Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Oklusi Normal

Pengertian oklusi ialah berkontak nya permukaan oklusal gigi geligi di

rahang atas dengan permukaan oklusi gigi geligi di rahang bawah pada saat

rahang atas dan bawah menutup (Dewanto H. 1993).

Konsep oklusi normal menurut Angle yang bersifat statis ini

mendasarkan makna oklusi normal pada hubungan anteroposterior gigi molar

pertama atas dengan bawah. Menurut Angle, hubungan gigi molar yang baik

ialah bila tonjol mesio bukal molar pertama atas berkontak dengan sulkus bukal

molar pertama bawah, dengan tonjol disto bukal molar pertama atas berada di

antara tonjol disto bukal molar pertama bawah dan tonjol mesio bukal molar

kedua bawah (Foster T.D. 1993).

Konsep oklusi normal kemudian mengalami perkembangan pesat

sampai pada masa kini. Konsep oklusi normal yang pada awalnya bersifat

statis, kemudian berkembang menjadi dinamis, yang juga memperhatikan

interdigitasi gigi-geligi, kontrol dari tonus otot dan integritas sendi

temporomandibula (Rahardjo P. 2012.)

Konsep oklusi ideal menurut Andrew (1972) yang telah dikenal oleh

para praktisi ortodonti berpedoman pada enam kunci utama. Kunci yang

pertama yaitu hubungan gigi molar pertama atas dan bawah sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Angle. Kemudian kunci berikutnya yaitu angulasi mahkota

ke arah mesial, inklinasi tiap mahkota gigi-geligi (inklinasi insisif yang lebih
ke labial, inklinasi gigi-geligi posterior atas yang lebih ke lingual, dan inklinasi

gigi-geligi posterior bawah lebih ke lingual secara progresif dari gigi kaninus

sampai gigi molar), tidak terdapat rotasi gigi, tidak terdapat celah antara gigi-

geligi dan bidang oklusal yang datar atau sedikit melengkung (Foster T.D,

1997).

Dalam bidang ilmu fisiologi, normal bukan merupakan suatu titik pasti,

melainkan suatu kisaran. Oklusi dapat dikatakan normal bila dua puluh delapan

gigi-geligi dengan susunan yang teratur dan berada dalam keseimbangan

dengan kondisi sekitarnya dan gaya fungsional. Oklusi seimbang, stabil, sehat

dan secara estetis menarik juga dapat dianggap normal, bahkan walaupun ada

sedikit rotasi gigi-geligi (Dewanto H. 1993).

2.2 Maloklusi

A. Pengertiam Maloklusi

Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuh kembangan gigi

geligi dam malrelasi lengkung gigi (rahang) yang disebabkan faktor-faktor

tertentu. Penyebab maloklusi yang spesifik sulit dipastikan, karena sebagian

besar merupakan interaksi faktor genetik dan lingkungan (Rahardjo P.

2012).

B. Etiologi Maloklusi

1. Faktor Herediter

Pengaruh herediter dapat bermanisfestasi dalam dua hal, yaitu

a. Disporoporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan

maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema.


b. Diproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah

yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis.

Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter ialah

kekurangan jumlah gigi, kelebihan jumlah gigi misal nya ada mesiodens

dan kaninus yang impaksi di palatal (Rahardjo P. 2012).

2. Faktor Lokal

a. Gigi Sulung Tanggal Prematur

gigi sulung yang tanggal premature dapat berdampak pada

susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi

tanggal premature gigi sulung maka semakin besar akibat nya pada gigi

permanen. Insisivi sentral dan lateral sulung yang tanggal premature

tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan

adanya pergeseran garis media, begitu juga dengan molar pertama

sulung (Rahardjo P. 2012).

b. Persistensi Gigi

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained deciduous

teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi

tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat

bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukan persistensi gigi sulung

adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tapi gigi sulungnya

tidak tanggal (Rahardjo P. 2012).


c. Trauma

Trauma yang mengani gigi sulung dapat menggeser benih gigi

permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang

terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila

bila mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilasersi yaitu

gigi yang mengalami distorsi bentuk ( biasanya bengkok . gigi ini

biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal (Rahardjo P. 2012).

d. Pengaruh Jaringan Lunak

Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang

besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih

keil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama.

Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat

mengubah letak gigi, dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi

dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat

sangat memengaruhi letak gigi.

Tekanan dari lidah, misalkan letak lidah pada posisi istirahat tidak benar

juga dapat mempengaruhi sehingga insisiv bergerak ke labial (Rahardjo

P. 2012).

e. Kebiasan Buruk

Suatu kebia saan yang berdurasi total sedikitnya 6 jam sehari,

berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat

menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda

lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi.


Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama

kebiasaan berlangsung. Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung

tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaan tersebut

telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus

berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat maloklusi dengan

tanda-tanda berupa insisivi atas proklinasi dan terdapat diastema,

gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta retroklinasi insisivi bawah

(Rahardjo P. 2012).

C. Karakteristik Maloklusi

Menurut Moyers (1977) klasifikasi maloklusi merupakan system

pengelompokan kasus-kasus klinik yang bentuknya hampir serupa, supaya

mudah ditangani. Klasifikasi hanya suatu pengelompokan dan tidak lebih

dari itu. Bukan suatu sistem diagnostik, bukan suatu metode untuk

menentukan prognosis dan bukan pula suatu jalan untuk menentukan

perawatan. Klasifikasi dilakukan untuk suatu alasan tradisional yaitu untuk

memudahkan penunjukan dan untuk tujuan membandingkan (Dewanto,

1993)

Menurut pendapat Strang dkk. (1958) klasifikasi adalah suatu proses

menganalis kasus-kasus maloklusi dengan tujuan memisahkan kasus-kasus

tersebut ke dalam sejumlah kelompok-kelompok yang kecil yang

mempunyai sifat-sifat dasar oklusi normal. Variasi-variasi tersebut

merupakan faktor- faktor yang berpengaruh dan menentukan rencana

perawatan yang betul dan cocok (Dewanto, 1993).


Menurut Angle, yang memperkenalkan sistem klasifikasi pada tahun

1899, maloklusi dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungan gigi molar

pertama bawah terhadap atas. Pengelompokan maloklusi ini masih

digunakan sampai masa kini, yang terbagi menjadi kelas I, kelas II, dan kelas

III Angle. Yang akan di jelaskan di bawah ini (Rahardjo, 2012).

a. Kelas I

Gambar 2.1 Maloklusi kelas I


(Bakar, 2012)

Maloklusi kelas I Angle memiliki hubungan molar pertama yang

normal, yaitu tonjol mesio bukal gigi molar pertama atas beroklusi dengan

sulkus bukal gigi molar pertama bawah. Selain itu, dapat disertai dengan

gigi berjejal, rotasi, kehilangan gigi, dll.

b. Kelas II

Maloklusi kelas II Angle ditandai dengan hubungan molar bawah

yang lebih ke distal dari molar atas (distoklusi), dengan kata lain, tonjol

disto bukal gigi molar pertama atas berkontak dengan sulkus bukal gigi

molar pertama bawah. Maloklusi kelas II ini terbagi menjadi kelas II divisi

1 dan 2
1. Maloklusi kelas II divisi 1

Gambar 2.2 Maloklusi kelas II divisi 1


(Bakar, 2012)

Maloklusi kelas II divisi 1 ditandai dengan jarak gigit yang besar dan

biasanya disertai dengan tinggi gigit yang dalam, terdapat gigi-gigi

insisiv atas maju atau protrusi.

