Anda di halaman 1dari 29

PENGAYAAN

EPILEPSI LOBUS FRONTAL

Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Muda


di Laboratorium/SMF Neurologi FKUB-RSSA Malang

Oleh:

RIFQI AULIA DESTIANSYAH 0910713031

Pembimbing:
dr. Machlusil Husna, Sp.S

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD DR SAIFUL ANWAR MALANG
2013
PENDAHULUAN
Studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 2
juta individu menderita epilepsi dan sekitar 44 kasus baru per 100.000
populasi tiap tahunnya. Studi ini juga memperkirakan sekitar 1%
penduduk AS akan menderita epilepsi sebelum usia 20 tahun, dimana
pada periode umur ini epilepsi menunjukkan bentuk paling beragam.
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat adanya gangguan fungsi otak secara
intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan
berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh
berbagai faktor etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik
dari bangkitan serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan
sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik
epilepsi yang terjadi secara bersama-sama, yang berhubungan dengan
etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, faktor pencetus, dan
kronisitas (PDT Neurologi RSSA, 2012)
Epilepsi lobus frontal adalah bangkitan berulang yang
berkembang dari lobus frontal. Bentuk serangan dapat berupa simple
partial seizure atau dapat berupa complex partial seizure, sering pula
disertai dengan generalisasi sekunder. Manifestasi klinis
mencerminkan area spesifik dari onset bangkitan dan bervariasi dari
perubahan perilaku hingga perubahan motorik atau tonik. Status
epileptikus lebih umum terjadi pada seizure lobus frontal dibandingkan
regio lain. Tidak ada perbedaan bermakna pada frekuensi berdasarkan
jenis kelamin dan bisa mengenai semua usia.

EPIDEMIOLOGI
Studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 2
juta individu menderita epilepsi dan sekitar 44 kasus baru per 100.000
populasi tiap tahunnya. Studi ini juga memperkirakan sekitar 1%
penduduk AS akan menderita epilepsi sebelum usia 20 tahun, dimana
pada periode umur ini epilepsi menunjukkan bentuk paling beragam.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang.
Diperkirakan prevalensinya antara 0.5-4%. Rata-rata prevalensi
epilepsi 8.2 per 1.000 penduduk. Sedangkan insiden epilepsi di negara
berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. 1
Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi (usia
< 15 tahun), menurun pada dewasa muda dan usia pertengahan,
kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut (usia > 60 tahun).

ETIOLOGI
Etiologi epilepsi dibedakan menjadi tiga yaitu simtomatik,
idiopatik, dan kriptogenik. Pada etiologi simtomatik, bangkitan epilepsi
dapat disebabkan oleh lesi struktural di otak (fokus epileptogenik)
misalnya scar, tumor, dan malformasi kongenital, dapat juga
disebabkan oleh kelainan metabolik seperti hipoglikemia, atau
disebabkan oleh pengaruh racun seperti alkohol. Sebaliknya, untuk
etiologi idiopatik, penyebab epileptic seizures tidak diketahui, tetapi
umumnya melibatkan predisposisi genetik tanpa disertai lesi struktural.
Sedangkan pada etiologi kriptogenik, epileptic seizures dianggap
simtomatik, meskipun penyebabnya belum diketahui misalnya West
syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sekian milyar sel neuron yang satu dengan
lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin
melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal
sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls
antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme
yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau karena adanya
breaking system pada otak terganggu, maka neuron-neuron akan
bereaksi secara abnormal.
Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan
ini adalah Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory
neurotransmitter, dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang
bersifat sebagai brain’s inhibitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat
dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah
noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida.
Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Bangkitan epilepsi apapun jenisnya selalu disebabkan oleh
transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron
atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh
neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan
epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
1. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik)
kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik
secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada
penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA
yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini
dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga


terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron
penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang
terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi
glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan
kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai


potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang
sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :
1. Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari
sel untuk menimbulkan bangkitan.
2. Hilangnya “postsynaptic inhibitory control” sel neuron.
3. Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang


abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal
sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang).
Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi
neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma
otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus
epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan
dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada
rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia,
hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi
impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu
ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan
seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu
sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi
selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan
ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge
epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan
dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat
dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai
akibat terjadinya kelelahan neuronal. (karena kehabisan glukosa dan
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa
terhenti tanpa terjadinya kelelahan neuronal.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak,
asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga
menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status
epileptikus. 4

PEMBAGIAN DAN KLASIFIKASI


Secara umum, epilepsi lobus frontal dibagi 3 berdasarkan
lokasinya. Terdiri dari Dorsolateral Frontal Lobe Epilepsy, Mesial
Frontal Lobe Epilepsy dan Basal Frontal Lobe Epilepsy.
 Dorsolateral Frontal Lobe Epilepsy
Dorsolateral frontal lobe epilepsy lebih jauh
dibagi menjadi 3 bagian yaitu central lobe, premotor
dan precortex. Manifestasi klinis bisa berupa kejang
tipikal yang sesuai dengan tempat lesi.
 Mesial Frontal Lobe Epilepsy
Area ini adalah area sensoris primer dan
motorik untuk ekstremitas bawah. Pada area ini juga
terdapat SSMA (supplementary sensorimotor area)
yang apabila terstimulasi dapat menyebabkan kejang
tonik bilateral.
 Basal Frontal Lobe Epilepsy
Pada area ini, terdapat 5 gyrus yang dapat
diidentifikasi, yakni lateral orbital, anterior dan
posterior orbital, medial orbital dan rectus gyrus.
Kejang pada epilepsi ini adalah kejang otonom yang
juga dapat diikuti dengan fenomena autonomic
nervous system (ANS)

