Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN PADA NY.

S DENGAN GANGGUAN
MOBILITAS FISIK DI RUANG CEMPAKA 1 RUMAH PELAYANAN
SOSIAL LANJUT USIA PUCANG GADING

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Asuhan Keperawatan Gerontik


Dosen Pembimbing Akademik: Ns. M. Mu’in, M.Kep., Sp.Kep.Kom

Disusun Oleh:

RESTU AYU SARASWATI

22020116130104

Kelas A16.2

DEPARTEMEN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

TOPIK LP: Gangguan Mobilitas Fisik pada Lansia

A. Latar Belakang
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-
angsur mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses
menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
dan luar tubuh.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di
dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua
(Nugroho, 2006).

B. Definisi
Mobilisasi
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kesehatan,
memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan
untuk aktualisasi (Mubarak, 2008)
Imobilisasi
Imobilisasi adalah suatu kondisi yang relatif, dimana individu tidak saja
kehilangan kemampuan geraknya secara total tetapi juga mengalami
penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya (Mubarak, 2008).
C. Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat mobilisasi seseorang diantaranya
menurut Aziz Alimul (2009) :
a) Tingkat Energi. Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi.
Agar seseorang dapat melakukan mobilisasi dengan baik, dibutuhkan
energi yang cukup.
b) Usia dan Status Perkembangan. Terdapat perbedaan kemampuan
mobilisasi pada tingkat usia yang berbeda dalam Potter and Perry
(2005). Pada lansia, terjadi perubahan kemampuan mobilisasi karena
hilangnya kepadatan dan massa tulang, sehingga dapat mengganggu
proses mobilisasinya.
c) Kondisi patologik
1) Postur tubuh abnormal
2) Gangguan perkembangan otot, seperti distropsi muskular, terjadi
karena gangguan yang disebabkan oleh degenerasi serat otot
skeletal.
3) Kerusakan sistem saraf pusat
4) Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal: kontusio, salah urat,
dan fraktur.
d) Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental yang menghalangi seseorang untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Ketidakmampuan dibagi menjadi
dua yaitu :
a. Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau
trauma (misalnya : paraisis akibat gangguan atau cedera pada
medula spinalis).
b. Ketidakmampuan sekunder yaitu terjadi akibat dampak dari
ketidakmampuan primer (misalnya kelemahan otot dan tirah baring)
(Mubarak, 2008)
D. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi
sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot
skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot
berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit.
Ada dua tipe kontraksi otot yaitu isotonik dan isometrik. Pada
kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek.
Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot
tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya
menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah
kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi
isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi
meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi
(peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah)
karena latihan isometrik.
Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark
miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan gerakan otot
merefleksikan kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada
ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan
dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang
berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang
seimbang. Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan
posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.
Imobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang.

E. Pengkajian
Pengkajian yang diperlukan pada lansia dengan gangguan mobilitas fisik,
yaitu:
1. Mengkaji identitas pasien
2. Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang
abnormal akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi
dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis.
3. Mengkaji system persendian
Ukur luas gerakan baik gerak aktif maupun pasif, deformitas,
stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi.
4. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan
ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau
adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
5. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau
lebih dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer
dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu
pengisian kapiler.
6. Mengkaji fungsional klien

F. Pemeriksaan Penunjang
 Sinar-X (X-ray)
Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan hubungan
tulang.
 CT scan (Computed Tomography)
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligament atau tendon.
 MRI (Magnetik Resonance Imaging)
Teknik pencitraan khusus, non-invasive, yang menggunakan medan
magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan
abnormalitas
 Pemeriksaan Laboratorium:
Adanya penurunan Hb yang ditujukkan pada post-trauma, Ca↓ pada
imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan SGOT ↑ pada
kerusakan otot.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain, Potter and Perry (2005):
a. Kesejajaran Tubuh
Dalam mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, perawat
mengangangkat klien dengan benar, menggunakan teknik posisi
yang tepat, dan memindahkan klien dengan posisi yang aman dari
tempat tidur ke kursi atau brankar atau kursi roda.
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas,
digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan
fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu: posisi fowler
(setengah duduk), posisi litotomi, posisi dorsal recumbent, posisi
supinasi (terlentang), posisi pronasi (tengkurap), posisi lateral
(miring), posisi sim, posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari
kaki)
b. Mobilisasi Sendi
Untuk mengoptimalkan mobilisasi sendi maka perawat dapat
mengajarkan klien latihan ROM (Range Of Motion). Apabila klien
tidak mempunyai control motorik volunteer maka perawat
melakukan latihan rentang gerak pasif. Latihan ini baik ROM aktif
maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi
kekakuan pada sendi dan kelemahan otot.

H. Komplikasi
Dampak dari imobilisasi dalam sangat besar pada tubuh diantaranya, Potter
and Perry (2005):
1) Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilisasi dapat mengganggu metabolisme secara
normal, mengingat imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme di dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada
menurunnya basal metabolism rate (BMR) yang menyebabkan
berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat
memengaruhi gangguan oksigenasi sel.
2) Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak
dari imobilisasi akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan
konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh.
3) Gangguan Fungsi Gastriointestinal
Imobilisasi dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal
ini disebabkan karena imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan
yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat
menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri
lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
4) Perubahan Sistem Pernafasan
Akibat imobilisasi, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru
menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses
metabolisme terganggu.
5) Perubahan Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskular juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga
perubahan utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja
jantung, dan pembentukan thrombus.
6) Perubahan Sistem Muskuloskeletal
7) Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskeletal sebagai dampak
dari imobilisasi adalah sebagai berikut:
 Gangguan Muskular. Menurunnya massa otot sebagai dampak
imobilitas dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung. Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan
menurunnya stabilitas.
 Gangguan Skeletal. Adanya imobilitas juga dapat
menyebabkan gangguan skeletal, misalnya akan mudah
terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis.
8) Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas
kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan
terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya
luka decubitus sebagai akibat tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang
menurun ke jaringan.
9) Perubahan Eliminasi
Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi
tegak lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam
ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi
rekumben atau datar, ginjal dan ureter membentuk garis datar seperti
pesawat. Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung
kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang
tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi
sebelum urine masuk ke dalam ureter.
10) Perubahan Prilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya
rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan
siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan
perilaku tersebut merupakan dampak imobilisasi karena selama proses
imobilisasi seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri,
kecemasan, dan lain-lain.

I. Diagnosa Keperawatan
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
Ada keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
dan keterbatasan rentang gerak sendi.
2) Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan intoleransi
aktivitas.
Ketidakmampuan untuk meakukan personal hygiene secara mandiri
(ketergantungan total).
3) Risiko kerusakan integritas kulit dengan faktor risiko tonjolan tulang.
Adanya imobilisasi fisik dan bed rest total.
DAFTAR PUSTAKA

Alimul H., A. Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi Konsep


dan Proses Keperawatan. Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Alimul Aziz, 2006. Kebutuhan Dasar Manusia, Jilid 2. Jakarta: Salemba Medika.
Mubarak, Wahit & Chayatin. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori
dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.
NANDA. 2017. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2017-2020.
Jakarta: Prima Medika.
Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik,Ed.4. Vol.2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai