisi bahan organik
dalam Andosol terhambat oleh hidroxida alumunium yang amorf.
Andosol digolongkan ke dalam ordo Intrazonal karena bahan induk
(abu vulkanik) lebih berpengaruh daripada faktor-faktor pedogenik
seperti iklim dan vegetasi.
Akhirnya disimpulkan bahwa jenis tanah Andosol mempunyai
sifat fisik yang baik berupa: daya ikat air yang sangat tinggi, selalu
jenuh air jika tertutup vegetasi, sangat gembur tetapi mempunyai
derajat ketahanan struktur yang tinggi sehingga mudah diolah,
permeabilitas sangat tinggi karena mengandung banyak makropori.
Jika dikelola dengan baik tanah Andosol merupakan tanah yang
terbaik untuk tanaman kopi, sayur-sayuran dan hortikultura. Tanah ini
terbentuk pada ketinggian 300 m dpl sampai lebih dan 2500 m dpl
dengan iklim atau curah hujan 2 - 5 bulan kering dan 10 - 7 bulan
basah.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 134

6.1.4.4 Tanah Azonal


Tanah azonal merupakan tanah yang tidak memiliki horizon B,
horizon A yang tipis dan hanya dibedakan dari lapisan horizon C,
termasuk ke dalamnya: (1) Litosol, tanah paling muda, sehingga bahan
induknya dangkal (<45 cm). Tanah Litosol belum mengalami
perkembangan. Tanah ini banyak terdapat di daerah pegunungan
kapur di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Nusa Tenggara dan juga
di Sumatera. Tanah Litosol biasanya terdapat di puncak gunung, tanah
tidak subur dan mudah tererosi, bahan induknya berasal dari hasil
pelapukan; (2) Regosol, tanah muda yang dapat dibedakan
berdasarkan bahan induknya yaitu: Regosol Abu Vulkanik, Regosol
Bukit pasir dan Regosol Batuan Sedimen dengan topografi bukit
lipatan napal. Ciri khas dari tanah ini sangat mobil, mudah, tererosi.
Pada dasarnya tanah ini kurang subur, kecuali jika dimasukkan
teknologi pemupukan dan bahan organik sebagai penambah unsur
hara; (3) Tanah Alluvial, meliputi lahan yang sering atau baru saja
mengalami banjir, sehingga dianggap tanah muda dan belum
mempunyai differensiasi horizon. Bahan yang diendapkan tidak jauh
dari sumbernya, makin jauh dari sumbernya butir yang diangkut
semakin halus.
Kesuburan tanah sangat tergantung dan bahan asalnya, dan
dianggap sebagai tanah subur sejak dahulu. Yang menjadi problem
adalah pengawasan tata-air termasuk perlindungan terhadap banjir,
irigasi dan drainase. Tekstur tanahnya sangat variabel baik vertikal
maupun horizontal, jika banyak mengandung liat maka tanahnya sukar
diolah dan menghambat drainase. Tanah Alluvial dapat ditanam padi
dan tebu dengan baik. Tanah ini pada umumnya terbentuk oleh
endapan air; (4) Tanah Organik (Histosol) biasanya disebut tanah
Gambut (Peat). Jenis tanah ini mengandung bahan organik sedemikian
banyaknya, sehingga tidak mengalami perkembangan profit ke arah
terbentuknya horizon yang berbeda, berwarna coklat kelam sampai
hitam, berkadar air tinggi dan bereaksi asam (pH 3 - 5). Tanah gambut
biasanya dibagi tiga golongan yaitu : Gambut Ombrogen (paling luas
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 135

di dunia) terbentuk dari sisa daun-daun/sisa hutan yang membusuk;


Gambut Topogen, terbentuk dalam depresi topografik di rawa-rawa
Indonesia, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi; Gambut
Pegunungan, hanya terbentuk di daerah yang tinggi dengan iklim
sedang, dan di Indonesia terdiri atas gambut hutan (Waldmoor Polak,
1933 dalam Darmawijaya, 1997).

6.1.4.5 Podzol
Tanah podzol, meluas di daerah hutan yang beriklim basah sedang,
terutama hemispir utara. Memiliki karakteristik dasar lapisan
berwarna abu-abu muda, bagian top soil bereaksi masam, dibentuk
dari bahan induk yang sangat berpasir, terbentuk jika Al dan Fe
tercuci, sehingga yang tertinggal hanya pasir kuarsa pada lapisan di
bawah top soil, akibat pencucian tinggi, maka Ca rendah dan tidak
subur.
Nama Podzol berasal dan bahasa Rusia yang artinya abu dan
kata zola, dan pod berarti pucat. Semua jenis tanah ini mengandung
abu-abu yang berwarna pucat. Menurut Mohr (1922) dalam
Darmawijaya (1997) iklim dan vegetasi di daerah tropika masih
memungkinkan timbulnya jenis tanah ini di pegunungan daerah tinggi,
seperti di daerah Dieng, meskipun dibantah oleh Senstius pada tahun
1930 dan disetujui pula oleh Mohr 1933. Tetapi dari beberapa
penyelidikan contoh-contoh tanah vulkan dari Jawa dan Philipina
dinyatakan bahwa proses podzolisasi terjadi di daerah iklim sedang,
meskipun profil tanahnya belum dapat dibandingkan.
Bahan induknya terdiri dan atas batu-lempung (shale) dan batu
pasir kuarsa bentukan zaman Jura, dan di sekitar telaga berubah akibat
proses peralihan menjadi batu lempung yang berbintik-bintik, schirt,
hornfels dan quarsir seperti terdapat di daerah Manokwari (Irian Jaya)
dengan tanaman pohon yang tinggi (13-16 m) seperti Podocarpus,
Dacrydium, Phyhloctadium spesies dengan tanaman bawah Sphagnum
dan macam-macam Musci.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 136

Selain di pegunungan tinggi Indonesia tanah Podzol juga


terdapat di dataran rendah yang oleh Hardon (1937) dinamakan
Padang Soils di daerah Luwai, Kutai (Kalimantan Timur) terletak
pada ketinggian 90 m dpl dan di Air Layang (Bangka) pada 10 meter
dpl dan tersusun atas pasir kuarsa dengan pertumbuhan tanaman yang
rendah (jarang). Iklimnya basah dengan suhu 26°C, curah hujan 2800-
3000 mm/tahun.

6.1.4.6 Tanah Hidromorfik Kelabu


Tanah Hidromorfik Kelabu bersama tanah Planosol, Glei-Humik, Glei
Humik rendah, Hidromorfik Kelabu, Podsolik Air Tanah, Latent Air
Tanah termasuk dalam golongan tanah Hidromorfik (Darmawijaya,
1997). Tanah Hidromorfik adalah tanah-tanah bergejala glei,
umumnya bersolum lebih dalam dengan warna kelabu atau kelabu
kuning, terdiri atas horizon-horizon yang lebih lengkap.
Konsep lain dari tanah ini adalah terdapat pada daerah
berdrainase jelek, pada musim hujan pori-pori tanah dipenuhi air
sehingga udara dalam pori tanah tersebut keluar, mengandung
konkresi-konkresi Mn dan Fe, sangat sesuai untuk persawahan irigasi.
Bahan induknya batuan asam, baik tuff maupun endapan. Terletak
pada ketinggian 0 - 300 m dpl dengan curah hujan antara 2500 - 3500
mm/tahun. Sifat umum dan tanah ini bertekstur loam (debu), liat
(clay) struktur gumpal, konsistensi teguh atau lekat, pH antara 4,5-6,0,
dengan demikian kesuburannya agak kurang dan banyak digunakan
untuk bahan batu bata dan genteng rumah.

6.1.4.7 Tanah Kalsiomorfik


Tersusun atas tanah-tanah kering atau lebih arid dari Rendzina. Tanah
ini meliputi tanah-tanah dimana Kalsium Karbonat terakumulasi
membentuk horizon yang nyata dan jelas. Konsep dari tanah
Kalsiomorfik adalah terbentuk dari batuan yang sangat berkapur, lebih
alkalis dan basanya tinggi, lebih stabil. Tanah ini banyak ditumbuhi
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 137

vegetasi rumput-rumputan yang pendek dan semak belukar, seperti


yang terdapat di daerah Amerika Serikat.
Di daerah gurun kering terbentuk dari bahan induk yang
mengandung kapur. Makin tinggi curah hujan makin terbatas bahan
induk yang sangat berkapur. Tanah ini berwarna cokelat keabuan
terang dan lambat laun akan menjadi kepucatan. Tanah ini umumnya
jarang terdapat di Indonesia (Darmawijaya, 1997).

6.1.4.8 Tanah Halomorfik


Terbentuk dari pelapukan batu-batuan yang melepaskan garam.
Fenomena yang terjadi di daerah dengan curah hujan tinggi garam-
garam dapat tercuci dengan sempurna jika dibandingkan dengan
daerah yang bercurah hujan rendah. Pada tanah yang permukaan
airnya tinggi, garam naik menuju permukaan tanah akibat aksi kapiler,
akibat evaporasi garam ini tersimpan di permukaan tanah sehingga
dapat terbentuk tanah garam (saline).
Tanah Garam adalah nama gabungan jenis-jenis tanah yang
hanya dibedakan atas tiga taraf evolusinya ialah : pada taraf pertama
tanah Solonchak, taraf kedua Solonetz dan taraf ketiga Solodi. Jenis-
jenis tanah ini tersebar sebagai tanah zonal di daerah kering (arid atau
semi arid), di Eropa terdapat di Perancis Selatan, Rumania, Rusia
Selatan dan Tenggara, di Asia dan Siberia ke Mongolia. Di Afrika
terdapat sepanjang pantai Utara, di Asia terutama bagian Timur dan di
Australia terdapat di Utara dan Tengah.
Di Indonesia tanah ini terdapat di Nusa Tenggara terutama di
Timer, dengan vegetasi utama Halophita. Garam-garam ini berbentuk
material yang sedang berkembang yang terdiri atas garam-garam
sulfat, klorida, karbonat, natrium, magnesium atau kalsium. Warna
klorida dan sulfat umumnya putih, sedangkan karbonat dan natrium
hitam. Warna hitam juga disebabkan oleh percampuran garam alkali
dan bahan organik.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 138

6.1.5 Bahan Organik dan Hara Tanah


6.1.5.1 Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah termasuk sisa-sisa tumbuhan dan bangkai hewan,
bersama-sama dengan jasad mikro yang terdapat dalam tanah. Bahan
nabati terdekomposisi menjadi sumber bahan organik terbesar, akar-
akar serta sisa-sisa organ yang terdapat dalam tanah terserang oleh
jasad renik. Daun serta kayu yang tetap di permukaan akan
terdekomposisi lebih lambat. Proses dekomposisi ini memerlukan O2,
yang memberikan pengaruh terhadap laju dekomposisi. Berbagai
tahap perombakan bahan organik mulai dari akar hidup dan jasad
renik pada jaringannya sampai komplek ligno-protein yang lazimnya
disebut humifikasi.
Berdasarkan tingkat perombakannya bahan organik dibagi
menjadi tiga (Kononova, 1966) yaitu:
 Fibrist (lembaran), bahan organik yang belum mengalami
dekomposisi sehingga masih dapat diketahui asal bahan
organik tersebut (misal dari akar, daun, ranting dan
sebagainya).
 Hemist, bahan organik yang mengalami dekomposisi lebih
lanjut dari fibrist.
 Saprist, bahan organik yang telah mengalami dekomposisi
dengan sempurna sehingga bentuk asal bahan organik tidak
dapat dikenal lagi.
Di dalam hutan organik yang berasal dari daun kayu, bagian
kayu-kayu yang mati, hewan yang mati dirombak oleh organisme
menjadi humus, khusus di daerah tropis proses pembusukan tersebut
lebih cepat terjadi. Proses perombakan bahan organik dalam tanah
terjadi secara bertahap, antara lain:
 Humifikasi, yaitu perubahan bahan organik menjadi humus.
 Mineralisasi, yaitu proses pembebasan unsur-unsur mineral
dalam penguraian bahan organik. Biasanya yang
dibebaskan/lepaskan adalah sejumlah hara, CO2, dan Air.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 139

Proses ini lebih cepat terjadi di daerah tropis karena daerah


tropis mempunyai kelembaban yang tinggi.
Humus yang terbentuk biasanya mempunyai karakteristik
lengket, warna coklat kehitaman, merupakan campuran substansi yang
tidak berbentuk (amorf), bersifat koloidal, asam, dapat meningkatkan
adsorbsi air oleh tanah, membantu pengikatan partikel tanah sehingga
tanah remah, dapat meningkatkan sirkulasi udara dan air dalam tanah.
Jumlah humus dalam tanah sangat tergantung kepada kecepatan
mineralisasi dan dekomposisi.
Kandungan bahan organik tanah biasanya diukur berdasarkan
kandungan C-organik, dengan konversi C organik menjadi bahan
organik tanah = % C-organik X 1,724. Kandungan bahan organik
tanah dengan metode Walkley & Black (pembakaran basah),
ditentukan berdasarkan kandungan C-organik, dan menghasilkan
kriteria sebagai berikut:
 <0,5 % = rendah
 0,5 - 1 % = sedang - rendah
 1 - 2% = sedang
 2- 4% = tinggi
 4-8% = berlebihan
 8 - 15 % = sangat berlebihan
 > 15 % = gambut
Bahan organik tanah menentukan nilai kesuburan tanah. Hasil
dekomposisi yang berupa unsur hara diserap oleh tanaman untuk
pertumbuhannya baik pada tanah ‗dibiarkan‘ maupun tanah yang
dibudidayakan. Jika tanaman ini mati akan menjadi bahan organik
lagi, sehingga akan terjadi siklus bahan organik dengan bantuan jasad
renik atau mikroba tanah.
Pengaruh bahan organik tanah terhadap tanah meliputi pengaruh
terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
 Terhadap sifat fisik tanah:
- sebagai sementasi pembentukkan agregat tanah
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 140

- cenderung memberi warna tanah merah kehitaman


- meningkatkan kemampuan mengikat air
- meningkatkan porositas tanah
- memperbaiki struktur tanah
 Terhadap sifat kimia tanah
- menurunkan pH tanah
- meningkatkan KPK tanah
- meningkatkan unsur hara yang ada di dalam tanah
 Terhadap sifat biologi tanah
Bahan organik tanah merupakan sumber energi maupun
makanan bagi mikrobia tanah. Dengan meningkatnya
kandungan bahan organik tanah akan meningkatkan populasi
dan aktivitas metabolik mikroorganisme tanah.

6.1.6 Hara Tanah


Berdasarkan kebutuhan secara kuantitatif unsur hara tanaman dapat
dipisahkan kepada tiga kelompok:
(1) Hara Makro, sebagai unsur hara yang konsentrasinya dalam
jaringan tanaman lebih besar atau sama dengan 0,1% dari berat
kering. Termasuk ke dalam unsur makro ini adalah : (C, H, 0), N,
P, K, Ca, Mg, S dan (Na, Si). Unsur-unsur ini biasanya
dinyatakan dalam persen.
(2) Hara Mikro, merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman
dalam jumlah relatif sedikit. Biasanya konsentrasinya dalam
jaringan tanaman lebih kecil atau sama dengan 0,01% (100 ppm).
Termasuk ke dalam unsur ini adalah Fe, Mn, Zn, Cu, Mo, B, Cl,
(Co).
(3) Unsur-unsur Toksit (beracun), unsur ini dapat memberikan efek
meracuni tanaman dan sebagai limbah industri. Misalnya Fe, Mn,
Cu, B, Zn dapat meracuni tanaman apabila berlebihan. F, Al, Ni,
Pb, Cd sering ditemukan dalam limbah industri. I, Br, Cr, Se juga
dapat meracuni tanaman.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 141

Unsur C, H, O diperoleh dari udara dan air, sedangkan unsur


yang lain diperoleh dengan cara di absorbsi dari tanah. Semua unsur
hara tanaman ada dalam bahan induk kecuali N. N difiksasi oleh petir
dan diturunkan dari udara oleh hujan. Tanaman yang berakar dalam
mampu mengabsorbsi hara yang tercuci di lapisan bawah. Kemudian
hara ini dimanfaatkan dan selanjutnya disimpan dipermukaan tanah.
Jika daun atau tanaman tersebut mati dapat meningkatkan
ketersediaan hara bagi tanaman berakar dangkal di sekitarnya. Ada
juga beberapa tanaman secara langsung sanggup mengabsorbsi hara
dan bahan organik yang melapuk dengan cara asosiasi akar dengan
fungi mikoriza.
Ketersediaan unsur hara dalam tanah sangat tergantung pada
faktor pH tanah, agregasi tanah, serta bahan induk tanah. Korelasi
tersebut dapat dicontohkan : Ca (Kalsium) pada tanah merah Latosol
rendah dan pada tanah Vertisol tinggi, P pada tanah di daerah tropis
sangat sedikit tersedia, karena pada pH rendah (asam) P diikat oleh Al
dan Fe, sedang jika pH tinggi (basa) P diikat kuat oleh Ca.
Unsur hara mikro sering sekali terjadi kekurangan dalam bahan
induk, seperti kurangnya Zn dan Cu, serta bahan organik yang kurang
pada tanah berpasir dan kelebihan pada tanah salin gersang
kadangkala menyebabkan keracunan bagi tanaman. Beberapa tanaman
dapat tumbuh dan beradaptasi pada tanah yang kelebihan unsur-unsur
beracun. Tanaman ini dikenal dengan sebutan Akumulator, misalnya:
Rubiaceae dan Melastomaceae toleran pada keracunan Al, Astragulus
dengan unsur Selenium, Buchnenacuprioda dan Guttenbergia
cuprioda serta Bewcium homblei dengan Cu, Mechoria grandiflora
dengan unsur Mn.
Akar tanaman sangat selektif mengabsorbsi hara, seringkali
dalam tanah, tingkat konsentrasinya berlawanan. Sebagai contoh K
dalam tanah rendah, Sodium tinggi, tetapi tanaman tetap
mengabsorbsi K lebih banyak. Fenomena lainnya, proses pertukaran
nitrat menjadi bikarbonat terjadi pada permukaan akar, nitrat dibawa
menuju daun oleh sistem transpirasi, selanjutnya terbentuk asam
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 142

organik selama proses metabolisme. Kemudian semua organik ini


diangkut akar melalui floem, dan dirubah kembali menjadi bikarbonat
sehingga siklusnya tetap terjaga. Untuk mempertahankan kenetralan
ion-ion diangkut bersama-sama dengan kalium.
Unsur-unsur hara didalam tanah dapat dijumpai dalam berbagai
bentuk. Unsur hara makro seperti N, P, dan K di dalam tanah dapat
dijumpai sebagai bentuk mineral, senyawa organik maupun bentuk ion
yang dapat diabsorbsi oleh tanaman (Tabel 6.3). Komposisi jumlah
hara yang ditambah sangat tergantung pada status hara tersebut, jenis
tanaman dan jenis/keadaan tanah agar tercapainya sasaran dan tujuan
yang diinginkan.

6.1.7 Keasaman dan Kebasaan Tanah


Keasaman dan kebasaan tanah ditentukan oleh ion H+ dalam larutan
tanah, dengan petunjuk asam atau basa yaitu pH atau dengar kata lain
tanah asam pHnya rendah dan tanah basa pH-nya tinggi. pH
didefinisikan sebagai nilai logaritme negatif dari ion H+. Nilai netral
secara kimia tanah merupakan kondisi terbaik bagi tanaman, biasanya
berkisar 6,5-7,0 (Notohadiprawiro dan Hastuti, 1978).

Tabel 6.3 Hara, Bentuknya dalam Tanah, Ion yang Diabsorbsi Tanaman dan Gejala
Kekurangan Hara
Bentuk dalam
Hara Ion diabsorbsi Gejala Kekurangan
Tanah
N Senyawa organic NO3 (Nitrat) Pertumbuhan biasanya terganggu,
daun kuning/ kemerahan
P Senyawa Organik H2PO4 dan Terlambat berbunga, pengurangan
dan P-in organic HPO4 pertumbuhan dan daun berwarna
gelap
K Mineral liat K+ Pucuk dan tepi daun klorosis,
menganggu keseimbangan air, akar-
akar busuk.
Sumber: Vickery (1984)

Penetapan pH pada umumnya dikenal dengan dua cara:


(1) pH H20 (pH aktual), merupakan indikasi banyaknya ion H+ dalam
larutan tanah.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 143

(2) pH KCI (pH potensial), menyatakan jumlah ion H+ dalam larutan


tanah maupun ion H+ yang terdapat dalam komplek jerapan.

Semakin banyak ion H+ yang terdapat dalam tanah atau yang


tertukar berarti pH tanah semakin kecil. Oleh karena itu di dalam
pengukuran umumnya didapatkan pH KCl < pH H2O, karena dengan
menggunakan KCl maka ion H+ yang terjerap dalam tanah akan
terlepas karena terdesak oleh ion K sehingga ion H+ yang tertukar
akan lebih kecil.
Untuk mengukur pH biasanya menggunakan dua metode yaitu:
(1) Kolorimetri dengan indikator warna kertas pH
(2) Elektrometrik dengan pH meter (glass elektrode) di laboratorium.
Pada umumnya pH yang lebih dari 7 menunjukkan adanya
karbonat Ca atau Mg yang bebas. Tanah dengan pH 8,5 hampir selalu
ada Na yang dapat ditukarkan. Tanah biasanya memiliki pH. 3 - 8,
dimana tanah-tanah yang memiliki pH di luar 5 - 7 biasanya
kekurangan hara. Tanah asam umumnya kekurangan Ca, Mg, dan K
demikian juga dengan N yang rendah akibat bakteri pemfiksasi N
tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa tersedia Ca.
Unsur P dan Mo juga sedikit tersedia pada tanah asam,
sementara peningkatan konsentrasi Al, Fe dan Mn dan beberapa
senyawa logam lainnya dapat menimbulkan keracunan bagi tanaman.
Pada tanah alkalin (basa) adanya Ca dapat mempengaruhi terhadap
peningkatan agregasi tanah, aerasi dan aliran air dalam tanah, Ca juga
dibutuhkan bakteri pemfiksasi N dan merubah amoniak menjadi nitrat.
Tanaman-tanaman yang beradaptasi dengan baik pada pH
ekstrim dikenal dengan sebutan Calcicoles (menyukai Ca) dan
Calcifuges (tidak suka Ca). Calcicoles membutuhkan Ca dalam
konsentrasi tinggi dan tidak toleran terhadap Al dalam tanah yang ber
pH rendah. Sedang Calcifuges membutuhkan Ca dalam jumlah sedikit
dan dapat toleran terhadap Al, tetapi jika konsentrasi Ca tinggi dapat
menyebabkan keracunan baginya. Tanaman Calcicoles dan Calcifuges
dapat hidup berdampingan karena bentuk akar dari dua toleran yang
berbeda terhadap pH tanah. Beberapa tanah yang mengalami curah
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 144

hujan merata atau sedikit memberikan pengaruh pada pH dalam tanah.


Pada tanah top soil yang asam dan horizon bawah yang basa, Ca
mengalami pencucian ke lapisan bawah sehingga tanaman Calcicales
dan Calcifuges dapat hidup berdampingan. Hal ini disebabkan
tanaman Calcicoles mempunyai perakaran yang dalam dan tanaman
Calcifuges mempunyai perakaran yang dangkal atau yang satu toleran
pada tanah asam dan yang lain pada tanah basa.
Klasifikasi pH tanah menurut Soil Survey Manual, USDA
(1985) dengan tinjauan pH H20 terdapat pada Tabel 6.4.

Tabel 6.4 Klasifikasi Tanah dan pH (H20) menurut Soil Survey Manual, USDA
(1985)
Tanah Nilai pH (H2O) Tanah Nilai pH (F120)
Asam luar biasa <4,5 Netral 6,6 - 7,3
Asam sangat kuat 4,5 - 5,0 Agak alkalin 7,4 - 7,8
Asam kuat 5,1- 5,5 Alkalin sedang 7,9 - 8,4
Asam sedang 5,6 - 6,0 Alkalin kuat 8,5 - 9,0
Agak asam 6,1 - 6,5 Alkalin sangat kuat >9 -
Sumber: United State Department of Agriculture (1985)

6.2 Hubungan Tanaman dengan Air


Air sangat penting bagi tanaman, seperti halnya untuk semua makhluk
hidup lainnya (Gambar 6.3). Di dalam sel tanaman mengandung 90%
air dan hanya sedikit tanaman yang selnya mengandung 40% air. Air
merupakan salah satu bahan baku fotosintesis, dan juga sebagai
medium hara yang diserap tanaman. Air pelarut universal dan akan
melarutkan semua senyawa yang diperlukan tanaman, sehingga
tanaman dapat menyerap hara melalui akarnya dan dapat
ditransportasikan di dalam tubuh tanaman. Air juga sebagai media
tempat berlangsungnya reaksi kimia, terutama dalam tanaman.
Sifat fisik air penting bagi tanaman untuk menjaga turgiditas sel
yang sangat penting bagi fungsinya, khususnya untuk berlangsungnya
fotosintesis. Air juga dapat menyerap panas sehingga dapat mengatur
temperatur agar tidak naik secara tajam, sehingga reaksi biokimia
berlangsung dalam kondisi yang seragam.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 145

Kebanyakan tanaman di daratan mendapatkan air dari tanah,


walaupun sebagian kecil penyerapan berlangsung melalui daun dan
bagian tanaman lainnya. Akan tetapi beberapa tumbuhan lumut,
lichens dan algae mendapatkan air secara langsung dari udara dan
mampu hidup pada kondisi yang sangat kering. Air tanaman terdapat
dalam beberapa bentuk terikat secara umum sebagai komponen
protoplasma, disimpan dalam vakuola sebagai air hidrasi.

Gambar 6.3 Air sangat penting bagi tanaman, seperti halnya untuk semua makhluk
hidup lainnya (Foto: Dreamstime, 2011).

Air hidrasi terdiri dan molekul-molekul air yang terikat pada


ion-ion dan molekul organik oleh daya elektrostatik. Air hidrasi sangat
sukar dihilangkan dan sangat penting untuk kehidupan, jumlahnya
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 146

antara 5 - 10 % dari total air sel. Uap air di udara baik yang tampak
maupun yang tidak tampak sangat penting untuk tanaman.
Vickery (1984) mengajukan konsep tanaman dan air tidak
terlepas dari pengkajian pada berbagai aspek seperti siklus hidrologi,
gunanya uap air bagi tanaman, tanaman poikilohidrik dan
homolohidrik, kekuatan evaporasi udara, evapotranspirasi, neraca air,
layu sementara dan layu permanen, air tanah, dan klasifikasi tanaman
berdasarkan kebutuhan air.

6.2.1 Siklus Hidrologi


Air masuk ke tanah dalam bentuk hujan, embun, atau kabut dan es.
Hilang dari tanah melalui proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi
langsung dari tanah yang tertutup vegetasi lebih kecil dibandingkan
dengan air hilang oleh proses transpirasi. Oleh karena itu tanaman
memiliki peranan penting dalam siklus hidrologi.
Yang dimaksud dengan siklus hidrologi adalah sirkulasi air dari
lautan sampai ke udara dan kembali ke lautan, yang dalam siklus ini
terdapat gabungan dari evaporasi, transpirasi, pergerakan massa udara
dan kondensasi - pergerakan air tanah (Kartaspoetra, 1986). Evaporasi
adalah penguapan dari laut, tanaman melakukan pula penguapan
(transpirasi), yang kemudian uap-uap air tersebut melakukan
pembentukan awan serta pengembunan di udara (kondensasi) dan
pada akhirnya menimbulkan hujan (presipitasi) dan apabila terlalu
berat turunlah hujan. Air hujan ada yang jatuh lagi ke laut, sedang
yang jatuh ke daratan meresap ke dalam tanah (infiltrasi), air dalam
tanah sebagian diserap oleh akar-akar tanaman dan sebagian lagi
membentuk mata air mata air, akhirnya karena pengaruh radiasi
matahari terjadi lagi penguapan-penguapan, demikian terjadinya siklus
hidrologi. Pergerakan air dalam tanah disebut perkolasi, sedang aliran
air di permukaan tanah disebut run off.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 147

6.2.2 Presipitasi
Uap air dapat berpresipitasi dalam berbagai cara yaitu hujan, salju,
hujan es batu (terjadi pada siang hari), embun dan tetesan kabut (mist
droplet). Salju dan hujan es batu terdapat pada daerah tropis yang
sangat tinggi altitudenya dan vegetasi yang terbentuk sedikit sekali.
Hujan pada tengah hari dapat membahayakan tanaman, terutama bila
bersamaan dengan guntur dan kilat. Oleh karena kejadiannya sangat
singkat, maka kontribusinya sangat sedikit untuk mengisi air tanah.
Hujan penting pengaruhnya terhadap tipe vegetasi yang ditemui di
daerah tropis. Curah hujan tahunan sangat bervariasi mulai dan < 100
mm pada daerah gurun sampai dengan lebih dan 10.000 mm pada
hutan hujan tropis. Daerah di ekuator tidak memiliki musim kering.
Pada 23,5 LS dan LU terdapat satu kali musim kering yang panjang
dan satu kali musim basah yang panjang.
Pengaruh hujan musiman dengan tipe vegetasi biasanya pada
daerah sub-tropis banyak terdapat hutan gugur daun/decidous, sedang
pada daerah tropis banyak terdapat hutan evergreen, tanaman rendah
tetap hijau karena kelembaban. Sebagian tanaman tumbuh di daerah
yang musim kering yang panjang. Rumput sangat adaptif terhadap
musim kering dan tumbuh subur pada saat air tersedia. Seterusnya
mati saat periode kering. Hanya akar-akar yang tetap tumbuh dan
dorman hingga hujan berikutnya. Ada juga pohon-pohon yang tidak
dapat menyerap air secara efisien. Pada pohon evergreen yang tumbuh
di habitat arid, air selalu tersedia bagi tanaman karena akarnya
berpenetrasi sangat dalam.

6.2.2.1 Curah Hujan Efektif

Secara umum vegetasi savana, curah hujan < 2000 mm/tahun, gurun <
250 mm/th. Curah hujan total kurang penting dibandingkan dengan
jumlah bulan kering dan tersedia bagi tanaman. Jumlah curah hujan
aktual yang tersedia bagi tanaman disebut curah hujan efektif. Atau
formulasinya : PE = R — Ea — Es — Ep — O — G, dimana PE =
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 148

curah hujan efektif, R = curah hujan, Ea = evaporasi saat hujan jatuh,


Es = evaporasi dari permukaan tanah, Ep = evaporasi dari permukaan
tanaman, 0 = run off dan G = air gravitasi.

6.2.2.2 Kelembaban

Yang dimaksud dengan kelembaban yaitu banyaknya kadar uap air


yang ada di udara dan tanah, dengan istilah yang dikenal kelembaban
mutlak yang dinyatakan dalam g/m, kelembaban spesifik yang
dinyatakan dalam g/kg, kelembaban relatif yang dinyatakan dalam %.
Angka kelembaban relatif dari 0 - 100%, dimana 0% artinya udara
kering dan 100 % artinya udara jenuh dengan uap air dimana akan
terjadi titik-titik.
Kelembaban sering juga diartikan dengan air tak tampak, dan
sering diformulasikan RH = H/Htp X 100°h, dimana H = jumlah air
aktual di udara, Htp = maksimum kadar air pada temperatur tertentu.
Pada umumnya kelembaban di hutan hujan tropis bisa mencapai 100%
dan daerah gurun lebih kecil atau sama dengan 10%.

6.2.2.3 Keawanan
Awan merupakan kumpulan titik-titik air yang demikian banyak
jumlahnya dan terletak pada titik kondensasi serta melayang-layang
tinggi di udara. Uap air tampak dapat berbentuk awan, tetesan kabut,
embun yang terjadi pada temperatur di bawah titik beku. Awan
terletak jauh dari permukaan tanah. Kabut dan embun berada
dipermukaan bumi, yang sangat cepat bila matahari bersinar.

6.2.3 Kegunaan Uap Air untuk Tanaman

Uap air tampak dan tidak tampak, berpengaruh terhadap tanaman


dalam berbagai cara. Dapat berpengaruh terhadap pengurangan
fotosintesis dan transpirasi sehingga tanaman secara terus menerus di
bawah kondisi berembun, akan tumbuh pendek dibandingkan dengan
tanaman yang tumbuh pada kondisi berkabut sekali-kati.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 149

Bilamana kabut menyentuh daun-daun tanaman, air tersebut


dapat diabsorbsi secara langsung oleh tanaman, terutama di daerah-
daerah kurang hujan seperti di Peru. Sebagian air tersebut jatuh ke
permukaan tanah melalui daun sehingga dapat mengisi air tanah,
seperti pada hutan-hutan yang banyak awan. Walaupun kebanyakan
tanaman tingkat tinggi memperoleh air melalui presipitasi, akan tetapi
lumut dan lichens dapat menyerap langsung air dari udara yang
berkelembaban tinggi. Anggrek dan famili Bromeliaceae dapat
menyerap air secara langsung dari udara bila kelembaban > 85%, ada
juga tanaman gurun yang demikian.
a. Tanaman Poikilohidrik dan Homoiohidrik.

Berdasarkan kandungan air dalam sel, tanaman dibagi dua tipe yaitu:
(1) Poikilohidrik adalah tanaman yang mempunyai sel-sel kecil tanpa
vakuola tengah. Kandungan airnya tergantung pada kelembaban
lingkungan. Tanaman ini termasuk bakteri, algae biru hijau,
lichens dan jamur. Kelembaban yang dibutuhkan tergantung
spesies; 95% (bakteri tanah), 60% (fungi). Pada tumbuhan tinggi
terdapat pada serbuk sari dan embrio biji;
(2) Homoiohidrik yaitu tanaman yang merupakan sel-sel besar dan
memiliki vakuola besar untuk menyimpan air. Tanaman ini
mempunyai pelindung seperti kutikula untuk mengurangi air
hilang bila kelembaban rendah.

b. Kekuatan Evaporasi Udara

Jumlah air yang dapat diserap oleh udara disebut kekuatan evaporasi
udara. Kekuatan evaporasi udara ditentukan oleh temperatur, angin
dan kelembaban udara. Kekuatan evaporasi udara mempengaruhi
transpirasi dan air tanah. Saat sinar matahari cerah, air yang hilang
melalui evaporasi tanah basah lebih cepat dibandingkan dengan
permukaan air dibandingkan air, seperti danau. Oleh karena itu air
yang tidak meresap secara cepat ke dalam tanah hanya tersedia bagi
tanaman pada waktu yang sangat singkat.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 150

c. Transpirasi

Lebih dari 98% air yang diserap oleh tanaman hilang ke udara melalui
proses yang disebut transpirasi. Terjadi melalui stomata tempat keluar
masuknya O2 dan CO2 juga H2O. Keluarnya air yang terus menerus
melalui stomata tanaman disebut arus transpirasi, yang menyebabkan
mineral/hara dapat diangkut dari akar ke bagian atas tanaman. Daun-
daun yang terpapar langsung oleh matahari akan mati bila tidak
didinginkan. Oleh karena itu transpirasi merupakan mekanisme
pendinginan yang sangat penting.
Laju transpirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
kekuatan evaporasi udara, perbedaan temperatur antara permukaan
daun dan udara, kandungan air jaringan daun, respon sel penjaga
terhadap cahaya, dan seringnya pembukaan stomata.

d. Evapotranspirasi

Kombinasi proses evaporasi dan transpirasi disebut evapotranspirasi.


Laju evapotranspirasi tergantung pada temperatur, kelembaban,
kecepatan angin dan panjang gelombang cahaya.

e. Neraca Air

Tanaman dapat digambarkan sebagai medium perantara air, tanah dan


udara. Keadaan aktual hidrasi disebut Neraca Air, yang didefenisikan
WB = A - T, dimana WB = neraca air, A = air yang diserap tanaman,
T = air yang ditranspirasikan.
Pinus mempunyai daya transpirasi yang rendah bila
dibandingkan pohon-pohon lain. Secara umum pada siang hari neraca
air menjadi negatif turgor sehingga tanaman nampak layu, sedangkan
malam hari neraca air jadi positif , sehingga terjadilah guttasi, yaitu
keluarnya air melalui pori-pori daun hingga terbentuknya bintik-bintik
air pada permukaan air.
Karakteristik tanaman yang tumbuh pada kondisi kekurangan air
dibandingkan dengan yang tumbuh pada kondisi air yang cukup yaitu:
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 151

 Berkurangnya bagian atas tanaman


 Meningkatnya ukuran sistem perakaran
 Sel-sel daun lebih kecil, yang menyebabkan daun berukuran
lebih kecil dan tebal serta stomata tertutup secara bersama-
sama
 Kutikula dan dinding sel menebal
 Rongga interseluler mengecil
 Sel-sel xylem mengecil
Tanaman-tanaman yang memiliki karakteristik tersebut di atas
disebut Xeromorpik. Sebagai contoh sorghum lebih tahan kekeringan
daripada jagung.

6.2.4 Layu Sementara dan Permanen

Layu sementara merupakan fenomena umum di daerah tropis yang


disebabkan oleh keseimbangan air tanaman berada pada kondisi
negatif di siang hari. Bersama dengan itu stomata juga tertutup
sehingga fotosintesis menjadi terhambat. Untuk mengurangi hal
tersebut tanaman pelindung diperlukan seperti pada kopi dan kakao,
sehingga mengurangi penguapan.
Bilamana air tersedia tidak cukup bagi tanaman dan tanaman
mengalami penyinaran/paparan sinar matahari yang terus menerus
selama siang hari akan terjadi layu permanen. Pohon-pohon dari
kelompok annual mati dalam dua minggu, tetapi perennial menjadi
hidup walaupun bagian akar tanaman mati. Rumput-rumputan paling
tahan terhadap layu permanen.

6.2.5 Konstanta Air Tanah dan Tipe Air Tanah

a. Konstanta Air Tanah

Konstanta air tanah termasuk kapasitas lapang dan persentase layu


permanen. Kapasitas lapang adalah jumlah air yang tetap dalam tanah
setelah air gravitasi kering. Keadaan itu adalah jumlah maksimum air
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 152

yang dipegang sebagian bila di dalam pori-pori tanah dan tidak kontak
dengan permukaan air tanah. Bila air berada di bawah kapasitas
lapang, maka tidak ada lagi pergerakan air ke atas dari air kapiler, oleh
karena itu akar harus mencari air yang diperlukan dengan sistem
perakaran yang berbeda baik di tanah basah dan tanah kering.
Persentase layu permanen pada tanah liat lebih tinggi
dibandingkan dengan tanah pasir. Sejumlah tanaman mampu
menyerap air dalam kondisi di bawah titik layu permanen karena
tingginya konsentrasi larutan dalam cairan selnya. Tanaman algae
tahan kering >50 tahun dan benih tanaman gurun dapat hidup
beberapa tahun.

b. Tipe Air Tanah

Tipe air tanah ada tiga yaitu air gravitasi, air kapiler dan air
higroskopis.

1. Air Gravitasi

Hujan-irigasi-tanah jenuh, air lebih bergerak ke bawah oleh adanya


gravitasi disebut air gravitasi. Bila air gravitasi telah mencapai tanah
yang telah jenuh air secara permanen, disebut water table, yang
biasanya terletak di atas bebatuan. Jika air bergerak horizontal, hingga
ke tempat yang rendah dan tertinggal di kolam-kolam danau dan lain-
lainnya atau mengalir ke sungai-sungai. Water table dipengaruhi
vegetasi penutup. Vegetasi yang padat dan transpirasi tinggi akan
membuat water table menjadi dalam. Daerah-daerah yang tumbuh
pohon besar-besar dapat mengakibatkan air permukaan (water table)
menjadi sangat dalam, sehingga vegetasi yang berakar dangkal tidak
dapat survive (bertahan).

2. Air Kapiler

Air yang terletak dalam pori-pori di antara partikel-partikel tanah


setelah air gravitasi berlalu, disebut air kapiler. Air tersebut tidak
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 153

bergerak ke bawah disebabkan oleh adanya daya kapilaritas sehingga


bergerak ke atas melawan gravitasi. Pergerakan air kapiler tergantung
pada struktur, tekstur dan temperatur tanah dan ketebalan filus air
dalam pori-pori. Daerah yang selalu lembab atau sedikit di atas water
table disebut capillary fringe (Jari-jari kapiler).
Tanaman yang airnya diperoleh dan jari-jari kapiler, dapat
bertahan hidup lama dan menghasilkan biji setiap tahun. Pada saat biji
berkecambah, tanaman harus di irigasi sampai dengan akarnya
mencapai jari-jari kapiler, contohnya alfalfa. Tanaman di pinggir
sungai transpirasinya tinggi berperan dalam pencegahan erosi dan
banjir.

3. Air Higrokopis

Air yang terikat kuat pada partikel-partikel tanah disebut air


higroskopis. Air tersebut tersedia bagi tanaman. Air tersebut terjadi
akibat evaporasi dan penyerapan air oleh akar tanaman secara terus-
menerus.
Khusus pada tanah dengan kondisi air banyak (tanah
tergenang/rawa) pada kondisi an-aerob di mana nitrat dan sulfat
direduksi dan dinitrifikasi merupakan bagian dari siklus O 2. Tanaman
yang hidup pada kondisi tergenang adalah padi dengan jaringan
aerencym, akar padi mengeluarkan enzim katalase untuk bakteri
Beggiatoa sehingga dapat merubah H2S menjadi ion-ion sulfur, dan
terjadi asosiasi mutualistis.

6.2.6 Klasifikasi Tanaman Menurut Kebutuhan Terhadap Air

Berdasarkan kebutuhan air tanaman dapat dibedakan menjadi


(1) Hidropita = tanaman yang hidup dalam air
(2) Helopita = tanaman yang tumbuh pada tanah tergenang/ rawa
(3) Mesopita = tanaman yang toleran teradap kurang atau berlebihan
air
(4) Xeropita = tanaman yang beradaptasi dengan habitat kering
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 154

(5) Halopita = tanaman yang hidup pada tanah garam/salin.

a. Hidropita

Hidropita dapat dibedakan dan dikelompokkan atas:


(1) Hidropita terapung, seperti enceng gondok dan bersinggungan
langsung antara udara dan air dan tidak dengan tanah
(2) Hidropita tersuspensi (duckweed -lemma) hanya kontak dengan air
(3) Hidropita submerge, kontak dengan tanah dan tidak dengan udara
(4) Hidropita anchored (pondmeed-petamozeton) = terapung/ menjalar
(5) Hidropita daun terapung (lili air = Nymphaea), kontak dengan air,
udara, dan tanah.

b. Helopita

Contoh dari helopita adalah padi (Oryza sativa) dan bakau/ mangrove
(Rhizopora dan Avicennia). Tanaman ini sangat adaptif pada kondisi
berkurangnya air pada saat-saat tertentu, seperti mendekati panen pada
padi dan terjadinya air surut pada rawa bakau.

c. Mesopita

Tanaman mesopita adalah tanaman yang hidup pada kondisi air yang
berkecukupan, mesopita sendiri berasal dari istilah ―mesophytes‖
artinya air tersedia dalam jumlah cukup atau dengan kata lain toleran
pada kondisi kurang air dan lebih air.

d. Xeropita

Kondisi air pada tanaman ini terbatas, harus memiliki periode kering,
selama periode tersebut daun-daunnya gugur dan dorman. Tanaman-
tanaman memiliki tuber, bulbs, corm, rhizoma dan lain-lain. Tidak
ada batasan yang jelas antara Mesopita dan Xeropita.
Terdapat tiga cara Xeropita menjaga keseimbangan air:
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 155

(1) Mengurangi air hilang, daun kecil-kecil, daun berbentuk jarum,


berduri, daun akasia, tanpa helaian daun, lapisan him dan tebal
(2) Meningkatkan penyerapan air, yaitu pada daun-daun berbulu dan
daun-daun bergulung (rumput-rumputan)
(3) Mengkonversi (menyimpan) air dalam jaringan tanaman.
Laju air hilang antara Xeropita dan Mesopita adalah sama bila air
tersedia. Anggota Xeropita dikenal dengan succulent, vakuolanya
menyimpan air, contoh pada akar (Ceiba parvifaha) batang
(Cactaecea = kaktus, Euphonbiaceae), atau daun (Agavaceae).
e. Halopita

Tanaman yang tumbuh pada tanah salin yang mengandung


konsentrasi ion-ion yang tinggi disebut Halopita. Contohnya adalah
famili Chenopodiaceae. Sel-sel tanaman halopita mengandung garam-
garam dalam konsentrasi yang lebih tinggi, sehingga terasa asin. Biji-
biji tanaman halopita berkecambah pada saat musim basah dimana
garam-garam lebih banyak tercuci. Mangrove, bijinya telah
berkecambah sebelum jatuh ke lumpur, yang dinamakan vivipary.

6.2.7 Air dan Pertumbuhan Tanaman

Ada tanaman yang dapat hidup pada musim basah dan ada tanaman
yang dapat hidup pada musim kering dan ada yang dapat hidup
dengan kondisi di antaranya. Seperti contoh tanaman jati (Tectonia
grandis) dan Terminaxa superla hidup pada musim basah, sedangkan
pada kondisi musim kering tanaman hidup dan cenderung
menggugurkan daunnya seperti pada Geopita (tumbuhan yang
memiliki bulbus, corm, atau tuber dalam tanah). Contoh lainya
tanaman kopi akan tiba-tiba berbunga 10 hari setelah hujan berat.
Mengingat pentingnya air bagi pertumbuhan tanaman maka
Muljanto (1997) membatasi kegunaan dan pentingnya air bagi
pertumbuhan tanaman adalah:
(1) Konstituen utama dan protoplasma (90 atau 95% dari berat
totalnya)
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 156

(2) Konstituen organik lain dalam tubuh tanaman seperti karbohidrat,


protein, asam nukleat, enzim dan lain-lain akan hilang sifat fisik
dan kimianya apabila tidak ada air
(3) Aktif dalam proses metabolisme
(4) Memacu laju respirasi
(5) Sumber atom H untuk mereduksi CO2 dalam proses fotosintesis
(6) Sebagai solvent dan pembawa (carrier) dan banyak substansi
(7) Mengatur turgiditas sel
(8) Masuk dan pergerakan substansi terlarut
(9) Air membantu dalam translokasi solute, mobilitas gametes,
desiminasi spora, buah, biji dan berperan dalam tanaman Akuatik
(10) Mencegah kenaikan suhu tanaman Tanaman dan Cahaya

6.3 Hubungan Tanaman dengan Cahaya


6.3.1 Kualitas cahaya
Semua kehidupan di muka bumi tergantung pada energi yang
bersumber dari cahaya atau radiasi matahari (Gambar 6.4). Tanaman
memperoleh energi secara langsung, tetapi kebutuhan energi untuk
hewan sangat tergantung kepada energi kimiawi sebagai hasil sintesa
karbohidrat oleh tanaman.
Kualitas cahaya adalah mutu cahaya yang diterima yang
dinyatakan dengan panjang gelombang. Pancaran energi dari matahari
diterima oleh bumi dalam bentuk gelombang elektromagnetik, dimana
panjangnya bervariasi dan 290 - 5000 nm (nanometer = millimikron).
Spektrum cahaya dapat dibagi menjadi 3 daerah. Daerah dengan
panjang gelombang 400 - 760 nm atau 400 - 760 m (1 m = 10
angstrom) merupakan panjang gelombang yang paling penting bagi
tanaman dan hewan. Berkas gelombang tersebut dikenal dengan istilah
cahaya yang tampak (visible light). Cahaya yang tampak masing-
masing adalah ungu ( 400 - 435 m), biru( 435 - 490 m), hijau (
490 - 574 m), kuning ( 574 - 595 m), oranye/ jingga ( 595 - 626
m) dan merah ( 626 - 760 m). Sedangkan panjang gelombang
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 157

yang lebih pendek dari 400 m ialah sinar ultra ungu, sinar X, sinar
gamma dan sinar kosmis. Panjang gelombang yang lebih besar dan
760 m adalah sinar infra merah, gelombang radar dan televisi serta
gelombang radio.

Gambar 6.4 Semua kehidupan di muka bumi, terutama tanaman tergantung energi
yang bersumber dari cahaya atau radiasi matahari (Foto: Dreamstime,
2011).

Panjang gelombang yang berfungsi untuk aktivitas fotosintesis


adalah berkisar antara 400 -760 m atau sinar yang tampak. Selang
panjang gelombang yang menghasilkan cahaya yang dapat dilihat
disebut PAR (photosynthecally active radiation). Suatu penelitian
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 158

yang dilakukan untuk melihat besarnya absorbsi tanaman (klorofil)


terhadap PAR, ternyata setiap panjang gelombang menunjukkan daya
absorbsi yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan
klorofil yang terdapat pada tanaman, yakni klorofil A (C55 H72 O5 N4
Mg) dan klorofil B (C55 H70 O6 N4 Mg). Setiap tanaman juga berbeda-
beda menanggapi panjang gelombang cahaya. Contohnya
pembentukan tepung pada tanaman Phaseolus multiflorus
memerlukan spektrum cahaya sedikit di luar PAR, yaitu berkisar
antara 330 - 760 m dan aktivitas maksimum terjadi pada panjang
gelombang 687 - 656 m (Miller, 1959).

6.3.2 Jumlah Cahaya

Jumlah cahaya yang diterima bumi ditentukan oleh letak lintang


(latitude) dan musim. Latitude berhubungan langsung dengan sudut
datang sinar matahari dengan permukaan bumi. Sudut datang dari
sinar matahari yang mengenal permukaan bumi cenderung
menentukan jarak titik perjalanan cahaya melalui atmosfir dan
karenanya persentase penyerapan energi cahaya ditentukan oleh
sudutnya. Sudut sinar matahari tergantung pada musim dan
kemiringan (slope). Lamanya periode cahaya matahari atau panjang
hari ditentukan oleh musim.
Variasi garis lintang pada intensitas cahaya disebabkan tinggi
matahari di atas horizon adalah sangat penting. Pada daerah
equatorial, keberadaan cahaya sangat intense dan sebanyak 70% dari
cahaya matahari langsung mencapai permukaan bumi. Pada daerah
temperate atau subtropik, hanya 50% dari cahaya matahari yang
sampai ke permukaan bumi sekalipun hari cerah, dimana proporsi
difusi cahaya lebih tinggi daripada daerah equator. Di daerah tropik
jumlah energi matahari yang dapat tertangkap kira-kira 191 kilo
kalori/cm2, di daerah sub tropik 120 kilo kalori/cm2 setiap tahunnya.
Di Gurun Sahara daerah tropik energi matahari yang tertangkap dapat
mencapai 200 kilo kalori/cm2/tahun.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 159

Permukaan bumi dijadikan sebagai penyangga di antara radiasi


yang ekstrim pada siang dan malam hari. Selama siang hari
permukaan bumi menerima energi dari matahari atau disebut dengan
incoming solar radiation (insulation) dan bumi menjadi hangat,
sementara pada malam hari bumi menyebarkan panas dan secara
lambat akan menjadi dingin. Tanpa adanya penyangga (atmosfir),
banyak tanaman tidak dapat mentoleransi suhu yang ekstrim pada
siang dan malam hari.
Besarnya insolasi yang diterima pada suatu tempat di
permukaan bumi pada suatu waktu tertentu ditentukan oleh latitude,
kejernihan, dan konstanta atau tetapan matahari.

a. Latitude

Sudut datang sinar matahari yang vertikal memberikan insolasi yang


lebih besar dibandingkan sudut sinar yang datangnya miring (oblique).
Intensitas insolasi terbesar pada saat tengah hari, karena sudut datang
Sinar hampir vertikal dan intensitas insolasi terkecil terjadi pada pagi
dan sore hari. Insolasi tahunan terbesar di daerah equator dan makin
menurun ke arah kutub. Jumlah insolasi pada daerah khatulistiwa
(equator) selama setahun hampir empat kali lipat dibandingkan daerah
kutub.
Variasi insolasi yang diterima bumi juga disebabkan oleh
musim. Energi matahari lebih lemah pada musim dingin daripada
musim panas. Pada musim dingin, sinar matahari harus menembus
lapisan atmosfir yang tebal.

b. Kejernihan atmosfir
Atmosfir yang mengandung banyak debu uap air dan gas-gas tertentu
dan awan mengakibatkan energi matahari terhalang mencapai
permukaan bumi sehingga insolasi kecil. Daerah tropis lapisan
pemantul lebih tipis daripada daerah sedang, namun pengaruh ini
berfluktuasi sesuai musim dan panjang hari.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 160

c. Konstanta atau Tetapan Matahari

Besarnya energi matahari yang sampai ke permukaan bumi ditentukan


oleh jarak matahari dengan bumi. Besarnya energi matahari yang
diterima oleh permukaan bumi adalah 1.395 gram kalori per cm per
menit. Angka ini disebut tetapan matahari. Bumi beredar mengelilingi
matahari pada orbitnya yang berbentuk ellips di mana bumi membuat
jarak yang berbeda setiap waktu dengan matahari. Matahari terletak
pada salah satu titik fokusnya. Jarak yang terjauh dicapai bumi disebut
aphellium dengan jarak 1,52 x 108 km jatuh pada setiap tanggal 1 Juli,
sedangkan jarak terdekat disebut perihellium yang jatuh pada tanggal
1 Maret dengan jarak 1,49 x 108 km.

6.3.3 Suhu Tanah


Sebagaimana matahari menyinari permukaan bumi untuk mulai
menambah sejumlah panas daripada kehilangannya akibat konduksi
dan reradiasi, maka suhu akan meningkat secara cepat. Setelah
beberapa jam suhu permukaan tinggi dicapai dan dipelihara selama
bagian siang hari lebih besar, dimana perkiraan radiasi
menguntungkan sama dengan kehilangan. Sesudah matahari terbenam,
suhu bumi akan menurun secara lambat, kehilangan panas dipercepat
dengan efek pendinginan oleh evaporasi dari tanah. Suhu tanah
dicirikan di bawah suhu udara minimum yang terjadi sebelum
matahari terbit. Karenanya suhu udara maksimum siang hari adalah
lebih besar dan suhu udara minimum malam hari lebih kecil. Suhu
permukaan tanah akan berfluktuasi setiap 24 jam.
Suhu permukaan lapisan tanah berfluktuasi terutama di daerah
tropik pada suhu tanah sedalam 1 meter di bawah permukaan tanah.
Warna permukaan tanah memberikan pengaruh jumlah radiasi yang
dapat diserap. Warna putih memantulkan semua radiasi, sementara
warna hitam menyerap seluruh radiasi. Pada tanah yang gundul, warna
tanah yang terang menerima radiasi matahari, dan pantulan begitu
kuat sehingga udara di bawah permukaan tanah menjadi sangat panas.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 161

Pada permukaan tanah yang gelap, seperti area bekas pembakaran,


menyerap radiasi dan terkadang panas. Tetapi tidak lazim
membedakan tanah yang berwarna gelap atau terang yang terletak
berdekatan pada suhu lebih dan 20°C.

6.3.4 Absorbsi Energi Oleh Tanaman


Jumlah energi matahari yang diserap oleh tanaman tergantung pada
beberapa faktor yaitu tempat tumbuh, arah daun, dan pigmentasi.

a. Tempat Tumbuh
Tempat tanaman tumbuh yang dibagi atas:
(1) tempat yang ternaungi atau terlindung yaitu sedikit mengabsorbsi
cahaya
(2) tempat terbuka yaitu banyak mengabsorbsi cahaya. Pada tanaman
yang tumbuh di tempat terbuka, daunnya memiliki permukaan
yang dapat memantulkan cahaya sangat efektif. Sejumlah energi
cahaya yang diterima dikembalikan ke lingkungannya, daunnya
mengkilap dan memiliki bulu-bulu putih penutup yang banyak
atau rapat. Tanaman secara normal tumbuh pada tempat yang
mendapatkan cahaya langsung (direct sunlight) lebih banyak yang
pada umumnya memiliki daun yang dapat memantulkan cahaya
lebih tinggi, hingga dapat dipantulkan kembali ke lingkungan di
sekelilingnya.

b. Arah tumbuh daun


Daun sebagai organ tanaman berperan penting dalam mengabsorbsi
energi matahari, yang dibedakan atas:
(1) posisi sudut daun horizontal yang memiliki permukaan maksimum
untuk menyerap cahaya lebih banyak.
(2) posisi daun vertikal yang memiliki permukaan minimum untuk
menyerap cahaya. Beberapa tanaman dapat mengubah posisi
tersebut untuk mendapatkan lebih banyak cahaya yang tersedia.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 162

c. Pigmentasi

Pigmentasi juga mempengaruhi banyaknya energi yang diserap. Hal


ini dapat dibedakan atas:
(1) pada daun berwarna hijau gelap dengan jumlah klorofil yang
banyak mampu menyerap cahaya lebih banyak yang dibutuhkan
untuk kegiatan fotosintesis, dan
(2) pada daun berwarna kuning dengan sedikit klorofil menyerap
cahaya lebih sedikit.

Beberapa jenis pigmen lainnya seperti phytochrome (berperan


penting dalam perkecambahan benih. Carotenoid (pigmen kuning
pada wortel), flavonoid, antocianin (pigmen berwarna kemerahan)
juga berperan dalam mengabsorbsi energi matahari dengan panjang
gelombang yang bervariasi. Pigmen antosianin yang terdapat pada
beberapa herba tanaman hutan tropis yang terlindung mampu
mengabsorbsi lebih banyak cahaya yang tersedia dibandingkan dengan
tanaman yang tidak memiliki pigmen tersebut.

6.3.5 Suhu Tanaman


Umumnya suhu tanaman bersifat poikilothermic, yaitu suhu tanaman
mendekati suhu sekelilingnya. Tetapi terkadang, suhu lingkungan
berbeda dengan suhu permukaan daun. Biasanya suhu tanaman lebih
tinggi dari suhu sekelilingnya pada siang hari, namun akan terjadi
sebaliknya pada malam hari. Contohnya adalah bila pada siang hari
suhu udara 35°C, maka suhu daun dapat mencapai 40 – 50°C, tetapi
bila ada awan atau salju yang menyentuh tanaman maka dapat
mempengaruhi suhu tanaman pada siang hari. Kegiatan transpirasi
juga dapat mengurangi suhu daun sebesar 5 – 10°C.
Pada tanaman yang suhu permukaan daun dan sekelilingnya
berbeda sangat besar hanya terjadi pada lapisan tipis pada permukaan
daun yang langsung terkena cahaya matahari. Lapisan ini disebut
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 163

lapisan aktif (active layer). Pada hutan tropis, lapisan aktif berada
pada puncak pohon sedangkan pada savana, lapisan tersebut berada
pada puncak rerumputan. Pada lapisan aktif dapat sangat berbeda
antara suhu daun dan suhu udara. Suhu daun lebih panas pada siang
hari dan lebih dingin pada malam hari.

6.3.6 Suhu Kardinal

Suhu kardinal adalah suhu yang masih memungkinkan tanaman


bertahan hidup. Kebanyakan tanaman hanya bertahan pada kisaran
suhu yang sempit. Suhu berperan penting dalam aktivitas molekul.
Bila tanaman berada pada suhu yang sangat tinggi maka molekul-
molekulnya akan mengalami kerusakan, terutama kandungan protein
akan mengalami denaturasi. Masih sedikit penelitian tentang aktifitas
biologis tanaman pada suhu di bawah 0°C dan di atas 50°C.
Berkaitan dengan hal tersebut ada 2 faktor utama yang
berhubungan dengan makhluk hidup yaitu (a) kandungan air yang
tinggi akan membeku pada suhu 0°C dan (b) protein akan mengalami
kerusakan di atas suhu 50°C. Kisaran suhu untuk pertumbuhan
tanaman biasanya 15 – 40°C, jadi di bawah 15°C dan di atas 40°C,
maka pertumbuhan tanaman akan menurun secara drastis. Suhu dapat
mengaktifkan proses fisika dan kimia pada tanaman. Suhu berperan
meningkatkan perkembangan tanaman sampai batas tertentu dan
sangat tergantung pada spesies tanaman. Suhu baku adalah titik suhu
yang tidak terjadinya proses fisiologis dimana untuk setiap spesies
tanaman bervariasi. Contoh : Kentang suhu baku adalah 7,2°C, kedelai
suhu baku 7,8° C dan kapas suhu baku 16,6° C.
Untuk tanaman di daerah tropik, pertumbuhan terhambat pada
suhu 20°C dan tanaman mati pada suhu 10°C. Tanaman yang
mengandung karbohidrat tinggi lebih tahan terhadap suhu tinggi
karena denaturasi karbohidrat lebih tahan dibandingkan protein.
Protein akan rusak pada suhu 45°C, sedangkan karbohidrat rusak pada
suhu 55°C, bahkan ada yang sampai 85°C.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 164

6.3.7 Arus Energi


Arus energi berjalan satu arah dari matahari ke bumi. Setiap tahunnya,
matahari menyumbangkan energi ke bumi sebesar kira-kira 1–3 x 1023
kalori per tahun. Tumbuhan dan tanaman menangkap energi matahari
sebesar 1 x 1021 kalori per tahun, herbivora memperoleh sebesar kira-
kira 5 x 1020 kalori per tahun. Sedangkan karnivora yang memangsa
herbivora memperoleh bagian sebesar kira-kira 1 x 1020 per tahun dan
yang terakhir adalah karnivora sekunder dan tersier memperoleh
sebesar kira-kira 3 x 1019 kalori per tahun. Fotosintesis memanfaatkan
energi matahari 1/10 x 1 % energi matahari yang mencapai bumi. Dari
pecahan ini diperkirakan fotosintesis kotor tanaman mengambil 15 –
50 % tergantung dari komunitasnya untuk metabolismenya, sisanya
disebut netto fotosintesis.
Perilaku energi di alam mengikuti Hukum Termodinamika
sebagai berikut:
(1) Hukum Termodinamika I : Energi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan, tetapi energi dapat berubah dari satu bentuk ke
bentuk lainnya (conservation of energy)
(2) Hukum Termodinamika II: Energi dapat terjadi secara spontan bila
ada penurunan derajat dan suatu sumber konsentrasi tinggi secara
menyebar untuk mencapai pemerataan.
Urutan organisme yang dilewati energi dalam suatu komunitas
disebut rantai makanan (food chain = perpindahan energi dari suatu
makhluk ke makhluk yang lain). Dalam rantai makanan, bermacam-
macam organisme mendapat makanan dan tumbuhan dengan jumlah
transfer yang sama dan menempati tingkatan tropik yang sama.
Kehilangan energi dalam bentuk panas akan terjadi pada setiap
tingkat rantai makanan. Energi yang bersumber dari matahari akan
melalui tanaman, konsumen primer, konsumen sekunder, decomposer
yang akhirnya dilepaskan dalam bentuk panas
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 165

6.3.8 Fotosintesis
Secara keseluruhan proses fotosintesis dapat dirumuskan dengan
persamaan berikut:

6 CO2 +6 H2O energi cahaya energi cahaya  C6H12O6 + 6 O2,

dimana CO2 dart air dikombinasikan untuk menghasilkan glukosa dan


O2. Kombinasi antara CO2 dan air tidak dapat langsung dilakukan oleh
tanaman dan biosintesa glukosa memerlukan banyak tahapan dimana
setiap tahapannya memerlukan katalis enzim yang spesifik.
Fotosintesis terdiri dari 3 proses utama yaitu:
(1) Fotokimia
(2) Reaksi enzimatik
(3) Pertukaran CO2

a. Fotokimia atau reaksi terang


Reaksi terang pada fotosintesis tergantung pada absorbsi cahaya yang
tampak (visible light) oleh pigmen yang aktif dimana klorofil hijau
merupakan hal penting. Pada tanaman tingkat tinggi, 2 fotosistem
bekerja yang mana molekul klorofil A digabungkan dengan protein
membentuk molekul yang lebih komplek. Fotosistem I mengabsorbsi
maksimum pada 700 nm, sementara fotosistem 2 mengabsorbi
maksimum pada 680 nm. Artinya reaksi transport elektron yang kaya
akan energi ATP dibentuk dan energi matahari yang disimpan dalam
bentuk energi kimia.
Reaksi terang terdiri dari penangkapan energi cahaya yang akan
digunakan untuk memecahkan molekul air (fotolisa) menjadi H2 dan
O2. Oksigen yang dilepaskan ke udara luar akan membentuk molekul
Oksigen. Sedangkan hidrogen ditangkap oleh penangkapan hidrogen
yang disebut NADP (Nikotinamid Adenosin Dinukleotida Phosphate)
menjadi NADPH2.
Reaksi Hill: 2 H2 O  NADPH2 + O2
NADP
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 166

Penangkapan energi cahaya selain untuk fotolisa juga digunakan


untuk pengubahan ADP (Adenosin Difosfat) menjadi ATP (Adenosin
Trifosfat) yang disebut fosforilasi. Fosforilasi dapat juga terjadi akibat
peristiwa pernafasan (fosforilasi oksidatif). Perubahan energi cahaya
ke energi kimia dicapai dengan terbentuknya penghasil energi (ATP
dan ADP). Energi yang terbentuk akan diubah menjadi bahan organik
(seperti gugus fosfat yang kaya energi), sebagai bahan dasar
penyusunan karbohidrat.
Fase cahaya = Reaksi Hill + Fosforilasi

b. Reaksi enzimatik atau reaksi gelap

Reaksi gelap merubah CO2 menjadi energi yang kaya gula, proses ini
dikenal dengan fiksasi karbon. Energi yang dibutuhkan selama proses
ini berasal dari ATP yang dibentuk pada reaksi terang. Reaksi gelap
tidak memerlukan cahaya tetapi sangat tergantung pada suhu.
Karenanya pada fase gelap reaksi biokimia yang berlangsung sangat
ditentukan oleh kegiatan enzim. Prinsipnya adalah pemindahan
hydrogen dan air sebagai hasil peristiwa hidrolisis oleh pembawa
(akseptor) hydrogen (NADPH2) ke asam organik berenergi rendah
untuk membentuk karbohidrat yang berenergi tinggi. Reaksi reduksi
ini adalah penambahan elektron dari atom H2 ke CO2 yang berakhir
dengan terbentuknya unit gula.
Reaksinya sebagai berikut:
2H2 O  2 NADPH2 + O2 (reaksi Hill)
CO2 +2 NADPH2 + O2  2 NADP + H2 ± CO + O2
(reaksi gelap)

Reaksi Hill + Reaksi Gelap = 2H2 O + CO2  CH2 O + H2 O +


O2 (Bila reaksi ini dikalikan dengan 6 maka menjadi:
12H2 O + 6C02  C6H12O6 + 6H2O + 6O2 (Reaksi fotosintesa)
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 167

c. Pertukaran karbondioksida dan oksigen

Umumnya tanaman mengikat CO2 langsung menjadi gula


melalui proses pentosa phosphat atau dikenal dengan lintasan C3.
Gula yang pertama terbentuk adalah triosa. Beberapa tanaman tropis
seperti anggota famili Graminae mengikat CO 2 sebagai asam
oksaloasetat, asam dikarboksilat dengan 4 atom karbon. Proses ini
dikenal dengan Slack and Hatch atau lintasan C4. Tanaman dengan
lintasan pentosa phosphat yang artinya mengikat CO 2 disebut sebagai
tanaman C3, sementara tanaman yang mengikat CO 2 dengan cara
Slack and Hatch disebut tanaman C4.
Oksalo asetat dirubah menjadi asam karboksilat yang akan
dipecah untuk melepaskan CO2 yang digunakan pada lintasan C3.
Keberadaan lintasan C4 pada tanaman daerah tropis artinya adalah
konsentrasi CO2 menjadi faktor pembatas sebagaimana dengan
tanaman C3 di mana gas disimpan dalam bentuk asam dikarboksilat.
Kebanyakan tanaman, fotosintesis hanya berlangsung pada siang
hari, tetapi beberapa tanaman tropik tumbuh pada kondisi kering dan
mampu mengikat CO2 pada malam hari, meskipun tanaman tersebut
menggunakan ATP pada siang hari. CO2 yang diikat disimpan dalam
vakuola dalam bentuk asam dikarboksilat hingga senyawa tersebut
dirubah dalam bentuk gula. Proses ini pertama sekali dikenal pada
anggota famili Crassulaceae, maka dikenal dengan nama
Crassulaceae Acid Metabolism atau lintasan CAM. Tanaman CAM
memberikan keuntungan pada tanaman lainnya yang tumbuh pada
daerah kering dimana tanaman tersebut menutup stomatanya pada
siang hari dan menyimpan air.
Radiasi cahaya yang jatuh pada tanaman sebagian diabsorbsi,
sebagian dipantulkan dan sebagian ditransmisikan (diteruskan)
tergantung pada struktur daunnya. Daun yang mengkilap dan berbulu
memantulkan lebih banyak cahaya daripada daun yang licin dan
bergelombang. Sedangkan daun yang tipis dengan kutikula sedikit
akan mentransmisikan cahaya lebih banyak daripada daun yang rapat
kutikulanya. Energi yang diabsorbsi akan dirubah dalam bentuk panas,
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 168

dan hanya sebagian kecil yang tersimpan dalam bentuk energi kimia
untuk digunakan oleh keseluruhan biomassa.
Energi matahari yang ditangkap oleh tanaman digunakan untuk
kegiatan fotosintesis, respirasi, transpirasi, translokasi unsur hara dan
assimilasi. Energi cahaya yang ditangkap dalam fotosintesis dirubah
menjadi energi potensial selanjutnya digunakan untuk:
(1) Mengabsorbsi unsur hara mineral dan air,
(2) Mensintesa bahan-bahan organik
(3) Mengkatalisasi bahan-bahan organik yang terbentuk melalui
proses respirasi dan transpirasi,
(4) Melaksanakan pertumbuhan dan melengkapi siklus perkembangan
Efisiensi fotosintesa adalah ratio antara energi yang tersimpan
oleh asimilasi CO2 dan energi matahari (cahaya) yang diserap oleh
sistem fotosintesa. Efisiensi fotosintesa dibatasi oleh sistem cahaya
(intensitas, kualitas dan lama penyinaran), golongan tanaman (C3, C4
dan CAM), suhu dan air. Faktor pembatas tersebut akan
mempengaruhi kegiatan respirasi, translokasi assimilat dan
sumbernya, yaitu jaringan yang mensuplai assimilat ke jaringan
penyimpanan yang menerima assimilat atau tidak melakukan
fotosintesa, seperti biji, umbi, buah.
Daerah tropis dengan intensitas cahaya dan suhu relatif tinggi
lebih cocok untuk tanaman dengan jalur fotosintesa C4 seperti jagung,
tebu, sorghum, dan padi. Konsep ini berdasarkan pada jalur
fotosintesa C4 yang dapat mengubah energi matahari secara lebih
besar menjadi energi kimia. Sehingga tanaman C4 sering
dikatergorikan sebagai tanaman yang rakus cahaya atau membutuhkan
cahaya penuh.

6.3.9 Kompensasi dan Titik Kejenuhan Cahaya

Pada tanaman, energi yang disimpan dalam ikatan kimia pada proses
fotosintesis dilepaskan dalam bentuk respirasi. Respirasi adalah proses
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 169

yang berlangsung secara kontinyu di mana senyawa carbon yang


dioksidasi membebaskan energi dalam bentuk panas dan digunakan
untuk memelihara kehidupan. Ketika tanaman tidak dapat
berfotosintesis maka berat keringnya akan berkurang karena
digunakan untuk respirasi. Jumlah cahaya yang dibutuhkan untuk
memproduksi senyawa karbon pada kegiatan fotosintesis sama dengan
jumlah senyawa karbon yang hilang melalui kegiatan respirasi. Ini
dikenal dengan istilah titik kompensasi cahaya. Untuk pertumbuhan
dan reproduksi, proses fotosintesis harus melebihi dari proses
respirasi. Jumlah cahaya yang jatuh pada tanaman harus melebihi titik
kompensasi cahaya. Begitupun, banyak dedaunan pada lintasan C3
menjadi jenuh cahaya kira-kira 20% cahaya yang penuh. Intensitas
dimana dedaunan tidak dapat menggunakan lebih banyak radiasi
disebut dengan titik kejenuhan cahaya.
Bila fotosintesis lebih lambat dan respirasi meningkat pada suhu
tinggi, maka akumulasi karbohidrat pada tanaman C3 lebih rendah
dibandingkan dengan kondisi cahaya kurang cerah. Tanaman C4,
seperti tebu dan jagung, tidak memiliki titik jenuh cahaya, dimana
tanaman tersebut mampu menggunakan semua cahaya yang jatuh pada
dedaunannya. Beberapa tanaman yang tidak kehilangan CO 2 melalui
fotorespirasi, dimana tanaman tersebut dengan segera melepaskannya,
menangkapnya kembali dan menyimpannya dalam bentuk asam
dikarboksilat. Pada kondisi intensitas cahaya dan suhu tinggi, tanaman
C4 mengakumulasikan banyak bahan kering daripada tanaman C3.
Tanaman C3 seperti kopi dan kakao, memproduksi hasil yang
lebih baik jika tidak ditempatkan pada intensitas cahaya tinggi.
Umumnya tanaman ini memerlukan tumbuhan pelindung untuk
menaunginya.

6.3.10 Fotoperiodisme dan Termoperiodisme


Respon tanaman terhadap panjang hari disebut dengan
fotoperiodisme. Beberapa proses fisiologi yang dapat dipengaruhinya
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 170

adalah dormansi, produksi daun-daun yang baru pada spesies decidous


(meranggas) dan pembentukan bunga.
Berdasarkan respon tanaman terhadap fotoperiodisme, Wilsie
(1962) membagi tanaman atas 3 golongan yaitu:
(1) Tanaman hari pendek adalah tanaman yang hanya dapat berbunga
bila panjang hari kurang dari panjang hari (panjang hari
maksimum 12-14 jam), contohnya adalah kedelai, sorghum, kopi.
(2) Tanaman hari panjang adalah tanaman yang hanya dapat berbunga
bila panjang hari lebih panjang dari panjang hari minimum (lebih
dari 12 jam), contohnya alfalfa, berley, cabai.
(3) Tanaman hari netral adalah tanaman yang akan berbunga tidak
dipengaruhi oleh panjang hari, contohnya adalah kapas dan
tembakau.
Respon suhu terhadap pembungaan tanaman disebut dengan
thermoperiodisme. Beberapa tanaman daerah tropis menghendaki
perbedaan suhu tertentu antara siang dan malam hari. Contohnya
tanaman kopi dan jagung menghendaki suhu malam hari lebih dingin
sebesar 5–10°C daripada suhu siang hari untuk mendapatkan produksi
yang baik.

6.3.11 Pengaruh dari Altitude


Suhu rata-rata pada daerah pegunungan akan berkurang sebesar 0,5°C
setiap kenaikan 100 meter dari permukaan laut. Semakin rendah letak
lintang maka tanaman tidak dapat tumbuh dan berkembang. Faktor-
faktor pembatasnya dipengaruhi oleh:
(1) Suhu yang terlalu rendah dapat membunuh protoplasma.
(2) Ketidakmampuan tanaman mengakumulasi senyawa yang
diperlukan. untuk pertumbuhan karena suhu rendah.
(3) Penghambatan reproduksi disebabkan suhu rendah.
(4) Parasit akan menjadi aktif apabila berada pada suhu rendah.
(5) Kombinasi merugikan antara suhu pada siang dan malam hari.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 171

Beberapa tanaman daerah tropis akan mengalami deraan suhu


(chilling injury), dimana terjadinya pembekuan pada membran sel
sehingga proses metabolisme tidak dapat berfungsi. Semakin tinggi
suatu tempat akan dapat mempengaruhi perubahan tipe vegetasi.

6.3.12 Tanaman Heliophytes dan Sciophytes

Menurut kebutuhan akan cahaya, secara ekologi tanaman


diklasifikasikan atas 2 bentuk, yaitu:
(1) Heliophytes yaitu tanaman yang membutuhkan cahaya penuh atau
tanaman yang hidup pada tempat terbuka.
(2) Sciophytes yaitu tanaman yang tidak membutuhkan cahaya penuh
atau tanaman yang hidup pada tempat terlindung.
Namun demikian, ada beberapa spesies tanaman yang telah
beradaptasi, sehingga tanaman heliophytes akan tumbuh pada kondisi
setengah terlindung dari tanaman sciophytes juga tidak terganggu
pertumbuhannya oleh sinar matahari yang cerah. Pada kasus seperti
ini, tanaman yang terbaik pertumbuhannya adalah tanaman yang
memperoleh cahaya sesuai dengan kebutuhannya.
Spesies primer pada hutan hujan tropis adalah tanaman
heliophytes dan spesies sekunder nya adalah tanaman sciophytes yang
berkolonisasi dengan pepohonan heliophytes. Radiasi matahari yang
masuk ke dalam tegakan pepohonan akan mengalami penurunan atau
pengurangan dan yang mencapai dasar, intensitasnya hanya tinggal
1% jika dibandingkan cahaya pada permukaan kanopi.
Pada hutan hujan tropis hanya sedikit tanaman yang tumbuh
karena kondisi atau intensitas cahaya rendah, kecuali pada pepohonan
besar yang mendapatkan intensitas cahaya tinggi. Beberapa tanaman
herba pada hutan hujan tropis memiliki antosianin yang dapat
menyerap radiasi tinggi sinar matahari. Pengurangan cahaya akibat
adanya kanopi atau ternaungi menyebabkan intensitas cahaya akan
berkurang sebesar 20%.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 172

Daun yang berbentuk horizontal melindungi hampir sepenuhnya


daun yang lebih rendah di bawahnya yang menyebabkan terjadinya
pengurangan jumlah daun pada batang. Karenanya daun yang berada
di bawah pada tanaman berdaun lebat tidak dapat berfotosintesis
secara efisien. Daun tersebut sering gugur seiring dengan
pertumbuhan tanaman. Contohnya: Palmae, dimana secara reguler
daun yang berada di bawah dan terlindung dari cahaya akan gugur.
Daun yang tumbuh secara vertikal meloloskan cahaya memasuki
tegakan dan semak-semak kecil dapat tumbuh di antara rerumputan.
Terdapat banyak perbedaan secara morfologi dan fisiologi
antara tumbuhan yang tumbuh pada cahaya penuh dan terlindung
berdasarkan perbandingan antara tumbuhan heliophytes penuh dan
sciophytes atau pada tanaman yang sama spesies tetapi tumbuh pada
kondisi cahaya yang berbeda. Sebagai perbandingan pada tanaman
yang tumbuh pada tempat terlindung, maka tanaman yang
membutuhkan cahaya penuh memiliki karakteristik sebagai berikut:
(1) Batang lebih tebal
(2) Luas daun sempit dan internode (ruas) lebih pendek
(3) Memiliki cabang-cabang lebih banyak
(4) Sel-sel daun lebih kecil dengan sedikit kloroplas dan rasio
external dan internal permukaan daun lebih besar
(5) Kutikula lebih tebal dan dinding sel lebih tebal
(6) Memiliki perakaran yang panjang dan banyak cabang dengan
rasio akar terhadap pucuk lebih besar
(7) Daun lebih kuning karena klorofil sedikit
(8) Laju fotosintesis per menit, luas daun lebih besar pada cahaya
cerah dan lebih kecil pada kondisi mendung
(9) Laju respirasi tinggi, titik kompensasinya tinggi
(10) Laju transpirasi lebih cepat dan kadar air dalam jaringan lebih
rendah
(11) Bunga dan buahnya lebih vigor
(12) Lebih tahan terhadap suhu yang merusak, kekeringan dan parasit
yang menyebabkan kerusakan.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 173

Tumbuhan heliophytes lebih efisien menggunakan cahaya


daripada tumbuhan sciophytes, contohnya tebu, jagung dan bunga
matahari. Tumbuhan sciophytes tidak bertahan hidup pada cahaya
matahari penuh, karena laju produksi klorofilnya rendah untuk
mengimbangi dekomposisi pigmen oleh cahaya yang cerah. Agar
lebih efisien dalam menggunakan cahaya, tumbuhan sciophytes
membentuk daun dengan permukaan yang lebar sehingga jumlah
klorofil lebih banyak dan juga adanya tambahan pigmen lainnya.
Misalnya pada tanaman C3 seperti legum: kacang kedelai, kacang
hijau dan padi.
Tumbuhan sciophytes tidak bertahan hidup pada cahaya
matahari penuh, karena laju produksi klorofilnya rendah untuk
mengimbangi dekomposisi pigmen oleh cahaya yang cerah.
Tumbuhan heliophytes yang terlindung seperti jagung menyebabkan
pertumbuhan, reproduksi dan hasilnya sangat berkurang. Tanaman
bunga matahari yang tumbuh pada tempat terlindung mengurangi laju
pembelahan sel sehingga tanaman lebih pendek.
Selain faktor cahaya, pertumbuhan tanaman heliophytes dan
sciophytes juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya seperti: air,
RH, dan suhu yang dapat membatasi pertumbuhan tanaman.

6.3. 13 Adaptasi Terhadap Intensitas Cahaya Tinggi

Energi cahaya yang diserap oleh tanaman dirubah ke dalam bentuk


panas, untuk melindungi tanaman dari intensitas cahaya dan suhu
tinggi. Dedaunan tanaman heliophytes yang tidak tepat menerima
cahaya matahari, akan mengurangi jumlah cahaya langsung yang jatuh
pada permukaannya. Pada spesies Mimosaceae dan Caesalpinaceae
akan menggugurkan daunnya pada suhu di atas 30°C untuk
mengurangi absorbsi cahaya.
Tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh dapat
beradaptasi dari pengaruh radiasi tinggi dengan beberapa cara:
(1) Beberapa spesies membentuk arah tumbuh daun secara vertikal
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 174

(2) Membentuk bulu-bulu putih atau permukaan yang mengkilap pada


daun untuk memantulkan kembali banyak radiasi yang diterima
(3) Membentuk lapisan tipis pada daun untuk melindungi selnya
(4) Kecepatan transpirasi yang tinggi pada tanaman heliophytes
menjamin dedaunannya akan tetap dingin.
(5) Adanya lapisan kutikula pada daun dan adanya jaringan gabus
pada kulit kayu akan membantu mengisolasi tanaman dan radiasi
matahari.

6.3.14 Pengaruh Suhu Tinggi


Secara umum, tanaman dapat dibagi atas 3 kategori berdasarkan
toleransinya terhadap suhu, yaitu:
(1) Tanaman yang sensitif akan panas akan terluka bila ditempatkan
pada suhu di atas 30-45°C.
(2) Tanaman dapat tumbuh pada tempat dengan cahaya penuh dan
tolerant terhadap panas serta bertahan hidup pada kisaran suhu
60°C selama periode yang pendek.
(3) Tanaman yang memiliki inti sel akan mengalami kematian pada
suhu antara 60 - 70 oC. Beberapa spesies bakteri dan alga hijau
biru dapat bertahan hidup pada suhu 90°C.

6.3.15 Reproduksi dan Perkecambahan

Banyak spesies tanaman subtropik tidak dapat bereproduksi pada


iklim tropis, karena beberapa spesies diantaranya membutuhkan suhu
dingin untuk merangsang pembentukan bunga. Benih dan beberapa
tanaman daerah dingin membutuhkan kondisi suhu rendah untuk
beberapa periode sebelum berkecambah, dan ada pula tanaman yang
sensitif akan cahaya untuk perkecambahnnya. Contohnya selada dan
rami (jute) tidak akan berkecambah bila ditempatkan pada kondisi
terang tetapi sebaliknya pada Vanili dan banyak spesies lainnya harus
mengalami kondisi total gelap untuk perkecambahannya. Respon
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 175

perkecambahan akan cahaya dikontrol oleh suatu pigmen yang disebut


phythocrome.

6.3.16 Fototropisme
Respon tanaman terhadap arah datangnya cahaya disebut dengan
fototropisme. Fenomena ini dipengaruhi oleh absorbsi cahaya biru dan
ultra violet oleh reseptor cahaya biru seperti carotenoid dan riboflavin.
Tanaman menunjukkan fototropisme dengan tumbuh mengikuti arah
datangnya cahaya yang tetap.

6.4 Hubungan Tanaman dengan Udara

Selimut unik yang melapisi permukaan bumi (atmosfer) mengandung


campuran berbagai gas-gas, partikel-partikel debu dan uap air, yang
secara keseluruhan disebut dengan udara (Gambar 6.5). Tanpa
atmosfir, kehidupan yang seperti kita kenal saat ini, tidak ada di planet
bumi ini. Molekul-molekul gas dan partikel-partikel debu bertindak
sebagai lapisan pelindung mencegah radiasi letal/mematikan yang
mencapai permukaan bumi dan mengurangi fluktuasi temperatur
harian yang sangat tinggi.
Jika atmosfir tidak ada, fluktuasi temperatur harian terlalu tinggi
(antara -184°C dan 95°C) untuk bentuk kehidupan yang sekarang kita
kenal. Atmosfir sebagai sumber air bagi semua tumbuhan dan hewan
daratan, dan juga sebagai sumber oksigen yang sangat diperlukan oleh
tumbuhan dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya.
Komposisi atmosfir pada awal pembentukan planet bumi ini
sangat berbeda dengan komposisi atmosfir pada saat ini. Saat
permukaan bumi ini menjadi dingin, gas-gas pertama (early gases)
secara berangsur digantikan oleh uap air, CO 2 dan Nitrogen.
Kebanyakan uap air mengalami kondensasi membentuk lautan dan
CO2 menjadi terikat dalam mineral-mineral karbonat. Oksigen tidak
terdapat di atmosfir sebelum tumbuhan berfotosintesis pertama
melakukan aktivitasnya dengan baik. Kehadiran oksigen secara cepat
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 176

diubah sebagai mineral oksida, tetapi bahkan permukaan bumi


menjadi jernih dan oksigen bebas ditemui dalam atmosfir dan oleh
sebab itu dapat terjadinya evolusi pada tumbuhan dan hewan tingkat
tinggi.

Gambar 6.5 Lingkungan sekitar tanaman mengandung campuran berbagai gas-gas,


partikel-partikel debu dan uap air, yang secara keseluruhan disebut
dengan udara. Udara yang bergerak akibat perbedaan tekanan disebut
dengan angin (Foto: JTB, 2005).

Sekarang ini atmosfir kira-kira mengandung 79% Nitrogen, 21%


Oksigen dan 0,03% CO2. Proporsi gas-gas tersebut relatif konstan,
tetapi unsur atmosfir yang lain seperti uap air, partikel debu, bahan
yang mudah menguap dan pencemaran (pollutant) dapat bervariasi
sangat besar.
Konstansi rasio oksigen (O2) terhadap CO2 di atmosfir
menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan global, yang sejauh ini
belum dapat diganggu oleh aktivitas manusia, bahkan peningkatan
pembakaran bahan fossil sekalipun. Pembakaran bahan bakar fossil
dalam bahan organik memerlukan oksigen (O2) dan melepaskan CO2
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 177

Lautan bertindak sebagai penyangga agar gas-gas tetap dalam


keseimbangan, oleh kemampuan algae yang melakukan proses
fotosintesis dan absorbsi CO2 oleh lautan menjadi karbonat. Proses-
proses tersebut memelihara keseimbangan gas-gas tersebut di atmosfir
bumi ini.

6.4.1 Pentingnya gas atmosfir untuk tumbuhan

Kehadiran C02 di atmosfir merupakan faktor terpenting bagi tumbuhan


dan secara tidak langsung bagi hewan. Jika tanpa gas CO2 tidak
mungkin disintesis karbohidrat, dan berarti tidak ada energi kimia
yang tersimpan untuk kehidupan. Oksigen juga penting bagi
kebanyakan tumbuhan dan hewan. Energi kimiawi yang tersimpan
sebagai karbohidrat hanya dapat dilepaskan melalui respirasi yang
memerlukan O2. Akan tetapi terdapat sejumlah tumbuhan rendah yang
tidak membutuhkan O2 untuk proses respirasinya yaitu organisme
anaerobik. Organisme anaerobik (contohnya beberapa bakteri
denitrifikasi) mendapatkan oksigen dari nitrat untuk respirasinya,
sebagian lain dapat melepaskan O2 seluruhnya dan menggunakan
hidrogen sutfida. Akan tetapi organisme anaerobik memiliki proporsi
yang sangat sedikit dari total populasi tumbuhan. Kebanyakan
tumbuhan sangat memerlukan suplai O2 baik melalui bagian atas
(terutama daun) maupun perakaran tanaman.
Kebanyakan tumbuhan dan hewan memanfaatkan nitrogen (N 2)
atmosfir setelah dirubah dalam bentuk-bentuk tertentu. Akan tetapi
terdapat sejumlah tumbuhan rendah seperti bakteri pengikat N2 dan
algae yang merubah gas-gas N2 atmosfir ke dalam bentuk-bentuk yang
dapat dipakai membentuk protein yang merupakan unsur essensial
kehidupan. Beberapa diantaranya seperti yang termasuk ke dalam
kelompok Azobacter yang hidup bebas di dalam tanah terdiri dan
bakteri Beijerinckia tropis. Kontribusi bakteri pengikat N2 yang bebas
di dalam tanah terhadap nitrogen tanah adalah sangat kecil, oleh sebab
itu bakteri tersebut kurang penting bagi lingkungan. Akan tetapi
bakteri pengikat N2 yang bersimbiosis dengan tumbuhan jauh lebih
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 178

penting dari segi ekologis. Sebagai contoh koloni bakteri pengikat N 2


yang hidup pada bintit akar Leguminosae, tanaman inangnya dapat
menggunakan senyawa nitrogen yang dihasilkan untuk mensintesis
protein.

6.4.2 Daur Oksigen-Carbondioksida


Oksigen diikat pada saat respirasi (pernafasan) tumbuhan maupun
hewan dan juga pada pembakaran bermacam-macam bahan,
sebaliknya O2 dilepaskan pada proses fotosintesis. CO2 diikat pada
saat proses fotosintesis dan dilepaskan pada waktu pernafasan,
pembakaran bahan organik, dekomposisi bahan organik maupun
batuan karbonat. Daur O2-CO2 menunjukkan betapa pentingnya proses
fotosintesis untuk menjaga konsentrasi oksigen di atmosfir. Jika tidak
terjadi fotosintesis, oksigen atmosfir akan segera habis. Oleh sebab itu
tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa tumbuhan terutama hutan
tropis merupakan paru-paru dunia.

