Anda di halaman 1dari 11

1

BAB II
HMI MENJELANG INTEGRASI IRIAN BARAT
KE DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA 1966-1969

Mengungkap keberadaan sekaligus perjalan HMI di Tanah Papua, khususnya


era menjelang integrasi Irian Barat ke dalam NKRI, maka ada 2 (dua) pendekatan
yang digunakan, yakni (1) pendekatan tokoh (prominent figure approach), dan (2)
pendekatan peristiwa (case approach). Dimaksud dengan pendekatan tokoh adalah
pengungkapannya berdasarkan atas peran tokoh (figure) dari seseorang dalam hal
ini ketokohan Endang Adi Salmaya, ketokohan M. Sirajuddin Jacob, ketokohan
Drs. Kadirun Kusuma dan beberapa tokoh lain yang berperan dalam pendirian
(pembentukan) dan membawa HMI di awal perjalanannya di Tanah Papua (Irian
Barat). Sementara dimaksud dengan pendekatan peristiwa atau pendekatan kasus
adalah pengungkapan keberadaan dan perjalanan HMI di Tanah Papua (Irian Barat
kala itu) melalui peristiwa-peristiwa penting bersejarah dalam hal ini adalah
peristiwa pencanangan Trikora pada 19 Desember 1962 di Yogyakarta oleh
Presiden Soekarno sebagai bagian dari taktik dan strategi Indonesia dalam upaya
mengintegrasikan kembali Irian Barat serta implementasinya, dan peristiwa-
peristiwa menjelang dan pada saat pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera).
Kedua pendekatan (tokoh dan peristiwa) seperti diungkap di atas, tidak
dimaksudkan untuk dijabarkan secara terpisah, melainkan saling terjalin satu
dengan yang lainnya (inherently), sehingga diharapkan memberikan gambaran
yang utuh tentang perjalanan awal HMI di Tanah Papua yakni era menjelang
integrasi Irian Barat ke dalam NKRI. Selain kedua pendekatan tersebut, dalam
mengungkap perjalanan awal HMI di Tanah Papua era menjelang integrasi Irian
Barat ke dalam NKRI juga didukung dengan dokumen pendukung (berupa foto-
foto kegiatan, surat-surat, piagam-piagam), yang digunakan sebagai sarana (media)
justifikasinya.
2

2.1 Endang Adi Salmaya Pemegang Mandat PB-HMI


Di dalam mengungkap perjalanan HMI menjelang Integrasi Irian Barat
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, maka tercatat nama Endang Adi Salmaya
(EAS) datang ke Irian Barat tepatnya di Sukarnapura (sekarang Jayapura)
pada September 1962 sebagai sukarelawan dari Jakarta.
EAS tergabung dalam Satuan Brigade Pembangunan Pendidikan
Sukarelawan Irian Barat Irbar) yang dibentuk langsung Presiden Republik
Indonesia Ir. Soekarno bergabung bersama Prof. Dr. Sugarda Purbakawatja
yang berjasa mendirikan Universitas Cenderawasih Pada 10 Nopember 1962 di
Kota Baru (sekarang Jayapura), dibantu oleh M.Saleh Siroen. EAS tercatat
juga sebagai mahasiswa Uncen 1962,
EAS dalam perjalanan selanjutnya kemudian dikaryakan sebagai
karyawan Departemen Penerangan (Deppen) Irbar dan bekerja sebagai
wartawan pada “Harian Tjenderawasih Irian Barat” bersama salah seorang
temannya bernama Djamaluddin yang juga sebagai wartawan Harian
Tjenderawasih Irian Barat.

2.2 M. Sirajuddin Jacob Sukarelawan Irian Barat


Perkembangan lebih lanjut dalam penelusuran awal perjalanan HMI di
Tanah Papua adalah berkaitan erat dengan tercatatnya nama M.Sirajuddin
Jacob (MSJ) sukarelawan yang dilatih (dipersiapkan) di Surabaya Jawa Timur
dan masuk (diterjunkan) ke Irian Barat tepatnya di Kota Baru (sekarang
Jayapura) pada sekitar Agustus 1962. Dijelaskan oleh MSJ bahwa salah satu
motivasi terbesar diterjunkan sukarelawan ke Irian Barat ialah sebagai bagian
penting dari melaksanakan Tiga Komando Rakyat yang dikenal dengan
3

Trikora1 yang telah diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia Ir.


Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Lapangan Ikada Yogyakarta.
Sesudah diumumkan Trikora 1962 dan sesudah penyerahan kedaulatan 1
Mei 1963, yakni awal tahun 1964 sekitar bulan Februari para Sukarelawan ada
sebagian yang ditarik ke Jakarta, dan saat itu oleh Pemerintahan Indonesia
memberi 3 (tiga) opsi kepada para sukarelawan yakni (1) masuk menjadi TNI
dengan pangkat Serma, atau (2) pegawai negeri, atau (3) disekolahkan dengan
beasiswa pemerintah Irian Barat.
MSJ memiliih untuk beasiswa, dan masuk Universitas Indonesia Tahun
1964 fakultas hukum, pada saat itulah MSJ bertemu dgn kawan seangkatan
basic training HMI dari Fakultas Teknik Akbar Tanjung. Dengan demikian
pada saat penyerahan mandat dari EAS kepada MSJ 1968 MSJ sudah menjadi
anggota HMI. Pada akhir tahun 1967 MSJ berhasil menyelesaikan studinya
pada tingkat Sarjana Muda Hukum (Sm.Hk) dan kembali ke Jayapura Irian
Barat.
Setelah MSJ tamat tingkat Sarjana Muda Hukum kemudian bekerja
sebagai Wakil Kepala Personalia PT Cell Proteleum Company sampai
Agustus 1968. Di pemerintahan MSJ kemudian dalam perjalanan kariernya
sebagai Lurah Gurabesi Kabupaten Jayapura pertama sampai tahun 1974 dan
pernah sebagai Lurah Teladan 1973.
MSJ pernah mengikuti Upgrading Pengurus HMI se Indonesia pada
tahun 1971 di Jakarta. MSJ juga ikut dalam aksi demonstrasi Tritura 1966 di
bawah pimpinan Arief Rahman Hakim yang akhirnya gugur sebagai pahlawan
Ampera. Bersamaan dengan gugurnya Arif Rahman Hakim saat itu ada tujuh
teman MSJ lain yang gugur tertembak oleh Pasukan Pengamanan Presiden

1
Trikora adalah dikumandangkan Presiden RI Ir. Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember
1961 yang berisi 3 (tiga) point utama yakni (1) Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan
Belanda Kolonial, (2) Kibarkanlah sang saka Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia, (3)
Bersiaplah untuk Mobilisasi Umum..
4

(Paspampres) atau dulu dikenal dengan Pasukan Cakrabirawa pada 24 Februari


1966.

2.3 Pendirian HMI Cabang Jayapura Di Tengah Karantina Politik Irian Barat
Pendirian HMI Cabang Jayapura di Irian Barat sekitar (masih dicari/ditelusuri
kebernarannya) 14 Juli 1968 (persis setahun sebelum pelaksanaan Pepera)
menempuh jalan yang berliku dan penuh tantangan, bahkan bisa dibilang bersiko
tinggi. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah di Irian Barat setelah
penyerahan kedaulatan 1 Mei 1963 dari United Nation Temporary Executive
Authority (UNTEA, pemerintahan sementara PBB di Irian Barat) kepada
Indonesia mestilah dipenuhi syarat-syarat ketat sebagaimana dimaksud dalam
Perjanjian (kesepakatan) New York (New York Agreement), syarat dimaksud
adalah Irian Barat adalah Wilayah Karantina Politik yakni sejak tanggal 5
September 1963.
Situasi Karantina Politik di Irian Barat itu tidak mengurangi semangat para
tokoh untuk mendirikan HMI di Irian Barat. Di dalam situasi Karantina Politik
muncul dua orang tokoh HMI seperti yang disebutkan di atas yakni EAS dan
MSJ, serta tercatat pula nama Umar Said Assyarti (USA) juga seorang
sukarelawan yang masuk di Irian Barat tahun 1965, bahkan pernah menjadi
mahasiswa Univesitas Cenderawasih (Uncen) 1965. USA pada saat pembentukan
Agustus 1968 berposisi sebagai Wakil Ketua HMI Cabang Jayapura. Sedangkan
Sekretaris Umum HMI Cabang Jayaura ketika itu adalah MSJ, dengan 2 (dua)
orang Wakil Ketua yakni Musa Ridha Badrun2, Muchtar Daud. Di deretan wakil
sekretaris adalah Achmad Badjari Alhudaifi, bendahara Susilo pembantu umum
EAS, Djamaluddin. Tercatat nama-nama teman HMI dari cabang Makassar yang
bergabung dengan HMI Cabang Jayapura 1968 seperti Sulenar dan Farid. Untuk