2. Maloklusi kelas II divisi 2

Gambar 2.3 Maloklusi kelas II divisi 2


(Bakar, 2012)

Maloklusi kelas II divisi 2 memiliki hubungan molar distoklusi dan

inklinasi gigi insisif sentral atas yang lebih ke lingual atau retrusi.
c. Kelas III

Gambar 2.4 Maloklusi kelas III


(Bakar, 2012)
Maloklusi Angle kelas III yaitu bila posisi gigi-gigi molar terhadap

rahang masing-masing normal, kemudian dalam oklusi sentrik lengkung

gigi bawah beroklusi kearah mesial terhadap lengkung gigi atas.

Selanjutnya tonjol mesiobukal gigi molar pertama atas beroklusi paling

sedikit setngah tonjol terhadap alur disto bukal gigi molar pertama bawah.

Dibanding dengan kelas-kelas yang lain, maloklusi kelas I ternyata

lebih banyak terdapat. Sehingga berdasarkan hal tersebut, dalam

menerapkan perinsip orthodonti pencegahan. kemudian, Dewey membuat

modifikasi dari klasifikasi Angle, yang membagi kelas I menjadi 5 tipe.

1. Kelas I tipe 1

Memiliki relasi lengkungan gigi dalam arah antero-posterior seperti kelas

I. gigi insisiv berjejal atau rotasi, dan gigi kaninus sering kurang ruang

untuk menempatkan diri dalam posisi yang seharusnya. Pada tipe ini

kelihatannya tulang rahang kurang bisa menampung semua gigi-gigi.

Penyebab umum adalah keturunan.

2. Kelas I tipe 2

Memiliki gigi insisivus atas protrusi dan letaknya renggang. Hal ini sering

di sebabkan oleh kebiasan tidak baik seperti menghisap ibu jari.


3. Kelas I tipe 3

Maloklusi kelas I disertai gigi-gigi insisivi atas satu atau lebih yang

posisinya terkunci dengan insisivi bawah ketika oklusi atau bisa di bilang

gigitan silang di anterior.

4. Kelas I tipe 4

Kelas I dengan gigitan silang di posterior, ini biasanya melibatkan gigi-

gigi molar dan premolar.

5. Kelas I tipe 5

Bisa kelihatan seperti kelas I tipe 1 tetapi penyebab lokalnya berbeda.

Terdapat gigi berjejal tapi lebih ke belakang. Pada tipe ini diperkirakan

cukup ruang untuk gigi-gigi posterior tetapi karena terjadi tanggal awal

dari gigi molar sulung, gigi molar permanen bergeser ke mesial.

D. Maloklusi Pada Gigi Anterior

1. Gigi anterior berjejal

Gambar 2.5 Gigi anterior berjejal.


(Singh, 2007)

Gigi berjejal terjadi karena ketidakseimbangan antara ukuran

lengkung gigi dengan lengkung rahang. Ketidakseimbangan ini terjadi

karena besarnya ruang yang dibutuhkan untuk penyusunan gigi-geligi

lebih besar dibandingkan lengkung yang tersedia (Foster T. D., 1997).


Metode pengukuran gigi berjejal yang pernah dilakukan oleh Van

Kirk dan Pennel pada tahun 1959, memberikan kemudahan dalam menilai

derajat ketidakteraturan gigi untuk studi epidemiologi. Indeks

malalignment yang telah dikembangkan ini dibuat untuk memudahkan

dalam melakukan pengelompokan kasus ketidakteraturan gigi dalam studi

di lapangan. Penilaian dilakukan menggunakan alat ukur penggaris plastik

kecil dengan ukuran 1 x 4 inci, ujung penggaris miring 450, dan di ujung

yang lain diberi tanda garis mendatar dan tegak pada jarak 1,5 mm dari

tepi penggaris. Dengan metode ini, pengukuran dapat langsung dilakukan

didalam mulut atau pada model gigi dengan penerangan yang secukupnya

(Dewanto H. 1993).

Gambar 2.6 Alat ukur gigi tak teratur


(Dewanto, 1993)

Kriteria penilaian yaitu dengan memberikan skor 0 untuk letak gigi

teratur dalam lengkung gigi ideal. Skor 1 untuk letak gigi tidak teratur

ringan yang dapat terdiri dari 2 tipe, yaitu dapat rotasi (bila sudut yang

dibentuk dari garis yang melalui titik kontak dari gigi yang sedang

diperiksa dengan garis lengkung gigi ideal kurang dari 450 atau

penyimpangan (bila gigi yang diperiksa keluar dari garis lengkung ideal
sebesar kurang dari 1,5 mm). Kemudian, skor 2 untuk letak gigi tidak

teratur berat (dapat berupa rotasi lebih dari atau sama dengan 450 atau

penyimpangan lebih dari atau sama dengan 1,5 mm) (Dewanto H. 1993).

Gambar 2.8 Derajat rotasi dan penyimpangan letak gigi-gogi depan


(Dewanto, 1993)

Metode ini sederhana objektif dan praktis, sangat cocok untuk

program lapangan sangat cocok. Indeks ini tidak hanya menilai kuantitas

maloklusi tetapi juga dapat untuk mengelompokkan tingkat keparahan

maloklusi dalam masyarakat (Dewanto H. 1993).

2. Gigi Anterior Bercelah

Gambar 2.6 Gigi Anterior Bercelah


(Singh, 2007)
Gigi renggang atau diastema adalah suatu keadaan terdapatnya

ruang di antara gigi geligi yang seharusnya berkontak. Diastema yang

terdapat pada periode gigi permanen ini dapat terjadi karena beberapa

penyebab, seperti ukuran gigi insisif normal yang berada pada lengkung

gigi yang berukuran normal, ukuran gigi insisif yang kecil tetapi berada

pada lengkung gigi yang berukuran normal, ataupun insisif berukuran

kecil yang berada pada lengkung gigi yang besar, posisi gigi insisif yang

lebih ke labial terhadap insisif bawah dengan jarak gigit lebih dari normal,

adanya rotasi gigi insisif atas, dan frenulum labial atas yang melekat pada

jaringan lunak dan tulang alveolar di daerah diastema. (Bishara, 2001).

Diastema yang ringan (2 mm atau kurang) dapat dirawat dengan

menggeser gigi insisif atas ke arah mesial dengan gerakan tipping

menggunakan alat ortodonti lepasan. (Hussain, 2013)

Sedangkan, pada diastema yang berat (>2 mm), memerlukan

diagnosis lebih lanjut tentang penyebab diastema. Pada beberapa kasus,

adanya kondisi patologis pada daerah diastema dapat terjadi. Selain itu,

beberapa kemungkinan lain seperti adanya gigi supernumerary, tidak

adanya gigi insisif lateral, atau karena adanya kebiasaan buruk menghisap

jari. Penutupan celah yang besar pada daerah midline gigi insisif ini pada

sebagian besar kasus perlu dilakukan dengan alat ortodonti cekat (Bishara,

2001).
3. Gigi anterior rahang atas protrusif

Gigi insisif atas yang protrusif merupakan penampilan pada gigi-

geligi anterior yang terjadi pada hampir semua kasus maloklusi kelas II

divisi 1. Gambaran karakteristik maloklusi kelas II ini yaitu hubungan

molar distoklusi, gigi insisif atas yang protrusif, dan gigi anterior rahang

bawah yang mengalami overerupsi. Bentuk lengkung rahang atas juga

dapat berbentuk “V” di samping bentuk “U”. Bentuk lengkung “V” ini

disebabkan karena penyempitan lengkung rahang pada daerah premolar

dan caninus atas akibat dari fungsi otot yang abnormal (Graber dalam

Arsie, 2012).

Jarak gigit yang besar dan bersandarnya bibir bawah pada bagian

lingual dari gigi-geligi insisif atas berakibat buruk pada aktivitas otot-otot

pada posisi istirahat maupun saat penelanan. Pada posisi istirahat, otot

lidah tidak dapat menyentuh palatum. Selama proses penelanan, aktivitas

otot mentalis yang abnormal serta otot buccinator dan otot lidah yang

abnormal dapat memperparah inklinasi insisif atas ke labial, penyempitan

lengkung rahang atas, serta overerupsi gigi-geligi insisif bawah (Graber

dalam Arsie, 2012).