6.4.3 CO2 dan Fotosintesis


Jumlah CO2 pada atmosfir normal lebih rendah dari pada yang
seharusnya yang dibutuhkan tumbuhan di bawah kondisi optimum.
Akan tetapi di dalam ekosistem hutan, terutama hutan hujan tropis,
konsentrasi CO2 beberapa kali lebih besar dari keadaan normal.
Peningkatan CO2 di dalam ekosistem hutan kemungkinan akibat
kompensasi dari berkurangnya intensitas cahaya yang menyebabkan
tumbuhan yang terlindung dapat memanfaatkan cahaya yang diterima
secara maksimum. CO2 diikat pada proses fotosintesis dan dilepaskan
pada proses respirasi. Jika hari sangat mendung atau pada tumbuhan
yang terlindung oleh karena kerapatan yang tinggi, jumlah CO 2
berlimpah pada siang hari, yang dihasilkan oleh proses respirasi. Pada
malam hari hanya respirasi yang terjadi pada kebanyakan tanaman,
akibatnya CO2 yang dilepaskan tinggi dan tidak ada CO2 yang diikat.
Titik dimana jumlah CO2 yang diikat untuk proses fotosintesis sama
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 179

dengan jumlah CO2 yang dilepaskan oleh proses respirasi dinamakan


titik kompensasi (compensation point).
Selama proses fotosintesis, O2 dibebaskan dan diikat kembali
pada saat terjadi proses respirasi. Oleh karena kedua proses yang
saling melengkapi itu berlangsung pada tanaman sehingga
menyebabkan pertukaran gas-gas dengan atmosfir. Kedua proses
tersebut berlangsung secara difusi. Pada siang hari sejumlah volume
udara diperlukan oleh tumbuhan. Untuk membentuk 1 gram glukosa
diperlukan 2500 liter udara yang mengandung CO2 yang harus
diserap. Karena itu ketersediaan CO2 yang tidak sesuai sering
merupakan faktor pembatas terjadinya proses fotosintesis, terutama di
daerah tropis. Jumlah O2 di udara selalu terpenuhi untuk proses
respirasi tumbuhan bagian atas, akan tetapi jumlah O2 bisa jadi tidak
sesuai bagi perakaran tumbuhan karena pengaruh genangan air atau
tanah yang sangat kompak/padat.
Berdasarkan mekanisme tumbuhan mengubah CO2 dan air
menjadi gula, maka tumbuhan dapat dikelompokkan ke dalam C3, C4
dan CAM. Paling banyak tumbuhan tergolong ke dalam C3,
menggunakan hanya reaksi pentosa fosfat, senyawa organik pertama
terbentuk dari CO2 dan air akan diikat oleh 3 atom Carbon. Akan
tetapi banyak tumbuhan tropis seperti padang rumput savana,
menambat CO2 menjadi asam oxaloasetat, senyawa yang mempunyai
4 atom Carbon. Beberapa tumbuhan succulent, terutama famili
Crassulaceae, mampu menambat CO2 pada malam hari dan
menyimpannya dalam bentuk asam-asam organik. Asam-asam organik
tersebut kemudian diuraikan dan dilepaskan CO2 yang digunakan
dalam proses reaksi pentosa fosfat. Mekanisme pada tumbuhan
succulent tersebut dikenal dengan istilah CAM (Crassulaceae Acid
Metabolism)
Karena tumbuhan C3 tidak mampu menyimpan CO2, maka
tumbuhan tersebut harus memiliki suatu suplai yang tetap teratur
untuk fotosintesis yang efisien. Oleh karena itu absorbsi gas menjadi
faktor pembatas pada habitat savana tropis dimana cahaya matahari
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 180

berlimpah. Disebabkan oleh laju fotorespirasi tumbuhan C3


meningkat, maka hasil fotosintesis juga hilang secara cepat apabila
tanaman C3 terpapar pada intensitas cahaya tinggi.
Kebalikan dan Tumbuhan C3, tumbuhan C4 dapat menyimpan
CO2 dan karena itu Ia mampu menjaga laju fotosintesa yang tinggi
pada temperatur dan intensitas cahaya yang tinggi. Juga hasil
fotosintesis tidak hilang oleh proses fotorespirasi. Oleh karena itu
tumbuhan C4 beradaptasi dengan lingkungan savana dan semi-gurun
di daerah tropis.
Tumbuhan CAM tertutup stomatanya pada siang hari, sangat
mengurangi transpirasi dan pada saat bersamaan proses
fotosintesisnya tidak berhenti, oleh karena adanya CO2 yang diikat
dan disimpan pada malam hari. Mekanisme seperti itu merupakan
penyesuaian yang penting bagi tumbuhan yang berhabitat di daerah
gurun dan semi gurun.

6.4.4 Stomata Tumbuhan


Pertukaran gas-gas antara sel tumbuhan dan atmosfir hanya dapat
berlangsung melalui lubang pada permukaan daun yang dikenal
dengan nama stomata. Oleh karena itu, stomata merupakan pengatur
yang paling penting pada proses difusi. Jumlah, ukuran dan distribusi
stomata pada daun sangat beragam, tidak hanya antara spesies tetapi
juga oleh perbedaan habitat. Sehingga individu tanaman satu spesies
yang tumbuh pada habitat yang berbeda dapat memiliki pola stomata
yang berbeda.
Setelah CO2 masuk ke dalam daun melalui stomata, ia larut
dalam cairan sel dan secara pelan-pelan pindah ke kloroplas, dimana
proses fotosintesis berlangsung. Dalam keadaan udara diam, terdapat
lapisan yang mengelilingi semua permukaan daun. Dalam keadaan
demikian dapat terjadi kekosongan CO2 apabila gas-gas yang dapat
berdifusi melalui stomata lebih cepat dari proses penggantian CO 2 dari
udara luar memasuki daun. Ketebalan lapisan yang mengelilingi
tergantung pada pergerakan udara, semakin ada angin semakin tipis
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 181

lapisan tersebut. Oleh karena CO2 dapat masuk ke dalam daun melalui
stomata maka tidak terjadi proses fotosintesis bilamana stomata dalam
keadaan tertutup, kecuali pada tumbuhan CAM.
CO2 yang dihasilkan pada saat respirasi dapat terdorong keluar
melalui kutikula akibat tekanannya yang tinggi, terutama terjadi pada
malam hari pada saat stomata berada dalam keadaan tertutup.
Walaupun fotosintesis dan respirasi berlangsung pada bagian sel yang
berbeda, akan tetapi CO2 yang dihasilkan tidak dapat digunakan
langsung sebagai bahan fotosintesa.
Laju gas-gas berdifusi ke dalam dan ke luar daun tergantung
pada luasnya stomata terbuka, dimana luas maksimum tersebut disebut
luasan pori (pore width). Luasan pori adalah besar pada pepohonan
hutan tropis dan kecil pada tanaman schlerophyllous. Akibat jumlah
stomata per unit luas juga tinggi pada pepohonan tropis maka luas
total yang dapat dilalui gas-gas berdifusi dapat mencapai 3% dari luas
permukaan daun. Akan tetapi luas pori kebanyakan tumbuhan hanya
sekitar 1% sedangkan pada tumbuhan sukulent yang memiliki jumlah
stomata sedikit, luas porinya hanya 0,5% atau lebih kecil.
Membuka dan menutupnya stomata tergantung pada dua proses
utama yaitu keseimbangan air tumbuhan dan tekanan parsial CO 2, di
dalam rongga interselluler. Pada siang hari kebanyakan tumbuhan
menggunakan CO2 sehingga tekanan parsial di dalam interseluler
menurun dan menyebabkan stomata terbuka. Pada malam hari, terjadi
kebalikannya sehingga stomata tertutup. Pada tumbuhan CAM, CO2
diikat pada malam hari sehingga stomata terbuka. Pada siang hari gas
tersebut dilepaskan dari asam-asam organik yang tersimpan,
menyebabkan tekanan parsial dalam rongga interseluler meningkat
dan stomata tertutup.
Namun di samping pengaturan oleh kekuatan CO2 pengaruh
yang paling penting terhadap membuka dan menutupnya stomata
adalah keseimbangan air dalam tumbuhan. Jika keseimbangan air
dalam tanaman adalah negatif, maka stomata tidak akan terbuka
walaupun adanya tekanan parsial CO2. Faktor-faktor lain yang juga
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 182

berpengaruh terhadap pembukaan stomata dan interaksi di antara


semua faktor-faktor sehingga kondisi-kondisi tersebut jarang memberi
peluang untuk luas pori maksimum yang mungkin terbentuk.
Kenyataannya, tumbuhan yang tumbuh di habitat-habitat ekstrim
seperti di gurun dan pada altitude yang sangat tinggi, mungkin
mendapat pengaruh yang jelek sehingga stomatanya tetap tertutup
dalam periode yang lama.

6.4.5 Produktivitas Primer


Tumbuhan mengandung 60% atau lebih karbohidrat yang dihasilkan
melalui pengikatan CO2 pada fotosintesis. Semua hewan mendapatkan
karbohidrat dari tumbuhan baik langsung maupun tidak langsung.
Oleh sebab itu tumbuhan merupakan produser utama. Jumlah
karbohidrat yang diakumulasikan oleh tumbuhan merupakan hal
penting bagi hewan, termasuk manusia. Laju tumbuhan
mengumpulkan bahan kering dinamakan produktivitas primer bersih,
dinyatakan dalam gram bahan organik kering per meter kuadrat tanah.
Bahan kering organik mengandung semua senyawa-senyawa
organik yang disintesa oleh tumbuhan termasuk didalamnya protein,
lemak, metabolit sekunder dan juga karbohidrat. Bahan kering tidak
hanya terdiri dari karbohidrat, akan tetapi semua senyawa-senyawa
lain terutama yang dibentuk dari gula. Pada temperatur dan intensitas
cahaya tinggi, produktivitas primer rumputan tropis C4 lebih tinggi
dibandingkan dengan tumbuhan C3 yang tumbuh pada lingkungan
yang sama. Sedangkan tumbuhan CAM seperti nenas memiliki sifat-
sifat produktivitas primer yang rendah.
Agar tumbuhan dapat membentuk karbohidrat dalam jumlah
yang tinggi, maka sangat penting menjaga waktu pergantian (time
over rate=TOR) pengikat CO2 agar dapat berlangsung pada laju yang
tinggi. Laju pergantian (TOR) dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk lamanya periode gelap, mendung dan kekeringan dan juga
hilangnya/ gugurnya daun pada tumbuhan decidous. Tumbuhan hutan
hujan tropis yang tidak menggugurkan daun (ever green) tidak banyak
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 183

dipengaruhi oleh keadaan seperti itu, oleh karena tumbuhan tersebut


tetap mampu membentuk karbohidrat dan metabolit lainnya. Akan
tetapi tumbuhan yang terlindung, tumbuh di daerah arid (kering),
pegunungan atau daerah attic (ber-es) sangat dipengaruhi oleh
keadaan tersebut selama periode panjang. Sehingga menyebabkan
produksi bahan keringnya sangat rendah, dan bahkan produksi
primernya dapat menjadi negatif jika fotosintesis berkurang oleh
keadaan tersebut sehingga laju produksi bahan kering lebih kecil
daripada laju penguraiannya pada proses respirasi. Tumbuhan yang
memiliki proporsi organ yang tak hijau tinggi seperti bunga, buah,
batang berkayu dan akar juga akan kehilangan banyak produksi
fotosintesis. Organ-organ yang tidak hijau tersebut tidak dapat
menghasilkan senyawa-senyawa karbohidrat, organ-organ tersebut
dipakai karbohidratnya pada saat respirasi.

6.4.6 Atmosfir Tanah


Tanah normal mengandung rongga-rongga di antara partikel yang
berisi campuran gas-gas yang dinamakan atmosfir/ udara tanah. Akan
tetapi proporsi gas-gasnya tidak sama dengan udara di atas permukaan
tanah. Udara tanah biasanya jenuh dengan uap air. ditambah lagi
dengan respirasi organisme tanah dan perakaran tumbuhan dapat
meningkatkan proporsi CO2 yang dapat mencapai setinggi 13% dari
udara di atas permukaan tanah. Oleh karena tidak terjadi fotosintesis
di bawah permukaan tanah, sedangkan O2 dipakai pada respirasi dan
tidak diganti, maka proporsi O2 di dalam udara tanah umumnya lebih
rendah dari udara di atas permukaan tanah.
Laju difusi gas melalui rongga pori tanah adalah rendah,
akibatnya meskipun pertukaran gas berlangsung terus-menerus dengan
udara luar namun kandungan CO2 tanah tetap tinggi, sedangkan
kandungan O2 selalu rendah. Laju difusi dan pertukaran gas dalam
tanah tergantung pada struktur tanah. Pada tanah-tanah yang
mengandung koarsa dan beragregat baik, biasanya memiliki rongga
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 184

pori besar, difusinya berjalan lebih cepat daripada tanah yang berpori
kecil dan beragregat jelek. Lebih jauh, konsentrasi CO 2 dapat
mencapai pembatas pertumbuhan tumbuhan dan organisme tanah
aerobik. Walaupun tanah yang bertekstur baik memiliki rongga pori
lebih banyak daripada tanah-tanah koarsa, ukuran porinya yang lebih
kecil sangat memperlambat difusi. Rongga yang besar sangat cepat
meloloskan air, akan tetapi rongga kecil dapat memegang air pada
rongga kapiler untuk melawan kekuatan gravitasi. Tanah yang
memiliki jumlah pori yang banyak menyebabkan berkurangnya
kapasitas udara, oleh karena itu sangat ekstrim dalam hal aerasi tanah.
Dengan mengabaikan jumlah dan ukuran pori, suatu tanah akan jelek
aerasinya bila drainasenya tidak baik dan neraca airnya dekat dengan
permukaan.
Pada daerah tropis difusi gas terjadi sangat cepat pada tanah-
tanah berpasir dengan rongga pori yang besar sehingga konsentrasi
oksigennya dapat dipertahankan di atas kondisi tanah normal.
Keadaan tersebut menyebabkan penguraian bahan organik sangat
cepat sehingga tanah-tanah yang demikian bercirikan kandungan
humusnya rendah.
Bilamana air masuk ke dalam tanah, air tersebut mengisi pori-
pori menggantikan udara tanah. Jika air mengering dengan cepat,
udara luar dengan cepat masuk ke dalam tanah yang menyebabkan
naiknya kadar O2 udara tanah. Akan tetapi pada tanah-tanah berat,
pengeringan sedemikian lambatnya sehingga pori-pori yang terisi air
untuk beberapa lama akan mengurangi rongga yang tersedia bagi
udara tanah.

6.4.7 Pengaruh Konsentrasi O2 Rendah

Walaupun tanah beraerasi jelek mempengaruhi tumbuhan dalam


berbagai cara, namun yang paling penting adalah pengaruh
kekurangan oksigen. Beberapa mikroorganisme tanah seperti
Clostridium dapat beradaptasi pada tanah-tanah yang kekurangan
oksigen. Mikroorganisme tersebut mencari lingkungan yang sesuai.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 185

Akan tetapi kebanyakan tumbuhan tingkat tinggi menghendaki suplai


O2 tanah yang cukup untuk pertumbuhan akar yang normal. Laju
respirasi yang tinggi akibat temperatur tinggi di daerah tropis,
menambah permasalahan kekurangan oksigen pada beberapa jenis
tanah tropis. Laju respirasi juga meningkat apabila terdapat banyak
serasah dan atau humus sebagai bahan dekomposisi oleh
mikroorganisme, sedangkan perakaran meningkatkan respirasinya
pada saat musim pertumbuhan.
Akar tidak dapat berfungsi jika kadar O2 dalam udara tanah
kurang dari 10%. Pada tanah-tanah yang memiliki drainase baik,
konsentrasi O2 berkisar antara 10 – 21% pada udara luar. Konsentrasi
O2 tertinggi biasanya ditemui pada lapisan dekat permukaan tanah.
Perakaran tanaman yang sedang tumbuh, biasanya bergerak menuju ke
segala arah, sehingga akar tumbuhan menuju ke bagian tanah yang
memiliki rongga besar yang dapat menyediakan oksigen dengan baik.
Perakaran berkembang pesat pada kondisi paling menguntungkan
untuk tumbuhan secara keseluruhan. Perubahan mendadak dari O2
tanah dapat memberikan pengaruh yang buruk terhadap tumbuhan.
Jika kandungan O2 tanah berkurang secara mendadak tumbuhan
menjadi layu, terganggunya klorofil untuk berfotosintesis dan bahkan
tumbuhan dapat mati. Akan tetapi perubahan O2 secara perlahan-lahan
dapat ditolerir oleh kebanyakan tumbuhan oleh karena perakarannya
mempunyai cukup waktu untuk menemukan area tanah yang lebih
menguntungkan. Konsentrasi O2 di bawah 10% dapat menyebabkan
fungsi akar secara normal sangat terganggu dan bila kurang dari 2%
maka akar akan mati. Kandungan O2 sanagt rendah pada lapisan tanah
yang dalam yaitu hanya 1%. Hal ini dapat menyebabkan perakaran
normal tidak dapat bertahan pada lapisan tersebut. Akan tetapi
terdapat tumbuhan seperti padi dan mangrove yang dapat beradaptasi
terhadap kandungan O2 yang demikian, bahkan perakarannya dapat
menyebar sampai ke tingkat air permukaan. Tumbuhan lain dapat
menghindari kekurangan O2 dengan membentuk sistem perakaran
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 186

yang dangkal. Tetapi terdapat juga tumbuhan yang tidak dapat tumbuh
pada tanah-tanah yang memiliki tingkat air permukaan yang tinggi.

6.4.8 Adaptasi Tumbuhan Terhadap Oksigen


Terdapat berbagai cara tumbuhan beradaptasi terhadap kadar oksigen
yang rendah dalam tanah, termasuk diantaranya dengan sistem
perakaran yang dangkal, memiliki jaringan dan organ khusus untuk
aerasi, membutuhkan oksigen yang sedikit (low oxygen requirements)
dan tingkat kemampuan untuk bernafas secara anaerob. Kebanyakan
tumbuhan tingkat tinggi mempunyai suatu sistem rongga udara
interseluler yang berhubungan dengan udara melalui stomata. Pada
tumbuhan air, sistem internal tersebut berkembang dengan sangat
baik, sedangkan tumbuhan mesophyte mampu meningkatkan rongga
udaranya bilamana tumbuh di perairan atau tanah-tanah basah.
Efisiensi penyaluran oksigen dari bagian atas tanaman telah
ditunjukkan oleh tanaman padi, dimana perakarannya dapat
mengandung 18% oksigen sedangkan di sekeliling lumpur tempat
tanaman padi tumbuh tidak memiliki oksigen sama sekali. Beberapa
tumbuhan air (hydrophytes) seperti pohon mangrove hutan (Avicennia
nitida) dapat membentuk akar cabang khusus yang tumbuh tegak
hingga muncul di udara di atas lumpur dan batas air tertinggi. Struktur
tersebut dinamakan pneumatophores, memiliki sistem rongga udara
yang berkembang sangat baik dan dihubungkan oleh stomata, karena
itu pertukaran gas dapat berlangsung. Tumbuhan air lainnya, seperti
mangrove (Rhizophora spp), memiliki sistem perakaran yang dapat
menyangga di atas permukaan lumpur yang terdapat lubang yang
terbuka ke udara luar. Lubang-lubang tersebut dinamakan lentisel
menyebabkan pertukaran gas dapat berlangsung, dan pendifusian O 2
ke dalam perakaran yang dalam.
Kemampuan melakukan pernafasan anaerobik dalam waktu
sesaat dimiliki untuk suatu tingkat terbatas oleh jaringan dewasa pada
kebanyakan tumbuhan. Kemampuan tersebut terutama berkembang
baik pada respirasi tumbuhan air yang tumbuh pada air tergenang atau
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 187

pada tanah yang sangat basah. Pernafasan anaerob dimulai bilamana


kandungan oksigen dalam rongga interseluler turun sekitar 3%.

6.4.9 Perkecambahan dan Oksigen


Kebanyakan biji memerlukan oksigen yang banyak untuk
perkecambahan. Bilamana oksigen berada pada konsentrasi rendah
maka pernafasan berjalan sangat lambat dan menambah waktu
dormansi. Biji tumbuhan ―yang terbenam‖ dapat tetap hidup tetapi
tidak berkecambah selama bertahun-tahun, akan tetapi terjadi
perkecambahan dengan cepat bila terbawa ke permukaan tanah. Biji
tanaman lotus yang terbenam selama 1000 tahun dalam tanah
berlumpur ternyata diketahui mampu berkecambah. Oleh karena
kebanyakan biji juga membutuhkan cahaya untuk berkecambah, maka
cahaya dan kekurangan oksigen dapat berperan pada dormansi benih-
benih yang terbenam jauh di bawah permukaan tanah.
Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh sangat baik pada tanah-tanah
berlumpur, dimana konsentrasi oksigennya sangat rendah, memiliki
biji yang telah menyesuaikan diri untuk berkecambah pada keadaan
kekurangan oksigen. Sebagai contoh perkecambahan biji padi hanya
membutuhkan oksigen 10% dari yang dibutuhkan oleh biji gandum.
Adaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut termasuk
kemampuannya bernafas secara anaerob. Biji famili Leguminosae ada
yang kulitnya impermeabel terhadap oksigen. Pada kasus ini,
perkecambahan terjadi apabila kulit bijinya telah dapat ditembusi
oksigen dan respirasi aerobic dapat berlangsung untuk memulai
pertumbuhan embrio.

6.4. 10 Ekosistem Akuatik


Aktivitas fotosintesis tumbuhan air dapat menjernihkan air di
sekitarnya dengan oksigen terlarut. Akan tetapi biasanya air
permukaan suatu danau mengandung kurang 1% oksigen terlarut,
sedangkan proses difusi dari atmosfir ke dasar danau adalah sangat
lambat. Arus konveksi membantu penyebaran oksigen lebih
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 188

sering/banyak, tetapi secara umum terjadi kekurangan oksigen


terutama di lapisan bawah perairan.

6.4.11 Angin
Terjadinya angin disebabkan oleh adanya perbedaan panas daratan
dan perairan dan juga perbedaan temperatur antara daerah ekuator
dengan kutub. Kecepatan angin tergantung pada banyak faktor
meliputi topografi, massa, vegetasi, posisi pantai laut, ketinggian di
atas permukaan laut dan jalur angin utama serta daerah tenang.
Angin merupakan faktor sangat penting dalam ekologi, terutama
pada daratan yang rata, sepanjang pantai lautan dan altitude yang
tinggi. Angin berpengaruh secara langsung pada tumbuhan melalui
pemanasan atau pendinginan daun-daun, meningkatkan atau
menurunkan respirasi, menyebabkan berbagai kerusakan, dan
menyebarkan dan menghamburkan serbuk sari, buah dan biji.
Pengaruh angin tidak langsung terhadap tumbuhan termasuk
perpindahan massa udara panas dan dingin, pembentukan awan, kabut
dan merubah temperatur.

a. Pengaruh angin terhadap tumbuhan

Kecepatan angin mempengaruhi seluruh proses difusi antara


tumbuhan dan atmosfir. Karena itu laju pertukaran gas, air dan panas
tergantung pada kecepatan angin. Lapisan udara akan mengelilingi
permukaan suatu daun dengan ketebalan beberapa milimeter
menghalangi difusi, akan tetapi angin kencang dapat menipiskan
lapisan tersebut. Oleh karena itu peningkatan kecepatan angin dapat
meningkatkan pertukaran gas, secara umum dapat meningkatkan
transpirasi dan kehilangan panas. Akan tetapi pengaruh angin sangat
kompleks, pengaruh pendinginan udara dapat juga mengurangi
kehilangan air, karena itu memperlambat transpirasi, sedangkan
penurunan kelembaban pada permukaan daun dapat mengakibatkan
penutupan stomata. Jika terjadi penutupan stomata maka dapat
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 189

memperlambat pertukaran gas yang pada akhirnya menurunkan laju


fotosintesis.
Pada keadaan angin kencang stomata tertutup, pernafasan
kutikula menjadi sangat penting dan tumbuhan yang kutikulanya tipis
dapat menjadi kering. Oleh karena itu tumbuhan yang tumbuh di
daerah berangin kencang terus-menerus harus membentuk kutikula
yang tebal untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Diperkirakan
tumbuhan yang terdapat di daerah semi gurun yaitu vegetasi
xemmorphic di perbukitan Afrika Barat merupakan akibat dari
pengaruh angin kering dan panas yang dikenal sebagai Harmattan.
Pada daerah tropis, angin yang kering dan panas dapat
menyebabkan pengeringan yang ekstrim dan dapat mematikan
dedaunan, tunas dan buah. Tumbuhan yang lebih tinggi akan
mengalami pengaruh lebih besar. Tumbuhan yang tumbuh rendah
dapat terhindar dari pengaruh semacam ini, oleh karena tumbuhan
tersebut relatif pendek. Tumbuhan demikian dapat beradaptasi sangat
baik pada kondisi pengaruh angin kering dan panas.
Kebanyakan pengaruh angin seperti peningkatan transpirasi,
penurunan fotosintesis dan peningkatan respirasi disebabkan oleh
bending (pembungkukan) dan rubbing (gesekan) mengurangi
pertumbuhan dan akhirnya membentuk vegetasi yang pendek.
Perkembangan tumbuhan di bawah pengaruh angin yang kering tidak
pernah mencapai suatu tingkat hidrasi yang membuat tumbuhan
mampu mengembangkan pematangan sel-selnya mencapai ukuran
normal. Akibatnya seluruh organ tumbuhan menjadi kecil tanpa perlu
proses deformasi.

b. Kerusakan dan Deformasi Oleh Angin


Pengaruh hembusan dan arah angin yang tetap dapat mempengaruhi
bentuk tumbuhan. Tumbuhan yang membentuk tajuk dapat menjadi
bungkuk dan tajuknya tidak simetrik. Deformasi bisa saja tidak diikuti
oleh pemendekan, sebagai akibat angin yang lembab dapat
membentuk bentuk tajuk tanpa mengurangi ukuran yang berarti.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 190

Kerusakan tumbuhan yang disebabkan oleh angin di daerah


tropis dapat dengan berbagai cara, akibat siklon tropis atau hurricanes
(topan) merusak banyak vegetasi sedangkan squalls (hujan badai)
terbentuk sebelum thunder storm (hujan angin ribut-petir dan guntur)
merusak tumbuhan terutama pepohonan. Hurricanes (topan) yang
sering terjadi sebagaimana dialami di India Barat telah menghasilkan
suatu vegetasi sub-klimaks pada lereng pegunungan yang berhadapan
dengan angin. Vegetasi yang demikian dicirikan oleh tidak adanya
pepohonan yang besar, sedangkan di sisi windward (belakang angin)
yaitu di puncak pegunungan dan perbukitan (ridges), vegetasinya
cenderung didominasi oleh tanaman kerdil (stunted).
Kerusakan yang besar oleh angin adalah terbongkarnya
perakaran tanaman dan patahnya dahan-dahan dan batang yang
mengakibatkan matinya tumbuhan. Pengaruh yang agak kecil
termasuk rusaknya tajuk, ranting, defoliasi (pengecilan daun), dan
kerusakan daun-daun yang kesemuanya bermuara pada penurunan laju
fotosintesis dan meningkatkan respirasi. Pisang berdaun lebar sangat
peka terhadap kerusakan melalui sobekan di antara tulang daun.
Kerusakan seperti itu tidak selamanya menurunkan hasil tetapi dapat
menguntungkan dalam pendinginan daun-daunan. Pada saat sinar
matahari cerah memasuki dedaunan, dapat mencapai temperatur yang
mematikan yang kadang-kadang juga menurunkan fotosintesis.

c. Lodging/Rebah
Angin kuat dapat juga merusak tumbuhan yang pendek terutama yang
tergolong famili Graminae (yang sekarang disebut Poaceae).
Tumbuhan dapat rebah hingga rata dengan tanah yang dinamakan
mutewah (lodging). Jika batang belum begitu tua/matang, tumbuhan
yang rebah tersebut dapat tumbuh kembali pada buku-buku yang lebih
rendah. Akan tetapi kerusakan seperti ini dapat menurunkan hasil
terutama bagi tanaman pertanian seperti jagung, tebu dan padi.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 191

d. Abrasi
Angin yang membawa partikel-partikel pasir menyebabkan kerusakan
abrasi oleh pengikisan kulit dan kuncup pohon. Kejadian seperti ini
sangat kuat pada beberapa sentimeter di atas permukaan tanah, juga
tanaman yang tumbuh pada tanah berpasir di daerah berangin
merupakan tumbuhan yang sering mengalami kerusakan demikian.

e. Penghembusan Garam (salt spray)

Di sepanjang pesisir pantai, hamburan garam terbawa ke daratan oleh


angin selama musim badai. Garam-garam dapat menyebar ke daratan
sejauh beberapa kilometer. Kerusakan parah pada tumbuhan dapat
diakibatkan oleh badai bergaram yang tidak diikuti oleh hujan,
sehingga lapisan garam disimpan/didepositkan pada permukaan
tumbuhan. Ada beberapa tanaman seperti kelapa (Cocos nucifera)
dapat beradaptasi terhadap kerusakan seperti ini, akan tetapi banyak
tumbuhan yang sangat sensitif terhadap pengaruh garam dan tidak
dapat tumbuh di dekat pesisir pantai.
f. Erosi

Tumbuhan penutup tanah yang tidak terganggu pertumbuhannya


sangat efektif dalam mencegah erosi tanah oleh angin. Akan tetapi
pengaruh angin akibat pengikisan tanah gundul yang kecil dapat
menjadi begitu besar akibat tereksposenya perakaran tumbuhan hidup.
Akar tumbuhan tersebut mati yang menyebabkan meningkatnya area
yang rentan terhadap erosi. Tanah yang terkikis akan berbahaya bagi
tumbuhan, karena tanah berperan sebagai tempat akar menjangkarkan
dirinya. Beberapa spesies tumbuhan dapat mentolerir erosi yang parah
sepanjang akar-akarnya masih dapat beradaptasi dengan pembentukan
tanah baru diatasnya. Tumbuhan tersebut mengeluarkan akar adventif
setinggi batas batang agar mampu beradaptasi pada habitat yang
demikian.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 192

g. Pemecah Angin (windbreak)

Kecepatan angin dapat dikurangi oleh adanya tumbuhan pelindung,


bahkan tumbuhan herba memiliki pengaruh demikian pada permukaan
tanah. Kepadatan vegetasi dalam hutan dapat pula mempengaruhi
kecepatan angin yang dapat membentuk iklim mikro didalamnya.
Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh hembusan angin yang
memasuki tegakan pohon.
Penanaman pohon tertentu yang dikenal dengan tumbuhan
pemecah angin (belt) dapat berperan untuk pelindung. Pohon
demikian dapat ditanam di mana-mana untuk melindungi tanaman,
hewan ternak dan bangunan dari pengaruh angin kencang. Keefektifan
penanaman pohon tersebut tergantung pada kerapatan vegetasi. Jika
terlalu jarang, pohon tersebut akan memiliki pengaruh sedikit,
sedangkan jika terlalu rapat mengakibatkan torbulensi yang tidak
diingini.
Penahan angin memberi beberapa macam keuntungan terhadap
tanaman yang dilindunginya. Dapat mengurangi evaporasi, transpirasi,
kerusakan tanaman baik patah maupun rebah. Dengan menurunkan
kecepatan angin, belt pelindung dapat mengurangi erosi tanah yang
disebabkan oleh angin. Namun demikian, pemecah angin dapat juga
memiliki pengaruh yang merugikan, akibat pemakaian air dan hara,
karena itu mengurangi jumlah lahan tersedia bagi pertanaman.
h. Penyerbukan oleh angin

Pakar ekologi percaya bahwa serbuk sari tanaman yang paling primitif
penyebarannya dari kepala sari ke kepala putik tergantung pada angin.
Banyak tumbuhan yang masih diserbuki oleh angin, terutama famili
Coniferae dan Graminae. Akan tetapi, walaupun arus udara hampir
selalu terdapat untuk menyebarkan serbuk sari sampai beberapa
kilometer, namun terdapat beberapa kerugian penyerbukan oleh angin.
Karena penyerbukan oleh angin maka peluang serbuk sari yang
hinggap pada kepala putik pada spesies yang sama adalah sangat
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 193

sedikit. Oleh karena itu serbuk sari harus diproduksi dalam jumlah
yang sangat besar untuk keberhasilan pembentukan biji yang sesuai.
Tumbuhan yang diserbuki oleh angin memiliki adaptasi
morfologis tertentu yang membantu mengatasi kerugian penyerbukan
oleh angin. Bunga-bunga memiliki benang sari yang panjang melewati
perianth (perhiasan bunga), sehingga serbuk sarinya dengan mudah
diterbangkan oleh hembusan angin. Bila dibandingkan dengan
tumbuhan yang penyerbukannya dibantu oleh serangga, maka bunga
yang diserbuki harus memiliki perhiasan bunga dengan warna-warna
tertentu yang menarik perhatian. Kepala putik terhampar dengan
sempurna dan sering berbulu (feathery) sehingga kepala putik dapat
menyaring udara untuk berbagai serbuk sari yang mungkin ada. Bunga
biasanya berbentuk uniseksual dan selalu terletak di posisi atas
sehingga bunga-bunga tidak terlindung dari angin oleh dedaunan.
Bunga uniseksual mencegah berlangsungnya pembuahan sendiri, yang
dapat terjadi pada bunga-bunga banci (hermaproditus) seperti yang
terdapat pada pohon kapok (Ceiba petandra).
Serbuk sari bunga-bunga yang diserbuki oleh angin sangat
ringan dan tidak lengket sebagaimana pada tumbuhan yang diserbuki
oleh serangga. Beberapa tumbuhan memiliki mekanisme yang
membantu penyebaran serbuk sarinya. Tangkai sari rerumputan,
sebagai contoh, biasanya selalu bergerak, sedangkan kepala sari
kebanyakan tumbuhan hanya terbuka bilamana cuaca hangat dan
kering, karena itu mencegah pencucian serbuk sari oleh adanya hujan.
Kepala sari tumbuhan jarak (Ricinus communis) dapat meletus untuk
melepaskan serbuk sari ke udara.
Penyerbukan oleh angin tidak penting bagi sebagian
Gymnospermae dan Graminae di antara tumbuhan tropis. Pada hutan
hujan tropis terdapat sedikit angin, sehingga penyerbukan lebih
banyak dibantu oleh hewan. Jenis tumbuhan temperate (sub tropis)
seperti Quercus dan Castanea diserbuki oleh angin, sebagaimana
spesies tropis diserbuki oleh serangga.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 194

i. Disseminasi/penyebaran biji oleh angin.

Angin merupakan agent paling efisien dalam disseminasi dari banyak


tumbuhan darat yang tergantung pada angin untuk menyebarkan biji-
bijinya. Terdapat tiga tipe adaptasi yang umum ditemukan pada
penyebaran yang dibantu oleh angin. Spora tumbuhan yang rendah
sangat kecil dan oleh karena itu dapat dihembuskan pada jarak yang
sangat jauh. Biji-biji kecil pada tumbuhan Orchidaceae dan Ericaceae
juga sangat mudah dihembus oleh angin.
Buah atau biji tumbuhan Bombaceae, Malvaceae, Compositae
dan Asclepiadaceae ditutupi rambut sehingga lebih ringan dan mudah
diterbangkan angin. Buah atau biji beberapa pepohonan ada yang
bersayap seperti famili Bignoniaceae, yang memiliki kecepatan
perekahan yang tinggi sehingga biji-bijinya mampu terbawa jauh
secara horizontal.
Disseminasi biji pepohonan oleh angin terjadi pada hampir
seluruh famili tumbuhan tropis seperti Apocynaceae, Bambaceae,
Bignoniaceae, Dipterocarpaceae, Leguminosae, Sapindaceae,
Sterculiaceae dan lain-lain. Pepohonan di hutan hujan tropis
(evergreen) terlindung dari angin dan karena itu penyebaran bijinya
terjadi dengan cara lain. Akan tetapi beberapa pohon ―top storey‖
yang telah terbentuk sebelum klimaks tercapai, bijinya disebarkan
oleh angin. Beberapa tumbuhan merambat terutama Asclepiadaceae
dan Bignoniaceae memiliki biji yang disebarkan oleh angin.
Banyak tumbuhan decidous tropis, biji-bijinya disebarkan oleh
angin, dan sebaliknya pada hutan evergreen, benih tumbuhan semak
dan perdu tersebar di sekitar kanopi daunya. Daerah savanna sering
mengalami angin kencang dan karena itu banyak tumbuhan di daerah
tersebut penyebaran bijinya juga dibantu oleh angin.

6.5 Interaksi antar Tanaman

Tanaman yang memiliki hijau daun (klorofil) biasanya merupakan


organisme hidup yang tidak tergantung pada organisme lain karena
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 195

kemampuannya untuk mensintesis bahan makanan, tetapi sebaliknya


tidak demikian halnya pada tumbuhan tak berklorofil dan hewan.
Namun pada kenyataannya tumbuhan tidaklah benar-benar tidak
tergantung hidupnya pada organisme lain. Tumbuhan hijau juga
dipengaruhi oleh banyak organisme lain dengan berbagai cara. Banyak
tumbuhan tergantung pada burung, hewan atau serangga yang
membantu proses penyerbukan bunganya dan penyebaran biji-biji
tumbuhan seluas mungkin dalam suatu wilayah. CO 2 yang diabsorbsi
oleh tumbuhan hijau dalam proses fotosintesis berasal dari hasil
respirasi organisme lain, sedangkan O2 yang diperlukan untuk
respirasi telah terakumulasi di udara dalam jumlah yang besar
merupakan hasil fotosintesis tumbuhan hijau dari generasi ke generasi.
Sejumlah panas, cahaya, air dan hara tersedia bagi satu tanaman
merupakan hasil yang ditentukan oleh tanaman lainnya yang berada
didekatnya/sekitarnya. Lebih jauh, setidaknya sejumlah kerusakan
oleh penyakit yang dihasilkan organisme penyebab penyakit dan
herbivora hampir seluruhnya diteruskan oleh tanaman. Pada uraian
berikut ini akan membahas lebih lanjut tentang pengaruh tanaman
terhadap tanaman lainnya (Gambar 6.6).

Gambar 6.6. Selama pembentukan komunitas tersebut terjadi persaingan antara


tumbuhan pada lingkungan niche yang sama (Foto: Bazan and
Slawecki, 2008).
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 196

6.5.1 Persaingan Antar Tanaman

Seandainya kondisi tanah tidak gersang atau subur, tentu saja area
tersebut akan dipenuhi oleh suatu komunitas tanaman. Setiap spesies
mengisi niche yang berbeda. Akan tetapi, selama pembentukan
komunitas tersebut terjadi persaingan antara tumbuhan pada
lingkungan niche yang sama. Oleh sebab itu, kesesuaian fisik suatu
area tertentu untuk spesies tertentu tidak menjamin bahwa spesies
tersebut akan ditemui tumbuh pada daerah itu. Hal ini tergantung pada
sifat spesies lain yang mencoba untuk menutupi suatu area tersebut.
Ada dua bentuk kompetisi (persaingan) yang terjadi antar
tanaman yaitu persaingan intraspesifik dan persaingan interspesifik.
Persaingan intraspesifik adalah persaingan yang terjadi antar tanaman
dalam spesies yang sama, sedangkan persaingan interspesifik adalah
persaingan antara tanaman yang berbeda spesiesnya pada niche yang
sama. Persaingan intraspesifik menyebabkan hanya anggota-anggota
yang paling kuat yang dapat bertahan hidup. Banyak faktor yang
berperan dalam persaingan intraspesifik, akibatnya dapat
menyebabkan punahnya seluruh spesies lemah atau dipaksa merubah
niche.
Faktor-faktor yang dikompetisikan/diperebutkan oleh tanaman
meliputi cahaya, air, oksigen, tanah, hara dan CO 2. Faktor luar seperti
penyerbuk, penyebar biji, kondisi tanah, kelembaban, angin, gangguan
lingkungan oleh manusia juga mempengaruhi peluang hidup spesies-
spesies tertentu pada wilayah tertentu. Akan tetapi, bila areal tersebut
bukan habitat yang baik, mungkin saja parameter fisiknya dirubah
oleh adanya koloni tumbuh-tumbuhan dan hewan sehingga habitat
tersebut menjadi sesuai.
Adanya pengaruh modifikasi oleh komunitas tumbuhan dan
hewan terhadap angin, cahaya, temperatur, dan kelembaban akan
tercipta iklim mikro yang lebih sesuai bagi spesies lain. Dalam proses
yang sama, tanaman merubah karakteristik tanah dengan
mempengaruhi air dan hara tanah serta penambahan humus. Pengaruh
total dari aktivitas koloni itu sendiri menciptakan lingkungan baru
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 197

yang mereka sendiri tidak dapat bersaing lagi dengan spesies lain.
Bahkan koloni-koloni primer tereliminasi dari area tersebut yang
menghasilkan suksesi tumbuhan. Oleh karena itu koloni suatu area
tidak pernah tetap akan tetapi secara bertahap mengalami perubahan
komposisi spesies hingga mencapai klimaks.
Oleh karena habitat mengandung sumber daya yang terbatas
untuk mendukung kehidupan spesies yang terdapat di dalamnya, maka
kompetisi tidak dapat dihindari. Keberhasilan suatu spesies tergantung
pada kemampuannya bersaing dalam hal ruang, cahaya, air dan hara
tanah. Pada tempat-tempat yang kondisinya gersang seperti
lingkungan gurun dan pegunungan, tumbuh-tumbuhan biasanya
tumbuh berjauhan sehingga persaingan menjadi kecil. Akan tetapi
pada kondisi yang ideal seperti pada hutan hujan tropis, kompetisi
terjadi sangat intensif karenanya tanaman harus beradaptasi dengan
berbagai relung yang beragam untuk mempertahankan kehidupannya.
Laju perkecambahan dan pertumbuhan bibit yang kuat dapat
menjadi faktor penentu kemampuan spesies tertentu untuk melakukan
kompetisi. Contoh yang terjadi pada daerah tropis dimana
Andropogon menggantikan lalang (Imperata cylindrica). Oleh karena
pertumbuhan dan penyebarannya yang cepat, sehingga memperoleh
bagian cahaya, air dan hara yang lebih besar.
Ruang merupakan hal penting pada tahap tanaman yang masih
muda. Kompetisi paling kuat terjadi di antara tanaman yang sama
spesiesnya. Dengan demikian hamparan tegakan spesies tunggal yang
luas sangat jarang ditemui di alam. Jarak tanam sangat penting
diperhitungkan untuk mencapai jumlah maksimum tanaman per unit
area sehingga kompetisi terjadi sekecil mungkin. Hanya dengan cara
demikian hasil maksimum akan dapat dicapai. Kalau tidak,
produksinya akan menurun secara nyata, akibat energi habis terpakai
untuk kompetisi.
Pada hutan hujan tropis ditemukan bahwa tanaman dewasa
menekan perkembangan tanaman muda yang sama spesiesnya, akan
tetapi tanaman muda spesies berbeda dapat tumbuh secara berdekatan.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 198

Keadaan ini merupakan faktor penting dalam menjaga


keanekaragaman spesies yang menjadi karakteristik ekosistem hutan
hujan tropis.
Faktor paling penting diperebutkan oleh tanaman di atas
permukaan tanah adalah cahaya. Diduga, karena cahaya tidak dapat
disimpan, maka harus digunakan dengan tingkat efisiensi maksimum.
Tanaman yang suka cahaya (heliophytes) dan tidak suka cahaya
(sciophytes) dapat hidup secara berdekatan karena mengisi relung
yang berbeda. Kompetisi hanya terjadi di antara sesama tumbuhan
heliophytes dan di antara sesama tumbuhan sciophytes yang hidup
pada area yang sama. Kompetisi akan cahaya merupakan sebab
kompleksnya struktur hutan hujan tropis yaitu suatu ekosistem dimana
terjadi pemanfaatan cahaya secara maksimum.
Kompetisi akan cahaya juga terjadi antara dedaunan dalam satu
pohon seperti terjadi di antara pohon. Sebuah daun mengisi
kebutuhannya sendiri dan jika tidak dapat melakukan fotosintesis
maka daun tersebut akan mati. Oleh sebab itu, dedaunan yang
terbawah pada pohon rindang berada pada kondisi tidak
menguntungkan.
Kompetisi di antara tanaman untuk mendapatkan CO 2 juga
terjadi terutama pada pertanaman padat yang mendapat intensitas
cahaya tinggi, namun hal ini belum banyak dipelajari. Dari percobaan-
percobaan dapat dikatakan bahwa pemberian CO2 pada tanaman di
dalam kaca dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Tanaman C4
lebih untung dibandingkan tanaman C3 karena tidak melepaskan CO 2
melalui proses fotorespirasi. Tanaman CAM, mengabsorbsi CO 2 pada
malam hari dimana tanaman lain tertutup stomatanya.
Persaingan memperoleh O2 tidak terjadi di antara tanaman
karena gas tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup di atmosfer,
akan tetapi O2 di dalam tanah merupakan faktor pembatas
pertumbuhan sejumlah tanaman. Di bawah permukaan tanah, tanaman
bersaing dalam memperoleh air, udara dan hara. Kemampuan tanaman
untuk memperoleh kebutuhan essensial tersebut tergantung pada laju
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 199

pertumbuhan perakaran. Pada gilirannya hal ini juga tergantung pada


kemampuan tanaman melakukan fotosintesis. Dengan demikian, tidak
mungkin kita pisahkan faktor-faktor di atas permukaan tanah atau di
dalam tanah dalam hal kompetisi, akan tetapi masing-masing saling
berpengaruh. Ketidakmampuan tanaman berkompetisi tentang hara
mengakibatkan pertumbuhan tunas menurun, juga menyebabkan
tanaman ternaungi oleh tanaman lain yang tumbuh lebih kuat dan
cepat. Kekurangan memperoleh cahaya akan mengurangi
pertumbuhan perakaran sehingga mengurangi kemampuan
memperoleh air, udara dan hara. Siklus itu akan terbentuk sedemikian
rupa sehingga tanaman yang kalah dalam berkompetisi akan berakhir
dengan kematian. Bagi tanaman yang tetap bertahan hidup pada
habitat yang berdesak-desakan/padat seperti pada hutan hujan tropis,
biji-bijinya harus berkecambah dan tumbuh secara cepat karena pada
saat tersebut kompetisi terjadi sangat kuat.
Kemampuan tanaman berkompetisi juga bergantung kepada
status hara di dalam tanah. Pada tanah-tanah yang mengandung
konsentrasi ion Ca tinggi (tanaman calcioles) tumbuh lebih baik
dibandingkan tanaman calcifuges, akan tetapi sebaliknya terjadi pada
tanah-tanah dengan konsentrasi ion Ca rendah. Banyak tanaman yang
tumbuh pada habitat-habitat yang tidak menguntungkan disebabkan
tanaman tersebut mampu beradaptasi dengan kondisi yang tidak
cocok/merugikan seperti kekurangan air atau nitrogen atau adanya
racun-racun dalam tanah. Tanaman dapat toleran terhadap kekeringan
dan tanaman dapat beradaptasi dengan kadar logam berat yang tinggi
seperti copper, nikel, aluminium. Pada lingkungan lebih
menguntungkan tanaman tersebut tidak dapat berkompetisi dan
relungnya diisi oleh tanaman lain.
Tanaman dapat tumbuh secara berdekatan dengan tidak terjadi
persaingan akan air tanah dan hara akibat perbedaan kedalaman
perakaran, contohnya adalah antara rerumputan dan semak yang
ditemui pada savana tropis. Rerumputan relatif memiliki sistem
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 200

perakaran dangkal, sedangkan semak sering memiliki ujung akar lebih


dalam hingga mencapai pipa kapiler (capillary fringe).

a. Simbiosis

Simbiosis berarti hidup bersama yang termasuk seluruh pengaruh


suatu organisme terhadap organisme lainnya. Pengaruh simbiosis
dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu komensalisme (salah
satu tanaman memperoleh keuntungan dan tanaman lain tidak
terganggu), mutualisme (kedua tanaman memperoleh keuntungan) dan
parasitisme (salah satu tanaman memperoleh keuntungan dan tanaman
lain menderita kerugian).

b. Komensalisme

Banyak liana dan epipit yang ditemui pada hutan-hutan tropis


merupakan bentuk-bentuk komensalisme. Tanaman tersebut
menggunakan tanaman lain sebagai penopang/pendukung, tetapi tidak
menganggu, kecuali mungkin oleh penutupan atau ternaungi. Liana
berakar dalam tanah tetapi batangnya memerlukan topangan/dukungan
dari tanaman lain agar dedaunannya dapat menerima cahaya secara
maksimum. Walaupun liana-liana kecil jarang menganggu tanaman
inangnya, namun spesies-spesies yang besar dapat mengakibatkan
kematian inangnya melalui penutupan.
Epipit juga menggunakan tanaman lain sebagai pendukung agar
mendapatkan cahaya akan tetapi ia tidak berakar dalam tanah. Karena
tanaman epipit biasanya lebih kecil dari inangnya maka jarang
merusak inangnya, walaupun diketahui dapat juga membunuh
tanaman kakao dan pohon jeruk akibat penutupannya (smothering).
Karena banyaknya liana yang tumbuh pada kondisi hangat dan
lembab, sehingga menjadi suatu karakteristik dari daerah tropis yang
lembab dan dapat mengakibatkan interfensi/gangguan yang penting
dalam kehutanan. Liana dapat dibagi 4 jenis yaitu sebagai berikut:
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 201

(1) Leaner (bebas) yaitu tanaman yang tidak memiliki alat tertentu
untuk berpegang pada penopang. Contoh Plumbago capenis
(2) Liana berduri yaitu tanaman yang menghasilkan daun atau
pencakar (prickles), walaupun tidak khusus diproduksi untuk
tujuan tersebut akan tetapi dapat membantu liana mencari
dukungan/penopang. Contoh : Bougainvillea sp
(3) Twiner (penjalar) yaitu tanaman dimana seluruh batangnya
melingkari sekeliling penopang/pendukung. Umumnya adalah
herba. Contoh: Ipomoea spp
(4) Liana sulur yaitu tanaman yang menghasilkan organ khusus
berupa sulur khusus untuk membantu liana memanjat inangnya.
Contoh: Famili Cucurbitaceae dan Leguminosae.