2
Musa Ridha Badrun dalam perjalanan selanjutnya pernah menjabat sebagai kepala kecamatan (Camat)
Sentani Kabupaten Jayapura selama kurang lebih 10 tahun mulai tahun 1973. Sepanjang karier
pemerintahannya mengabdi di Papua sampai tiba masa pensiunnya.
5

kepentingan penggalangan masa dibantu oleh Letda Shintong Pandjaitan dan


Kapten Faisal Tandjung dari kesatuan POM.
Diceritakan kembali bahwa pada tahun 1965 ketika para sukarelawan
mendapat cuti ke Jakarta, EAS ketemu dr. Sulastomo Ketua PB HMI dan oleh
Sulastomo menitipkan atau memberikan mandat kepada EAS untuk mendirikan
HMI di Irian Barat (Irbar). Akan tetapi setibanya EAS di Jayapura, segala jalur
untuk pendirian HMI terkunci oleh “Kebijakan Karantina Politik” sebagai
konsekuensi penerapan New York Agreement yang diawasi langsung oleh utusan
Sekjen PBB Dr. Ferdinando Ortiz Sanz, bahwa Indonesia tidak boleh mendirikan
Ormas apapun di Irian Barat yang berkaitan dengan suasana menjelang Pepera,
dan selama kurang lebih 2 tahun mandat PB HMI tersebut tidak bisa dilaksanakan
oleh EAS.
Perjalanan selanjutnya bahwa pada awal tahun 1968 MSJ pergi menunaikan
Ibadah Haji Ke Tanah Suci melalui embarkasi Ambon dengan kapal laut. Saat itu
MSJ ditunjuk Sebagai Sekretaris Rombongan Haji Irbar yang berjumlah 43 orang
dengan ongkos haji 50 (limapuluh) RP-IB. Sepulangnya MSJ dari Tanah Suci,
kemudian MSJ bersama sekretaris rektor Uncen Drs. H. Mohammad Hassan
membuat sebuah tulisan yang merupakan gambaran siatusi kota Mekkah yang
dilanda banjir. Tulisan itu berjudul “Banjir Di Tanah Haram, Manusia Dan
Peristiwa”. Tulisan tersebut dibuat berseri dan dimasukkan dan dimuat di Harian
Tjenderawasih selama 1 bulan. pada saat memasukkan tulisan itulah MSJ bertemu
dengan EAS sekitar awal bulan Juli 1968 (berselang satu tahun sebelum
dilaksanakan Pepera 1969).
Di dalam pertemuan EAS dan MSJ tersebut kemudian EAS menyerahkan
mandat PB HMI kepada MSJ untuk mengusahakan pendirian HMI di Jayapura-
Irbar. Sebetulnya MSJ sudah mengetahui situasi Irian Barat pada saat itu bahwa
semua jalan terkunci, sebab memang seluruh daratan Irian Barat terkena
(berlaku) karantina politik. Kebijakan Karantina Politik ini diawasi ketat
(langsung) oleh PBB di bawah utusan Sekjen PBB Ferdinando Ortiz Sanz,
6