TANDA DAN GEJALA KLINIS


Epilepsi lobus frontal, berbeda dengan epilepsi lobus temporal,
memiliki manifestasi motorik yang menonjol dan dramatik. Sering
bersifat nokturnal, timbul saat tidur, dan biasanya berlangsung singkat
(14-45 detik). Saksi mata dapat mendeskripsikan vokalisasi keras,
kejang anggota gerak, kepala menoleh ke satu sisi, atau gerakan
bersepeda.
Serangan pada epilepsi parsial kompleks lobus frontal
berulang dengan frekuensi cukup sering, berlangsung singkat (kurang
dari 30 detik), dimulai dan berakhir secara mendadak, terjadi nokturnal,
dan sering menunjukkan gejala yang hebat. Pada tengah malam,
pasien dapat tiba-tiba berteriak keras, menggeliat di ranjang, meniru
gerakan bersepeda, otomatisme berulang, dapat menari-nari atau
berlari-lari dan kemudian tersadar dengan gejala postiktal minimal.
Analisa pasien dapat membingungkan bila terjadi kedua
epileptogenesis temporal dan frontal, biasanya orbitofrontal, secara
bersamaan. Seizure semacam itu dapat menyebar ke area motorik
suplementer, menimbulkan seizure jenis postural. Secondary
generalization (generalisasi sekunder) timbul lebih sering pada
serangan lobus frontal dibandingkan dengan lobus temporal.
Jacksonian march seizure merupakan progresi dari aktivitas
elektrik abnormal sepanjang korteks motorik primer. Secara klinis,
pasien dapat mendeskripsikan hentakan ritmis involunter dari ibu jari,
yang diikuti penyebaran ke tangan dan pergelangan, lalu ke lengan dan
wajah, semuanya pada satu sisi tubuh yang sama.
Bila seizure melibatkan korteks motorik suplementer pada sisi
medial lobus frontal, pasien dapat menunjukkan postur distonik
asimetrik (dikenal sebagai fencer position), dengan kepala menoleh ke
satu sisi, satu lengan ekstensi, dan lengan lainnya tertekuk dengan
pinggul abduksi dan tungkai fleksi. Pada epilepsi lobus frontal, pasien
dapat menunjukkan manifestasi motorik bilateral, namun tetap
sadarkan diri. EEG interiktal dapat normal atau menunjukkan
perlambatan fokal parasagital. Seringkali, EEG iktal tertutup oleh artifak
otot, tetapi EEG postiktal dapat memperlihatkan atenuasi fokal dari
aktivitas serebral atau perlambatan serta atenuasi difus.
Setelah serangan konvulsi dengan gejala motorik yang
menonjol, dapat terjadi paralisis sementara dari anggota gerak yang
terkena. “Todd’s paralysis” ini bertahan beberapa menit atau terkadang
beberapa jam setelah seizure, biasanya berkaitan dengan durasi
konvulsi. Paralisis fokal yang berlanjut lebih dari beberapa jam
biasanya mengindikasikan adanya lesi otak fokal sebagai penyebab
yang mendasari seizure. Fenomena serupa juga ditemukan pada
kasus epilepsi fokal yang melibatkan area bahasa, somestetik, atau
visual; di mana defisit persisten terkait dengan regio otak yang terkena.
Pada pasien ilustrasi kasus tidak diperoleh informasi mengenai
kelemahan anggota gerak pasca kelojotan. Mungkin karena pasien
masih anak-anak dan ibu pasien kurang teliti memperhatikan, maka
kelemahan yang ringan tidak dikeluhkan atau tidak teramati.
Gejala klinis seizure lobus frontal bervariasi dan terkombinasi dalam
berbagai cara. Tidak ada satu manifestasi yang spesifik. Aspek klinis
dari serangan epilepsi lobus frontal lebih kepada motorik dan kurang
kepada psikis. Hal ini merupakan karakteristik yang membedakannya
dengan epilepsi lobus temporal.
Serangan dapat berupa deviasi kepala dan mata. Deviasi ini
umumnya tampak jelas, tidak terlampau cepat, dan jarang menyentak,
sehingga terkadang menyerupai gerakan alamiah. Deviasi ini
terkadang ipsilateral dan terkadang kontralateral. Cetusan kortikal
terlokasi pada permukaan mesial sebelah anterior dari area motorik
suplementer atau pada permukaan lateral bagian tengah dari girus
superior dan midfrontal. Deviasi ipsilateral berhubungan dengan
cetusan anterior sedangkan deviasi kontralateral dengan cetusan
posterior.
Dalam hal manifestasi tonik atau klonik, atau keduanya,
kebanyakan kasus menunjukkan bentuk parsial, yaitu hanya mengenai
bagian tertentu dari tubuh. Kebanyakan berupa klonik. Manifestasi ini
hampir selalu melibatkan wajah, sebuah lengan, satu sisi tubuh, atau
kedua lengan. Cetusan tampaknya bertempat di regio frontal
intermediet pada permukaan lateral untuk kasus wajah, dan pada
permukaan mesial untuk kasus lengan atau satu sisi tubuh.
Kejadian jatuh biasanya berkaitan dengan gejala lain dan
timbul saat onset seizure. Sejumlah mekanisme yang menyebabkan
jatuh dapat dikelompokkan menjadi 3: (1) akibat hilangnya tonus otot,
(2) akibat rotasi kepala dan mata, dan (3) akibat hentakan klonik atau
gerakan tonik. Lokasi cetusan biasanya intermediet antara frontal dan
sentral.
Istilah “gangguan kontak” lebih cocok ketimbang “gangguan
kesadaran.” Gangguan kontak bervariasi antar pasien, pada satu
pasien, maupun dari satu serangan ke berikutnya: (1) pada beberapa
kasus, pasien mampu mempertahankan kontak umum selama seizure
dengan sangat baik. (2) terkadang, kontak terputus parsial. Pasien
mendengar namun tidak mengerti, atau mengerti namun tidak dapat
menjawab, atau melihat dan mendengar juga. (3) pada satu waktu,
semua pasien akan mengalami terputusnya kontak secara komplit. (4)
terputusnya kontak kadang bersifat paradoksikal, yaitu pasien
menunjukkan kontak yang baik dengan materi sekitar sementara putus
kontak dengan manusia sekitar. Dari segi lokasi anatominya, cetusan
yang terbatas pada area bicara atau pada kutub (pole) akan
menyebabkan terputusnya kontak. Cetusan frontal bilateral
menyebabkan terputusnya kontak secara komplit, sementara bila
unilateral tidak. Sehingga terputusnya kontak berhubungan dengan
lokasi dan luasnya cetusan.
Gangguan bicara biasanya berupa terhentinya ucapan, jarang
yang berupa kesulitan pengucapan. Cetusan selalu berlokasi di
hemisfer dominan. Vokalisasi berlangsung singkat, atau berulang,
terdengar seperti tangisan, raungan, atau teriakan. Manifestasi ini
timbul bersamaan dengan cetusan ekstensif di girus frontal inferior dan
girus midfrontal sisi anterior, sering pada hemisfer dominan namun
terkadang pada hemisfer non-dominan.
Gangguan memori bervariasi dan dapat dikelompokkan
menjadi 4 kategori: (1) amnesia total, merupakan bentuk yang
tersering. (2) amnesia parsial, di mana pasien dapat mengingat
sebagian gejala atau peristiwa yang terjadi di sekitar. (3) tanpa
gangguan memori, di mana pasien ingat seluruh kejadian di sekitarnya
dan yang ia lakukan selama seizure. Ketiadaan gangguan memori ini
juga sering tanpa disertai gangguan kontak, sehingga pasien
menyangkal telah mengalami seizure. Hanya berdasarkan manifestasi
klinik yang stereotipik dan rekaman EEG bisa didapatkan bukti seizure
yang otentik. (4) gangguan memori tertunda, di mana selama seizure
memori pasien berfungsi baik. Namun ketika serangan berhenti, pasien
kesulitan mengingat pertanyaan yang tadi diajukan padanya.
Otomatisme motorik sederhana terutama mengenai lengan
dan jarang pada tungkai. Pada saat serangan, pasien dapat melakukan
gerakan mengusap dengan satu tangan, atau gerakan yang lebih
kompleks, seperti menekan objek atau menyentuh tungkai pemeriksa.
Otomatisme kompleks sering disertai mengeluyur (wandering) dan
terkadang bahkan agitasi.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu mencari adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat
terlarang, kanker, dan penyakit sistemik lainnya. Pemeriksaan fisik
yang sangat hati-hati pada daerah kulit dapat menemukan tanda-tanda
penyakit neurokutaneous, seperti sklerosis atau neurofibromatosis,
atau penyakit liver atau penyakit ginjal yang kronis. Penemuan
organomegali mengindikasikan penyakit metabolik, dan asimetris
tungkai dapat memberikan tanda terhadap cedera otak pada awal
perkembangan. Auskultasi pada jantung dan arteri karotis, dapat
mengidentifikasikan abnormalitas yang memberikan predisposisi
terhadap penyakit kardiovaskular.
Semua pasien memerlukan pemeriksaan neurologi yang
lengkap, dengan pendekatan pada tanda-tanda penyakit hemisfer
serebral. Pemeriksaan yang teliti pada status mental (termasuk memori,
fungsi bahasa, dan berfikir abstrak) dapat menunjukkan lesi pada lobus
anterior frontal, parietal, atau temporal. Dengan menguji lapangan
pandang, akan membantu mencari lesi pada jalur optikus dan lobus
oksipital. Tes skrining pada fungsi motor seperti pronator drift, deep
tendon reflexes, gait, dan koordinasi dapat menunjukkan lesi pada
motor korteks, dan uji sensoris kortikal dapar mendeteksi lesi pada
lobus parietal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Modalitas pencitraan pilihan untuk pasien seizure lobus frontal
adalah MRI. MRI keluaran terakhir dapat meningkatkan identifikasi lesi
yang mendasari, yang mana dilaporkan terdapat pada 50% pasien
epilepsi lobus frontal. Position emission tomography semakin sering
dikerjakan untuk evaluasi prabedah pasien dengan epilepsi
ekstratemporal. Hipometabolisme interiktal, yang mencerminkan
disfungsi fokal, dapat terlihat pada area yang tampak normal pada MRI.