Liana juga dapat dikelompokkan sebagai heliophytes dan


sciophytes. Tumbuhan liana heliophytes menyebarkan daunnya ke
seluruh kanopi tanaman inangnya baik berupa pohon maupun semak.
Akan tetapi liana sciophytes seperti Monstera dan Vanilla hanya
memanjat batang tanaman inangnya tanpa mencapai permukaan
kanopi.
Epipit termasuk cryptogram, herba, semak dan pepohonan.
Sejumlah 33 famili tumbuhan berbunga tergolong dalam spesies
epipit, termasuk famili Araceae, Asclepiadaceae, Bromeliaceae,
Cactaceae, Orchidaceae dan Rubiaceae. Tumbuhan paku-pakuan
kebanyakan bersifat epipit. Epipit dapat ditemui pada pohon, semak,
liana dan tumbuhan di bawah tanah. Sering ditemui epipit tertentu
memiliki inang tertentu pula pada satu pohon inang, bisa saja pohon
inang pendukung lebih banyak epipit daripada lainnya, hal ini
tergantung pada struktur dan komposisi kimiawi kulit pohon inang.
Epipit dapat bertengger pada batang, cabang tumbuhan pepohonan
atau pada permukaan atas dedaunan. Bila terletak dipermukaan atas
dedaunan disebut epiphills. Epipit biasanya banyak terdapat pada
percabangan atau pada cabang-cabang horizontal pepohonan dimana
mudah terjadi penumpukkan dan pengumpulan tanah.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 202

Epipit jarang ditemui pada percabangan vertikal yang


bepermukaan licin. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan inang
terbaik bagi epipit karena bekas pelepah daun yang tertinggal dapat
menjadi kantong tempat berkumpulnya tanah dan air. Jarang ditemui
pohon sawit liar tanpa epipit yang menyertainya. Walaupun banyak
tumbuh di perkebunan, epipit ini harus dikendalikan seminimum
mungkin untuk meningkatkan hasil.
Oleh karena tumbuh di atas tanaman lain, epipit memperoleh
cahaya sebagai kebutuhan vital. Akan tetapi untuk mendapatkan
cahaya, epipit mengabaikan air dan hara-hara mineral. Seluruh kelas
vegetasi epipit tergantung pada presipitasi, dengan demikian
tumbuhan ini paling banyak terdapat pada daerah dimana periode
kekeringan tidak terlalu lama. Pada daerah dingin dan beriklim kering,
epipit terbatas untuk algae, lichens, liverworks dan lumut/mosses. Di
daerah yang lembab dan beriklim basah banyak terdapat epipit berupa
paku-pakuan dan tumbuhan berbunga lainnya.
Pada hutan hujan tropis, epipit paling banyak ditemui. Vegetasi
ini memiliki spektrum ekologi yang luas, bervariasi dari jenis
heliophytes yang tahan kekeringan sampai sciophytes yang tumbuh
dalam kanopi yang jarang kekurangan air karena udara yang lembab.
Epipit yang tumbuh pada puncak-puncak pohon termasuk kaktus dan
bromeliads yang telah beradaptasi terhadap intensitas radiasi tinggi
dan kekeringan. Kelompok yang paling banyak adalah heliophytes
yang tumbuh dalam tajuk dan pada cabang pohon besar. Tumbuhan
epipit dapat mengurangi penetrasi cahaya, sehingga dapat membentuk
iklim mikro dibawah vegetasi. Tumbuhan sciophytes dapat tumbuh
baik meskipun ternaungi oleh kanopi yang dapat hidup pada batang
dan percabangan rendah dari pohon maupun semak.
Epipit memperoleh hara dari air hujan dan dedaunan mati yang
terkumpul dalam retakan dan cekungan pada permukaan batang dan
cabang. Semut dan organisme lainnya membantu menghancurkan
dedaunan mati untuk melepaskan hara. Untuk dapat bertahan hidup
dalam kekurangan air, maka banyak epipit bersifat xeromorphy yang
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 203

diciirikan dengan penebalan kutikula, stomata yang dalam dan


sukulen. Beberapa epipit menyebarkan akarnya pada permukaan
tumbuhan, dengan demikian mereka dapat mengabsorbsi air secara
maksimum.
Akar yang terbentuk sangat padat dan banyak sehingga
kelihatannya seperti sarang burung. Perakaran demikian dapat
bertindak sebagai pengumpul dedaunan mati dan memegang/menahan
air sehingga jaringan yang terbentuk dapat menjadi kantong tanah.
Epipit tangki memiliki daun yang panjang, menyebar dan posisi
daunnya membentuk roset yang berfungsi untuk menyimpan air.
Serangga, termasuk larva nyamuk, dapat hidup dalam cekungan air
tersebut. Sementara itu serangga lainnya yang mati dan terbenam
dalam cekungan air tersebut akan menjadi sumber hara bagi tanaman.
Tanaman epipit seperti tersebut di atas merupakan suatu microcosm.
Tumbuhan epipit yang membentuk tangki tergolong ke dalam famili
Bromeliaceae yang umumnya sering ditemui di hutan-hutan Amerika
Selatan.
Perakaran epipit tropis yang tergolong dalam famili
Orchidaceae dan Araceae dapat muncul ke udara, dan terlihat seperti
tongkat yang tidak bercabang. Organ keputih-putihan pada permukaan
akar yang demikian ditutupi oleh lapisan sel yang dapat mengambil air
secara cepat dari pencairan butiran air (briefest of showers). Lebih
lanjut bagian hidup lingkaran akar mengabsorbsi air dari lapisan
tersebut, bagian ini dinamakan velamen.
Di antara spesies epipit Tillandsia (Bromeliaceae), perakarannya
menyediakan organ terutama sebagai pemanjat/penjangkar. Daun dan
batangnya mengambil alih fungsi absorpsi. Pada tumbuhan T.
usnoides sistem percabangan kedua batangnya ditutupi oleh berkas
daun yang dapat mengumpulkan air. Air tersebut diabsorbsi oleh
epidermis perakaran yang tak berkutin pada periode musim kering.
Beberapa tumbuhan aerial yang dinamakan hemi-epipit
menghasilkan sistem perakaran yang panjang, kadang-kadang
mencapai tanah dan menjangkar dalam tanah. Dalam keadaan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 204

demikian tanaman tersebut berhenti sebagai epipit karena tidak lagi


sepenuhnya bergantung pada tanaman inangnya.

c. Mutualisme
Mutualisme terjadi bilamana dua tumbuhan tumbuh secara bersamaan
dan keduanya mendapat keuntungan. Lichens merupakan contoh
mutualisme yang telah berkembang dengan baik dimana pasangannya
dapat tumbuh secara terpisah. Setiap spesies Lichens terdiri dari
komponen fungi dan algae dimana sel algae terperangkap di dalam
micellium jamur. Reproduksi berlangsung di dalam soredia yaitu
berupa sepotong jaringan jamur yang di dalamnya terdapat beberapa
sel algae. Komponen algae hijau dan algae biru-hijau menghasilkan
karbohidrat melalui proses fotosintesis, sedangkan komponen jamur
berperan mendekomposisikan serasah untuk menghasilkan hara
mineral bagi kebutuhan lichens. Komponen ganggang hijau-biru pada
beberapa Lichens juga dapat mengikat nitrogen bebas dari udara.
Pasangan antara fungi dan algae pada lichens sangat berhasil
sehingga tumbuhan tersebut dapat tumbuh pada daerah dimana
kondisinya sangat gersang untuk pertumbuhan tumbuhan lain. Lichens
dapat bertahan hidup lama dan dapat bertahan pada temperatur dan
persediaan air ekstrim serta dapat hidup pada kondisi ketersediaan
hara yang sangat rendah. Produk fotosintesis disimpan dalam bentuk
gula alkohol di dalam tubuh jamur sehingga dengan demikian lichens
dapat tetap hidup selama periode kekeringan yang lama, sementara
pada musim basah dengan cepat akan segera memulai proses
fotosintesis serta penyerapan hara.
Bakteri yang hidup pada nodul daun-daun dari spesies Ardesia
dan Psychotria merupakan contoh mutualisme yang lain. Bakteri
memberikan keuntungan pada tumbuhan inangnya barangkali melalui
produksi hormon pertumbuhan.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 205

d. Mycotrophy
Salah satu contoh mutualisme adalah micotropi yaitu asosiasi jamur
dengan akar tumbuhan tingkat tinggi Jamur bertindak sebagai
penyerap hara perantara oleh akar tumbuhan. Miselia jamur bergabung
dengan akar membentuk suatu struktur yang dinamakan mikoriza. Ada
dua tipe utama mikoriza yaitu mikoriza ektotropik dan mikoriza
endotropik. Mikoriza ektotropik adalah mikoriza yang membentuk
mantel tebal pada seluruh permukaan akar dimana kebanyakan
hifanya menjulur ke dalam tanah dan sebagian melakukan penetrasi ke
dalam perakaran tanaman. Akan tetapi kebanyakan mikoriza adalah
bertipe endotropik yaitu sejumlah hifa hidup di dalam protoplas
jaringan perakaran sedangkan sebagian lagi menjulur ke dalam tanah,
tanpa membentuk mantel pada permukaan akar. Anggota tumbuhan
Pinaceae memiliki mikoriza ektotropik, sedangkan famili tumbuhan
Orchids dan Compositae memiliki mikoriza endotropik.
Biji Orchids sangat kecil hanya mengandung embrio rudimenter
dengan sejumlah kecil cadangan makanan berupa lemak. Biji tersebut
tidak berkecambah secara normal bila tidak berasosiasi dengan miselia
jamur seperti Rhizoctonia. Akan tetapi diketahui bahwa tanaman
anggrek dapat tumbuh dari biji tanpa bersimbiosis asalkan disuplai
gula dan pH media diatur pada skala 5 atau lebih rendah.
Kebanyakan perakaran pohon hutan hujan tropis tidak banyak
memiliki rambut akar dan perakaran yang demikian tergantung pada
fungi yang khusus mengumpulkan mineral-mineral. Jamur
memperoleh hara dari pelapukan litter dan humus. Sebagai pertukaran,
pohon menyediakan karbohidrat bagi fungi dengan mengabsorbsinya
melalui hifa yang berpenetrasi di dalam perakaran. Fungi tidak dapat
melakukan fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat karena tidak
memiliki klorofil.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 206

6.5.2 Fiksasi Nitrogen

Aktivitas bakteri dan algae pengikat N, baik yang hidup dalam tanah
maupun pada permukaan atau di dalam tanaman inang, merupakan hal
yang sangat penting dalam memelihara/mempertahankan daur
nitrogen. Substrat untuk organisme tersebut adalah gas Nitrogen yang
ada di udara. Gas Nitrogen di udara merupakan substansi yang tidak
reaktif dan tidak dapat dipakai jika tidak bereduksi oleh
mikroorganisme menjadi ammonium (NH4) atau nitrat (NO3).
Organisme pengikat N biasanya tumbuh berasosiasi dengan tumbuhan
sehingga ammonium secara cepat dapat diabsorpsi oleh tanaman.
Nitrogen di dalam tubuh tanaman dikonversi menjadi asam-asam
amino kemudian disintesis ke dalam berbagai bentuk senyawa organik
yang mengandung nitrogen, yang paling penting adalah protein.
Enzim nitrogenase yang mengkatalisis reduksi nitrogen menjadi
ammonium adalah sangat sensitif terhadap oksigen. Itulah sebabnya
mikroorganisme tetap menjaga N dalam kondisi anaerob. Fiksasi N
hanya berlangsung pada kondisi tanah kekurangan N, sehingga sangat
menguntungkan tanaman oleh adanya asosiasi dengan mikroorganis-
me pengikat N. Bila tumbuh pada lingkungan tanah yang mengandung
konsentrasi N yang rendah, tanaman sangat beruntung akibat asosiasi
dengan mikroorganisme tersebut. Tanaman yang berasosiasi tumbuh
lebih cepat dan oleh karena itu lebih mampu bersaing dibandingkan
tanaman yang tidak berasosiasi semacam itu.
Walaupun terdapat sejumlah mikroorganisme pengikat N yang
bebas di dalam tanah, namun kontribusinya terhadap N tanah sangat
sedikit. Bilamana mikroorganisme pengikat N tersebut berasosiasi
dengan tanaman maka kontribusinya terhadap ketersediaan nitrogen
menjadi penting.
Perakaran leguminosae banyak memiliki nodul berupa habitat
bakteri (Rhizobium spp) yang mengikat N atmosfir pada tanah-tanah
kekurangan N. Nitrogen menguntungkan tanaman sedangkan bakteri
memperoleh karbohidrat dan air dari tanaman sebagai inangnya. Ko-
eksistensi antara tanaman dan bakteri merupakan contoh mutualisme.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 207

Sekitar 80 - 90% spesies sub famili Papilionaceae berasosiasi dengan


bakteri pengikat N, hanya 25% pada Mimosaceae, dan sangat sedikit
ditemui pada Caesalpinaceae yang membentuk nodul.
Saat tanaman inang yang muda mulai menghasilkan daun,
tanaman mengekskresikan suatu substansi yang dapat menarik bakteri
pengikat N. Selanjutnya bakteri mengekskresikan hormon yang
menyebabkan penetrasi pada bulu akar dan menyebar ke dalam akar,
oleh karena bakteri melakukan perbanyakan dirinya maka
terbentuklah nodul (bintil akar). Banyak sekali spesies Rhizobium,
masing-masing berasosiasi dengan kelompok tertentu spesies
tumbuhan tingkat tinggi. Sangat menarik diperhatikan bahwa tanaman
hanya akan mensekresikan substansi penarik jika tanah dalam keadaan
kekurangan N.
Bintil akar yang aktif memfiksasi N biasanya berwarna merah
disebabkan oleh adanya leghaemoglobin berupa protein yang
dihasilkan oleh tanaman. Leghaemoglobin mensuplai oksigen untuk
kebutuhan respirasi bakteri tanpa mempengaruhi aktivitas nitrogenase.
Walaupun asosiasi pengikat N dengan legum paling banyak dipelajari,
tetapi paling tidak terdapat 120 spesies tumbuhan non-legum yang
kebanyakan pohon dan semak diketahui juga berasosiasi dengan
bakteri pengikat N. Sebagai contoh Trema aspera dapat menjadi inang
bakteri Rhizobium. Asosiasi demikian penting bagi sumber nitrogen
pada hutan hujan tropis yang tanahnya mengandung N rendah.
Asosiasi algae hijau-biru pengikat N dengan tanaman juga
merupakan hal penting. Sebagai contoh, asosiasi paku air (Azolla)
dengan algae hijau-biru (Anabaena) merupakan hal yang penting pada
budidaya tanaman padi. Tanaman lain yang berasosiasi dengan
ganggang hijau-biru pengikat N termasuk pakis Macrozomia dan
Gunnera, kedua-duanya merupakan inang mikroorganisme tersebut.
Asosiasi mikroorganisme pengikat N dengan rerumputan sangat
sedikit jumlahnya. Sebagai contoh Azotobacter berasosiasi dengan
rumput tropis Paspallum notatum yang membuat seludang penutup
akar tempat bakteri tersebut hidup dan mengikat Nitrogen. Bakteri
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 208

pengikat N juga hidup berdampingan dengan fungi yang berfungsi


untuk membusukkan kayu-kayuan. Bakteri mensuplai N bagi fungi,
sedangkan bakteri sendiri memperoleh senyawa karbon yang
dihasilkan selama pemecahan selulosa.

6.5.3 Parasit
Tumbuhan parasit memperoleh seluruh atau sebagian hara dan air dari
tanaman lain. Untuk dapat melakukan hal yang demikian, tumbuhan
parasit mempunyai akar khusus dan organ lain yang dinamakan
sebagai haustoria. Fungi dan bakteri patogenik merupakan parasit
yang membahayakan tanaman inangnya dengan mengkonsumsi
jaringan dan melepaskan racun. Akan tetapi secara umum
keseimbangan antara parasit dan inangnya tetap terpelihara, sehingga
terjamin meskipun inangnya lemah, parasit tetap hidup dan tidak
musnah. Inang yang telah mati tidak digunakan oleh parasit. Jika
keseimbangan antara parasit dan inang tidak terjaga, maka dapat
menyebabkan kematian inang dan juga kematian bagi parasit.
Introduksi parasitik fungi, bakteri dan tumbuhan tingkat tinggi oleh
manusia pada inang baru yang tidak memiliki ketahanan terhadap
parasit tersebut telah banyak menyebabkan kegagalan budidaya
tanaman pangan secara luas yang dapat mengakibatkan kelaparan.
Kebanyakan tumbuhan tingkat tinggi hanya bersifat semi-
parasitik, karena tumbuhan hanya memperoleh air dan hara dari
inangnya. Disamping itu, tumbuhan juga mengandung klorofil
melakukan fotosintesis guna menghasilkan karbohidrat. Contoh famili
Loranthae yang dikenal sebagai mistletoes, yaitu spesies yang dapat
ditemui di mana-mana di muka bumi ini. Mistletoes tersebar luas di
daerah tropis, bersifat semi parasit pada pohon termasuk pada kakao.
Secara umum parasit tersebut hanya sedikit merusak pohon inangnya,
apabila kehadirannya tidak terlalu banyak. Walaupun pohon-pohon
kecil dapat mati, akan tetapi ditemukan bahwa kakao dengan sejumlah
parasit mistletoes lebih tahan kekeringan dibandingkan dengan kakao
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 209

yang tidak dijumpai parasit mistletoes. Oleh karena itu pada kasus ini
terjadi sedikit mutualisme atas parasit dan inangnya.
Striga adalah suatu spesies herba parasit pada akar rerumputan.
Walaupun striga menghasilkan beberapa daun yang mampu
berfotosintesis, akan tetapi secara umum kehadirannya menurunkan
hasil ekonomi rumput tropis seperti sorghum. Biji striga akan terpacu
perkecambahannya dengan cara mengontakkan dirinya pada akar
spesies tanaman inangnya. Dengan demikian rotasi tanaman akan
membantu mencegah parasit striga tersebut.
Anggota famili Orobanchaceae yang dikenal sebagai herba
yang tersebar dimana-mana, merupakan parasit terhadap perakaran
tumbuhan tingkat tinggi. Perakaran broom rapes berhubungan dengan
akar tanaman inangnya dan pada beberapa kasus bijinya tidak
berkecambah jika tidak kontak dengan akar inang yang sesuai.
Tumbuhan bagian atas mengandung sedikit klorofil dan malainya
lebih berwarna kecoklatan. Famili ini sangat dekat dengan
Scrophulariaceae yang terdiri dari striga dan banyak parasit akar
lainnya.
Raflesia suatu genus tanaman yang berasal dan Malaysia,
berperan sebagai parasit terhadap akar Vitis. Parasit tersebut sangat
ekstrim melakukan degenerasi sehingga dapat menyerupai jamur,
bagian vegetatifnya sama dengan miselia dan seluruhnya terbungkus
di dalam tanaman inangnya. Raflesia arnoldi (Gambar 6.7) merupakan
satu spesies yang terkenal karena memiliki bunga terbesar dalam
kelompok tumbuhan, diameternya sekitar 1 meter dan memiliki bau
busuk (evil odour). Rafflesia ini merupakan salah jenis tanaman
langka yang hanya tumbuh di kawasan Sumatra bagian selatan,
terutama di Provinsi Bengkulu. Tanaman ini pertama kali ditemukan
di Bengkulu pada tahun 1818, oleh seorang letnan dari Inggris. yang
pada saat itu tengah menjabat sebagai Gubernur Bengkulu, Thomas
Stamford Raffles dan Dr. Arnoldy, seorang ahli botani.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 210

Gambar 6.7. Tanaman Rafflesia meiliki ukuran bunga terbesar dan berbau busuk
(Foto: Ramasari, 2008).

6.5.4 Allelopati, Antibiotik dan Fitoaleksin


Tanaman dapat me-lindungi dirinya dari kompetitor dan penyerang
dengan menghasilkan senya-wa kimia beracun terhadap tanaman
lainnya. Bahan kimia yang dilepaskan ke lingkungan dapat mencegah
pertumbu-han tanaman lain. Substansi yang dihasilkan dinamakan
allelopati. Tumbuhan yang menghasilkan allelopati, baru diketahui
pada beberapa spesies, walaupun barangkali sangat banyak terdapat.
Allelopati dapat berupa substansi yang mudah menguap seperti
monoterpenoida cineole dari spesies Eucalyptus dan Camphor
(Cinnarnornum camphora). Substansi yang mudah menguap
dilepaskan ke udara terutama pada keadaan temperatur tinggi yang
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 211

dialami di daerah tropis dan masuk ke tanaman lain dengan cara larut
di dalam kutikula daun. Pertumbuhan tanaman di sekitarnya dapat
terpengaruh sampai sejauh 10 meter.
Banyak tanaman mengandung glikosida yang kurang berbahaya.
Apabila glikosida tercuci dari dedaunan lalu masuk ke dalam tanah
maka akan terhirolisa menjadi allelopati yang berbahaya. Walaupun
substansi tersebut segera diuraikan oleh mikroorganisme tanah akan
tetapi dapat memiliki pengaruh merusak terhadap tanaman lain,
misalnya memperlambat pertumbuhan tanaman.

6.6 Hubungan Tanaman dan Hewan

Tanaman dan hewan saling tergantung satu sama lain, hubungan


kedua jenis makhluk hidup ini dapat bersifat makrosimbiotik.
Hubungan antara tanaman dan hewan dapat berupa mutualisme atau
parasitisme yang sangat kompleks (Gambar 6.7). Tanaman sangat
penting bagi hewan terutama sebagai sumber pakan. Tanaman juga
berperan sebagai tempat perlindungan dari predator dan kondisi
lingkungan yang merugikan dengan cara menyediakan bahan-bahan
untuk sarang dan bangunan sebagai tempat tinggal hewan. Faktor-
faktor tersebut sering diabaikan. Dengan memodifikasi lingkungan,
tanaman berperan sangat penting terhadap pembentukan berbagai
macam habitat yang dihuni oleh hewan-hewan tertentu.
Hewan kurang begitu penting bagi tanaman, tetapi banyak
hewan berperan sangat penting dalam proses penyerbukan dan
penyebaran biji terutama tumbuhan di daerah tropis. Hewan juga
merupakan bagian dari proses siklus biogeokimia. Proses tersebut
sangat essensial untuk kehidupan di jagad raya ini karena dapat
menyediakan O2, CO2 dan N bagi tanaman secara berkelanjutan.
Biomassa yang dari hewan biasanya memiliki kadar protein atau
sumber nitrogen yang tinggi.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 212

Gambar 6.7 Hewan berperan sangat penting dalam proses penyerbukan


(Foto: Slemmons, 2004).

6.6.1 Pemakan Rumput dan Pemakan Dedaunan

Tanaman sangat penting bagi hewan karena tanaman sebagai sumber


pakan baik langsung maupun tidak langsung. Seluruh hewan
mendapatkan bahan makanan seperti gula, protein, lemak dan vitamin
yang berasal dari tanaman. Tanaman sangat penting bagi hewan untuk
mendapatkan energi yang diperlukan untuk kelangsungan proses
kehidupannya. Walaupun hewan karnivora memperoleh kebutuhannya
dari hewan lain, akan tetapi rantai pangan pertama sekali berawal dari
tumbuhan yang selanjutnya diteruskan ke hewan herbivora seperti
pada Gambar 6.8.
Herbivora pemakan rumput (grazing) mengkonsumsi daun-daun
rumput dan herba lainnya. Sedangkan herbivora pemakan daun
(browsing) adalah pemakan daun-daun dari tumbuhan berkayu.
Kijang, zebra dan sebagainya termasuk pemakan daun-daun dari
pohon berkayu. Namun demikian, istilah grazing sering dipakai untuk
menjelaskan kedua tipe pengumpulan pakan tersebut. Beberapa
serangga termasuk grazer seperti belalang dan kupu-kupu pemakan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 213

daun-daun tanaman. Akan tetapi banyak serangga mempunyai cara


makan yang lebih canggih.

Gambar 6.8 Aphids dan hama-hama lain menusuk/menembus permukaan daun dan
memakan secara langsung cairan isinya (Foto: Bazan, and Slawecki,
2011).

Aphid dan hama-hama lain menusuk/menembus permukaan


daun dan memakan secara langsung cairan isinya, yang memiliki nilai
nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh daun yang ada.
Beberapa serangga bahkan hidup di bawah permukaan daun sehingga
mendapatkan perlindungan sekaligus makanan. Cara hidup seperti ini
telah ditunjukkan dengan baik oleh serangga yang hidup pada/dalam
tumbuhan, dikenal sebagai galls (getah). Getah tersebut dihasilkan
oleh beberapa tanaman sebagai respon terhadap serangan serangga. Di
dalam getah tersebut, serangga mampu mendapatkan pakan yang
bernilai nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan getah/cairan tanaman
normal.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 214

6.6.2 Tanaman Bersemut

Hubungan antar beberapa spesies semut dengan tanaman inang


terutama bersifat mutualistik. Di daerah tropis terdapat semut-semut
yang hidup dalam dasar daun-daun yang membengkak pada pohon
Acasia. Semut-semut tersebut memiliki sengat yang sangat ganas dan
melindungi pohon tersebut terhadap kebanyakan musuhnya maupun
musuh semut itu sendiri. Selanjutnya pohon tersebut menyediakan
tempat tinggal untuk semut dan juga menyediakan pakan yang
dihasilkan oleh nektar. Pohon Acasia yang dihuni oleh semut yang
demikian tidak perlu lagi membuang sumber dayanya untuk
memproduksi zat pelindung cyanogenic glycocides secara biosintesis
seperti pohon yang tidak dihuni oleh semut. Namun demikian telah
diperlihatkan bahwa, ketergantungan pohon tersebut terhadap semut
bersifat mutlak. Jika semut tidak ada/pindah maka pohon segera kalah
terhadap serangan hewan atau dipanjati oleh tumbuhan liana dan
epifit.
Di Amerika Selatan terdapat semut pemotong daun yang
mengumpulkan potongan-potongan daun dari tanaman dan dijadikan
sarang. Sarang tersebut digunakan untuk membiakkan suatu jamur.
Jamur tersebut menghasilkan buah yang mengandung nutrisi khusus
untuk larva semut. Agar hasilnya meningkat, semut menambahkan
hormon tumbuh berupa auxin untuk membiakkan jamur tersebut.
Antara semut dan fungi saling ketergantungan satu sama lain. Jamur-
jamur demikian tidak pernah ditemui tumbuh di luar biakan seperti itu.

6.6.3 Mekanisme Ketahanan Tanaman

Jika herbivora dapat memakan tanaman tanpa hambatan dari berbagai


jenis, maka spesies tersebut dengan cepat menjadi punah karena tidak
dapat memproduksi organ seksual atau vegetatif. Oleh sebab itu
selama berjuta-juta tahun telah terjadi ko-evolusi antara tanaman dan
hewan termasuk serangga. Akibat ko-evolusi itu telah terbentuk suatu
mekanisme pengatur yang menjamin baik tanaman maupun hewan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 215

yang mengalami perjalanan proses tersebut. Sejumlah tanaman


menghasilkan duri, pencakar, atau rambut penyengat sebagai
pertahanan terhadap musuh.
Rambut yang lebat pada permukaan tanaman berperan sebagai
pelindung tanaman dari serangan serangga karena serangga tersebut
tidak dapat berpenetrasi ke permukaan daun. Beberapa rambut
tanaman mengeluarkan substansi perekat (gums) yang membuat
serangga tidak dapat bergerak sehingga ia mati. Kulit sejumlah pohon
juga menghasilkan gums bila dilukai sehingga dapat menangkap dan
membunuh musuhnya/penganggu. Serangga mati sering dijumpai di
dalam amber yang terkumpul jatuh dari pohon akasia. Produksi resin
dan lateks oleh sejumlah tanaman diduga merupakan mekanisme
pertahanan tanaman. Walaupun tanaman memiliki berbagai cara untuk
mempertahankan diri terhadap hewan, tetap saja ditemui paling tidak
satu jenis hewan yang dapat menganggu mekanisme pertahanan
tersebut.

6.6.4 Senyawa sekunder tanaman

Mekanisme pertahanan yang paling banyak ditemui pada tumbuhan


Angiospermae adalah produksi senyawa sekunder yang beracun atau
bertindak sebagai pencegah dimakan oleh herbivora. Senyawa-
senyawa primer seperti gula, protein, dan lemak merupakan penyusun
tubuh tanaman sekaligus merupakan pakan hewan dan biasanya tidak
membahayakan. Sedangkan peran utama senyawa sekunder tanaman
adalah untuk melindungi tanaman dari serangan herbivora dan parasit
lainnya. Senyawa-senyawa sekunder tersebut sangat bervariasi secara
kimiawi meliputi alkaloid, asam amino non-protein, glikosida
cyanogenik, glikosida kardiak, racun, sapponin dan terpenoida serta
bermacam-macam senyawa lainnya.
Alkaloid merupakan senyawa yang umum terdapat pada
tanaman tropis. Contohnya strychnine dalam spesies Strychnos,
nikotin pada spesies Nicotiana, caffein pada spesies Coffea dan quinin
pada spesies Chinchora. Beberapa diantara senyawa-senyawa tersebut
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 216

digunakan dalam dunia medis karena bersifat racun terhadap banyak


organisme penyebab penyakit. Alkaloid, misalnya opium dan nikotin
bertindak sebagai racun dengan cara mengikat protein dan enzim, oleh
karena itu mencegah reaksi katalisis biokimiawi yang sangat
dibutuhkan bagi kelangsungan hidup.
Glikoosida kardiak, seperti oubain dari spesies Acocanthera dan
Strophanthus, bereaksi pada hati. Oubain dipakai dalam dunia medis
untuk pengobatan beberapa bentuk penyakit hati, tetapi dalam jumlah
yang banyak dapat bersifat fatal. Cyanogenic glycocides melepaskan
racun hidrogen cyanide bilamana tanaman yang mengandung senyawa
tersebut dimakan oleh hewan. Asam amino non-protein sering
bertindak sebagai racun oleh karena asam tersebut menggantikan asam
amino esensial dalam protein.
Tannin merupakan senyawa sekunder yang umum dalam
tanaman. Walaupun tidak beracun seperti yang telah dikemukakan di
atas namun tannin membuat vegetasi menjadi sukar dicerna oleh
hewan karena pengikatannya terhadap protein. Meskipun tumbuhan
dapat menghasilkan berbagai senyawa-senyawa beracun, namun setiap
individu tumbuhan umumnya hanya memproduksi satu jenis senyawa
beracun saja. Bahkan seluruh famili tumbuhan dapat dicirikan oleh
senyawa sekunder yang dihasilkan oleh anggotanya. Diduga bahwa
setiap anggota famili Cruciferae membentuk glukosinolat yaitu suatu
senyawa yang menghasilkan racun minyak mustard bilamana tanaman
dimakan. Jenis alkaloid tertentu merupakan karakteristik famili
tertentu, sebagai contoh alkaloid opium pada tanaman Papaveraceae
dan alkaloid indole kompleks pada famili Rubiaceae.
Pada beberapa kejadian produksi senyawa sekunder dapat
berkorelasi dengan habitat. Sebagai contoh, pohon hutan hujan tropis
memiliki lebih banyak senyawa sekunder daripada pohon desidous.
Sedangkan tanaman yang tumbuh pada daerah arid sering
mengandung bahan yang membuat pusing (poisonous). Di antara
anggota famili Eupborbiaceae banyak yang mengandung lateks
beracun.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 217

Kelihatannya produksi senyawa-senyawa sekunder dapat


menguras sumberdaya tanaman dan karena itu spesies tanaman tidak
dapat membentuk lebih dari satu jenis senyawa. Akan tetapi
kekhususan yang demikian dapat merugikan tanaman oleh karena
serangga-serangga sebagai predator utama tanaman dapat
mengembangkan mekanisme untuk mengatasi daya racun dari
senyawa-senyawa tertentu. Namun demikian mekanisme pengurangan
daya racun oleh serangga tertentu akan menyebabkan peningkatan
energi serangga itu sendiri, karena serangga akan menghabiskan
sebagian energinya untuk menetralkan senyawa yang beracun
tersebut.
Oleh karenanya setiap satu jenis serangga hanya dapat
mengurangi daya racun satu jenis senyawa saja. Suatu jenis serangga
hanya memakan satu atau sangat sedikit spesies tanaman. Sebagai
contoh kumbang Brucid memiliki tanaman inang spesifik secara lokal.
Larva dan setiap spesies kumbang tersebut memakan biji-bijian dari
tanaman inang yang berbeda-beda. Oleh karena spesies inang tetap
beracun terhadap serangga lain sehingga inang tidak mengalami
kepunahan akibat dimakan (overgrazed) dan keseimbangan antar
tanaman dan serangga tetap terpelihara. Kemampuan evolusi dalam
membentuk mekanisme pengurangan daya racun oleh serangga maka
tidak mengherankan bahwa banyak serangga menjadi resisten
terhadap racun yang dibuat oleh manusia.
Hewan-hewan besar umumnya hanya memakan beberapa jenis
tanaman sehingga hewan besar memakan sedikit vegetasi dengan
kandungan racun tertentu sampai ke tingkat berbahaya. Akan tetapi
pada waktu hewan tersebut kelaparan dimana pilihan tanaman untuk
dimakan terbatas, maka hewan-hewan besar pun dapat keracunan
akibat terlalu banyak memakan tanaman yang mengandung racun
tertentu. Sebagai contoh spesies Datura mengandung racun atropine
yaitu jenis alkaloid. Tanaman Datura hanya dimakan oleh herbivora
bilamana hewan-hewan tersebut telah menghabiskan vegetasi yang
lebih disukainya (palatable).
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 218

Ruminansia merupakan hewan khusus herbivora yang mampu


beradaptasi dengan baik meskipun memakan tanaman yang beracun
karena merupakan hewan ini merupakan inang dari banyak jenis
mikroorganisme yang dapat mengurangi daya racun. Senyawa-
senyawa beracun yang juga pencegah untuk dimakan sering memiliki
rasa yang tidak enak seperti alkaloid yang ditemui pada banyak famili
tanaman dan juga cucurbitacin yang merupakan karakteristik famili
Cucurbitaceae. Tannin juga memiliki rasa yang tidak enak yang dapat
mencegah tanaman untuk dimakan akan tetapi tannin tidak beracun.
Salah satu senyawa yang terkenal sebagai pencegah untuk dimakan
adalah azadirachtin yang dihasilkan oleh pohon nimba (Azadirachta
indica). Senyawa ini bahkan dapat mencegah belalang gurun yang
dapat memakan hampir setiap tanaman yang berada di sekitarnya.
Sejumlah tanaman bila dimakan akan menghasilkan senyawa
yang dapat mempengaruhi sistem reproduksi atau pertumbuhan
hewan. Hal ini sangat efektif untuk mengurangi populasi predator
serangga. Senyawa tersebut banyak ditemui pada paku-pakuan dan
Gymnospermae, diduga ini karena tumbuhan tersebut merupakan
tumbuhan tertua dan telah terko-evolusi dengan serangga dalam
periode waktu yang lama. Predator yang memakan tumbuhan paku-
pakuan sangat jarang ditemui, tidak seperti tanaman penghasil biji
yang sampai saat ini belum ditemui bentuk perlindungan yang benar-
benar efektif. Pada tanaman paku-pakuan ditemukan adanya senyawa
Ecdysones yang merupakan senyawa yang mirip dengan hormon dan
dapat mengelupas kulit serangga,. Hormon tersebut mengendalikan
penggantian kulit luar dari larva serangga dan dihasilkan dalam
jumlah yang benar-benar dikendalikan pada setiap tahap pertumbuhan.
Absorbsi hormon tersebut oleh hewan dan tanaman dapat
menyebabkan abnormalitas dan sterilitas.
Banyak jenis tanaman legum yang mengalami kelebihan
dimakan (overgrazed) oleh hewan selain serangga. Tanaman legum
dapat menghasilkan isoflavonoida yang mirip dengan hormon sex dan
mengakibatkan kemandulan atau aborsi pada serangga muda.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 219

Senyawa tersebut terdapat dalam tanaman makanan ternak seperti


Clover dan alfalfa. Sebagai contoh domba sangat rentan terhadap
pengaruh hormon tersebut.
Beberapa tanaman juga menghasilkan hormon yang membuat
serangga tetap muda. Hormon-hormon tersebut sangat efektif
mencegah larva serangga mencapai tahap dewasa dan tahap
reproduksi. Senyawa lain yang mempunyai pengaruh berbeda
menyebabkan methamorphosis sangat cepat terjadi yang juga
mengakibatkan kemandulan. Namun demikian seperti juga senyawa
beracun lainnya, sejumlah serangga telah membentuk mekanisme
pengurangan daya racun atau telah berevolusi dengan cara-cara
menggunakan senyawa-senyawa tersebut untuk keuntungan serangga
itu sendiri.
Sejumlah serangga menggunakan tanaman beracun sebagai
bahan pertahanan untuk serangga tersebut. Raja kupu-kupu
menyimpan cardiac glycosida. Bilamana larva memakan gulma susu
(milkweed) contohnya Asclepias spp, akan menyebabkan kupu-kupu
dewasa menjadi sangat beracun dan karenanya akan terhindar dari
burung. Bahan cardiac glycosida ini memiliki rasa tidak enak karena
itu bertindak sebagai pencegah untuk dimakan oleh burung. Aphids
yang memakan oleanders (Nerium oleander) menjadi sangat beracun
dari cardiac glycosida yang dihasilkannya. Tidak seperti aphids
lainnya, yang berwarna hijau untuk menghilangkan jejak dari
predator, aphids oleander berwarna sangat kuning, warna kuning
merupakan warna yang sangat berbahaya dalam dunia hewan.
Banyak serangga telah mengubah produksi senyawa sekunder
beracun oleh tanaman menjadi bentuk yang menguntungkan bagi
serangga dengan berbagai cara. Tanaman yang memiliki senyawa-
senyawa yang mudah menguap (volatil) seperti terpenoid dan minyak
mustard merupakan daya tarik bagi serangga untuk memakan tanaman
tersebut, meskipun di sisi lain kedua senyawa tersebut merupakan
senyawa beracun bagi serangga lainnya. Sebagai contoh larva dan
kupu-kupu Pierinae memakan anggota famili Cruciferae dan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 220

Caparidaceae yang mengandung glucosinolat. Senyawa-senyawa


tersebut melepaskan volatil yaitu minyak mustard beracun bila
tanaman dilukai dan bau busuk senyawa tersebut akan mengundang
kupu-kupu betina untuk meletakkan telurnya. Setiap spesies kupu-
kupu akan menyukai minyak mustard yang berbeda pula dan karena
itu tidak ada satu spesies tanaman yang habis dimakan, di sisi yang
lain larva yang diletakkan pada tanaman yang berbeda akan terhindar
dari kepunahan. Tanaman lain juga menghasilkan senyawa-senyawa
pencegah untuk dimakan kupu-kupu, sebagai contoh anggota famili
Rubiaceae, yang mensintesis alkaloid secara biologis dan anggota
famili Ranunculaceae yang mengandung protoanemonin.

6.6.5 Rumput-rumputan dan Hewan


Sedikit sekali rumput-rumputan yang menghasilkan racun, walaupun
ada biasanya cyanogenic glycosida. Rerumputan merupakan tanaman
pakan bagi hampir seluruh hewan herbivora berukuran besar. Oleh
karena itu, rerumputan telah memiliki mekanisme pertahanan diri
yang efisien untuk menyesuaikan diri. Selama ko-evolusi rerumputan
dengan hewan, rerumputan telah membentuk metoda pertumbuhan
yang sangat menguntungkan akibat terus-menerus dimakan oleh
hewan. Tidak seperti kebanyakan tanaman lain, titik tumbuh
rerumputan berada sedikit di bawah permukaan tanah dan karena itu
rumput tidak mati akibat injakan atau bila pucuknya dimakan hewan.
Kenyataannya, semakin banyak dimakan oleh hewan-hewan besar
maka dapat merangsang produksi pucuk baru lebih cepat yaitu
produksi pucuk-pucuk lateral dari ketiak daun yang lebih tua.
Karenanya bila hewan besar memakan rumput secara cukup dan tidak
berlebihan maka dapat mendorong pertumbuhan dan penyebaran
rerumputan. Apabila rumput terganggu maka dengan cepat tumbuh
sejumlah akar serabut, yang menjamin pemulihan secara cepat.
Namun demikian pada areal padang rumput dapat terjadi
kelebihan dimakan oleh hewan-hewan besar dan bahkan rumput dapat
mati. Situasi demikian pada gilirannya dapat menggeser padang
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 221

rumput tropis menjadi padang gurun, yang merupakan salah satu


bentuk erosi yang sangat perlu mendapat perhatian. Jenis hewan yang
diintroduksi biasanya lebih berbahaya daripada spesies hewan yang
terdapat di tempat tersebut. Sebagai contoh gerombolan besar banteng
di Afrika Timur berpindah secara alamiah dan satu padang rumput ke
padang rumput lainnya setiap tahun, dimana keadaan ini membiarkan
terjadinya regenerasi padang rumput. Sebagai contoh pada zaman
dahulu, di Afrika kehadiran suku Masai sebagai pengembara, yang
memindahkan sapi dan kambingnya secara teratur sehingga padang
rumput dapat istirahat. Namun, peningkatan jumlah penduduk di
antara suku tersebut dan adanya kecenderungan untuk menempatkan
ternaknya hanya di satu tempat saja telah merusak ekosistem yang
ada. Proses kerusakan ekosistem dari padang rumput yang parah akan
mengancam lahan berubah menjadi gurun atau padang pasir.

6.6.6 Aktivitas Perusakan Oleh Hewan


Keseimbangan antara tanaman dan hewan dapat dengan mudah
terbentuk sehingga banyak aktivitas hewan yang tidak merusak
tanaman. Namun, ada pula aktivitas perusakan tanaman yang
dilakukan oleh hewan. Sebagai contoh gajah yang memiliki ukuran
sangat besar merupakan hewan utama yang merusak karena gajah
mencabut dan merobohkan pepohonan. Kawanan yang sangat banyak
dari gajah bahkan dapat merubah hutan menjadi padang rumput atau
bahkan menjadi gurun.
Kawanan belalang dapat menghabiskan daun-daun vegetasi pada
suatu area yang sangat luas yang dapat menyebabkan banyak tanaman
mati, walaupun ada tanaman yang mampu melakukan regenerasi.
Suatu hal yang menarik bahwa tanaman nimba (Azadirachta indica)
tidak pernah dimakan oleh belalang karena adanya azadirachtin
sebagai senyawa sekunder yang dihasilkan oleh tanaman tersebut yang
bertindak sebagai pencegah untuk dimakan.
Burung-burung Quelea yang hidup dalam kawanan yang sangat
banyak jumlahnya di Afrika dapat melahap seluruh tanaman biji-bijian
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 222

sedangkan hewan pengerat dapat merusak kacang polong, buncis,


serealia dan kacang tanah. Hewan-hewan yang lebih kecil seperti
tungau kumbang penggerek, aphids, dan cacing juga berbahaya bagi
tanaman. Pengaruh-pengaruh hewan tersebut dapat menyebabkan
hancurnya tanaman pertanian. Hewan-hewan juga sering merupakan
vektor dalam transmisi penyakit tanaman. Sebagai contoh hama bubuk
pada tanaman kakao mentransmisikan virus penyebab penyakit
bengkok pucuk dari satu tanaman ke tanaman lainnya.

6.6.7 Tanaman Karnivora

Walaupun kebanyakan hubungan tanaman-serangga bahwa serangga


merupakan predator, namun ada sejumlah tanaman telah
mengembangkan mekanisme dimana ia dapat memangsa serangga.
Tanaman kendi (pitcher) merupakan tanaman yang tergolong genus
Darlingtonia, Nepenthes, Sartuacenia. Daun tanaman ini membntuk
suatu cekungan dan mengeluarkan suatu cairan. Cairan tersebut
sebagian atau seluruhnya diekskresikan oleh permukaan daun dan
merupakan suatu larutan encer dari enzim proteolitik. Serangga-
serangga atau hewan-hewan kecil yang jatuh dalam genangan tersebut
tidak dapat lari dan bahkan tenggelam. Enzim melarutkan bagian yang
lembut dari tubuh hewan dan melepaskan asam-asam amino yang
diabsorbsi oleh tanaman. Terdapat serangga lain yang telah
mengembangkan cara-cara bertahan terhadap enzim tersebut dan
serangga tersebut dapat hidup dalam genangan cairan tanaman, namun
hasil ekskresi dari serangga-serangga tersebut dapat menyediakan
makanan bagi tumbuhan.
Sundews (Drosera spp) sangat luas tersebar pada habitat yang
berlumpur. Helaian daunnya tertutup oleh bulu-bulu yang berkelenjar,
dimana setiap bulu memiliki setetes cairan perekat. Serangga-serangga
kecil yang hinggap pada daun akan lengket dan merangsang bulu-bulu
membungkuk menuju tubuh serangga. Kemudian kelenjar
mengeluarkan enzim proteolitik yang mencerna serangga tersebut.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 223

Sangat penting dicatat bahwa bahan yang tidak mengandung protein


tidak dapat merangsang pergerakan bulu atau ekskresi enzim.
Helaian daun Venus flytrap atau bintang johar perangkap
terbang (Dionaea muscipula) menyerupai sebuah perangkap kuat.
Permukaan daun atas memiliki enam bulu sensitif, hanya dua di
antaranya jika disentuh terus-menerus (simultan) mengakibatkan daun
tersebut menutup dengan serta merta dan menangkap serangga.
Setelah itu terjadi pencernaan dan pengabsorbsian, setelah selesai
maka helaian daun kembali ke posisi terbuka seperti semula.
Tidak satupun di antara tanaman-tanaman tersebut di atas
tergantung seluruhnya pada hewan yang dimangsa untuk kebutuhan
senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen, karena tanaman-
tanaman itu sendiri dapat menyerap senyawa nitrogen anorganik dari
dalam tanah. Namun demikian, banyak jamur yang parasit pada
manusia dan hewan lainnya merupakan tanaman karnivora obligatif
dan harus mendapatkan makanan dari mangsanya.

6.6.8 Penyerbukan Oleh Hewan

Tidak seperti hewan, tumbuhan tidak dapat berpindah ke sekelilingnya


untuk mencari pasangan. Oleh sebab itu, tanaman harus
menggantungkan diri pada pergerakan hewan atau angin supaya
terjadi penyerbukan antar anggota yang berbeda pada spesies yang
sama. Di daerah tropis sangat sedikit spesies, selain Conifers, rumput
juga diserbuki oleh angin. Banyak tanaman tropis terutama diserbuki
oleh serangga, burung atau mammalia kecil sebagai vector. Jumlah
hewan penyerbuk vertebrata lebih banyak di daerah tropis
dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang (temperate).
Penyerbukan merupakan contoh mutualisme yang paling baik
yang dapat eksis antar tanaman dan hewan. Bagi tanaman pembuahan
ovarium dan produksi biji merupakan hal yang sangat penting dan
pembuahan akan menghabiskan banyak energi dan sumberdaya
makanan untuk terjaminnya penyelesaian yang berhasil. Produksi
bunga yang besar dan berwarna cerah pada tanaman tropis hanya
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 224

karena alasan untuk menarik serangga. Dalam keadaan yang sama,


bau-bauan yang sangat tajam pada bunga-bunga tanaman tropis
diproduksi semata-mata untuk menarik penyerbuk dengan ukuran
yang sangat kecil atau bunga-bunga yang aktif pada malam hari.
Namun demikian, daya tarik bau tanaman tidak cukup untuk
merangsang atau menjamin suatu hewan untuk mengunjungi suatu
spesies tertentu agar terjadinya penyerbukan silang. Untuk mengtasi
hal ini, tanaman mengembangkan metode lainnya yaitu dengan
menghasilkan makanan khusus buat penyerbukan dalam bentuk nektar
atau serbuk sari. Nektar dari sejumlah bunga mengandung asam amino
essensial dan oleh karena itu nektar memiliki nilai gizi tinggi,
sedangkan serbuk sari mengandung protein yang sangat tinggi.
Banyak penyerbuk terutama serangga, kehidupannya seluruhnya
tergantung pada makanan yang dihasilkan oleh bunga-bunga spesies
tertentu.
Banyak tanaman tropis berko-evolusi dengan burung-burung
dan kalong. Burung tropis Amerika yang berdengung (Trochilidae)
merupakan penyerbuk banyak spesies tanaman, sedangkan burung-
burung tersebut hanya mendapatkan makanan dari bunga-bunga yang
memiliki tabung panjang. Oleh karena itu tanaman dan burung
berdengung saling bergantung satu sama lain Pemakan madu
(Meliphagidae) dan burung matahari (Nectariniidae) menyerbuk
bunga-bunga, tetapi saling ketergantungan antara burung-burung
tersebut dengan tanaman tidak semutlak seperti burung-burung
berdengung. Tanaman yang diserbuki oleh burung biasanya berwarna
merah cerah atau kuning mencolok.
Bunga-bunga yang diserbuki oleh kalong biasanya berwarna
putih atau pudar tak berkilap. Kalong adalah buta warna dan oleh
sebab itu tanaman tidak perlu menghabiskan sumberdaya untuk
menghasilkan warna. Akan tetapi tanaman tersebut mensintesis nektar
banyak sekali dan bunganya terbuka pada malam hari saat kalong
berada dalam keadaan aktif. Untuk mendorong hewan mengunjungi
beberapa tanaman pada satu malam dan terjadinya penyerbukan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 225

silang, maka sedikit sekali bunga yang membuka pada suatu tanaman
pada satu waktu. Kalong mencari nektar setiap malam dalam jarak
yang jauh.
Tanaman yang diserbuki serangga memiliki warna bunga yang
beraneka ragam, warna biru biasanya diserbuki oleh lebah dan warna
putih oleh ngengat. Tawon tidak dapat melihat warna merah tetapi
dapat melihat cahaya ultra violet yang tidak dapat dilihat manusia.
Banyak bunga-bunga yang diserbuki oleh tawon memiliki warna yang
berpadu dengan senyawa kimia yang dapat menyerap cahaya ultra
violet. Walaupun tak tampak oleh kita, madu bunga-bunga tersebut
membimbing mengarahkan tawon ke arah nektar dan menjamin
bahwa tawon mencapai posisi yang tepat untuk mendepositkan tepung
sari dan bunga lain pada stigma serta mengumpulkan serbuk sari dari
anther bunga yang dihinggapi.
Banyak bunga yang telah mengembangkan mekanisme yang
berbelit-belit untuk mencegah peyerbukan sendiri, yang paling umum
adalah pengaturan saat masak stigma dan stamen. Spesies Catalpa dan
Teoma tropis memiliki stigma yang tertutup setelah kontak dengan
serangga. Keadaan seperti ini membantu berlangsungnya pembuahan
dan mencegah penyerbukan sendiri. Pada tanaman anggrek
Cypridium, serangga pengunjung masuk bibir yang ada melalui suatu
lubang di atasnya tetapi meninggalkan bunga tersebut melalui corolla
yang terbuka di belakangnya. Keadaan ini menjamin bahwa kontak
pertama serangga adalah dengan stigma dan hanya setelah itu terjadi,
lalu serangga mengumpulkan serbuk sari ke anther bunga yang
bersangkutan.
Suatu hal yang sulit dimengerti bahwa tanaman harus
melampaui masa ko-evolusinya dengan serangga dan hewan
penyerbuk lainnya yang dapat menjamin bahwa vektor mengunjungi
hanya satu atau beberapa spesies saja pada suatu waktu tertentu. Jika
tidak maka peluang perpindahan serbuk sari yang masih hidup dari
satu tanaman ke tanaman lainnya pada spesies yang sama adalah kecil.
Oleh karena itu warna bunga, bentuk, bau dan kualitas nutrisi nektar
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 226

dan serbuk sari harus ditujukan pada satu jenis penyerbuk. Sebagai
contoh bunga-bunga yang diserbuki tawon adalah memiliki batang
rendah, corollanya lebar, sedangkan bunga-bunga yang diserbuki
burung-burung berdengung memiliki batang panjang.
Tanaman anggrek yang diserbuki oleh tawon harus memiliki
bunga yang menarik untuk menjamin hadirnya serangga jantan.
Bentuk dan warna bunganya harus menyerupai bentuk dan warna yang
dimiliki tawon betina, karena umumnya bau bunga tanaman anggrek
menyerupai bau hormon seksual tawon. Dengan demikian tawon
jantan sangat tertarik dan berusaha mengkopulasi bunga-bunga
tersebut. Pada keadaan tersebut tawon jantan menempelkan serbuk
sari dari bunga lain pada stigma dari bunga yang didatanginya.
Banyak bunga-bunga tanaman yang memiliki bau yang serupa
dengan pheromones serangga, sedangkan sejumlah serangga dapat
menggunakan senyawa-senyawa yang terkandung dalam bunga-bunga
yang mengandung minyak mudah menguap untuk menghasilkan
pheromones-nya. Sejumlah tanaman menghasilkan bau yang paling
tidak disukai oleh manusia. Bau tersebut memiliki rasa amis atau
mengandung amina yang menarik serangga-serangga yang
memakannya atau meletakkan telurnya pada bunga tersebut.
Walaupun semua tanaman dan penyerbuknya saling tergantung
satu sama lain pada beberapa kejadian, banyak juga yang tingkat
ketergantungannya sangat ekstrim. Kenyataan ini terjadi pada
tanaman-tanaman anggrek, atau terdapat juga pada tanaman lain.
Sebagai contoh : hampir setiap spesies ara (Ficus) berasosiasi dengan
spesies tawon (penyengat) tertentu. Pohon ara memerlukan tawon
untuk penyerbukan bunganya, sedangkan tawon memerlukan ara
untuk perlindungan larvanya.
Pada genus Yucca yaitu penyerbuk sole (tapak kaki), lebah
(Tegeticula) betina membawa tepung serbuk sari dari satu bunga ke
bunga lain. Pada keadaan demikian, lebah betina tersebut mendorong
ke bawah stigma yang berbentuk pipa dan kemudian meletakkan telur
di antara ovul sehingga lebah tersebut telah membantu pembuahan.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 227

6.6.9 Penyebar Buah Dan Biji.


Contoh mutualisme lain antar tanaman dan hewan adalah yang
ditunjukkan oleh hewan-hewan pemakan buah yang menyebarkan biji-
biji tanaman. Penempatan suatu biji pada tanah dengan jarak yang
jauh dari tanaman induknya merupakan hal penting untuk menjaga
kelangsungan hidup tanaman muda dan kelangsungan hidup spesies
secara keseluruhan. Tanaman muda yang tumbuh dekat di sekitar
tanaman induk yang kuat, tidak dapat berkembang mencapai tingkat
kedewasaan maksimum. Pada keadaan yang sama, walaupun tidak
seluruhnya, banyak tanaman muda pada spesies yang sama yang
tumbuh pada waktu dan tempat yang sama akan mengalami kompetisi
yang sangat kuat dengan penyebar berupa buah yang manis. Warna
yang cerah yang dihasilkan banyak tanaman merupakan daya tarik
bagi hewan penyebar biji dan buah.
Buah tanaman terkadang ada yang masak serentak pada waktu
yang bersamaan dan dimakan oleh berbagai agen penyebar biji atau
buah-buahan yang masak setiap hari pada periode yang lama. Buah-
buahan tersebut dimakan hanya oleh satu atau dua spesies hewan.
Pada kasus pertama buah-buah tersebut berwarna sangat cerah dan
menghasilkan bau untuk menarik sebanyak mungkin agen penyebar.
Pada kasus kedua, buah-buahan yang tidak mencolok karena agen
penyebar tertentu mengetahui dimana mendapatkannya.
Burung merupakan perantara umum dalam penyebaran biji. Baik
dengan cara memuntahkan biji sebelum menelan daging buah maupun
dengan cara menelan seluruh buah bersama biji dan biji akan
dikeluarkan tanpa kerusakan bersama kotorannya. Bagi tanaman
spesies tertentu yang biji-bijinya lewat melalui alat pencernaan justru
dapat memperbaiki perkecambahannya. Sejumlah burung-burung
seperti toucans memuntahkan kembali biji-biji setelah proses
pencernaannya mengambil nutrisi buah.
Terutama di daerah tropis banyak hewan selain burung
merupakan hewan pemakan buah, sedangkan hewan pengerat
mengumpulkan biji-biji dan menguburkannya untuk digunakan pada
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 228

masa yang akan datang. Biji-biji kebanyakan pohon hutan berukuran


besar sehingga hanya sedikit sekali hewan yang memakannya. Kalong
membawa biji yang demikian dalam cakarnya dan hewan pengerat
membawanya di dalam mulutnya, banyak juga yang jatuh. Karena
hanya satu atau dua biji yang dibawa jauh pada suatu waktu maka
efisiensi penyebaran biji terjamin walaupun sejumlah biji dimakan.
Tidak seperti di daerah subtropis, hanya sedikit buah tanaman tropis
yang memiliki struktur tambahan seperti kait sebagai pelekat pada
hewan yang melintas.
Karena banyak hewan pemakan biji dan juga buah, maka banyak
tanaman telah membentuk biji yang beracun untuk melindunginya dari
serangan pemangsa. Biji-biji yang sangat beracun seperti itu sangat
umum di daerah tropis. Contohnya adalah kacang kalabar
(Physotigma venenosum) yang mengandung alkaloid physostigmine.
Biji minyak jarak (Ricinus communis) yang mengandung resin yaitu
suatu protein yang beracun, dan spesies Strophanthus yang
mengandung glycosida cardiac.
Burung-burung dan hewan lain dapat menyebarkan biji dengan
cara yang berbeda dengan pemakan buah-buah tanaman. Burung air
misalnya membawa lumpur pada kakinya yang juga membawa serta
biji dari tanaman air yang melekat. Proses ini dapat menjelaskan
bagaimana penyebaran yang cepat tanaman-tanaman yang demikian
pada danau dan dam buatan manusia. Bulu burung juga dapat menjadi
tempat hinggapnya spora jamur dan dapat menjadi agent untuk
penyebaran penyakit tanaman dan satu negara ke negara lain.
Pada buah masak umumnya mengandung banyak gula yang
diperlukan untuk konsumsi energi tanaman. Karenanya tanaman perlu
menjaga agar buah yang telah masak harus dipisahkan bagian bijinya.
Buah yang belum matang biasanya berwarna hijau dan kadang sukar
dibedakan dari bagian tanaman lainnya. Adanya klorofil yang
bertanggung jawab sebagai zat hijau, merupakan suatu keuntungan
karena dapat melangsungkan proses pembentukan gula. Buah yang
belum masak biasanya memiliki rasa tidak enak disebabkan oleh
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 229

kandungan tannin, asam, dan resin yang dikandungnya. Substansi-


substansi tersebut akan hilang bilamana buah telah matang dan
warnanya berubah. Tidak semua buah berwarna cerah disenangi oleh
hewan tertentu, sebagai contoh, kalong justru menyenangi warna buah
yang tetap hijau atau kekuning-kuningan.
Warna bukan satu-satunya cara tanaman menarik agen penyebar
untuk datang. Namun, karakteristik buah yang sudah masak yang
dicirikan dari bau-bauan yang kuat akibat terlepasnya senyawa volatil
akan menarik hewan penyebar biji untuk datang menghampiri
tanaman tersebut.

6.7 Hubungan Tanaman dengan Manusia


Pada saat manusia primitif mulai menabur biji, menebang dan atau
membakar pohon, pada saat itu pula manusia telah mulai campur
tangan terhadap ekologi tanaman dan berlangsung sampai sekarang.
Campur tangan manusia terhadap ekologi tanaman mengalami
peningkatan sejalan dengan pertambahan waktu sehingga pada saat ini
hanya tinggal beberapa tempat di belahan bumi ini dimana aktivitas
manusia tidak mempengaruhi lingkungan tanaman. Walaupun pada
beberapa tempat, manusia dan alam bekerjasama saling
menguntungkan kedua belah pihak, akan tetapi pada banyak tempat,
aktivitas manusia telah terbukti mengancam tumbuhan alamiah.
Hutan hujan tropis adalah suatu ekosistem yang rapuh dan
sangat mudah rusak terutama oleh aktivitas manusia. Jika tidak
diganggu, hutan tropis tetap tidak berubah selama ribuan tahun. Secara
teoritis daerah tropis yang lembab harus dilindungi oleh hutan tropis
primer, kenyataannya bahwa kerusakan-kerusakan hutan tropis oleh
faktor iklim tidak sebesar kerusakan oleh aktivitas manusia. Laju
kerusakan hutan berada pada tingkat bahaya tinggi, jika tidak diambil
langkah-langkah untuk melindunginya maka ekosistemnya akan tidak
muncul lagi selama-lamanya di permukaan bumi ini, dimana suatu
ekosistem yang memiliki keanekaragaman spesies yang luar biasa
yang ditemukan di dalam lingkungan semacam itu.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 230

Banyak negara telah kehilangan seluruh atau hampir seluruh


hutan primernya, sekarang ini vegetasi yang tumbuh di banyak negara
merupakan hasil campur tangan manusia-manusia dengan alam. Suatu
hal yang sangat penting adalah bahwa manusia harus waspada akibat
pengaruhnya terhadap lingkungan alamiah, dengan demikian manusia
dapat menghentikan atau setidak-tidaknya mempertimbangkan
aktivitas yang bermuara pada kehancuran atau perusakan.
Semua spesies tumbuhan dan hewan merupakan sumber genetik
yang unik yang tidak dapat digantikan. Setiap saat ancaman akan
berkurangnya cadangan genetik tumbuhan dan hewan dapat terjadi.
Kerusakan lingkungan akibat deforestasi dapat mengancam punahnya
berbagai sumber daya hayati. Sebagai realisasi pentingnya
melestarikan bahan genetika tumbuhan maka telah dibentuk bank-
bank genetik di beberapa negara seperti Bank Genetik Pertanian
Internasional (International Institutes of Agriculture’s Gene Bank) di
Ibadan, Nigeria. Konservasi Alam dan Kebun-kebun Botani juga
membantu untuk melestarikan spesies-spesies yang berada dalam
bahaya kepunahan.
Ada dua pengaruh utama manusia terhadap ekosistem di daerah
tropis yaitu bercocok tanam dan penebangan kayu. Kerusakan yang
diakibatkan oleh pembersihan lahan yang luas untuk pembangunan
perkotaan hanya terjadi dalam skala yang kecil dan tidak seberapa
dibandingkan dengan kehancuran yang terjadi pada daerah beriklim
sedang. Walaupun pada beberapa daerah, terutama di Zaire dan
Zambia telah pulih dari pengaruh aktivitas pertambangan namun tidak
besar artinya bila dilihat secara keseluruhan di daerah tropis. Di sisi
lain aktivitas pertambangan dan pengeboran minyak sangat penting
artinya untuk memajukan pembangunan di negara-negara tropis.
Pertanian dan penebangan pohon merupakan aktivitas manusia
yang telah lama dilakukan, akan tetapi peledakan jumlah penduduk
pada 100 tahun terakhir ini menyebabkan kegiatan tersebut
mempunyai dampak kerusakan yang permanen terhadap lingkungan di
daerah tropis. Perkebunan besar yang terdiri dari tanaman sejenis
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 231

seperti tebu, karet, teh dan kopi juga banyak mengakibatkan kerusakan
ekosistem alamiah. Masalah penggunaan lahan di daerah tropis harus
dipertimbangkan secara matang dan harus dicari pemecahannya agar
tidak terjadi kerusakan lahan-lahan yang semakin sangat luas.

6.7.1 Kebakaran Hutan

Walaupun kebakaran alamiah dapat terjadi akibat petir, letusan


gunung berapi, meteor dan lain-lain, yang dapat terjadi berkenaan
dengan tahapan evolusi vegetasi tropis, namun sejak manusia
mengenal dan memanfaatkan api maka terjadi perubahan yang
permanen terhadap banyak ekosistem tropis (Gambar 6.9). Pengaruh
utama terhadap perubahan tersebut adalah metoda bertanam yang
dikenal dengan tebang dan bakar atau perladangan berpindah-pindah.

Gambar 6.9 Manusia banyak merusak tanaman atau hutan dengan membakar hutan
atau vegetasi (Foto: Future Timeline, 2011).
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 232

Di beberapa bagian daerah tropis yang memiliki beberapa bulan


kering merupakan saat yang rentan terhadap kebakaran baik
disebabkan oleh manusia maupun terjadi secara alamiah. Daerah-
daerah tersebut juga terdiri dari padang rumput savanna. Karena titik
tumbuhnya berada di bawah permukaan tanah maka rumput paling
tahan terhadap kebakaran dibandingkan dengan tanaman lainnya.
Kenyataan yang dialami sekarang bahwa pembakaran secara cepat
dapat menguntungkan bagi padang rumput pengembalaan (pasture)
karena dapat merangsang pertumbuhan tanaman baru dan
meningkatkan nilai gizi padang rumput.
Apakah benar bahwa terbentuknya savana tropis diakibatkan
oleh kebakaran atau tidak, belum dapat diberikan pernyataan yang
pasti karena savana tropis memiliki iklim yang lebih cocok untuk
padang rumput daripada untuk hutan. Namun demikian tidak
diragukan bahwa kebakaran merupakan suatu faktor yang dapat
mengubah hutan menjadi padang rumput. Kebakaran yang berulang-
ulang menyebabkan lenyapnya jenis tumbuhan yang tidak tahan api.
Akan tetapi beberapa jenis tumbuhan sangat beradaptasi terhadap
kebakaran dimana bijinya tidak dapat berkecambah jika tidak terpapar
(tereskpose) pada temperatur tinggi saat pembakaran. Oleh sebab itu,
biji-biji tumbuhan Proteas dari Afrika Selatan dan spesies Acacia
pada savanna memerlukan rangsangan pembakaran untuk
berkecambah.
Keseimbangan alamiah tanah sangat terganggu oleh
pembakaran, karena hilangnya humus pada lapisan permukaan tanah
atas (top soil) merusak mikroorganisme tanah, dan meningkatkan
konsentrasi garam-garam terlarut. Abu yang tertinggal setelah
pembakaran kadang-kadang meningkatkan kesuburan tanah, akibat
mineral-mineral yang sebelumnya tersimpan di dalam biomass
dikembalikan ke dalam tanah. Konsentrasi fosfor, kalium, magnesium
dan kalsium meningkat, akan tetapi garam nitrogen terlarut dapat
menguap atau segera tercuci. Hilangnya tumbuhan penutup tanah oleh
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 233

kebakaran dapat juga menyebabkan erosi tanah terutama pada tanah-


tanah miring.
Ada tiga tipe kebakaran yang umum terjadi dalam suatu
ekosistem yaitu kebakaran dalam tanah, kebakaran pada permukaan
tanah dan kebakaran pada tajuk tanaman. Kebakaran dalam tanah
memberikan dampak yang paling merusak, akibat terbakarnya bahan-
bahan di bawah permukaan tanah selama berhari-hari atau bahkan
berminggu-minggu, yang dapat merusak perakaran, umbi dan biji-biji
yang terbenam dalam tanah. Hanya sedikit tumbuhan yang tahan
terhadap kebakaran dalam tanah, lebih sedikit lagi di daerah tropis.
Tipe kebakaran permukaan merupakan yang paling umum
terjadi di daerah tropis terutama pada daerah savana. Kebakaran
demikian merusak vegetasi pada tingkat permukaan dan dapat pula
berpenetrasi beberapa cm di bawah permukaan tanah. Oleh karenanya
hanya akar pada permukaan tanah yang dirusak, tumbuhan dapat
melakukan regenerasi dari perakaran yang tersisa, seperti rerumputan
dan semak perdu. Tanaman yang memiliki bulbus atau umbi dapat
bertahan hidup dan segera pulih akibat dari pembakaran permukaan.
Beberapa pohon mempunyai kulit yang cukup tebal untuk melindungi
jaringan hidup dari kebakaran. Tumbuhan palma merupakan tanaman
yang paling tahan terhadap kebakaran.
Tipe kebakaran tajuk sangat merusak hutan dimana api menjalar
dari satu pohon ke pohon lain di dalam hutan. Kebakaran seperti ini
merusak segala sesuatu yang ada di atas permukaan tanah,
menyebabkan kerusakan yang sangat kompleks. Kebakaran tajuk di
daerah tropis jarang terjadi oleh sebab udara yang lembab dan air
permukaan dedaunan mencegah terjadinya permulaan api.

6.7.2 Bercocok Tanam


Di daerah tropis bercocok tanam telah berlangsung beribu-ribu tahun
yang lalu dan oleh sebab itu sukar ditentukan pengaruh campur tangan
manusia pada vegetasi alamiah. Akan tetapi pada waktu itu
pengaruhnya sangat kecil oleh karena penduduk yang masih sangat
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 234

sedikit dan kurangnya peralatan mesin-mesin canggih. Pada waktu


tercapai keseimbangan antara manusia dan alam maka gangguan
terhadap alam hanya sedikit terjadi, yaitu sampai aabad ke-18.
Namun, selama 100 tahun terakhir aktivitas manusia telah
mengganggu dan merusak vegetasi tropis. Peningkatan penduduk pada
daerah tropis mengakibatkan permintaan lahan yang lebih banyak
untuk dibudidayakan atau digunakan untuk tempat hewan merumput.
Banyaknya koloni-koloni bangsa Eropa di daerah tropis juga telah
menimbulkan pengaruh perusakan vegetasi alamiah karena areal yang
luas telah dibersihkan agar dapat dijadikan perkebunan-perkebunan
karet, sawit, tebu, kapas, tembakau, teh, kopi dan sebagainya.

a. Peladangan Berpindah-pindah

Tebang dan bakar atau perladangan berpindah-pindah dilakukan di


seluruh daerah tropis dan telah menjadi metoda berusahatani selama
ribuan tahun yang lalu. Suatu daerah yang cocok untuk ditumbuhi
tanaman pangan untuk seluruh anggota keluarga atau suatu
perkampungan dibersihkan dari semak belukar dan pohon-pohon
kecil. Pohon besar dan palma sering ditinggalkan untuk keperluan
perlindungan, air nira, atau keperluan-keperluan religius. Area yang
telah ditebang kemudian dibakar, diolah dan ditanami.
Abu yang dihasilkan dari pembakaran sisa-sisa tanaman
menyediakan cukup unsur hara selama 2-5 tahun penanaman, setelah
itu lahan menjadi tidak produktif dan kemudian ditinggalkan dan
dibiarkan tidak ditanami, kemudian dibuka lahan lain dan ditanami.
Pada masa lalu dimana desa-desa terpencar-pencar dan penduduknya
sedikit, lahan-lahan tersebut dibiarkan tidak ditanami selama 10 - 15
tahun. Selama waktu ditinggalkan itu akan terbentuk hutan sekunder.
Akan tetapi sekarang ini, terdapat banyak daerah yang tidak cocok
untuk mendukung peningkatan penduduk, dan waktu bera (tidak
ditanami) sangat berkurang. Keadaan ini mencegah pembentukan
hutan sekunder dan ditambah dengan meningkatnya frekuensi
pembakaran, spesies yang tidak tahan api tidak muncul lagi. Oleh
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 235

karena vegetasi tidak cukup waktu untuk membentuk cadangan hara


maka abu sisa pembakaran mengandung lebih sedikit konsentrasi
mineral-mineral dan oleh sebab itu terjadi penurunan kesuburan lahan.
Bahkan lahan tersebut akan didominasi oleh rumput-rumputan yang
keras dan nilai nutrisinya rendah untuk kebutuhan lemak. Sebagai
contoh di Asia terdapat lahan yang sangat luas ditutupi oleh rumput
alang-alang (Imperata sp) sebagai akibat dari penanaman yang
berlebihan. Walaupun alang-alang tahan terhadap kekeringan, mampu
bertahan terhadap kondisi ekstrim dan kebakaran, namun alang-alang
memiliki nilai gizi yang rendah bagi ternak.
Seringnya menghilangkan vegetasi alamiah juga merubah iklim
mikro dan bahkan bermuara pada erosi tanah. Walaupun peladangan
berpindah dominan di daerah tropis, jenis peladangan menetap juga
banyak terdapat. Lahan padi sawah di Asia banyak terdapat di daerah
dataran rendah yang dapat diairi atau diberi irigasi. Pengairan dapat
memperbaharui kesuburan tanah oleh karena itu lahan jangan
dibiarkan untuk tidak ditanami dalam jangka waktu yang lama.

b. Introduksi Spesies Baru

Pemeliharaan tanaman dimulai sejak manusia berhenti menjadi


pengumpul dan pemburu dan mulai mengusahakan tanah peladangan.
Serealia dan kacang-kacangan merupakan dua jenis tanaman pertanian
yang paling awal dikenal sehingga asal-usul tumbuhan liarnya tidak
diketahui lagi. Manusia telah melakukan penyebaran banyak spesies
tanaman di permukaan bumi ini. Manusia telah mengintroduksi
tanaman jagung, padi, tebu, tembakau, pisang, jeruk, nenas, kelapa
dan karet ke seluruh daerah tropis. Tanaman pertanian yang paling
banyak disebarkan beserta tempat asalnya dapat dilihat pada Tabel
6.5. Tanaman hias telah dibudidayakan manusia pada tempat-tempat
yang jauh dari daerah asalnya. Bougeinvillea dan bunga ros tanaman
tropis dan semi tropis yang ada dimana-mana dan bahkan bunga ros
temperate dapat ditemui di banyak kebun-kebun daerah tropis.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 236

Tabel 6.5 Beberapa Tanaman Tropis Penting dan Tempat Asalnya

Tanaman Nama Umum Nama Ilmiah Tempat Asal

Biji-bijian Jagung Zea mays Amerika Timur


Padi Oryza sativa Asia
Sorgum Sorghum bicolor Afrika
Millet Eleusine coracana Afrika
Ubi-ubian Ubi rambat Dioscorea spp Amerika Tropis
Ubi Kayu Manihot esculenta Amerika Tropis
Ubi rambat Ipomoea batatas Amerika Tropis
Legum Buncis Phaeseolus lunatus Amerika Tropis
Kedelai Glycine max Asia
Kacang Tanah Arachis hypogaea Amerika Tropis
Buah- Pisang Musa paradisiaca Asia
Buahan
Nenas Annanas comosus Amerika Selatan
Mangga Mangifera indica Asia
Pepaya Carica papaya America Tropis
Sayur- Jeruk Citrus sinensis Asia
sayuran
Grapefruit Citrus paradisi India Barat
Pokat Persea americana Amerika Selatan
Sukun Artocarpus comunis Kepulauan Pasifik
Cabal merah Capsicum annum Amerika Tropis
Cabai Capsicum spp Amerika Tropis
Tomat Lycopersicum Amerika Selatan
esculentum
Minuman Teh Camellia sinensis Asia
Kopi Coffea spp Afrika
Kakao Theobroma kakao Amerika Tropis
Rempah- Cengkeh Eugenia carryophillata Indonesia
rempahan
Vanili Vanilla fragran Amerika Tropis
Kayu manis Cinnamomum Asia
zeylanicum
Jahe Zingiber officinale Asia
Serbaneka Tebu Saccharum Pasifik Selatan
officinarum
Karet Hevea brasiliensis Amerika Selatan
Sisal Agave sisalana Amerika Tropis
Kapas Gossypium spp Afrika
Tembakau Nicotiana tabaccum Amerika Tropis
Sumber: Vickery (1984)
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 237

Introduksi rumput-rumputan seperti jenis Panicum dan


Hyparrhenia rufa ke Amerika Selatan dan Afrika telah menyebabkan
rumput tersebut tersebar luas. Hal ini disebakan karena introduksi
rerumputan tersebut memberikan hasil yang baik karena memiliki
nutrisi yang lebih besar untuk komposisi lemak yang dikandungnya
dibandingkan dengan rumput setempat.
Manusia juga telah melakukan penyebaran banyak tumbuhan
yang secara kolektif disebut gulma. Pada kondisi alamiah, tumbuhan
tersebut dihadapkan pada persaingan ketat untuk terjaga jumlahnya.
Akan tetapi pada habitat yang dibuat manusia seperti lahan pertanian
dan perkebunan, gulma tersebut akan mengalami persaingan yang
rendah dan mampu untuk tumbuh dengan subur. Biji gulma dengan
mudah tersebar ke seluruh dunia. Sedangkan kebanyakan di antaranya
tidak dapat bertahan hidup pada habitat baru, beberapa di antaranya
sangat cepat beradaptasi dan bahkan dapat menggantikan tumbuhan
setempat (native).

c. Produksi Spesies dan Varietas Baru

Manusia tidak hanya dengan sengaja menghasilkan spesies dan


varietas baru tanaman tetapi juga telah membantu evolusi alamiah
dengan mengubah lingkungannya. Pada lingkungan yang stabil,
evolusi sangat lambat berjalan karena sangat sedikit mengalami
perubahan, akan tetapi dalam lingkungan yang selalu berubah
menyebabkan berbagai spesies melakukan adaptasi. Hal ini dapat
mendorong terjadinya evolusi yang menghasilkan berbagai spesies
baru. Namun demikian, campur tangan manusia terhadap habitat
tanaman juga mengakibatkan hilangnya spesies yang tidak mampu
beradaptasi.
Seleksi yang sengaja dilakukan oleh manusia terhadap biji-bijian
dari tumbuhan liar dan kemudian menanam spesies tersebut dalam
waktu yang lama telah menghasilkan varietas-varietas tanaman yang
dikenal dengan Cultivars atau Cultigen. Semua tanaman biji-bijian
yang dapat dimakan sekarang adalah kultivar, kadang-kadang nenek
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 238

moyangnya tidak diketahui lagi. Demikian juga anggota famili


Leguminosa yang dibudidayakan sekarang ini. Kebanyakan kultivar
tidak dapat mempertahankan kehidupannya tanpa bantuan manusia.
Tanaman biji-bijian sebagai contoh, telah hilang kemampuannya
untuk menyebarkan biji ke sekelilingnya melalui proses perekahan
buah. Tanaman-tanaman tersebut memerlukan bantuan manusia
sebagai agen penyebaran biji-bijinya. Terutama jagung, tidak dapat
berkecambah tanpa bantuan manusia karena tongkolnya tetap utuh
sampai menjadi busuk. Pisang yang dapat dimakan telah diseleksi
bertahun-tahun menjadi varietas-varietas tanpa biji dan bertekstur
buah yang baik. Oleh karena itu pisang budidaya adalah steril dan
hanya dapat dikembangbiakkan secara vegetatif.
Tanaman yang dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dan
ternak telah diseleksi rasanya, yang mengakibatkan hilangnya
senyawa-senyawa yang menyebabkan rasa tidak enak seperti alkaloid,
tannin dan sebagainya. Senyawa-senyawa tersebut dibentuk oleh
tanaman liar sebagai alat perlindungan. Siput dan keong bila
ditempatkan di antara tanaman semangi akan memakan dengan cara
memilih varietas-varietas yang tidak mengandung Glycoside
cyanogenik yang memiliki rasa pahit dan tidak enak. Oleh karena itu,
manusia harus melindungi tanamannya dari serangan hama dan
penyakit dengan cara menyemprotkan bahan-bahan kimia yang
beracun yang dapat menggantikan mekanisme ketahanan alamiah
tanaman tersebut.
Tanaman budidaya sering tidak lagi memiliki organ-organ
pelindung seperti bulu/rambut, dun dan kutikula penguat jaringan.
Organ-organ tersebut membuat tanaman tidak sesuai untuk dimakan
oleh manusia dan hewan. Pada kondisi tanaman liar (alamiah),
tanaman-tanaman yang tidak memiliki organ-organ tersebut segera
mati.
Tanaman-tanaman mulai dimuliakan sejak ditemukan teori
genetika untuk tujuan-tujuan tertentu. Tujuan para pemulia tanaman
adalah untuk memperoleh varietas-varietas yang memberikan hasil
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 239

yang tinggi atau menghasilkan kualitas yang tinggi di bawah kondisi


yang telah diatur. Oleh karena itu tanaman dibuat tahan terhadap
kekeringan atau penyakit. Salah satu tujuan pemuliaan tanaman di
daerah tropis adalah untuk meningkatkan kandungan asam amino
essensial dalam biji-bijian serealia, dengan demikian diharapkan akan
mengurangi defisiensi protein yang lazim terjadi di kalangan
penduduk tropis terutama anak-anak. Banyak yang telah berhasil
dilakukan pada tanaman padi dan jagung. Namun demikian, dijumpai
pula kondisi dalam budidaya tanaman di daerah tropis, sehingga
menyulitkan untuk memperbaiki varietas-varietas yang telah ditanam
selama ribuan tahun. Tanaman-tanaman asli setempat (native) telah
beradaptasi terhadap kekeringan, tanah kurang subur, dan hama serta
penyakit setempat walaupun hasilnya sering tidak tinggi. Akan tetapi
usaha-usaha untuk memperbaiki hasil biasanya mengurangi ketahanan
tanaman terhadap kekeringan dan hama, dengan demikian varietas-
varietas seperti itu hanya dapat ditanam oleh petani-petani yang
mengusahakan/ menyediakan pestisida atau mengairi lahannya dengan
irigasi. Mayoritas kaum tani di daerah tropis tidak mampu melakukan
hal tersebut di atas.

6.7.3 Perkayuan

Budidaya pohon yang direncanakan untuk diperoleh kayunya


merupakan industri yang baru berkembang di daerah tropis. Pada
masa lalu kayu diperoleh langsung dari hutan alamiah yang
dieksploitasi. Pada saat penduduk masih kurang dan kayu-kayuan
tidak diekspor, pengusahaan kayu untuk bangunan dan bahan bakar
tidak banyak menimbulkan masalah. Akan tetapi ekspor kayu seperti
mahoni (Swietenia spp) dan jati (Tectonia grandis) telah mengurangi
hutan-hutan yang memiliki spesies-spesies tersebut. Karena pohon-
pohon tersebut menghendaki umur 150 tahun untuk mencapai nilai
ekonomis maka usaha penanaman pohon-pohon tersebut memerlukan
waktu yang sangat lama.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 240

Penebangan pohon jati, mahoni dan pohon lain tidak hanya


mengubah komposisi spesies hutan primer tetapi juga menimbulkan
kemiskinan tanah, karena banyak hara yang tersimpan di dalam
biomassanya. Penebangan pohon dalam jumlah yang besar tanpa
penanaman kembali akan menimbulkan juga vegetasi dengan jumlah
spesies yang rendah dan juga erosi tanah. Penggantian hutan dengan
tanaman Coniferous (pinus-pinusan) yang banyak dilakukan di daerah
tropis perlu diperhatikan. Hutan Coniferous menguras hampir seluruh
hara dari dalam tanah, akan tetapi tidak ada yang dikembalikan ke
tanah. Bilamana pohon tersebut ditebang maka lahan bekasnya tidak
dapat dimanfaatkan untuk budidaya berikutnya. Agar supaya sumber
daya hutan dapat lestari dan menempatkan industri perkayuan pada
basis komersial yang menguntungkan, maka pengelolaan hutan secara
lestari perlu dilakukan. Setiap pohon yang ditebang harus diganti
dengan memilih spesies yang sama. Terutama pepohonan yang
berkayu keras jangan diganti dengan pepohonan yang berkayu lunak.

6.7.4 Erosi
Laju erosi yang cepat yang sedang terjadi di daerah-daerah tropis
merupakan akibat langsung dari peningkatan jumlah penduduk.
Walaupun aktivitas sejumlah hewan besar terutama gajah
menyebabkan erosi yang bersifat lokal terjadi pada masa lalu, namun
tidak sehebat penghancuran/perusakan yang disebabkan oleh pengaruh
manusia selama satu abad yang lalu.
Kegiatan bercocok tanaman pangan untuk keperluan manusia
yang sedang meningkat jumlahnya menyebabkan berkurangnya waktu
istirahat tanah. Hutan sekunder tidak dapat terbentuk karena lahan
tersebut dibersihkan kembali untuk pertanaman. Keadaan ini
menyebabkan berkurangnya vegetasi penutup tanah sehingga
memudahkan lapisan tanah atas (top soil) tererosi oleh angin dan
hujan. Di Australia beribu ton lapisan tanah atas tercuci ke lautan yang
disebabkan oleh penebangan vegetasi penutup tanah.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 241

Peningkatan jumlah penduduk juga diiringi oleh peningkatan


jumlah hewan ternak. Pada zaman dulu, kelebihan merumput
(overgrazing) dapat dihindari dengan cara memindahkan sapi dan
kambing-kambing secara teratur (reguler) pada lahan yang luas.
Walaupun masih terdapat kehidupan kelompok pengembara namun
banyak yang telah mengusahakan penempatan hewannya pada suatu
tempat tertentu untuk merumput dalam lahan yang lebih sempit.
Penyempitan lahan dan peningkatan jumlah ternak dapat
menggundulkan padang rumput yang menyebabkan terjadinya erosi
tanah. Pengaruh penanaman berlebihan (over cultivation) dan
merumput berlebihan (overgrazing) terutama nyata di Afrika Timur
dan Amerika Selatan dimana diduga bahwa Mexico telah kehilangan
hampir setengah lapisan tanah atasnya disebabkan oleh kedua praktek
tersebut. Budidaya intensif satu jenis tegakan oleh bangsa Eropa di
banyak wilayah tropis telah menyebabkan kemiskinan tanah dan
mengakibatkan erosi tanah.
Kemunduran kesuburan dan erosi tanah merupakan dua
masalah yang paling buruk yang harus dihadapi di daerah negara-
negara tropis. Seandainya masyarakat tidak mendapat pengetahuan
yang benar tentang penggunaan tanah, maka lahan-lahan yang ada
akan kembali menjadi wadah debu yang sangat luas, yang mencegah
tumbuhnya tumbuhan dan kehidupan hewan.

6.7.5 Keseimbangan Air

Campur tangan manusia terhadap air di daerah tropis terjadi secara


sengaja atau tidak sengaja. Keseimbangan air suatu ekosistem
tergantung pada vegetasi penutup tanah. Menghilangkan atau
mengubah vegetasi penutup tanah juga akan merubah keseimbangan
air dan dapat menaikkan atau menurunkan neraca air yang
mengakibatkan terjadinya banjir dan kekeringan musiman. Oleh
karena itu, perusakan hutan dapat menyebabkan pengubahan suatu
wilayah kering menjadi suatu gurun pasir.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 242

Pembuatan dam dan danau di sekitar sungai-sungai di daerah


tropis akan menyebabkan perubahan yang besar pada ekologi daerah
sekitarnya. Oleh karena kebanyakan danau-danau dapat menyerap
seluruh air berlebihan maka banjir musiman pada sungai-sungainya
dapat dicegah. Pada satu sisi keadaan ini dapat menguntungkan karena
lahan tersebut dapat diusahakan sepanjang tahun. Namun, banjir yang
datang dapat mengurangi kesuburan dan memusnahkan spesies yang
telah beradaptasi terhadap herbivora liar maupun ternak yang biasanya
merumput di daerah tersebut. Kegiatan merumput oleh ternak secara
terus menerus sepanjang tahun telah menyebabkan masalah
overgrazing yang serius.
Bangunan bendungan Karibia di sungai Zamberi telah
membentuk satu danau buatan manusia terbesar di dunia. Salah satu
keuntungan lokal yang diperoleh adalah peningkatan populasi ikan
Tilapia, namun hal tersebut harus diperhatikan akibat ancaman
peningkatan siput Schistosonla yang terus menerus. Siput tersebut
menyebabkan penyakit Bilharzia pada manusia. Siput tersebut lebih
senang pada danau-danau yang airnya bergerak lambat ketimbang
sungai-sungai yang berair deras. Air yang bergerak lambat mendorong
pertumbuhan tanaman air pada pinggir danau dan keadaan tersebut
menyediakan habitat yang baik sekali bagi siput.
Banyak tumbuhan air yang juga senang pada air yang bergerak
lambat, danau Karibia telah diserbu oleh Salvinia auriculata yaitu
sejenis gulma air yang berasal dan Amerika Selatan. Tumbuhan
tersebut membentuk onggokan terapung pada badan air (floating
island) dimana tanaman lain dapat tumbuh di atasnya.
Agar dapat bertanam pada lahan-lahan marginal di daerah tropis
maka dibangun irigasi. Seandainya tidak dikelola dengan baik, irigasi
yang tidak dikelola dengan baik menyebabkan tanah menjadi salin.
Tanah-tanah salin tidak dapat digunakan untuk pertanaman, seperti
yang telah terjadi di daerah Indian. Irigasi dapat meningkatkan
salinitas tanah melalui pengaliran garam-garam dari daerah yang lebih
tinggi atau dengan terjadinya peningkatan permukaan air tanah
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 243

sedemikian rupa sehingga garam-garam yang berasal dari tanah


bagian dalam yang terlalu jauh untuk dicapai oleh perakaran tanaman
bergerak ke permukaan secara kapilaritas. Oleh karena itu tanah-tanah
teririgasi harus memiliki sistem drainase yang baik dan dapat
menerima air dalam jumlah yang cukup untuk mencuci garam secara
sempurna. Akan tetapi penggunaan air berlebihan untuk membasuh
garam-garam dapat menyebabkan sungai-sungai yang berada di bawah
lahan irigasi menjadi sangat salin yang dapat menyebabkan
kemusnahan banyak spesies tanaman dan hewan. Sejumlah usaha
irigasi telah gagal disebabkan oleh sejumlah faktor-faktor penting
yang diabaikan. Sebagai contoh pencemaran badan-badan air akibat
terlarutnya pupuk Nitrogen dalam jumlah besar akibat pemupukan
yang berlebihan, pencemaran ini disebut dengan istilah eutrofikasi
Reklamasi yang bertujuan untuk membuat tanah tergenang
menjadi cocok untuk ditanami juga telah gagal disebabkan oleh
asiditas yang tinggi pada tanah-tanah reklamasi tersebut. Kekurangan
udara dalam tanah rawa dan daerah-daerah tergenang lainnya
menyebabkan tingginya konsentrasi hidrogen sulfida (H2S) yang
dihasilkan oleh organisme anaerobik. Bilamana tanah-tanah
dikeringkan dan diaerasi maka sulfida tersebut dioksidasi menjadi
asam sulfat yang beracun bagi tanaman.

6.7.6 Pencemaran
Masalah pencemaran di daerah tropis belum seserius yang terjadi di
beberapa daerah beriklim sedang, walaupun pada daerah yang padat
penduduk sangat cepat terjadi pencemaran. Barangkali yang paling
menjadi masalah pencemaran di negara-negara tropis adalah
pembuangan sampah oleh manusia ke dalam sungai-sungai. Hal
tersebut tidak hanya merubah ekologi sungai akibat berubahnya
komposisi tumbuhan dan hewan, akan tetapi juga menyebabkan
epidemik kolera dan tipus terhadap masyarakat yang menggunakan air
yang tidak diolah untuk diminum. Kandungan N air yang mengandung
limbah manusia adalah sangat meningkat, yang mengakibatkan
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 244

punahnya sejumlah spesies dan invasi (hadirnya) spesies lain.


Terutama sekali terjadi peningkatan jumlah alga yang menyebabkan
sangat berkurangnya jumlah cahaya yang mencapai tanaman dan
hewan di bawah permukaan air.
Pupuk anorganik yang tercuci ke dalam sungai dan lahan
budidaya memiliki pengaruh yang sama. Kasus lain pencemaran air
termasuk pestisida beracun dan pembuangan limbah dan
pertambangan, pabrik kertas, pabrik pengolahan gula dan sebagainya.
Pestisida beracun seperti DDT, Aldrin, Dieldrin dan sebagainya, juga
dapat mencemari tanah karena umumnya pestisida-pestisida tersebut
tidak dapat diuraikan oleh organisme tanah. Oleh karena pestisida-
pestisida dapat melalui rantai makanan, maka senyawa-senyawa
tersebut menjadi terakumulasi dan mengakibatkan pengaruh terhadap
reproduksi beberapa hewan dan burung-burung. Pengaruh tersebut
terhadap manusia belum banyak diketahui.
Insektisida alamiah seperti Rotenon dan Pyrethrin merupakan
bahan yang dapat diuraikan oleh organisme tanah dan karena itu tidak
menyebabkan masalah pencemaran. Luasnya penggunaan DDT pada
daerah tropis untuk mengendalikan nyamuk Anopheles yang
membawa parasit malaria telah menyebabkan kontaminasi areal yang
sangat luas oleh bahan kimia tersebut Sayangnya pembasmian
nyamuk tersebut tidak sepenuhnya tercapai dan generasi terakhir tahan
terhadap DDT. Oleh karena itu daerah yang pernah dinyatakan bebas
malaria sekarang kembali dijangkiti oleh penyakit tersebut.
Pencemaran kimia yang serius terjadi di beberapa daerah tropis
seperti di Vietnam. Keadaan tersebut telah menyebabkan kerusakan
areal vegetasi yang sangat luas. Banyak batuan induk di daerah tropis
mengandung biji-biji berharga dan logam-logam berguna termasuk
emas, tembaga, titanium, aluminium, dan besi. Pada zaman dahulu
logam-logam tersebut ditambang dengan pertambangan yang bertahap
dan terbuka yang benar-benar menghilangkan tanah daerah yang
ditambang dan oleh karena itu merusak seluruh vegetasinya.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 245

Pembuangan bahan limbah merubah tofografi daerah dan juga


merubah sifat-sifat vegetasi penutup tanah.

6.8. Rangkuman
Tanaman selalu tergantung dan berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya, seperti tanah, udara, air, cahaya, hewan, mikroorganisme,
maupun dengan manusia. Tanah merupakan bagian lingkungan
tanaman yang penting, tanaman yang tumbuh secara alami dapat
dikelompokkan menurut jenis tanah. Jumlah hara dalam tanah dan
kemampuannya menyimpan udara dan air sangat bervariasi. Hutan
hujan tropis yang kaya dengan vegetasi, biasanya tanahnya
mengandung sedikit unsur hara. Tanah-tanah yang mengalami proses
pelapukan sangat cepat akan menyebabkan hara-hara tidak sempat
diserap oleh tanaman dengan baik karena tercuci oleh oleh curah
hujan. Tanah-tanah yang terbentuk di daerah tropis mencakup:
latosol, vertisol, podzol, hidromorfik, kahsiomorfik, halomorfik,
tanah-tanah azonal.
Air sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Air merupakan salah satu bahan baku fotosintesis, dan juga
sebagai medium hara yang diserap tanaman. Air berperan sebagai
pelarut universal dan akan melarutkan semua senyawa yang
diperlukan tanaman, sehingga tanaman dapat menyerap hara melalui
akarnya dan dapat ditransportasikan di dalam tubuh tanaman. Air juga
berperan sebagai media tempat berlangsungnya reaksi kimia, terutama
dalam tanaman. Konsep tanaman dan air tidak terlepas dari pengkajian
pada berbagai aspek seperti siklus hidrologi, gunanya uap air bagi
tanaman, tanaman poikilohidrik dan homolohidrik, kekuatan evaporasi
udara, evapotranspirasi, neraca air, layu sementara dan layu permanen,
air tanah, serta klasifikasi tanaman berdasarkan kebutuhan air.
Kehidupan di muka bumi sangat tergantung kepada energi yang
bersumber dari cahaya atau radiasi matahari. Tanaman memperoleh
energi secara langsung, tetapi kebutuhan energi untuk hewan sangat
tergantung kepada energi kimiawi sebagai hasil sintesa karbohidrat
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 246

oleh tanaman. Jumlah energi matahari yang diserap oleh tanaman


tergantung pada beberapa faktor yaitu tempat tumbuh, arah daun, dan
pigmentasi.
Kehadiran O2 dan C02 di atmosfir merupakan faktor terpenting
bagi tumbuhan. Jika tanpa gas CO2 tidak mungkin disintesis
karbohidrat, dan berarti tidak ada energi kimia yang tersimpan untuk
kehidupan. Oksigen juga penting bagi kebanyakan tumbuhan dan
hewan. Energi kimiawi yang tersimpan sebagai karbohidrat hanya
dapat dilepaskan melalui respirasi yang memerlukan O 2. Kebanyakan
tumbuhan sangat memerlukan suplai O2 baik melalui bagian atas
(terutama daun) maupun perakaran tanaman. Pertukaran gas-gas
antara sel tumbuhan dan atmosfir hanya dapat berlangsung melalui
lubang pada permukaan daun yang dikenal dengan nama stomata.
Tumbuhan hijau juga dipengaruhi oleh banyak organisme lain
dengan berbagai cara. Banyak tumbuhan tergantung pada burung,
hewan atau serangga yang membantu proses penyerbukan bunganya
dan penyebaran biji-biji tumbuhan seluas mungkin dalam suatu
wilayah. CO2 yang diabsorbsi oleh tumbuhan hijau dalam proses
fotosintesis berasal dari hasil respirasi organisme lain, sedangkan O2
yang diperlukan untuk respirasi telah terakumulasi di udara dalam
jumlah yang besar merupakan hasil fotosintesis tumbuhan hijau dari
generasi ke generasi. Sejumlah panas, cahaya, air dan hara yang
tersedia bagi satu tanaman merupakan hasil yang ditentukan oleh
tanaman lainya yang berada di sekitarnya.
Di alam tanaman dan hewan saling tergantung satu sama lain,
hubungan kedua jenis makhluk hidup ini dapat bersifat
makrosimbiotik. Hubungan antara tanaman dan hewan dapat berupa
mutualisme atau parasitisme yang sangat kompleks. Tanaman sangat
penting bagi hewan terutama sebagai sumber pakan. Akan tetapi
tanaman juga memiliki perlindungan terhadap predator, kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan, dan menyediakan bahan-
bahan untuk sarang dan bangunan tempat tinggal lainnya serta faktor-
faktor penting yang sering tidak dikenali.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 247

Manusia telah mulai campur tangan terhadap ekologi tanaman


dan berlangsung sampai sekarang. Campur tangan manusia terhadap
ekologi tanaman mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan
waktu sehingga pada saat ini hanya tinggal beberapa tempat di
belahan bumi ini dimana aktivitas manusia tidak mempengaruhi
lingkungan tanaman. Walaupun pada beberapa tempat, manusia dan
alam bekerjasama saling menguntungkan kedua belah pihak, akan
tetapi pada banyak tempat, aktivitas manusia telah terbukti
mengancam tumbuhan alamiah. Hutan hujan tropis adalah suatu
ekosistem yang rapuh dan sangat mudah rusak terutama oleh aktivitas
manusia. Jika tidak diganggu, hutan tropis tetap tidak berubah selama
ribuan tahun.

6.9 Latihan

1) Uraikan bagaimana tanaman selalu tergantung dan berinteraksi


dengan lingkungan sekitarnya, seperti tanah, udara, air, cahaya,
hewan, mikroorganisme, maupun dengan manusia.
2) Jelaskan bagaimana tanah-tanah yang terbentuk di daerah tropis
mencakup: latosol, vertisol, podzol, hidromorfik, kahsiomorfik,
halomorfik, tanah-tanah azonal.
3) Kehidupan di muka bumi sangat tergantung kepada energi yang
bersumber dari cahaya atau radiasi matahari. Kemukakan
bagaimana tanaman memperoleh dan mengkonversi energi
matahari.
4) Uraikan peranan air bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
5) Sebutkan komposisi gas-gas apa saja yang terdapat di atmosfir
serta jelaskan pula apa hubungannya dengan tanaman.
6) Jelaskan bagaimana tanaman berinteraksi dengan tanaman lainnya,
baik yang menguntung maupun yang merugikan.
7) Hubungan antara tanaman dan hewan dapat berupa mutualisme
atau parasitisme yang sangat kompleks, jelaskanlah hubungan-
hubungan tresebut.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 248

8) Apakah kehadiran manusia di atas muka bumi lebih banyak


menguntungkan atau kerugikan alam. Buktikanlah pendapat Anda
tersebut dengan fakta atau data.
9) Hutan hujan tropis adalah suatu ekosistem yang rapuh dan sangat
mudah rusak terutama oleh aktivitas manusia. Kemukakan
bagaimana seharusnya manusia mengelola hutan.
10) Hubungan tanaman dengan tanaman lainnya dapat dipengaruhi
oleh sejumlah panas, cahaya, air dan hara tersedia di sekitarnya.
Uraikan bagaimana hubungan tersebut terjadi.

6.10 Glossarium

Agregat adalah hasil pembentukan partikel-partikel tanah menjadi


bentuk yang lebih besar dan komplek
Alkalin merupakan suatu kondisi tanah atau media tumbuh yang
berada dalam keadaan basa
Decidous adalah tanaman yang mengugurkan daunnya setiap tahun
terutama pada musim kering
Evaporasi adalah proses penguapan air dari permukaan tanah
Evapotranspirasi menunjukkan kepada kombinasi proses evaporasi
dan transpirasi
Hidroponik merupakan suatu teknik budidaya tanaman tanpa
menggunakan tanah sebagai media tumbuhnya, melainkan
media air
Humifikasi yaitu perubahan bahan organik menjadi humus
Infiltrasi adalah proses pergerakan molekul-molekul air melalui
fraksi-fraksi tanah
Kation adalah ion-ion bermuatan positif yang terdapat di dalam tanah
atau suatu media tumbuh
Perkolasi adalah proses pergerakan suatu zat cair atau gas melalui
filter atau bahan-bahan yang porous seperti tanah gembur
Presipitasi adalah proses kondensasi uap air yang ada di udara
berubah menjadi bintik-bintik air dan jatuh ke bumi sebagai
bentuk hujan atau salju
Poikilohidrik adalah tanaman yang mempunyai sel-sel kecil tanpa
vakuola tengah
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 249

Porositas merupakan kemampuan tanah untuk dilalui oleh air maupun


gas
Top soil adalah lapisan paling atas dari permukaan tanah, umum pada
lapisan ini banyak mengandung bahan organik serta menjadi
zona perakaran yang paling dominan
Transpirasi adalah penguapan air dari permukaan daun tanaman
Xylem adalah jaringan pembuluh yang berfungsi mengangkut air dan
mineral dari akar ke daun atau bagian tanaman lainnya
Water table adalah air permukaan yang berada di dalam tanah pada
saat suatu lubang dibuat, seperti sumur (permukaan air sumur)

6.11 Daftar Pustaka

123RF. 2011. Plant is under sun. Online, http://www.123rf.com/


photo_882389_plant-is-under-sun.html, diakses 2 Februari 2011.
Bazan, G. and Slawecki, T. 2008. Year-round Backyard Mini
Farming: Food with the Least Fossil Fuel and Footprint. Online,
http://neo-terra.org/PASA2.aspx, diakses 2 Februari 2011.
Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Peneliti
Tanah dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Dreamstime, 2011. Family Watering Flowers. Online,
http://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-image-family-
watering-flowers-image9764236, diakses 4 Februari 2011.
Dreamstime, 2011. New plant. Online, http://www.dreamstime.com/
new-plant-image12798766, diakses 4 Februari 2011.
Foth, H.D. 1985. Fundamentals of Soil Science. John Wiley & Sons
Inc, New York.
Future Timeline. 2011. Insurance crisis. Online, http://www.
futuretimeline.net/21stcentury/2060-2069.htm, diakses 3 Februari
2011.
Hardon, H.J. 1937. Padang Soils: An Examples of Podzol in Tropical
Lowlands. Konikl. Akad. Wetensch. Amsterdam Proc.
Agroekologi: Interaksi Tanaman dengan Lingkungannya 250

Hodgson, J. M. Soil Survey Field Handbook. Tech. Monograf.


Harpenden- England.
JTB. 2005. When typhoons come. Online, http://web-japan.org/
nipponia/nipponia34/en/feature/feature09.html
Kartasapoetra, A.G. 1986. Klimatologi. Pengaruh Iklim Terhadap
Tanah dan Tanaman. Bina Aksara, Jakarta.
Kononova, M.M. 1966. Soil Organic Matter. Pergamon Press New
York.
Muljanto, D. 1997. Ekofisiologi Tumbuhan, Volume I. Program
Pasca Sarjana Bidang Ilmu Pertanian, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Notohadiprawino, T dan S.H, Hastuti. 1978. Azas-azas Pedologi Ilmu
Pedogenesis. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM.
Yogyakarta.
Notohadiprawiro, A.R.S . 1986. Pengantar Ilmu Tanah. Departemen
Ilmu Tanah UGM, Yogyakarta.
Richardson, J. 2008. National Geographics: Where Food Begins: Our
Good Earth. Online, http://www.cityfarmer.info/category/soil/,
diakses 2 Februari 2011.
Slemmons, C. 2004. Sex, Lies and Pollination: Tropical Diversity in
Plant-Pollinator Interactions. Online, http://jrscience.wcp.
muohio.edu/fieldcourses04/PapersCostaRicaArticles/
SexLiesandPollination.Tro.html, diakses 3 Februari 2011.
University of Kentucky. 2010. MS in Plant and Soil Science. Online,
http://www.ca.uky.edu/pss/index.php?p=584, diakses 2
Februari, 2011.
Vickery, M.L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and
Sons, New York.
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 250

BAB VII
DAMPAK PERTANIANTERHADAP
LINGKUNGAN

Setelah mempelajari bab ini diharapkan pembaca mampu memahami,


menjelaskan dan mendiskusikan tentang dampak revolusi hijau,
dampak pemanasan global terhadap pertanian, kerusakan ekosistem
lahan pertanian, serta dampak pencemaran pestisida dan pupuk kimia
terhadap lingkungan. Selanjutnya, pembaca diharapkan juga dapat
menjawab latihan-latihan pada bagian akhir bab, memberikan
presentasi dan diskusi serta menyimpulkan materi yang diberikan
dalam bab ini.

7.1 Dampak Revolusi Hijau

Pertama sekali dahulunya kita mengenal dengan istilah pertanian


subsisten, hasilnya langsung dipakai untuk memenuhi kebutuhan
petani berserta keluarganya saja. Kemudian ada revolusi teknologi
yang disebut dengan revolusi hijau (green revolution). Dalam
teknologi ini dikembangkan mesin-mesin dan bahan-bahan kimia yang
memungkinkan petani untuk membersihkan dan menanami suatu
lahan dengan cepat, memberikan pupuk dan makanan ternak secara
cepat, serta membunuh hama, penyakit dan gulma secara cepat pula
(Gambar 7.1).
Disamping itu, varietas-varietas unggul baru yang rakus
terhadap sarana produksi, seperti pupuk, juga terus dilepaskan sampai
hari ini. Revolusi ini ternyata memang mampu memberikan hasil yang
tidak terduga-duga sebelumnya, sehingga sampai akhir abad ke 20,
teknologi ini terus diterapkan secara intensif, tanpa mempertimbang-
kan masalah-masalah yang mungkin timbul di kemudian hari. Banyak
aktivitas-aktivitas dalam teknologi revolusi hijau ini hanya diarahkan
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 251

untuk meningkatkan produksi setinggi-tingginya, tanpa memperhati-


kan aspek-aspek konservasi sumber daya yang ada.

a b

c d
Gambar 7.1 Pembersihan lahan dan penanaman dilakukan secara cepat dengan
menggunakan mesin. Pemberian pupuk dan pestisida kimia dilakukan
secara intensif tanpa mempertimbangkan masalah yang akan terjadi.
(Foto: a. Morowali Jaya Sakti, 2010, b. Deere Photo Library, 2005,
c. AntaraFoto, 2011, d. Wiedemann, 2005).

Namun secara perlahan-lahan, waktu telah mumbuktikan bahwa


berbagai masalah muncul akibat pengembangan pertanian moderen
tersebut, diantaranya adalah (Mason, 2003):
(1) adanya residu kimia pada produk tanaman dan ternak
(2) rusaknya struktur tanah,
(3) pengikisan top soil atau erosi,
(4) peningkatan salinitas tanah,
(5) peningkatan keasaman tanah,
(6) penurunan kesuburan tanah,
(7) pencucian unsur hara oleh irigasi
(8) terganggunya kehidupan mikrobia tanah
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 252

(9) terbunuhnya musuh alami


(10) pencemaran air, udara, dan tanah

Ketika kita memasuki abad ke 21, saat perhatian dunia terhadap


kerusakan lingkungan dan pencemaran menjadi tumbuh dan
berkembang, maka di saat inilah kita tersadar dan termotivasi untuk
melakukan perubahan-perubahan ke arah teknik budidaya yang lebih
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

7.2 Dampak Pemanasan Global Terhadap Pertanian

Dalam konferensi yang dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2009


yang diselenggarakan oleh Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan
Iklim (IPCC: International Panel for Climate Change), ketua IPCC,
Dr. Pachuari mengingatkan bahwa jika umat manusia tidak bertindak
sekarang, maka perubahan iklim akan berdampak serius. Peningkatan
suhu bumi meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 7.2).

Gambar 7.2 Perubahan temperatur global makin meningkat dengan tajam sejak
tahun 1980-an (Yulianto, 2009).

Kita semua perlu menghentikan berbagai aktivitas kehidupan yang


dapat menyebabkan perubahan iklim. Beberapa solusi yang dapat kita
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 253

terapkan adalah dengan berhenti mengkonsumsi daging dan produk


makan olahan serta beralih ke gaya hidup yang lebih hijau, yang lebih
banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran segar yang ditanam
dengan sistem pertanian organik (Gambar 7.3).

Gambar 7.3 Mengkomsumsi produk alami yang dihasilkan dari pertanian organik
merupakan salah satu cara efektif mengurangi pemanasan global
(Foto: Arizana Gallery, 2010).

Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan


lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa,
Sektor peternakan adalah satu dari tiga penyumbang terbesar bagi
krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari
lokal hingga global. Hampir seperlima (20%) dari emisi karbon
berasal dari sektor peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi
gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia. Industri ternak
(Gambar 7.4) ternyata telah menjadi penyebab utama dari
pengrusakan lingkungan dan emisi gas rumah kaca. Memelihara
ternak untuk konsumsi telah menjadi salah satu penghasil gas karbon
dioksida terbesar serta menjadi satu-satunya sumber emisi gas metana
dan nitro oksida terbesar. Sektor peternakan telah menyumbang 9%
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 254

racun karbon dioksida, 65% nitro oksida, dan 37% gas metana yang
dihasilkan karena ulah manusia. Gas metana menghasilkan gas rumah
kaca 20 kali lebih besar dan nitro oksida 296 kali lebih banyak jauh di
atas karbon dioksida. Peternakan juga menimbulkan 64% amonia yang
dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan
hujan asam (Kasep, 2009).

Gambar 7.3 Industri peternakan merupakan salah satu penyebab terbesar pemanasan
global saat ini (Foto: Global Warming Truth, 2011).

Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan


tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30% dari
permukaan tanah di bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air
yang digunakan untuk menanam makanan ternak. Menurut laporan
Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian,
Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan
Lingkungan (Livestock’s Long Shadow–Environmental Issues and
Options), peternakan adalah penggerak utama dari penebangan hutan,
kira-kira 70% dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan
menjadi ladang ternak (Steinfeld, et. al., 2006).
Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah.
Kira-kira 20% dari padang rumput turun mutunya karena pemelihara-
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 255

an ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga


bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak.
Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan
untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85% dari
sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga
menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem (Steinfeld, et.
al., 2006). Konsumsi air untuk menghasilkan satu kilo makanan dalam
pakan ternak di Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 7.1.
Tabel 7.1 Jumlah kebutuhan air untuk menghasilkan satu kilogram makanan pada
aktivitas peternakan di Amerika Serikat.

No Produksi 1 kg Daging Kebutuhan air (liter)

1 Daging sapi 1.000.000

2 Ayam 3.500

3 Kedelai 2.000

4 Beras 1.912

5 Gandum 900

6 Kentang 500

Sumber: National Geographic Indonesia (2010).

Selain kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, industri


ternak juga sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak
memerlukan energi yang berlimpah untuk mengubah ternak menjadi
daging. Untuk memproduksi 1 kg daging, peternakan dapat
menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 36,4 kg. Sedangkan
untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua
kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga
kalori untuk jagung dan gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori
energi untuk protein daging sapi. Itu berarti kita telah memboroskan
bahan bakar fosil sekitar 27 kali lebih banyak hanya untuk membuat
sebuah hamburger daging daripada konsumsi yang diperlukan untuk
membuat hamburger dari kedelai (PemanasanGlobal.net, 2011)
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 256

Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air,


penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah
mengherankan jika satu orang berdiet tanpa daging, maka dapat
memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan. Tahun 2009,
penyelidik dari Departemen Sains Geofisika (Department of
Geophysical Sciences) Universitas Chicago, Gidon Eshel dan Pamela
Martin, juga menyingkap hubungan antara produksi makanan dan
masalah lingkungan. Mereka mengukur jumlah gas rumah kaca yang
disebabkan oleh daging merah, ikan, unggas, susu, dan telur, serta
membandingkan jumlah tersebut dengan seorang yang berdiet vegan
(vegetarian). Mereka menemukan bahwa jika diet standar Amerika
beralih ke diet tumbuh-tumbuhan, maka akan dapat mencegah satu
setengah ton emisi gas rumah kaca ektra per orang per tahun.
Disamping itu, beralih dari sebuah sedan standar seperti Toyota
Camry ke sebuah Toyota Prius hibrida menghemat kurang lebih satu
ton emisi CO2 (PerubahanIklim.net, 2011).
Sekalipun seseorang memilih untuk menutup matanya terhadap
dampak pertanian, khususnya peternakan, tetapi keadaan darurat untuk
menghentikan perubahan iklim dan bagaimana cara melakukannya
adalah sangatlah jelas. Sekarang bukan hanya para vegetarian atau
pencinta lingkungan yang mengatakannya, tetapi ketua dari sebuah
badan internasional, IPCC, telah mengumumkan kepada dunia bahwa
pengaruh makan daging telah merusak planet kita, dan bahwa kita
harus menghentikan makan daging agar dapat membalikkan keadaan.
Namun, itu semua tergantung pada pilihan kita. Kita semua
bertanggung jawab untuk membuat bumi ini menjadi lebih sejuk, lebih
bersih, dan lebih sehat. Jadi mulailah dari dapur kita sendiri: pilihlah
diet vegetarian dan bantulah mengerem perubahan iklim dengan
berbagai aktivitas, seperti pengehematan energi dan penghiauan.
NASA menyatakan bahwa pemanasan global berimbas pada
semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim bumi. Pola curah
hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 257

banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain (Gambar


7.4). Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan
kecenderungan semakin lama semakin nyata. Tanpa diperkuat oleh
pernyataan NASA di atas pun kita sudah dapat melihat efeknya pada
lingkungan di sekitar kita.

a b
Gambar 7.4 Pemanasan global telah menyebabkan meningkatkan terjadinya banjir
di satu tempat (a), tetapi terjadi kekeringan di tempat yang lain (b)
(Foto: a. Ogiyoga, 2010, b. Britannica, 2011).

7.3 Kerusakan Ekosistem Lahan Pertanian

Sistem pertanian konvensional yang dikembangkan selama ini, selain


telah berhasil meningkatkan produksi secara nyata, tetapi juga telah
menimbulkan berbagai dampak negatif. Diantaranya adalah terganggu
siklus air dalam suatu ekosistem. Hal ini terutama disebabkan oleh
pola budidaya monokultur yang membuka areal-areal baru untuk
penanaman tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit (Gambar 7.5).
Pembukaan lahan akan menyebabkan aliran permukaan (run-off)
meningkat. Hal ini selain menyebabkan terjadinya erosi, air hujan
yang jatuh di atas permukaan tanah juga menjadi sedikit yang dapat
diserap oleh tanah.
Selain itu, adanya kebiasaan petani membakar hutan dan
berbagai serasah tanaman, seperti pembakaran jerami (Gambar 7.6)
juga telah menyebabkan deplesi atau penipisan unsur hari pada lahan-
lahan persawahan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kesuburan
tanah akibat terganggunya siklus hara, terutama unsur hara makro
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 258

seperti nitrogen. Pembakaran hutan dan serasah-serasah tanaman tidak


hanya menyebabkan tanah menjadi semakin kritis, tetapi juga
menimbulkan pencemaran udara, karena pembakaran akan
melepaskan gas-gas yang dapat merusak komposisi udara, seperti
pelepasan gas karbon dioksida yang merupakan gas emisi rumah kaca.

Gambar 7.5 Perkebunan kelapa sawit yang ditanam secara monokultur dapat
menyebabkan peningkatan erosi dan menurunnya jumlah air tanah
(Foto: Wordpress. 2008).

Prilaku budidaya pada pertanian konvensional saat ini telah


banyak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan. Cara pandang
yang ingin mendapatkan keuntungan besar secara cepat telah
menyebabkan petani mengeluarkan biaya yang besar untuk pengadaan
berbagai input yang diproduksi secara kimiawi atau prabrik. Hal ini
dapat menyebabkan petani kekurangan sumber daya untuk
mengkompensasi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh
berbagai aktivitas budidaya. Dalam jangka waktu yang panjang, selain
menyebabkan degradasi sumber daya alam, seperti menurunkan
kesuburan tanah, kerusakan ekosistem, atau pencemaran, maka prilaku
budidaya yang salah juga dapat menyebabkan beban biaya produksi
yang harus ditanggung oleh petani menjadi makin besar.
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 259

Gambar 7.6 Pembakaran jerami setelah panen telah menjadi kebiasan buruk para
Petani yang tidak mengerti kerusakannya di berbagai wilayah Indonesia
(Foto: National Institute of Occupational Savety and Health, 2011)

7.4. Dampak Pertanian Terhadap Pencemaran Lingkungan

Meningkatnya penggunaan berbagai bahan kimia sintetis untuk


mengejar produksi maksimum seperti penggunaan pestisida, herbisida,
pupuk an-organik, dan berbagai bahan kimia buatan lainnya telah
menyebarkan dan meninggalkan berbagai residu kimia yang dapat
menganggu kesehatan lingkungan, baik di dalam agroekosistem
maupun di luar lahan pertanian. Bahan-bahan pencemaran tersebut
telah menimbulkan gangguan dan kerusakan pada tanah, air, dan
udara. Beberapa dampak bahan kimia sistesis terhadap gangguan dan
kerusakan lingkungan adalah sebagai berikut:
(1) Perubahan kimiawi tanah, banyak lahan-lahan mengalami
peruhan pH atau salinitas tanah meningkat.
(2) Terganggunya organisme, penggunaan pestisida atau herbisida
dapat menyebabkan gangguan biologis, seperti munculnya
ledakan hama dan penyakit tumbuhan yang lebih parah lagi.
(3) Kepunahan organisme, hewan-hewan yang bersifat predator
juga ikut mati atau punah ketika pola pemberantasan hama
penyakit dilakukan secara intensif.
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 260

(4) Gangguan metabolisme tumbuhan akibat masuknya berbagai


bahan kimia artifisial ke dalam tubuh tumbuhan, seperti
penggunaan pupuk melewati dosis atau penggunaan berbagai
zat pengatur tumbuh. Dalam kondisi yang ekstrim dapat
menyebabkan mutasi-mutasi pada tanaman
(5) Kelestarian tumbuhan/hewan terganggu, hal ini dapat
menyebabkan hilangnya plasma nutfah yang berharga untuk
generasi mendatang.
(6) Residu pada tanaman, tanah, air, dan udara dapat terbawa atau
menyebar ke berbagai ekosistem yang merupakan habitat
manusia. Hal ini juga dapat mengganggu kesehatan manusia
dan kesehatan lingkungan.
(7) Resistensi dan resurgensi hama, terkadang hama dan penyakit
mengembangkan sistem pertahan diri sehingga lebih tahan
terhadap bahan-bahan kimia yang diberikan. Hal ini dapat
menyebabkan hama menjadi lebih kuat, sehingga populasinya
dapat meningkat dengan cepat dan menimbulkan kerusakan
yang lebih besar lagi.

7.5 Rangkuman

Walaupun revolusi hijau memungkinkan petani untuk membersihkan


dan menanami suatu lahan dengan cepat, memberikan pupuk dan
makanan ternak secara cepat, serta membunuh hama dan penyakit
secara cepat pula, tetapi telah menimbulkan dampak yang serius
terhadap lingkungan. Pengembangan pertanian moderen dewasa ini
telah mengakibatkan adanya residu kimia pada produk tanaman dan
ternak, rusaknya struktur tanah, pengikisan top soil atau erosi,
peningkatan salinitas tanah, peningkatan keasaman tanah, penurunan
kesuburan tanah, pencucian unsur hara oleh irigasi, terganggunya
kehidupan mikrobia tanah, terbunuhnya musuh alami, dan terjadinya
pencemaran air, udara, dan tanah.
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 261

Sektor peternakan adalah satu dari tiga penyumbang terbesar bagi


krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari
lokal hingga global. Peternakan juga telah menjadi penyebab utama
dari kerusakan tanah, polusi air, serta tidak hemat energi. Pemanasan
global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim
bumi. Pola curah hujan berubah-ubah sehingga menyebabkan banjir di
satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Oleh karena itu,
kita semua bertanggung jawab untuk membuat bumi ini menjadi lebih
sejuk, lebih bersih, dan lebih sehat. Jadi, mulailah dengan berbagai
aktivitas, seperti pengehematan energi dan penghiauan.
Sistem pertanian konvensional, selain telah berhasil meningkatkan
produksi secara nyata, tetapi juga telah menimbulkan berbagai
dampak negatif. Diantaranya adalah terganggu siklus air dalam suatu
ekosistem, penipisan unsur hari pada lahan-lahan akibat pembakaran,
menurunkan kesuburan tanah, kerusakan ekosistem, atau pencemaran.
Beberapa dampak bahan kimia sistesis terhadap gangguan dan
kerusakan lingkungan adalah: perubahan kimiawi tanah, terganggunya
organisme, kepunahan organisme, gangguan metabolisme tumbuhan,
kelestarian tumbuhan/hewan terganggu, terbentuknya residu pada
tanaman, tanah, air, dan udara, serta munculnya resistensi dan
resurgensi hama.

7.6 Latihan

(1) Jelaskan bagaimana teknologi yang diterapkan dalam revolusi


hijau telah menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap
lingkungan.
(2) Kenapa sektor peternakan dianggap sebagai satu dari tiga
penyumbang terbesar bagi krisis lingkungan yang paling serius
terjadi mulai dari lokal hingga global.
(3) Kita semua harus bertanggung jawab untuk membuat bumi ini
menjadi lebih sejuk, lebih bersih, dan lebih sehat. Kemukan
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 262

pendapat Anda apasaja yang dapat dilakukan untuk mengurangi


pemanasan global.
(4) Sistem pertanian konvensional, selain telah berhasil meningkatkan
produksi secara nyata, tetapi juga telah menimbulkan berbagai
dampak negatif. Uraikan apasaja dampak negatif tersebut.
(5) Penggunaan bahan kimia sistesis dalam pertanian moderen seperti
pestisida, herbisida, dan pupuk an-organik dapat menimbulkan
berbagai dampak terhadap kerusakan lingkungan. Jelaskan
dampak-dampak tersebut.
(6) Kemukakan secara holistik bagaimana semua petani dapat
melaksanakan usaha taninya secara berkelanjutan tanpa
menimbulkan kerusakan lingkungan.

7.7 Glossarium
Ammonia, adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya
senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas
(disebut bau amonia)
Emisi, adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar atau hasil proses
penguraian bahan-bahan di alam.
Gas metana, adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas
dengan rumus kimia CH4, metana murni tidak berbau.
Herbisida, adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan
pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang
menyebabkan penurunan hasil
Nitro oksida, merupakan salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan
oeh jasad renik di lahan sawah yang dapat menyebabkan
pemanasan global dan penipisan ozon.
Residu adalah sisa pestisida yang ditinggalkan sesudah perlakuan
dalam jangka waktu yang telah menyebabkan terjadinya
peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja.
Resistensi, adalah menunjukan pada posisi organisme untuk
berperilaku bertahan, atau berusaha melawan suatu perlakuan
atau kondisi tertentu.
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 263

Resurgensi, adalah peristiwa peningkatan populasi hamasasaran


secara mencolok sehingga jauh melampaui amabang ekonomi,
yaitu segera setelah dilakukan tindakan pengendalian dengan
pestisida tertentu.

7.8 Daftar Pustaka

Arizana Gallery. 2010.Online, http://www.naturalhomemagazine.com/


uploadedImages/articles/issues/2008-0301/veggie6081238.JPG,
diakses 20 Februari 2011.
Britannica. 2011. Drought. Online,http://www.britannica.com/
EBchecked/media/87233/Cracked-dry-dirt-covers-marshland-in-
a-drought-region-of, diakses 22 Februari 2011.
Global Warming Truth. 2011. Global Warming. Online, http://www.
global-warming-truth.com/global-warming/, diakses 20 Februari
2011).
Kasep, A. 2009. Efek Rumah Kaca Perubahan Iklim dan Pemanasan
Global. Online, http://aa-pemanasanglobal.blogspot.com/,
diakses 20 Februari 2011.
National Geographic Indonesia., 2010. Edisi Khusus: Air Dunia yang
Dahaga. Kompas Gramedia, Jakarta.
National Institute of Occupational Savety and Health, 2011. Berhati-
hati Bakar Jerami. Online, http://shopahang.blogspot.com/
2010/02/berhati-hati-bakar-jerami.html, diakses 22 Februari
2011.
PerubahanIklim.net. 2011. Penyebab Utama Perubahan Iklim. Online,
http://www.perubahaniklim.net/penyebab-utama-perubahan-
iklim.htm, Diakses 22 Februari 2011.
Steinfeld, H., P. Gerber, T. Wassenaar, V. Castel, M. Rosales, C. de
Haan. 2006. Livestock’s long shadow Environmental issues and
options. Online, http://www.all-creatures.org/tytt/envlivestocks-
longshadow.pdf, diakses 20 Februari 2011.
Yulianto, 2009. Global Warming. Online, http://www.sigityuliyanto.
byethost22.com/file/artikel/global%20warming2.php, diakses 20
Februari 2011
Agroekologi: Dampak Pertanian Terhadap Lingkungan 264

Wordpress. 2008. Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Online, http://farm4.


static.flickr.com/3016/2592888839_d5b3a15b4a.jpg, diakses 22
Februari 2011.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 265

BAB VIII
RESTORASI AGROEKOSISTEM

Setelah mempelajari bab ini diharapkan pembaca mampu memahami,


menjelaskan dan mendiskusikan tentang kondisi kerusakan ekosistem,
degradasi cagar alam, strategi konservasi dan restorasi, hubungan
perubahan iklim dengan restorasi ekosistem, serta posisi ekologi
restorasi dalam perubahan iklim. Selanjutnya, pembaca diharapkan
juga dapat menjawab latihan-latihan pada bagian akhir bab,
memberikan presentasi dan diskusi serta menyimpulkan materi yang
diberikan dalam bab ini.

8.1 Potret Kerusakan Ekosistem


Kita akan bertanya-tanya apakah yang sedang terjadi ketika melihat
protret-protet suram pada Gambar 8.1. Dominasi warna hitam, kelam
dan merah menimbulkan kesan sesuatu yang cukup menyeramkan
terjadi. Gambar tersebut menyoroti lingkungan kita yang sudah rusak
parah. Tetapi yang lebih penting bagi kita sekarang adalah bagaimana
usaha memperbaikinya melalui proses restorasi ekosistem.
Kini bumi sebagai tempat kita tinggal sedang terjadi mengalami
perubahan iklim yang ekstrim. Deretan bencana seperti banjir, tanah
longsor, kekeringan, dan gagal panen telah menimbulkan dampak
yang nyata terhadap kehidupan manusia dan alam sekitar. Hal-hal
tersebut dipicu oleh berbagai proses kimiawi, diantaranya adalah
pembakaran bahan bakar fosil (bensin, solar, gas, minyak tanah, batu
bara, dll). Disamping itu, pembakaran/penggundulan hutan juga telah
menambah panjangnya kerusakan di atas muka bumi (Gambar
8.2). Penggundulan hutan seperti ini makin memperburuk keadaan, di
satu sisi terjadi peningkatan gas hasil pembakaran fosil yang semakin
besar dan di sisi lainnya jumlah pepohonan semakin berkurang.
Efek lainnya bukan hanya itu saja, tetapi juga rusaknya
keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Dalam bab ini kita
bukan hanya menyoroti keadaan hutan Indonesia yang semakin parah,
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 266

tetapi juga mencoba mengemukakan alternatif cara menanggulangi-


nya. Kegiatan reboisasi atau penanaman kembali lahan bekas
tebangan pohon, tidak cukup untuk menyelamatkan hutan dari
kehancuran, karena penanaman kembali tidaklah berarti
mengembalikan unsur-unsur hayati dari ekosistem asli hutan
tersebut. Kita akan mencoba membahas suatu program untuk
menanggulangi masalah pengembalian unsur-unsur ekosistem,
program tersebut tidak lain adalah restorasi ekosistem.

Gambar 8.1 Protet-potret kehancuran lingkungan hidup akibat deforestasi hutan.


Penebangan dan pembakaran hutan telah menimbulkan kerusakan
yang parah (Foto: David, 1983 dan Oldcargo. 2008).

Apakah restorasi ekosistem itu? Istilah ini memang belum


terlalu dikenal masyarakat. Restorasi ekosistem adalah proses alamiah
yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi hutan seperti aslinya
sebelum dijamah manusia. Hal ini berarti bahwa kita tak perlu
memasukkan tumbuhan dan satwa yang baru dari luar kawasan hutan.
Semuanya dari hutan itu sendiri, tetapi pertumbuhannya dipercepat
agar mendekati hutan aslinya.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 267

Gambar 8.2 Potret-potret kekabakaran hutan dan kondisi ekosistem yang telah rusak
parah akibat perbuatan manusia yang tidak bertanggung-jawab (Foto:
Yayasan Rotan Indonesia, 2010).

Salah satu pihak yang terkait dalam memprakarsai program ini


adalah pemerintah yang diimplementasikan melalui PT Restorasi
Ekosistem. Sejak akhir tahun 2006 restorasi ekosistem ini telah
dimulai di hutan produksi di Sumatera Selatan dan Jambi. Lokasi
tersebut dipilih karena laju pengrusakan hutan di sana yang jauh lebih
tinggi dibanding hutan-hutan di Indonesia lainnya.
Mengingat akan pentingnya restorasi ekosistem, maka tentulah
kita seharusnya lebih optimis, agar masyarakat menjadi tergerak untuk
ikut mendukung program ini. Kalau saja semua kalangan masyarakat
menyadari bahwa bumi yang kita diami sekarang ini sudah rusak
parah, maka pastilah kita akan berusaha mencari cara untuk
menanggulanginya.
Restorasi ekosistem ini bagaikan setitik cahaya terang yang bisa
memberikan harapan bahwa mungkin bumi kita ini akan bisa kembali
berseri-seri. Ada dua konsep utama yang perlu dipahami dalam
restorasi ekosistem yaitu:
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 268

1) Restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur


biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan
topografi) pada kawasan hutan, sehingga tercapai keseimbangan
hayati.
2) Restorasi ekosistem pada hutan produksi adalah upaya untuk
mengembalikan unsur biotik (tegakan hutan) pada suatu kawasan
hutan produksi, sehingga kondisi optimal potensi hutan produksi
tercapai.

8.2 Degradasi Cagar Alam

Cagar alam adalah salah satu bentuk kawasan hutan konservasi,


artinya kawasan ini memiliki fungsi untuk perlindungan, pengawetan,
dan pemanfaatan kawasan serta tempat hidup berbagai jenis flora dan
fauna. Cagar alam merupakan salah satu bentuk hutan hujan tropis
yang masih tersisa di antara sekian banyak hutan tropis Indonesia
yang telah rusak.
Potensi keanekaragaman hayati yang dikandungnya memiliki
peran dan posisi yang penting dalam peta biodiversitas Indonesia.
Telah diketahui bahwa di dalam hutan alam yang telah mencapai
klimaks pun, kondisinya tidak statis akan tetapi dinamis. Karena
beberapa sebab alami maupun peran manusia (anthropogenic-driven)
dapat membuat eksositem yang seimbang berubah menjadi eksosistem
yang terdegradasi.
Kita memang mengakui bahwa kini gangguan hutan karena
sebab manusia (antropogenic-driven disturbances) semakin menjadi
kecendrungan masyarakat umum. Penambangan di daerah kawasan
konservasi baik legal maupun illegal juga telah mulai merambah
kawasan dan mengubah eksosistem menjadi habitat yang terdegradasi.
Sedikit atau banyak, kerusakan hutan tetap akan berpengaruh
terhadap banyak hal. Antara lain kekhawatiran akan bertambah
parahnya tingkat pemanasan global, perubahan iklim, bencana alam
kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Kondisi ekosistem hutan yang
sudah terdegradasi serta mengalami deforestasi menuntut segera
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 269

dilakukan upaya pemulihan sehingga kawasan hutan dapat segera


kembali berfungsi sebagaimana mestinya.
Dalam memahami restorasi ekosistem, kita perlu mengetahui
tentang suksesi ekologi. Suksesi ekologi adalah merujuk pada
perubahan-perubahan berangkai dalam struktur dan komposisi suatu
komunitas ekologi yang dapat diramalkan. Suksesi dapat terinisiasi
oleh terbentuknya formasi baru suatu habitat yang sebelumnya tidak
dihuni oleh mahluk hidup ataupun oleh adanya gangguan terhadap
komunitas hayati yang telah ada sebelumnya akibat kebakaran, badai,
maupun penebangan hutan. Kasus yang pertama sering disebut suksesi
primer, sedangkan kasus kedua disebut suksesi sekunder. Dengan
demikian, suksesi ekologi adalah suatu proses perubahan komponen-
komponen spesies suatu komunitas selama selang waktu tertentu.
Sehingga suksesi ekologi dapat menjadi suatu proses dasar untuk
restorasi ekosistem
Menyusul adanya sebuah gangguan, suatu ekosistem biasanya
akan berkembang dari mulai tingkat organisasi sederhana (misalnya
beberapa spesies dominan) hingga ke komunitas yang lebih kompleks
(banyak spesies yang interdependen) selama beberapa generasi. Jadi,
restorasi adalah pengembalian suatu ekosistem atau habitat kepada
struktur komunitas, komplemen alami spesies, atau fungsi alami
aslinya seperti tampak pada Gambar 8.3.
Retorasi juga dapat dipahami sebagai usaha yang merupakan
pemulihan ekosistem melalui suatu reintroduksi secara aktif dengan
spesies yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi
spesies seperti semula. Tujauannya untuk mengembalikan struktur,
fungsi, kenekaragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju.

8.3 Strategi Konservasi dan Restorasi


Sebenarnya prilaku ekosistem sulit untuk diduga dan tak dapat
diprediksi dengan tepat. Oleh karena itu, para ahli ekologi restorasi
seringkali dihadapkan pada tantangan-tantangan yang tidak terlihat
sebelumnya. Beberapa penelitian terkini mengungkap bahwa metode
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 270

restorasi di masa lalu yang masih digunakan hingga saat ini, sudah
tidak sesuai lagi untuk menjawab tantangan di masa depan.

Gambar 8.3 Kondisi ekosistem yang baik dan dapat menjadi contoh restorasi
ekosistem (Foto: Picasa, 2010).