Di dalam situasi yang demikian sulit, MSJ tidak kehilangan akal, dengan jiwa
sukarelawan dan demi menjalankan mandate PB-HMI, MSJ mencoba
mendatangi langsung Kapolres Jayapura yang dijabat oleh Mayor Polisi Sasmita.
MSJ diterima dengan baik oleh Kapolres Sasmita, dan dalam Pertemuan MSJ
dengan Kapolres tersebut oleh Kapolres memberi penjelasan yang sama seperti
yang diketahui oleh MSJ yakni tidak bisa didirikan Organisasi massa (Ormas)
dalam bentuk apapun di seluruh daratan Irian Barat, karena berlaku karantina
politik Irian Barat. Namun MSJ tidak putus asa, kemudian MSJ berkonsultasi lagi
dengan Komandan Intel Polres Jayapura Kapten Supaat yang membisikkan
bahwa coba saja menghadap Pangdam XVII Tjenderawasih Sarwo Edhie
Wibowo, sebab ada kebijakan bahwa pendirian orgmas sepanjang ormas itu
diarahkan untuk penggalangan pemenangan Pepera bisa diatur secara ke dalam.
Diberi keterangan selipan bahwa tapi perlu diungkap (dicatat) bahwa MSJ juga
adalah pemegang mandat PB PII agar membentuk PII di Irbar, Namun atas
kesepakatan dengan EAS, maka HMI didahulukan, karena memang nanti dalam
perkembangannya PII juga berhasil didirikan dan dilantik oleh ketua HMI Drs.
Kadirun kusuma, di Gedung Kebudayaan sekarang Gedung Kesenian Jl Irian
Kota Jayapura dihadiri oleh Gubernur Irbar diwakili oleh Badan Pelaksana Harian
(BPH) Tonce Messet.
Atas usul komandan Intel Polres Jayapura tersebut yakni Kapten Supaat,
kemudian MSJ memberanikan diri untuk menghadap Panglima Kodam XVII
Tjenderawasih Sarwo Edhi Wibowo. saat itu MSJ dibantu oleh salah seorang
Letda Shintong Pandjaitan, dan Kapten Faisal Tandjung dari POM ABRI sebagai
ketua tim penggalangan pemenangan pepera. Atas upaya itu Pangdam setelah
berkoordinasi dengan pihak kepolisian termasuk Polres Jayapura, maka melalui 2
orang anggota kavleri mengantar izin ke rumah MSJ sekitar bulan sekitar 22
agustus 1968. (dokumen izin itu ada dimana?).
Setelah mengantongi izin pendirian, maka dimulailah kegiatan surat menyurat
sudah menggunakan kop surat berwarna atau berlogo hmi. dalam rapat di rumah
7

MSJ sekitar juli 1968 ditetapkan eas ketua umum hmi cabang jayapura dan
djamaluddin sbg sekum. kepengurusan eas cuma berjalan satu bulan dg alasan
takut ketahuan dan akan dipecat dari kepegawaiannya, maka diminta untuk segera
belia diganti. dalam rapat internal di rumah Pak Susilo Dok 5 Bawah Jayapura
pada Juli 1968 ditetapkan pengurus HMI cabang Jayapura yang baru yakni
sebagai ketua drs. kadirun kusuma saat itu kedudukannya sebg kepada pd irian
bhakti dengan Sekretarisnya MSJ. bendahara adalah Susilo beliau adalah
pegawai pada kantor Gub Irbar, sementara EAS dan Djamaluddin sebagai
pembantu umum. MSJ selalu didampingi anggota Kopasus Letda Shintong
Pandjaitan.

2.4 Drs. Kadirun Kusuma Pimpin HMI Cabang Jayapura Memenangkan Pepera 1969
Sebagai catatan bahwa Drs. Kadirun Kusuma saat itu adalah Kepala
Perusahaan Daerah (PD) Irian Bhakti. Di bawah kepemimpinan Drs Kadirun
Kusuma (KK) dengan Sekum MSJ telah disebarkan kegiatan surat-menyurat dan
sosialisasi tentang keberadaan HMI di Jayapura, dikeluarkan dan disebarluaskan
pernyataan kebulatan tekad HMI cabang Jayapura untuk memenangkan Indonesia
dalam Pepera 19693, Bukti dokumentasinya? dipancangkan spanduk-spanduk
dan bendera-bendera hmi agustus 1969. bukti dokumentasinya? Akhirnya
pada 24 agustus 1969 pepera dimenangkan oleh Indonesia.
Tercatat nama NURDIN HARRIS KURITHA (NHK) Sebagai ketua PII
pertama di irian barat seorang putra asli Kaimana, pelajar pada Sekolah Guru
Olahraga (SGO) Jayapura, tinggal bersama serumah dengan MSJ, merupakan
anak binaan MSJ. Aksi Nurdin H Kuritha saat itu adalah menandu Sarwo Edhie
Wibowo (SEW) berkeliling gedung negara Jayapura sewaktu (beberapa saat)

