Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

STASE BEDAH
“ IKTERUS OBSTRUKTIF ”

DISUSUN OLEH :

MASRIDA REZKI

2008730086

PEMBIMBING :

DR. H. Lili K Djoewaeny, Sp.B

PROGRAM STUDI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2012
BAB I

STATUS PASIEN

Identitas :

o Nama : Tn. A
o Jenis kelamin : Laki-laki
o Usia : 55 tahun
o Alamat : Pakematan RT.05/RW.05 Ciranjang
o Pekerjaan : Supir
o MRS : 17 Oktober 2012
o Ruang : Kenanga

Anamnesis :

 Keluhan Utama :

Mata dan seluruh tubuh terlihat kuning sejak 5 hari SMRS

 Riwayat Penyakit Sekarang :

OS masuk RSUD dengan keluhan mata dan tubuh kuning sejak 5 hari SMRS.
Awalnya, OS demam tinggi sejak 1 minggu SMRS, demam dirasakan terus menerus
dan disertai menggigil. Dua hari kemudian, kedua mata OS mulai terlihat kuning.
Lalu diikuti kuning pada wajah, leher, kedua lengan, dada, perut hingga kedua tungkai
OS. OS juga mengeluh nyeri perut bagian kanan atas dan ulu hati yang dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu dan dirasakan semakin lama semakin berat. Nyeri dirasakan
seperti ditusuk-tusuk, dirasakan hilang timbul dan terkadang dirasa seperti penuh dan
kembung. Nyeri semakin hebat terutama saat makan. Kadang perut dirasakan panas
menjalar sampai ke punggung. OS juga mengeluh mual, terasa ingin muntah tetapi
tidak muntah. OS mengeluh badan terasa lemas sejak beberapa bulan terakhir BAB
pucat seperti dempul tetapi lancar tiap harinya. BAK berwarna kuning pekat, lancar
dan tidak nyeri. Berat badan dirasakan menuurun sejak 6 bulan terakhir.

1
 Riwayat Penyakit Dahulu :

OS mengaku belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat maag (+). Riwayat
hepatitis disangkal. OS tidak memiliki riwayat darah tinggi, kencing manis, asma
maupun riwayat operasi sebelumnya.

 Riwayat Penyakit Keluarga :

Di keluarga OS tidak ada yang pernah sakit seperti ini. Riwayat sakit kuning di
lingkungan sekitar disangkal. OS tidak tahu apakah orang tua OS memiliki riwayat
darah tinggi, kencing manis atau asma.

 Riwayat Psikososial :

OS mengaku sering makan makanan yang berlemak dan jeroan sehari-harinya. Setiap
hari OS menempuh perjalanan bandung – jakarta untuk mengantar sayuran. Riwayat
merokok (+), OS merokok sudah > 10 tahun, setiap harinya OS menghabiskan ½
bungkus rokok. Riwayat minum minuman beralkohol disangkal, konsumsi kopi >3x
perminggu.

 Riwayat Pengobatan :
OS mengaku belum minum obat atau berobat ke dokter sebelumnya untuk mengatasi
keluhan ini. OS tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan dari dokter.
 Riwayat Alergi :

Riwayat Alergi obat maupun makanan disangkal oleh OS.

2
Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital

TD : 130/80 mmHg

Nadi : 100x/menit

S : 37,5 oC

RR : 22 x/menit

Status Generalis

Kepala : Normocephal, Rambut hitam tidak mudah rontok dan distribusi


merata.

Mata : Conjungtiva anemis +/+, Sklera Ikterik +/+, Reflex pupil +/+, Isokor
kiri dan kanan.

Hidung : Deviasi septum nasi (-), Epistaksis (-), Rhinorhhea (-)

Telinga : Normotia, Otorrhea (-)

Mulut : Mukosa bibir tampak kering, Stomatitis(-), Tonsil T1-T1 tenang,


faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-), Pembesaran Tiroid (-)

Thorax :

I = Normochest, Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan.

P = Pergerakan dinding dada yang tertinggal (-), Vocal fremitus (N) ki=ka

P = Sonor pada kedua lapangan paru, Batas paru-hepar linea midclavicula


dextra ICS V.

A = Vesikuler +/+, Rhonki (-), Wheezing (-).

3
Jantung :

I = Pulsasi ictus cordis terlihat di linea midclavicula sinistra ICS V

P = Pulsasi ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS V

P = Batas jantung kanan linea sternalis dextra ICS V, Batas kiri jantung linea
mid axilaris sinistra ICS V.

A = BJ I dan II murni, reguler. Gallop (-), murmur (-)

Abdomen :

I = Tampak sedikit cembung, skar (-).

A = Bising usus (+) N

P = Timpani pada seluruh regio abdomen

P = Teraba agak keras, Spleenomegali (-)

Hepar : teraba 3 jari dibawah arcus costae, permukaan rata, teraba keras, nyeri
tekan (+), tepi tumpul.

Asites : (-)

Extremitas : Akral hangat , CRT < 2 detik, edema (-)

4
Resume :

Laki-laki 55 tahun, masuk RS dengan keluhan mata dan seluruh badan tampak ikterik
sejak 5 hari SMRS. 1 minggu SMRS OS mengeluh febris yang disertai menggigil. Keluhan
juga disertai nyeri abdomen yang dirasakan sejak 2 bulan terakhir. Nyeri dirasakan seperti
ditusuk-tusuk hingga kekanan atas, panas sampai ke punggung, dan lebih berat saat makan.
OS mengeluh berat badan menurun, mual (+), muntah (-), BAB warna seperti dempul, BAK
berwarna kuning pekat. OS Riwayat makan makanan berlemak.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda Vital : TD = 150 / 80 mmHg

N = 100 x/menit

RR = 22 x/menit

S = 37,5oC

Kulit Seluruh tubuh Ikterik (+), ekstremitas atas dan bawah ikterik (+/+)

Mata : Conjungtiva Anemis +/+, Sklera ikterik +/+

Abdomen : Tampak sedikit cembung dan teraba agak keras, Hepar teraba 3 jari
dibawah arcus costae, permukaan rata, teraba keras, nyeri tekan (+),
tepi tumpul.

Differential Diagnosis :

1) Cholangitis e.c Choledocolithiasis


2) Cholangitis e.c Cholelithiasis
3) Cholesistitis akut
4) Hepatitis

5
Rencana Diagnosa :

 Pemeriksaan Darah Lengkap


 Pemeriksaan Bilirubin Total, Bilirubin Direk dan Indirek
 Alkali fosfatase
 Pemeriksaan HbsAg
 SGOT & SGPT
 Urinalisa
 USG Hepatobilier
 CT Scan Abdomen
 ERCP

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Kimia Darah

GDS 73 mg% 70-100

Ureum 23,9 mg% p=0,5-1,0

l= 0,5-1,1

Kreatinin 0,8 mg% p=0,5-1,0

l= 0,5-1,1

Sampai 1,0

Bilirubin total 12,36 mg% Sampai 1,0

Bilirubin Direk 9,16 mg% Sampai 0,25

Bilirubin Indirek 3,20 mg% Sampai 0,75


SGOT 112 mg% L<40

SGPT 113 mg% L< 42

II. Elektrolit

Na+ 138,1 mEq/L 135-148

K 4,50 mEq/L 3,50-5,30

Kalsium Ion 1,23 mEq/L

HbsAg Negatif

6
17 Oktober 2012

WBC 6,1 10^3/uL 4,8 - 10,8

Lymphosit % 38,9 % 40 - 70

Monosit 5,2 % 20 - 40

Granulosit 55,9 % 0 - 11

Lymphosit # 2,4 10^3/uL 1,8 – 7,6

Monosit 0,3 10^3/uL 1 – 4,3

Granulosit 3,4 10^3/uL

RBC 3,87 10^3/uL

HGB 11,6 g/dL

HCT 33,7 %

PLT 791 10^3/uL

Rencana Penatalaksanaan :

o Infus RL
o Paracetamol 3 x 500 mg tab
o Ondansetron 2 x 1amp
o Ceftriaxone 1x1 gr IV
o Metronidazol 3x 500 mg IV
o Laparatomi cholesystektomi

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

1. Hepar

Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di
bawah diafragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra, dan
hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium dan cor. Hepar
terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra. Hepar berwarna cokelat
kemerahan dan dikelilingi oleh selubung fibrosa yang dikenal sebagai kapsul Glisson.
Permukaan atas hepar yang cembung melengkung di bawah kubah diaphragma. Facies
visceralis atau posteroinferior, membentuk cetakan visera yang letaknya berdekatan sehingga
bentuknya menjadi tidak beraturan. Hepar dibagi menjadi lobus hepatis dexter yang besar dan
lobus hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum peritoneale, ligamentum
falciforme. Lobus hepatis dexter dibaginlagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh
adanya vesica biliaris, vesica ligamentum teres, vena cava inferior dan fissura ligamenti
venosi.

8
Porta hepatis atau hilus hepatis, terdapat pada facies visceralis dan terletak diantara
lobus caudatus dan lobus quadratus. Pada tempat ini terdapat ductus hepaticus dexter dan
sinister, ramus dexter dan sinister arteri hepatica, vena portae hepatis, serta serabut-serabut
saraf simpatis dan parasimpatis. Disini terdapat beberapa kelenjar limfe hepar. Kelenjar limfe
ini menampung cairam limfe hepar dan vesica biliaris dan mengirimkan serabut eferennya ke
nodi lymphoidei coeliaci. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke vana
hepatica. Di dalam ruangan di antara lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang arteri
hepatica, vena portae hepatis dan sebuah cabang ductus choledocus (trias hepatis). Darah
arteri dan vena berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena
centralis.

Ligamentum Hepatis
Ligamentum falciforme yang merupakan lipatan ganda peritoneum, berjalan keatas
dari umbilicus ke hepar. Ligamentum ini mempunyai pinggir bebas berbentuk bulan sabit dan
mengandung ligamentum teres hepatis yang merupakan sisa vena umbilicalis. Ligamentum
falciforme berjalan ke permukaan anterior dan kemudian ke permukaan superior hepar dan
akhirnya membelah menjadi dua lapis. Lapisan kanan membentuk lapisan atas ligamentum
coronarium, lapisan kiri membentuk lapisan atas ligamentum triangulare sinistrum. Bagian
kanan ligamentum coronarium dikenal sebagai ligamentum triangulare dextrum. Ligamentum
teres hepatis berjalan kedalam fissura yang terdapat pada facies visceralis hepatis dan
bergabung dengan ramus sinister vena portae hepatis di porta hepatis.

9
Ligamentum venosum arantii, suatu pita fibrosa yang merupakan sisa ductus venosus,
melekat pada ramus sinister vena portae hepatis dan berjalan keatas di dalam fissura pada
facies visceralis hepar dan di atas melekat pada ramus sinister vena portae hepatis dan
berjalan ke atas di dalam fissura pada facies visceralis hepar, dan di atas melekat pada vena
cava inferior.

Perdarahan

Arteria

Arteri hepatica propria, cabang truncus coeliacus, berakhir dengan bercabang menjadi
ramus dexter dan sinister yang masuk ke dalam porta hepatis.

Venae

Vena portae hepatis bercabang dua menjadi dua cabang terminal yaitu ramus dexter
dan sinister yang masuk portae hepatis dibelakang arteri. Vena hepaticae (tiga buah atau
lebih) muncul dari pars posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena cava inferior.

Sirkulasi darah melalui hepar


Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah arteria hepatica
propria (30%) dan vena portae hepatis (70%). Arteria hepatica propria membawa darah yang
kaya oksigen ke hepar dan vena porta membawa darah yang kaya akan hasil metabolisme
pencernaan yang diabsorbsi dari tractus gastrointestinalis. Darah arteri dan vena dialirkan ke
vena centralis masing-masing lobuli hepatis melalui sinusoid hepar. Vena centrale

10
mengalirkan darah ke vena hepatica dextra dan sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan pars
posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena cava inferior.

Duktus Biliaris Hepatis

Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar, disimpan dan dipekatkan di dlaam vesica
biliaris, kemudian dikeluarkan ke duodenum. Ductus biliaris hepatis terdiri atas ductus
hepaticus dexter dan sinister, ductus hepaticus sinister, ductus hepaticus communis, dustus
choledocus, vesica biliaris dan ductus cysticus.

Cabang-cabang interobulares ductus choledocus terkecil terdapat didalam canalis


hepatis; cabang-cabang ini menerima canaliculi biliaris; cabang-cabang ini saling
berhubungan satu dengan yang lain dan secara bertahap membentuk saluran yang lebih besar,
sehingga akhirnya pada portae hepatis membentuk ductus hepaticus dexter dan sinister.
Ductus hepaticus dexter mengalirkan empedu dari lobus hepatis dexter dan ductus hepaticus
sinister mengalirkan empedu dari lobus hepatis sinister, lobus caudatus, dan lobus quadratus.

Ductus Hepaticus

Ductus hepaticus dexter dan sinister keluar dari lobus hepatis dexter dan sinister pada
portae hepatis. Keduanya segera bersatu membentuk ductus hepaticus communis. Panjang
ductus hepaticus communis sekitar 1,5 inci (4 cm) dan berjalan turun di pinggir bebas
omentum minus. Ductus ini bergabung dengan ductus cysticus dari vesica biliaris yang ada di
sisi kanannya membentuk ductus choledocus.

Ductus Choledocus

Panjang ductus choledocus sekitar 3 inci (8 cm). Pada bagian pertama perjalanannnya,
ductus ini terletak di pinggir bebas kanan omentum minus, didepan foramen epipoicum.
Disini ductus choledocus terletak di depan pinggir kanan vena portae hepatis dan pada sisi
kanan arteri hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, ductus terletak di belakang pars
superior duodenum di sebelah kanan arteria gastroduodenalis. Pada bagian ketiga
perjalanannya, ductus terletak di dalam sulcus yang terdapat pada facies posterior caput
pancreatis. Disini, ductus choledocus bersatu dengan ductus pancreaticus.

Ductus choledocus berakhir dibawah dengan menembus dinding medial pars


descendens duodenum kira-kira di pertengahan panjangnya. Biasanya ductus choledocus

11
bergabung dengan duvtus pancreaticus, dan bersama-sama bermuara ke dalam ampula kecil
di dinding duodenum, yang disebut ampulla hepatopancreatica (ampulla vater). Ampulla ini
bermuara ke dalam lumen duodenum melalui sebuah papilla kecil, yaitu papilla duodeni
major. Bagian terminal kedua ductus beserta ampulla dikelilingi oleh serabut otot sirkuler
yang disebut musculus sphincter ampullae (sphincter oddi). Kadang ductus choledocus dan
pancreaticus major bermuara ke dalam duodenum pada tempat yang terpisah.

a = duktus hepatic kanan; b =


duktus hepatic kiri; c = duktus
hepatic umum; d = vena
portal; e = arteri hepatika; f =
arteri gatroduodenal; g =
arteri gastrika kiri; h = duktus
biliaris umum; i = fundus
kandung empedu ; j = body of
gallbladder; k = infundibulum;
l = duktus sistikus; m = arteri
sistikus; n = arteri
pancreaticoduodenal superior

2. Vesica Biliaris (Kandung Empedu)

Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah (facies visceralis) hepar. Vesica biliaris mempunyai kemampuan
menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya, serta memekatkan empedu
dengan cara mengabsorbsi air. Vesica biliaris terbagia atas fundus, corpus dan collum.
Fundus vesica billiaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawahmargo inferior hepar,
penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung cartilago costalis IX dextra. Corpus vesica biliaris terletak dan berhubungan
dengan facies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum vesicae biliaris
melanjutkan diri sebagai dustus cysticus, yang berbelok ke dalam omentum minus dan
bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus

12
choledocus. Peritoneum meliputi seluruh bagian fundus vesicae biliaris dan menghubungkan
corpus dan collum vesicae billiaris dengan facies visceralis hepar.

Perdarahan

Arteria cystica, cabang arteria hepatica dextra. Vena cystica mengalirkan darah
langsung ke vena portae. Sejumlah arteria dan venae kecil juga berjalan di antara hepar dan
vesica biliaris.

Aliran limfe

Cairan limfe mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat collum vesicae billiaris.
Dari sini, pembuluh limfe berjalan ke nodi hepatici dengan berjalan sepanjang perjalanan
arteria hepatica communis dan kemudian ke nodi coelici.