Para ilmuwan di bidang ini melihat tantangan terbesar dan


potensial ke depan adalah merestorasi lingkungan yang sedang
mengalami perubahan yang sangat cepat sepanjang sejarah bumi ini.
Perubahan iklim global akan berdampak terhadap biota dan
ekosistemnya baik secara regional maupun global.
Strategi restorasi saat ini mencakup penghutanan kembali
(reafforestation), dan rehabilitasi lahan terdegradasi. Strategi ini
adalah sebagai respon umum terhadap efek perubahan iklim. Akan
tetapi perlu diingat bahwa implikasi tentang adanya lingkungan yang
berubah sangat cepat perlu dipikirkan lebih jauh. Dengan hanya
mengandalkan strategi sejarah ekosistem terdahulu sebagai referensi
dan target kegiatan restorasi, bisa akan tidak efektif bila diaplikasikan
terhadap kondisi saat ini.
Ekosistem tradisional dimana komunitas tumbuhan dan hewan
ber-koevolusi dan interdependen semakin jarang ditemui. Hal ini
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 271

disebabkan oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam


ekosistem yang penyebab utamanya adalah aktivitas manusia. Oleh
karenanya, kegiatan restorasi yang menggunakan kondisi ekosistem
masa lalu sebagai referensi, sebaiknya segera dirubah menjadi kepada
lebih mempertahankan ekosistem sehat yang baru yang lebih resilien
(kekuatan untuk bertahan) terhadap perubahan-perubahan lingkungan
yang lebih jauh, seperti dampak perubahan iklim.

8.4 Perubahan Iklim dan Restorasi Ekosistem


Bumi yang makin tua dan panas ini kini makin terasa gerah oleh isu
perubahan iklim dan pemanasan global yang kian menggugah
kesadaran banyak pihak untuk memerhatikan lingkungan. Di
Indonesia, perubahan iklim ini terutama dapat dirasakan di daerah
dataran tinggi dan kawasan pegunungan yang kini tak lagi sedingin
dahulu. Kini, perubahan iklim pun kian sulit diprediksi dengan tepat.
Bencana global yang akan dialami seluruh umat manusia di
dunia ini sebenarnya justru dipicu oleh aktivitas manusia sendiri, yang
secara luar biasa telah mengeruk dan merusak alam sedemikian rupa.
Akibatnya, alam pun berontak sehingga bumi memanas dan iklim
berubah secara global. Deretan bencana pun kian panjang dan
beragam, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, gagal tanam dan
gagal panen, hingga konflik-konflik dalam masyarakat.
Aktivitas manusia di bidang industri yang membakar hutan
beserta seluruh isinya telah menghasilkan semburan miliaran ton
partikel, gas karbon dioksida (CO2), serta klorofluorokarbon. Emisi
CO2 ini ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil yang tak dapat
diperbarui, seperti batu bara, gas, dan minyak bumi. Melalui proses
kimiawi, asap kendaraan dan emisi industri telah menghasilkan
banyak asam nitrat, sedangkan aktivitas industri dan pertanian juga
banyak menghasilkan emisi metan. Gas-gas polutif seperti CO2, asam
nitrat, metan, dan klorofluorokarbon itulah yang secara bersama-sama,
dengan kuat, menipiskan dan melubangi lapisan atmosfer, yang
benteng pelindung bumi, yang disebut lapisan ozon.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 272

Sengatan matahari pun bebas lepas menerjang seisi bumi dengan


leluasa. Gas polutif itu juga berpendar di udara sehingga sinar
matahari yang semestinya dipantulkan kembali ke angkasa menjadi
berputar-putar di bumi, yang disebut dengan efek rumah kaca. Tak
dapat dipungkiri bahwa hancurnya hutan Indonesia, yang juga
berperan sebagai paru-paru dunia, memiliki andil cukup besar dalam
memicu perubahan iklim dan pemanasan global akibat “bolongnya”
ozon. Jika boleh diibaratkan, bumi ini seperti manusia telanjang yang
kepanasan karena payung ozonnya bocor di sana-sini, sedangkan
pakaiannya yang berupa pepohonan di hutan tropis telah habis
dibabati.
Padahal, sebenarnya, Indonesia justru memiliki peran penting
dalam mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim dan pemanasan
global, karena negeri yang dilalui garis khatulistiwa ini memiliki
126,8 juta hektar hutan. Namun, sampai detik ini belum ada
penghormatan yang cukup bagi hutan sebagai aset yang wajib
dilestarikan. Masa depan hutan Indonesia pun mendekati jurang
kehancuran, yang didahului dengan rusaknya berbagai ekosistem.
Sejak tahun 2000 hingga 2004, laju kerusakan hutan
(deforestasi) tercatat mencapai 3,4 juta hektar (ha) per tahun. Angka
ini berkurang pada tahun 2005 menjadi 2,8 juta ha, dan kembali
menurun pada tahun 2006 menjadi 2,72 juta ha. Namun, dalam lembar
info peringatan Hari Bumi 2007, Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI) mengungkapkan bahwa penurunan laju
kerusakan hutan itu bukan karena penanganan hutan yang semakin
baik, melainkan karena tegakan pohon yang dapat dijangkau penebang
semakin jauh.
Kawasan yang dapat menjadi potret atau contoh konkret
kerusakan hutan di Indonesia adalah Sumatera. Pulau seluas 47,6 juta
ha ini merupakan pulau paling kaya tumbuhan dan satwa di dunia,
yang sebagian besar tersimpan di hutan dataran rendah. Pada tahun
1900-an, luas hutan dataran rendah Sumatera masih seluas 16 juta ha.
Namun, sayang, kini luas hutan dataran rendah tak lebih dari 650.000
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 273

ha. Hal ini menunjukkan bahwa hutan tersebut yang tersisa adalah
hanya 4%.
Kondisi ini tak lepas dari pola pembangunan berorientasi
produktivitas, yang dilakukan untuk menggenjot pemasukan uang
negara. Hutan alam tropis Sumatera itu pun beralih fungsi menjadi
hutan produksi. Pepohonan ditebang untuk diolah menjadi kayu bahan
mebel. Ribuan hektar lahan bekas tebangan diratakan, disulap jadi
hutan tanaman industri atau perkebunan kelapa sawit. Alhasil, hutan
tropis dataran rendah Sumatera yang kaya keragaman hayati tak ada
lagi. Yang tersisa hanyalah hutan atau kebun sawit yang gundul
meranggas.
Padahal, hutan dataran rendah Sumatera yang rusak ini adalah
rumah bagi 626 jenis burung yang 20 jenis di antaranya adalah jenis
burung khas (endemis) Sumatera. Hutan itu juga sebagai rumah
harimau sumatera (Panthera tigris sumatraensis), gajah sumatera
(Elephas maximus sumatraensis), badak sumatera (Dicerorhinus
sumatraensis), tapir (Tapirus indicus), dan beruang madu (Helarctos
malayanus). Populasi harimau liar yang hidup di belantara Sumatera
diduga hanya tinggal 400-500 ekor.
Apakah deforestasi hutan hujan tropis di dataran rendah
Sumatera turut memengaruhi perubahan iklim dan pemanasan bumi?
Pasti! Penebangan pohon telah menghilangkan fungsi hutan sebagai
tandon penyimpan air dan penyerap sekaligus penghasil gas CO2.
Kondisi ini makin diperparah oleh pembukaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit, yang dilakukan dengan membakar padang
rumput, ilalang, serta pohon-pohon sisa tebangan.
Asap hasil pembakaran besar-besaran itu tentu menghasilkan
sekaligus menambah bobot gas CO2 yang dengan mudah tersebar ke
wilayah lain melalui embusan angin. Artinya, penyebaran gas CO 2
akan memengaruhi iklim di luar Sumatera, atau daerah mana saja
sepanjang angin dapat membawanya. Sudah sangat sering terjadi dan
dibahas dalam pertemuan internasional bahwa asap hasil pembakaran
hutan Sumatera ini begitu cepat membentuk kabut asap yang
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 274

mengganggu warga Indonesia sendiri, juga warga Malaysia,


Singapura, bahkan se-Asia Tenggara.
Hutan Sumatera dan hutan lain di Indonesia memang tak
belantara lagi. Akan tetapi, ada yang bisa dilakukan untuk
mengembalikan hutan-hutan itu kembali berseri, menjadi tandon
penyimpan air dan penyeimbang gas CO2. Selama ini biasanya
pemerintah dan berbagai elemen masyarakat memperbaiki hutan
dengan reboisasi atau penanaman kembali lahan bekas tebangan
pohon. Tetapi, reboisasi ternyata tak cukup untuk menyelamatkan
hutan dari kehancuran karena penanaman kembali tak mengembalikan
unsur-unsur hayati dan ekosistem asli hutan.
Tiada jalan lain yang pantas ditempuh untuk mengembalikan
kekayaan hayati hutan Nusantara kembali seperti aslinya, selain
dengan restorasi ekosistem. Restorasi ekosistem adalah proses alamiah
yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi hutan sesuai aslinya,
seperti sebelum dijamah manusia. Artinya, tak perlu tumbuhan dan
satwa dari luar kawasan. Semuanya asli hutan itu sendiri, yang
dipercepat pertumbuhannya agar mendekati hutan aslinya.
Pemerintah sendiri telah memberikan payung untuk konsep
restorasi ekosistem yang dipelopori oleh Perhimpunan Pelestarian
Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia). Dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor SK.159/Menhut-II/2004 disebutkan, restorasi
ekosistem merupakan upaya mengembalikan unsur biotik (flora dan
fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim, dan topografi) pada kawasan
hutan produksi agar tercapai keseimbangan hayati melalui penanaman,
pengayaan, pemudaan alam, serta pengamanan ekosistem.
Melalui PT Restorasi Ekosistem (Reki), sejak akhir tahun 2006,
Burung Indonesia telah merintis upaya restorasi 101.000 hektar hutan
produksi di perbatasan Sumatera Selatan dan Jambi agar kembali
seperti sedia kala, yakni hutan hujan tropis di dataran rendah yang
nyaman bagi penghuninya. Hutan dataran rendah Sumatera ini dipilih
untuk direstorasi dengan dasar pertimbangan bahwa selama ini
kawasan inilah yang paling mudah dijamah manusia dan dimanfaatkan
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 275

untuk permukiman, industri, perkebunan, hutan tanaman, dan


pertanian masyarakat yang sangat merusak hutan.
Akibatnya, kondisi sebagian besar lahan hutan yang tersisa
sangat kritis. Laju kerusakan hutan Sumatera juga diperkirakan jauh
lebih tinggi daripada laju kerusakan hutan mana pun, misalnya
Kalimantan dan Papua. Restorasi ekosistem di hutan produksi ini telah
diberi payung hukum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6
Tahun 2007 untuk melestarikan dan memanfaatkan potensi hutan
bukan kayu. PP ini memberikan arti positif bagi kelestarian hutan
Indonesia. Melalui Departemen Kehutanan, pemerintah juga
memberikan lampu hijau bagi restorasi hutan produksi bekas hak
pengusahaan hutan (HPH) dengan menerbitkan IUPHHK Restorasi
Ekosistem.
Jadi, pemerintah memberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu sekaligus. Izin itu tak akan bisa diperoleh jika memilih sistem
HPH Hutan Alam dan HPH Hutan Tanaman Industri. Pemegang HPH
hanya boleh memanfaatkan hasil hutan berupa kayu tanpa dapat izin
pemanfaatan hasil hutan lain. Pasal 32 PP No 6/2007 menyebutkan,
kegiatan usaha yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan kawasan
berupa budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya
jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa, dan sarang burung walet.
Diversifikasi usaha ini bagi masyarakat di kawasan pinggir
hutan cukup menguntungkan secara ekonomi. Belum lagi jika menilik
sisi positif Pasal 33 yang mendorong inisiatif pemanfaatan aliran air,
pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati,
penyelamatan dan perlindungan lingkungan, serta penyerapan dan
atau penyimpanan karbon. Merestorasi hutan, dalam hal ini hutan
Sumatera, berarti memberikan harapan baru bagi kelestarian hutan
Sumatera beserta isinya. Hal ini dilakukan melalui konsep dan praktik
restorasi ekosistem yang telah didukung oleh kebijakan Departemen
Kehutanan.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 276

Meskipun secara legitimasi hukum restorasi ekosistem dapat


dilaksanakan, masih ada pula anggapan yang memandang konsep
restorasi ekosistem ini sebagai sesuatu yang terlalu idealis untuk
dipraktikkan. Anggapan pesimistis ini sangat wajar mengingat konsep
dan praktik restorasi ekosistem hutan ini baru pertama kalinya
diterapkan di Indonesia.
Pertama kali mendengar Melisa Ethridge membawakan lagu
berjudul “I need to wake up” saya terkesan dengan lirik lagunya yang
sangat relevan dengan tema filmnya “Unconvenient Truth”. Rocker
wanita yang kini berambut cepak setelah menderita kanker tersebut
seolah melagukan sebuah ironi. Tentang bagaimana kita tidak pernah
menghargai dan mengapresiasi apa yang kita miliki.
Bayangkan setiap menitnya rata-rata dunia kehilangan tutupan
hutannya seluas lapangan sepakbola senayan? Deforestasi menjadi
satu penyebab apa yang kini tengah dirasakan seluruh dunia; bumi
menjadi semakin panas. Meningkatnya suhu di bumi membawa
banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan semua bentuk
kehidupan. Contoh sederhana saja dapat kita amati pada lingkungan
disekitar kita. Dulu daerah tempat kita tinggal tidak pernah
“kedatangan” banjir. Kini apa yang terjadi? Banjir seakan menjadi
tamu langganan yang datang hampir tiap tahun saat musim penghujan
tiba. Sebenarnya, banjir bukanlah tamu tak diundang, karena sadar
atau tidak kita telah berbuat sesuatu yang menyebabkan banjir selalu
menghampiri, yaitu penipisan vegetasi.
Kita tahu bahwa karbon monoksida diketahui sebagai polutan
yang berada di urutan pertama sebagai penyebab pencemaran udara
yang menyebabkan efek rumah kaca (green house effect) sebagai
penyebab meningkatnya suhu di bumi. Tetumbuhan sebagai
organisme autotrof, melakukan fotosintesis yang mengikat karbon dari
udara. Hasil penelitian di hutan lindung Kaliurang mendapatkan
bahwa tumbuhan bawah (semak, herba dan perdu) di areal sampel
menghasilkan biomasa sebesar 35.000 kg/ha.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 277

Bila diasumsikan setiap kilogram dari biomasa tersebut


mengikat karbon monoksida sebesar 50 ppm saja, maka jumlah
karbon monoksida yang dapat diserap oleh tumbuhan bawah di hutan
lindung tersebut adalah sebesar 1.750.000 ppm. Penyerapan emisi
karbon adalah satu hal yang kini kembali diperhitungkan dalam
meminimalisir tingkat pemanasan global. Hal ini sejalan dengan
tujuan skema penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan
degradasi (reducing emissions from deforestation and degradation,
REDD) yang telah diusulkan oleh Indonesia.
Mengingat peran penting negara-negara dimana terdapat (sisa)
hutan hujan tropis, maka upaya yang serius dibutuhkan untuk tetap
mempertahankan hutan hujan tropis yang tersisa serta merestorasi
hutan yang terfragmentasi dan terdegradasi. Masih ada anggapan
bahwa kegiatan restorasi pada dasarnya hanya berupa penanaman
ditempat yang terdegradasi. Tapi tidak hanya itu, restorasi bukanlah
hanya sekedar menanam pohon. Kegiatan penanaman pohon tanpa
mempertimbangkan kondisi biotik dan abiotik kawasan yang
terdegradasi bukanlah restorasi. Ambil contoh Alcoa di Australia.
Alcoa adalah contoh bagus tentang keberhasilan sebuah perusahaan
tambang merehabilitasi bekas kawasannya. Dibutuhkan waktu selama
kurang lebih 20 tahun kerja keras dan penelitian mendalam tentangnya
sebelum Alcoa berhasil merestorasi habitat Eucalyptus di daerah bekas
tambangnya secara bersama-sama. Pepatah barat mengatakan “we are
in the same boat” kita ada dalam perahu yang sama dan bagaimana
kita bisa membawa perahu ini berlayar dan tidak tenggelam.

8.5 Posisi Ekologi Restorasi dalam Perubahan Iklim


Perubahan iklim adalah ancaman nyata yang memerlukan tindakan
yang segera. Perubahan-perubahan fungsi lahan dan terus
berkurangnya keanekaragaman hayati adalah salah satu faktor
signifikan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim global.
Manusia bergantung kepada manfaat-manfaat yang diberikan oleh
ekosistem dalam hidupnya. Servis ekosistem ini termasuk diantaranya
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 278

adalah produk-produk berupa makanan, udara bersih, pengendalian


penyakit, perlindungan terhadap bencana seperti banjir serta manfaat
estetika dan rekreasi. Manfaat ekosistem sebagai pengatur (regulating
services) diantaranya adalah servis yang diberikan oleh ekosistem
hutan di dalam memitigasi dampak perubahan iklim dengan cara
menyerap karbondioksida dari atmosfer dan menyimpannya sebagai
biomasa. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak servis yang bisa
diberikan dari sekian banyak fungsi ekosistem, baik dari terrestrial
maupun aquatik.
Untuk dapat terus menikmati servis-servis tersebut, ekosistem-
ekosistem yang ada harus dikonservasi, dan apabila diperlukan segera
dilakukan restorasi terhadap ekosistem yang terdegradasi. Gangguan
terhadap ekosistem, terdegradasinya habitat menyebabkan hilangnya
fungsi vital dan servis dari ekosistem yang selanjutnya mengurangi
tingkat resiliensi dan adaptabilitas biologis, yang kemudian
meningkatkan tingkat kerentanan terhadap dampak dari perubahan
iklim global. Restorasi ekologi didefinisikan sebagai aktivitas yang
disengaja yang dilakukan untuk menginisiasi atau mempercepat proses
pemulihan suatu ekosistem, terutama berhubungan dengan fungsi,
integritas dan kelestariannya.
Restorasi ekologi adalah salah satu perangkat kerja yang dapat
membantu memitigasi perubahan iklim dengan cara: Pertama, adalah
dengan menghubungkan kembali ekosistem-ekosistem yang
terfragmentasi sehingga memungkinkan binatang dan tumbuhan untuk
bermigrasi sebagai respon dan adaptasinya terhadap dampak
perubahan iklim sehingga mencegah terjadinya kepunahan. Kedua,
dengan menyerap karbon, melalui kegiatan restorasi hutan, lahan
gambut dan tipe ekosistem lainnya yang dapat berfungsi sebagai
tempat penyimpanan karbon. Hal ini telah menjadi perhatian dari
masyarakat ekologi restorasi atau the Society of Ecological
Restoration (SER) sejak lama. Lebih lanjut SER mengajak pemerintah
negara-negara maju, negara-negara berkembang, organisasi dan
institusi baik pemerintah maupun swasta, lokal, regional dan
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 279

internasional untuk bersama-sama bekerja, merencanakan dan


mengimplementasikan program-program restorasi sebagai bagian
daripada strategi global untuk memitigasi dampak dari perubahan
iklim dunia.

8.6 Rangkuman

Restorasi ekosistem adalah proses alamiah yang dilakukan untuk


mengembalikan kondisi hutan seperti aslinya sebelum dijamah
manusia. Hal ini berarti bahwa kita tak perlu memasukkan tumbuhan
dan satwa dari luar kawasan hutan. Semuanya dipercepat
pertumbuhannya agar mendekati hutan aslinya. Ada dua konsep utama
dalam restorasi ekosistem yaitu: restorasi ekosistem yaitu sebagai
upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur
abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan, sehingga
tercapai keseimbangan hayati; dan restorasi ekosistem pada hutan
produksi adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik pada
kawasan hutan produksi, sehingga kondisi optimal potensi hutan
produksi tercapai.
Strategi restorasi saat ini mencakup penghutanan kembali dan
rehabilitasi lahan terdegradasi. Restorasi ekologi harus menjadi salah
satu perangkat kerja yang dapat membantu memitigasi perubahan
iklim dengan cara: (1) mempertemukan kembali ekosistem-ekosistem
yang terfragmentasi sehingga memungkinkan binatang dan tumbuhan
untuk bermigrasi, sehingga dapat mencegah terjadinya kepunahan; (2)
meningkatkan penyerapan karbon melalui kegiatan restorasi berbagai
ekosistem.
Masyarakat ekologi restorasi mengajak pemerintah negara-
negara maju, negara-negara berkembang, organisasi dan institusi baik
pemerintah maupun swasta, lokal, regional dan internasional untuk
mengimplementasikan program-program restorasi. Hal ini akan
menjadi bagian daripada strategi global untuk memitigasi dampak dan
perubahan iklim global.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 280

8.7 Latihan

1) Kemukan dan jelaskan isu-isu kerusakan dan degradasi lingkungan


yang terjadi saat ini di permukaan bumi.
2) Dewasa ini kerusakan lingkungan makin parah baik yang
disebabkan oleh bencana alam maupun tingkah manusia yang
tidak bertanggung jawab. Untuk mengatasi hal ini solusi apa yang
dapat dilakukan untuk mengembalikan ekosistem kepada kondisi
yang seimbang dan mantap. Jelaskan pula konsep-konsep dan
strateginya.
3) Uraikan bagaimana hubungannya antara restorasi ekosistem
dengan pemanasan global yang terjadi saat ini.
4) Jelaskan bagaimana sebaiknya strategi konservasi dan restorasi
agroekosistem
5) Degradasi lingkungan akibat perbuatan manusia yang tidak
bertanggung-jawab semakin parah. Kemukan metode-metode
untuk mengembalikan lingkungan yang telah tergradasi tersebut.

8.8 Glossarium

Adaptabilitas adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan diri


dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan
Deforestasi merupakan proses penggundulan hutan baik akibat
penebangan maupun kebakaran hutan
Degradasi adalah menurunnya kualitas lingkungan akibat aktivitas
manusia yang merusak lingkungan
Ozon adalah molekul O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari
radiasi sinar-sinar yang berbahaya bagi kehidupan
Reboisasi adalah usaha penanaman kembali pohon-pohon untuk
tujuan penghijauan
Resilien merupakan kemampuan pemulihan kondisi lingkungan
secara cepat kepada kondisi semula
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 281

Suksesi adalah merujuk pada perubahan-perubahan berangkai dalam


struktur dan komposisi suatu komunitas ekologi yang dapat
diramalkan

8.9 Daftar Pustaka

Boer, R., Gintings, A.N. and Bey, A. 1999. Greenhouse gasses


inventory and abatement strategy for forestry and land use
change sector. Journal of Agrometeorology 13:26-26.
David, G.1983. Deforestation. Online, http://www.dangerouscreation.
com/2010/10/man-the-destroyer/deforestation, diakses
3 Februari 2011
Fuad, E.D. 2000. Analisis potensi dan efektivitas biaya opsi mitigasi
gas rumah kaca pada sektor kehutanan Indonesia dengan
menggunakan model COMAP'. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan)
Heddy, S dan M. Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi. Suatu
Bahasan Tentang Kaedah Ekologi dan Penerapannya. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Irwan, Z. D. 1992. Prinsip-prinsip Ekologi. Ekosistem Komunitas dan
Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.
Oldcargo. 2008. Online, http://www.jojeroen.nl/index.php?&lang=
en&act=8, diakses 3 Februari 2011).
Picasa, 2010. Waterfall at Bokarani National Park Thailand. Online,
http://picasaweb.google.com/lh/photo/EenNrCVNc10Hr3YbDz
Cpbw, diakses 3 Februari 2011.
Soemarwoto, 0. 1991. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Resoedarmo, R. S., K. Kartawinata dan A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Agroekologi: Restorasi Ekosistem 282

Trexler, M. C., Kosloff, LH., and Gibbon, R. 2000. Forestry after the
Kyoto Protocol: A review of key questions and issues. In Luis
Gomez-Echeverri (ed.). Climate Change and Development,
UNDP. p131-152.
Vickery, M. L. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley & Sons,
New York.
Yayasan Rotan Indonesia. 2010. Report clears SMART of
deforestation. Online, http://www.rotanindonesia.org/index.
php?option=com_content&view=article&id=1059:report-
clears-smart-of-eforestation&catid=45:kehutanan&Itemid=60,
diakses 3 Februari 2011.
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 283

BAB IX
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN
AGROEKOSISTEM

Dengan mengkaji perencanaan dan pengembangan agroekosistem,


diharapkan pembaca mampu memahami konsep serta menerapkan
prinsip-prinsip pengelolaan dan pengembangan agroekosistem dengan
baik. Disamping itu juga mampu merumuskan strategi perencanaan
dan pengembangan agroekosistem, serta berkompetensi untuk
menerapkan prinsip-prinsip manajemen lahan pada agroekosistem.
Kemudian, diharapkan juga memperoleh persepsi yang utuh tentang
agroekologi, mampu menjawab latihan-latihan pada bagian akhir bab,
serta mampu mengkomunikasikan manajemen agroekologi dengan
baik kepada masyarakat.

9.1 Konsep Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem

Pada dasarnya konsep perencanaan dan pengembangan agroekosistem


adalah pengelolaan ekosistem pertanian untuk menghasilkan berbagai
produk makanan dan serat tanpa menyebabkan penipisan sumber daya
alam serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Pengelolaan
agroekosistem diterapkan secara terpadu dengan mengikuti prinsip-
prinsip alam yang bertujuan untuk meningkatkan hasil tanaman dan
ternak. Penerapan prinsip ini didasarkan kepada suatu konsep alam
yang disebut self-sustaining (keberlanjutan diri). Prinsip pengelolaan
agroekosistem tidak hanya didasarkan kepada kaedah-kaedah
lingkungan fisik dan hayati yang terdapat pada suatu landscape, tetapi
juga mencakup nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
Pengelolaan agroekosistem adalah suatu wujud implementasi
yang berusaha menjaga dan meningkatkan sumber daya yang ada
dengan cara:
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 284

(1) Meminimalkan penggunaan sarana produksi (input) dari luar


serendah mungkin
(2) Mengelola hama dan penyakit secara terpadu dengan dengan
mekanisme internal
(3) Memulihkan kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh
akitivitas budidaya
(4) Memelihara dan meningkatkan jumlah biomasssa dan unsur
hara dari lapisan litosfir dan atmosfir
Konsep pengelolaan agroekosistem seperti di atas memberikan
pemahaman yang mendalam dalam rangka menerapkannya ke dalam
praktek-praktek usaha tani. Namun demikian, dalam penerapannya
akan menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi pertanyaan ini
membantu kita menjawab berbagai permasalahan dalam bidang
pertanian berkelanjutan. Di antaranya adalah (Gleissman, 2001):
(1) Bagaimana kita mampu mengidentifikasi apakah sebuah
agroekositem yang ada bisa berkelanjutan atau tidak?
(2) Apakah setiap unsur tertentu yang ada di dalam suatu sistem
pertanian (seperti adanya suatu hewan tertentu) dapat membuat
pertanian menjadi berkelanjutan atau tidak?
(3) Bagaimana kita membangun suatu sistem yang berkelanjutan di
dalam suatu agroekosistem tertentu yang dapat meningkatkan
kesejahteraan.

Transfer dan aplikasi pengetahuan serta keahlian untuk


menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan tugas utama yang
harus diselesaikan dalam penerapan pertanian berkelanjutan.
Sebenarnya keberhasilan pengelolaan suatu sistem pertanian akan
diuji oleh waktu, yaitu dengan melihat apakah agroekosistem yang
dipakai untuk lahan pertanian dalam jangka waktu yang panjang bisa
terus bertahan produktivitasnya atau tidak bertahan. Sudah pasti, kalau
produktivitasnya terus menurun, maka dikuatirkan pertaniannya tidak
akan berkelanjutan. Demikian pula sebaliknya, kalau kita bisa
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 285

mempertahankan, apalagi meningkatkan produktivitas agroekosistem-


nya, maka pertaniannya akan berkelanjutan pula. Hal ini mungkin
dapat dilihat dari sistem penanaman tumpang sari pada tanaman
hortikultura (Gambar 9.1).

9.2 Strategi Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem

Menurut Earles (2005), penerapan prinsip-prinsip pertanian dalam


pengelolaan dan pengembangan agroekosistem dapat dilaksanakan
dengan berbagai strategi sebagai berikut:
(1) Merencanakan pasar dan keuntungannya
(2) Membangun kesuburan fisik, kimiawi, dan biologis tanah
(3) Melindungi kualitas air di lahan dan di luar lahan
(4) Mengelola penganggu tanaman secara ekologis
(5) Memaksimal keanekaragaman hayati di lahan

Gambar 9.1 Penanaman beberapa jenis tanaman di dalam suatu agroekosistem


dapat lebih menjamin pertanian akan berkelanjutan di masa depan
(Foto: GotoKnow, 2011).
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 286

9.2.1 Perencanaan Pasar dan Perhitungan Benefit

Langkah pertama yang harus ditempuh dalam merumuskan strategi


pengelolaan dan pengembangan agroekosistem adalah perencanaan
pasar, nilai keuntungan, serta nilai tambah yang dapat diperoleh.
Untuk mewujudkan strategi tersebut dapat ditempuh melalui:
(1) Melakukan diversifikasi usaha seperti menanam beberapa jenis
tanaman yang paling menguntungkan
(2) Memperluas jaringan pasar ke luar daerah/ke luar negeri
(3) Mendorong pemasaran secara langsung oleh petani atau
menciptakan pasar-pasar yang memberikan premium kepada
petani
(4) Memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok tani
(5) Menciptakan nilai tambah pada proses usaha tani

Nilai tambah dapat diciptakan pada suatu proses usaha tani melalui
hal-hal sebagai berikut:
(1) Manajemen usaha tani secara holistik
(2) Evaluasi terhadap berbagai usaha pedesaan
(3) Mengerakkan sistem pembayaran di luar panen
(4) Meningkatkan nilai estetika usaha tani dan agrowisata
(Gambar 9.2).
(5) Menciptakan percontohan agribisnis
(6) Mengutamakan penanaman modal pada sistem pertanian
organik
(7) Mempersiapkan langkah-langkah sertifikasi produk organik
(8) Memasarkan produk langsung ke konsumen
(9) Menciptakan pasar petani
(10) Mendorong terwujudnya pertanian berbasis komunitas/
masyarakat
(11) Membawa makanan lokal ke berbagai lembaga lokal
(12) Menjual produk ke restoran-restoran
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 287

(13) Melakukan sertifikasi produk oraganik


(14) Merumuskan program-program pertanian organik secara
nasional
(15) Meningkatkan sumber daya pasar organik
(16) Melakukan pengolahan hasil panen menjadi produk yang
lebih bernilai di pasar

Gambar 9.2 Salah satu strategi untuk mengembangkan meningkatkan nilai estetika
usaha tani dan agrowisata (Foto: ErniTour. 2009)

9.2.2 Perbaikan Struktur dan Kesuburan Tanah

Lahan-lahan yang telah digunakan secara intensif, umumnya telah


mengalami degradasi, sehingga perlu dilakukan perbaikan, baik sifat
fisik, kimia, maupun biologi tanah. Adapun beberapa strategi untuk
memperbaiki struktur dan kesuburan tanah adalah sebagai berikut:
(1) Mengurangi penggunaan pupuk buatan
(2) Meningkatkan siklus unsur hara di lahan
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 288

(3) Membuat keputusan pemupukan berdasarkan hasil pengujian


tanah
(4) Pikirkanlah bahwa tanah itu tidak hanya berupa substrat fisik
atau kimia, tetapi juga sebagai entitas kehidupan
(5) Mengelola semua organisme tanah untuk menjaga
keanekaragaman dan kesehatan tanah
(6) Menjaga tanah selalu tertutup oleh tanaman penutup tanah,
mulsa atau serasah tanaman serta mengurangi konversi lahan.
(7) Mengelolala seluruh unsur-unsur tanah secara berkelanjutan
(8) Meningkatkan kapasitas tanah yang lebih tahan terhadap
kekeringan
(9) Meningkatkan siklus hara pada lahan pengembalaan
(10) Menggunakan pupuk hijau untuk produksi tanaman organik.
(11) Mengkaji alternatif penutuh tanah dan pupuk hijau yang lebih
baik
(12) Mengkaji peningkatan kualitas pertanian organik
(13) Menerapakan metode pengolahan tanah minimum

9.2.3 Perlindungan Kualitas Air

Air yang diberikan kepada tanaman atau ternak harus sesuai dan
terjamin kualitasnya. Adapun beberapa strategi yang dapat ditempuh
untuk menjaga kualitas air adalah:
(1) Menggunakan praktek-praktek pengairan lahan yang dapat
meningkatkan bahan organik tanah serta mendukung
peningkatan humus secara biologi.
(2) Menerapkan praktek-praktek pengawetan lahan yang dapat
mengurangi aliran permukaan dan erosi (Gambar 9.3).
(3) Menanami tanaman tahunan yang dapat digunakan sebagai
makanan ternak sekaligus dapat mencegah kerusakan kualitas
air.
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 289

(4) Menanami tanaman atau pohon yang dapat meningkatkan


pengambilan unsur hara yang tercuci ke dalam subsoil
(5) Menyediakan buffer area antara lahan dengan badan air untuk
mencegah kehilangan hara dan sedimen mengalir ke sungai,
waduk, danau, dan aliran lainnya.
(6) Mengelola irigasi untuk meningkatkan pengambilan hara dan
mengurangi kehilangannya.
(7) Menghasilkan ternak berdasarkan sistem pengembalaan

Gambar 9.3 Praktek-praktek pengawetan lahan dengan sistem detasering dapat


mengurangi aliran permukaan dan erosi (Lokasi: Pang Mahang,
Thailand, 2009).
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 290

9.2.4 Mengelola Hama dan Penyakit dengan Prinsip Ekologis

Gangguan hama dan penyakit dapat merupakan ancaman yang serius


sepanjang masa terhadap keberlanjutan pertanian. Oleh karena itu,
pengelolaan hama penyakit harus ditempuh dengan beberapa strategi,
yaitu sebagai berikut ini.
(1) Menciptakan tanah yang sehat dan aktif secara biologi
(2) Menciptakan habitat untuk organisme yang menguntungkan
(3) Memilih varietas yang tepat
(4) Melakukan retorasi musuh alami
(5) Meningkatkan keseimbangan antara hama-penyakit dengan
predator
(6) Mengindentifikasi spesies, siklus hidup, dan ekologi hama dan
penyakit terlebih dahulu sebelum campurtangan manusia.
(7) Mengimplementasi praktek-praktek budidaya yang menyulit-
kan perkembangan hama-penyakit, tetapi memudahkan
perkembangan musuh alami.
(8) Menggunakan pestisida yang terendah toksitisitas, baik
pestisida kimia maupun organik, sebagai alternatif terakhir,
yaitu ketika pengendalian secara kultur tehnis atau
pengendalian hayati gagal untuk menjaga populasi hama
dibawah ambang ekonomi.
(9) Mengelola hama secara terpadu dengan agensi hayati
(10) Menggunakan pendekatan farmscaping (seluruh usaha tani
dikelola secara ekologis) untuk meningkatkan pengendalian
hayati
(11) Mengelola secara berkelanjutan penyakit-penyakit tanaman
yang terbawa tanah (soil-borne plant diseases)
(12) Mengelola gulma secara berkelanjutan
(13) Mengelola parasit ternak secara terpadu
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 291

9.2.5 Memaksimalkan keanekaragaman hayati dalam usaha tani


(1) Mengintegrasikan produksi tanaman dan ternak dalam suatu
lahan
(2) Menggunakan tanaman pagar, tanaman perangkap serangka,
tanaman penutup tanah, dan reservoir untuk menarik dan
mendukung populasi hewan menguntungkan, seperti
kelelawar, dan burung
(3) Meninggalkan sistem monocropping dan menggantikannya
dengan rotasi tanaman, intercropping, dan companion
planting.
(4) Menanam pohon-pohon atau tanaman tahunan secara
permanen atau melakukan rotasi tanaman dalam jangka waktu
yang panjang.
(5) Mengelola padang pengembalaan untuk mendukung adanya
keanekaragaman tanaman makanan ternak
(6) Menggunakan tanaman penutup tanah yang tidak mengenal
musim (hijau sepanjang tahun).

9.3 Manajemen Lahan Pada Agroekosistem

9.3.1 Evaluasi Lahan

Petani perlu sebaik mungkin mengetahui aksesibilitas dan kondisi


lahan miliknya. Hal ini penting dalam rangka mengambil keputusan
guna menjamin terciptanya praktek-praktek manajemen terbaik untuk
lahannya, baik dalam hal memilih sistem produksi, memilih jenis
usaha tani, maupun dalam menerapkan teknik-teknik yang tepat
sebagai sistem pertanian berkelanjutan.
Berbagai karakteristik lahan perlu terus dipantau dari tahun ke
tahun, supaya kita memiliki kemampuan untuk memprediksi kondisi
yang terbaik untuk menentukan berbagai langkah dan aktivitas yang
tepat dalam berusaha tani. Misalnya, apabila terjadi perubahan-
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 292

perubahan pada suatu sisi lahan, seperti pembersihan atau


penambahan suatu vegetasi tertentu, maka kita diharapkan dapat
memperkirakan gangguan-gangguan apa, atau perubuhan-perubahan
apa yang akan terjadi. Menurut Mason (2003) beberapa indikator yang
dapat dipakai adalah sebagai berikut:
a. Pola Cuaca
Data curah hujan dan temperatur dapat membantu kita menentukan
kapan kita mengerjakan berbagai aktivitas, seperti kapan kita mulai
menanam. Disamping itu, juga dapat membantu teknik operasional
yang akan dipraktekkan pada lahan di masa akan datang. Data
curah hujan dan temperatur yang dicatat oleh instansi (seperti
BMKG) tidak dapat mencerminkan kondisi setiap lahan yang ada
di daerah itu, karena bisa saja setiap lokasi berbeda-beda, seperti
adanya hujan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai pemilik lahan
sebaiknya membuat catatan sendiri secara reguler, tanpa meninggal
suatu minggu pun, karena hal ini dapat membuat kita kehilangan
gambaran yang utuh tentang pola cuaca.

b. pH Tanah
Kondisi pH tanah dapat memberi petunjuk kepada kita bagaimana
kondisi keasaman atau basa tanah. Umumnya semua tanaman
memiliki tingkat pH tertentu yang cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Pengujian pH tanah sederhana dapat
memungkinkan kita untuk menentukan tanaman apa yang cocok
dengan pH berapa, atau pun membantu kita untuk menentukan
perlakuan apa yang dapat dilakukan, sehingga tanaman yang kita
inginkan mendapatkan kondisi yang optimum untuk berproduksi.
Kegagalan untuk mengerjakan yang demikian, kita dapat
kehilangan sesuatu yang berharga atau dapat menurunkan hasil
secara nyata. Keadaan pH tanah penting juga dilakukan pengujian
secara berulang-ulang minimal setahun atau dua tahun sekali,
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 293

karena pH tanah dapat saja berubah dengan perjalanan waktu,


khususnya jika sering menggunakan pupuk-pupuk kimia atau
seringnya penanaman lahan dengan tanaman legum.

c. Elektokonduktivitas Tanah
Sebuah alat EC meter dapat digunakan untuk mengukur daya
elekrokonduktivitas sampel tanah. Nilai elektokonduktivitas yang
tinggi menunjukkan bahwa elektron atau ion-ion mengalir secara
cepat melalui tanah. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin lebih
banyak unsur hara yang dapat tersedia bagi tanaman. Sebaliknya,
nilai elektrokonduktivitas yang rendah menunjukkan bahwa tanah
tersebut tidak subur. Namun demikian, tingkat elektrokonduktivitas
yang terlalu tinggi, seperti pada tanah salin menunjukkan bahwa
tanaman yang ditanam pada lahan tersebut dapat mengalami
keracunan akibat salinitas yang tinggi.

d. Temperatur Tanah
Suhu tanah dapat diukur dengan menggunakan termometer
portable pada kedalaman 10-15 cm. Informasi ini dapat membantu
petani untuk menentukan kapan benih paling cocok mulai disemai
menurut suhu yang dibutuhkan untuk perkecambahan. Pengukuran
tidaklah cukup dilakukan pada satu tempat saja. Dianjurkan untuk
mengulang beberapa kali pada tempat yang berbeda pada suatu
lahan, karena suhu tanah dapat berbeda-beda dari suatu tempat ke
tempat lainnya.

e. Kondisi Air
Kualitas dan kuantitas air yang tersedia akan menentukan apakah
tanaman atau hewan dibudidayakan dengan baik. Beberap sistem
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 294

usaha tani menggunakan air secara lebih efesien dari pada sistem
usaha tani lainnya. Contohnya adalah sistem hidroponik yang
menggunakan air secara lebih efisien, tetapi kualitas air yang
digunakan harus setinggi mungkin.

f. Memonitoring Kelembaban Tanah


Jika tanah cukup lembab, maka kadar nitrogen yang tinggi di dalam
tanah akan meningkatkan respon tanaman terhadap pertumbuhan.
Jadi, kalau ingin mengaplikasikan nitrogen kepada tanaman, maka
sebaiknya dilakukan pada saat tanah cukup lembab. Disamping itu,
juga sangat penting untuk memperhatikan kelemababan tanah yang
kritis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan produksi, seperti pada
saat penanaman, peranakan, pembungaan, dan panen atau pasca
panen.

g. Karakteristik Elektromagnetik
Karakteristik elektromagnetik dari suatu tempat dapat
menunjukkan hal-hal tertentu tentang kemampuan produksi
tanaman atau ternak, seperti:
(1) Sumber daya air di bawah permukaan tanah
(2) Penyinaran matahari yang dapat mempengaruhi laju
pertumbuhan tanaman
(3) Karakteristik tanah di bawah top soail, seperti adanya
cadangan mineral tertentu.

Mason (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat


mempengaruhi konduktivitas elektromagnetik adalah:
(1) Ukuran pori-pori tanah
(2) Jumlah air yang terdapat di dalam pori-pori tanah
(3) Suhu tanah
(4) Salinitas tanah dan air permukaan tanah
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 295

(5) Bahan-bahan mineral yang ada dalam tanah

h. Resistensi herbisida atau pestisida


Tingkat keefektivan suatu bahan kimia tertentu dapat menurun
akibat gulma atau hama penyakit mengembangkan dirinya menjadi
lebih resisten. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui tingkat
resistensi gulma atau hama penyakit terhadap bahan kimia tertentu.
Sehingga hal ini dapat membantu kita dalam menentukan pestisida
atau herbisida lainnya yang akan dipakai untuk mengontrol gulma
atau hama penyakit secara lebih baik.

9.3.2 Mengklasifikasikan Kemampuan Lahan

Penggunaan lahan dapat dilkasifikasi berdasarkan kemampuan atau


karakteristiknya untuk mendukung suatu usaha tertentu. Informasi ini
dapat membantu kita untuk menentukan potensi-potensi lahan untuk
berbagai penggunaan. Hal ini diarahkan untuk membangun
penggunaan terbaik untuk setiap jenis lahan (Tabel 9.1). Praktek-
praktek seperti ini akan memberikan manfaat ganda yang seimbang
antara produksi pertanian dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti
konservasi. Penggunaan lahan-lahan sperti di atas untuk produksi
pertanian harus diimbangi dengan berbagai kebutuhan lainnya, seperti
konservasi, manajemen air, dan lain-lain.

9.3.3 Mengkases kapasitas lahan


Langkah-langkah berikut ini dapat digunakan untuk mengakses
kapasitas lahan:
(1) Merancang rencana berbagai nilai-nilai yang berguna dari
suatu lahan yang menunjukkkan yang ditunjukkan oleh
karakteristik lahan, seperti jenis tanah, dranase, vegetasi, dan
lain-lain.
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 296

Tabel 9.1 Klasifikasi lahan berdasarkan kemampuan atau karakteristiknya


untuk mendukung produksi pertanian serta konservasi sumber daya.

Kelas
Deskripsi
Lahan
I Lahan cocok untuk semua tipe pertanian secara permanen
II Lahan cocok untuk sebagian besar tipe pertanian secara
permanen dengan perencanaan yang hati-hati dan modifikasi-
modifikasi yang sederhana
III Lahan yang cocok untuk ditanami dengan pembatasan untuk
sebagian besar tipe pertanian dengan perencanaan yang hati-
hati dan manajemen yang intensif
IV Lahan dengan tingkat pembatasan yang tinggi yang
memerlukan tingkat keahlian manajemen yang tinggi pula,
kalau tidak maka produktivitasnya akan sangat rendah
V Sangat dibatasi, produktivitas rendah, dan memerlukan
manajemen yang tinggi
VI Kelerengan lahan sangat terjal atau sangat berbatu sehingga
tidak dapat dikelola dengan peralatan standar.
VII Pembatasan lahan sangat ekstrim dan sangat memerlukan
perlindungan, produktivitas bukanlah sasaran utama.
VIII Lahan yang sama sekali tidak produktif atau lahan yang sangat
memerlukan usaha konservasi.

Sumber: Land Care by Bill Matheson (1996)

(2) Menilai kemampuan lahan pada berbagai bagian lahan. Kita


dapat mengkelompokkan kembali areal-areal yang berbeda
serta menyusun kembali rencana penggunaannya.
(3) Menentukan langkah-langkah manajemen yang diperlukan
untuk memadukan berbagai rencana pada tempat-tempat yang
berbeda.
(4) Mempertimbangkan berbagai sumber daya yang akan
digunakan seperti modal, tenaga kerja untuk setiap areal lahan
yang telah dikelompok-kelompokkan.

Kriteria berikut ini dapat dipakai untuk menentukan berbagai rencana


yang akan diterpakan pada berbagai areal lahan, yaitu sbb:
(1) Potensi terjadinya erosi
(2) Tingkat permukaan air tanah
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 297

(3) Sumber air dan drainase


(4) pH tanah
(5) Kesuburan tanah
(6) Struktur tanah
(7) Struktur subsoil
(8) Kelembaban tanah atau kemampuan tanah mengikat air
(9) Pola cuaca
(10) Iklim mikro
(11) Vegetasi yang ada

9.3.4 Indikasi keberlanjutan


Apakah suatu lahan akan berkelanjutan atau tidak akan tergantung
kepada beberapa faktor. Tingkat kepentingannya untuk keberlanjutan
akan tercerminkan oleh setiap faktor tersebut. Adapun faktor-faktor
yang menjadi kunci untuk pengelolaan agroekosistem adalah:
(1) Pendapatan bersih yang diperoleh dalam jangka waktu yang
panjang
(2) Kulaitas lahan dan air
(3) Keahlian manajerial
(4) Dampak yang ditimbulkan untuk lingkungan sekitar

Indikator-indikator tersebut di atas telah banyak digunakan sebagai


dasar untuk berbagai penelitian dan perencanaan dalam mengembang-
kan sistem pertanian berkelanjutan.
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 298

9.4 Rangkuman

Pengelolaan agroekosistem adalah suatu wujud implementasi yang


berusaha menjaga dan meningkatkan sumber daya yang ada dengan
cara: meminimalkan penggunaan sarana produksi (input) dari luar
serendah mungkin; mengelola hama dan penyakit secara terpadu
dengan dengan mekanisme internal; memulihkan kerusakan atau
gangguan yang disebabkan oleh akitivitas budidaya; dan memelihara
dan meningkatkan jumlah biomasssa dan unsur hara.
Untuk mewujudkan strategi pemasaran dapat ditempuh melalui:
melakukan diversifikasi usaha seperti menanam beberapa jenis
tanaman yang paling menguntungkan; memperluas jaringan pasar ke
luar daerah/ke luar negeri; mendorong pemasaran secara langsung
oleh petani atau menciptakan pasar-pasar yang memberikan premium
kepada petani; memfasilitasi pembentukan keompok-kelompok tani;
dan menciptakan nilai tambah pada proses usaha tani. Strategi untuk
memperbaiki struktur dan kesuburan tanah adalah sebagai berikut:
mengurangi penggunaan pupuk buatan; meningkatkan siklus unsur
hara di lahan; mengelola semua organisme tanah untuk menjaga
keanekaragaman dan kesehatan tanah; dan menerapakan metode
pengolahan tanah minimum. Di samping itu, mengelola hama secara
terpadu dengan agensi hayati; menggunakan pendekatan farmscaping;
mengelola hama penyakit dan predator secara berkelanjutan.
Untuk memaksimalkan keanekaragaman hayati dalam usaha tani
dapat ditempuh dengan: mengintegrasikan produksi tanaman dan
ternak dalam suatu lahan; menggunakan tanaman pagar, tanaman
perangkap serangka, tanaman penutup tanah, dan reservoir untuk
menarik dan mendukung populasi hewan menguntungkan;
meninggalkan sistem monocropping; menanam pohon-pohon atau
tanaman tahunan secara permanen; mengelola padang pengembalaan;
dan menggunakan tanaman penutup tanah.
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 299

9.5 Latihan

1) Bahaslah bagaimana pengelolaan agroekosistem sebagai suatu


wujud implementasi yang berusaha menjaga dan meningkatkan
sumber daya yang ada.
2) Untuk mewujudkan strategi pemasaran dapat ditempuh melalui
diversifikasi usaha seperti menanam beberapa jenis tanaman yang
paling menguntungkan. Uraikan langkah apasaja yang dapat
dilakukan
3) Bagaimana seharusnya kita memfasilitasi pembentukan kelompok-
kelompok tani dan menciptakan nilai tambah pada proses usaha
tani suatu komoditas.
4) Jelaskan secara detail strategi untuk memperbaiki struktur dan
kesuburan tanah.
5) Uraikanlah bagaimanan mengelola hama penyakit dan predator
secara berkelanjutan.
6) Untuk memaksimalkan keanekaragaman hayati dalam usaha tani
dapat ditempuh dengan cara. Jelaskan cara-cara tersebut.
7) Kemukanlah bagaimanan kita mengintegrasikan produksi tanaman
dan ternak dalam suatu lahan.
8) Jelaskan apa peranan mulsa dan penutup tanah terhadap kondisi
agroekosistem

9.6 Glossarium

Aksessibilitas adalah kemampuan suatu lahan untuk diakses/


dipergunakan seperti adanya transportasi
Erosi merupakan proses pengikisan partikel-partikel tanah pada
permukaan akibat adanya aliran permukaan pada suatu lahan
yang berlereng
Agroekologi: Perencanaan dan Pengembangan Agroekosistem 300

Hortikultura merupakan subsektor pertanian yang meliputi tanaman


sayur-sayuran, buah-buahan, bunga, rempah, dan obat-obatan
Komoditas adalah produk tanaman yang memiliki nilai ekonomi dan
diperdagangkan sebagai barang.
Konservasi merujuk kepada semua kegiatan yang dilakukan untuk
mempertahan kualitas suatu ekosistem
Konversi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk merubah
fungsi suatu lahan menjadi fungsi lainnya
Landscape adalah suatu bentangan lahan yang termasuk seluruh
komponen biotik dan abiotik yang terdapat di dalamnya

9.7 Daftar Pustaka

Earles, R. 2005. Sustainable Agriculture: An Introduction. Online,


http://www.attra.ncat.org/attra-pub/PDF/sustagintro.pdf, diakses
10 Februari 2011.
ErniTour. 2009. Taman Simalem Resort Tour. Online, http://ernitour.
com/web/index.php?option=com_content&task=view&id=22&I
temid=34, diakses 10 Februari 2011.
Gleissman, S. R. 2001. Agroecosystem Sustainability: Developing
Practical. CRC Press, Boca Raton, Washington, D.C. 210 pages.
GotoKnow. 2011. Multiple Cropping. Online: http://gotoknow.org/
blog/dongluang/116432, diakses 8 Februari 2011.
Mason, J. 2003. Sustainable Agriculture (second edition). Landlink
Press, Collingwood Vic., Australia. 200 pages.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 301

BAB X
ESTETIKA LINGKUNGAN DAN EKOWISATA

Pemahaman yang utuh tentang estetika lingkungan dan ekowisata


sangat penting dalam mempelajari agroekologi. Untuk ini, kita
diharapkan mampu memahami, menjelaskan dan mendiskusikan
estetika dan keindahan, manfaat vegetasi pada estetika lingkungan,
perkembangan ekowisata di Indonesia, serta perbandingan pariwisata
masal versus ekowisata. Disamping itu, mampu mengkomunikasikan
konsep estetika lingkungan dalam kaitannya dengan ekowisata.

10.1 Estetika dan Keindahan

Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten


(1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu
tentang keindahan (Encarta Encyclopedia, 2009). Baumgarten
menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan
intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah
estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang
keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.
Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk
tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi
nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk
tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka
sesuatu yang estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya,
sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis.
Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi dari estetika
sendiri, salah satu definisi yang cukup lengkap diberikan oleh
Hospers, Estetika adalah cabang dari filosofi yang berkaitan dengan
analisis konsep dan penyelesaian masalah yang timbul ketika
seseorang memikirkan objek estetika. Objek estetika, dalam
pemikiran, membandingkan semua objek yang dirasakan memiliki
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 302

estetika; sehingga, hal ini hanya dapat dirasakan setelah pengalaman


estetika telah digambarkan dengan baik agar seseorang dapat
membatasi kelas dari objek estetika) (Sutrisno,1993). Jika mengacu
pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi
seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk
pengamatan objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri.
Dalam kajian filsafat, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi
menjadi dua pendekatan yaitu :
1) Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-
benda atau alam indah serta karya seni.
2) Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami
oleh pengamat (pengalaman keindahan yang dialami seseorang)
(Sutrisno, 1993).
Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive
Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam
dirinya sendiri telah memiliki pengalaman, sehingga dapat mengenali
wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan
getaran atau rangsangan keindahan".
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul
sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir
cenderung mencari dasar-dasar yang kuat yang bersifat matematis
untuk moral, politik hingga estetika (Sutrisno, 1993). Pada abad
pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam
ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan
pengalaman religi. Pada zaman modern, pengalaman keindahan
dikaitkan dengan tolak ukur lain, seperti fungsi, efisiensi, yang
memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya
sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.
Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari zaman
antik hingga sekarang. Pada zaman antik keindahan dalam arsitektur
dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 303

lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka


objek itu sama penting.
Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata si pengamat,
namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa
pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik
dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap
terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh
pengalaman estetik.
Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan
ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya
dapat didekati melalui:
1) Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
2) Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati
atau menciptakan karya yang estetik.

10.2 Manfaat Vegetasi pada Estetika Lingkungan


10.2.1 Fungsi Vegetasi
Tumbuhan hijau (vegetasi) memiliki berbagai manfaat untuk kawasan
tertentu. Berbagai manfaat tumbuhan hijau dapat dikategorikan dalam
4 fungsi utama, yaitu: (1) fungsi ekologis; (2) fungsi estetis dan
arsitektural; (3) fungsi ekonomi; dan (4) fungsi sosial.

a) Fungsi ekologis
Fungsi ekologis tumbuhan, meliputi :
a) Mereduksi polutan dan memproduksi oksigen
Struktur batang, cabang, ranting, dan daun tumbuhan dapat
mereduksi kebisingan, debu, dan pandangan (view) yang
mengganggu. Melalui proses-proses fisiologis, tumbuhan
melakukan evapotranspirasi dan fotosintesis. Proses ini dapat
menetralisir karbondioksida (CO2), memproduksi oksigen (O2),
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 304

dan meningkatkan kadar uap air yang mendinginkan udara


disekitarnya pada siang hari.
b) Memperbaiki kualitas iklim lokal
Pada permukaan tanah yang diberikan pengerasan akan
menyebabkan peningkatan suhu, penurunan muka air tanah, dan
pengurangan pergerakan udara (angin). Sedangkan permukaan
tanah yang ditutupi dengan penghijauan akan berdampak pada
suhu lebih sejuk, pergerakan udara lebih baik, dan debu berkurang.
Selain itu vegetasi juga dapat memberikan efek: (1)
pembayangan, efek bayangan vegetasi bisa menahan 70% panas
matahari yang jatuh ke tanah, dan (2) penurunan suhu, suhu udara bisa
diturunkan 5,5 - 11°C, ketika suhu rata-rata udara 32°C, dan ketika
suhu rata-rata udara 21°C, bisa turun 2,5 - 5,5°C. Pada hutan lebat,
80% radiasi matahari bisa di tangkap daun, cabang dan ranting
pepohonan, dan yang mencapai tanah bisa kurang dari 5% sepanjang
hari. Permukaan berumput lebih dingin 33% daripada kotak balok
(paving block), karena rumput dapat menjaga agar suhu konstan,
sedangkan kotak balok lebih banyak memantulkan panas. Vegetasi
mempunyai efek mendinginkan, hal ini dapat diketahui bahwa sampai
siang hari, di bawah pohon lebih dingin 25oC daripada di atas pohon.
Ketika malam hari, suhu 1,3oC lebih dingin dari lingkungan
sekitarnya. Jadi vegetasi mampu membuang atau mengurangi radiasi
sinar matahari dengan baik.

c) Pengontrol radiasi sinar matahari


Tipe vegetasi yang digunakan akan mempengaruhi derajat
pengontrolan radiasi sinar matahari (Gambar 10.1), antara lain: (1)
tanaman hijau mereduksi sampai 80% penetrasi cahaya, (2) pohon
yang berdaun lebat dapat mereduksi penetrasi cahaya antara 51 – 54%
dan melindungi dari sinar matahari langsung sepanjang hari, (3)
semak dan groundcover (penutup tanah dari rerumputan/soft material)
mereduksi suhu dengan absorbsi radiasi dan evaporasi, dan (4) pada
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 305

siang hari yang panas, rumput bisa mereduksi 5.5 – 7,8oC lebih dingin
dari tanah terbuka.

b) Fungsi Estetis dan Arsitektural


Manfaat arsitektural dan estetika, antara lain: (1) penegasan ruang, (2)
pemberi suasana dan karakter bangunan (Gambar 10.2), tapak dan
lingkungan, (3) peralihan skala, (4) pengendali pandangan, dan (5)
pengontrol silau

Gambar 10.1 Vegetasi dapat mereduksi radiasi sinar matahari yang diterima
permukaan tanah (Lokasi: Treptower Park, Jerman)

Gambar 10.2 Perpaduan antara taman dan bangunan (Lokasi: Universitas Syiah
Kuala, Banda Aceh)
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 306

c) Fungsi Ekonomi
Keberadaan vegetasi dapat membantu dan meningkatkan aktivitas
perekonomian masyarakat. Vegetasi juga memberikan
kenyamanan dan keteduhan, terutaman pada siang hari, kepada
masyarakat yang memanfaatkan vegetasi untuk menunjang
aktivitas perekonomian mereka (Gambar 10.3).

Gambar 10.3. Vegetasi dapat berfungsi untuk menunjang perekonomian masyarakat


(Lokasi : Darussalam, Banda Aceh)

d) Fungsi Sosial
Berbagai ruang terbuka hijau (RTH) yang bernilai sejarah bila
dilestarikan dapat meningkatkan potensi turisme dan ekonomi
(Gambar 10.4).

10.2.2 Ruang Terbuka Hijau

Terdapat beberapa cara untuk mengetahui bagaimana menggunakan


vegetasi dalam merancang Ruang Terbuka Hijau Kota. Cara-cara
tersebut meliputi :
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 307

1) Kenali dengan baik karakter vegetasi

2)

Gambar 10.4 Tempat-tempat bersejarah yang memiliki potensi sebagai tempat


wisata (Lokasi: Sanssouci Palace, Potsdam, Jerman).

Dalam mendesain vegetasi harus disadari mereka sebagai


mahluk hidup yang tumbuh, berganti bentuk, dan tidak memiliki
bentuk yang tetap sepanjang tahun. Penting juga mengetahui daur
hidup vegetasi. Harus tahu juga tentang varietas tanaman. Disarankan
untuk memilih tanaman yang cepat tumbuh, mahkota yang memiliki
kepadatan daun yang baik. Sangat penting untuk memakai tanaman
lokal dan bila memungkinkan pertahankan tanaman eksisting. Pada
iklim panas lembab, adalah perlu untuk menyeleksi vegetasi yang bisa
memberi pembayangan dan pendinginan maksimal.

2) Memahami manfaat masing-masing jenis vegetasi

Pepohonan yang berkanopi, pohon besar dan kecil bisa jadi tabir
angin, dan bisa mengurangi velositas angin, tapi pohon juga bisa
digunakan sebagai lorong angin untuk meningkatkan ventilasi di area
tertentu. Semak terdiri dari semak rendah ( <1,2 m), medium (1,2 –2,4
m) dan semak tinggi (> 2,4 m). Semak dapat mengatur kecepatan
angin dan pengarah aliran angin (Gambar 10.5).
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 308

Groundcover/penutup tanah, bisa dibedakan dari ketinggian,


kepadatan dan warna. Bermanfaat untuk mengurangi debu,
mengurangi reradiasi panas matahari. Tumbuhan merambat bisa
digunakan untuk melapisi dinding bangunan, bisa juga didesain
sebagai kanopi untuk mengontrol sinar matahari.

Gambar 10.5 Pemanfaatan semak dan pepohonan sebagai pengarah aliran angin
(Lokasi : Großbeeren, Jerman)

3) Memahami prinsip perancangan lingkungan dengan memanfaatkan


vegetasi
1. Prinsip Pembayangan (shading)
Pada iklim tropis lembab, matahari arah barat, barat daya dan barat
laut paling panas antara siang hingga sore. Kalau matahari timur, dari
pagi sampai siang, tidak sepanas matahari barat (Gambar 10.6).
Prinsip pemanfaatan pepohonan hampir sama, hanya pada pukul 9.00
sudut sinar 45 derajat, yang tidak bisa dihalangi hanya dengan
overhang (teras beratap tanaman). Caranya dengan gabungan antara
pohon dan overhang.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 309

2. Prinsip Pendinginan (Cooling)


Pada siang hari, material yang terkena radiasi matahari memantulkan
panas tersebut ke udara. Beberapa cara pendinginan dengan
menggunakan tanaman di sekitar bangunan untuk pendinginan, yaitu :
(a) Melapisi permukaan tanah. Perbedaan suhu permukaan antara
rumput dengan aspal adalah 13,9°C. Suhu udara di atas kedua
permukaan ini juga berbeda sekitar 5,5 derajat. Suhu permukaan akan
mempengaruhi suhu udara sekitarnya. Dalam kasus ini vegetasi harus
dimaksimalkan, permukaan buatan harus diberi pembayangan dengan
pohon, dan menggunakan tanaman penutup tanah (ground cover)
dari tanaman dan rumput;

Gambar 10.6. Efek bayangan vegetasi (Lokasi : Berlin, Jerman)

(b) Meminimalkan refleksi/pemantulan dari permukaan tanah di luar


jendela/ bangunan yang menghadap matahari. Tanaman dan rumput
bisa menolong mengurangi radiasi karena mempunyai nilai
reflektif/pemantulan yang rendah; dan
(c) Memaksimalkan pendinginan melalui penguapan di tapak.
Keadaan ini akan mendinginkan suhu sekitar bangunan dan akhirnya
dapat mendinginkan dinding bangunan sehingga suhu ruangan
menjadi lebih nyaman.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 310

4) Menguasai cara memilih vegetasi


Prinsip-prinsip dalam pemilihan vegetasi, meliputi:
a) Disarankan untuk memilih tanaman yang cepat tumbuh, mahkota
yang memiliki kepadatan daun yang baik.
b) Sangat penting untuk memakai tanaman lokal dan bila
memungkinkan pertahankan tanaman eksisting. Hal ini akan
memudahkan perawatan dan lebih hemat.
c) Untuk estetika, pilih tanaman yang berbunga sepanjang tahun, atau
tetap mempunyai kualitas daun yang indah bila sedang tidak
berbunga (misalnya; jangan pilih jenis mawar).
d) Untuk fungsi ekologis, pilih tanaman bertajuk lebat, tanaman jenis
ini efektif mereduksi polusi (Gambar 10.7), memproduksi oksigen
dan meningkatkan kadar kelembaban udara disekitarnya.

Gambar 10.7 Pemanfaatan vegetasi untuk mengurangi polusi udara (Lokasi :


Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)

Prinsip-prinsip pemilihan vegetasi di ruang publik, meliputi:


1) Jangan menggunakan tanaman yang beracun atau yang sangat
bergetah.
2) Hindari pohon berbuah bulat keras, orang dapat tergelincir atau
pohon berbuah besar/tajam.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 311

3) Jangan pilih tanaman yang berduri/beranting tajam.


4) Jangan pilih tanaman yang sering diserang ulat/serangga yang
mengganggu, atau yang menyebabkan gatal-gatal.
5) Pilih pohon yang akarnya tidak merusak konstruksi pagar, selokan
dan jalan.
6) Jangan gunakan tanaman berbau tajam yang mengganggu.

Prinsip penempatan vegetasi, meliputi :


1) Pada tanaman bertajuk, perhatikan jarak tanaman agar mahkota
tumbuh sempurna.
2) Ketinggian tajuk perlu dikontrol agar diperoleh ruang untuk
aktifitas dibawahnya.
3) Kurangi penggunaan pohon yang sampah daunnya banyak.
4) Tanaman ditempatkan agar dapat mengontrol radiasi matahari.
5) Pilihlah sosok/bentuk, ukuran dan kepadatan tanaman yang tepat
sesuai keperluan.

Ruang terbuka hijau (Gambar 10.8) memiliki 4 fungsi utama,


yaitu: (1) ekologis: menyerap CO2, memproduksi O2 (paru-paru kota),
melancarkan penyerapan air hujan, menyerap kebisingan, menyerap
debu, menurunkan suhu area yang terpengaruh, dan memberikan
keteduhan , (2) estetik, (3) sosial: memberikan tempat interaksi warga
kota, memberikan sarana rekreasi, menyediakan cadangan ruang kota
untuk keperluan darurat, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat; dan
(4) pembentuk ruang kota.
Bentuk-bentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), meliputi: (1) green
belt kota, (2) taman kota, (3) jalur hijau jalan, (4) bantaran sungai, (5)
bantaran jalur kereta api, (6) jalur listrik tegangan tinggi, dan (7)
taman pemakaman umum (TPU).
Jenis-jenis penghijauan, meliputi :
1. penghijauan umum (public) atau penghijauan kota
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 312

1) areal hijau kota yang berhubungan dengan


alam bebas/hutan.

Gambar 10.8 Ruang terbuka hijau dapat dijadikan sebagai sarana rekreasi
(Lokasi: Potsdam, Jerman)

2) areal hijau umum yang digunakan untuk kegiatan bermain


atau olah raga (Gambar 10.9).
3) fasilitas pemakaman umum yang masih memiliki banyak
penghijauan.
4) areal penghijauan dari bangunan-bangunan umum.
5) taman-taman umum/taman bangunan-bangunan
pemerintahan lainnya.
2. Penghijauan pribadi (privat)
* areal penghijauan pada bangunan-bangunan milik swasta, tetapi
dapat dimanfaatkan untuk kegiatan kemasyarakatan, seperti
misalnya: sekolah, pantiwerdha, sanatorium, rumah sakit, dan
perkantoran.
* areal penghijauan pada lingkungan rumah susun, dan taman
bangunan-bangunan tunggal, dan perkebunan sayur.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 313

Gambar 10.9 Areal hijau umum yang digunakan untuk kegiatan bermain atau olah
raga (Lokasi: Berlin, Jerman)

10.3 Perkembangan Ekowisata di Indonesia


Ekowisata mulai menjadi isu nasional di Indonesia semenjak Seminar
dan Lokakarya (Semiloka) Nasional yang diselenggarakan oleh Pact-
Indonesia dan WALHI pada bulan April 1995 di Wisma Kinasih,
Bogor. Dalam acara tersebut dihasilkan suatu rumusan dalam
kegiatan ekowisata bahwa masyarakat setempat harus dilibatkan
dalam pengelolaan ekowisata secara proporsional.
Sejak saat itu ekowisata sudah mulai menjadi perhatian berbagai
kalangan seperti LSM, Instansi Pemerintah, Lembaga Usaha
Pariwisata, Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi. Pada bulan
Juli 1996 di Bali diselenggarakan Lokakarya Nasional kedua. Dalam
acara tersebut terbentuk sebuah forum yang dideklarasikan dengan
nama Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) yang beranggotakan
kurang lebih 40 orang yang mewakili berbagai LSM, Perguruan
Tinggi, Tour Operator dan instansi lainnya. Kegiatan forum tersebut
berlanjut dengan Lokakarya Nasional ke III di Flores, NTT pada bulan
Juli 1997 dan berubah menjadi Pertemuan Nasional I MEI. Pertemuan
Nasional II MEI pada September 1998 diselenggarakan di Tana
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 314

Toraja, Sulawesi Selatan. Jumlah anggota MEI semakin hari semakin


bertambah.
Sudah banyak pertemuan seperti seminar, lokakarya dan forum
diskusi dilakukan dan sudah banyak pula kajian dan kebijakan yang
dihasilkan, tetapi produk ekowisata di Indonesia masih dapat dihitung
dengan jari tangan. Banyak hal yang menyebabkan lambatnya
perkembangan ekowisata di Indonesia, antara lain :
1) Belum adanya pedoman yang dapat mendorong ekowisata
menjadi kegiatan pelestarian alam dan ekonomi yang
berkelanjutan.
2) Masih rendahnya pemahaman ekowisata oleh berbagai
stakeholder terutama dari kaum birokrat yang dapat dianggap
sebagai pendorong maupun pelaksana kegiatan ekowisata.
3) Masih ada keraguan terhadap kebenaran konsep ekowisata
dapat dijadikan sebagai kegiatan ekonomi berkelanjutan yang
sekaligus mampu memberdayakan masyarakat setempat.

Untuk mempercepat perkembangan ekowisata harus dilakukan


suatu kajian yang mendalam, karena metoda dan pendekatan
ekowisata di setiap daerah akan berbeda-beda. Proses sosialisasi
ekowisata kepada kalangan pemerintah daerah, pengusaha swasta
bidang perjalanan wisata, lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan
lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan persepsi dan
pemahaman yang benar terhadap bidang ekowisata. Penyebarluasan
kisah keberhasilan berbagai lembaga yang berada di dalam dan luar
negeri dalam mengembangkan ekowisata yang berdampak langsung
terhadap pelestarian alam serta meningkatnya tingkat kesejahteraan
masyarakat sekitar daerah tujuan ekowisata harus dilakukan (Sudarto,
1999).
Dari beberapa istilah yang muncul dan berkaitan dengan usaha
pembaharuan bidang usaha pariwisata, seperti alternative tourism,
nature tourism, responsible tourism, special interest dan lain-lain.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 315

Ecotourism merupakan istilah yang dianggap tepat, karena arti dan


komitmen yang sangat jelas terhadap kelestarian alam dan
pemberdayaan masyarakat. Istilah ecotourism berasal dari kata :
1. Eco-logical
2. Eco-nomical
3. Evaluating Community Opinion
Bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia ekowisata berasal dari
kata :
1. Eko-logi, artinya ekologi sebagai sumberdaya dan daya tarik
ekowisata, dan ekowisata memberikan kontribusi positif
terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan.
2. Eko-nomi, artinya bahwa ekowisata merupakan kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan.
3. Evaluasi Kepentingan dan Opini masyarakat, artinya
ekowisata mempunyai kepedulian terhadap peningkatan peran
serta masyarakat dalam kegiatan tersebut, serta ekowisata
merupakan suatu upaya peningkatan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat, yang diharapkan masyarakat yang
diberdayakan ekonominya tersebut dapat memberikan
kontribusinya pula terhadap upaya pelestarian alam dan
lingkungan.

Ekowisata dapat didefinisikan sebagai: kegiatan perjalanan


wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di
daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam, dimana tujuannya
selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur
pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha
konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat
sekitar daerah tujuan ekowisata. Dari definisi tersebut, ada lima hal
penting yang mendasari kegiatan ekowisata, yaitu:
1. Perjalanan wisata yang bertanggung jawab.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 316

Artinya semua pihak pelaku kegiatan ekowisata harus bertanggung


jawab terhadap dampak yang ditimbulkan dari kegiatan ini
terhadap lingkungan alam dan budaya. Usaha-usaha yang harus
dilakukan untuk mendasari pernyataan tersebut adalah :
- Memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan
ekowisata terhadap lingkungan alam dan budaya setempat.
- Melaksanakan studi dan penelitian yang mendalam mengenai
berbagai aspek, termasuk daya dukung (carrying capacity)
lingkungan, dampak yang akan ditimbulkan bila kegiatan ini
berlangsung, hasilnya bisa digunakan untuk proses
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ekowisata.
- Memberikan informasi yang jujur mengenai lingkungan
setempat kepada ekowisatawan agar menghindari perbuatan
yang merusak lingkungan, dan mengajak berperan aktif dalam
melestarikannya.
2. Daerah-daerah yang masih alami (nature made) harus dikelola
secara kaidah alam.
Daerah yang bersifat alami dapat berupa hutan yang berada di
kawasan konservasi, seperti Taman Nasional, Taman Wisata
Alam, dan Taman Hutan Raya; maupun kawasan non-konservasi
lainnya, seperti Hutan Adat; sedangkan daerah yang dikelola
dengan kaidah alam adalah seperti Hutan Wanagama, Hutan
Produksi dan Cagar Budaya.
3. Tujuannya selain untuk menikmati pesona alam, juga untuk
mendapatkan tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai
berbagai fenomena alam dan budaya.
Dengan kegiatan ekowisata akan merangsang manusia untuk
berinteraksi dengan alam, mempelajari, memahami lebih
mendalam dan yang diharapkan akan menimbulkan kecintaan dan
kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan alam itu sendiri
(Gambar 10.10). Pengelola dan pelaksana kegiatan ekowisata
harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 317

dalam menyampaikan berbagai informasi lingkungan yang


dibutuhkan oleh wisatawan.

Gambar 10.10 Keterlibatan masyarakat setempat dalam kegiatan ekowisata


(Lokasi: Spreewald, Jerman)

4. Memberikan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam.


Kegiatan ekowisata melibatkan secara aktif para wisatawan dan
operatornya, dengan memberikan dukungan yang lebih nyata
terhadap usaha-usaha konservasi dan pelestarian baik secara moral
maupun material. Terlebih lagi ada pendapat yang menyatakan
bahwa dengan semangat dan solidaritas ekowisata bisa digunakan
untuk memecahkan dan mengatasi berbagai masalah lingkungan
termasuk melakukan pelestarian keanekaragaman hayati.
Contohnya: Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat dan hutan
kayu cendana di hutan Wanagama yang dilaksanakan oleh
Universitas Gajah Mada.
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Kegiatan ekowisata harus bisa melibatkan masyarakat setempat
mulai dari tahap perencanaan, pembangunan dan
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 318

pengoperasiannya. Masyarakat setempat harus menjadi subyek


dari kegiatan ini, sehingga bisa memberikan keuntungan ekonomis
yang bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.
Dengan ekowisata diharapkan akan tumbuh rasa memiliki dan
memelihara sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi obyek
kegiatan ekowisata sebagai lahan pencahariannya.

10.4 Pariwisata Masal Versus Ekowisata

Sektor pariwisata di Indonesia merupakan primadona andalan dalam


memasok devisa. Dengan pola pariwisata konvensional yang bersifat
masal (mass tourism), sektor pariwisata ditargetkan untuk menjadi
pemasok devisa ketiga setelah tekstil dan kayu. Pada masa yang akan
datang sektor pariwisata diharapkan dapat menggantikan kedudukan
migas sebagai sumber devisa yang utama.
Pengembangan sektor pariwisata masih difokuskan pada produk
yang bersifat masal (mass tourism) yang semata-mata mementingkan
kegiatan pendapatan/ perputaran nilai ekonominya saja. Sebagai suatu
produk industri pariwisata, wisata jenis ini memberikan banyak
dampak negatif, seperti penggusuran tanah rakyat untuk membangun
hotel-hotel berbintang, lapangan golf, degradasi moral, pencemaran
air dan tanah, serta proses kerusakan lingkungan lainnya. Hal tersebut
merupakan sebagian kecil saja dari daftar panjang dampak negatif
praktek pariwisata masal ini.
Di tengah maraknya arus kunjungan wisatawan mancanegara
yang mengalir ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
timbul rasa keprihatinan dan kekhawatiran para pengamat dan
pencinta budaya/lingkungan terhadap degradasi lingkungan dan nilai
budaya sebagai dampak negatif yang ditimbulkan dari sektor ini. Oleh
karena itu harus dicoba dan dirumuskan gagasan model pariwisata
yang lebih sehat dan bermanfaat, berkelanjutan, serta dapat
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 319

meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat negara berkembang


yang menjadi daerah tujuan wisata. Salah satu model tersebut adalah
ekowisata. Dengan memberikan tempat yang semestinya pada
gerakan ekowisata dalam pola pengembangan kepariwisataan secara
lokal dan nasional, maka ekowisata akan menjadi kontributor devisa
yang bersifat berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan alam dan
budaya.

9.5 Rangkuman

Estetika adalah cabang dari filosofi yang berkaitan dengan analisis


konsep dan penyelesaian masalah yang timbul ketika seseorang
memikirkan objek estetika. Objek estetika, sebagai kerangka berfikir,
merupakan semua objek yang dinilai oleh seseorang memiliki nilai
keindahan dan kepuasan jiwa. Pertimbangan estetika dalam
pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui: pemahaman karya
sebagai obyek estetik; dan pemahaman terhadap manusia sebagai
subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.
Tumbuhan hijau (vegetasi) memiliki berbagai manfaat untuk
kawasan perkotaan. Berbagai manfaat tumbuhan hijau dapat
dikategorikan dalam 4 fungsi utama, yaitu: fungsi ekologis, fungsi
estetis dan arsitektural, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial.
Prinsip-prinsip dalam pemilihan vegetasi, meliputi: pemilihan
tanaman yang cepat tumbuh, mahkota yang memiliki kepadatan daun
yang baik; sangat penting untuk memakai tanaman lokal dan bila
memungkinkan pertahankan tanaman yang ada. Hal ini akan
memudahkan perawatan dan lebih hemat; untuk estetika, pilih
tanaman yang berbunga sepanjang tahun, atau tetap mempunyai
kualitas daun yang indah bila sedang tidak berbunga (misalnya; jangan
pilih jenis mawar); untuk fungsi ekologis, pilih tanaman bertajuk
lebat, tanaman jenis ini efektif mereduksi polusi, memproduksi
oksigen dan meningkatkan kadar kelembaban udara di sekitarnya.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 320

Pengembangan ekowisata harus dilakukan berdasarkan suatu


kajian yang mendalam. Hal ini disebabkan karena metoda dan
pendekatan ekowisata di setiap daerah akan berbeda-beda. Proses
sosialisasi ekowisata terus dilakukan kepada kalangan pemerintah
daerah, pengusaha swasta bidang perjalanan wisata, lembaga
penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk
meningkatkan persepsi dan pemahaman yang benar terhadap bidang
ekowisata ini. Di samping itu, promosi dan penyebarluasan kisah
keberhasilan berbagai lembaga yang berada di dalam dan luar negeri
perlu terus ditingkatkan.

10.6 Latihan
Tugas presentasi dan diskusi tentang Fungsi Vegetasi dan Ekowisata
1. Bentuk tugas : 1. Penulisan Paper
2. Presentasi Paper di Depan Kelas
2. Tujuan Tugas : Agar mahasiswa dapat memahami dan
Mengkomunikasikan pemahamannya tentang
fungsi vegetasi dan ekowisata
3. Uraian Tugas :
a Obyek garapan : 1.Mendeskripsikan fungsi vegetasi dan
. ekowisata
2. Mengemukan masalah dan solusi-
solusi ekowisata
b Yang harus : 1. Mahasiswa wajib mempelajari
. dikerjakan dan modul kuliah
batasan-batasan 2. Mencari referensi tambahan di
perpustakaan
3. atau internet bersama kelompok
4. Menyusun paper bersama
kelompok
5. Mempresentasikan paper di kelas
6. Merespon pertanyaan/ tanggapan
dalam kelas
7. Menyimpulkan diskusi
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 321

c Metodologi/cara : 1. Menelaah kepustakaan


. pengerjaan, 2. Seminar Kelompok Kecil 3-5
acuan yang orang per kelompok
digunakan
d Kriteria luaran : Hasil studi disajikan dalam bentuk
. tugas yang paper minimum 12 halaman diketik
dihasilkan/ dengan font 12 dpi dengan 1.5 spasi.
dikerjakan

4. Kriteria Penilaian:
a. Kecermatan dalam mengamati dan ketajaman masalah yang
dibahas
b. Kejelasan dalam penyampaian masalah
c. Kekompakan bekerja dalam kelompok dan kerapian
d. Kemampuan berdiskusi/merespon pertanyaan yang
berkembang
e. Kemampuan menyimpulkan hasil diskusi

10.7 Glossarium
Absorbsi adalah proses penyerapan air oleh suatu material atau zat
padat
Arsitektural menunjukkan kepada seni dan ilmu bagaimana
membangun sesuatu khususnya bangunan
Cooling adalah proses pendinginan udara yang terjadi pada sekitar
kanopi daun akibat proses transpirasi
Estetika adalah cabang dari filosofi yang berkaitan dengan analisis
konsep dan penyelesaian masalah yang timbul ketika seseorang
memikirkan objek estetika
Konstan adalah suatu keadaan yang tetap atau tidak terjadinya
perubahan-perubahan
Groundcover merupakan penutup tanah yang berfungsi untuk
menurunkan suhu tanah, mencegah erosi, dan debu
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 322

Shading adalah usaha untuk membuat bayang dengan menggunakan


vegetasi dengan tujuan utama untuk menurunkan temperatur

9.8 Daftar Pustaka

Boo, F. 1991. Planning for Ecotourism Parks, Volume 2, No. 3. Pp.


4-8.
Brandon, K. 1995. Langkah-langkah Dasar untuk Mendorong
Partisipasi Lokal dalam Proyek-proyek Wisata Alam. Dalam
Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. K.
Lindberg dan D.E. Hawkins (Eds.). The Ecotourism Society.
North Bennington, Vermont.
Brandon, K, and M. Wells. 1992. Planning for People and Parks:
Design Dilemas. World Development, Vol. 20, No.4. Pp.557-
570.
Bunting, B.W., M.N.Sherpa, and M. Wright. 1991. Annapurna
Conservation Area: Nepal’s New Approach to Protected Area
Management. In P.C West and S.R.Brechien, (eds). Resident
Peoples and National Parks. Tucson. University of Arizona
Press.
Ceballos-Lascurain, H. 1991. Tourism, Ecotourism, and Protected
Areas. Parks Vol. 2, No.3, Pp. 31-35.
Cernea, M. l991. Putting People First: Sociological Variables in Rural
Development. New York: Oxford University Pres, second
edition.
Chapin, M. 1990. The Silent Jungle: Ecotourism Among the Kuna
Indians of Panama. Cultural Survival Quarterly, Vol. 14, No.
1, Pp. 42-45.
de Groot, R. S. 1983. Tourism and Conservation in the Galapagos
Islands. Biological Conservation, Vol. 26, pp. 291-300.
Direktorat Bina Obyek dan Daya Tarik Wisata. 1998. Pedoman
Pengembangan Ekowisata. Direktorat Jenderal Pariwisata.
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 323

Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan. 2006. Menata


Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Direktorat
Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum
Farrel, B. H. 1990. Sustainable Development: Whatever Happened to
Hana?. Cultural Survival Quarterly, Vol. 14, No. 2, pp. 25-29.
Goering, P. G. 1990. The Response to Tourism in Ladakh. Cultural
Survival Quarterly, Vol. 14, No. 1, pp. 20-25.

Horwich, R.H., D. Murray, E. Saqui, J. Lyon dan D. Godfrey. 1995.


Ekoturisme dan Pembangunan Masyarakat Pengalaman di
Belize. Dalam Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencana dan
Pengelola. K. Lindberg dan D.E. Hawkins (Eds.). The
Ecotourism Society. North Bennington, Vermont.
Howe, J. 1982. Kindling Self-Determination Among the Kuna.
Cultural Survival Quarterly, Vol.6, No.3, pp. 15-17.
Johnson. B. 1990. Introduction Breaking out of the Tourist Trap.
Cultural Survival Quarterly, Vol. 14, No. 1, pp. 2-5.
Lascurain, H.C. 1995. Ekoturisme Sebagai Suatu Gejala yang
Menyebar Ke Seluruh Dunia. Dalam Ekoturisme : Petunjuk
untuk Perencana dan Pengelola. K. Lindberg dan D.E.
Hawkins (Eds.). The Ecotourism Society. North Bennington,
Vermont.
McNeely. J. A. and K. R. Miller. eds. 1984. National Parks,
Conservation, and Development: The Role of Protected Areas
in Sustaining Society. Washington, DC Smithsonian institution
Press.
Midgeley, J. 1986. Community Participation, Social Development and
the State. London: Methuen.
Paul, S. 1987. Community Participation in Development Projects: The
World Bank Experience. World Bank Discussion Paper &
Washington, D.C. The World Bank.
Passoff, M. 1991. Ecotourism Re-Examinated. Earth Island Journal
Vol. 6 No. 2. pp 28-29
Agroekologi: Estetika Lingkungan dan Ekowisata 324

Puntenney, P. J. 1990. Defining Solutions : The Annapurna


Experience. Cultural Survival Quarterly Vol. 14, No.2. pp 9-
14.
Saglio, C. 1979. Tourism for Discovery : A Project in Lower
Casamance, Sinegal. In E. de Kadt (Ed.). Tourism : Passport
to Development ? Oxford : Oxford University Press.
St. Julien, N. 1989. Local Participation. Unpublished document for the
Wildlands and Human Needs Program, World Wildlife Fund.
Washington, D.C. World Wildlife Fund.
Sudarto, S. 1999. Ekowisata : Wahana Pelestarian Alam,
Pengembangan, Ekonomi Berkelanjutan, dan Pemberdayaan
Masyarakat. Yayasan Kalpataru Bahari Bekerjasama dengan
Yayasan Keanekaragaman Hayati.
Uphoff, N. 1987. Approaches to Community Participation in
Agriculture and Rural Development. In Readings in
Community Participation, vol. 2. Washington, D.C.: Economic
Development Institute.
Wells, M., and K. Brandon, with L. Hannah. 1992. People and Parks:
Linking Protected Area Management with Local Communities.
Washington, D.C. The World Bank.
West, P. C., and S. R. Brechin, eds. 1991. Resident Peoples and
National Parks. Tucson: University of Arizona Press.
World Tourism Organization. 1991. Yearbook of Tourism Statistics.
Madrid, Spain.
World Travel and Tourism council. 1992. The WTTC Report: Travel
and Tourism in the World Economy. Brussels, Belgium.
325

INDEKS
Abiotik 2, 8, 31, 37, 54, 271
Abrasi 14, 125, 190
Absorbsi 140, 142, 157
Adaptabilitas 263
Afforestasi 49, 69, 80
Agregat 183
Agroekologi 13, 19, 20
Agroekosistem 19, 20, 21
Agroforestri 24, 27
Aksessibilitas 280, 283
Alkalin 122, 143
Alluvial 14, 134
Altitude 85, 97
Anaerob 40, 177
Biomas 24, 26
Cooling 295
Decidous 88, 182
Deforestasi 251, 254, 257
Degredasi 66, 79
Difusi 41, 81
Edafik 106, 111
Ekploitasi 62, 81
Elektrolit 108, 118
Emisi 47,48, 67
Epifit 213
Erosi 28, 79
Estetika 287, 296
Evaporasi 191, 247
Evapotranspirasi 150 247
Geologi 45
Geosfir 45, 81
Habitat 2, 15, 17
Herbivora 3, 56, 163
Hidrologi 102, 118
326

Hidroponik 247
Hidrosfir 17, 45
Higrofites 92
Hortikultura 133, 285
Humic 81
Infiltrasi 129, 247
Kanopi 87, 99
Karnivora 7, 17
Kation 131, 247
Konservasi 49, 59
Legume 24, 28
Magrove 97, 98
Mikroflora 107
Mineralisasi 41, 81
Mouson 88, 99
Nutrient 111, 118
Ozon 104
Perkolasi 113
Poikilohidrik 146, 248
Polikultur 24, 28
Porositas 127, 248
Predator 210, 216
Presipitasi 146, 247
Reboisasi 259, 265
Reforestasi 49, 81
Reservoir 43, 81
Resilien 256, 265
Sedimentasi 103, 116
Selulosa 207
Shading 294, 308
Suksesi 58, 266
Topografi 52, 78
Transgenik 69, 81
Transpirasi 148, 149, 150, 152
Vulkanik 14, 131, 133
327

BIOGRAFI PENULIS

Efendi dilahirkan di Samalanga (Bireun, Aceh) pada


tanggal 8 Juli 1965. Sejak 1990 sampai sekarang,
penulis bertugas sebagai dosen tetap dan peneliti pada
program studi Agronomi/Agroteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Syiah Kuala dalam bidang
Genetika, Pemuliaan, Bioteknologi, Pertanian
Berkelanjutan, Agroforestri, Kultur Jaringan Tanaman,
dan Agroekologi.
Pada tahun 1989, penulis berhasil meraih gelar Insinyur (Ir.) pada program
studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. Pada tahun
1997, penulis mendapat gelar Master of Agriculture Science (M.Agric.Sc.)
pada Institute of Genetic Ecology, Tohoku University, Jepang. Kemudian
pada tahun 2000, penulis sukses mendapatkan gelar Doktor pada Institute
yang sama di Tohoku University. Penulis pernah mendapat Research Award
dari JIRCAS (Japan International Research Center for Agriculture Science),
Jepang selama dua tahun berturut-turut (2003-2004) dalam bidang penelitian
rekayasa genetik tanaman.
Penulis juga pernah bekerjasama dengan UN-FAO (2005-2006)
sebagai Consultant Agronomist untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pertanian
di Aceh pasca tsunami. Kemudian tahun 2006-2008 menjadi Consultant
pada Asian Development Bank (ADB) untuk melanjutkan program
rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pada tahun 2007-2008 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman. Sejak tahun 2009, penulis menjadi ketua yang pertama
pada program studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah
Kuala. Penulis juga aktif dalam berbagai pengabdian masyarakat, terutama
menyangkut pengembangan perbenihan dan teknologi SRI (System of Rice
Intensification). Saat ini penulis sedang meneliti dan mengembangkan sitem
pertanian berkelanjutan dan agroforestri yang lebih berorientasi kepada etika
lingkungan.
328

Halimursyadah dilahirkan di Medan, Sumatera Utara,


24 Februari 1970. Lulus dari SMA Negeri I Medan,
1988, kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas
Pertanian Universitas Syiah Kuala pada Program Studi
Agronomi. Sejak 1997 menjadi Staf Pengajar Tetap
pada Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi
Agronomi/Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Syiah Kuala. Memperoleh gelar Magister Sains, 2007, dalam
bidang Ilmu Benih dari Institut Pertanian Bogor.
Disamping menjadi staf pengajar tetap, sejak 2009-sekarang menjadi
Kepala Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Fakultas Pertanian
Universitas Syiah Kuala. Mata kuliah yang diampu adalah Teknologi dan
Industri Benih, Agroekologi dan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian.
Beberapa tulisan yang pernah dipublikasikan adalah: Perubahan Fisiologi
pada Benih rekalsitran Avicennia marina akibat laju pengeringan; Pengaruh
senyawa antioksidan dan periode simpan terhadap umur simpan benih
Kapas; Indikasi anatomis dan biokemis pada benih rekalsitran Avicennia
marina akibat laju pengeringan.

Zaitun dilahirkan di Jakarta, 13 September 1972. Lulus


dari SMU Negeri 35, tahun 1991, kemudian melanjutkan
studi S1 ke IPB, Bogor pada program studi Agronomi.
Pada tahun 1999 meraih gelar Magister Sains dalam
bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
serta memperoleh gelar Doktor dalam bidang yang sama
pada tahun 2004. Penulis telah melaksanakan berbagai
penelitian dan publikasi dalam bidang Pengelolaan
Sumber Daya, khususnya Pertanian Berkelanjutan. Dengan beasiswa The
Habibie Center, selama studi Pascasarjana di IPB beberapa semester
mendapat IP 4.0. Selama tahun 2005-2008, menduduki Scientific Expert
pada Asia-Link project. Pada tahun 2007, menjadi Senior Researher
kerjasama UNDP-Unsyiah. Tahun 2007-2011 menjadi sekretaris NUFFIC
Programm, dan pada tahun 2009-2012 menjadi koordinator Kerjasama
Universitas Syiah Kuala, New South Wales Department of Primari
Industries, Australia, BPTP Aceh dan ACIAR Project.

Anda mungkin juga menyukai