Semua pasien harus menjalani evaluasi EEG. Pada pasien


epilepsi intractable (refrakter), atau di mana diagnosis masih
meragukan, perlu dilakukan monitoring video-EEG berkepanjangan.
Bila serangan lebih bersifat nokturnal, dapat dipertimbangkan
polisomnografi. Pasien yang dicurigai menderita epilepsi lobus frontal
sering membutuhkan monitoring EEG invasif. EEG intrakranial
dilakukan untuk melokalisir regio epileptogenik dan untuk pemetaan
fungsional sebelum dilakukan reseksi (pembedahan).

DIAGNOSIS
Pada dasarnya, diagnosis semua jenis epilepsi ditegakkan
melalui:
1. Anamnesis, ditujukan terutama untuk mencari
penyebab yang mendasari. Beberapa hal pada anamnesis
yang perlu digali adalah: pola/bentuk bangkitan, durasi
bangkitan, gejala sebelum, selama, dan sesudah bangkitan,
frekuensi bangkitan, faktor pencetus, penyakit saat ini, usia
saat bangkitan pertama, riwayat selama dalam kandungan
sampai perkembangan anak, riwayat terapi epilepsi, dan
riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisik, sesuai dengan gejala klinis dan
penyebabnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
3. Pemeriksaan tambahan yaitu EEG, brain imaging,
laboratorium, dan EKG.

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu


a. Langkah pertama, memastikan apakah kejadian yang
bersifat paroksismal menunjukkan bangkitan epilepsi atau
bukan epilepsi.
b. Langkah kedua, apabila benar terdapat bangkitan
epilepsi, maka tentukan bangkitan yang ada termasuk jenis
bangkitan yang mana.
c. Langkah ketiga, tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa
yang ditunjukkan oleh bangkitan, atau epilepsi apa yang di
derita oleh pasien

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan


tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali)
yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.

DIAGNOSIS BANDING
1. Absence seizure
2. Periodic Limb Movement Disorder
3. Psychogenic Nonepileptic Seizures
4. Epilepsi Lobus Temporal

KOMPLIKASI/PENYULIT
1. Status epileptikus
2. Epilepsi refrakter
3. Fraktur
4. Edema serebri
5. Aspirasi pneumonia
6. Kegagalan ginjal mendadak (mioglobinuria)

