Anda di halaman 1dari 5

Keberadaan Korupsi di dalam Islam

Oleh : Valenzia Ayu Mahartanti, 1806136870

Istilah korupsi pada periode awal penurunan wahyu memang belum

disebutkan secara tegas, baik dalam Al quran maupun Hadits. Namun demikian,

jika ditelusuri, maka akan didapatkan beberapa kata atau istilah yang mengandung

unsur persamaan makna dengan korupsi. Salah satunya disebut dengan istilah

ghulul.

Al Quran surat Ali Imran: 161 misalnya menyebutkan bahwa kata al-ghulul,

yang secara terminologis bermakna berkhianat terhadap harta rampasan perang wa

ma kana linabiyyin ayyagulla. Secara substantif disebutkan bahwa bagi pelaku

ghulul akan mendapatkan balasan yang diberikan oleh Tuhan pada hari kiamat.

Ayat ini turun di Madinah, atau merupakan kelompok ayat madaniyyah.

Para ulama menginformasikan bahwa ayat ini menunjuk perang Uhud,

walaupun ada beberapa riwayat pula yang menunjukan pada kasus perang Badar.

Terdapat banyak ulama tafsir yang memberikan penjelasan tentang ayat ini,

misalnya imam al-Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa kata ghulul dalam

dapat bermakna al-akhdz al-khafiyyah. Maksudnya adalah mengambil barang milik

orang lain dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi, atau dapat juga

diumpamakan dengan mencuri sesuatu. Awalnya, dipahami bahwa makna ini sering

digunakan dalam istilah mencuri harta rampasan perang sebelum didistribusikan.

1
Pada periode kenabian, Rasulullah sebenarnya telah memperluas

penggunaan makna ghulul menjadi dua bentuk, yaitu pertama, komisi, maksudnya

adalah perilaku mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji yang telah diberikan

kepadanya. Terhadap persoalan seperti ini Nabi menyatakan ma ista'malnahu 'ala

'amalin farazaqnahu rizqan fama akhadza ba'dza dzalika fahuwa ghulul (Siapa saja

yang aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang

diterima di luar gajinya adalah korupsi). Kedua, hadiah, maksudnya adalah

pemberian yang diperoleh seseorang karena jabatan yang melekat pada dirinya.

Dalam konteks ini Rasulullah bersabda: "Hadiah yang diterima para pejabat adalah

korupsi(ghulul)".

Peringatan keras Rasulullah terhadap korupsi melalui dua hadits di atas

memberikan pemahaman bahwa jabatan memang sangat dekat dengan korupsi.

Wajar saja kalau sejarawan dunia Lord Acton dalam suratnya kepada Bishop

Mandell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara korupsi

dengan kekuasaan. Ternyata memang ada hubungan yang saling menguntungkan,

semacam simbiosis mutualisme, dengan ungkapan yang monumental

bahwa: power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely, bahwa

kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi

absolut.

Ulama lain yang juga menanggapi dan menjelaskan tentang ayat ini adalah

Ibnu Katsir. Dia menyebutkan bahwa maksudnya adalah rumusan konsep tentang

menyalahgunakan kewenangan. Menurutnya, tidak layak bagi seorang Nabi

berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Karenanya, ayat ini memiliki latar

2
belakang historis sebagai berikut: Pertama, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu

Abbas, dia berkata: Umat Islam telah kehilangan qathifah (permadani) dalam

perang Badar, lalu mereka berkomentar: "Barangkali Rasulullah saw telah

mengambilnya". Karena peristiwa ini, maka Allah mewahyukan ayat ini dalam

rangka menjawab tuduhan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW.

Kedua, Ibnu Jarir mengatakan bahwa firman Allah tersebut diturunkan

berkenaan dengan qathifah (permadani) merah yang hilang dalam perang Badar,

sehingga menimbulkan kecurigaan sebagian pasukan Badar terhadap Rasulullah

SAW. Karena itulah Allah menurunkan ayat tentang ghulul ini.

Meskipun ghulul dianggap sebagai kata kunci awal, merupakan akar atau

asal mula kata korupsi yang paling mudah untuk memahami perbuatan korupsi

dalam sejarah Islam, namun demikian, dalam teks-teks keislaman masih memiliki

hasanah kata-kata lain yang dapat dianggap semakna atau perlu awasan makna,

seperti pertama, risywah (bermakna upah, komisi, hadiah atau suap) yang dimuat

dalam surah al-Maidah ayat 42. Kedua, Ghasab (mengambil sesuatu secara dzalim).

Ketiga, Sariqah (pencurian), untuk pemotongan tangan ini, para ulama berbeda

pendapat.Ada yang mejadikannya sebagai sesuatu yang final ada yang menganggap

hukuman itu hanyalah upaya adaptasi hukum yang ada di Arab dalam Alquran.

Buktinya, Umar bin Khattab tidak melakukan pemotongan tangan terhadap orang

yang mencuri. Hal ini dilandasi dengan adanya al-Hadd al-A'la dan al-Hadd al-

Adna. Keempat, hirabah (perampokan), dalam Alquran tidak ada definisi tentang

hirabah ini, kecuali ancaman terhadap perilaku tersebut.

3
Sebagaimana yang disebutkan dalam al-Maidah ayat 33-34. Semua kata-

kata tersebut di atas merupakan akar yang dapat diberi makna yang sama yaitu

korupsi. Melihat sanksi masing-masing, baik ghulul, ghasab, risywah, sariqah, dan

hirabah dengan sanksi kepada masing-masing pelaku yang variatif dan juga sanksi

yang cukup berat.

Semua kata-kata ini juga memiliki satu orientasi yang tertuju kepada satu

karakter, yaitu fasad (kehancuran) yang tiada lain merupakan makna etimologi dari

korupsi. Oleh sebab itu, korupsi bukan hanya menghancurkan generasi tua tetapi

juga bibit-bibit generasi yang akan datang. Karenanya, hal yang perlu dilakukan

tiada lain adalah tinggalkan dan jauhi korupsi, karena dapat membuat kerusakan di

bumi. Sejatinya, sebagai khalifah (pemimpin) di bumi, manusia adalah pemakmur

bumi, bukan merusaknya.

4
Daftar Pustaka

Achmad, Amrullah. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum

Nasional. Gema Insani Press. Jakarta.

Qaradhawi, Muhammad Yusuf. 1980. Halal dan Haram Dalam Islam. terj.

Muammal Hamidy, Surabaya:Bina Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai