Anda di halaman 1dari 20

UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah Perempuan Dan Politik

“Keterwakilan Perempuan 30% Dalam Pusaran Pemilu 2019”

Hasan Basri - Ilmu Politik - 3312416030


hasanbasri@students.unnes.ac.id

Abstrak

Berbicara tentang pemilihan umum maka tidak asing lagi dengan peristilahan
affirmative action untuk perempuan diamana perempuan untuk pertama kali
diperjuangakan dalam bidang politik yang nantinya dapat duduk di kursi legislatif.
Ketentuan tersebut merupakan hal baru di Indonesia karena mengatur keadilan
gender dalam rekruitmen dan manajemen partai politik yakni memasukkan 30%
keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, selain itu ada
keharusan partai politik untuk memasukkan setidaknya 1 orang perempuan dalam
setiap 3 bakal calon legislatif. Kebijakan Affirmative (Affirmative Action) Kuota
Tiga Puluh Persen Keterwakilan Perempuan dalam pemilu seharusnya dapat lebih
mendorong kaum perempuan untuk turut berpartisipasi di bidang politik. Faktor
substansi UU sendiri yang belum secara tegas dan sungguh-sungguh mengatur
untuk melibatkan kaum perempuan di bidang politik dapat dikatakan salah satu
faktor yang mempengaruhinya, ditambah lagi factor-faktor kasik yang masih
melekat dalam masyarakat yang mempengaruhi kurangnya minat perempuan untuk
berpolitik. Kebijakan tersebut memiliki potensi untuk memperkuat partisipasi
politik dan representasi perempuan. Untuk pelaksanaan lebih efektif, afirmatif perlu
kebijakan tindakan harus disertai dengan upaya paralel menangani berbagai
rintangan

Kata Kunci: Affirmative Action, Keterwakilan Perempuan, Pemilu, Partai Politik

1
A. PENDAHULUAN
Secara garis besar, sistem pemilu dapat dibagi dua, yaitu sistem
proporsional dan sistem non proporsional yang dikenal juga dengan sebutan sistem
distrik. Di beberapa negara dikembangkan varian-varian dari kedua sistem itu, yaitu
mencoba mengawinkan sistem proporsional dengan sistem distrik. Sistem
proporsional biasa juga disebut dengan sistem perwakilan berimbang yang
merupakan bentuk penerapan prinsip multi-member constituency, atau daerah
pemilihan memilih beberapa orang wakil. Sedangkan sisitem distrik merupakan
bentuk penerapan prinsip single-member constituency atau satu daerah pemilihan
memilih satu wakil saja. Pemilihan sistem proporsional menunjuk pada pertarungan
antara partai politik dalam sebuah daerah pemilihan yang luas untuk mencari
beberapa orang wakil. Partai politik mencalonkan banyak kandidat dalam dalam
sebuah daftar dengan nomor urut dan rakyat tidak perlu memilih namanorang, tetapi
cukup dengan memilih tanda gambar partai politik yang terdaftar sebagai kontestan.
Suara yang diperoleh oleh setiap kontestan dihitung, kemudian setiap kontestan
akan memperoleh jumlah kursi secra proporsional dengan suara yang diperoleh.
Kandidat yang terpilih mewakili daerah itu ditetapkan berdasrakan nomor urut dari
atas kebawah. Dalam hal ini tidak ada suara pemilih yang hilang.
Pemilihan umum sistem distrik yan merupakan sistem yang tertua,
memnunjuk kepada pertarungan antara kandidat yang dicalokan oleh partai-partai
politik dalam suatu wilayah yang kecil (daerah pemilihan) untuk mencari satu
wakil. Kandidat dicalonkan partai politik, rakyat yang sudah dewasa memeilih
nama dan gambar kandidat tersebut dan bukan memilih tanda gambar partai politik.
Kandidat yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal dan akan
mewakili daerah itu dalam parlemen. Suara kandidat yang kalah tidak
diperhitungkanlagi, sehingga suaranya dianggap hilang. Namun kandidat yang
menang, tidak lagi mewakili partainya, tetapimewakili daerah pemilihan itu dan
harus memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Hal itu dapat menimbulkan
kemungkinan, anggota parlemen itu mementingkan distrik dan warganya daripada
kepentingan nasional (Anwar Arifin, 2015: 109-11).

2
Pengertian Pemilihan Umum adalah suatu proses untuk memilih orang-
orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan umum ini diadakan
untuk mewujudkan negara yang demokrasi, di mana para pemimpinnya dipilih
berdasarkan suara mayoritas terbanyak. Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah
suatu Lembaga Demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam
MPR, DPR, DPRD, yang pada gilirannya bertugas untuk bersamasama dengan
pemerintah, menetapkan politik dan jalannya pemerintahan negara. Pemilu
diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta
untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan
rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilu 2019 adalah pemilu untuk kali pertama Indonesia akan
melaksanakan pemilu secara serentak. Artinya pemilihan anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota berjalan bersamaan dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden. Berarti dalam pemungutan suara nanti, pemilih akan
mendapatkan lima surat suara yang akan dimasukkan ke dalam lima kotak suara.
Berbeda dengan sebelumnya juga, meski kegiatannya sama,. Pemilu adalah suatu
contoh partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi
kebijakan pemerintah. Pada hakekatnya pemilu merupakan cara dan sarana yang
tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk dalam
badan-badan perwakilan rakyat guna menjalankan kedaulatan rakyat. Sebagai
negara yang menganut paham demokrasi Indonesia harus melakukan pemilu 5
tahun sekali. Pemilu dilakukan untuk mencari dan menentukan calon-calon
pemimpin yang akan mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti di DPR,
DPRD, DPD juga presiden dan wakil presiden.
Pemilu 2019 diatur lebih lama. Sebagaimana digariskan oleh Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) Pasal 167
ayat (6): tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum
hari pemungutan suara. KPU menetapkan hari H pemungutan suara pada 17 April
2019. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
mewajibkan partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30% berjenis kelamin

3
perempuan dari total caleg di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Untuk Pemilihan Umum Tahun 2019, yaitu pemilu serentak pertama kali yang akan
dilaksankan di Indonesia, menggunakan dasar hukum UU No. 7 Tahun 2017 dan
juga ada PKPU Nomor 11 Tahun 2017.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu tidak hanya mengatur soal
penyelenggaraan pemilu legislatif, melainkan pemilu presiden dan wakil presiden.
Payung hukum permilu serentak 2019 ini merupakan hasil kodifikasi dari
tiga undang-undang pemilu yang ada: UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan UU No. 8
Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Terdapat beberapa ketentuan yang mengatur
soal keterwakilan perempuan dalam undang-undang ini

B. PEMBAHASAN

a) Konsep Gender

Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu cantik, lembut, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat
perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari
tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain,
itulah yang dikenal dengan konsep gender (Mansour Faqih, 1996:8-9).
Gender merupakan suatu konsep yang selalu berusaha membicarakan
masalah-masalah sosial laki-laki dan perempuan secara imbang. Selama ini
terkesan seperti membela perempuan dan selalu memperjuangkan hak-hak
perempuan, karena secara kuantitas dan kualitas memang kaum perempuan masih
tertinggal dan mengalami berbagai kendala untuk menuju kesetaraan dan keadilan
gender. Sementara yang dimaksud dengan konsep gender menurut Marhaeni
(2011:1-3) adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena
dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Sastryani (2009:165) mengatakan

4
gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, seks secara umum digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
biologis.

Kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 7


Tahun 2017 dan PKPU No. 11 Tahun 2017, hal ini memberikan konsekuensi
kepada partai politik peserta pemilu 2019 untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan
perempuan berdasarkan alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Apabila partai politik peserta pemilu
2019 tidak dapat memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan disetiap tingkatan
maka partai politik tersebut dinyatakan tidak memenuhi persyaratan pengajuan
bakal calon pada daerah pemilihan yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan
perempuan. Artinya, daerah pemilihan suatu partai politik akan dihapuskan apabila
tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan walaupun bakal calon lain
partai politik dalam daerah pemilihan tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan
Sejak diberlakukannya tindakan afirmasi untuk perempuan.

b) Konsep Affirmative Action

Affirmative action diartikan sebagai langkah strategis untuk mengupayakan


kemajuan dalam hal kesetaraan dan kesempatan bagi kelompok-kelompok tertentu
seperti kaum perempuan atau kelompok minoritas lain yang kurang terwakili dalam
posisi-posisi strategis di masyarakat. Kesetaraan dan kesempatan ini secara
eksplisit mempertimbangkan karakter khusus jenis kelamin atau kesukuan yang
selama ini menjadi dasar terjadinya diskriminasi (Soetjipto, 2005: 179). Tindakan
affirmative terhadap perempuan merupakan suatu pemahaman terhadap persoalan
politik perempuan yang intinya bukan untuk menguasai, saling menjajah atau saling
menjegal. Tindakan affirmative 30% merupakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan yang lebih besar, yaitu masyarakat yang demokrartis. Konsep affirmative
dalam prakteknya dilapangan dilaksanakan dengan sistem kuota. Sistem ini
memang banyak menimbulkan pro dan kontra tersendiri, menurut Melanie Reyes

5
adalah sebuah pilihan antara mendapatkan kutukan atau anugrah. Ada makna dalam
sistem kuota ini yaitu

(1) Sistem kuota pada dasarnya meletakan persentase minimum bagi kedua
jenis kelamin yakni laki- laki dan perempuan, untuk memastikan
adanya keseimbangan posisi dan peran gender dari keduanya dalam
dunia politik, atau khususnya dalam pembuatan keputusan.
(2) Sistem kuota dimaknai sebagai pemberian kesempatan dengan
memaksakan sejumlah presentase tertentu pada keleompok tertentu
(perempuan) sistem kuota ini pada dasarnya tidak memiliki basis
hukum yang kuat alias tidak konstitusional. Belum lagi pernyataan
yang menyatakan bahwa sistem kuota bertentangan dengan hak- hak
asasi manusia, dan bahkan merendahkan kemampuan perempuan itu
sendiri.

Ani Soetjipto (2005) berpendapat bahwa kebijakan affirmative, berbeda dengan


kuota karena kebijakan ini bukan hanya sekedar menetapkan persentase
tertentu dimana kebijakan affirmative mempunyai tiga sasaran yaitu :
(1) Memberikan dampak posisitif kepada suatu institusi agar lebih cakap
memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme dan
seksisme di tempat kerja
(2) Agar institusi tersebut mampu mencegah terjadinya bias gender maupun
bias ras dalam segala kesempatan
(3) Sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketika sasaran untuk mencapai
kegiatan telah tercapai, dan jika kelompok yang telah dilindungi
terintegrasi. Maka kebijakan tersebut bisa dicabut yang menjadi
penekanan dalam penelitian ini terhadap affirmative ini adalah adalah
persamaan dalam kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang
dicapai.

c) Partisipasi Politik Perempuan

6
Pengertian umum dari partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain
dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung,
memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan
hubungan atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen,
menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan dirrect action, dan
sebagainya. Hal ini sebagaimana dengan apa yang dikemukakan oleh Hebert
McClosky, Samuel P Huntington, dan Joan MNelson (dalam Miriam Budiardjo;
2008: 367), sebagai berikut: Menurut Hebert McClosky (dalam Miriam Budiardjo;
2008: 367) mengemukakan bahwa: Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam
proses pemilih penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum. Sedang Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson
(Miriam Budiardjo; 2008: 368) menyatakan bahwa: Partisipasi politik adalah
kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk
memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif terorganisir atau spontan,
mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan legal atau illegal, efektif
atau tidak efektif. Berbagai literatur mengenai perempuan dan politik
memperlihatkan bahwa terdapat berbagai alasan yang bisa menghambat perempuan
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, seperti: faktor ekonomi, sistem
kepartaian, mitos yang berkaitan dengan masalah sosial budaya, stereotip serta
segregasi gender dalam bidang pekerjaan. Selain alokasi peran dalam bidang politik
dan privat, beban ganda yang harus ditanggung perempuan yang mempunyai
keluarga, juga turut menghambat partisipasi perempuan dalam kehidupan politik.
Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya aset yang mereka miliki
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan pengambilan keputusan karena
kebanyakan perempuan berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan
sama sekali (Marhaeni; 2011: 30).

7
Huntington dan Joan Nelson membagi partisipasi politik dalam beberapa
bentuk seperti (1) aktivitas individu dalam kegiatan pemilihan umum, (2)
melakukan lobi politik atau pembicaraan politik dengan politikus atau pejabat
pemerintah atau anggota parlemen, (3) aktif dalam kegiatan organisasi sosial atau
organisasi sayap partai politik, (4) berusaha membangun jaringan politik, dan (5)
melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk huru hara, teror, kudeta
ataupemberontakan. Kegiatan-kegiatan itu telah mencakup berbagai kegiatan
warga negara dalam kehidupan politik untuk memengaruhi kebijakan politik.
Partisipasi politik memiliki tujuan yang tidak kalah pentingnya yaitu
memengaruhi kebijakan politikk atau kebijakan publik dalam segi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan politik merupakan strategi
pokok kehidupan suatu negara atau garis besar suatu negara yaitu apa yang
dilakukan oleh pemerintah yang didasarkan kepada hukum. Partisipasi dalam
memengaruhi kebijakan politik atau kebijakan publik itu, hanya dapat terjadi jika
politikus dan partai politiknya memenangi pemilihan umum termasuk pilpres atau
pemilukada. Salah satu tujuan yang sangat penting dan strategis dari seluruh
aktivitas sosialisasi politik dalam kaitanya dengan pemilahan umum bagi politikus
dan partai politiknya, ialaha memeroleh dan mempertahankan kekuasaan atau
kedudukan politik itu (Anwar Arifin, 2015:80-86).
Kondisi di lapangan partisipasi warga negara “perempuan” dalam bidang
politik masih rendah atau lemah. Walaupun secara eksplisit pasal 27 dan 28
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur kedudukan, hak dan kewajiban warga
negara dimata hukum dan pemerintahan. Secara kuantitatif masih sedikit sekali
perempuan yang secara aktif terlibat dalam bidang politik. Dalam proses
demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar,
representasi dan persoalan akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya
demokrasi yang lebih bermakna di Indonesia. Tuntutan bagi partisipasi dan
representasi perempuan yang lebih adil, sesungguhnya bukan hanya tuntutan
demokratisasi, tetapi juga prakondisi untuk menciptakan pemerintahan yang lebih
transparan dan akuntabel. Walaupun, saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah
banyak diakui, namun adanya hak-hak politik tersebut tidak menjamin adanya

8
pemerintahan/sistem politik yang demokratis dimana asas partisipasi, representasi
dan akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Ini artinya, adanya keterwakilan
perempuan didalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki
sensivitas gender, tidak serta merta terwujud meskipun hak-hak politik perempuan
sudah diakui.
Perempuan sebagai warga negara seharusnya dapat berpartisipasi secara
mandiri dalam proses demokrasi ini (Soetjipto; 2005: 24-27). Partisipasi perempuan
dalam dunia politik dan erat kaitannya dengan usaha mempunyai akses mereka
kepada kekuasaan. Oleh karena itu hanya dengan mempunyai akses besar,
perempuan dapat mencapai jabatan-jabatan dalam politik dan pemerintahan
(Muawanah; 2009: 157).

d) Peran Partai Politik dalam Affirmative Action

Partai politik adalah wadah untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan


gender. Dalam berbagai aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Partai politik
telah pula diberi kepercayaan dalam affirmative action, yaitu menguatnya
pemberdayaan politik perempuan dengan mendapat perwakilan sebesar 30%.
Munculnya affirmative action merupakan peluang bagi kaum perempuan untuk
dapat berpartisipasi di bidang politik. Sebagai wadah untuk berpartisipasi dalam
bidang politik, partai politik merupakan tempat yang tepat, karena di dalam partai
politik kaum perempuan mendapat pendidikan politik dan etika politik.
Partai politik adalah wadah bagi kaum perempuan untuk mendapat
pendidikan berpolitik, sarana partisipasi politik, komunikasi, dan menyiapkan
kader-kader pemimpin bangsa. Banyaknya partai politik yang muncul di era
reformasi merupakan peluang besar bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi di
sektor ini. Sebab adanya partisipasi perempuan dalam partai politik dibutuhkan
untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita, bahkan untuk meningkatkan
kepercayaan publik atas hasil politik (Sastriyani; 2009: 174-176).
Perempuan dan politik merupakan rangkaian kata yang sering kali
dijadikan slogan oleh partai politik menjelang pemilu. Slogan tersebut

9
dimaksudkan sebagai kampanye agar perempuan tertarik menyumbangkan
suaranya pada partai politik. Namun hal tersebut sepertinya hanya sebatas slogan,
karena saat pemilu berakhir partai politik lupa akan janjinya. Seperti yang dikutip
dalam buku Mulia dan Anik Farida (2005: 17), ada berbagai alasan dikemukakan
oleh para pemimpin partai politik perihal penurunan keterwakilan perempuan di
DPR, yaitu:

1) Partai politik kesulitan dalam merekrut anggota legislatif perempuan. Persoalan


tidak hanya pada kuantitas tetapi juga kualitas calon.

2) Parpol mengaku sulit mengajak perempuan terlibat dalam wacana politik, apalagi
mengajaknya terlibat dalam politik praktis.

e) Ketentuan Keterwakilan Perempuan Dengan Kuota 30% Dalam Pemilu


2019

UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan


Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, merupakan pengganti UU No.12 Tahun 2003. UU No.12 Tahun 2003
sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan, dan dinamika demokrasi
masyarakat, maka kemudian digantikan dengan UU No.10 Tahun 2008. Dalam hal
ini, sistem keterwakilan perempuan juga menjadi bagian dari UU No.10 Tahun
2008.
Sistem keterwakilan politik perempuan yang dikaitkan dengan Affirmative
Action, sebagai langkah solusi mengejar keterbelakangan dari kaum pria. Oleh
karena itu UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu menjadi landasan hukum pemilu
2009. Pasal 53 UU No.10 Tahun 2008 kembali memuat kuota 30% caleg
perempuan, ditambah dengan pasal 55 ayat 2 yang mencantumkan sistem zipper
atau di setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang
perempuan, dan pasal 214 mengenai penetapan calon terpilih yang masih tetap
berpatokan pada perolehan 30% BPP (bilangan pembagi pemilih) dan atau kembali
ke nomor urut (Marhaeni; 2011: 26). Sedang pemilu tahun 2014, sudah

10
diberlakukannya UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu. Kebijakan ini mewajibkan
partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30% berjenis kelamin perempuan
dari total caleg di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Untuk Pemilihan
Umum Tahun 2019, yaitu pemilu serentak pertama kali yang akan dilaksankan di
Indonesia, menggunakan dasar hukum UU No. 7 Tahun 2017 dan juga ada PKPU
Nomor 11 Tahun 2017.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu tidak hanya mengatur soal
penyelenggaraan pemilu legislatif, melainkan pemilu presiden dan wakil presiden.
Payung hukum permilu serentak 2019 ini merupakan hasil kodifikasi dari tiga
undang-undang pemilu yang ada: UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden,
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Legislatif. Terdapat beberapa ketentuan yang mengatur soal
keterwakilan perempuan dalam undang-undang ini diantaranya sebagai berikut:

Pasal 173 ayat (2) huruf e: menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; (Partai politik menjadi
peserta pemilu)

Pasal 245: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat
keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

Pasal 246 ayat (2): Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling sedikit 1 (satu) orang
perempuan bakal calon.

Penjelasan Pasal 246: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan
dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya,
tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.

Pasal 249 ayat (2): Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat keterwakilan
perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen), KPU, KPU Provinsi, dan KPU

11
Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki
daftar bakal calon tersebut.

Pasal 252 ayat (6): KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik
masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional.

Pasal 257 ayat (2): KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-
masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik
nasional.
Selain UU No. 7 Tahun 2017, Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 11
Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Pendaftaran Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur soal keterwakilan
perempuan dalam undang-undang ini diantaranya sebagai berikut:

Pasal 10 Ayat (1) huruf e.: menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, dan
memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota;

Pasal 17 Ayat (1) huruf e: surat pernyataan dari Pimpinan Partai Politik tingkat
pusat tentang penyertaan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, dan memperhatikan 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat
provinsi dan kabupaten/kota sebagai bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e, dengan menggunakan formulir MODEL
F3-PARPOL dan formulir LAMPIRAN MODEL F3-PARPOL, yang dibuat dalam
1 (satu) rangkap asli yang dibubuhi cap basah;

12
Pasal 21 huruf e: surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik
tingkat pusat yang menyatakan keterwakilan perempuan telah memenuhi jumlah
paling sedikit 30% (tiga puluh persen) pada kepengurusan Partai Politik tingkat
pusat, dan memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota;

Pasal 33 ayat (2): Verifikasi Faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk membuktikan keabsahan dan kebenaran persyaratan Partai Politik calon
Peserta Pemilu yang meliputi: a. jumlah dan susunan kepengurusan Partai Politik
di tingkat provinsi; b. pemenuhan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan
pada kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi; dan c. domisili Kantor Tetap
kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi sampai dengan tahapan terakhir
Pemilu.

Pasal 43 ayat (5): Partai Politik tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat daerah
kabupaten/kota melakukan perbaikan persyaratan kepengurusan, keterwakilan
perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen), dan Kantor Tetap paling lama 5
(lima) Hari setelah pemberitahuan hasil Verifikasi Faktual.

Pasal 51: KPU menyampaikan pemberitahuan kepada Partai Politik yang tidak
memenuhi persyaratan dan tidak ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan disertai
alasannya.

Pasal 55 ayat (1): KPU Provinsi/KIP Aceh melakukan Verifikasi Faktual terhadap
kepengurusan, 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan dan Kantor Tetap
Partai Politik tingkat daerah provinsi pada daerah provinsi yang dibentuk setelah
tahapan verifikasi Partai Politik pada Pemilu Terakhir.

13
Pasal 60: KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota melakukan
Verifikasi Faktual hasil perbaikan terhadap dokumen persyaratan hasil Penelitian
Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dengan menempuh prosedur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 44.

Pasal 61 ayat (1): Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan telah
memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu setelah melalui Verifikasi Faktual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ditetapkan sebagai Partai Politik peserta
Pemilu dengan Keputusan KPU.

f) Perempuan dan Politik Dalam Pemilu 2019

Dewasa ini perempuan dikonstruksikan secara sosial dan politik agar


mempunyai label-label tertentu dengan kecenderungan hanya berada pada ranah
privat yang tidak berhubungan dengan dunia politik. Hambatan yang dialami oleh
kaum perempuan untuk terjun ke dunia politik dua kali lebih besar dibandingkan
laki-laki. Kaum perempuan dituntut untuk mempunyai kualitas dan standar yang
sama dengan laki-laki. Dalam kondisi yang masih dipengaruhi oleh faham patriarki
ini tentu akan sulit bagi perempuan untuk mencapai standar tersebut (Sastriyani;
2009: 171).
Kesenjangan gender atau ketidakadilan gender merupakan bentuk
perbedaan diantara perempuan dan laki-laki didalam segala bidang yang bersumber
pada konstruksi sosial. Budaya masyarakat Indonesia yang patriarki menjadi sunber
terciptanya ketidakadilan gender, khususnya di bidang politik. Patriarki merupakan
konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting yang ada
di dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis,
perawatan kesehatan, iklan, agama, dan lain sebagainya. Selain hukum hegemoni
patriarki di atas, keseimbangan gender juga disebabkan karena sistem kapitalis yang
berlaku, yaitu siapa yang mempunyai modal besar itulah yang menang. Hal ini
mengakibatkan kaum laki-laki yang dilambangkan lebih kuat dari pada kaum
perempuan akan mempunyai peran dan fungsi yang lebih besar (Handayani, dkk;
2008: 11).

14
Walaupun ada regulasi yang menjamin hak-hak politik perempuan, namun
implementasinya banyak keterbatasan dan kendala baik itu akibat dari nilai-nilai
budaya yang ada dimasyarakat, maupun kendala teknis yang ada di lapangan, masih
rendahnya tingkat pendidikan, dan pemberdayaan perempuan akan pendidikan
politik juga belum optimal. Menurut Chusnul Mar’iyah (2001: 55-56) kendala
perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh banyaknya pengalaman yang
dihadapi perempuan baik di lingkungan politik, sosial, maupun budayanya.
Kendala-kendala tersebut antara lain:

(1) Kendala politik:

(a) Laki-laki mendominasi arena politik, memformulasikan aturan main dan


mendefinisikan standar evaluasi yang mempersulit posisi perempuan. Apakah
harus menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik bergaya laki-laki.
(b) Kurangnya dukungan partai politik, dana, akses ke kekuasaan, dan jaringan
politik serta adanya standar ganda.
(c) Kurang terbangunnya network di antara perempuan.
(d) Kurangnya pendidikan politik bagi perempuan (sosialisasi).
(e) Masalah sistem pemilihan umum, yang seharusnya dapat mengangkat posisi
keterwakilan perempuan secara politis.

(2) Kendala sosio-ekonomi

(a) The Feminization of Poverty atau feminisasi kemiskinan. Mayoritas dari 1, 5


miliar penduduk dunia yang hidup dengan satu dolar atau kurang dalam sehari
adalah perempuan.
(b)Beban ganda secara sosial. Peran perempuan dalam kehidupan domestik belum
tergantikan oleh pria. Konsep peran ganda perlu dikritisi karena sesungguhnya yang
terjadi bukanlah peran tetapi beban ganda. Perempuan berfungsi dalam kehidupan
publik dan domestik pada saat yang sama.

15
(3) Kendala Ideologis dan Psikologis

(a) Ideologi gender yang disosialisasikan oleh budaya, agama, maupun Negara.
(b) Kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri.
(c) Masih adanya persepsi perempuan bahwa politik itu “kotor”.
(d)Opini perempuan yang dibangun oleh media massa.

g) Staganansi Kebijakan Affirmative Action 30% Keterwakilan Perempuan


Dalam Pemilu 2019

Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan 2017 merupakan tahun yang


stagnan bagi agenda afirmasi perempuan. UU No.7/2017 tak menambah penguatan
apapun bagi perempuan dalam regulasi pemilu. Keadaan bergeming ini malah
mungkin melemahkan karena konteks pemilu serentak. Afirmasi perempuan dalam
UU Pemilu tetap dalam kepengurusan utama dan umum partai politik. Tak ada
afirmasi perempuan pada posisi Ketua Umum, Sekjend, dan Bendahara Umum
dalam kelembagaan parpol. Kehadiran perempuan minimal 30% di kepengurusan
parpol pun hanya diwajibkan di tingkat pusat. Dalam implementasi bisa jadi
kemunduran karena Peraturan KPU di Pemilu 2014 bisa memaksa parpol
menghadirkan perempuan minimal 30% hingga tingkat kabupaten/kota. Afirmasi
perempuan dalam pencalonan dan keterpilihan pemilu legislatif pun berkeadaan
tetap. Pada Pemilu DPR dan DPRD, diwajibkan 30% caleg perempuan dengan
selang seling 1:3. Keterpilihan perempuan diprioritaskan dalam Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD jika dalam satu dapil perolehan suaranya sama dengan caleg lelaki.

Afirmasi perempuan di luar parpol pun stagnan. UU Pemilu hanya


mengamanatkan kehadiran perempuan dengan istilah "memperhatikan" dalam tim
seleksi penyelenggara pemilu dan pemilihan anggota penyelenggara pemilu dari
tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Konteks pemilu serentak di 2019 malah
berpotensi melemahkan keadaan tetap afirmasi perempuan. Di 2014 dan
sebelumnya, saat pemilu DPR, DPD, dan DPRD masih terpisah dengan pemilu

16
presiden, caleg perempuan sulit terpilih karena tertutup dominasi parpol dan caleg
lelaki. Di 2019, caleg perempuan makin tertutup karena bersamaan dengan
kampanye capres-cawapres.

C. PENUTUP

Simpulan

Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu cantik, lembut, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, perkasa, dan jantan. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat
perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari
tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain,
itulah yang dikenal dengan konsep gender (Mansour Faqih, 1996:8-9). Affirmative
action diartikan sebagai langkah strategis untuk mengupayakan kemajuan dalam
hal kesetaraan dan kesempatan bagi kelompok-kelompok tertentu seperti kaum
perempuan atau kelompok minoritas lain yang kurang terwakili dalam posisi-posisi
strategis di masyarakat. Kesetaraan dan kesempatan ini secara eksplisit
mempertimbangkan karakter khusus jenis kelamin atau kesukuan yang selama ini
menjadi dasar terjadinya diskriminasi (Soetjipto, 2005: 179).
Perempuan sebagai warga negara seharusnya dapat berpartisipasi secara
mandiri dalam proses demokrasi ini (Soetjipto; 2005: 24-27). Partisipasi perempuan
dalam dunia politik dan erat kaitannya dengan usaha mempunyai akses mereka
kepada kekuasaan. Oleh karena itu hanya dengan mempunyai akses besar,
perempuan dapat mencapai jabatan-jabatan dalam politik dan pemerintahan
(Muawanah; 2009: 157).
Untuk Pemilihan Umum Tahun 2019, yaitu pemilu serentak pertama kali
yang akan dilaksankan di Indonesia, menggunakan dasar hukum UU No. 7 Tahun
2017 dan juga ada PKPU Nomor 11 Tahun 2017. UU No. 7 Tahun 2017 tentang
pemilu tidak hanya mengatur soal penyelenggaraan pemilu legislatif, melainkan

17
pemilu presiden dan wakil presiden. Payung hukum permilu serentak 2019 ini
merupakan hasil kodifikasi dari tiga undang-undang pemilu yang ada: UU No. 42
Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif.
Terdapat beberapa ketentuan yang mengatur soal keterwakilan perempuan dalam
undang-undang.
Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan 2017 merupakan tahun yang
stagnan bagi agenda afirmasi perempuan. UU No.7/2017 tak menambah penguatan
apapun bagi perempuan dalam regulasi pemilu. Keadaan bergeming ini malah
mungkin melemahkan karena konteks pemilu serentak. Afirmasi perempuan dalam
UU Pemilu tetap dalam kepengurusan utama dan umum partai politik. Tak ada
afirmasi perempuan pada posisi Ketua Umum, Sekjend, dan Bendahara Umum
dalam kelembagaan parpol. Kehadiran perempuan minimal 30% di kepengurusan
parpol pun hanya diwajibkan di tingkat pusat.

Saran
Dalam penulisan ini ada beberapa yang penulis sampaikan sebagai saram
diantaranya adalah:

1. Regulasi yang jelas dan tegas terkait penerapan kebijakan affirmative action
yang mewajibkan semua entitas terkait untuk melaksanakannya.
2. Mendorong partai politiks sebagai “main gate keepers of democracy” untuk
menerapkan secara konsisten kebijakan affirmative action disertai dengan
aktivitas pendidikan politik yang intensif dan proses rekrutmen yang mendukung
penguatan kapasitas wakil-wakil perempuan.
3. Pemberdayaan perempuan yang berkelanjutan untuk memperkuat klaim mereka
mengakses hak memperoleh posisi di institusi politik atau birokrasi.
4. Intensif kampanye publik melalui media atau mobilisasi jejaring gerakan
perempuan untuk menggalang dukungan tentang pentingnya keterlibatan kaum
perempuan dalam kehidupan politik.

18
5. Pendidikan politik untuk semua kalangan masyarakat yang berfokus pada upaya
menghilangkan hambatan ideologis dan kultural bagi kaum perempuan untuk
aktif di ranah publik.
6. Kaum perempuan seharusnya dapat lebih meningkatkan kiprahnya ke bidang
politik praktis, agar dapat lebih memperjuangkan kepentingan-kepentingan
kaum perempuan dan anak-anak yang seyogyanya lebih dipahami kaum
perempuan daripada kaum laki-laki. Karena pada dasarnya antara laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama sebagai warga negara
Indonesia.
7. Partisipasi dari berbagai pihak baik pemerintah, partai politik, ataupun individu
untuk menghapus budaya patriarki di Indonesia.

19
Daftar Pustaka

Arifin, Anwar. 2015. Perspektif Ilmu Politik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.


Soetjipto, Ani Widyani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Melanie Reyes et all. 2000. The quota system: Women’s Boon or bane? The centre
for legislative development. 1(3).
Sastriyani, Siti Hariti. 2009. GENDER and politics. Yogyakarta: Penerbit Tiara
Wacana.
Fakih, Mansour. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996.

Astuti, Tri Marhaeni Pudji. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas


Sosial. Semarang: UNNES Press.

Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2008. Konsep Dan Teknik Penelitian Gender.
Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Arifin, Anwar. 2015. Perspektif Ilmu Politik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Muawanah, Elvi. 2009. Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:
Penerbit TERAS.
Mulia, S. Musdah dan Anik Farida. 2005. Perempuan & Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran,
Verifikasi, dan Pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.

20

Anda mungkin juga menyukai