3
Pepera dilaksanakan selama 19 hari, yakni pada 14 Juli s.d 2 Agustus 1969 di seluruh wilayah Irian
Barat. Dewan Musyawarah Pepera (DPM) sebanyak 1026 anggota menjadi perwakilan penduduk Papua
yang saat itu berjumlah 815.904 penduduk. Komposisi anggota DPM yakni unsur tradisional (Kepala
Suku/Adat) sebanyak 400 orang, unsur daerah 360 orang dan unsur Orpol/Ormas/golongan sebanyak
266 orang. Hasilnya menyatakan bahwa secara aklamasi wakil-wakil DMP memilih untuk tetap berada
di dalam lingkungan NKRI.
8

diumumkan kemenangan pepera untuk Indonesia melalui resolusi PBB No 2504.


Terlihat bahwa samping kiri dan kanan SEW berkibar bendara HMI dan PII
(mana fotonya). Setelah itu pada 17 Agustus 1971 atas jasa-jasa MSJ, Diberikan
Piagam Penghargaan Dalam Kapasitas Sebagai Sekretaris Umum Hmi Cabang
Jayapura Yang Tergabung Dalam Sekretaris 1 Front Ummat Islam Irian Barat
Memenangkan Pepera.
Endang Adi Ermaya adalah bagin dari orang yang dimobilisir ke Irbar, dan
bagaimana EE mendapatkan mandate dari PB HMI 1965 di Sukarnapura EE
berprofesi sebagai wartawan padahal aslinya sebagai aktivis kampus (kampus
mana). Cerita perkenalan EE dan MSJ (mahasiswa Uncen Fakultas apa?) , secara
tidak diduga pertemuan pada saat MSJ dkk (Drs. Moh Hassan Sekretaris Rektor
Uncen pada Juli 1968) memasukan tulisan di Harian Cenderawasih (Tifa Irian
belum pasti), dengan judul “Banjir Di Tanah Haram, Manusia dan Peristiwa,
dimuat bersambung (berseri) selama kurang lebih 1 (satu) bulan dari awal Juli
sampai Agustus 1968).
Tercatat bahwa EE dan MSJ melakukan diskusi dan menawarkan 2 (dua)
pembentukan organisasi yakni antara PII dan HMI,(EE sudah mengantongi
mandate PB HMI) yang akan tetapi yang direspon oleh MSJ adalah HMI.
Kemudian diadakan rapat pertama kali rumah bapak Susilo Dok V Bawah,
kemudian rapat pemantapan di MaMSJid Jami Jayapura Agustus 1968. MSJ
sbagai penanggungjawab rapat sekaligus mengurus izin polisi, dan dipilih
sebagai ketua EE hanya menjabat 1 bulan dengan sekretarisnya Djamaluddin,
kemudian diadakan rapat untuk keperluan ttd dukung pepera dipilih lagi dalam
rapat 1969 dan terpilih Drs. Kadirun Kusuma (Dirut PD Irian Bhakti) sekretaris
MSJ. Wakil Ketua Umar Said Assysyatri, Wakil Ketua Musa Ridha Badrun,
Wakil Ketua Muchtar Daud. Dengan wakil sekretaris masing-masing Achmad
Badjari Alhudaifi, Bendahara Susilo, Pembantu Umum EE.
Ada HMI Cabang Makassar yang bergabung dalam kepengurusan KK dan
MSJ (Kabinet KK-MSJ) antara lain Alsulenar, Adnan, Farid. Dibantu oleh Letda
9

Shintong Pandjaitan, Kapt Faisal, dll (tidak diingat lagi). Sarwo Edhi Wibowo
sebagai Pangdam XVII Tjenderawasih, tidak boleh ada Ormas dibentuk di Irbar
selain memenangkan Pepera, ini yang kemudian MSJ minta izin untuk
mendirikan dua organisasi PII (pemegang mandate PII) dan HMI (EE pemegang
mandate HMI). Didahulukan pembentukan HMI beberapa bulan kemudian baru
dibentuk PII (pre memorie).
EE Sebagai Pembawa HMI Pembawa Mandat .Menjawab Perintah
Presiden Soekarno, coba cek buku Sirajuddin Jacub, cek juga Dasman
Djamaluddin.
Tentu dalam catatan sejarahnya, perlu diungkap sejauhmana peran HMI
dalam kegiatan HMI Sekitar Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat 1969.
Seperti diketahui bahwa berdasarkan Pasal 17 Perjanjian New York; yang
sebagian menyatakan: "Indonesia akan mengundang Sekretaris Jenderal untuk
menunjuk seorang Wakil yang bakan melaksanakan tanggung jawab Sekretaris-
Jenderal untuk memberikan saran, membantu, dan berpartisipasi dalam
pengaturan yang menjadi tanggung jawab dari Indonesia untuk pelaksanaan
pemilihan bebas. Sekretaris Jenderal akan, pada waktu yang tepat, menunjuk
PBB Perwakilan sehingga wakil dan stafnya mungkin menganggap tugas mereka
dalam satu tahun wilayah sebelum penentuan nasib sendiri.". "Perwakilan PBB
dan stafnya akan memiliki kebebasan yang saman seperti yang disediakan bagi
personel dimaksud dalam Pasal XVI". Perjanjian ini berlanjut dengan ketentuan
dalam Pasal 18 New York Agreement yang menyatakan berdasarkan Pasal
XVIII Indonesia akan membuat pengaturan, dengan bantuan dan partisipasi PBB
Perwakilan dan stafnya, untuk memberikan orang-orang di wilayah Irian Barat,
kesempatan untuk melaksanakan kebebasan memilih. Pengaturan demikian akan
mencakup: (1) Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai
prosedur dan metode yang harus diikuti untuk memastikan secara bebas
menyatakan kehendak penduduk.(2) Penentuan tanggal yang sebenarnya dari
pelaksanaan pilihan bebas dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Persetujuan
10

ini. (3) Formulasi pertanyaan sedemikian rupa sehingga memungkinkan


penduduk untuk memutuskan (a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia,
atau (b) apakah mereka ingin memutuskan hubungan dengan Indonesia. (c)
Kelayakan dari seluruh orang dewasa, pria dan wanita, bukan warga asing untuk
berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri akan dilaksanakan sesuai
dengan praktik internasional, yang bertempat tinggal pada saat penandatanganan
Persetujuan ini, termasuk mereka warga yang berangkat setelah 1945 dan yang
kembali ke wilayah itu untuk melanjutkan tinggal setelah berakhirnya
pemerintahan Belanda. Menurut Pasal 17 dari New York Agreement, plebisit itu
tidak terjadi sampai satu tahun setelah kedatangan wakil PBB Fernando Ortiz-
Sanz di wilayah pada tanggal 22 Agustus 1968. Namun setelah NASA
mengumumkan jadwal penerbangan Apollo 11 mendarat di Bulan untuk Juli,
Indonesia mengusulkan plebisit yang dilakukan enam minggu-minggu awal
selama bulan Juli 1969. Perjanjian New York ditetapkan bahwa semua laki-laki
dan perempuan di Papua yang tidak asing memiliki hak untuk memilih dalam
Undang-Undang. Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, bukan dipilih 1.025 orang
Papua dari perkiraan populasi 800.000 jiwa sebagai wakil Irian Barat untuk
memberikan suaranya. Mereka memilih publik dan secara bulat mendukung
tersisa dengan Indonesia. PBB mencatat hasil dengan Resolusi Majelis Umum
2504. Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir tahun
1969 wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat. Pada
awal tahun 1969 pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera.
Penyelenggaraan Pepera dilakukan 3 tahap yakni sebagai berikut, (1)
Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 maret 1969. Pada tahap ini dilakukan
kon sultasi dengan deewan kabupaten di Jayapura mengenai tata cara
penyelenggaraan Pepera. (2) Tahap kedua diadakan pemilihan Dewan
Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni 1969. (3) Tahap ketiga
dilaksanakan Pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4
Agustus 1969 di Jayapura. Pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan
11

PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan
masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung dengan NKRI. Hasil Pepera itu
dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969, Sidang
Umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.

Anda mungkin juga menyukai