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
optimal untuk pasien, antara lain dengan menghentikan bangkitan,
mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping,
menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek
samping OAE.
Terapi dari epilepsi lobus frontal terdiri dari 2 bagian, yaitu
terapi farmakologis dan non farmakologis.
a. Farmakologis
Bangkitan yang pertama kali tidak perlu diterapi,
namun terapi antikonvulsan perlu dimulai ketika diagnosis
epilepsi telah ditegakkan. Obat anti epilepsi (OAE) mulai
diberikan bila diagnosis telah dipastikan, setelah pasien
sedan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan dan pasien dan atau keluarga telah diberitahu
tentang kemungkinan efek samping OAE yang akan timbul.
Terapi dimulai dengan monoterapi sesuai dengan jenis
bangkitan atau sindrom epilepsi yang dialami oleh pasien.
Terapi dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Bila
dengan dosis maksimum obat pertama tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan obat OAE kedua
dan ketiga apabila OAE kedua tidak dapat mengatasi
bangkitan.
Manajemen ditujukan untuk mengendalikan serangan
dan menghilangkan faktor penyebab. Terapi farmakologis
lini pertama untuk epilepsi adalah carbamazepine,
oxcarbazepine dan phenitoin. Carbamazepine merespon
sangat baik kepada episode nokturnal dengan manifestasi
motorik prominen. Pilihan terapi dipengaruhi beberapa
faktor seperti toleransi efek samping dari obat itu sendiri
maupun interaksi dengan obat lain yang diberikan. Berikut
adalah berbagai jenis obat anti epilepsi sebagai pilihan obat
untuk epilepsi lobus frontal.
 Na channel blocker
Dalam mekanisme aksi potensial, Na
channel dalam posisi aktif sehingga terjadi
pemasukan ion Na ke dalam membran sel.
Apabila aktivasi atau stimulus ini dihentikan,
maka akan terjadi refractory period, dimana
aksi potensial oleh depolarisasi yang terus
menerus pada neuron dihambat. Obat-obatan
yang termasuk dalam golongan ini adalah
Carbamazepine, Oxcarbazepine, Phenytoin.
Obat-obatan golongan ini digunakan sebagai
pilihan pertama pada kejang parsial dan tonik-
klonik.
 GABA Receptor Agonist
Kejang merupakan implikasi dari tidak
seimbangnya aktivitas eksitasi dan inhibisi
dalam otak, dengan aktivitas eksitasi lebih
tinggi dari inhibisi. Neurotransmiter yang
paling penting dalam aktivitas inhibisi adalah
GABA (Gamma-aminobutyric acid). Obat-
obatan yang termasuk dalam golongan ini
adalah Benzodiazepine (Lorazepam,
Diazepam, Clobazam), Barbiturat
(Phenobarbital, Primidone). Benzodiazepine,
khususnya Lorazepam dan Diazepam
digunakan dalam keadaan emergensi karena
onset obat ini yang cepat dan efek antikonvulsi
yang kuat namun tidak digunakan dalam
pengobatan jangka panjang.
 Deoksibarbiturat
Contoh obat pada golongan
deoksibarbiturat adalah Primidon. Primidon
digunakan untuk terapi kejang parsial dan
kejang tonik-klonik. Primidon mempunyai efek
penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti
kejang primidon hampir sama dengan
fenobarbital, namun kurang poten. Di dalam
tubuh, primidon diubah menjadi metabolit aktif
yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid
(PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas
fenobarbital. Efek samping yang terjadi pada
pemakaian primidon adalah pusing,
drowsiness, kehilangan keseimbangan.
 Suksimid
Etosuksimid digunakan pada terapi
kejang absens. Mekanisme suksimid adalah
sebagai Ca channel blocker. Thalamus
berperan dalam pembentukan ritme bangkitan
yang diperantarai oleh ion Ca tipe T pada
kejang absens, sehingga penghambatan pada
kanal tersebut akan mengurangi bangkitan.
Efek samping penggunaan etosuksimid adalah
kehilangan keseimbangan, mengantuk dan
gangguan gastrointestinal.
 OAE lain
Beberapa obat anti epilepsi yang lain
adalah Gabapentin, Lamotrigin,
Levetirasetam, Topiramat, Tiagabin,
Felbamat, dan Zonisamid.
Gabapentin merupakan obat pilihan
kedua untuk penganganan bangkitan parsial
epilepsi, walaupun kegunaan utamanya
adalah untuk manajemen nyeri neuropati.
Gabapentin mengikat protein pada membran
korteks kanal Ca tipe L, namun gabapentin
tidak mempengaruhi arus Ca pada kanal Ca
tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu
mengurangi perangsangan aksi potensial
yang berulang terus menerus. Dari hasil studi,
beberapa pasien anak-anak yang
menggunakan gabapentin mengalami perilaku
yang agresif dan peningkatan berat badan
pada dewasa.
Lamotrigin merupakan OAE generasi
baru dengan spektrum luas yang memiliki
efficacy parsial dan epilepsi umum.
Mekanisme aksi dari lamotrigin adalah Na
channel blocker, mengambat aktivitas arus
kanal Ca dan memblok eksitasi
neurotransmitter asam amino seperti glutamat
dan aspartat. Lamotrigin memiliki efek
samping seperti diplopia, nyeri kepala dan
kehilangan keseimbangan. Lamotrigin dapat
menyebabkab kemerahan pada kulit terutama
pada penggunaan pada 3-4 minggu awal.
Levetirasetam digunakan dalam
kejang parsial, kejang absens, mioklonik,
tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam belum
diketahui secara pasti, namun beberapa studi
mengatakan bahwa mekanisme levetirasetam
sebagai anti epilepsi adalah menghambat
kanal Ca tipe N dan mengikat protein sinaptik
yang menyebabkan penurunan eksitatori. Efek
samping yang umum terjadi pada penggunaan
levetirasetam adalah sedasi, gangguan
perilaku dan efek pada ANS.
Topiramat digunakan tunggal atau
tambahan pada terapi kejang parsial, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat
mengobat kejang dengan menghambat Na
channel, meningkatkan aktivitas GABA A,
antagonis reseptor glutamat (AMPA) dan
mengambat karbonat anhidrase. Efek
samping yang utama adalah gangguan
keseimbangan, sulit berkonsentrasi, dan
parestesia.
Tiagabin digunakan untuk terapi
kejang parsial pada dewasa dan anak > 16
tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA,
antagonis neuron atau menghambat reuptake
GABA. Efek samping yang sering terjadi
adalah nyeri kepala, asthenia, tremor,
anxietas.
Felbamat bukan merupakan pilihan
pertama untuk terapi kejang. Felbamat hanya
digunakan apabila terapi sebelumnya tidak
efektif dan pasien epilepsi berat yang
mempunyai resiko anemia aplastik.
Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja
NMDA dan meningkatkan respon GABA. Efek
samping yang sering dilaporkan terkait
penggunaan felbamat adalah anoreksia, mual,
muntah, gangguan tidur dan penurunan berat
badan.
Zonisamid merupakan derivat dari
sulfonamid yang digunakan sebagai terapi
tambahan kejang parsial pada anak > 16
tahun dan dewasa. Mekanisme aksi dari
zonisamid adalah dengan menghambat Ca
channel tipe T. Efek samping yang umum
terjadi dalam penggunaan zonisamid adalah
drowsiness, nyeri kepala, anorexia dan
agitasi.
Tipe Bangkitan OAE lini OAE lini OAE lini
pertama kedua ketiga
Lena/Absens VPA ESM LEV
LTG ZNS
Mioklonik VPA TPM LTG
LEV CLB
ZNS CZP
PB
Tonik-klonik VPA LTG TPM
CBZ OXC LEV
PHT ZNS
PB PRM
Atonik VPA LTG FBM
TPM
Parsial CBZ VPA TGB
PHT LEV VGB
PB ZNS FBM
ROXC PGB PRM
LTG
TPM
GBP
Tidak VPA LTG TPM
terklasifikasikan LEV
ZNS

