Anda di halaman 1dari 56

Nama Asli : 

Koesno Sosrodiharjo
Nama Ganti : Soekarno
Lahir : Surabaya 6 Juni 1901
Wafat : Jakarta 21 Juni 1970
Makam : Kota Blitar, Jawa Timur
Kebangsaan : Indonesia
Orangtua : Soekemi Sosrodihardjo (Bapak), Ida Ayu
Nyoman Rai (Ibu)
Gelar : Pahlawan Indonesia
Pasangan : Siti Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati,
Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi Soekarno,
Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
Anak :

 Putra : Guruh Soekarnoputra, Guntur


Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Taufan
Soekarnoputra, Totok Suryawan,
 Putri : Megawati Soekarnoputri, Kartika Sari Dewi
Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati
Soekarnoputri, Ayu Gembirowati, Rukmini
Soekarno,

Pendidikan :

 Pendidikan sekolah dasar di Eerste Inlandse School,


Mojokerto
 Pendidikan sekolah dasar di Europeesche Lagere
School (ELS), Mojokerto (1911)
 Hoogere Burger School (HBS) Mojokerto (1911-
1915)
 Technische Hoge School, Bandung (sekarang
berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung)
(1920)
A. Awal Kedatangan Jepang

Pada tanggal 11 Januari 1942, pasukan Jepang mendarat pertama kali tepatnya di
Tarakan, Kalimantan Timur. Selanjutnya menduduki Balikpapan, Palembang,  dan Plaju.
Tanggal 1 Maret 1942, Jepang menduduki tiga kota di pulau Jawa yaitu: Teluk Banten,
daerah pantura, dan kota Pasuruan.
Tanggal 8 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Jendral Ter Poorten menyerah tanpa syarat kepada Jendral Hitoshi Immamura. Degan
demikian berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia
Pada masa Jepang,  wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 wilayah memerintahan
militer.
1.      Wilayah Militer I, meliputi Jawa dan Madura berpusat di Jakarta
2.      Wilayah Militer II, meliputi Sumatera berpusat di Bukittinggi
3.      Wilayah Militer III, meliputi Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku
Jepang berusaha menarik simpati rakyat Indonesia yaitu dengan cara:
1.      Mengijinkan mengibarkan bendera Merah Putih
2.      Mengijinkan menggunakan bahasa Indonesia
3.      Mengijinkan menyanyikan lagu Indonesia Raya
Tentu saja hal itu membuat hati rakyat Indonesia bahagia, karena mereka menganggap
bahwa kedatangan bangsa Jepang dapat membebaskan belenggu dari penjajah
Belanda. Untuk memikat hati rakyat, Jepang membuat propaganda Tiga A, yang berisi:
1. Jepang pemimpin Asia
2. Jepang pelindung Asia
3. Jepang cahaya Asia

B.       PERAN DAN PERJUANGAN SOEKARNO PASCA GAGALNYA 3A


“Gerakan Tiga A” telah gagal. Kemudian Jepang berusaha mengajak tokoh
pergerakan nasional untuk melakukan kerjasama. Jepang kemudian mendirikan organisasi
pemuda, Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan Sukardjo Wiryopranoto. Organisasi itu juga
tidak mendapat sambutan rakyat. Jepang kemudian membubarkan organisasi itu.
Dukungan rakyat terhadap Jepang memang tidak seperti awal kedatangannya. Hal ini
sangat mungkin juga karena sikap dan tindakan Jepang yang berubah. Seperti telah
disinggung di depan, Jepang mulai melarang pengibaran bendera Merah Putih dan yang boleh
dikibarkan hanya bendera Hinomaru serta mengganti Lagu Indonesia Raya dengan lagu
Kimigayo. Jepang mulai membiasakan mengganti kata-kata banzai (selamat datang) dengan
bakero (bodoh). Masyarakat mulai tidak simpati terhadap Jepang.“Saudara tua” tidak seperti
yang mereka janjikan.

Sementara perkembangan Perang Asia Timur Raya mulai tidak menggembirakan.


Kekalahan Jepang di berbagai medan pertempuran telah menimbulkan rasa tidak percaya dari
rakyat. Oleh karena itu, Jepang harus segera memulihkan keadaan. Jepang harus dapat
bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasionalis terkemuka, antara lain Sukarno dan Moh. Hatta.
Karena Sukarno masih ditahan di Padang oleh pemerintah Hindia Belanda, maka segera
dibebaskan oleh Jepang. Tanggal 9 Juli 1942 Sukarno sudah berada di Jakarta dan bergabung
dengan Moh. Hatta.

Jepang berusaha untuk menggerakkan seluruh rakyat melalui tokoh-tokoh nasionalis.


Jepang ingin membentuk organisasi massa yang dapat bekerja untuk menggerakkan rakyat.
Bulan Desember 1942 dibentuk panitia persiapan untuk membentuk sebuah organisasi massa.
Kemudian Sukarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara dipercaya untuk
membentuk gerakan baru. Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk
tanggal 16 April 1943. Mereka kemudian disebut sebagai empat serangkai. Sebagai ketua
panitia adalah Sukarno. Tujuan Putera adalah untuk membangun dan menghidupkan kembali
segala sesuatu yang telah dihancurkan oleh Belanda. Menurut Jepang, Putera bertugas untuk
memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia guna membantu Jepang dalam perang. Di
samping tugas di bidang propaganda, Putera juga bertugas memperbaiki bidang sosial
ekonomi.

Menurut struktur organisasinya, Putera memiliki pimpinan pusat dan pimpinan


daerah. Pimpinan pusat dikenal sebagai Empat Serangkai. Kemudian pimpinan daerah dibagi,
sesuai dengan tingkat daerah, yakni tingkat syu, ken, dan gun. Putera juga mempunyai
beberapa penasihat yang berasal dari orang-orang Jepang. Mereka adalah S. Miyoshi, G.
Taniguci, Iciro Yamasaki, dan Akiyama. Putera pada awal berdirinya, cepat mendapatkan
sambutan dari organisasi massa yang ada. Misalnya dari Persatuan Guru Indonesia;
Perkumpulan Pegawai Pos Menengah; Pegawai Pos Telegraf Telepon, dan Radio; serta
Pengurus Besar Istri Indonesia di bawah pimpinan Maria Ulfah Santoso. Dari kalangan
pemuda terdapat sambutan dari organisasi Barisan Banteng dan dari pelajar terdapat
sambutan dari organisasi Badan Perantaraan Pelajar Indonesia serta Ikatan Sport Indonesia
juga bergabung ke dalam Putera.
Putera pun berkembang dan bertambah kuat. Sekalipun di tingkat daerah tidak
berkembang baik, namun Putera telah berhasil mempersiapkan rakyat secara mental bagi
kemerdekaan Indonesia. Melalui rapat-rapat dan media massa, pengaruh Putera semakin
meluas. Perkembangan Putera akhirnya menimbulkan kekhawatiran di pihak Jepang. Oleh
karena, Putera telah dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasionalis untuk
mempersiapkan ke arah kemerdekaan, tidak digunakan sebagai usaha menggerakkan massa
untuk membantu Jepang, maka pada tahun 1944 Putera dinyatakan bubar oleh Jepang.
Setelah dibubarkannya PUTERA, dibentuklah sebuah organisasi social masyarakat
bernama Jawa Hokokai. Susunan dan kepemimpinan organisasi Jawa Hokokai berbeda
dengan Putera. Jawa Hokokai benar-benar organisasi resmi pemerintah. Oleh karena itu,
pimpinan pusat Jawa Hokokai sampai pimpinan daerahnya langsung dipegang oleh orang
Jepang. Pimpinan pusat dipegang oleh Gunseikan, sedangkan penasihatnya adalah Ir.
Sukarno dan Hasyim Asy’ari. Di tingkat daerah (syu/shu) dipimpin oleh
Syucokan/Shucokandan seterusnya sampai daerah ku oleh Kuco, bahkan sampai gumi di
bawah pimpinan Gumico. Dengan demikian,Jawa Hokokai memiliki alat organisasi sampai
ke desa-desa, dukuh,bahkan sampai tingkat rukun tetangga (Gumi atau Tonari Gumi). Tonari
Gumi dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk dalam kelompok-kelompok yang
terdiri atas 10 - 20 keluarga. Para kepala desa dan kepala dukuh atau ketua RT bertanggung
jawab atas kelompok masing-masing.

C.      PERAN DAN PERJUANGAN SOEKARNO DALAM ORGANISASI SEMILITER


Pada pertengahan tahun, diadakan rapat Chuo-Sangi-In (Dewan Pertimbangan
Pusat). Salah satu keputusan rapat tersebut adalah merumuskan cara untuk menumbuhkan
keinsyafan dan kesadaran yang mendalam di kalangan rakyat untuk memenuhi kewajiban dan
membangun persaudaraan untuk seluruh rakyat dalam rangka mempertahankan tanah airnya
dari serangan musuh. Sebagai wujud konkret dari kesimpulan rapat itu maka pada tanggal 1
November 1944, Jepang membentuk organisasi baru yang dinamakan “Barisan
Pelopor”.Melalui organisasi ini diharapkan adanya kesadaran rakyat untuk berkembang,
sehingga siap untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia.Organisasi
semimiliter “Barisan Pelopor” ini tergolong unik karena pemimpinnya adalah seorang
nasionalis, yakni Ir. Sukarno, yang dibantu oleh R.P. Suroso, Otto Iskandardinata, dan
Buntaran Martoatmojo.
D.      PERAN DAN PERJUANGAN SOEKARNO DALAM PROTES JANJI
KEMERDEKAAN
Tahun 1942, posisi pasukan tentara Jepang di Pasifik mulai terdesak. Untuk menarik
dukungan penduduk di negara jajahan, Jepang merencanakan memberi kemerdekaan kepada
Birma dan Filipina. Rencana itu tidak menyebut nasib Indonesia.
Oleh karena itu, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta mengajukan protes kepada Jepang
Menanggapi protes dan ancaman dan tokoh-tokoh nasionalis di Indonesia, pemerintah Jepang
kemudian menempuh kebijaksanaan partisipasi politik. Maksudnya, memberikan peran aktif
kepada tokoh-tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan. Untuk ini telah diambil
langkah-langkah sebagai berikut.
1.         Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In).
2.         Pembentukan Dewan Pertimbangan Keresidenan (Shu Shangi Kai).
3.         Tokoh-tokoh Indonesia diangkat sebagai penasihat di berbagai departemen.
4.         Pengangkatan orang-orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, maka pada tanggal 5 September 1943,
Saiko Shikikan (Kumaikici Harada) mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan 37 tentang
pembentukan Chuo Sangi In dan Chuo Sangi Kai. Hal yang boleh dibahas atau dirundingkan
dalam Chuo Shangi In antara lain :
1.         Pengembangan pemerintahan militer
2.         Mempertinggi derajat rakyat
3.         Pendidikan dan penerangan
4.         Industri dan ekonomi
5.         Kemakmuran dan bantuan sosial, serta
6.         Kesehatan.
Pada Sidang Chuo Sangi In I, tanggal 17 Oktober 1943 dilantik secara resmi, ketua
Chuo Sangi In, yakni Soekarno dan dua orang wakil ketua, yakni R.M.A.A. Kusumo Utoyo
dan dr.Buntaran Martoatmojo. Anggota Chuo Sangi In boleh mengajukan usul-usul, tetapi
semua
keputusan tergantung pada pemerintah di Tokyo. Pada tanggal 15 November 1943, delegasi
Chuo Sangi In yang terdiri atas Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Bagus Hadikusumo diundang
ke Jepang. Pada kesempatan pertemuan dengan PM Tojo, delegasi Chuo Sangi In minta agar
Indonesia diizinkan mengibarkan bendera Sang Merah Putih dan diizinkan menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya, serta mendesak agar Indonesia disatukan dalam satu
pemerintahan. Permintaan ini ditolak PM. Tojo. Dalam tahun 1944, Jepang semakin terdesak
di dalam Perang Asia Timur Raya. Kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan masalah-
masalah lain yang dihadapi menyebabkan jatuhnya kabinet Tojo. Ia kemudian digantikan
oleh PM.

Koiso pada tanggal 18 Juli 1944. Pada masa pemerintahan PM Koiso, situasi perang
semakin memburuk. Jepang semakin terdesak untuk mendapatkan dukungan bangsa
Indonesia dalam berbagai pertempuran, pada tanggal 7 September 1944, PM Koiso
mengeluarkan pemyataan bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan di kemudian hari.
Pernyataan ini kemudian terkenal dengan sebutan Janji Koiso. Dari segi perjuangan untuk
segera mencapai kemerdekaan, keberadaan Chuo Sangi In tidak banyak berarti. Akan tetapi
adanya badan itu semakin menambah wawasan dan pengalaman-bagi para anggota. Hal ini
penting, karena para anggota Chuo Sangi In umumnya adalah para pejuang nasionalis yang
bercita-cita mencapai kemerdekaan.

A. PERAN PERJUANGAN SOEKARNO DALAM USAHA MENCAPAI KEMERDEKAAN


Jepang benar-benar terancam dalam perangnya melawan sekutu. Untuk semakin
menarik simpati bangsa Indonesia agar tetap mendukung Jepang, maka pada tanggal 1 Maret
1945, Kumaikici Harada mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam bahasa Jepang BPUPKI disebut
Dokuritsu Junbi Cosakai. BPUPKI beranggotakan 60 orang, ditambah beberapa pimpinan.
Sebagai ketua adalah Dr. Rajiman Widyodiningrat. Wakil-wakil ketua, yakni Icibangase yang
sekaligus sebagai kepala Badan Perundingan dan RP. Suroso yang sekaligus sebagai kepala
sekretariat. Sebagai kepala sekretariat, RP. Suroso dibantu oleh Toyohito Masuda dan Mr.
AG. Pringgodigdo. BPUPKI pada tanggal 28 Mei 1945 diresmikan. Pada kesempatan
persemian ini dilakukan pengibaran bendera Hinomaru disusul pengibaran bendera Merah
Putih. Hal ini semakin membangkitkan semangat para anggota BPUPKI dalam
mempersiapkan upaya Indonesia merdeka. Yang sangat menarik, sejak itu lagu Indonesia
Raya boleh dinyanyikan dan Sang Merah Putih boleh dikibarkan. Maksud dan tujuan
dibentuknya BPUPKI adalah untuk mempelajari dan menyelidiki halhal yang berkaitan
dengan pembentukan negara Indonesia. Jika suatu saat kelak meneguhkan kemerdekaannya,
maka bangsa Indonesia sudah harus memiliki dasar negara. Oleh karena itu, BPUPKI
merumuskan dasar negara.
Sebagai realisasi pelaksanaan tugas,  BPUPKI kemudian mengadakan sidangsidang.
Secara garis besar sidang-sidang BPUPKI itu terbagi menjadi dua kali sidang. Sidang
BPUPKI I diadakan pada tanggal 29 Mei - I Juni 1945. Kemudian Sidang BPUPKI II
dilangsungkan pada tanggal 10 - 17 Juli 1945. Sidang-sidang BPUPKI itu untuk merumuskan
Undang-Undang Dasar.
Sidang pertama membahas bagi negara Indonesia merdeka. Waktu itu KRT. Rajiman
Widyodiningrat meminta pandangan dari para anggota mengenai dasar negara baru yang
akan dibentuk. Untuk itu, tampil beberapa tokoh untuk berpidato menyampaikan
pandangannya. Dari sekian banyak pembicara, ada tiga tokoh yang paling dipertimbangkan
pandangan-pandangannya. Mereka adalah Mr. Moh Yamin, Mr. Supomo, dan Ir. Soekarno.
Tanggal 1 Juni 1945 merupakan hari terakhir dari rangkaian Sidang BPUPKI I. Dalam
pidato itu yang istimewa ia mengajukan usul nama, lima asas yang disebut dengan Pancasila.
Pidato Ir. Soekarno tanggal I Juni 1945 sering disebut dengan pidato lahirnya Pancasila.
Silasila yang diusulkan Ir. Soekarno sebagai berikut.
1.      Kebangsaan Indonesia.
2.      Internasionalisme atau perikemanusiaan.
3.      Mufakat atau demokrasi.
4.      Kesejahteraan sosial.                
5.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tanggal 1 Juni 1945 Sidang BPUPKI I berakhir. Untuk menindaklanjuti usulan-sulan
dari sidang, BPUPKI membentuk Panitia kecil yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini
dikenal sebagai Panitia Sembilan. Sebagai ketuanya Ir. Soekarno. Anggota-anggotanya
adalah Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. A.A. Maramis,
Abdulkadir Muzakir, Wakhidd Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Pada
tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan melahirkan rumusan yang terkenal dengan nama
Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Rumusan tersebut sebagai berikut.
1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya.
2.      Dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
5.      Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 10 Juli 1945 mulai sidang BPUPKI II. Sidang ini membahas rancangan
Undang-Undang Dasar (UUD). Panitia Perancang UUD diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia
Perancang membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan rancangan UUD dengan segala
pasal-pasalnya. Panitia Kecil ini dipimpin oleh Mr. Supomo. Sebelum membahas rancangan
Undang-Undang Dasar, mereka membahas bentuk negara. Setelah diadakan pungutan suara,
mayoritas anggota memilih negara kesatuan yang berbentuk republik. Bahasan berikutnya
adalah UUD dan pembukaannya.
Pada rapat tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perancang UUD secara bulat menerima Piagam
Jakarta sebagai Pembukaan UUD. Tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI melanjutkan sidang untuk
menerima laporan dari Panitia Perancang UUD. Tiga hal penting yang dilaporkan oleh Ir.
Soekarno selaku ketua Panitia Perancang UUD sebagai berikut.
a. Pernyataan Indonesia merdeka
b. Pembukaan UUD (diambil dari Piagam Jakarta)
c. Batang tubuh UUD
Sidang menyetujui tiga hal yang dilaporkan oleh Ir. Soekarno tersebut.
Jepang semakin mengalami kemunduran dalam Perang Asia Timur Raya. Komando
Tentara Jepang wilayah Selatan mengadakan rapat. Dalam rapat itu disepakati bahwa
Indonesia akan diberi kemerdekaan pada tanggal 7 September 1945. Keadaan Jepang
semakin kritis. Pada 6 Agustus 1945, kota Hirosima dibom atom oleh Amerika Serikat.
Menghadap situasi ini, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai
atau Panitia Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Persetujuan ini terjadi pada pada tanggal 7
Agustus 1945. Tugas PPKI adalah melanjutkan tugas BPUPKI dan untuk mempersiapkan
Kemerdekaan Indonesia. Ketua PPKI adalah Ir. Soekarno, sedangkan wakilnya Drs. Moh.
Hatta.PPKI beranggotakan 21 orang dan semuanya orang Indonesia yang berasal dari
berbagai daerah.

Untuk kepentingan peresmian dan pelantikan PPKI, Jendral Terauchi, pimpinan Angkatan
Perang Jepang yang berkedudukan di Saigon, pada tanggal 9 Agustus 1945 memanggil
Soekarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Widyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Di Dalat,
Jendral Terauchi menegaskan bahwa Pemerintah Kemaharajaan Jepang memutuskan untuk
menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Tanggal 14 Agustus 1945, Soekarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Widyodiningrat
pulang kembali ke Jakarta. Sementara Jepang sudah dalam keadaan lumpuh sebab tanggal 9
Agustus 1945 kota Nagasaki juga dibom atom oleh Amerika Serikat. Dengan demikian
Jepang benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Akhimya pada tanggal 15 Agustus 1945,
Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu.
Ketika ketiga perwakilan bangsa Indonesia kembali ke tanah air, keadaan politik di
Indonesia telah terjadi perubahan sangat drastis. Para tokoh yang terus mengikuti
perkembangan Perang Dunia II mempunyai ide untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan, tanpa menunggu keputusan Jepang. Akhirnya terjadi perbedaan pendapat
antara golongan tua dengan golongan muda mengenai waktu pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Perbedaan pendapat terjadi antara golongan tua yang terwakili
dalam PPKI, dengan golongan muda yang terwakili dalam beberapa perkumpulan. Beberapa
perkumpulan yang termasuk golongan muda misalnya:
1.      Kelompok Asrama Menteng 31 yang dipelopori Chaerul Saleh dan Sukarni
2.      Kelompok Asrama Indonesia Merdeka yang dipelopori Mr Soebarjo
3.      Kelompok Asrama Mahasiswa Kedokteran yang mendukung Sjahrir.
Golongan muda mendesak agar Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan.
Sementara golongan tua menghendaki proklamasi menunggu perkembangan keputusan
Jepang. Alasan golongan tua adalah untuk menghindari pertumpahan darah, mengingat
pasukan Jepang masih banyak yang ada di Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945
golongan muda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Soekarno dan Hatta
didesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, keinginan
golongan muda terpenuhi. Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal
17 Agustus 1945.  Proklamasi dibacakan Ir Soekarno pukul 10.00 di Jl Pegangsaan Timur
Jakarta. Sebagai penandatangan naskan proklamasi adalah Soekarno dan Hatta,atas nama
bangsa Indonesia. Sejak tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia telah merdeka dari
penjajahan.
Nama : Raden Soedirman
Dikenal : Jenderal Besar Sudirman
Lahir : Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Wafat : Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950
Orang Tua : Karsid Kartawiraji (ayah), Siyem (ibu)
Saudara : Muhammad Samingan
Istri : Alfiah
Anak : Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, Taufik Effendi, Titi Wahjuti
Satyaningrum, Didi Praptiastuti, Muhammad Teguh Bambang
Tjahjadi, Ahmad Tidarwono

 Peranan Jenderal Soedirman dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan


Bangsa Indonesia Peranan Jenderal Soedirman dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan bangsa Indonesia antara lain sebagai berikut:
A. Tanggal 12 desember 1945, memimpin TKR di Ambarawa dalam menggempur dan
mengusir Inggris. Saat itu beliau masih berpangakt kolonel.
B. Jenderal Soedirman memimpin pasukan TNI melakukan perang gerilya melawan Belanda
dalam Agresi Militer Belanda II.
C. Soedirman Memimpin Pertempuran Ambarawa
Ketika Brigade Bethel mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, selanjutnya
pasukan menuju Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Sekutu. Di
Magelang tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti TKR dan
membuat kekacauan. TKR, Resimen Magelang pimpinan M. Sarbini membalas tindakan
tersebut dengan mengepung tentara sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat
dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan
suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan kota Magelang
menuju Ambarawa. Akan tetapi Batalyon A. Yani, Suryosumpeno dan Kusen mengejar
pasukan Sekutu tersebut. Satu batalyon dari Divisi Purwokerto, dibawah Iman Adrongi
menghadang gerakan Sekutu di Pingit. Sejak itu pertempuran semakin meluas. Bala
bantuan datang dari Banyumas, Salatiga, Surakarta dan Yogyakarta. Dalam salah satu
pertempuran, Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo, Komandan Resimen TKR
Banyumas yang merupakan tangan kanan Panglima Besar gugur. Sejak gugurnya Letnan
Kolonel Isdiman, Komandan Divisi V, Kolonel Soedirman merasa kehilangan perwira
terbaik dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Pada tanggal 11
Desember 1945, Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor
TKR dan Laskar. Dalam rapat tersebut Kolonel Soedirman menjelaskan bahwa posisi
lowan sudah makin terjepit sehingga merupakan peluang yang tepat untuk
menghancurkan lawan secepatnya dari Ambarawa.
Tepat pukul 04.30 pagi tanggal 12 Desember 1945 serangan mulai dilancarkan.
Pertempuran segera berkobar di sekitar Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan
yang menghubungkan Ambarawa dengan Semarang sudah dikuasai oleh kesatuan-
kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit, Kolonel Soedirman langsung
memimpin pasukannya yang menggunakan taktik “Supit Udang” atau pengepungan
rangkap sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan
induknya terputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari 4 malam, akhirnya musuh
mundur ke Semarang. Benteng pertahanan yang tangguh jatuh ke tangan pasukan kita.
Tanggal 15 Desember 1945, pertempuran berakhir. Kemenangan gemilang di medan
Ambarawa telah membuktikan kemampuan Soedirman sebagai seorang panglima perang
yang tangguh. Episode gemilang ini telah diabadikan dalam bentuk Monumen Palagan
Ambarawa dan diperingati setiap tahun oleh TNI AD sebagai
Hari Infanteri atau Hari Juana Kartika.

 Soedirman Memimpin Perang Gerilya


Perkiraan TNI bahwa Belanda sewaktu-waktu akan menyerang RI, ternyata tidak
meleset. Belanda kembali melancarkan agresi militernya yang kedua. Pasukan Belanda
menyerang ibukota RI dan bergerak ke seluruh wilayah Republik pada tanggal 19 Desember
1948. Pada jam-jam terakhir sebelum jatuhnya Yogyakarta, dalam keadaan sakit Soedirman
menghadap Presiden dan melaporkan bahwa pasukan TNI sudah siap melakukan rencananya,
termasuk mengungsikan para pimpinan nasional. Jawaban Presiden mengejutkan Soedirman.
Soedirman dinasehati agar tetap tinggal di kota, untuk dirawat sakitnya. Panglima Besar
Soedirman menjawab tawaran Presiden dengan kata-katanya,” Tempat soya yang terbaik
adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan. Met of zonder
pemerintah TNI akan berjuang terus”. Menghadapi Agresi Militer II Belanda, Jenderal
Soedirman segera mengeluarkan Perintah Kilat No. I/PB/D/48. Isinya, pada tanggal 19
Desember 1948 Angkatan Perang Belanda telah menyerang kota Yogyakarta dan lapangan
terbang Maguwo, Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan genjatan senjata,
semua Angkatan Perang menjalankan rencana untuk menghadapi serangan Belanda. Pada
hari itu juga Jenderal Soedirman meninggalkan Yogya dan memimpin Perang Gerilya yang
berlangsung kurang Iebih tujuh bulan lamanya. Dengan ditandu, ia melakukan perjalanan
gerilya naik turun gunung, masuk hutan ke luar hutan, berpindah-pindah tempat. Tidak jarang
Soedirman mengalami kekurangan makanan selama berhari-hari. Belum lagi penderitaannya
karena pengejaran tentara Belanda yang ingin menangkapnya. Ketika Belanda menyerbu
Yogyakarta, para pemimpin militer Belanda ternyata keliru memperhitungkan peranan
Pemerintah Darurat RI (PDRI) dan Soedirman. Belanda hanya memperhitungkan Soekarno-
Hatta dan para politisi sebagai center of gravity dalam perang. Belanda mengira bahwa
dengan menduduki ibukota dan menangkap Soekarno-Hatta, Republik akan bisa dirubuhkan.
Ternyata perkiraan Belanda keliru. Soekarno telah menyerahkan mandat pemerintahan
kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatra,
sedangkan TNI tetap utuh. Akhirnya Belanda menyadari kekeliruannya dan kemudian
melakukan pengejaran terhadap Soedirman.

Nama : Sultan Hasanuddin


Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe
Julukan : Ayam Jantan Dari Timur
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo
Lakuntu (ibu)
Saudara : Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne,
Karaeng Bonto Majanang, Karaeng Tololo
Istri : I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng
Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo
Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan
Muhammad Ali.

Sultan Hassanudin lahir Di Makasar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di
Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama IMallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memelukagama Islam, ia mendapat
tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana,hanya saja lebih dikenal
dengan Sultan Hasanuddin saja. dia diangkat menjadi Sultan ke 6Kerajaan Gowa dalam usia
24 tahun (tahun 1655).Sementara itu belanda memberinya gelar de Haav van de Oesten alias
Ayam Jantan dari Timurkarena kegigihannya dan keberaniannya dalam melawan Kolonial
belanda. Sultan Hasanuddinlahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan
Malikussaid, Raja Gowa ke-15. SultanHasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika
Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.
Gowa merupakan kerajaan besar di wilayahtimur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinanLaksamana Cornelis Speelman, Kompeni
berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa.
Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untukmelawan Kompeni.Peperangan antara
VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660. Saatitu Belanda
dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa.
Pada waku Hasanuddin menaiki tahta kerajaan hubungan antara Gowa dengan VOC
(Vereenigde Oast Jndische Compagnie – Persekutuan Dagang Belanda yang beroperasi di
Indonesia) sedang dalam keadaan tegang. Pertentangan antara Gowa dengan VOC sudah
mulai terasa sejak masa pemerintahan Malikussaid. Pada waktu itu Gowa merupakan
kerajaan besar dan menguasai lalu lintas perdagangan di wilayah Indonesia bagian timur.
Pelabuhan Ujung Pandang merupakan bandar yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang
asing, termasuk Belanda. Bahan dagang yang utama ialah rempah-rempah yang berasal dari
kepulauan Maluku. Rempah-rempah dibawa ke Eropa dan dijual dengan harga yang sangat
tinggi. Perdagangan ini banyak memberikan keuntungan kepada VOC.
Gowa menganut politik bebas dalam hal perdagangan. Kerajaan ini bcrdagang dengan pihak
mana pun yang dianggap akan menguntungkan. Belanda (VOC) tidak menyukai hal yang
demikian dan karena itu menuntut hak monopoli atas perdagangan di wilayah Gowa. Sebagai
raja yang berdaulat, Malikussaid menoiak tuntutan tersebut.
Penolakan itu sudah diperhitungkan oleh Malikussaid. la menduga, bahwa pada suatu waktu
pasti akan terjadi bentrokan bersenjata dengan VOC, karena itu ia berusaha menghimpun
kekuatan untuk menghadapi musuh asing ini. Malikussaid membentuk persekutuan dengan
kerajaan-kerajaan lain yang ada di sekitar Gowa. Ulahanya tidak selalu berjalan lancar.
Kadang-kadang ia terpaksa menempuh cara kekerasan, yakni memerangi kerajaan yang
menolak untuk bergabung seperti Wajo, Bone, Soppeng, dan Bantaeng. Serangan terhadap
Bone tabun 1644, menimbulkan akibat buruk dikemudian hari. Aru Palaka, salah seorang
bangsawan Bone yang ditawan di Gowa, memihak VOC dan berusaha menghancurkan
Gowa.
Situasi yang demikianlah yang dihadapi Hasanuddin pada waktu ia naik tahta sebagai raja
Gowa. Pertentangan dengan VOC semakin meningkat, sementara beberapa kerajaan kecil
bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Gowa. Aru Palaka memberontak dengan
dibantu oleh raja Soppeng. Pemberontakan itu berhasil dipatahkan, tetapi Aru Palaka
melarikan diri ke Buton dan mendapat perlindungan dari Sultan Buton. Bersama dengan
kurang lebih 400 orang pengikutnya, Aru Palaka kemudian berangkat ke Jakarta dan
menggabungkan diri dengan VOC.
Dalam tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal VOC De Walvisch memasuki perairan
Ujung Pandang tanpa izin. Hasanuddin memerintahkan kapal Gowa mengejar kapal tersebut
sehingga kandas di pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam yang ada di kapal De Walvisch disita
oleh Gowa.
VOC tidak tinggal diam dan berusaha melemahkan Gowa melalui taktik adu-domba, dengan
cara membujuk Sultan Ternate. Sultan ini bersedia menyerahkan Pulau Pantsiano (Muna)
kepada Sultan Buton, padahal pulau tersebut sudah menjadi bagian kerajaan Gowa.
Dua tahun sesudah peristiwa De Walvisch, terjadi lagi insiden mengenai kapal. Akhir tahun
1664 kapal VOC De Leeuwin kandas di Pulau Dayang-dayangan, di selatan benteng
Panakubang. Seratus orang anak buah kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang
ditawan oleh Gowa. VOC menuduh Gowa menyita uang ringgit dan perak yang terdapat
dalam kapal dan menuntut agar uang itu dikembalikan. Hasanuddin menolak dengan alasan,
bahwa semua barang yang disita dalam keadaan perang menjadi milik pihak yang menyita.
VOC mengirim Cornells Kuyffbeserta 14 orang anak buahnya ke tempat kapal itu kandas
tanpa memberitahukan kepada Hasanuddin. Raja Gowa yang merasa kehormatannya
dilanggar segera bertindak. Kuyff dan anak buahnya ditawan dan kemudian dibunuh.
Melihat sikap Hasanuddin yang keras itu VOC berusaha membujuknya Gubernur Jenderal
Joan Maetsuyker dalam tahun 1665 mengutus Joan van Wesenhagen ke Gowa untuk
menemui Hasanuddin. la ditugaskan untuk menjajagi kemungkinan diadakannya perdamaian.
Usaha itu gagal. Hasanuddin menolak gagasan perdamaian, sebab syarat-syarat yang
ditentukan VOC merugikan kepentingan Gowa. VOC menuduh Gowa mendapat bantuan
Inggris untuk melawan mereka. Inggris memang menawarkan bantuan, tetapi Hasanuddin
tidak bersedia menerimanya. la percaya pada kekuatan sendiri dan tidak akan menempatkan
Gowa di bawah kekuasaan asing.
Sementara itu Gowa menyerang Buton yang telah melindungi Aru Palaka. Serangan itu
dijadikan alasan oleh VOC untuk melibatkan diri dalam pertempuran terbuka. VOC
menganggap Buton sebagai sekutu dan karena itu serangan terhadap Buton berarti serangan
terhadap VOC.
Tanggal 24 November 1666 armada VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berangkat
dari Batavia (Jakarta) menuju Gowa. Armada itu berkekuatan 21 kapal perang, dan membawa
1.000 orang tentara, 600 di antaranya serdadu Belanda. Dalam rombongan ini Aru Palaka
turut serta dan memimpin pasukan sendiri. Tanggal 19 Desember armada VOC sudah tiba di
perairan Gowa. Speelman mengirim utusan untuk menemui Hasanuddin dan menyampaikan
beberapa tuntutan, antara lain :
Gowa harus membayar ganti rugi atas terbunuhnya orang-orang Belanda di Pulau Dayang-
dayangan ;
Sultan Hasanuddin harus menyerahkan orang yang membunuh Kuyff ke pada Speelman.
Hasanuddin menolak tuntutan tersebut. Dua hari kemudian, 21 Desember 1666, VOC
memaklumkan perang kepada Gowa. Benteng-benteng pertahanan Gowa, yakni Somba Opu,
Panakubang, dan Ujung Pandang di tembaki dengan meriam. Dari benteng-benteng itu
prajurit-prajurit Gowa melepaskan tembakan balasan. Setelah pertempuran berlangsung
beberapa waktu lamanya, Speelman menyadari bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin
ditembusnya karena itu ia mengubah taktik serangan.
Kebetulan pada waktu itu sebagian pasukan Gowa terlibat pertempuran di Buton. Speelman
yang mengetahui hal itu, menggerakkan armadanya ke Buton. Mereka berhasil mendarat di
suatu tempat tanpa mengalami perlawanan yang berarti. Tetapi ketika pasukan itu bergerak
ke daerah pedalaman, penduduk menyambut mereka dengan panah dan ranjau-ranjau
beracun. Pasukan Belanda terpaksa kembali ke kapalnya dan kemudian berlayar menuju
Bantaeng. Di tempat ini mereka menemui perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah
membakar persediaan padi, pasukan Belanda mengundurkan diri dan kembali ke Buton.
Di perairan Buton pun berkobar pertempuran. Tetapi di sini Belanda mendapat bantuan dari
pasukan Aru Palaka. Menghadapi pasukan gabungan itu, pasukan Gowa menjadi kewalahan.
Pemimpin pasukan Gowa, Karaeng Bontomarannu, Datu Luwu, dan Sultan Bima terpaksa
menghentikan pertempuran. Ketiganya kemudian ditawan oleh Belanda.
Hasanuddin tidak putus asa. la menyiapkan siasat baru untuk melemahkan VOC. Raja Bone,
La Maddaremmeng yang sejak tahun 1664 ditawan di Gowa, dikembalikan ke Bone dan
diangkat sebagai raja. Dengan cara demikian, Hasanuddin ingin menarik simpati rakyat Bone
agar mereka melawan Aru Palaka dan Speelman, tetapi siasat itu tidak berhasil. Setibanya di
Bone, La Maddaremmeng menyerahkan kekuasaannya kepada Aru Palaka.
Sebaliknya ancaman terhadap Hasanuddin bertambah besar. Aru Palaka mengerahkan
pasukannya menyerang Ujung Pandang melalui jalan darat. Sementara itu Speelman, setelah
mengumpulkan kekuatan di Maluku, kembali ke Goa membawa pasukan gabungan yang
cukup besar.
Pertempuran dahsyat berkobar mulai tanggal 7 Juli 1667. Pasukan Gowa bertahan sekuat
tenaga, tetapi karena kekuatan yang tidak seimbang, akhirnya mereka terpaksa
mengundurkan diri dari Bantaeng menuju Gowa untuk memperkuat pertahanan di tempat ini
dan sekaligus melindungi Sultan mereka. Tanggal 13 Juli pasukan Belanda tiba di Somba
Opu setelah sebelumnya terlibat dalam pertempuran sengit dengan pasukan Gowa di
Jeneponto.
Bagian lain dari pasukan Belanda di bawah pimpinan Pollman bergerak ke selatan Galesong
dan bergabung dengan pasukan Aru Palaka. Setelah terlibat dalam pertempuran yang
melelahkan selama empat hari, pasukan ini berhasil menduduki Galesong. Pertempuran
selanjutnya berkobar ketika pasukan Belanda berusaha merebut benteng Barombong.
Pertempuran yang telah berlangsung selama beberapa bulan itu menimbulkan kerugian yang
cukup banyak di pihak Gowa. Kekuatan mereka menjadi lemah. Banyak prajurit yang tewas.
Hasanuddin menyadari hal itu. la memerlukan waktu untuk menambah kekuatannya. Karena
itu ia bersedia menerima tawaran Belanda untuk mengadakan perundingan damai. Ia tidak
bertekad untuk betul-betul tunduk kepada Belanda. Kesediaan berdamai itu hanyalah sebagai
siasat sambil menanti waktu yang baik untuk menyerang kembali.
Perjanjian damai diadakan di Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Perjanjian yang
terdiri atas sembilan belas pasal itu sama sekali tidak memuaskan Hasanuddin. Ia merasa
kebebasannya banyak dibatasi. Namun ia menerimanya untuk sementara sesuai dengan
perhitungan yang sudah dibuatnya. Sesuai dengan siasat itu Hasanuddin menyiapkan pasukan
dan menambah kekuatannya. Pertempuran berkobar kembali. Dalam pertempuran ini pasukan
Gowa menggunakan peluru beracun yang banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda.
Luka-luka yang diakibatkan peluru beracun itu tidak mudah disembuhkan. Dalam waktu
empat minggu hampir 200 orang tentara Belanda meninggal dunia.
Tanggal 5 Agustus 1668 Belanda malancarkan serangan besar-besaran dan berhasil mendesak
pasukan Gowa. Tetapi di tempat lain, bagian dari pasukan itu dikepung oleh pasukan Gowa.
Sebagian besar dari pasukan yang terkepung itu tewas. Sisanya hanya bisa diselamatkan
setelah Balanda mendatangkan bantuan dari Ternate.
Seminggu kemudian pertempuran berkobar kembali. Pasukan Belanda berhasil merampas 27
pucuk meriam Gowa. Sesudah itu pertempuran berhenti untuk sementara waktu. Rupanya
Belanda menghadapi kesulitan. Banyak tentaranya yang terserang penyakit, sehingga
sebagian besar harus dipulangkan ke Jakarta. Kurang lebih 100 orang meninggal dunia,
antara lain Van der Straten, orang kedua setelah Speelman.
Speelman memulihkan kekuatannya terlebih dahulu sebelum melancarkan serangan baru. Ia
menunggu datangnya bantuan dari Jakarta. Sementara itu, untuk mengalihkan perhatian
Hasanuddin, ia menawarkan perundingan damai pada bulan November 1668. Tawaran itu
ditolak oleh Hasanuddin. Tawaran kcdua dalam bulan April 1669 mengalami nasib yang
sama.
Setelah bantuan dari Jakarta tiba di perairan Ujung Pandang, Speelman bersiap-siap untuk
menyerang kembali. Sasaran utama ialah benteng Somba Opu. Anak buah Hasanuddin
bertahan mati-matian, namun akhirnya pada tanggal 12 Juni 1669 benteng itu jatuh juga ke
tangan Belanda. Tidak kurang dari 272 meriam disita oleh Belanda. Meriam pusaka
kesultanan yang disebut “Anak Makasar” pun niereka ambil.
Pada saat pertempuran hebat berkobar di Somba Opu dan setelah melihat bahwa benteng itu
tak mungkin lagi dipertahankan, Hasanuddin dan kelurganya menyingkir ke Maccini
Sombala. la ingin membangun pertahanan baru ditempat ini. la bersiap-siap untuk
melancarkan serangan, tetapi tidak jadi dilaksanakan, karena kekuatannya tidak mencukupi.
Speelman mencari siasat baru untuk melemahkan semangat orang-orang Gowa. la
mengumumkan amnesti, pengampunan Rakyat yang dalam waktu lima hari menyerah kepada
Belanda, akan diterima sebagai sahabat. Tetapi, hasil amnesti itu tidak banyak. Sesudah itu
kembalilah Speelman menjalankan kekerasan. Benteng-benteng para pembesar Gowa yang
tidak mau mengikuti perjanjian Bongaya, diserang. Di antara para pembesar itu ialah raja
Tallo dan Karaeng Lengkese. Mereka kemudian berhasil di bujuk oleh Sultan Ternate
sehingga bersedia mengakui Perjanjian Bongaya.
Dengan jatuhnya beberapa benteng dan menyerahnya beberapa orang pembesar kerajaan,
kekuatan Hasanuddin menjadi semakin Iemah. la cukup mengetahui bahwa para pengikutnya
yang masih ada, tetap setia kepadanya. la masih bisa memerintahkan mereka untuk
meneruskan perang, tetapi akibatnya akan terlalu besar. Bila perang dilanjutkan, akan terlalu
banyak rakyatnya yang jatuh menjadi korban. Pertimbangan itulah yang akhirnya
menyebabkan ia mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari tahta kesultanan Gowa.
Pemerintahan diserahkan kepada puteranya yang baru berusia 13 tahun, yang kelak bergelar
Sultan Amir Hamzah. Karena masih sangat muda, pemerintahan dijalankan oleh Karaeng
Tunananga Ripasiringanna.
Hasanuddin sendiri tetap menolak untuk bekerjasama dengan Belanda. Ia meninggal dunia
pada tanggal 12 Juni 1670, setelah sebagian besar dari usianya digunakan untuk membangun
Gowa dan mempertahankan kemerdekaannya.
Keberanian Hasanuddin diakui oleh kawan maupun lawan. Belanda menjulukinya sebagai
Haantje van het Oosten (Ayam Jantan dari Timur).
Pemerintah Republik Indonesia menghargai jasa-jasanya dan berdasarkan Surat Keputusan
Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973 tanggal 6 November 1973. Sultan Hasanuddin
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Nama : Drs. H. Mohammad Hatta
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Agama : Islam
Orang Tua : Muhammad Djamil (ayah), Siti Saleha (ibu)
Istri : Rahmi Rachim
Anak : Meutia Hatta, Halida Hatta, Des Alwi, Gemala Hatta
Pendidikan : Universitas Erasmus Rotterdam Belanda

Bung Hatta lahir 12 Agustus 1902 dengan nama Mohammad Attar di Bukittinggi, Sumatera
Barat. Ayahnya, Muhammad Djamil yang seorang pemuka agama meninggal ketika Hatta
berusia 8 bulan. Oleh karena itu, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga ibunya yang berasal
dari keluarga saudagar. Masa remaja Hatta diisi dengan pendalaman agama Islam, belajar
bahasa Belanda, dan mengikuti berbagai ceramah dan pertemuan politik baik yang bersifat
lokal yang diisi oleh Sutan Ali Said, maupun yang berasal dari luar Jawa yang
menghadirkan Abdul Moeis dari Sarekat Islam.

Hatta (kanan) bersama pamannya Mak Ayub Rais (kiri)


Di Padang, Hatta mengikuti pendidikan di ELS dan MULO (istilah SD dan SMP di jaman
Belanda) dari 1913-1916. Setamat sekolah di Padang, pada pertengahan Juni 1919 Hatta
melanjutkan studi di HBS (Hogere Burger School) di Betawi yang merupakan sekolah
lanjutan tinggi pertama. Di Betawi, Hatta remaja diasuh oleh pamannya yang biasa disebut
dengan Mak Etek Ayub, seorang saudagar yang cukup sukses berdagang. Dia membiayai
Hatta dan menumbuhkan minat dan kecintaan Hatta dengan buku-buku untuk pertama
kalinya.
Dalam otobiografinya, Bung Hatta berkali-kali menyebut keteladanan Mak Ayub sangat
berdampak besar dalam perkembangan intelektual, emosional, dan prinsip-prinsip yang
diyakininya di masa depan. Pada masa inilah Hatta mulai belajar prinsip-prinsip berdagang
serta kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan.

Setelah lulus dari HBS dengan nilai kelulusan yang sangat tinggi, pada tahun 1921 Hatta
ditawari beasiswa untuk belajar di Rotterdam School of Commerce. Di saat yang hampir
bersamaan, Mak Ayub jatuh bangkrut karena terlilit hutang dan sempat menjadi tahanan
Hindia Belanda. Di balik jeruji penjara, Mak Ayub tetap menyemangati Hatta untuk terus
melanjutkan studi di Eropa. Akhirnya, Hatta yang saat itu baru berusia 19 tahun harus
berangkat ke Belanda sendirian dan merasakan hidup jauh di rantau sejak usia belasan tahun.
Masa Studi di Belanda & Lahirnya Jiwa Pemberontakan (1921-1932).

Masa studinya di Belanda ini menjadi awal mula dari perkembangan intelektual Hatta yang
sangat pesat, sekaligus membuka mata Hatta untuk memenuhi panggilan dirinya
dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia). Menjadi anak rantau
di Eropa membuat matanya terbuka akan kemajuan peradaban, modernitas, perkembangan
ilmu terbaru, serta peta perpolitikan dunia yang sedang berkecamuk paska Perang Dunia
I dan revolusi di Rusia. Pada masa-masa ini jugalah Hatta mulai memikirkan berbagai bentuk
ketidakadilan kaum kolonialis pada rakyat pribumi.
Selain melahap entah berapa ratus buku dari toko buku de Westerboekhandel dan
perpustakaan kampus, Hatta juga mulai aktif dalam berorganisasi. Diawali dengan pertemuan
diskusi antar sesama pelajar dari Hindia Belanda di rumah persinggahan bernama
Bilderdikjstraat, Hatta aktif dalam organisasi bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia Belanda). Dinamika diskusinya dalam organisasi tersebut, Hatta bersama
dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Soekiman Wirjosandjojo, dkk
memutuskan untuk melakukan sesuatu yang cukup radikal pada masanya, yaitu mengubah
nama organisasi mereka dari “Indische Vereeniging” menjadi “Indonesische Vereeniging”
yang kemudian berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia”.
Mungkin buat lo mengubah nama organisasi itu hal sepele, tapi di saat itu… perubahan nama
organisasi berarti menyuarakan istilah Indonesia pertama kali dalam organisasi geopolitik
(setelah sebelumnya disuarakan Tan Malaka dalam bentuk buku) yang artinya adalah bentuk
pemberontakan terhadap Belanda. Dari organisasi ini, Hatta, Sjahrir, dan para pemuda lain
di Perhimpunan Indonesia semakin produktif gila-gilaan dalam menyerap ratusan bahan
bacaan kelas berat dari mulai filsafat, ekonomi, politik, dan sastra… sekaligus menulis
artikel-artikel tajam tentang pembelaannya terhadap rakyat Hindia Belanda, salah satunya
adalah buku gedenkboek indonesische vereeniging, Hindia Poetra.
Lo bisa bayangin, Hatta yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa muda, sudah
berjuang untuk rakyat Hindia Belanda, tanah airnya di perantauan dengan
mengikuti konferensi-konferensi Internasional di Perancis dan Belgia, bertukar ide dan
gagasan dengan tokoh perjuangan antikolonialis kelas dunia semacem Nehru (Bapak Bangsa
India) dan Hafiz Ramadan Bey (negarawan Mesir). Di saat mahasiswa di Indonesia jaman
sekarang masih banyak yang galau karena salah jurusan, ngerjain tugas males-malesan,
sering bolos kuliah, dlsb… Tahun 1927, Hatta, seorang pelajar dari tanah Minangkabau di
ujung timur kepulauan Asia Tenggara, memimpin rapat internasional presidium menentang
imperialisme dan kolonialisme di Brussel, Belgia.

Sampai akhirnya, Hatta yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia mulai
meresahkan pemerintah Belanda akhirnya ditangkap dan dipenjara di Casius-
straat bersama Nazir Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat.
Dalam masa peradilan, Hatta membuat pembelaan yang sangat terkenal dan bikin masyarakat
Eropa geger berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Di waktu yang hampir
bersamaan, Bung Karno juga menulis pembelaannya dengan judul “Indonesia Menggugat”.
Inilah awal mula istilah Dwitunggal bagi Soekarno-Hatta melekat, bahkan sebelum mereka
berdua bertemu. Setelah hampir enam bulan dipenjara, Hatta dibebaskan dan melanjutkan
kuliah hingga lulus dengan gelar Drs pada 1932.
Drs Mohammad Hatta kembali ke tanah air 20 Juli 1932 di umur 30 tahun dengan membawa
segudang ilmu dan pengalaman, semangat perjuangan, kemampuan berbahasa Inggris,
Belanda, Jerman, dan Perancis… serta ribuan buku bacaannya yang berjumlah 16 peti. Tapi
terlepas dari semua ilmunya itu, seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang
sebuah cita-cita yang mungkin dianggap kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu
memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah negara baru bernama Indonesia.
Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum Indonesia
Merdeka.

Kembali ke Tanah Air dan Diasingkan (1932-1942)


Sekembalinya ke Indonesia, Hatta bersama Sjahrir membentuk kembali PNI yang baru saja
dibubarkan dan berfokus pada kaderisasi dan mendidik kaum muda. Di samping itu, Bung
Karno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin bergabung pada pergerakan di jalur
yang lain melalui Partindo. Ironisnya, perkenalan awal kedua tokoh proklamator kita bukan
dihiasi oleh diskusi dan persahabatan, tetapi oleh perdebatan panas antar keduanya dengan
saling membalas tulisan terkait gerakan dan gagasan masing-masing di Harian Daulat Ra’jat,
Menjala, Api Ra’jat, dan Fikiran Rakjat selama 2 bulan penuh.
Akibatnya, Hatta semakin merasakan dirinya mendapat penolakan dari publik karena
sosoknya dianggap terlalu radikal menuliskan pemberontakan pada Belanda. Justru lucunya,
pada sebuah kesempatan kunjungan ke Jepang (Februari 1933) untuk keperluan bisnis, Hatta
justru mendapat sambutan luar biasa oleh pers Jepang sampai ngebela-belain nungguin
Hatta di Pelabuhan Kobe. Pers di Jepang bahkan menjulukinya “Gandhi of Java” dan selama
tiga bulan di Jepang, Hatta kebanjiran undangan mulai dari Walikota Tokyo sampai Menteri
Pertahanan Jepang. Dirinya kembali ke tanah air Mei 1933.

Melihat semakin tingginya api pergerakan di kalangan muda, pemerintah Belanda semakin
ngeri akan terjadinya pemberontakan. Belanda mulai bertindak tegas dengan mengasingkan
Bung Karno ke Ende, kemudian Hatta, Sjahrir, dkk di PNI ditangkap dan dipenjara di Glodok
(1934). Kurang dari setahun (Januari 1935), Hatta, Sjahrir, dkk diasingkan ke tempat yang
terkenal sangat mengerikan, yaitu di Boven Digul (Papua).

Digul atau tanah merah, dataran terpencil di Papua adalah tempat yang diasosiasikan tempat
pengasingan seutuhnya, barangsiapa diasingkan ke Digul, tak akan pernah kembali. Digul
adalah tempat buangan para tawanan politik, tanpa jeruji, tanpa sipir dan pengawasan sama
sekali. Tetapi bentuk jeruji yang sesungguhnya adalah rimba liar yang ganas, penuh dengan
binatang buas, pasir hidup, dan nyamuk malaria. Digul memang bukan kamp kerja paksa, tapi
tempat pembuangan tanpa rumah sakit, sekolah, dan masa depan. Tempat yang menjadi
“neraka” bagi orang-orang yang gemas untuk berkarya, karena di sana hanya ada kebosanan,
ketidaktahuan, dan ketidakpastian akan masa depan. Di tengah-tengah “neraka” bagi para
aktivis itu, apa yang dilakukan Hatta? Di sana dia belajar setiap hari, menghabiskan ribuan
bukunya yang berjumlah 16 peti itu, menulis tentang berbagai gagasan kenegaraan, dan
mengajar filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan dan rakyat lokal di sana. Emang ga
ada matinya semangat Bung Hatta ini! Masih aja sempet-sempetnya kepikiran buat belajar
dan berkarya, padahal tidak ada kepastian di hari depannya.
Dalam penjara dan pengasingan, mungkin adalah masa-masa terberat dan ujian bagi Bung
Hatta. Dalam situasi itu, Bung Hatta bukannya merenung, kapok, dan legowo tapi malah
lebih rajin dan produktif dengan menulis banyak banget buku keren. Inilah, salah satu
keunggulan Hatta yang sangat jarang dimiliki oleh tokoh lain. Sampai sekarang,
banyak cerita dari sesama rekan yang diasingkan dan masyarakat setempat yang
menggambarkan Hatta sebagai sosok yang disiplin buanget! Bahkan di tanah pengasingan
yang tanpa masa depan, dia masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat,
belajar, membaca, menulis, dan rutin berdiskusi tentang politik dan sejarah dengan Sjahrir,
Tjipto Mangunkusumo, dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Setelah hampir setahun terkatung-katung tanpa kejelasan di Digul, Hatta dan


Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira (1936) sampai dengan tahun 1942. Tahun 1942 Hatta
dipindahkan ke Sukabumi. “Untungnya”, gak lama setelah itu Jepang menguasai Nusantara
dan mengusir paksa Belanda. Di masa kekuasaan Jepang, Mayjen Harada memerintahkan
untuk membebaskan Hatta dan Sjahrir.

Masa Kependudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)


Dalam masa kependudukan Jepang, para calon pendiri negeri kita seperti Bung Karno, Bung
Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara (empat serangkai) dihadapkan pada
“musuh” imperialis Jepang yang sifatnya jauh berbeda dengan Belanda. Jika sebelumnya
tantangan yang dihadapi adalah pemerintahan Belanda yang masih terbuka pada dialog dan
pembelaan secara birokrasi dan dialektika. Maka Jepang tidak mau ambil kompromi untuk
bersilang pendapat. Silang pendapat itu artinya bersilang katana beneran! Untuk itulah para
calon pendiri NKRI terpaksa harus bersikap ekstra hati-hati, lebih taktis, dan lebih kooperatif
sambil tetap waspada dengan pergerakan dan tujuan tersembunyi dari pemerintah Jepang.
Dalam polemik itu, Hatta adalah orang pertama yang memberanikan diri untuk berdiskusi
dengan Mayjen Harada agar tidak menjadikan Nusantara sebagai koloni Jepang, tapi justru
mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal
baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik
melawan sekutu. Akhirnya Jepang mengangkat empat serangkai jadi pimpinan Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) yang merupakan organisasi propaganda buatan Jepang untuk dapat
mengendalikan rakyat Nusantara dalam perang pasifik, baik dalam upaya kerja paksa
(romusha) maupun bantuan militer.
Peran serta tanggung jawab Bung Karno dan Bung Hatta terhadap penderitaan rakyat pribumi
atas romusha adalah sebuah perdebatan moral tiada akhir dalam sejarah bangsa ini. Di satu
sisi, ini adalah pilihan berat yang mereka anggap sebagai “langkah paling tepat” pada saat itu,
agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri dengan (berpura-pura)
berkooperatif dengan Jepang.
Di sisi lain, bagi tokoh pergerakan lapangan (seperti Tan Malaka, dkk) yang melihat secara
langsung penderitaan rakyat, Bung Karno dan Bung Hatta dinilai terlalu lembek bahkan
pengecut karena mau-maunya jadi boneka Jepang. Puncak polemik ini adalah ketika
Soekarno dan Hatta diundang ke Jepang untuk makan malam bersama Kaisar Jepang dan
Perdana Menteri Tojo tahun 1943.
Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika bom atom menghancurkan
Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara
Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Bung Karno dan
Bung Hatta mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17
Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat Nusantara untuk mendapatkan
momen untuk menghirup udara kemerdekaan.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)


Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan
harinya Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden. Dalam
situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan sorak-sorai oleh
seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah ‘menang sepenuhnya’. Dalam kondisi ini,
tantangan berikutnya yang harus dihadapi adalah: pengakuan dunia internasional. Karena
tanpa adanya pengakuan dunia internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta
hanyalah dianggap sebagai bentuk “upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan
negara” yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak
seluruh kepulauan Nusantara.
Negara Indonesia yang masih bayi memiliki 2 PR besar, yaitu upaya mempertahankan status
kemerdekaan dari serangan militer manapun yang berupaya merebut daerah NKRI. Kedua
adalah upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam
bentuk perundingan dan perjanjian. Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri
Bangsa Indonesia, betul-betul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar
tersebut. Dari mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak
Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang menggerogoti wilayah NKRI yang
notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap perjanjian Linggarjati.
NILAI – NILAI DAN PERANAN YANG DAPAT DIAMBIL

DARI TOKOH NASIONAL

 Ir. Soekarno (Bung Karno)


Peran Bung Karno sebagai proklamator  (pada saat perumusan teks proklamasi dan
pembacaan Teks proklamasi) 

Perumusan Teks Proklamasi

Perumusan teks proklmasi yang terjadi pada malam tanggal 17 Agustus tepatnya
sekitar pukul 23.00 WIB di rumah Laksamana Maeda Jl. Bondjol No I (sekarang menjadi
kediaman resmi Duta Besar Inggris). Sebelum terjadi peristiwa perumusan Teks Proklamasi
Bung Karno dan Bung Hatta sempat di culik/diamankan oleh golongan muda ke
Rengasdengklok.
Peristiwa Rengasdengklok dilatarbeakangi dengan adanya perbedaan pendapat anatara
golongan tua dan golongan muda. Golongan tua diantaranya ada Ir Soekarno didalamnya
berangapan kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada 24 Agustus 1945 sesuai dengan janji
Jepang dengan petimbangan agar tidak terjadi pertumpahan darah nantinya. Sedangkan
golongan muda menginginkna kemerdekaan dilakukan secepat mungkin dan tidak melibatkan
pihak Jepang.
Perbedaan pendapat itu telah telah membawa golongan muda kepada tindakan berikutnya,
yaitu mengamankan Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta ke Rengasdengklok. Tindakan tersebut
berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada jam 24.00 menjelang tanggal 16 Agustus
1945 di Cikini 71 Jakarta. Dalam keadaan tersebut diyakini golongan muda mendesak Ir.
Soekarno dan Moh Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
secepatnya. Juga oleh Sukarni dijelaskan agar di Rengas dengklok ini kedua tokoh tersebut
harus menyatakan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia. Jika tidak dilaksanakan,
pemberontakan melawan setiap penghalangan kemerdekaan akan terjadi. Akan tetapi sikap Ir.
Soekarno dan Drs. Moh Hatta tidak berubah. Karena itu Jusuf Kunto diutus ke Jakarta untuk
melporkan dan merundingkan dengan tokoh yang ada disana. Tetapi yang ditemui hanyaah
Kaigun terutama Mr. Ahmad Subarjo.
Antara Subarjo dan Wikana terdapat kata sepakt bahwa proklamasi kemerdekaan harus
diadakan di Jakarta, dimana Laksamana Maeda menjamin keselamatan mereka di Rumahnya.
Karena itu Jusuf Kunto membawa Subarjo dan Sudiro untuk ke Rengasdengklok untuk
menjemput Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Dengan Jaminan tersebut komandan Kompi Peta
setempat Cudanco Subeno melepaskan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta  untuk kembali ke
jakarta.
Sesampainya di Jakakarta pada jam 23.00 WIB rombongan menuju rumah Laksamana Maeda
di Bondjol No I, ditempat inilah naskah proklamasi di susun.
Para pemuka Indonesia yang hadir dalam permusan teks proklamasi berkumpuldalam dua
ruangan yaitu “ruang makan” dan “serambi depan”. Mereka yang merumuskan berada di
ruang makan yakni, Ir. Soekarn,  Drs. Moh Hatta dan Mr. Ahmad Subarjo. Pada saat itu
Soekarno memegang pena dan menuliskan teks proklamasi terdiri dari dua kalimat. Pertama
Bung Karno menuliskan kata “PROKLAMASI”. Selanjutnya Ahmad subarjo menyebut
Kalimat pertama berbunyi “KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN
KEMERDEKAAN INDONESIA” yang dikutip dari piagam Jakarta yang berbunyi “Atas
berkat rahmat Allah maka rakyat ini menyatakan kemerdekaanya”. Kemudian Drs Moh Hatta
mengucapkan kalimat kedua yang berbunyi “HAL-HAL YANGBMENGENAI
PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN DISELENGARAKAN DENGAN
CARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO YANG SESINGKAT-SINGKATNYA”.
Kemudian sebagai penutup Ir. Soekarno menuliskan Djakarta 17-8-’05 wakil2 Bangsa
Indonesia. Dari perumusan yang ada kemudian dibacakan didepan para hadirin dan disetujui.
Lantas dipilihlah Soekarno Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia melalui
proses musyawarah.
Teks Proklamasi kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik, dan adabeberapa
perubahan yaitu kata “tempoh” diganti “tempo”, “wakil bangsa Indonesia ” menjadi “atas
nama bangsa Indonesia”.kemudian teks tersebut dikenal sebagai teks Otentik.

Proklamasi Kemerdekaan
Pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 di halaman kediaman Bung karno di Jalan
Pegangsaan Timur (sekarang jalan Proklamasi) No 56 Jakarta, jam 12 siang (waktu Tokyo)
atau jam 10.30 waktu Jawa jaman Jepang, atau jam 11.00 WIB teks proklamasi dibacakan
oleh Ir. Soekarno dengan didampingi Moh. Hatta. 
Penandatanganan teks Proklamasi atasa nama Bangsa Indonesia yang dipercayakan kepada
Soekarno Hatta disebabkan kedua tokoh tersebut merupakan dua tokoh yang tidak bisa
dipisahkan (dwi tuggal) dan menjadi inti/roh dari setiap perjuangan bangsa Indonesia untuk
mencapai kemerdekaan. Hal tersebut terbukti pada saat perumusan teks proklamasi di Rumah
Laksamanan Maida. Setelah selesai penyusunan tekas proklamasi, maka teks proklamasi
tersebut dibacakan dihadapan pemuka-pemuka yang sebagaian besar adalah anggota PPKI,
dan akhirnya teks tersebut disetujui.
Akan tetapi pada saat itu timbulah persoalan tentang siapa yang menandatangani teks
proklamasi tersebut. Cairul Saleh tidak setuju apa bilayang menandatangani adalah anggota
PPKI dengan alasan karena pertimbangan anggota PPKI sebagaian besar diangkat oleh
Jepang. Sukarni mengusulkan agar teks proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta
atas nama bangsa Indonesia dan semua hadirin menyetujui usulan tersebut.
Adapun bunyi teks proklamasi sebagai berikut:

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselengarakan dengan  
tjara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Djakarta, hari 17 Boelan 8 tahoen 05.


Atas nama bangsa Indonesia

      Soekarno/Hatta
    
Nilai-nilai perjuangan Bung Karno sebagai Proklamator
Setiap  warga  NKRI semestinya   mengingat sejarah Indonesia. Sekaligus   tidak  melupakan
sejarah perjuangan dan peran Bung Karno pada masa prakemerdekaan, kemerdekaaan dan
awal menggerakkan roda NKRI. Dengan demikian kita akan memahami Bung Karno dan
nilai  yang diperjuangkan. Adapun  filosofi perjuangan Bung Karno tidak lepas dari nilai-
nilai.

Kebangsaan/Nasioonalisme
Semangat cinta tanah air dan semangat jauang Soekarno begitu besar, dengan perjuanganya
dan sering keluar masuk penjara itu tidak membuat dia jera akan tetapi tetap berjuang dan
akhirnya bisa membawa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
Menjunjung persatuan
Bung Karno memahami ke Indonesiaan, yang sekaligus kemajemukannya. Sehingga dengan
segala pemikirannya Bung Karno mencanangkan NASAKOM sebagai gambaran bahwa  di
Indonesia telah ada berbagai macam pemikiran, agama serta kepercayaan yang sebetulnya
bisa dipersatukan. Menurut saya inilah kejujuran dan sikap obyektif Bung Karno dalam
melihat pluralism Indonesia.

Kerakyatan
Sikap yang komitmen pada nasib rakyat. Khususnya kaum tani dan buruh.  Wong Cilik
memang berada di lapisan buruh dan petani , dari dahulu hingga sekarang. Karenanya Bung
Karno melahirkan Marhaenisme, aliran pemikiran kerakyatan khas Indonesia.

Kemandirian
Pada hakikatnya adalah Indonesia jangan  bergantung pada negara asing. Terlebih kepada
Jepang (saat itu). Maka relevan ketika Bung Karno menggagas  konsep BERDIKARI (Berdiri
di atas Kaki Sendiri).

Religius 
Religius adalah ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan anajaran agama
yang dianut. Hal tersebut tercermin dalam setiap gerak-gerik Bung Karno, dalam
perjuangannya untuk memerdekakan Indonesia Soekarno juga tidak lupa untuk mendekatkan
diri dan meminta petunjuk dari Allah.

Disiplin 
Disiplin adalah kebiasaan dan tindakan  yang  konsisten  terhadap segala bentuk peraturan
atau  tata tertib yang berlaku. Hatta adalah seorang tokoh yang     konsisten dengan
pendiriannya, baik sebagai negarawan sejati, maupun sebagai manusia biasa.

Kerja Keras
Karena kebenciannya pada kolonial Belanda dan kecintaanya pada tanah leluhurnya itulah ia
bekerja keras berjuang memerdekakan Indonesia. Bung Karno sering keluar masuk penjara,
diasingkan, dan diancam untuk dieksekusi manakala tetap melawan Pihak Kolonial. Akan
tetapi Bung karno tetap berjuang keras dan pantang menyerah untuk memerdekakan
Indonesia.
Nilai Karakter Demokratis
Hatta dikenal sebagai tokoh yang Demokratis. Demokratis adalah sikap dan cara berfikir
yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya
dengan orang lain. Sewaktu dipenjara dan dipembuangan  Hatta  selalu menekankan pada
rekannya agar tetap bersikap  demokratis  sekalipun  berada di pengasingan.

Drs. Moh Hatta


Peranan sebagai Proklamator (pada saat perumusan teks proklamasi dan pembacaan Teks
proklamasi)
Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi salah seorang pemimpin PUTERA, menjadi
anggota BPUPKI dan wakil ketua PPKI. Saat menjabat sebagai wakil PPKI, Moh Hatta dan
Sukarno menjadi dwi tunggal yang sulit dipisahkan. Bersama  Bung Karno,  ia juga  pergi 
menghadap  Terauchi di Saigon. Setelah pulang,  Moh.Hatta menjadi salah satu tokoh sentral
yang terus  didesak  para  pemuda agar  bersama   Sukarno  bersedia  menyatakan proklamasi
Indonesia secepatnya.

Penyusunan Teks Proklamasi


Moh. Hatta melibatkan  diri secara langsung  dan ikut andil dalam perumusan teks
proklamasi. Moh Hatta juga ikut menyempurnakan teks proklamasi kalimat ke 2 yang
berbunyi “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselengarakan dengan
cara saksama dan dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya ”. la juga ikut menandatangani
teks proklamasi. 

Proklamasi Kemerdekaan
Pada peristiwa detik-detik proklamasi, Moh. Hatta tampil sebagai tokoh nomor dua dan
mendampingi Bung Karno dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan. 

Nilai-nilai perjuangan Bung Hatta sebagai Proklamator

Nilai Karakter Demokratis


Hatta dikenal sebagai tokoh yang Demokratis. Demokratis adalah sikap dan cara berfikir
yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya
dengan orang lain. Sewaktu dipenjara dan dipembuangan  Hatta  selalu menekankan pada
rekannya agar tetap bersikap  demokratis  sekalipun  berada di pengasingan.
Nilai Karakter Nasionalisme
Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang  menempatkan 
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
Mohammad Hatta adalah seorang Pahlawan Proklamator yang berjiwa Nasionalis. ia bercita-
cita membebaskan bangsanya, Indonesia dari  Penjajahan  Kolonial

Nilai Karakter Religius 


Religius adalah ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama
yang dianut. Bung Hatta dilahirkan pada keluarga yang kental dengan agama. Hal tersebut
membawa beliau menjadi insan yang selalu bertuhan. Dalam setiap perjuangan beliau tidak
lupa untuk ingat kepada tuhan dan selalu memohon petunjuk untuk memperjuangkan
Indonesia agar merdeka. 

Nilai Karakter Cinta Tanah Air    


Cinta tanah air adalah sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa kagum dan bangga, setia,
peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik dan
sebagainya terhadap tanah kelahiran, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain
yang dapat merugikan bangsa sendiri.

Nilai Karakter Kerja Keras


Karena kebenciannya pada kolonial Belanda dan kecintaanya pada tanah leluhurnya itulah ia
bekerja keras berjuang memerdekakan Indonesia. Bersama Bung Karno beliau dijuluki Dwi
Tunggal artinya tokoh yang tidak dapat dipisahkan. Perjuangan Bung Hatta juga hampir sama
dengan Bung Karno, artinya beliau sering keluar masuk penjara akan tetapi hal tersebut tidak
menyurutkan semangat Bung Hatta untuk memerdekakan Indonesia.

Nilai Karakter Mandiri 


Mandiri  adalah  sikap  dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun  hal  ini  bukan  berarti  tidak boleh
kerja sama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas   dan   tanggung  
jawab   kepada orang lain.
Sederhana dan baik hati
“Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak
murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian
menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar
bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah
mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu
kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan.Hingga akhir hayatnya,
sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah
mencukupi. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga
Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta.
Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk
memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau pengusaha
yang menjadi kenalan Bung Hatta. Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak
mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain.Bung Hatta memilih jalan
sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada
kepentingannya sendiri.”

Jujur dan Rendah hati


Ketika Bung Hatta ingin menunaikan ibadah haji di tanah suci, beliau berangkat dengan
menggunakan biaya sendiri. Padahal waktu itu Bung Karno telah menawari untuk berangkat
menggunakan pesawat terbang yang biayanya ditanggung negara. Tapi, Bung Hatta
menolaknya dan lebih memilih untuk naik haji menggunakana biaya sendiri sebagai rakyat
biasa.
 Jendral soedirman
Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah tokoh pahlawan Indonesia yang
memiliki nama besar, meskipun beliau berasal dari kalangan rakyat kecil, seperti yang
dikatakan oleh Adjisoedarmo dkk. (2015) bahwa:

          “Panglima Besar Jenderal Soedirman merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional
yang sangat berjasa bagi bangsa Indonesia sehingga dapat dikategorikan sebagai tokoh yang
memiliki nama besar. Namun demikian, bukan berarti beliau berasal dari keturunan orang
besar tetapi beliau berasal dari rakyat kecil”.

          Panglima Besar Jenderal Soedirman yang memiliki nama asli Raden Soedirman, lahir
di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya adalah seorang
Mandor Tebu di Kalibagor Banyumas yang bernama Karsid dan Ibunya bernama Siyen, sejak
bayi Panglima Besar Jenderal Soedirman dijadikan anak angkat oleh keluarga
R.Cokrosunaryo yang menjabat sebagai Asisten Wedana (Camat) di Rembang Purbalingga
(Arrusdi, 2014).

         Panglima Besar Jenderal Soedirman telah banyak memberikan perjuangan kemerdekaan
untuk Indonesia. Perjuangan tersebut diantaranya adalah berjuang melawan pasukan Belanda
pada Agresi Militer II, melawan pasukan Jepang setelah kemerdekaan Indonesia, berhasil
membuat pasukan Inggris meninggalkan Indonesia, dan lain-lain. Panglima Besar Jenderal
Soedirman pada saat Agresi Militer II menderita penyakit yang parah, namun tetap bertekad
memimpin prajurit untuk ikut bergerilya melawan Belanda meskipun harus menggunakan
tandu.  Panglima Besar Jenderal Soedirman juga memberikan jasa pertamanya sebagai tentara
pasca kemerdekaan Indonesia, yaitu melawan pertempuran dengan pasukan Jepang di
Banyumas dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang. Pasca kemerdekaan pada tanggal 12
Desember 1945, Panglima Besar Jenderal Soedirman melancarkan serangan serentak
terhadap semua kedudukan pasukan Inggris, pertempuran tersebut berlangsung selama lima
hari dan berhasil memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri (Arrusdi, 2014).

          Perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman


melahirkan suatu nilai-nilai luhur dan keteladanan. Nilai luhur yang dapat diambil dalam
perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah nilai kejuangan, seperti yang
dikatakan oleh Adjisoedarmo dkk. (2015) bahwa:

         “Nilai kejuangan dapat bermakna nilai yang terkandung dalam usaha dengan penuh
kesukaran dan bahaya untuk merebut sesuatu (misalnya mempertahankan kemerdekaan RI),
merebutkan sesuatu dengan mengadu tenaga dan pikiran, dan usaha yang penuh dengan
bahaya (misalnya perang). NIlai kejuangan tersebut bermakna pula nilai luhur hasil wujud
interaksi sosial termasuk dalam berbagai persaingan dan konflik”.

        Nilai luhur dan keteladanan yang berupa nilai kejuangan tersebut dapat diinternalisasi
dan diaktualisasi oleh sivitas akademik, khususnya bagi mahasiwa pada kegiatan akademik.
Mahasiswa sebagai bagian integral dari pemuda Indonesia memiliki kedudukan dan posisi
yang strategis bagi pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup bangsanya.
         Kedudukan mahasiswa dalam kehidupan bangsa mempunyai dua peran sebagai generasi
muda intelektual dan generasi muda bangsa. Mahasiswa sebagai generasi muda intelektual
mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan dan implementasi ilmu pengetahuan dan
teknologi serta dapat memecahkan masalah bangsa dengan pendekatan kemampuan
intelektual yang dimilikinya. Mahasiswa sebagai generasi muda bangsa adalah calon-calon
pemimpin masa depan yang harus mempunyai kemampuan dan kompetensi teknis, moralitas,
karakter, dan kepribadian yang baik.

            Pembentukan moralitas, karakter, dan kepribadian mahasiswa membutuhkan


penerapan nilai-nilai luhur dan keteladanan dari seorang panutan, contohnya adalah Panglima
Besar Jenderal Soedirman. Nilai kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman tersebut
diamati, dipelajari, dimengerti, dan dipahami. Nilai kejuangan Panglima Besar Jenderal
Soedirman yang dapat diteladani adalah:

1. Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai sang mubaligh, mempunyai sifat jujur yang
didasarkan pada keyakinan agamanya. Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah
seorang pemimpin yang mempunyai iman dan taqwa yang kuat.
2. Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai sang pendidik, mempunyai sifat cerdas yang
mendasarkan pada kemampuan intelektuallitas.
3. Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai sang demokrat mempunyai sifat peduli,
dengan tetap menghormati perbedaan pendapat tanpa harus memaksakan kehendak, dan
berorientasi pada kepentingan rakyat.
1. Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai sang prajurit pejuang mempunyai sifat
tangguh, iklas dan rela berkorban, berpegang teguh pada prinsip dan cita-cita, pantang
menyerah dalam berjuang, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dalam rangka
menumbuhkan kesadaran bela negara.
Nilai kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman dapat diterapkan secara bertahap
hingga berkelanjutan yang dimulai saat mahasiswa baru mengikuti proses pembelajaran dan
menjalani kehidupan masyarakat kampus. Penerapan nilai-nilai luhur dan keteladanan
mempunyai banyak manfaat di bidang kegiatan akademis, diantaranya adalah
membangkitkan kepercayaan mahasiswa sehingga menumbuhkan self concept yang sangat
diperlukan dalam mendukung efektifitas, efisiensi, dan keberhasilan mahasiswa dalam
menyelesaikan studi tepat waktu, mampu menempatkan diri pada teknostruktur yang tepat di
masyarakat setelah purnastudi, dan secara konsisten menjadi pribadi yang beriman, bertaqwa
dan ber-ipteks yang diamalkan kepada masyarakat, bangsa, dan negara (Adjisoedarmo dkk.,
2015).
         Pengembangan karakter dan kepribadian yang sesuai dengan nilai kejuangan dan
keteladanan Panglima Besar Jenderal Soedirman salah satunya melalui pendidikan karakter.
Pendidikan karakter dilakukan dengan mengutamakan dan memfokuskan pada aktivitas yang
mampu memunculkan proses internalisasi dan aktualisasi karakter berbasis nilai-nilai
kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan melahirkan banyak tujuan, seperti yang
dikatakan oleh Adjisoedarmo dkk. (2015) bahwa:

         “Pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk membuat keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan dan
menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari hari dengan sepenuh hati”.

          Pelaksanaan pendidikan karakter kepada mahasiswa  diharapkan agar mahasiswa dapat
meneladani nilai-nilai luhur tokoh pejuang, di samping itu pendidikan karakter dengan
berlandaskan nilai kejuangan Panglima Besar Soedirman dapat menjadi alternatif solusi bagi
perbaikan perilaku dan moral bangsa yang mengalami krisis etika dan identitas diri, dan
mahasiswa mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan konflik di berbagai kalangan
dalam berbagai aspek kehidupan. Mahasiswa yang dapat meneladani pendidikan karakter dari
nilai-nilai kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman mampu meningkatkan kualitas
sivitas akademik dalam berbagai upaya peningkatan kegiatan akademis.
 Sultan Alauddin
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun.
Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya Sultan Malikussaid mengantikan
kakek beliau menjadi Raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639.

Selama kepemimpinannya Sultan Malikussaid kerap kali mengajak Hasanuddin yang masih
berusia remaja untuk menghadiri perundingan-perundingan penting. Hal ini tiada lain
dilakukan untuk mengajarkan Sultan Hasanuddin tentang  ilmu pemerintahan, diplomasi dan
strategi peperangan.

Sejak itulah kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol. Selain mendapat bimbingan dari
ayahnya, Hasanuddin juga banyak dibimbing oleh mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng
Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas yang sekaligus guru dari Arung
Palakka yang merupakan Raja Bone.

Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan, sekaligus membawa amanah mewakili
ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara dengan membawa titah persatuan nusantara.
Terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa.

Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan


Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna
menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.

Pengangkatan Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa ke-16


I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan
Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22
tahun. Sultan Hasanuddin bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan,
dikarenakan derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya.

Sultan Hasanuddin diangkat menjadi raja karena pesan dari ayahnya sebelum wafat. Wasiat
dari Raja kepada Sultan Hasanuddin disetujui oleh Mangkubumi Kerajaan Karaeng
Pattingaloang. karena melihat sifat-sifat Hasanuddin yang tegas, berani dan juga memiliki
kemampuan serta pengetahuan yang luas.
Kerajaan Gowa Menentang Usaha Monopoli VOC
Sultan Hasanuddin melanjutkan perjuangan ayahandanya melawan VOC yang menjalankan
monopoli perdagangannya di Indonesia bagian timur. VOC menganggap orang - orang
Makasar dan Kerajaan Gowa sebagai penghalang dan saingan berat. Bahkan VOC
menganggap sebagai musuh yang sangat berbahaya. 

Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa ketika Belanda sedang berusaha menguasai
hasil rempah-rempah dan memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia. Salah satu
caranya adalah melarang orang Makasar berdagang dengan musuh-musuh Belanda seperti
Portugis dsb. Tentu saja keinginan Belanda ditolak mentah-mentah Raja Gowa. Kerajaan
Gowa menentang dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan VOC. Sultan Alaudin,
Sultan Muhammad Said, dan Sultan Hasanuddin berpendirian sama. Bahwa Tuhan
menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama.

Itu sebabnya Kerajaan Gowa menentang usaha monopoli VOC dan ini yang membuat VOC
berusaha untu menghancurkan dan menyingkirkan Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa pada saat
itu merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan.

Peperangan Melawan Belanda dan Perjanjian Bongaya


Dalam perjalanannya, terjadi pertempuran yang berlangsung di medan perang Sulawesi
Selatan antara orang-orang Makassar yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan VOC
dipimpin oleh Laksamana Speelman. 

Tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Belanda berusaha


menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi mereka belum berhasil menundukkan Kerajaan
Gowa. Karena Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan
kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Belanda.

Pertempuran-pertempuran terus berlangsung begitu pula selalu diadakannya berbagai


perjanjian perdamaian dan gencatan senjata, namun selalu dilanggar oleh VOC dan
merugikan Kerajaan Gowa.

Pada saat peperangan Belanda terus menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sultan
Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya, pada 18 November 1667. Setelah
merasa Perjanjian Bungaya itu sangat merugikan bagi rakyat dan Kerajaan Gowa, akhirnya
pada 12 April 1668 perang kembali pecah. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan
sengit. Bantuan tentara dari luar, menambah kekuatan pasukan Belanda, hingga akhirnya
berhasil menerobos benteng terkuat Kerajaan Gowa yaitu Benteng Sombaopu  pada tanggal
24 Juni 1669.
Sultan Hasanuddin Turun Tahta

Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari
benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan
kerajaan Gowa terus dilancarkan.

Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau menyerah
diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan
Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda.
Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16
setelah selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan
Nusantara.

Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan


Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya
sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.

Wafatnya Sultan Hasanuddin


Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah.
Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di
pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.

I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri


Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa
yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.

Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan
namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas
Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia bagian Timur,
mempergunakan namanya dan memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur".

Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan


menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan
keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan
Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa
kepahlawanannya.
 Drs. H. Mohammad Hatta

Pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta satu-satunya Proklamator


Kemerdekaan yang masih ada yaitu Dr. H. Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan
pidato memperingati hari lahir Pancasila. Berikut petikannya; “Adakah cukup rasa
tanggungjawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana
mestinya menurut Pancasila? Soal inilah yang sangat disangsikan. Dalam kehidupan sehari-
hari Pancasilaitu hanya diamalkan di bibir saja. Apabila kita perhatikan kejadian-kejadian
dalam masyarakat sejak beberapa tahun yang akhir ini, ternyata benar bahwa Pancasila itu
belum meresap ke dalam jiwa rakyat. Lihatlah, mudah saja orang membunuh sesama
manusia.”

Bung Hatta adalah seorang pejuang, negarawan dan pemimpin besar bangsa Indonesia yang
berjuang tanpa pamrih memperbaiki nasib bangsanya. Selain itu beliau dikenal sebagai
pemikir yang sangat dihormati dan memiliki kejujuran tinggi dalam segala hal. Wakil
Presiden Pertama Republik Indonesia itu memperingatkan, “Kadang-kadang dalam
lingkungan petugas negara Pancasila itu tidak diamalkan. Camkanlah, negara Republik
Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum
sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27
ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.” Pidato Bung Hatta tersebut diterbitkan oleh Yayasan
Idayu menjadi buku berjudul Pengertian Pancasila (1981).
Salah satu modal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah saling percaya
antara rakyat dengan pemimpin dan antara sesama rakyat. Akhir-akhir ini persatuan dan
kesatuan bangsa sedang diuji. Provokasi memecah-belah bangsa dan konflik SARA (Suku,
Agama, Ras dan Antar-Golongan) tidak boleh dibiarkan menghancurkan negeri dan
meruntuhkan bangunan persatuan. Para penyelenggara negara dan masyarakat umumnya,
perlu introspeksi; apakah sikap, tingkah laku dan perbuatan kita telah mencerminkan
idealisme Pancasila dan berada dalam arah rel yang benar sesuai cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 1945.

Sejarah Pancasila

Sejenak kita mengenang (kembali) sejarah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara yang tidak terpisahkan dari sejarah konstitusional pembentukan negara.
Perumusan Pancasila tidak sekali jadi, tapi berproses mulai tanggal 1 Juni 1945 dan
berpuncak pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila adalah nama bagi lima prinsip dasar negara yang dibentangkan oleh Ir. Soekarno
(Bung Karno) di depan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945. Pidato bersejarah Bung Karno
diterbitkan pada tahun 1947 dan diberi judulLahirnya Pancasila. Bung Karno menyampaikan
pidato lima prinsip dasar negara untuk menjawab permintaan Ketua Sidang BPUPKI dr. KRT
Radjiman Wedyodiningrat kepada Sidang BPUPKI tentang dasar Indonesia Merdeka?, atau
dalam bahasa Belanda: “philosofische grondslag”.
Konsep Pancasila Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 belum mempunyai kekuatan hukum.
Pancasila kemudian dirumuskan oleh Panitia Kecil (Panitia Sembilan) BPUPKI berdasarkan
ide dan konsep Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, dengan beberapa penyempurnaan.
BPUPKI antara tanggal 2 Juni sampai dengan 9 Juli 1945 mengadakan rapat bersifat informal
karena berlangsung dalam masa reses anggota BPUPKI. Dalam tempo yang sangat penting
dan bersejarah, para tokoh pendiri republik berhasil merumuskan satu gentlement
agreement atau konsensus nasional tentang dasar negara sebagai
rancangan preambule konstitusi atau mukaddimah Undang-Undang Dasar. Mr. Muhammad
Yamin memberi nama Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta atau mukaddimah Undang-Undang Dasar ditanda-tangani pada 22 Juni 1945
oleh 9 orang Panitia Kecil (Panitia Sembilan) terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad
Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus
Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. A. Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Dalam
rangkaian rapat BPUPKI, Bung Karno selaku Ketua Panitia Sembilan sangat gigih
mempertahankan Piagam Jakarta yang memuat rumusan Pancasila. Piagam Jakarta semula
dimaksudkan sebagai pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia, namun tidak jadi
digunakan pada 17 Agustus 1945. Tidak bisa dipungkiri Piagam Jakarta itulah yang
melahirkan Proklamasi dan Konstitusi, seperti ditegaskan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam
bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1952).
            Sehari setelah proklamasi, tepatnya 18 Agustus 1945, Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Piagam Jakarta menjadi Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dengan perubahan beberapa bagian kalimat yang dihapus. Seperti
tercatat dalam sejarah, Jumat 17 Agustus 1945 sore bertepatan dengan bulan Ramadhan,
seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) diutus oleh Nisyijima, Pembantu Admiral
Mayeda, datang ke rumah Bung Hatta menyampaikan bahwa wakil-wakil Protestan dan
Katolik dalam daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang merasa keberatan dengan kalimat
“Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”,
karena kalimat itu tidak mengikat mereka tapi hanya mengenai orang-orang Islam. Jika itu
ditetapkan dalam Pembukaan UUD, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) Bung Hatta mengungkapkan fakta sejarahnya,
“Karena opsir angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang
bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan
‘bersatu kita teguh berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan
saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan
melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia Merdeka, bersatu dan tidak terbagi-
bagi. Apakah Indonesia yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah
lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di
luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan
politik devide et impera, politik memecah dan menguasai.” pikir beliau
Bung Hatta mempertanyakan bukankah Mr. A.A. Maramis dalam Panitia Sembilan tidak
mempunyai keberatan apa-apa dan ia ikut menanda-tangani Piagam Jakarta? Bung Hatta
tidak sempat melakukan verifikasi, apakah ultimatum itu benar atau rekayasa pihak Jepang.
Beliau kemudian membicarakan dengan tiga anggota PPKI yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Mr.
Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo. Setelah melalui diskusi mendalam di
antara tiga tokoh Islam tersebut akhirnya disetujui pencoretan tujuh kata mengenai syariat
Islam dan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

         Bung Hatta menjelaskan makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Dalam
pandangan Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, arti
istilah Ketuhanan Yang Maha Esa tiada lain ialah tauhid. Dalam biografi Mr. Teuku Moh.
Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo dikemukakan hal yang sama bahwa arti Ketuhanan
Yang Maha Esa ialah  tauhid. Seperti ditulis Bung Hatta dalam Sekitar Proklamasi, semangat
Piagam Jakarta tidak lenyap dan tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam yang hanya
mengenai orang-orang Islam dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR dan
setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Sampai kini banyak orang memandang tujuh kata menyangkut syariat Islam dalam Piagam
Jakarta lahir dari pandangan ideologi. Padahal, sebetulnya tujuh kata itu lahir dari pandangan
sosiologi karena umat Islam adalah mayoritas, maka konstitusi negara wajar mengatur hal
demikian. Semua anggota BPUPKI telah mufakat menerima Pancasila sebagai landasan
falsafah dasar negara dan ideologi nasional.
Kalau belakangan ini, ada yang melihat pertentangan Pancasila dengan Piagam Jakarta,
mungkin itu sebuah pandangan ahistoris.
Menurut sejarah yang otentik, ide dan konsep Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila dalam Piagam
Jakarta 22 Juni 1945, dan Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan
dalam Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 merupakan satu continuum yang tidak dapat
dipisahkan.
Sejarah pembentukan dasar negara dan pergulatan pemikiran kebangsaan para founding
fathers negara di awal kemerdekaan membuktikan toleransi pemimpin Islam dan umat Islam
sebagai kekuatan persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu tidak berlebihan H.
Alamsjah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama RI tahun 1978–1983) menegaskan, “Pancasila
adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan
Indonesia.”
Pancasila hakikatnya merupakan perjanjian luhur antara negara dengan rakyat dan antara
rakyat dengan rakyat. Pancasila tidak mungkin bertentangan dengan Al-Quran, kecuali
penjabarannya dijauhkan dari nilai-nilai agama. Sejatinya Pancasila akan hidup subur dengan
naungan nilai-nilai agama. Dalam kaitan ini baik digaris-bawahi pandangan Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, tanpa Islam mustahil nasionalisme terbentuk cepat di Indonesia. Umar
Wirahadikusumah semasa menjabat Wakil Presiden RI menandaskan, “Pancasila tanpa
agama tidak mempunyai makna apa-apa……”

Pemahaman Pancasila

Dalam beberapa tulisan dan pidato Bung Hatta menjelaskan Pancasila mengandung dua lapis
fundamen falsafah yaitu “fundamen moral” (etik agama, sila ke-1) dan “fundamen politik”
(sila ke-2 sampai dengan sila ke-5). Dalam pandangan Bung Hatta, “Dengan dasar-dasar ini
sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintah negara pada hakekatnya tidak boleh
menyimpang dari jalan lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan
masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.”
Dalam pendahuluan tulisan Pancasila Jalan Lurus (1966) Bung Hatta menegaskan, Revolusi
Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang disemangati oleh
Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan jalan kiri, hanya mengenal jalan lurus yang
diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa. “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa  – tulis Bung Hatta
dalam Pengertian Pancasila (1981) – tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-
masing, seperti yang dikemukakan bermula oleh Bung Karno, melainkan menjadi dasar yang
memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan.”
Seperti terangkum dalam Kumpulan Pidato III (2002) Bung Hatta mengemukakan bahwa
sesuai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia mengakui adanya kekuasaan yang
memberi petunjuk kepada manusia supaya memegang kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Dengan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti tersebut dalam sila pertama Pancasila,
rakyat Indonesia menempatkan politik nasional di atas dasar moral.
Dalam Pancasila Jalan Lurus, Bung Hatta mengemukakan pengertian persatuan Indonesia
ialah Tanah Air kita Indonesia adalah satu dan tidak dapat dibagi-bagi. Persatuan Indonesia
mencerminkan susunan negara nasional yang bercorak bhinneka tunggal ika, bersatu dalam
berbagai suku bangsa, yang batasnya ditentukan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Dasar ini menegaskan sifat Republik Indonesia sebagai negara
nasional, berdasarkan ideologi sendiri. Selanjutnya, dasar kerakyatan menciptakan
pemerintahan yang adil, yang dilakukan dengan rasa tanggungjawab, agar tersusun sebaik-
baiknya demokrasi Indonesia, yang mencakup demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Dasar keadilan sosial adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya. Dengan melaksanakan cita-
cita ini dalam praktik, rakyat hendaknya dapat merasakan keadilan yang merata dalam segala
lapangan hidup, dalam bidang ekonomi, bidang sosial dan bidang kebudayaan.
Salah satu tugas negara – sambung Bung Hatta – ialah mempergunakan sumber daya alam
menjadi kapital kemakmuran rakyat. Karena itu, beliau meletakkan prinsip konstitusi sebagai
pokok-pokok pelaksanaan kesejahteraan sosial, antara lain; bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Bung Hatta semasa hidupnya tiada lelah memperjuangkan gerakan koperasi sebagai soko
guru ekonomi Indonesia. Cita-cita koperasi Indonesia adalah menentang individualisme dan
kapitalisme secara fundamental.
Pancasila dan Kondisi Bangsa Kesetiaan kepada Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka
Tunggal Ika yang dikampanyekan belakangan ini di tengah berbagai kegaduhan yang timbul
dalam kehidupan bangsa – bahkan ada yang menyebut Indonesia mengalami darurat integrasi
bangsa – sangat memerlukan tindaklanjut dan langkah konsisten mewujudkan idealisme
Pancasila ke dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ialah mampukah kita menjaga
kedaulatan NKRI dari intervensi kekuatan asing, menanggulangi kemerosotan moral dan
dehumanisasi dalam kehidupan sosial, serta mengatasi ketimpangan kondisi ekonomi yang
semakin melebar dan berbanding lurus dengan perbedaan etnis dan agama.

Bung Karno menjanjikan dalam pidato 1 Juni 1945 bahwa tidak akan ada kemiskinan di
dalam Indonesia Merdeka. Dalam kaitan itu Bung Hatta memberi definisi “kemakmuran
rakyat” ialah apabila rakyat terlepas dari kemiskinan yang menyiksa dan bahaya kemiskinan
yang mengancam. Menurut Bung Hatta pemerintah harus bertindak supaya tercapai
penghidupan sosial yang lebih baik. Dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
(ISEI) tanggal 15 Juni 1979 yang merupakan pidato Bung Hatta terakhir, bapak bangsa itu
mengutarakan, “Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering
menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering dipakai jadi pedoman.”
Pancasila juga harus dipahami sebagai ideologi pembangunan dan dijadikan tolok ukur dalam
menilai keberhasilan pembangunan Indonesia. Mengutip data Global Wealth Report (2016),
ketimpangan di negara kita cukup tinggi, di mana 1% kelompok masyarakat terkaya
menguasai hampir separoh atau 49,3% kekayaan nasional di Indonesia. Ketimpangan sosial
ekonomi seperti tergambar di atas, menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial dalam
Pancasila masih belum menjadi nafas pembangunan nasional.
Pancasila tidak bisa mengubah kondisi bangsa, tetapi manusia Indonesia yang konsisten
melaksanakan Pancasila yang akan mengubah kondisi bangsa menjadi lebih baik. Kalau kita
semua konsisten dengan Pancasila dan amanat Pembukaan UUD 1945, niscaya
kecenderungan neo-liberalisme dan kapitalisme dalam ekonomi tidak mungkin terjadi.
BAB 2

A. Perjuangan Bungkarno untuk sebuah kemerdekaan


Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno. Saat lahir, Soekarno diberi nama Koesno
Sosrodihardjo. Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 6 Juni 1901 .
Soekarno meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun). Soekarno
diangkat menjadi Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966. Dalam berjuang untuk mencapai kemerdekaan, Soekarno mengutamakan cara
“NON KOOPERATIF”.
Soekarno tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Negara penjajah hanya memntingkan
imerialisme dan kolonialisme tanpa memikirkan bagaimana penderitaan rakyat
jajahannya.Karena tidak mau bekerjasama dengan Belanda, akibatnya Soekarno
sering keluar masuk penjara, diadili dan dibuang ke daerah lain.

Perjuanganyang dilakukan Soekarno:

1. memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan


Belanda.

2. Soekarno dan Mohammad Hatta merupakan Proklamator Kemerdekaan Indonesia


pada tanggal 17 Agustus 1945.

3. Soekarno merupakan orang yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai


Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya. 

4. Pada tanggal 9 Agustus 1945, Ir. Soekarno bersama Mohammad Hatta dan Rajiman
Wedyodiningrat ke Dalat, Vietnam. Mereka bertemu Jenderal Terrauchi untuk
membicarakan kemerdekaan Indonesia.

5. Soekarno menjadi Pemimpin organisasi PUTERA

6. Soekarno juga pernah menjadi Ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia).
Dalam perjuangannya membela negara, ada beberapa hal yang patut dicontoh dari
seorang Soekarno antara lain:
A.Selalu mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Pada saat proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,
Soekarno dan tokoh kemerdekaan Indonesia lainnya mengadakan musyawarah untuk
mencapai mufakat demi keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang baru berdiri.

B.Meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas


kepentingan pribadi. Meskipun masing-masing tokoh memiliki pendapat yang
berbeda-beda namun akhirnya Soekarno dan tokoh bangsa lainnya dapat
menghasilkan keputusan bersama yang diterima & dilaksanakan dengan ikhlas
dan penuh tanggung jawab.

C.Memiliki semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Soekarno dan tokoh bangsa lainnya
memiliki semangat kekeluargaan dan kebersamaan yang merupakan kekuatan   batin dalam
merebut kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan rakyat.

D.Berani dan rela berkorban untuk tanah air, bangsa dan negara. Soekarno terkenal sebagai
orator yang ulung. Pidato-pidato mampu membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang
merebut kemerdekaan. Dengan tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak, pada akhir
Desember 1929 Soekarno ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara.

E.Pantang mundur dan tidak kenal menyerah Perumusan dasar negara Indonesia merupakan
hasil kerja keras yang melibatkan banyak tokoh diantaranya Soekarno. Beliau berjuang keras
tanpa kenal menyerah dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih dan penuh semangat untuk
merumuskan dasar Negara.

f.Memiliki Rasa tanggung jawab yang tinggi Sebelum pembacaan teks proklamasi,
sebenarnya Ir. Soekarno sedang dalam keadaan yang kurang sehat, dan ditambah lagi saat itu
beliau sedang berpuasa Ramadhan. Tetapi karena beliau merasa bertanggung jawab dalam
hal proklamasi, akhirnya beliau tetap berkehendak untuk melanjutkan pelaksanaan
proklamasi kemerdekaan Indonesia.

B. Perjuangan KI Hajar Dewantara Untuk Sebuah Kemerdekaan

Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh Pahlawan Nasional yang sangat
berjasa kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama aslinya adalah Raden Mas
Suwardi Suryaningrat. Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Beliau
menamatkan sekolah dasar di Yogyakarta dan sempat melanjutkan pendidikannya di
Stovia. Stovia adalah sekolah kedokteran di Jakarta yang didirikan khusus untuk orang
Indonesia. Kemampuannya berbahasa Belanda digunakannya untuk menuliskan kritikan-
kritikan terhadap pemerintah Belanda.
Pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa, yaitu
sekolah nasional pertama bagi rakyat Indonesia. Taman Siswa merupakan bentuk nyata
perjuangan melawan penjajah karena ia yakin bahwa pendidikan akan membantu tujuan
mencapai kemerdekaan bangsa.

Jasa Ki Hajar Dewantara sangatlah besar dalam dunia pendidikan. Beliau mendapat
gelar ‘Bapak Pendidikan Nasional’ dan tanggal lahirnya 2 Mei, diperingati sebagai
Hari Pendidikan Nasional.

1. Apa jasa Ki Hajar Dewantara bagi bangsa Indonesia?


Ajarannya yakni tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya
mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtulada (di depan memberi teladan) akan selalu menjadi dasar pendidikan di
Indonesia. Untuk mengenang jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan
Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk
melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.

2. Mengapa Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai Bapak Pendidikan?


Gelar Bapak Pendidikan Nasional pun disematkan kepada beliau karena kepedulian
yang sangat tinggi pada jamannya, ia mendirikan Taman Siswa. Taman Siswa sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

3. Setujukah kamu, jika tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahiran Ki Hajar
Dewantara disebut sebagai Hari Pendidikan Nasional?
Sangat setuju karena Ki Hajar Dewantara telah banyak berjasa bagi bangsa dan negara
tidak hanya sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (Bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi
juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Setelah zaman kemedekaan,
Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama.
4. Jika kamu bayangkan, apa yang akan terjadi dengan Indonesia jika tidak ada Ki
Hajar Dewantara?
Jika tidak ada Ki Hajar Dewantara mungkin pendidikan di negara kita tidak seperti
yanga ada saat ini. Sebagai bapak Pendidikan Nasional beliau telah meletakan dasar-
dasar pendidikan saat itu yang menjadi dasar pendidikan pada saat ini Ki Hajar
Dewantara mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan
negara. Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan pendidikan Indonesia. Berkat beliau,
kita bisa bersekolah seperti sekarang.

5. Sikap apa yang bisa kita contoh dari Ki Hajar Dewantara?


Ki Hajar Dewantara aktif dalam organisasi sosial dan politik. Dia aktif di seksi
propaganda Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran rakyat
Indonesia. Beliau juga ikut mendirikan Indische Partij (Partai Politik pertama
beraliran Indonesia) yang dapat membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia.
Beberapa sikap kepahlawanan Ki Hajar Dewantara antara lain memiliki sikap
kepahlawanan rela berkorban, cinta tanah air, selalu mengedepankan kepentingan
bersama, jiwa persatuan dan kesatuan, semangat nasionalisme yang tinggi.

C. Perjungan Bungtomo Untuk Sebuah Kemerdekaan


Pada Tanggal, 11 Desember 2017 pendengar setia radio se-Jakarta mendapatkan sebuah
kejutan yaitu hilangnya siaran radio selama 15 menit, dari pukul 07.45-08.00. Hal ini
merupakan sebuah kampanye agar masyarakat Indonesia khusunya Jakarta merasakan
bagaimana rasanya hidup tanpa radio. Sebelum adanya televisi, radio merupakan satu-satunya
alat penyebar informasi dan hiburan. Tidak terkecuali di Indonesia. Pasca proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, semua kejadian baik di Indonesia maupun di luar negeri
dapat diketahui lewat radio. Radio pun juga memiliki peran dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kota Surabaya.
Dilansir dari laman Historia (09/05/16), Bung Tomo adalah orang yang pertama kali
memiliki ide untuk mendirikan sebuah radio yang beliau beri nama Radio Pemberontakan.
Radio ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memperbesar semangat perjuangan dan
menggalang solidaritas para pemuda. Saat itu Radio Republik Indonesia (RRI) telah
mengudara di berbagai daerah di Indonesia, namun RRI adalah lembaga penyiaran resmi
milik pemerintah, sehingga tidak bisa dengan bebas menyuarakan perlawanan terhadap pihak
asing. Berdasarkan tulisan dari Barlan Setiadijaya dalam 10 November Gelora Kepahlawanan
Indonesia, Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin menyetujui pendirian Radio Pemberontak
gagasan dari Bung Tomo dengan syarat radio tersebut tidak menjadi milik resmi pemerintah.
Akhirnya pada tanggal 15 Oktober 1945, Radio Pemberontakan mengudara untuk pertama
kalinya dengan gelombang 34 meter.

Awal mengudara, Radio Pemberontakan masih menggunakan pemancar RRI Surabaya,


karena pemancar Radio Pemberontakan masih harus dibuat. Radio Pemberontakan
mengudara setiap Rabu dan Minggu malam. Siaran tidak hanya dilakukan dengan bahasa
Indonesia, tapi juga dengan bahasa daerah bahkan bahasa Inggris. Siaran bahasa Inggris diisi
oleh Miss Deventery atau yang lebih dikenal dengan nama Ktut Tantri. “Target utama dari
siaran berbahasa Inggris adalah pendengar di luar negeri untuk mengumpulkan dukungan luar
negeri terhadap kasus yang menimpa Indonesia,” tulis Timothy Lindsey dalam The Romance
of KTut Tantri and Indonesia.
Tidak lama setelah Radio Pemberontakan mengudara, Allied Firces Netherlands East Indies
(AFNEI) yang merupakan tentara Inggris mendarat di Surabaya. Kedatangan mereka pun
dibonceng oleh Tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA). NICA bermaksud
untuk mengembalikan Indoenesia ke pemerintahan Belanda, perlawanan pun tidak bisa
dihindarkan.
Banyaknya korban jiwa akibat pertempuran melawan tentara Inggris pada tanggal 27 Oktober
1945, menyebabkan terjadinya gencatan senjata. Soekarno mengumumkan gencatan senjata
lewat Radio Pemberontakan karena RRI Surabaya sedang mengalami kerusakan. Gencatan
senjata yang dilakukan ternyata tidak menurunkan ketegangan yang terjadi. Terlebih setelah
Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh. Pihak Inggris pun mengultimatum pihak Indonesia agar
menghentikan perlawanan. Setelah Indonesia menghentikan perlawanan, pihak Inggris pun
langsung melakukan serangan besar-besaran. Pertempuran akhirnya terjadi di seluruh kota.

Pada 10 November 1945, melalui Radio Pemberontakan, Bung Tomo menganjurkan seluruh
pemuda Surabaya di berbagai daerah agar kembali ke Surabaya. Kiai Mashoed juga
menggunakan Radio Pemberontakan untuk menyerukan para Kiai dan rakyat Indonesia untuk
menuju Surabaya. Beberapa negara juga menyuarakan protes mereka terhadap serangan
Inggris di Indonesia melalui Radio Pemberontakan. Seperti pemerintah Rusia yang
menganggap bahwa pertempuran itu merupakan pembunuhan besar-besaran dan berharap
Pemerintah Rusia melakukan protes atas nama kemanusiaan.

Saat tentara Inggris mulai menduduki kota Surabaya, pemancar Radio Pemberontakan
dibawa keluar kota. Pada waktu Indonesia melakukan Perjanjian Linggarjati dengan Belanda,
keadaan pun mulai damai. Untuk mendukung proses perjanjian, Bung Tomo dilarang untuk
berpidato lewat Radio Pemberontakan, karena siaran pidato yang dilakukan oleh Bung Tomo
dianggap akan membahayakan proses perjanjian. Sejak 17 Desember 1947, Radio
Pemberontakan berhenti mengudara. Larangan itu dicabut pada 27 Januari 1948.

Akhir tahun 1948 Radio Pemberontakan digunakan sebagai “Radio Gerilya” oleh Brigade
Mobil Polisi Jawa Timur, dan akhirnya Radio Pemberontakan digunakan sebagai pemancar
perhubungan oleh Pusat Kepolisian Republik Indonesia.
Tokoh – Tokoh Perjuangan Nasional Untuk Memperjuangkan
Kemerdekaan Indoneisa

Frans Kaisiepo

Pahlawan berikutnya adalah pahlawan yang berasal dari Irian. Namanya diabadikan menjadi
nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak serta diabadikan di salah satu kapal yaitu KRI
Frans Kaisiepo dan wajahnya diabadikan dalam mata uang Rp.10.000,00.

Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia
mengikuti kursus Pamong Praja di Jayapura yang salah satu pengajarnya adalah, Sugoro
Atmoprasodjo, yang merupakan mantan guru Taman Siswa. Sejak bertemu dengan beliau,
jiwa kebangsaan Frans Kaisiepo semakin tumbuh dan kian bersemangat untuk
mempersatukan wilayah Irian ke dalam NKRI.

Frans Kaisiepo wafat tanggal 10 April 1979. Atas jasa dan perjuangannya selama
mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional.
K. H. Hasyim Asy’ari

Ternyata, Squad, mereka yang mempertahankan kemerdekaan tidak hanya datang dari
kalangan sipil dan tentara saja, lho. Salah satu tokoh yang berjuang mempertahankan
kemerdekaan NKRI adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan salah satu ulama yang
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa
Tengah tanggal 10 April 1875. Pondok Pesantren Tebuireng didirikan pada tahun 1899 serta
memelopori pendirian organisasi massa Islam Nahdhatul Ulama (NU) tanggal 31 Januari
1926. K.H. Hasyim Asy’ari memiliki peran dalam upaya memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara lain:

K.H. Hasyim Asy’ari wafat tanggal 25 Juli 1947. Wafatnya beliau terjadi ketika utusan Bung
Tomo serta pemimpin Hizbullah Surabaya Kyai Gufron bertamu ke pesantren Tebuireng.
Kedatangan dua tamu tersebut berupaya memberitahu K.H. Hasyim Asy’ari bahwa pasukan
Belanda melakukan Agresi Militer 1 dan menduduki kota Malang yang sebelumnya dikuasai
pasukan Hizbullah.

Berita itu mengejutkan K.H. Hasyim Asy’ari dan membuat beliau jatuh pingsan di atas
kursinya. Dokter segera didatangkan namun sayangnya ia sudah wafat akibat pendarahan
otak. Pemerintah RI lantas menghargai jasa-jasanya dan pengabdiannya dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964,
yang menyatakan bahwa Pemerintah RI menganugerahi K.H. Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
Jenderal TNI Gatot Soebroto

Jenderal TNI (Purn.) Gatot Soebroto lahir di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober
1907. Jenderal Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang aktif di tiga zaman. Dia pernah
menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL), masa pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan
beliau menumpas PKI.

Pada tanggal 11 Juni 1962 Gatot Soebroto wafat pada usia 54 tahun akibat serangan jantung.
Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Atas jasa-jasa dan
perjuangannya, ia dianugerahi gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gatot
Soebroto adalah tentara asli indonesia. darma baktinya kepada nusa dan bangsa ia tunjukkan
dengan prestasi yang luar biasa.

Semua pemberontakan di tanah air mulai dari pki madiun 1948, DI/TII, dan PRRI
Permesta. Selama hidupnya sosok Gatot Soebroto merupakan sosok yang dianggap gila
karena ucapannya yang terkadang kasar namun karena sikapnya tersebut ia sangat dekat
dengan para bawahannya di militer.
Laksamana Madya TNI Yos Sudarso

Laksamana Madya TNI Yos Sudarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24 November
1925. Laksamana Madya TNI Yos Sudarso bertugas di angkatan laut pada dua zaman. Ia
bertugas sejak masa Pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan.

Laksamana Madya TNI Yos Sudarso wafat dalam pertempuran di Laut Aru tanggal 15
Januari 1962. Ia meninggal ketika melaksanakan operasi rahasia untuk menyusupkan
sukarelawan ke Irian menggunakan KRI Macan Tutul.
Tokoh – Tokoh Perjuangan Daerah Untuk Memperjuangkan
Kemerdekaan Indoneisa

Pangeran diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, memiliki nama
kecil Mustahar dan nama gelar kerajaannya adalah Raden Mas Ontowiryo, Pangeran
Diponegoro merupakan anak dari Sultan Hamengkubuwono III. Entah saya tidak tahu
bagaimana hingga akhirnya beliau mendapatkan julukan sebagai Pangeran Diponegoro.

Kerendahan hati Pangeran Diponegoro sudah terlihat sejak ia masih kecil, Pangeran
Diponegoro menolak keinginan ayahnya untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau
menyadari bahwa terlahir hanya dari selir dan bukan dari permaisuri sehingga merasa kurang
pantas untuk menjadi pewaris tahta kerajaan. Pangeran Diponegoro memilih tinggal bersama
masyarakat biasa di Tegalrejo dengan hidup secara sederhana meninggalkan statusnya yang
merupakan bagian dari keluarga keraton.

Kepedulian Pangeran Diponegoro terhadap penderitaan rakyatnya atas kedatangan kolonial


Belanda yang menyengsarakan masyarakat Jawa kala itu. Belanda mulai memberlakukan
pembebanan pajak kepada rakyat dan membangung tiang pancang secara sembarangan untuk
pembangunan jalan dengan tidak peduli terhadap adat istiadat dengan membangun jalan di
lahan yang dianggap sakral oleh masyarakat. Pangeran Diponegoro akhirnya terpanggil untuk
melakukan perlawanan kepada Belanda dengan menghimpun kekuatan dari masyarakat sipil.
Memanfaatkan karisma yang dimilikinya, Pangeran Diponegoro berhasil meyakinkan
masyarakat untuk bersama-sama melakukan perlawanan yang dipimpin langsung olehnya.
Perlawanan rakyat yang awalnya dilakukan oleh Pangeran Diponegoro akhirnya menyebar
hampir di seluruh wilayah Pulau Jawa. Hingga akhirnya dikenal Perang Diponegoro selama 5
tahun sejak 1925-1930 yang ketika itu benar-benar membuat kewalahan kolonial Belanda dan
dapat disebut sebagai perang terbesar di Pulau Jawa ketika itu bahkan tidak ada yang
menduga akan terjadi perang dalam waktu yang sangat lama dan area perang yang begitu
luas.
Kota Semarang menjadi saksi perjuangan heroik Pangeran Diponegoro ketika melakukan
perlawanan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Willem
Janssens. Daerah dataran tinggi Semarang di Jatingaleh berhasil ditaklukan oleh Pangeran
Diponegoro dan wilayah yang direbut meluas hingga ke Ungaran.

Prajurit Pangeran Diponegoro akhirnya semakin terdesak karena sudah minimnya persediaan
makanan dan senjata. Prajurit Kolonial akhirnya mampu mengepung Pangeran Diponegoro di
Magelang dan akhirnya memaksa Pangeran Diponegoro untuk menyerah. Perang Diponegoro
berakhir pada 28 Maret 1830.

Perang diakhiri dengan sebuah negosiasi agar pasukan Pangeran Diponegoro mengakhiri
kegiatan perlawanan. Melalui sikap pemberani yang dimilikinya Pangeran Diponegoro
mengajukan penawaran kepada Belanda untuk menangkapnya saja sebagai jaminan
berhentinya perlawanan dan membebaskan semua sisa prajurit yang dimiliki oleh Pangeran
Diponegoro. Sikap ksatria dan rela berkorban yang dimiliki oleh Pangeran Diponegoro serta
kearifan dan kejujurannya yang memang sangat terkenal akhirnya membuat Belanda sepakat
untuk menangkap Pangeran Diponegoro saja. Memang akhirnya perlawanan di Pulau Jawa
kala itu berhenti seiring dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Setelah ditangkap,
Pangeran Diponegoro diasingkan di Benteng Rotterdam, Makassar. Pangeran Diponegoro
wafat di tempat pengasingannya pada tanggal 8 Januari 1855.

Perjuangan yang begitu membanggakan oleh Pangeran Diponegoro di Semarang,


menginspirasi Universitas swasta di Semarang untuk mengganti namanya menjadi
Universitas Diponegoro. Pada tanggal 9 Januari 1960 pengukuhan Universitas swasta
Semarang yang disahkan menjadi Universitas negeri dilakukan langsung oleh Presiden Ir.
Soekarno. Atas saran Bung Karno pula akhirnya Universitas swasta Semarang berubah
namanya menjadi Universitas Diponegoro. Hingga saat ini Universitas Diponegoro menjadi
salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan misinya untuk menjadi universitas riset
yang unggul pada tahun 2020.

Kisah perjuangan Pangeran Diponegoro yang sebenarnya merupakan bagian dari perang
Napoleon di Eropa, karena ketika itu kerajaan Belanda berada di bawah kekuasaan dari
Perancis. Ketokohan Pangeran Diponegoro dari Tanah Jawa dikenal luas oleh sejarawan luar
negeri terutama dari Eropa dan Amerika. Peter Carey, sejarawan yang juga doktor dari
Cornel University New York tertarik untuk mempelajari sejarah Pangeran Diponegoro.
Carey merilis karya sejarah tentang Pangeran Diponegoro berjudul “The Power of Prophecy:
Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855”. Buku tersebut
merupakan hasil penelitian Peter Carey selama 40 tahun. Pada tanggal 10 Maret 2012 buku
tersebut diluncurkan dalam bahasa Indonesia di Universitas Diponegoro dengan judul “Kuasa
Ramalan-Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855“.
Buku Kuasa Ramalan sangat menarik, menceritakan sejarah Pangeran Diponegoro sejak kecil
hingga di penghujung akhir hayatnya. Membaca kisah hidup Pangeran Diponegoro akan
begitu kental dengan budi pekerti yang khas dimiliki oleh Pangeran Diponegoro yaitu jujur,
berani dan peduli. Teladan Pangeran Diponegoro selayaknya menjadi refleksi dan anutan
bagi pemimpin bangsa saat ini yang terkesan lebih mementingkan keinginan pribadi dan
golongan. Sikap pemimpin yang jujur, berani dan peduli benar-benar dibutuhkan oleh bangsa
ini agar mampu meneruskan perjuangan para pahlawan untuk membawa tanah nusantara
kepada kemerdekaan yang hakiki melalui kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh rakyat
Indonesia. Teladan Pangeran Diponegoro bukan hanya diterjemahkan sebagai semangat
kepahlawanan karena nyatanya beliau juga merupakan pemimpin yang mampu menghimpun
kekuatan rakyat untuk memperjuangkan hak yang dimiliki dan mengembalikkan kedaulatan
kaum pribumi dari cengkraman penjajahan Belanda. Perjuangan Pangeran Diponegoro bukan
hanya dikenang oleh masyarakat  dari daerah Semarang, Makassar atau sejarawan saja.
Semangat Pangeran Diponegoro selayaknya dijadikan teladan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Seorang pemimpin mungkin akan berkuasa di masa hidupnya namun seorang pahlawan akan
tetap dikenang dan dihargai meskipun telah gugur. Pangeran Diponegoro merupakan
pahlawan sekaligus pemimpin yang memulai perlawanan di awal penjajahan Belanda yang
akhirnya menginspirasi rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Sekalipun kemerdekaan
sudah diraih, Pangeran Diponegoro tetap akan dijadikan teladan lewat sifat budi pekerti luhur
yang dimilikinya.

Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Wanita dari Tanah Jawa

Nyi Ageng Serang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi lahir di
Serang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah pada tahun 1762. Beliau adalah putri bungsu dari
Bupati Serang, Panembahan Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan
Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Purwodadi-Sragen. Setelah
ayahnya wafat, Nyi Ageng Serang yang juga salah satu keturunan Sunan Kalijaga
menggantikan ayahnya. Meski merupakan putri bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng
Serang dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa dia juga tampil sebagai salah satu
panglima perang melawan penjajah. Semangatnya untuk bangkit selain untuk membela
rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku
Buwana I yang dibantu Belanda. Yang sangat menonjol dari sejarah perilaku dan perjuangan
Pahlawan Wanita ini antara lain ialah kemahirannya dalam krida perang, kepemimpinan yang
arif bijaksana sehingga menjadi suri tauladan bagi penganut-penganutnya. 

Tekadnya keras untuk lebih maju dalam berbagai bidang, dengan jiwa patriotisme dan anti
penjajahan yang kuat dan konsekuen. Imannya teguh terhadap Allah SWT dan terampil
dalam menjalankan peran gandanya sebagai pejuang sekalligus istri/ibu rumah tangga dan
pendidik utama putra-putranya.
Sebutan Nyi Ageng Serang dikaitkan dengan kota tempat kelahirannya yaitu kota Serang
yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (bukan kota Serang, Banten). 
Kota Serang menjadi terkenal, semula karena menjadi markas besar perjuangan Natapraja
atau Penembahan Natapraja, yaitu rekan perjuangan Mangkubumi dalam Perang Giyanti
tersebut. Nyi Ageng Serang mewarisi jiwa dan sifat ayahandanya yang sangat benci kepada
penjajahan Belanda (VOC) dan memiliki patriotisme yang tinggi. 

Menyimpang dari adat kebiasaan yang masih kuat mengingat kaum wanita masa itu, Nyi
Ageng Serang mengikuti latihan-latihan kemiliteran dan siasat perang bersama-bersama
dengan para prajurit pria. Keberaniannya sangat mengagumkan, dalam kehidupannya sehari-
hari beliau sangat berdisiplin dan pandai mengatur serta memanfaatkan waktu untuk
kegiatan-kegatan yang bermanfaat. 

Pandangannya sangat tajam dan menjangkau jauh ke depan. Menurut keyakinannya, selama
ada penjajahan di bumi pertiwi, selama itu pula rakyat harus siap tempur untuk melawan dan
mengusir penjajah. Karena itu rakyat terutama pemudanya dilatih terus-menerus dalam ha
kemahiran berperang. Hal itu rupanya dapat diketahui oleh penjajah Belanda. Karenanya
pada suatu ketika mereka mengadakan penyerbuan secara mendada terhadap kubu pertahanan
Pangeran Natapraja bersama putra-putrinya itu, dengan kekuatan tentara yang besar. 
Karena usianya sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang di serahkan kepada nyi Ageng
Serang bersama putranya laki-laki. 

Walaupun diserang dengan mendadak dan dengan jumlah dan kekuatan tentara besar,
pasukan Serang tetap berjuang dengan gigih dan melakukan perlawanan mati-matian. Dalam
suatu pertempuran yang sangat sengit putra Penembahan Natapraja, saudara laki-laki nyi
Ageng Serang, gugur. Pimpinan dipegang langsung sendiri oleh Nyi Ageng Serang dan
berjuang terus dengan gagah berani. Namun demikian, karena jumlah dan kekuatan musuh
memang jauh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya yaitu Pangeran Mangkubumi
tidak membantu lagi karena mengadakan perdamaian dengan Belanda berdasarkan perjanjian
Giyanti. 

Maka akhirnya pasukan Serang terdesak, dan banyak yang gugur sehingga tidak mungkin
melanjutkan perlawan lagi. Walaupun Nyi Ageng Serang tidak mau menyerahkan diri,
akhirnya tertangkap juga dan menjadi tawanan Belanda. Panembahan Natapraja sudah makin
lanjut usia dan menderita batin yang mendalam dengan terjadinya peristiwa-peristiwa
tersebut. Akhirnya beliau jatuh sakit dan wafat. ADVERTISEMENT Selama Nyi Ageng
Serang dalam tahanan Belanda, terjadi perubahan-perubahan pending di Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I telah diganti Sultan
Hamengkubuwono II. Bertepatan dengan Upacara Penobatan Sultan Hamengkubuwono II
itu, Nyi Ageng Serang dibebaskan dari tahanan Belanda dan bahkan diantarkan ke
Yogyakarta untuk diserahkan kepada Sri Sultan. Entah apa latar belakang yang sesungguhnya
sehingga hal itu terjadi. Yang dapat diketahui dengan jelas ialah bahwa kedatangan Nyi
Ageng Serang di Yogyakarta disambut secara besar-besaran dengan tata cara penghormatan
yang tinggi sesuai adat keraton. Upacara itu dilakukan mengingat jasa dan patriotisme
almarhum Panembahan Natapraja dan Nyi Ageng Serang serta keharuman nama Pahlawan
Nasional Wanita itu sendiri.

Pattimura Purna

Pada tahun 1817 adalah masa-masa yang mengesalkan bagi Belanda. Baru saja mendapatkan
kembali Kepulauan Maluku dari Inggris, yang terjadi kemudian justru tak seindah yang semula
dibayangkan. Di bawah komando Kapitan Pattimura, rakyat Maluku kompak melawan Belanda
dan menimbulkan kehancuran bagi mereka. Belanda sadar, sepak terjang Pattimura harus
segera dihentikan jika tidak ingin menderita kerugian yang semakin besar. Tapi, itu bukan
perkara mudah. Pattimura adalah sosok yang amat tangguh, pemberani, dan sukar dikalahkan.
Terlebih lagi, ia didukung segenap rakyat serta raja-raja kecil di Kepulauan Maluku. Maka,
Belanda menyiapkan taktik khasnya, devide et impera, untuk memecah-belah kesolidan rakyat
dan para pemimpin Maluku. Upaya itu ternyata berhasil. Berkat bantuan beberapa sekutu
Pattimura yang berhasil dipengaruhi, sang kapitan akhirnya bisa ditangkap, dan dijatuhi
hukuman mati. Tanggal 16 Desember 1817, tepat hari ini persis dua abad lalu, Pattimura dan
beberapa orang pejuang Maluku lainnya, yakni Anthony Reebook, Philip Latumahina, serta Said
Parintah, digantung di depan Benteng Nieuw Victoria, Ambon. Pattimura Beragama Islam?
Pattimura menyandang nama Thomas Matulessy saat dilahirkan pada 8 Juni 1783 di Haria,
Pulau Saparua, Maluku.

Mengenai asal-usul Pattimura ternyata masih menjadi perdebatan. Setidaknya ada dua versi
mengemuka terkait hal ini. Menurut buku tentang Pattimura versi pemerintah RI yang pertama
kali diterbitkan, Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia karya M. Sapija (1960),
Pattimura masih memiliki darah keluarga Kerajaan Sahulau yang terletak di Teluk Seram bagian
selatan, sebagaimana dituliskan bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan. Ayah
beliau yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari Kasimilali Pattimura Matulessy,
sedangkan yang tersebut terakhir ini adalah putera Raja Sahulau. Versi awal dan pertama ini
dijadikan rujukan hingga muncul versi lain tentang asal-usul Pattimura, termasuk agama yang
dipeluknya. Versi kedua ini dikemukakan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah
Volume I (2009) yang menegaskan pemaparan berbeda mengenai Pattimura. Disebutkan, nama
asli Patimura adalah Ahmad Lussy atau Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan. Suryanegara
menyebut Pattimura merupakan bangsawan dari Kerajaan Sahulau yang diyakininya telah
menganut ajaran Islam di bawah pemerintahan Sultan Kasimillah atau yang dalam bahasa
Maluku disebut Kasimiliali (hlm. 200). Dua Agama di Maluku Ditegaskan kembali oleh
Suryanegara, perlawanan rakyat Maluku yang dipimpin Pattimura pada 1817 terjadi akibat
penindasan dan kekejaman penjajah Protestan Belanda.

Di Ambon, lanjutnya, penyandang nama Pattimura adalah muslim. Oleh karena itu, Suryanegara
menilai salah jika dalam penulisan sejarah, Pattimura disebut seorang penganut Kristen (hlm.
202). Dua versi ini ada kesamaan, yakni tentang Kerajaan Sahulau, termasuk lokasi dan nama
rajanya, meskipun tempat lahir Pattimura disebutkan berbeda.
Hanya saja, versi pertama dari M. Sapija, yang menjadi versi “resmi” tentang Pattimura, tidak
menyebutkan secara gamblang apa agama yang dianut oleh sang kapitan. Demikian pula buku-
buku lain yang merujuk pada versi ini. Sultan Ternate yang Terpaksa Pindah Agama Pemimpin
Rakyat Maluku Pattimura tumbuh ketika Kepulauan Maluku mengalami masa peralihan
penguasaan dari Belanda ke Inggris sejak tahun 1798. Kala Inggris mulai berkuasa, Thomas
Matulessy alias Pattimura muda masuk dinas militer (Korps Ambon) bentukan negeri Britania
Raya itu hingga mencapai pangkat sersan (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional,
Volume 1-2, 1983:53). Tanggal 13 Agustus 1814, Inggris dan Belanda menyepakati Traktat
London (Rusdiat & Sulaiman T.S., Api nan tak Kunjung Padam, 1983:3). Salah satu poin penting
yang menjadi hasilnya adalah bahwa Inggris harus mengembalikan wilayah di Nusantara yang
semula merupakan hak milik Belanda, termasuk Kepulauan Maluku. Kembali berada di bawah
cengkeraman Belanda menimbulkan petaka bagi rakyat Maluku. Belanda memberlakukan
kebijakan yang sangat merugikan rakyat, termasuk monopoli perdagangan rempah-rempah,
menetapkan pajak tanah (landrente) yang tinggi, memindahkan penduduk untuk dijadikan
pekerja paksa, hingga persoalan pelayaran Hongi (hongitochten). Situasi ini tak pelak membuat
rakyat Maluku semakin sengsara dan miskin. Tak hanya berbagai kebijakan yang mencekik,
sikap para petinggi Belanda juga amat tak terpuji. Menurut M. Sapija, mereka bertindak kasar
dan culas terhadap rakyat (hlm. 35). Portugis vs Tidore-Spanyol Belanda juga melanggar Pasal
11 dalam Traktat London yang memuat ketentuan bahwa seiring berakhirnya masa
pemerintahan Inggris di Maluku, maka Korps Ambon seharusnya dibubarkan dan para
anggotanya dibebaskan, apakah akan masuk dinas militer bentukan Belanda atau keluar. Akan
tetapi, yang terjadi kemudian adalah Belanda memaksakan kehendaknya dengan tetap
mempekerjakan para tentara eks Korps Ambon (J.B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan:
Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, 2007:199P). Inilah yang membuat Pattimura memutuskan
untuk melawan, juga karena sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan rakyat Maluku.
Keinginan Pattimura mendapat sambutan dan dukungan penuh dari segenap rakyat serta raja-
raja juga tokoh-tokoh adat. Pada 14 Mei 1817, Pattimura diangkat sebagai pemimpin dan
panglima perang (kapitan) untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda (Arya Ajisaka & Dewi
Damayanti, Mengenal Pahlawan Indonesia, 2010:9). Dikhianati dan Dihukum Mati Segera
setelah diresmikan sebagai pemimpin rakyat Maluku, Kapitan Pattimura segera menyusun siasat
untuk menyerang pos-pos Belanda. Dalam perjuangan ini, Pattimura didukung tokoh-tokoh
pejuang Maluku lainnya, termasuk Anthony Reebook, Philip Latumahina, Melchior Kesaulya,
Said Parintah, juga Paulus Tiahahu beserta putrinya, Christina Martha Tiahahu. Operasi
penyerangan pun dimulai. Tanggal 16 Mei 1817, catat M. Sapija, pasukan Pattimura berhasil
merebut Benteng Duurstede dan menewaskan Residen Johannes Rudolph van den Berg
beserta 19 orang prajurit Belanda (hlm. 69). Pattimura sekuat tenaga mempertahankan benteng
dari serbuan Belanda yang bergantian datang. Dalam Pattimura-Pattimura Muda Bangkit
Memenuhi Tuntutan Sejarah karya David Matulessy (1979) dikisahkan, pasukan Belanda yang
berkekuatan 200 tentara menyerbu pada 20 Mei 1817, namun luluh-lantak dan hanya tersisa 30
orang saja yang selamat (hlm. 70). Rentetan perang juga terjadi di titik-titik krusial lainnya, baik
di darat maupun di laut. Kemenangan demi kemenangan pun diraih pasukan Pattimura,
termasuk dalam pertempuran di Waisisil, Hatawano, Hitu, hingga Seram Selatan. Belanda yang
semakin terdesak lantas berpikir keras demi menemukan cara untuk menghentikan sepak-
terjang Pattimura yang kian menakutkan. Akhirnya, devide et impera alias politik pecah-belah
pun diterapkan. Belanda, tulis M. Sapija, berhasil memengaruhi tokoh-tokoh rakyat yang dirasa
tidak suka kepada Pattimura, termasuk Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta (hlm.
124). Hasilnya mujarab. Berkat informasi dari Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta,
strategi pasukan Pattimura diketahui Belanda.
Perlawanan rakyat Maluku di beberapa tempat dapat dipatahkan, bahkan Benteng Duurstede
mampu kembali direbut Belanda. Atas informasi dari orang dalam itu pula, Belanda akhirnya bisa
menangkap Pattimura yang saat itu sedang berada di Siri Sori, Maluku Tengah, pada 11
November 1817. Menurut Soedarmanta, Pattimura ditangkap bersama beberapa orang
kepercayaannya (hlm. 201). Belanda menawarkan kerjasama kepada Pattimura, namun selalu
ditolak mentah-mentah.

Tak ada pilihan lain, Belanda pun menjatuhkan hukuman mati. Akhirnya, pada 16 Desember
1817, Pattimura bersama Anthony Reebook, Philip Latumahina, dan Said Parintah dihukum
gantung di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon. Kapitan Pattimura gugur di tiang
gantungan pada usia yang masih muda, 34 tahun. Pada 6 November 1973, pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. 

Anda mungkin juga menyukai