Anda di halaman 1dari 7

Search...

Informasi Papua

Blog Informasi Tentang Papua Dan Papua barat

 Home
 Berita
 Artikel
 Sejarah
 Wisata
 Bola
 Tradisional

SEJARAH KEMBALINYA PAPUA KE PANGKUAN NKRI

Peristiwa sejarah 1 Mei 1963 di Papua, Bendera Indonesia dikibarkan berdampingan dengan Bendera UNTEA (PBB).
Foto : Dok. Kemenlu

Salah satu akar persoalan mengapa Papua terus bergolak adalah perdebatan tentang
pelaksanaan Referendum Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969.
Banyak generasi muda Papua yang belum sepenuhnya memahami mengapa PEPERA harus
digelar. Peristiwa politik inilah yang membedakan sejarah integrasi Papua berbeda dengan
daerah lainnya. Mengapa?
Karena walaupun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaanya dari Sabang sampai
Merauke pada 17 Agustus 1945, namun Belanda tetap keras kepala, tak mau angkat kaki dari
bumi Papua. Berikut ini sebagaian dari upaya-upaya yang telah dilakukan bangsa Indonesia
untuk mengusir penjajah Belanda dari Tanah Papua :

1. Konferensi Meja Bundar 1949

Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau hengkang
dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda. Salah satunya adalah melalui
Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini berlangsung di Den Haag Belanda tanggal 23
Agustus 1949. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah
wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan
NKRI 2 (dua) tahun kemudian.

KMB itu diikuti dengan Pengakuan dan Penyerahan kekuasaan atas wilayah jajahan
Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu
dilakukan secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama berlangsung di Amsterdam,
di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, sekaligus perdana menteri,
sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda.
Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi mahkota
Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana
menteri Indonesia.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/upacara-ketiga-dan-sumber-kedaulatan-indonesia

2. Trikora

Isi kesepakatan KMB dalam kenyataannya diingkari oleh Belanda sendiri. Belanda tidak
hanya sekedar bertahan di Papua, tetapi lebih dari itu, mempersiapkan langkah-langkah
untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI. Dewan nasional Papua dibentuk oleh
belanda (cikal bakal Organisasi Papua Merdeka (OPM)) dan dimerdekakan secara
tergesa-gesa lalu dilanjutkan pendeklarasian negara boneka buatan Belanda ini pada
tanggal 1 Desember 1961.

Kelicikan Belanda membentuk negara bonekanya di papua itu, tentu saja membuat bangsa
Indonesia berang. Maka pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara
Jogjakarta, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan Trikora ( Tri Komando Rakyat) untuk
mengembalikan Irian Barat kepangkuan Negara Republik Indonesia. Konfrontasi dengan
Belandapun tak terhindarkan.

3. New York Agreement

Melalui upaya diplomasi yang alot yang difasilitasi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa),
Belanda akhirnya mau menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia pada
tanggal 15 Agustus 1962. Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan
Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi kesepakatan itu intinya memuat road
map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian (20 September
1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA antara Indonesia dengan Belanda tetapi
pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku,karena PBB terlibat. Maka PBB pun
membawa Persetujuan bilateral (NYA) ini ke dalam forum PBB, yang kemudian diterima dan
dikukuhkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21
September 1962. Agar Belanda tidak kehilangan muka, perundingan New York (NYA) mengatur
penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua dilakukan secara tidak langsung.
Belanda menyerahkannya kepada PBB, baru setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah
Indonesia melalaui referendum (PEPERA). Maka terjadilah pada 1 Oktober 1962, wakil
gubernur jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada
sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua tersebut. Badan
PBB itu bernamaUNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Pada acara
penyerahan itu, H. Veldkamp mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan Indonesia akibat
persetujaun Internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw
Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : Penguasa sementara
perserikatan bangsa-bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah
suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat
pertanggunganjawab atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya.”

(Mangasi Sihombing, 2006:32).

4. Referendum (PEPERA)

UNTEA lalu mempersiapkan referendum. Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan
pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat
kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei
ini hingga kini diperingati sebagai Hari kembalinya Papua ke dalam NKRI. Tiga hari kemudian,
tepatnya 4 Mei 1963 Bung Karno menjejakkan kakinya di Tanah Papua. Di hadapan ribuan orang Papua
di Kota Baru, Bung Karno dengan semangat membara menyampaikan pidato : “Irian Barat sejak 17
Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata,
memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu
sudah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru,
Jayapura, tanggal 4 Mei 1963) Pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai
“daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua
dan lagu kebangsaan Papua yang di bentuk oleh belanda. Keputusan ini ditentang oleh Organisasi
Papua Merdeka (OPM). Proses persiapan referendum memakan waktu tujuh tahun. Baru pada tahun
1969, referendum (PEPERA) digelar dengan disaksikan oleh dua utusan PBB. Hasilnya,Papua akhirnya
kembali ke pangkuan NKRI. Maka jadilah Papua menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian
Jaya. Namun keputusan ini lagi-lagi ditentang OPM dan sejumlah pengamat independen yang
diprovokasi Belanda. Negara-negara Barat yang dimotori Amerika Serikat mendukung hasil PEPERA itu
punya alasan karena tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak Uni Soviet (lawan mereka). Inipun
belum berakhir, Hasil PEPERA harus diuji dalam Sidang Majelis Umum PBB. Dan, lagi-lagi sejarah
mencatat, PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah Resolusi Majelis Umum PBB No.
2504 tanggal 19 Oktober 1969. Bahwa kemudian PEPERA diragukan keabsahannya, itu adalah bahasa
kecewa sekelompok aktivis Papua yang sengaja di bentuk dan dibiayai oleh Belanda yang lahir jauh
setelah PEPERA disahkan. Mereka terus berupaya agar di Tanah Papua dilakukan referendum ulang.
Padahal mereka tahu bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka kepada generasi muda Papua yang
sadar sejarah, mari kita fokus membangun Papua untuk semakin maju dan sejahtera.

Isi Rencana Bunker, antara lain sebagai berikut:

1. Pemerintahan Irian Barat harus diserahkan kepada RI melalui badan PBB yang disebut
United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA).
2. Adanya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat.

Sebagai tindak lanjut Rencana Bunker, pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York diadakan
perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang disebut Perjanjian New York. Penandatanganan
Perjanjian New York dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Subandrio mewakili RI dengan Van
Royen dan Schurmann yang mewakili Belanda. Sedangkan Sekjen PBB U Thant dan Bunker
menyaksikan penandatanganan tersebut.
Isi perjanjian New York adalah sebagai berikut:

1. Setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dan Belanda, paling lambat 1 Oktober
1962 UNTEAakan berada di Irian Barat, dan bendera Belanda diganti bendera PBB.
2. Pasukan-pasukan Indonesia yang sudah berada di Irian Barat tetap tinggal di Irian Barat,
tetapi berstatus di bawah kekuasaan pemerintah sementara PBB.
3. Angkatan perang Belanda secara berangsur-angsur dikembalikan, bagi yang belum
pulang di tempatkan di bawah pengawasan PBB dan tidak boleh dipakai untuk operasi-
operasimiliter.
4. Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainya berlaku lalu lintas bebas.
5. Pada tanggal 31 Desember 1962 bendera Indonesia mulai berkibar di samping bendera
PBB.
6. Pemulangan anggota-anggota sipil dan militer Belanda harus sudah selesai pada tanggal 1
Mei 1963, dan selambat-lambatnya pada hari itu juga Pemerintah RI secara resmi
menerima pemerintahan di Irian Barat dari Pemerintahan sementara (UNTEA)

Tahapan
Lebih jauh mengenai metode sejarah lihat Helius Sjamsuddin., “Metodologi Sejarah”. dan
Kuntowijoyo. “Pengantar Ilmu Sejarah”. Dalam metode sejarah, terdapat empat tahapan yang harus
dilewati. Keempat tahapan tersebut yakni heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi,
dan historiografi (Lubis, 2011: 15-16).

Berikut Keempat tahpan tersebut.

Keempat tahapan dalam metode sejarah (historical method) adalah (1) tahapan heuristik, (2)
tahapan kritik, eksternal dan kritik internal

1.Heuristik
Tahapan yang pertama adalah heuristik. Heuristik berasal dari bahasa Yunani “heuriskein” yang
berarti menemukan atau memperoleh (Renier, 1997:113 dalam Lubis, 2011:17).Sejarawan Nina
Herlina Lubis (2011:15) mendefinisikan heuristik sebagai tahapan / kegiatan menemukan dan
menghimpun sumber, informasi, jejak masa lampau. Jadi, heuristik merupakan tahapan proses
mengumpulkan sumber – sumber sejarah. Di samping sumber tertulis, terdapat pula sumber
lisan. Menurut Sartono Kartodirjo, sejarah lisan merupakan cerita-cerita tentang pengalaman
kolektif yang disampaikan secara lisan (Dienaputra, 2006:12). Sejarah lisan diperlukan untuk
melengkapi sumber – sumber tertulis. Dalam sejarah lisan, terdapat informasi – informasi yang
tidak tercantum dalam sumber – sumber tertulis. Untuk mendapatkan informasi – informasi itu,
penulis harus melakukan wawancara dengan naarsumber yang disebut sebagai pengkisah dengan
menggunakan alat rekam dan kaset (Dienaputra,2006:35).
Source : https://id.wikipedia.org/wiki/Metode_sejarah
Edited by Adimin

2.Kritik
Kritik Eksternal (Luar)

Kritik Eksternal adalah usaha mendapatkan otentisitas sumber dengan melakukan penelitian fisik
terhadap suatu sumber. Kritik eksternal mengarah pada pengujian terhadap aspek luar dari
sumber. Otentisitas mengacu pada materi sumber yang sezaman. Jenis-jenis fisik dari materi
sumber, katakan dokumen atau arsip adalah kertas dengan jenis, ukuran, bahan, kualitas, dan
lain-lain. Dokumen ditulis dengan tangan atau diketik, ataukah ketik komputer. Demikian pula
jenis tintanya apakah kualitas bagus, atau jenis isi ulang.

Akan diragukan jika dikatakan dokumen pada masa Penjajahan Jepang digunakan kertas kualitas
bagus, sebab pada waktu itu ada dalam kondisi perang dan semuanya serba mengalami
penurunan kualitas. Jadi, kritik eksternal adalah kritik fisik yang sesuai dengan anak zaman.

Kritik internal (Dalam)

Kritik Internal adalah kritik yang mengacu pada kredibilitas sumber, artinya apakah isi dokumen
ini terpercaya, tidak dimanipulasi, mengandung bias, dikecohkan, dan lain-lain. Kritik internal
ditujukan untuk memahami teks. Pemahaman isi teks diperlukan latar belakang pikiran dan
budaya penulisnya. Mengapa demikian karena apa yang tersurat sangat berbeda dengan yang
tersirat diperlukan pemahaman dari dalam (from within).

Isi teks sering multi interpretable, bermakna ganda dan sering dimaksudkan sesuai dengan sudut
pandang penulisnya. Dalam teks itu banyak hal yang tersembunyi dan tidak disampaikan dalam
bahasa lugas, tetapi dalam bahasa tertutup dan penuh metafora. Tugas peneliti teks adalah
membuka ketertutupan ini sehingga menghasilkan informasi terpercaya. Dengan kata lain,
peneliti harus mampu membuka “amplop informasi”.

Jika seorang mahasiswa kos menulis surat dengan istilah mengalami “kecelakaan” kepada orang
tuanya di kota lain, maka orang tuanya harus membuat interpretasi terhadap hal-hal yang tersirat
dari suratnya itu. Kata “kecelakaan” harus dikaitkan dengan konteksnya, misalnya untuk
perbaikan sepeda motornya yang lecet minta dikirim 25 juta rupiah. Ada apa dengan kata
“kecelakaan”?
Source : http://alanzuhri17.blogspot.co.id/2013/01/kritik-sumber-sumber-sejarah_3.html
Edited by Admin

3.Interpretasi
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahapan / kegiatan menafsirkan
fakta-fakta serta menetapkan makna dan saling hubungan daripada fakta-fakta yang diperoleh
(Herlina, 2011:15). Terdapat dua macam interpretasi, yakni analisis yang berarti menguraikan
dan sintesis yang berarti menyatukan. Melalui tahapan interpretasi ini lah, kemampuan
intelektual seorang sejarawan benar – benar diuji. Sejarawan dituntut untuk dapat berimajinasi
membayangkan bagaimana peristiwa pada masa lalu itu terjadi. Namun, bukan berarti imajinasi
yang bebas seperti seorang sastrawan. Imajinasi seorang sejarawan dibatasi oleh fakta – fakta
sejarah yang ada.
4.Historiografi
Tahapan yang keempat adalah historiografi. Historiografi (Gottschalk, 2006:39) adalah proses
rekonstruksi yang imajinatif masa lampau berdasarkan fakta yang diperolah dengan menempuh
proses menguji dan menganalisis secara kritis. rekaman dan peninggalan masa lampau. Dalam
melakukan penulisan sejarah, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan.
Pertama, penyeleksian atas fakta-fakta, untaian fakta-fakta, yang dipilihnya berdasarkan dua
kriteria: relevansi peristiwa-peristiwa dan kelayakannya. Kedua, imajinasi yang digunakan untuk
merangkai fakta-fakta yang dimaksudkan untuk merumuskan suatu hipotesis (Reiner, 1997:194
dalam Herlina, 2011:57). Ketiga, kronologis. Dalam tahapan historiografi ini lah, seluruh
imajinasi dari serangkaian fakta yang ada dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Potongan –
potongan fakta sejarah ditulis hingga menjadi sebuah tulisan kisah sejarah yang kronologis.
Tahapan – tahapan metode sejarah mempermudah sejarawan dalam melakukan penelitian. Mulai
dari proses pengumpulan sumber – sumber, memilih sumber – sumber asli, menginterpretasikan
sumber – sumber, hingga penulisan sejarah

Anda mungkin juga menyukai