Dalam menentukan seberapa maju gigi insisif atas, dapat dilakukan

pemeriksaan bibir. Bila dalam kondisi istirahat atau relaks, bibir tampak

maju dengan adanya celah di antara bibir atas dan bawah sebesar 3-4 mm

(lip incompetent), serta adanya kesulitan sewaktu mengatupkan bibir atas


dan bawah, maka dapat disimpulkan bahwa gigi insisif protrusive ( Proffit

2007).

4. Crossbite anterior

Crossbite adalah suatu keadaan jika rahang dalam keadaan relasi

sentrik terdapat kelainan-kelainan dalam arah transversal dari gigi geligi

maksila (rahang atas) terhadap gigi geligi mandibula (rahang bawah) yang

dapat mengenai seluruh atau setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu

gigi saja(Moyers, 1997).

Crossbite anterior merupakan suatu keadaan rahang dalam relasi

sentrik, namun terdapat satu atau beberapa gigi anterior maksila yang

posisinya terletak di sebelah lingual (belakang) dari gigi anterior

mandibula. Umumnya pada gigi incisivus (seri) (Moyers, 1997).

5. Deep Bite

Deep bite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian

insisal insisivus maksila terhadap insisal insisivus mandibula dalam arah

vertikal melebihi 2-3 mm. Pada kasus deep bite, gigi posterior sering

linguoversi atau miring ke mesial dan insisivus madibula sering berjejal,

linguoversi (miring), dan supra oklusi (Moyers, 1997).

6. Open Bite

Open bite adalah keadaan dimana adanya ruangan oklusal atau

insisal dari gigi saat rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi

sentrik. Open bite bisa terjadi pada gigi anterior maupun posterior (Singh,

2007).
2.3 Psikososial

Psikososial merupakan keterkaitan antara 2 aspek yaitu aspek

psikologis dan sosial. Aspek psikologis berkaitan dengan perkembangan

emosi dan kognitif yang berhubungan dengan kemampuan belajar,

merasakan, dan mengingat. Sedangkan, aspek sosial berkaitan dengan

kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan

dalam mengikuti norma-norma sosial dan budaya (Loughry, 2003).

Menurut kamus Oxford English Dictionary, psikososial berarti

pengaruh faktor sosial terhadap pikiran ataupun tingkah laku individu serta

kaitan antara pikiran dengan masyarakat sekitar dalam perkembangan

manusia. Definisi ini menekankan pada pengaruh faktor sosial terhadap

pikiran dan tingkah laku, demikian juga sebaliknya, pengaruh pikiran dan

tingkah laku dalam dunia social (Loughry, 2003).

Salah satu ahli psikoanalisis Erik Erickson pada tahun 1950

memperkenalkan istilah psikososial dalam bentuk teori perkembangan

psikososial manusia. Perkembangan psikososial manusia menurut Erik

Erickson terjadi sepanjang hidup seiring dengan peningkatan usia, yang

dikelompokkan menjadi delapan tahap perkembangan karakter, yaitu tahap

percaya lawan tidak percaya (trust vs mistrust), otonomi lawan perasaan malu

dan ragu-ragu (autonomy vs shame, doubt), tahap inisiatif lawan rasa bersalah

(initiative vs guilt), tahap industri lawan perasaan rendah diri (industry vs

inferiority), tahap identitas lawan kebingungan identitas (identity vs identity

confusion), tahap kedekatan lawan kesendirian (intimacy vs isolation), tahap


generatifitas lawan stagnasi (generativity vs stagnation), identitas ego dan

keputusasaan (ego identity vs despair) (Arsie, 2012)

2.4 Remaja

Selama rentang kehidupan manusia, terjadi banyak pertumbuhan dan

perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua

fase perkembangan manusia tersebut, salah satu yang paling penting dan

paling menjadi pusat perhatian adalah masa remaja (Ahyani, 2018)

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas

lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Masa

remaja adalah suatu tahap antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.

Istilah ini menunjuk masa dari awal pubertas sampai tercapainya kematangan;

biasanya mulai dari usia 14 pada pria dan usia 12 pada wanita. Transisi ke

masa dewasa bervariasi dari satu budaya ke kebudayaan lain, namun secara

umum didefinisikan sebagai waktu dimana individu mulai bertindak terlepas

dari orang tua mereka. Menurut Kartono (1990) , masa remaja dibagi tiga

yaitu masa remaja awal 12-15 tahun, remaja pertengahan 15-18 tahun, remaja

akhir 18-21 tahun (Ahyani, 2018).

Dalam masa remaja terjadi proses peralihan dalam aspek biologis (yang

ditandai dengan perubahan fisik pada masa pubertas), aspek kognitif (yang

ditandai dengan perubahan kemampuan berpikir baik yang berkaitan dengan

dirinya, maupun orang-orang di sekitarnya), dan dalam aspek sosial


(hubungan sosial remaja dengan orang-orang di rumah, teman bermain di

sekolah dan teman sebaya) (Ahyani, 2018).

2.5 Perkembangan Psikososial Remaja Awal

Perubahan fisik pada masa remaja awal, khususnya masa puber,

mempengaruhi semua bagian tubuh, baik eksternal maupun internal, sehingga

mempengaruhi keadaan fisik dan psikologis remaja. Pada masa ini juga anak-

anak remaja mulai memperhatikan diri nya dan penilaian orang lain terhadap

diri nya. Hal ini bisa berakibat positive maupun negative (Ahyani, 2018).

Seiring terjadinya perubahan fisik individu pada masa remaja awal,

maka berkembang pula kemampuan psikologisnya. Salah satu bagian Dalam

tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson yaitu krisis

psikososial, krisis psikososial yang dialami oleh masa remaja awal adalah

identitas versus kebingungan. Artinya, di satu sisi remaja awal berjuang untuk

menemukan siapa dirinya melalui proses coba-coba peran. Sementara di sisi

lain remaja awal seringkali menolak nilai-nilai identitas yang disarankan oleh

orangtua maupun pengaruh dari kelompok sebayanya, sehingga

memunculkan kebingungan atau kekacauan identitas. Dalam hal pencarian

identitas, para remaja awal cenderung menggunakan cara modelling terhadap

orang-orang yang mereka idolakan. Misalnya, bagi remaja pria yang

mengidolakan pemain sepak bola, mereka akan meniru gaya rambut mereka,

perilaku, bahkan memakai pakaian tim yang dikenakan (Ahyani, 2018).

Pada usia remaja juga mulai terjadi proses pembentukan kepercayaan

diri. Percaya diri (self-confidence) merupakan usaha untuk membangkitkan


dan memelihara sikap hidup positif, serta memiliki keyakinan pada diri

sendiri dalam melakukan sesuatu. Rasa percaya diri yang tinggi ditandai

dengan sikap menerima dan menghargai diri sendiri dan orang lain, memiliki

keyakinan akan kemampuan yang dimiliki, berani menerima kegagalan

maupun kekurangan, tidak selalu bergantung pada orang lain, dan merasa

tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Pada masa remaja,

kepercayaan diri ini penting dalam melakukan penyesuaian sosial. Rasa

percaya diri yang tinggi akan memudahkan dalam beradaptasi dengan

lingkungan sosialnya (Susanti dalam Arsie 2012).

2.6 Pengaruh Maloklusi terhadap Status Psikososial Remaja

Bagi remaja, penampilan wajah dan susunan gigi-geligi merupakan

bagian yang penting dari penampilan fisik, terutama karena masa remaja

merupakan tahap perkembangan psikososial yang pesat. Studi menunjukkan

bahwa penampilan wajah bukan hanya berpengaruh pada persepsi orang lain

tentang dirinya, namun juga berpengaruh pada persepsi diri. Persepsi diri yang

baik akan menimbulkan kepuasan terhadap penampilan dan meningkatkan

harga diri (Ahyani, 2018).

Menurut Shaw (1981), pada penelitian dalam bidang psikologi sosial

menunjukkan bahwa daya tarik fisik khusus nya penampilan dentofacial

berperan penting dalam interaksi sosial dan mempengaruhi pandangan orang

lain tentang kompetensi sosial. seringkali daya tarik fisik dalam diri seseorang

akan secara langsung dikaitkan memiliki kemampuan sosial dan kepribadian

yang lebih baik (Nanda, 2005).


Menurut beberapa penelitian yang berkaitan dengan dampak psikososial

dari maloklusi, telah disebutkan bahwa maloklusi akan menimbulkan reaksi

sosial yang dapat berakibat buruk pada konsep diri anak, remaja, maupun

dewasa.

individu yang mengalami ejekan (teasing) dikarenakan penyimpangan

dentofacial cenderung kurang percaya diri dalam interaksi sosial dan

memiliki harga diri yang rendah. Penyebab dari stress psikososial ini, dapat

dikelompokkan menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung.

Penyebab secara langsung biasanya terjadi pada masa kanak-kanak sampai

remaja yang dilakukan oleh teman–teman sekeliling. Hal ini biasanya

berbentuk ejekan (teasing), julukan, dan hinaan fisik. Pengalaman buruk

seperti ini bukan hanya berdampak pada keadaan psikososial saat ini, tetapi

juga di masa mendatang (Nanda, 2005).

Penyebab secara tidak langsung berasal dari persepsi sosio-kultural atau

stereotipe. Penilaian yang ber kaitan dengan penampilan wajah dan gigi-geligi

sering dijadikan stereotipe. Sebagai contoh stereotipe dalam cerita kartun,

orang yang kurang pandai digambarkan dengan ciri insisif atas yang maju dan

bentuk muka panjang dan penyihir digambarkan dengan ciri khas rahang atas

yang kurang maju dibandingkan rahang bawah. Sementara, ada juga

stereotipe pada orang cantik yang secara otomatis dianggap baik (Phillips,

1998).

Persepsi akan penampilan gigi-geligi dan wajah juga dipengaruhi oleh

berbagai faktor, diantaranya jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi, dan
usia. Pada orang dengan kelompok sosial ekonomi yang tinggi akan lebih

memberikan perhatian terhadap kondisi gigi-geligi serta lebih kritis dalam

menilai penampilan dentofasial mereka. Demikian pula, pada kelompok usia

yang lebih tua akan lebih memperhatikan penampilan gigi-geligi mereka

(Alhaija 2005)

penampilan gigi-geligi lebih berpengaruh signifikan terhadap harga diri

wanita dibandingkan laki-laki. Karakteristik maloklusi yang lebih

berpengaruh signifikan dalam menurunkan harga diri remaja wanita yaitu gigi

berjejal pada rahang atas depan (Nanda, 2005).

2.7 Pengukuran Status Psikososial Remaja (Psychosocial Impact of

DentalAesthetic Questionnaire/ PIDAQ)

PIDAQ merupakan suatu instrument atau alat ukur psikometrik yang

dapat mengukur dampak psikososial dari estetika gigi dan kualitas hidup yang

berkaitan dengan kesehatan mulut. Butir pertanyaan yang terdapat dalam

kuesioner PIDAQ ini telah teruji validitas dan reliabilitasnya oleh Klages

Ulrich, dkk, dan telah di terjemahkan kedalam beberapa bahasa. Butir-butir

pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner PIDAQ ini merupakan hasil

reformulasi kuesioner yang telah ada dalam perawatan bedah ortognatik yang

dikenal dengan OQLQ (Orthognathic Quality of Life Questionnaire).

Beberapa hal yang diukur dalam kuesioner OQLQ yaitu aspek sosial, aspek

estetika wajah, dan dental self-confidence (Mursid, 2019).

Kuesioner PIDAQ ini terdiri dari 6 butir pertanyaan mengenai dental

self-confidence (yang seluruhnya berasal dari kuesioner OQLQ), 8 butir


pertanyaan mengenai aspek sosial (yang mengambil sebagian pertanyaan dari

OQLQ), 6 butir pertanyaan mengenai dampak psikologis dari estetika gigi-

geligi (yang dirangkai sendiri oleh Klages, dkk), dan 3 butir pertanyaan

mengenai estetika wajah (yang mengambil sebagian pertanyaan dari OQLQ)

(Mursid, 2019).

Faktor pertama dari kuesioner PIDAQ ini yaitu rasa percaya diri

terhadap gigi-geligi (dental self-confidence), yang menunjukkan dampak dari

estetika gigigeligi terhadap keadaan emosional seseorang. Rasa percaya diri

(self-confidence) merupakan suatu keyakinan akan diri sendiri yang ditandai

dengan sikap menerima dan menghargai diri, optimis akan kemampuan yang

dimiliki, menerima kekurangan yang dimiliki, serta merasa tidak perlu

membandingkan diri dengan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan

diri yang positif akan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan

positif dalam menjalani hidup. Hal-hal yang dapat mengakibatkan kurangnya

rasa percaya diri salah satunya karena faktor internal, yang berasal dari dalam

individu sendiri, seperti harga diri dan minat yang kurang. Kemudian faktor

lain yaitu faktor eksternal, yang berasal dari lingkungan di sekitar anak,

misalnya lingkungan keluarga yang protektif, maka anak akan memiliki rasa

kurang percaya diri (Klages, 2005).

Faktor kedua yaitu dampak sosial, yang menunjukkan masalah potensial

dalam lingkungan sosial seseorang yang dapat timbul karena persepsi

subjektif tentang penampilan gigi-geligi yang kurang baik baik dari diri

sendiri maupun orang lain. Menurut Kerosuo, et al (1995), maloklusi sering


dihubungkan dengan kepribadian yang kurang menyenangkan oleh orang

lain. Hal ini yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan konsep diri

dalam diri individu (Klages, 2005).

Faktor ketiga yaitu dampak psikologis. Butir-butir pernyataan ini

berkaitan dengan perasaan rendah diri dan tidak bahagia pada saat individu

membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih baik estetika

giginya. Kemudian, faktor keempat yaitu dampak estetika, yang berisi

pernyataan yang menunjukkan perasaan tidak puas dengan keadaan gigi-

geligi saat melihat gigigeligi sendiri dengan cermin, foto, ataupun video

(Klages, 2005).

Setiap butir pertanyaan harus dijawab menggunakan skala Likert yang

diwakili dengan angka 0 sampai 4. 0 berarti tidak ada pengaruhnya sama

sekali, 1 sedikit pengaruhnya, 2 berarti sedang pengaruhnya, 3 berarti kuat

pengaruhnya, dan 4 berarti sangat kuat pengaruhnya (Klages, 2005).


2.8 Kerangka Teori

Faktor Lokal : Pertumbuhan


- Habit Anak Remaja
- Gigi sulung tanggal
. prematur
- Trauma
- Persistensi gigi Perkembangan Perkembangan
- Pengaruh jaringan _ Gigi-Geligi Psikososial
. lunak
Faktor Umum :
- Herediter
> Kelainan Gigi
- Kekurangan
jumlah gigi. Oklusi
- Kelebihan Gigi
jumlah gigi.
- Disharomoni
dentomaksiler
Konsep Diri
Penampilan Self Esteem,
Maloklusi Kesenangan
Dentofasial
Kepuasan

Karakteristik
Maloklusi
Klasifikasi Angle
(kelas I, kelas II, - Protrusi Status Psikososial
kelas III) - Crowded
- Diastema
- Deep Bite
- Cross Bite
- Open Bite

Sumber : Adaptasi dari Rahardjo, 2012 & Astuti, 2018.

Anda mungkin juga menyukai