Persyarafan

Saraf simpatis dan parasimpatis membentuk plexus coeliacus. Vesica biliaris


berkontraksi sebagai respon terhadap hormon kolesistokinin yang dihasilkan oleh tunica
mukosa duodenum karena masuknya makanan berlemak dari gaster.

Ductus Cysticus

Panjang ductus cyticus sekitar 1,5 inci (3,8 cm) dan menghubungkan collum vesicae
biliaris dengan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledocus. Biasanya
ductus cysticus berbentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak yang bervariasi
pada pinggir bebas kanan omentum minus.

Tunica mukosa ductus cysticus menonjol untuk membentuk plica spiralis yang
melanjutkan diri dengan plica yang sama pada collum vesicae biliaris. Plica ini umumnya
dikenal sebagai “valvula spiralis”. Fungsi valvula spiralis adalah untuk mempertahankan
lumen terbuka secara konstan.

13
B. FISIOLOGI

1. Fisiologi Hepar

Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh. Organ ini penting
bagi sistem pencernaan untuk sekresi garam empedu, tetapi hati juga melakukan berbagai
fungsi lain, mencakup hal-hal diantaranya :

a. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah


penyerapan mereka dari saluran pencernaan.
b. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainnya.
c. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein yang penting untuk pembekuan
darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol dalam darah
d. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
e. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal
f. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang berkat adanya makrofag residen
g. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir adalah produk penguraian yang
berasal dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.

Walaupun fungsinya sangat beragam, spesialisasi sel-sel di dalam hati sangat sedikit.
Tiap-tiap sel hati atau hepatosit tampaknya mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik
diatas, kecuali aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen atau yang lebih
dikenal dengan sel kupfer. Spesialisasi berlangsung di organel yang sangat berkembang di
dalam hepatosit. Untuk melaksanakan berbagai tugas tersebut, hati secara anatomis tersusun
sedemikian rupa, sehingga setiap hepatosit dapat berkontak langsung dengan darah dari dua
sumber; darah yang langsung datang dari saluran pencernaan dan darah arteri yang langsung
datang dari aorta. Darah vena memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan
kompleks yang dikenal sebagai sistem porta hati.

Hati tersusun menjadi unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu susunan
heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral. Di tepi luar setiap potongan
lobulus terdapat tiga pembuluh : cab. a.hepatika, cab v. portae dan duktus biliaris. Darah dari
cabang hepatika dan vena portae tersebut mengalir dari perifer lobulus ke dalam luar kapiler
yang melebar yang disebut sinusoid. Sinusoid ini terdapat di antara barisan sel-sel hati ke
vena sentral seperti jari-jari bagian ban sepeda.

14
2. Fisiologi Kandung Empedu

a. Pembentukan dan Komposisi Empedu

Hepar memproduksi empedu terus-menerus dan diekskresikan melalui kanalikuli


biliaris. Orang dewasa normal rata-rata memproduksi empedu hepar sebanyak 500 sampai
1000 ml sehari. Sekresi empedu responsif terhadap neurogenik, humoral, dan rangsangan
kimia. Stimulasi vagal meningkatkan sekresi empedu, sedangkan stimulasi saraf splenikus
menurunkan aliran empedu. Asam klorida, sebagian protein pencerna dan asam lemak dalam
duodenum merangsang pelepasan hormone sekretin dari duodenum yang kemudian,
meningkatkan produksi empedu dan aliran empedu. Empedu mengalir dari hepar melalui
duktus hepatika menuju duktus hepatika komunis, lalu ke kandung empedu, kemudian
melalui duktus biliaris komunis, dan akhirnya masuk ke duodenum.

Empedu terdiri dari cairan alkalis encer yang serupa dengan sekresi NaHCO3
pankreas serta beberapa konstituen organik, termasuk garam-garam empedu, kolesterol,
lesitin dan bilirubin. Konstituen organik berasal dari aktivitas hepatosit, sedangkan air,
NaHCO3, dan garam anorganik lain ditambahkan di sel-sel duktus. Walaupun tidak
mengandung enzim pencernaan apapun, empedu penting untuk proses pencernaan dan
penyerapan lemak, terutama melalui aktivitas garam empedu. PH dari empedu hepatik
biasanya netral atau sedikit basa, tetapi bervariasi dengan diet. Garam empedu primer yaitu
cholat dan chenodeoxycholate, disintesis dalam hepar yang berasal dari kolesterol. Mereka
terkonjugasi disana dengan taurin dan glisin, dan bertindak dalam empedu sebagai anion
(asam empedu) yang diseimbangkan dengan natrium. Komposisi empedu :

Empedu Hati Empedu pada kandung Empedu


Air 97,5 g/dl 92 g/dl
Garam Empedu 1,1 g/dl 6 g/dl
Bilirubin 0,04 g/dl 0,3 g/dl
Kolesterol 0,1 g/dl 0,3 – 0,9 g/dl
Asam lemak 0,12 g/dl 0,3 – 1,2 g/dl
Lesitin 0,04 g/dl 0,3 g/dl
Na+ 145,04 mEq/L 130 mEq/L
K+ 5 mEq/L 12 mEq/L
Ca++ 5 mEq/L 23 mEq/L
Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L

15
Garam empedu diekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan membantu dalam
pencernaan dan penyerapan lemak di usus halus. Pada usus halus, sekitar 80% dari asam
empedu yang terkonjugasi diserap di ileum terminal. Sisanya, di-dehidroksilasi (dekonjugasi)
oleh bakteri usus, lalu membentuk asam empedu sekunder yaitu deoxycholate dan
lithocholate. Asam empedu sekunder ini diserap di kolon, lalu ditranspor ke hepar,
dikonjugasikan, dan disekresikan ke dalam empedu. Akhirnya, sekitar 95% dari asam
empedu diserap kembali dan dikembalikan melalui sistem vena portal ke hepar yang disebut
sirkulasi enterohepatik. Lima persen diekskresikan dalam tinja, meninggalkan sejumlah kecil
asam empedu.

Kolesterol dan fosfolipid yang disintesis dalam hepar merupakan lipid utama yang
ditemukan dalam empedu. Sintesis fosfolipid dan kolesterol oleh hepar diregulasi oleh asam
empedu. Warna empedu berasal dari adanya pigmen bilirubin diglukuronida, yang
merupakan produk metabolisme dari pemecahan hemoglobin, dan terdapat dalam empedu
dengan konsentrasi 100 kali lebih besar dari pada di dalam plasma. Di dalam usus halus,
bakteri mengubahnya menjadi urobilinogen, sebagian kecil diserap dan disekresikan ke
dalam empedu.

b. Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu, duktus biliaris, dan sfingter Oddi bertindak bersama-sama untuk
menyimpan dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama dari kandung empedu adalah untuk
mengkonsentrasikan dan menyimpan empedu hepatik dan mengirim empedu ke duodenum
sebagai respon terhadap makanan.

a) Absorpsi dan Ekskresi

Dalam keadaan puasa, sekitar 80% dari empedu disekresikan oleh hati disimpan
dalam kandung empedu. Penyimpanan ini dibuat mungkin karena kapasitas serap yang luar
biasa dari kandung empedu, kandung empedu yang memiliki mukosa yang daya serapnya
terbesar per satuan luas dari setiap struktur dalam tubuh. Cepat menyerap natrium, klorida,
dan air melawan gradien konsentrasi yang signifikan, berkonsentrasi empedu sebanyak 10
kali lipat dan menyebabkan perubahan yang nyata dalam komposisi empedu. Absorpsi yang
cepat ini adalah satu mekanisme yang mencegah kenaikan tekanan dalam sistem empedu di
bawah kondisi normal. Relaksasi bertahap serta pengosongan kandung empedu selama

16
periode puasa juga memainkan peran dalam mempertahankan tekanan intraluminal relatif
yang rendah pada kandung empedu.

Sel-sel epitel kantong empedu mengeluarkan setidaknya dua produk penting ke dalam
lumen kandung empedu yaitu glikoprotein dan ion hidrogen. Mukosa kelenjar empedu di
infundibulum dan leher kandung empedu mensekresikan mukus glikoprotein yang dipercaya
untuk melindungi mukosa dari aksi litik dari empedu dan membantu pasase empedu melalui
duktus sistikus. Transpor ion hidrogen oleh epitel kandung empedu menyebabkan penurunan
pH pada kandung empedu.

b) Fungsi Motorik

Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik pada sfingter Oddi, yang
menciptakan gradien tekanan antara saluran empedu dan kandung empedu. Selama berpuasa,
kandung empedu tidak hanya mengisi secara pasif. Kandung empedu berulang kali
mengosongkan volume kecil empedu ke duodenum. Proses ini dimediasi setidaknya sebagian
oleh hormon motilin.

Respon terhadap makanan, kandung empedu mengosongkan dirinya oleh koordinasi


antara respon motorik kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. Salah satu
rangsangan utama untuk mengosongkan kandung empedu adalah hormon cholecystokinin
(CCK). CCK dilepaskan secara endogen dari mukosa duodenum terhadap respon makanan.
Bila dirangsang dengan makanan, pengosongan kandung empedu 50 sampai 70% dari isinya
dalam waktu 30 sampai 40 menit. Selama 60 sampai 90 menit berikutnya, kandung empedu
secara bertahap melakukan isi ulang. Hal ini berkorelasi dengan tingkat CCK berkurang.
Jalur hormonal dan saraf juga terlibat dalam aksi terkoordinasi dari kandung empedu dan
sfingter Oddi.

c) Fisiologi Sfingter Oddi

Sfingter Oddi mengatur aliran empedu (dan juga cairan Pankreas) ke dalam
duodenum, mencegah regurgitasi isi duodenum ke kandung empedu, dan mengalihkan
empedu ke kandung empedu. Sfingter Oddi adalah struktur kompleks yang secara fungsional
terlepas dari otot-otot duodenum dan menciptakan zona tekanan tinggi antara duktus biliaris
dan duodenum.

17
Sfingter Oddi berukuran panjang sekitar 4 sampai 6 mm dan memiliki tekanan
istirahat basal sekitar 13 mmHg di atas tekanan duodenum. Pada manometry, sfingter Oddi
menunjukkan kontraksi phasic dengan frekuensi sekitar empat kali per menit dan dengan
amplitudo 12 sampai 140 mmHg. Motilitas spontan dari sfingter Oddi diatur oleh sel-sel
interstitial melalui input hormon intrinsic dan ekstrinsik dan aksi neuron sel otot
polos.Relaksasi terjadi dengan kenaikan CCK, menyebabkan amplitudo kontraksi phasic
berkurang dan penurunan tekanan basal, sehingga memungkinkan terjadi peningkatan aliran
empedu ke dalam duodenum.

3. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah produk pemecahan dari katabolisme heme normal. Bilirubin terikat
pada albumin dalam sirkulasi dan dikirim ke hati. Dalam hepar, bilirubin dikonjugasikan
menjadi asam glukuronat dalam reaksi katalisasi oleh enzim glucuronil transferase, yang
membuatnya larut dalam air. Setiap molekul bilirubin bereaksi dengan dua molekul asam
diphosphoglucuronic uridin untuk membentuk bilirubin diglucuronida. Glukuronida ini
kemudian diekskresikan ke dalam kanalikuli biliaris.

Sejumlah kecil bilirubin glukuronida lolos ke dalam darah dan kemudian


diekskresikan dalam urin. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi diekskresikan dalam usus
sebagai buangan, karena mukosa usus relatif tidak permeabel terhadap bilirubin terkonjugasi.
Namun, mukosa usus reatif permeable terhadap bilirubin tak terkonjugasi dan urobilinogen
yang merupakan derivat dari bilirubin yang dibentuk oleh aksi bakteri. Dengan demikian,
beberapa bilirubin dan urobilinogen direabsorpsi dalam sirkulasi portal, lalu diekskresikan
kembali oleh hepar atau masuk ke dalam sirkulasi dan diekskresikan ke dalam urin.

18
C. PATOFISIOLOGI

Ikterus (jaundice) adalah hasil dari akumulasi bilirubin yang merupakan produk dari
metabolism heme, di dalam jaringan tubuh. Hiperbilirubinemia menunjukkan abnormalitas
pada formasi, transpor, metabolism dan ekskresi dari bilirubin. Total dari bilirubin serum
normalnya 0,2-1,2 mg/dL. Jaundice tidak akan terlihat sampai level bilirubin serum 3 mg/dL.

Tipe Hiperbilirubinemia Lokasi dan Penyebab


Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi Peningkatan produksi bilirubin, sebabnya :
anemia hemolitik
Impaired bilirubin uptake and storage,
sebabnya : hiperbilirubinemia post-hepatitis,
reaksi obat-obatan
Hiperbilirubinemia Terkonjugasi Disfungsi Hepatoseluler
Kerusakan epitel kandung empedu dan
hepatosit, sebabnya : hepatitis, sirosis hepatis
Cholestasis intrahepatik, sebabnya : sirosis
biliaris, ikterus post-operatif
Kerusakan hepatoseluler atau cholestasis
intrahepatik karena sebab yang tidak jelas,
sebabnya : infeksi sphirochetal, cholangitis,
limfoma
Obstruksi Biliaris
Choledocholitiasis, atresia biliaris, karsinoma
duktus biliaris, cholangitis akibat sklerosis, kista
choledochal
Klasifikasi hiperbilirubinemia

Ikterus mengacu pada warna kekuningan pada kulit, sklera, dan selaput lendir dengan
pigmen bilirubin. Hiperbilirubinemia adalah biasanya terdeteksi sebagai ikterus saat kadar
dalam darah meningkat di atas 2,5 sampai dengan 3 mg / dL. Ikterus dapat disebabkan oleh
berbagai kelainan baik yang jinak maupun yang ganas.

Temuan Klinis

1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

Warna feses dan urin normal, terdapat ikterus ringan dan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
(indirek) tanpa bilirubin pada urin. Splenomegali terdapat pada kelainan hemolitik kecuali
pada anemia sel sabit.

19
2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi

a. Sindrom cholestatik herediter atau cholestasis intrahepatik

Pasien mungkin tanpa gejala (asimptomatis), cholestasis sering disertai dengan


pruritus, feses warna terang dan ikterus.

b. Penyakit hepatoseluler

Malaise, anoreksia, demam subfebris, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang hilang
timbul. Urin berwarna gelap, ikterus, dan pada wanita disertai amenorrhea. Pembesaran
hepar, spider navi, ascites, gynekomastia.

3. Obstruksi Biliaris

Nyeri abdomen kuadran kanan bawah, ikterus, urin berwarna gelap, feses berwarna
terang. Gejala dan tanda dapat hilang timbul jika penyebabnya adalah batu, karsinoma pada
ampulla, cholangiocarcinoma. Adanya darah samar pada feses menunjukkan kanker pada
ampulla. Adanya hepatomegali dan kandung empedu teraba adalah karakteristiknya. Demam
dan menggigil adalah gejala umum pada obstruksi dengan cholangitis.

Kolestasis adalah suatu kondisi di mana empedu mengalir dari hepar ke duodenum
terganggu. Gangguan aliran empedu mungkin karena sebab dari intrahepatik (disfungsi
hepatoseluler) atau sebab dari ekstrahepatik (obstruksi bilier).

Bilirubin adalah produk pemecahan dari metabolisme hemoglobin, konstituen utama


empedu, sama sekali tidak berperan dalam pencernaan, tapi merupakan salah satu dari
beberapa produk sisa yang di ekskresikan dalam empedu. Bilirubin tak terkonjugasi tidak
larut dan dengan demikian diangkut ke hepar, terikat dengan albumin. Di dalam hepar,
menjadi terkonjugasi untuk memungkinkan diekskresikan dalam empedu. Diukur tingkat
bilirubin total bisa rendah, normal, atau tinggi pada pasien dengan signifikan Penyakit hati
karena kemampuan cadangan hati untuk konjugasi bilirubin dalam jumlah yang signifikan.
Jadi, untuk membantu membantu dalam diagnosis hiperbilirubinemia, fraksinasi dari
bilirubin total biasanya dilakukan untuk membedakan antara terkonjugasi (langsung) dan
konjugasi (tidak langsung) bilirubin. Bilirubin tidak langsung (bilirubin indirek) adalah istilah
yang sering digunakan untuk merujuk pada bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi karena
penambahan kimia yang lain.

20
Pola elevasi dari fraksi yang berbeda dari bilirubin memberikan petunjuk diagnostik
yang penting untuk penyebab kolestasis. Secara umum, meningkatnya bilirubin indirek
menunjukkan kolestasis intrahepatik sedangkan meningkatnya bilirubin direk menunjukkan
adanya obstruksi ekstrahepatik. Mekanisme yang dapat mengakibatkan kenaikan kadar
bilirubin tak terkonjugasi meliputi peningkatan produksi bilirubin atau congenital dalam
uptake atau proses konjugasi dalam hepar. Pembatasan dalam metabolisme bilirubin terjadi
pada ekskresi bilirubin dari hepatosit, sehingga hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat dilihat
pada kelainan bawaan atau kelainan dari ekskresi intrahepatik atau obstruksi ekstrahepatik.
Bilirubin terkonjugasi tidak dapat dikeluarkan dan terakumulasi dalam hepatosit, yang
mengakibatkan bilirubin terkonjugasi disekresikan ke dalam sirkulasi. Karena bilirubin
terkonjugasi dapat larut dalam air, sehingga bilirubin terkonjugasi dapat ditemukan dalam
urin pasien dengan ikterus.

Bilirubin metabolisme dapat berlangsung dalam tiga tahap: prehepatik, intrahepatik,


dan posthepatik. Fase prehepatik mencakup produksi bilirubin dari pemecahan produk heme
dan transportasi ke hati. Mayoritas hasil heme dari metabolism eritrosit dan sisanya dari
heme yang mengandung senyawa organic lain seperti mioglobin dan sitokrom. Dalam hati,
bilirubin larut tak terkonjugasi kemudian terkonjugasi menjadi asam glukuronat untuk
memungkinkan melarut dalam empedu dan diekskresikan. Fase posthepatik bilirubin terdiri
dari ekskresi bilirubin larut melalui sistem bilier ke duodenum. Disfungsi dalam salah satu
fase ini dapat menyebabkan ikterus.

1. Ikterus Prehepatik

Ikterus akibat peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi terjadi dari metabolisme
prehepatik yang rusak dan biasanya timbul dari kondisi yang mengganggu konjugasi bilirubin
yang tepat dalam sel hepatosit tersebut. Insufisiensi konjugasi sering terlihat dalam proses
yang menghasilkan metabolisme heme yang berlebihan. Selanjutnya, sistem konjugasi
‘kebanjiran’, yang mengakibatkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.

Penyebab hemolisis misalnya dikarenakan faktor keturunan dan Anemia hemolitik


didapat. Anemia hemolitik didapat meliputi gangguan genetik dari membran sel darah merah
(sferositosis herediter), defek pada enzim (defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase), dan
defek pada struktur hemoglobin (sel sabit anemia dan thalassemia). Disfungsi prehepatik dari
metabolisme bilirubin juga dapat berasal dari kegagalan dalam transportasi bilirubin tak

21
terkonjugasi ke hati oleh albumin dalam kondisi apapun yang menyebabkan hilangnya
protein plasma.

2. Ikterus Intrahepatik

Penyebab ikterus intrahepatik melibatkan mekanisme intraseluler dalam proses


konjugasi dan ekskresi empedu dari sel hepatosit. Proses enzimatik dalam sel hepatosit dapat
dipengaruhi oleh kondisi apapun yang merusak aliran darah hepatik dan beberapa fungsi dari
hepar (misalnya terjadinya iskemik atau hipoksia). Selain itu, ada beberapa kelainan bawaan
dari metabolisme enzim yang dapat menghasilkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
ataupun hiperbilirubinemia terkonjugasi. Virus, penyalahgunaan alkohol, sepsis, dan
gangguan autoimun, kesemuanya dapat mengakibatkan peradangan pada hati dengan
gangguan berikutnya bilirubin transportasi di hati. Selain itu, penyakit kuning juga dapat
terjadi dari efek sitotoksik dari berbagai obat, termasuk asetaminofen, kontrasepsi oral, dan
steroid anabolik.

3. Ikterus Post-Hepatik

Ikterus posthepatik biasanya akibat dari obstruksi intrinsik atau ekstrinsik dari sistem
duktus biliaris yang mencegah aliran empedu ke duodenum. Ada spektrum yang luas dari
patologi yang mungkin hadir dengan ikterus obstruktif. Obstruksi intrinsik dapat terjadi
karena penyakit biliaris, termasuk cholelithiasis, choledocholithiasis, cholangitis, striktur
bilier jinak dan ganas, cholangiocarcinoma. Kompresi ekstrinsik pada kandung empedu
biasanya karena gangguan pankreas. Pasien dengan pankreatitis, pseudokista, dan keganasan
dapat disertai dengan ikterus karena kompresi eksternal dari sistem biliaris.

D. BAKTERIOLOGI

Empedu biasanya steril. Dengan adanya kandung empedu atau batu saluran umum
(CBD), bagaimanapun, insiden meningkat bactibilia. Organisme yang paling umum terisolasi
dalam empedu adalah Escherichia coli (27%), spesies Klebsiella (16%), spesies Enterococcus
(15%), Streptococcus (8%), spesies Enterobacter (7%), dan Pseudomonas aeruginosa (7%) .
Organisme yang diisolasi dari kultur darah adalah serupa dengan yang ditemukan dalam
empedu. Patogen yang paling umum terisolasi dalam kultur darah adalah E. coli (59%),
spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%), dan spesies Enterococcus (4%).

22
Selain itu, infeksi polymicrobial umumnya ditemukan pada kultur empedu (30-87%) dan
kurang sering di kultur darah (6-16%).

23
CHOLANGITIS

PENDAHULUAN

Cholangitis merupakan suatu infeksi bakteri yang terjadi pada traktus biliaris yang
disebabkan karena adanya obstruksi pada duktus biliaris, umumnya karena batu empedu,
namun mungkin berhubungan dengan neoplasma atau striktur. Pada tahun 1877 Charcot
menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan
nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan ’’Charcot triad’’. Penyakit ini perlu
diwaspadai karena insiden batu empedu sebagai penyebab umumnya di Asia Tenggara cukup
tinggi, serta kecenderungan penyakit ini terjadi pada pasien usia lanjut.

EPIDEMIOLOGI

Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi menyebabkan


kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat
ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan perbandingan antara laki-
laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan
terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.

ETIOLOGI

Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : choledocholilithiasis, obstruksi


struktur saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat penyebab
obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus obstruksi
akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif. Koledokolitiasis
menjadi penyebab tersering kolangitis.

Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung
empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus (choledocholithiasis)
meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam
empedu adalah Escherischia coli (27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus
(15%), Spesies Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas
aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan
dalam empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli
(59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus

24
(4%). Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-
87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%).

Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian manipulasi


saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi penyakit saluran
biliaris telah menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka
panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental dan
debris biliaris yang menyebabkan kolangitis.

PATOFISIOLOGI

Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran bilier,
peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu. Saluran bilier yang
terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan
cholangitis. Saat ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan
antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa
bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau
melalui darah dari vena porta. Sebagai hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus,
menimbulkan infeksi yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju
kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan
bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat supuratif pada saluran bilier.

Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril
karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti
immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi
bakteri. Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara
klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi
terbentuknya cholangitis.

Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia dan
tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik bersifat
steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat
sampai 18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa.
Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari bacteremia
sistemik yang ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.

25
MANIFESTASI KLINIK

Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam, ikterus, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot, namun semua elemen
tersebut hanya ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan kolangitis supuratif
tampak bukan saja dengan adanya trias charcot tapi juga menunjukkan penurunan kesadaran
dan hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cameron, demam di temukan pada lebih
dari 90 persen kasus, ikterus pada 67 persen kasus dan nyeri abdomen hanya pada 42 persen
kasus

Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya obstruksi aliran
empedu dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus, demam dan
mengigil disertai dengan kolangitis menandakan adanya bakteriemia. Biakan darah yang
diambil saat masuk ke rumah sakit untuk kolangitis akut adalah positif pada 40 sampai 50
persen pasien. Pada hampir semua serial Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniaeadalah
organisme tersering yang didapatkan pada biakan darah. Organisme lain yang dibiakan dari
darah adalah spesies Enterobacter, Bacteroides, dan Pseudomonas.

Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih sering ditemukan,
demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari empedu yang
terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering diisolasi adalah Bacteroides
fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang ditemukan pada serial terakhir dibandingkan saat
koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang tersering.

DIAGNOSIS

Diagnosis kolangitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan penunjang.

A. Anamnesis

Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam, ikterus,
dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan demam
dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan mata
didapatkan pada sekitar 80% penderita.

26
B. Pemeriksaan Fisis

Pada umumnya, pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup berat dan cukup sering
datang dalam keadaan shock septik tanpa sumber infeksi yang jelas. Pemeriksaan fisik dapat
ditemukan keadaan sebagai berikut:

 Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak mengalami demam


 Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%)
 Hepatomegali ringan
 Jaundice (60%)
 Perubahan status mental (10-20%)
 Sepsis
 Hipotensi (30%)
 Takikardia
 Peritonitis (jarang terjadi, dan bila terjadi, harus dicari diagnosis alternatif yang lain)

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien cholangitis, 79% dengan leukosit
>10.000/mL, dengan angka rata-rata 13.600. Leukopenia atau trombositopenia kadang –
kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita
mengalami hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada
obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase serum juga
meningkat yang menggambarkan proses kolestatik.

Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan kadar


kalsium darah diperlukan untuk memeriksa kemungkinan pancreatitis, yang dapat
menimbulkan hipokalsemia, dicurigai. Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan
keadaan cholestasis, hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar
alkali fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat.

PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang
menimbulkan Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada
pasien tersebut. Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan
intervensi operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya dilakukan
apabila pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi. Kadar C-reactive protein dan

27
LED pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah
memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial.

Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan cholangitis adalah:

1. Foto polos abdomen

Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada diagnosis
cholangitis akut. Foto abdomen dapat menunjukkan udara dalam saluran bilier setelah
manipulasi endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis emphysematosa, cholangitis,
ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara dalam dinding kandung empedu mengindikasikan
cholecystitis emphysematosa. Hanya sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari
kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan
kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatika.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi transabdominal sangat baik untuk melihat cholelithiasis dan


cholecystitis serta merupakan pilihan awal pemeriksaan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan
spesifik untuk memeriksa kandung empedu, membedakan obstruksi intrahepatik dari
obstruksi ekstrahepatik dan menilai dilatasi ductus bilier. Juga dapat dilihat kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Pada sebuah
penelitian, hanya 13% choledocholithiasis dapat diamati pada USG, namun dilatasi CBD
terdapat pada 64% kasus.

Gambar menunjukan Ascending Obstructive


Cholangitis , tampak dilatasi dari ductus utama
(panah atas) yang terisi kotoran dan batu.

28
Keuntungannya adalah dapat dilakukan secara cepat dengan USG portable,
kemampuan untuk melihat struktur lain (aorta,pancreas,liver), kemampuan mengidentifikasi
komplikasi (misal perforasi,empyema,abscess) dan tidak terdapatnya resiko radiasi.

Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung pada kemampuan
operator dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak mampu untuk melihat ductus cysticus, dan
penurunan sensitivitas bagi batu saluran empedu distal. Hasil USG yang normal tidak dapat
menyingkirkan diagnosis cholangitis.

3. CT-Scan

Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG. CT helical atau


spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT cholangiography mempergunakan zat
kontras yang diambil oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini
meningkatkan kemampuan untuk memvisualisasikan batu radiolusen dan meningkatkan
tingkat deteksi dari patologi bilier lain. Ductus intrahepatik dan ekstrahepatik dan inflamasi
saluran bilier dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu tidak dapat terlihat dengan baik pada
CT Scan biasa.

Keuntungan dari CT adalah kemampuan untuk melihat proses patologis lain yang
merupakan penyebab ataupun komplikasi dari cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan
pericholecystic, abses hepar). Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal:
diverticulitis kolon kanan, nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia

29
mesenterium, dan appendix yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan CT cholangiography
lewat pendekatan ERCP.

Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang buruk, reaksi
alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya kemampuan untuk
memvisualisasikan saluran bilier dengan kadar bilirubin serum yang meningkat.

4. ERCP

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pemeriksaan


yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria standar bagi pencitraan
sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik.
Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera dilakukan
ERCP.

ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih aman
daripada intervensi bedah dan perutaneus. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography
(ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya
juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan
peyempitan.

Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi sebesar 1,38%
dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%. Komplikasi utama dari ERCP terapeutik sebesar 5,4%
dan tingkat mortalitasnya sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis, perdarahan,
dan perforasi.

30
5. Skintigrafi

Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan diisopropyl


iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan uji fungsional dari
kandung empedu dan pada obstruksi total dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran
bilier. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Keuntungannya mampu
untuk menilai fungsi empedu dan hasilnya dapat positif sebelum pembesaran ductus dapat
dilihat melalui USG.

Kerugiannya : apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4) dapat menurunkan
sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak makan selama 24 jam juga dapat
mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu pencitraan anatomis bagi struktur-struktur lain
selain saluran bilier tidak memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan waktu beberapa jam,
sehingga tidak direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang tidak stabil.

6. Kolesistografi oral

Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip
kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien
diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi
diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan
dikirim ke kandung empedu.

7. Kolangiografi

Diindikasikan untuk penatalaksanaan pasien dengan kolangitis. Pada sebagian besar


kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi
saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang diperlukan pada awal
perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsis.
Kekecualian utama adalah pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak
berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin
diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd endoskopik ataupun
kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi atau
patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar
5% pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus diberikan sebelum
instrumentasi pada semua kasus.

31
DIAGNOSIS BANDING

1. Kolesistitis akut

Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang
terjebak di dalam kantong Hartmann. Pada keluhan utama dari kolesistikus akut adalah nyeri
perut di kuadran kanan atas, yang kadang-kadang menjalar ke belakang di daerah skapula.
Biasanya ditemukan riwayat kolik dimasa lalu, yang pada mulanya sulit dibedakan dengan
nyeri kolik yang sekarang. Pada kolesistitis, nyeri menetap dan disertai tanda rangsang
peritoneal berupa nyeri tekan dan defans muskuler otot dinding perut. Kadang-kadang
empedu yang membesar dapat diraba. Pada sebagian penderita, nyeri disertai mual dan
muntah.

2. Pankreatitis

Pankreatitis adalah radang pankreas yang kebanyakan bukan disebabkan oleh infeksi
bakteri atau virus, akan tetapi akibat autodigesti oleh enzim pankreas yang keluar dari saluran
pankreas. Biasanya serangan pankreatitis timbul setelah makan kenyang atau setelah minum
alkohol. Rasa nyeri perut timbul tiba-tiba atau mulai secara perlahan. Nyeri dirasakan di
daerah pertengahan epigastrium dan biasanya menjalar menembus ke belakang. Rasa nyeri
berkurang bila pasien duduk membungkuk dan bertambah bila terlentang. Muntah tanpa mual
dulu sering dikeluhkan dan muntah tersebut sering terjadi sewaktu lambung sudah kosong.
Gambaran klinik tergantung pada berat dan tingkat radang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan perut tegang dan sakit terutama bila ditekan. Kira-kira 90% disertai demam,
takikardia, dan leukositosis.

3. Hepatitis

Hepatitis merupakan salah satu infeksi virus pada hepar yang terdiri dari hepatitis A,
hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D dan hepatitis E. Hepatitis B merupakan hepatitis yang
paling sering terjadi. Keluhan utamanya yaitu nyeri perut pada kuadran kanan atas sampai di
ulu hati. Kadang disertai mual, muntah dan demam. Sekitar 90% kasus hepatitis merupakan
infeksi akut. Sebagian menjadi sembuh dan sebagian lagi menjadi hepatitis fulminan yang
fatal.

32
PENATALAKSANAAN

Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah konservatif.
Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai.
Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan
kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif
dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor.

Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi


yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan.
Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering
ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan
metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap
anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan
antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia.

Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi
kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik
saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme
yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam
konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu.

DEKOMPRESI BILIARIS

Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap
terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke
normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau
malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus
dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik
dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:

Penanggulangan sfingterotomi endoskopik

Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin
buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik

33
mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi
terlebih dahulu.

b. Lisis batu

Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua
tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter
berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai
dengan penyulit

ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalahpenghancuran batu saluran


empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan
flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter
nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi
penghancuran yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah gelombang kejut yang
maksimum.

PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)

Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah
satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat
pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada
saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil
batu intrahepatik.

ADAPUN PEMBEDAHAN-PEMBEDAHAN YANG DILAKUKAN :

A. Kolesistektomi Terbuka

Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang pertama
pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan standar untuk metode
terapi pembedahan pada sistem empedu. Kolesistektomi membutuhkan anestesi umum
kemudian dilakukan irisan pada bagian anterior dinding abdomen dengan panjang irisan 12 –
20 cm.

34
Tekhnik operasi untuk kolesistektomi terbuka

Tidak ada aturan yang kaku tentang jenis insisi yang terbaik. Insisi digaris tengah,
paramedian kanan, transversal dan insisi subkostal dapat dilakukan, tergantung pada pilihan
ahli bedah. Kriteria penting adalah pemaparan yang adekuat untuk diseksi serta eksplorasi.
Pilihannya adalah insisi subkostal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang paling serba
guna dalam diseksi kandung empedu dan saluran empedu.

Gambar insisi untuk pembedahan sistem bilier

Terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang pengangkatan kandung empedu secara


antegrad (diseksi dimulai di fundus) atau retrograd (diseksi dimulai di porta). Jika anatomi
porta tidak dikaburkan oleh peradangan yang parah, maka pilihannya adalah memulai diseksi
pada porta. Dengan traksi pada kandung empedu menggunakan klem yang dipasang di
fundus dan kantung Hartman, peritoneum yang menutupi segitiga Calot diinsisi dan
disisihkan dengan diseksi tumpul. Arteri sistikus diidentifikasi, diligasi ganda atau diklem
ganda, dan lalu dipotong, meninggalkan puntung sekurangnya 1sampai 2 mm.

Gambar langkah-langkah teknik kolesistektomi

35
Pemotongan arteri mempermudah identifikasi saluran sistikus. Memperhatikan
anomali yang sering terjadi adalah penting pada tahapan ini. Anomali yang cukup sering
adalah masuknya saluran sistikus ke saluran hepatik kanan, anomali lain adalah masuknya
saluran hepatik asesorius kanan yang cukup besar ke saluran sistikus. Sangat penting bahwa
struktur saluran yang dipotong sampai anatomi sistem saluran yang tepat telah diketahui.
Persambungan saluran sistikus dengan saluran empedu harus ditunjukkan secara jelas. Jika
kandung empedu mengandung batu kecil atau lumpur, saluran sistikus diikat dengan jahitan
atau klem tunggal pada tempat keluarnya dari kandung empedu, untuk mencegah batu atau
lumpur masuk ke dalam saluran empedu selama diseksi. Menegakkan anatomi pada tahap
operasi ini dilakukan dengan kolangiografi operatif.

* Kolangiografi operatif

Kolangiografi operatif dilakukan secara rutin karena dua alasan. Pertama, untuk
mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomali. Kedua yang sama
pentingnya adalah untuk menyingkirkan batu saluran empedu yang tidak dicurigai, dengan
insidensi setinggi 5 sampai 10 persen.

Kolangiografi dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sekian banyak kanula
kolangiografik yang dapat digunakan (Berci, Lehman, Colangiocath, dll). Pilihannya adalah
kolesistektomi terbuka adalah kanula Berci bersudut untuk mempermudah insersi dan fiksasi.
Insisi dibuat disaluran sistikus pada titik yang aman setelah persambungan sistikus dan
saluran empedu (biasanya sekurangnya 2,0 cm). Insisi harus cukup besar untuk memasukkan
kanula atau kateter, yang dapat diinsersikan jika empedu terlihat mengalir dari lumen. Kanula
lalu dipertahankan di tempatnya dengan hemoklip medium atau klem khusus. Material
36
kontras untuk kolangiografi adalah hypaque 25 persen. Sistem operasi yang paling disukai
untuk kolangiografi, menggunakan fluorokolangiografi dengan penguatan citra (image
intensifier) serta monitor televisi . Ini memungkinkan pengisian saluran empedu secara
lambat dan pemaparan multiple sistem saluran saat sedang diisi.

* Laparoskopi Kolesistektomi

Kolesistektomi laparoskopi adalah cara yang invasif untuk mengangkat batu empedu
dengan menggunakan teknik laparoskopi. Prosedur menjadi populer pada tahun 1988 dan
telah berkembang dengan cepat. Indikasi untuk operasi adalah batu empedu, polip
simtomatik dan penyulit akibat batu. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan
pendarahan, kehamilan dan tidak mampu melihat saluran empedu. Teknik ini adalah
perawatan yang singkat dan dapat kembali beraktifitas dengan normal. Penyulitnya adalah
adanya cidera saluran empedu, perdarahan, kebocoran empedu dan cidera akibat trokar.

Lokasi kanula untuk kolesistektomi laparoskopi

Lokasi kanula dan susunan awal untuk kolesistektomi

37
Cholesystectomy laparoscopi

Keterangan gambar :

A. Tempat trokar

B. Fundus ditahan/dipegang dan cephalad diretraksi untuk mengekspos/mengenai kandung


empedu proksimal dan ligamentum hepotoduadenale. Selain itu bagian posterolateral
infundibulum di retraksi untuk dapat mengenai segitiga Calot

C. Segi tiga Calot dibuka dan leher kandungan empedu dan bagian duktus sistikus di
diseksi. Klip dipindahkan pada hubungan antara duktus sistikus dengan kandungan empedu

D. Pembukaan kecil dibuat didalam duktus sistikus dan kateter kolangiogram di insersi

E. Duktus sistikus dan arteri sistikus dibagi

F. Gambar intraoperatif yang menunjukkan bagian lateral infundibulum kandungan


empedu, nampak segitiga Calot yang sudah didiseksi begitu juga dengan arteri sistikus

* Eksplorasi koledokus; laparoskopi eksplorasi duktus empedu

Umumnya, batu duktus empedu dideteksi intraoperatif dengan kolangiografi


intraoperatif atau ultrasonografi dan dilakukan dengan cara laparoskopi eksplorasi koledokus

38
yang merupakan bagian dari tekhnik kolesistetomi laparoskopi. Pasien dengan batu duktus
empedu dideteksi sebelum operasi, biasanya dengan klirens endoskopik. Namun, kurang
berhasil sehingga batu di duktus harus dilakukan dengan kolesistektomi.

Jika batu pada duktus empedu kecil, mungkin dapat dibilas ke dalam duodenum
dengan mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter Oddi direlaksasikan
dengan glukagon. Jika irigasi (pengaliran) tidak berhasil, dapat dilakukan pemasangan kateter
balon melalui duktus sistikus dan turun ke duktus empedu.

laparoskopi eksplorasi duktus empedu. Laparoskopi eksplorasi koledokus

Keterangan Gambar :

I. Keranjang transistik dengan menggunakan fluoroskopi

a. Keranjang digunakan sebagai tempat batu dan terbuka


b. Batu ditempatkan dikeranjang kemudian dipindahkan dari duktus sistikus

II. Koledoskopi transistik dan pemindahan batu

c. Keranjang dilewati oleh beberapa saluran pada skopik dan batu dapat dilihat
dibawahnya
d. Batu entrapped
e. Pernyataan dari koledoskopik

39
III. Koledoktomi dan pemindahan batu

f. Insisi kecil dibuat pada duktus empedu


g. Duktus empedu dibersihkan batunya dengan koledoskopik
h. Pemasangan T. Tube dibagi kiri duktus empedu yang berhubungan dengan dinding
abdomen untuk dekompersi empedu

KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi dari penyakit cholangitis terutama yang derajat tinggi (kolangitis
supuratif) adalah sebagai berikut:

A. Abses hati piogenik

Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi
penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik
menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple.

B. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif

Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi


bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya
kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.

C. Peritonitis sistem bilier

Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika
empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai
resiko tinggi yang sangat fatal.

D. Kerusakan duktus empedu

Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada
eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal
adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.

40
E. Perdarahan

Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami
trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah
untuk dikontrol.

F. Kolangitis asendens dan infeksi lain

Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan


sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus
besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif
sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak
adekuat.

Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses
subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah
operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi
dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah:

* Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)

* Sepsis

PROGNOSIS

Tergantung berbagai faktor antara lain :

 Pengenalan dan pengobatan diri

Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti dengan
drainase yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.

 Respon terhadap terapi

Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan (misalnya
antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik. Namun sebaliknya, respon yang jelek akan
memperberat penyakit tersebut.

41
 Kondisi Kesehatan Penderita

Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang menentukan
prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama kali mengalaminya dan
berespon baik terhadap terapi yang diberikan, prognosisnya akan baik.

CHOLELITHIASIS

Penyakit batu empedu (cholelithiasis) merupakan salah satu masalah yang paling
umum yang mempengaruhi saluran pencernaan. Laporan otopsi telah menunjukkan
prevalensi batu empedu adalah 11-36%. Prevalensi batu empedu berhubungan dengan banyak
faktor misalnya faktor usia, jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Faktor predisposisi dalam
terbentuknya batu empedu diantaranya oesitas, kehamilan, faktor makanan, Crohn disease,
reseksi ileum terminal, operasi gaster, sferositosis herediter, penyakit sel sabit (sickle cell
anemia), thalassemia, semua itu berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya batu empedu.
Perempuan tiga kali lebih mungkin dalam terbentuknya batu empedu dibandingkan laki-laki.

Kebanyakan pasien akan tetap asimtomatik dari batu empedu sepanjang hidupnya.
Untuk alasan yang tidak diketahui, beberapa pasien masuk ke dalam tahap gejala, dengan
adanya kolik empedu yang disebabkan oleh batu yang menghalangi duktus sistikus. Penyakit
batu empedu simtomatik mungkin kemajuan untuk komplikasi yang terkait dengan
gallstones. Ini termasuk kolesistitis akut, choledocholithiasis dengan atau tanpa kolangitis,
pankreatitis batu empedu, fistula cholecystocholedochal, fistula cholecystoduodenal atau
cholecystoenteric mengarah ke ileus batu empedu, dan karsinoma kandung empedu. Jarang,
komplikasi batu empedu adalah gambar presentasi.

Batu empedu pada pasien tanpa gejala empedu biasanya didiagnosis kebetulan pada
ultrasonografi, CT scan, perut radiografi, atau laparotomi. Beberapa studi telah meneliti
kemungkinan mengembangkan kolik bilier atau mengembangkan komplikasi yang signifikan
dari penyakit batu empedu. Sekitar 3% dari individu asimtomatik menjadi gejala per tahun
(yaitu, mengembangkan biliary colic). Setelah gejala, pasien cenderung memiliki serangan
berulang kolik bilier. Penyakit batu empedu yang rumit berkembang dalam 3 sampai 5% dari
pasien bergejala per tahun.

42
Klasifikasi Batu Empedu

Batu empedu dibagi menjadi batu kolesterol, batu pigmen dan batu campuran.

Gambaran Batu Kolesterol Batu Pigmen

Komposisi Campuran, kadang calsium shell Kalsium Bilirubinat


Jumlah Satu atau lebih Biasanya multipel
Ukuran Bervariasi Kecil
Gelap, coklat kemerahan
Warna Kuning atau Hijau
atau hitam
Densitas Lunak atau keras Lunak

Patogenesis terjadinya batu empedu


Teori awal menyebutkan patogenesis pembentukan batu empedu tidak lepas dari
kandung empedu sebagai faktor utama terjadinya kelainan. Hal ini berlangsung sampai tahun
1924, saat Findlay memperkenalkan konsep bahwa kegagalan kolesterol untuk tetap larut
merupakan faktor kritis dalam permulaan pembentukan batu. Konsep ini diperjelas oleh
Admirand dan Small (1968) yang menyebutkan, adanya korelasi antara konsentrasi ketiga
unsur solut dalam empedu, yaitu fosfolipid (lesitin), garam empedu, dan kolesterol. Penelitian
ini mendorong berbagai penelitian yang menghubungkan gangguan sekresi hepatik dari lipid
bilier sebagai penyebab utama pembentukan batu kolesterol. Penelitian akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa faktor kandung empedu tetap menjadi faktor yang tidak boleh
diabaikan. Tampaknya interaksi dinamis antara kedua organ ini sangat diperlukan untuk
terjadinya batu empedu.
Adanya batu di CBD dapat disebabkan oleh pembentukan batu dikandung empedu
yang kemudian bermigrasi ke CBD (batu sekunder), atau pembentukan batu terjadi pada
duktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik (batu primer). Patogenesis pembentukan batu
keduanya berbeda.
a) Batu Kolesterol
Secara ringkas, batu kolesterol terbentuk melalui 4 tahapan proses:
 Saturasi
 Pembentukan nidus (nukleasi)
 Kristalisasi

43
 Pertumbuhan batu
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Admirand dan Small, kelarutan kolesterol
dipengaruhi tidak hanya oleh kadar kolesterol, namun juga oleh kandungan lesitin dan garam
empedu. Ketiganya membentuk mixed micelles ataupun vesikel, yang memungkinkan
kolesterol dapat larut dalam empedu. Kedua kendaraan empedu ini tersusun dalam senyawa
ampifatik, di mana bagian yang hidrofobik berada di dalam dan bagian hidrofilik berada di
luar. Vesikel berukuran lebih besar (600-700 A), mengandung kolesterol lebih banyak,
namun lebih metastabil dibandingkan micelles. Besarnya proporsi vesikel dibandingkan
micelles banyak dikaitkan dengan pembentukan nukleasi. Terdapat keseimbangan fisiologis
antara pro nukleasi dan anti nukleasi dan faktor lainnya, kegagalan proses tersebut dianggap
berperan dalam pembentukan batu empedu.
Faktor kandung empedu, yaitu stasis, sekresi dan absorbsi, serta prostaglandin diduga
turut berperan dalam dalam terjadinya batu kolesterol, meski hal tersebut masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Prevalensi batu kolesterol pada penderita diabetes lebih tinggi, namun
demikian belum jelas diketahui apakah hal tersebut disebabkan oleh diabetesnya sendiri atau
akibat obesitas, dislipidemia, dan hipomotilitas kandung empedu yang umum ditemukan pada
penderita diabetes.

b. Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan batu empedu yang cukup banyak dijumpai di Asia Tenggara
dan Timur Jauh. Prasyarat pembentukan batu pigmen adalah konsentrasi bilirubin yang tinggi
(lebih dari 40%) dan kandungan kolesterol yang rendah. Batu ini umumnya merupakan
campuran, dengan kalsium bilirubinat sebagai kandungan utama. Berdasarkan penampakan,
batu pigmen terbagi menjadi batu coklat dan batu hitam. Pemahaman tentang patogenesis
batu pigmen tidak sebanyak batu kolesterol. Maki dkk menduga infeksi bilier dan stasis
berperan penting dalam terbentuknya batu jenis ini. Bilirubin glukoronida dihidrolisis oleh
enzim b-glukoronidase menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Bilirubin yang tidak
berkonjugasi ini kemudian bersama kalsium membentuk matriks kalsium bilirubinat,
komponen utama batu pigmen. Teori ini sulit menjelaskan pembentukan batu pigmen pada
gangguan hemolisis, dan sirosis. Pembentukan batu pada gangguan hemolisis kemungkinan
disebabkan oleh ekskresi bilirubin yang berlebihan, sedangkan pada sirosis, batu empedu
dikaitkan dengan adanya hipersplenisme dan gangguan metabolisme asam empedu.

44
Daftar Pustaka

Bernard M. Jaffe and David H.Berger. Brunicardi F. Charles et all. Schwartz’s:


Principles of Surgery 9th Edition. 2010. Chapter 31 and 32

Stephen J. McPhee and Maxine A. Papadakis. Current Medical Diagnosis and


TreatmentForty-Ninth Edition. 2010. Chapter 13 and 16

Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 –


1161
Snell. Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta :
EGC . 2006

Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia dari Sel ke Sistem, Edisi I. Jakarta : EGC.
2001.

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :
EGC; 2008. p. 843
Syamsuhidajat,R dan Wim De Jong. 1995. Buku ajar Bedah. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta,

Djoewaeny, Lili K., Referat Subbagian Bedah Digestif : Batu Empedu, Bandung. FK
Unpad / RSHS, 2003.
http:// emedicine.medscape.com.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus. 2010

45

Anda mungkin juga menyukai