Keterangan : CBZ: carbamazepin, CLB: clobazam, CZP: clonazepam, ESM:


ethosuximide, FBM: felbamate, GBP: gabapentin, LEV: levitiracetam, LTG:
lamotrigin, OXC: oxcarbazepine, PB: Phenobarbital, PGB: pregabalin, PHT:
phenitoin, PRM: pirimidon, TGB: tiagabine, TPM: topiramat, VGB: vigabatrin,
VPA: valproic acid, ZNS: zoniDsamide.

Tabel 1. Pemilihan OAE pada pasien remaja dan dewasa


Berdasarkan bentuk bangkitan.

b. Non Farmakologis
Apabila kejang tetap tidak terkontrol dengan terapi
farmakologis, maka perlu dipertimbangkan untuk terapi
pembedahan. Pembedahan dilakukan pada area yang
menjadi trigger point kejang. Modalitas imaging terbaru
seperti SPECT (Single-photon emission computerized
tomography) dan SISCOM (subtraction ictal SPECT
coregistered to MRI) dapat mengetahui area trigger point
lebih akurat untuk kepentingan pembedahan, namun
modalitas ini belum banyak tersedia.
Modalitas radiologi yang lain dapat digunakan untuk
keperluan pra-pembedahan epilepsi adalah brain mapping.
Brain mapping menggunakan metode implantasi elektroda
secara langsung pada otak, sehingga dapat diketahui area
fokal yang akan dilakukan reseksi.
Secara singkat, pembedahan adalah terapi pilihan
apabila kejang tetap tidak terkontrol dengan terapi
farmakologis. Pembedahan pada epilepsi lobus frontal
memiliki tingkat keberhasilan yang cukup rendah dibanding
epilepsi pada area lain, namun tetap dapat dijadikan
pertimbangan pada pasien dengan kejang yang tidak
terkontrol. Beberapa metode pembedahan yang dilakukan
adalah sebagai berikut.
 Reseksi area yang menjadi trigger point
kejang
Apabila etiologi kejang dimulai dari
suatu area spesifik pada otak, dalam kasus ini
pada lobus frontal, maka mengambil bagian
tersebut (frontal lobectomy) dapat mengurangi
atau bahkan dapat menghilangkan kejang
pada pasien epilepsi lobus frontal.
 Isolasi area yang menjadi trigger point kejang
Apabila area fokal otak yang menjadi
trigger point kejang terlalu vital dan berbahaya
untuk diambil, maka dapat dilakukan metode
isolasi.
 Stimulasi N. Vagus
Pilihan metode pembedahan lain
adalah menanam device untuk menstimulasi
n. vagus yang dapat mengurangi kejang
 Pemasangan RNS
RNS (Responsive Neurostimulator)
adalah tipe device terbaru yang dapat
dipasang pada otak, yang dapat aktif
mencegah terjadinya kejang.
Gambar 1. Algoritma Indikasi Pembedahan pada Pasien Epilepsi
Lobus Frontal

PROGNOSIS
Sekitar 79-80% pasien dengan seizure lobus frontal kasuu
baru berespon terhadap antikonvulsan yang sesuai dan menjadi bebas
serangan pada beberapa tahun pertama. Angka ini lebih banyak
dibandingkan dengan kasus primary generalized seizure. Proporsi
pasien epilepsi lobus frontal yang menjadi bebas serangan, melalui
penambahan obat atau pembedahan, lebih rendah bila dibandingkan
dengan pasien epilepsi lobus temporal. Angka bebas serangan
menyusul lobektomi temporal berkisar 50% hingga 70%, sementara
angka bebas serangan pada reseksi lobus frontal hanya antara 10%
dan 25%. Prognosis epilepsi akan semakin buruk bila terdapat hal-hal
seperti berikut :
1. Terdapat lesi struktural
2. Bangkitan epilepsi parsial
3. Sindrom epilepsi berat
4. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
5. Frekuensi bangkitan tonik-klonik yang tinggi sebelum
dimulai pengobatan
6. Terdapat kelainan neurologis maupun psikiatris

MONITORING
Pasien membutuhkan kontrol yang berkala apabila dalam
tahap pertama pengobatan epilepsi yaitu fase penyesuaian dosis dan
keefektifan obat dalam mengatasi kejang yang dialami pasien. Aspek-
aspek yang perlu diamati dalam proses monitoring adalah nistagmus
yang sering, adanya tremor dan adanya ataxia. Apabila dalam dosis
maintenance pasien tidak mengalami kejang, maka pasien diminta
untuk kontrol untuk follow up keadaan umum dan neurologis sebanyak
1-3 kali dalam 1 tahun. Pasien yang bebas kejang selama 2-5 tahun
selama pengobatan, dapat dipertimbangkan untuk withdrawal
pengobatan.

REFERENSI
1 Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi PERDOSSI 2009
2 Engel, Jerome. dkk. 2005. Epilepsy - Global Issues for the
Practicing Neurologist. Demos: New York.
3 Harsono. 2007. Epilepsi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
4 Harsono, dkk. 2012. Pedoman tatalaksana epilepsi. Perdossi:
Jakarta Pusat.
5 Gilman, Sid. dkk. 2010. Oxford American Handbook of
Neurology. Oxford University Press.
6 Kasper, Dennis. dkk. 2005. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition. McGraw-Hill.
7 Mumenthaler, Mark. dkk. 2006. Fundamentals of Neurology.
Thieme
8 Sjahrir, Margono. dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan terapi
Ilmu penyakit saraf. RSU Dokter Sutomo: Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai