Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KASUS 4

SISTEM DIGESTIF I
CHOLELITIASIS

KELOMPOK 11
Yusni Intan Nurahmatika 220110110036
Fitria Rachmi 220110110044
Septyani Elvionita S 220110110059
Indri Anggana Anindita 220110110061
Tanty Permatasari 220110110078
Shiddiqoh Mar’atush Sholihah 220110110087
Fadhilah Syarifuddin 220110110094
Anggraeni Mardianti 220110110091
Vianny Revania Putri 220110110096
Nur Ainiyah 220110110100
Melina Purwaningsih 220110110101
Hilda Ayu Septian 220110110139

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN

BAB I
PEMBAHASAN KASUS

Chair : Indri Anggana Anindita


Scriber 1 : Fadhilah Syarifudin
Scriber 2 : Vianny Refania Putri

KASUS
Seorang laki-laki 50 tahun datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan nyeri pada
abdomen kuadran kanan atas. Yang semakin lama semakin terasa nyeri. Nyeri
diarasakan 1 minggu SMRS sampai pasien tidak bisa beraktivitas dan mual muntah.
Riwayat suka makan jengkol dan minum jamu (+)
Pemeriksaan Fisik:
1. TD: 80/60 mmHg
2. HR: 132 x/menit9
3. T: 38,5oC
4. RR: 30 x/menit
5. Akral dingin
6. Abdomen tegang
7. Teraba massa dan nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan AGD:
1. pH: 7,3
2. pO2: 65 mEq/L
3. pCO2: 37 mEq/L
4. HCO3: 15 mEq/L
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Hb: 12 gr/dl
2. Leukosit: 12.000 mg/dl
3. Serum Lipase dan amilase naik
Pemeriksaan USG tampak cholelitiasis. Dokter mengatakan pasien harus
dibedah dan dapat antibiotik. Pasien mengatakan tidak punya uang untuk
membeli obata yang mahal tersebut. Pasien merasa kesal karna tidak bisa
berbuat apa-apa untuk mengobati penyakitnya.

STEP 1
1. Cholelitiasis (Melina)
STEP 2
1. Batu Empedu
STEP 3
Pertanyaan:
1. Hubungan nyeri abdomen dan riwayat mengkonsumsi jengkol? (Fitria)
2. Fungsi Serum Lipase dan Amilase? (Yusni)
3. Nilai Normal AGD? (Anggraeni)
4. Penyebab mual dan muntah? (Shiddiqoh)
5. Diagnosa medis? Mengapa harus dilakukan pembedahan? (Melina)
6. Kenapa abdomen tegang, akral dingin dan teraba massa? (Septiani)
7. Mengapa TD << tetapi nadi meningkat? (Nur Ainiyah)
8. Adakah tindakan lain selain bedah dan antibiotik? (Yusni)
9. Apakah ada pengobatan alternatif? Apa peran perawat selain pendkes tentang
keuangan? (Anggraeni)
10. Mengapa serum Lipase dan Amilase meningkat? (Fadhillah)
11. Fungsi Antibiotik? (Anggraeni)
12. Pemeriksaan Diagnostik? (Vianny)
13. Hubungan penyakit dan pemeriksaan AGD? (Nur Ainiyah)
14. Faktor Risiko lain? (Yusni)
Jawaban:
1. Jengkol mengandung asam jengkolat yang bersifat seperti asam urat, jika
berlebihan akan mengendap dan membentuk kristal (Septyani)
Residu jamu dapat mengendap di usus jika tidak banyak minum air putih
(Shiddiqoh)
2. Lipase: untuk mencerna lemakusus halus (Nur Ainiyah)
Amilase: enzim pemecahan glukosa (Vianny)
3. LO
4. Abdomen tegangbegahrespon mual mutah (Vianny)
5. Dx. Medis: batu empedu, untuk menghancurkan batu tergantung ukurannya
(Anggraeni)
6. Teraba massa karena ada penumpukan batu empedu (Fitria)
7. Sebagai respon dari menahan nyeri (Shiddiqoh)
8. Penggunaan obat penghancur batu dan laser (Vianny)
9. Advokasi tentang yayasan sesuai penyakitnya (Shiddiqoh)
10. Karena klien sering mengkonsumsi makanan berkolesterol tinggi sehingga
serum amilase dan lipase meningkat (Yusni)
11. Penggunaan antibiotik disebabkan karena adanya bakteri (Indri)
12. LO
13. LO
14. Karena klien sering mengkonsumsi makanan berkolesterol tinggi sehingga
serum amilase dan lipase meningkat (Yusni)

STEP 4 (MIND MAP)

Keluhan Utama

Pemeriksaan AGD Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Lab. Pemeriksaan USG

Klasifikasi Cholelitiasis Penyebab

Pemeriksaan Faktor risiko


Penunjang
Komplikasi
Penatalaksanaan
Masalah
Keperawatan
STEP 5
Learning Objective Intervensi

1. Konsep Kolelitiasis
2. Nilai Normal AGD
3. Hubungan penyakit dan AGD
Jawaban:
1. Terlampir
2. pCO2: - arterial: 38-44 mmHg Mencerminkan vol. CO2
yg larut dalam darah
- alveolar: 38-44 mmHg
HCO3: 22-26 mmol/L  buffer ekstraseluler utama
HCO3 <22  asisdosis metabolik
HCO3 >26  alkalosis metabolik
PO2: - arterial: 80-105 mmHg Mencerminkan vol. O2
yg larut dalam darah
- Alveolar: 90-115 mmHg
Serum Lipase: 4-24 Iu/dL
Serum Amilase: 2-20 iU/Dl
Ph: 7,35-7,45
3. Terlampir
BAB II
CHOLELITIASIS

I. ANATOMI dan FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU


a. Anatomi
Hati, kandung empedu dan pankreas berkembang dari cabang usus depan
fetus dalam suatu tempat yang kelak menjadi duodenum, ketiganya terkait
erat dalam fisiologi pencernaan.

Kandung Empedu (Vesika Felea)


Embriologi
Cikal Bakal saluran empedu dan hati adalah penonjolan sebesar 3 milimeter
yang timbul di daerah ventral usus depan (foregut). Bagian kranial tumbuh
menjadi hati, bagian kraudal menjadi pankreas, sedangkan bagian sisanya
menjadi kandung empedu. Dari tonjolan berongga yang bagian padatnya kelak
menjadi sel hati, tumbuh saluran empedu yang bercabang-cabang seperti
pohon diantara hati tersebut.
Anatomi
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umunya
menonjol sedikit ke luar tepi hati, dibawah lengkung iga kanan, di tepi lateral
m. Rektus abdominis. Sebagian korpus menempel dan tertanam di dalam
jaringan hati. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritonium viseral,
tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh
lapisan peritonium. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat
bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang
disebut kantong hartmann.
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral heister,
yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke kandung empedu, tetapi
menahan aliran keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak dalam ligamentum hepatoduodenale
yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla
vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling
kecil yang disebut kanilikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi
empedu melalui duktus interlobaris dan selanjutnya ke duktus hepatikus di
hillus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak
muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum
menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla vater
yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi
oleh Sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.
Duktus pakreatikus umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papilla vater, tetapi juga dapat terpisah. Sering ditemukan
variasi anatomi kandung empedu, saluran empedu dan pembuluh arteri yang
memperdarahai kandung empedu dan hati. Variasi yang kadang ditemukan
dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli bedah untuk menghindari
komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera pada duktus
hepatikus atau duktus koledokus.

Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml perhari.
Di luar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung
empedu, dan disini mengalami pemekatan sekitar 50%.
Pengaliran cairan empedu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sekresi
empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus.
Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam
kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu kontraksi, sfingter
relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebut sewaktu-
waktu seperti disemprotkan karena secara inermitten tekanan saluran empedu
akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter.
Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD (Amine Percusor Uptake and
Decarboxylation cells) dari selaput lendir usus halus, dikeluarkan atas
rangsangan makanan berlemak atau produk lipolitik dalam lumen usus.
Hormon ini merangsang nervus fagus sehingga terjadi kontraksi kandung
empedu. Dengan demikian, CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi
kandung empedu setelah makan.
Fisiologi Produksi Empedu
Sebagai bahan ekskresi, empedu memiliki 3 fungsi utama. Yang pertama,
garam empedu, fosfolipid dan kolesterol beragregasi di dalam empedu untuk
membentuk micelles campuran. Dengan emulsifikasi, kompliks micelles ini
memungkinkan absorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E,
dan K) yang ada dalam usus. Absorpsi mineral tertentu (kalsium, tembaga,
besi) juga dipermudah. Kedua, empedu bertindak sebagai vehikel untuk
ekskresi usus bagi banyak senyawa yang dihasilkan secara endogen dan
eksogen (seperti bilirubin). Ketiga, sebagian dengan menetralisir asam
lambung, empedu membantu mempertahankan lingkungan alkali yang tepat di
dalam duodenum yang dengan adanya garam empedu, memungkinkan
aktivitas maksimum enzim pencernaan sesudah makan.
Normalnya, hepatosit dan saluran empedu menghasilkan 500-1500 ml
empedu tiap harinya. Produksi empedu merupakan proses kontinyu yang
hanya sebagian menjadi sasaran regulasi saraf, hormon dan humoral. Masukan
(input) vagus bekerja langsung pada sel saluran empedu untuk meningkatkan
sekresi air dan elektrolit, sedangkan aktivitas simpatis splanknikus cenderung
menghambat produksi empedu secara tidak langsung dengan menurunkan
aliran darah ke hati. Hormon gastrointestinal kolesistokinin (CCK), sekretin
dan gastrin memperkuat sekresi duktus dan aliran empedu dalam respon
terhadap makanan. Garam empedu sendiri bertindak sebagai koleretik kuat
selama masa sirkulasi enterohepatik yang dinaikkan.
Sekresi aktif garam empedu oleh hepatosit merupakan faktor utama
yang meregulasi volume empedu yang disekresi. Air dan elektrolit mengikuti
secara pasif sepanjang perbedaan osmolar untuk mempertahankan netralitas.
Ekskresi lesitin dan koloesterol ke dalam kanalikuli untuk membentuk
micelles campuran, sulit dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam
empedu melintasi membran kanalikulus. Sistem transpor aktif terpisah dan
berbeda menimbulkan sekresi bilirubin dan anion organik lain. Sel duktulus
meningkatkan sekresi empedu dengan memompakan natrium dan bikarbonat
ke dalam lumen.
Empedu disekresi secara kontinyu oleh hati ke dalam saluran empedu.
Selama puasa, kontraksi tonik sfingter oddi menyebabkan empedu refluks ke
dalam vesika biliaris, tempat dimana empedu disimpan dan dipekatkan.
Disini, garam empedu, pigmen empedu dan kolesterol dipekatkan sebanyak
sepuluh kali lipat oleh absorpsi air dan elektrolit. Sekitar 50% kumpulan
garam empedu dalam vesika biliaris selama puasa. Tunika mukosa vesika
biliaris juga mensekresi mukus yang bisa melakukan fungsi perlindungan.
Dengan makan, CCK dilepaskan oleh lemak dan dengan jumlah kecil oleh
asam amino yang memasuki duodenum; CCK merangsang kontraksi vesika
biliaris dan relaksasi sfingter oddi. Bila tekanan dalam duktus koledokus
melebihi tekanan mekanisme sfingter (15 sampai 20 cmHg), maka empedu
memasuki lumen duodenum. Input vagus memudahkan tonus dan kontraksi
vesika biliaris; stelah vagotomi, bila timbul stasis relatif dan merupakan
predisposisi pembentukan batu empedu. Setelah kolesistektomi, aliran
empedu ke dalam duodenum diregulasi hanya oleh sfingter.
Fungsi Kandung Empedu
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah
cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus.
Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi
bilirubin dan dibuang ke dalam empedu.

2. MIND MAP
A. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol terbentuk di dalam kandung
empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu, jika empedu
mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di
dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan
dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar
melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.
Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu,
sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu
empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa
merambat ke saluran empedu sampai ke kantung empedu.
Kolelitiasis dapat didefinisikan sebagai endapan satu atau lebih empedu:
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium protein, asam laemak dan fosfolipid.
Batu empedu memiliki tiga komponen utama, yang terbagi tiga jenis: pigmen
kolesterol, dan batu campuran. Batu pigmen terdiri atas garam kalsium dan salah
satu dari anion ini: bilirubinat, karbonat, fosfat atau asam lemak rantai panajng.
Batu-batu ini cenderumng berukuran kecil (1 cm), multiple dan berwarna
kecoklatan. Batu pigmen berwarna kecoklatan menandakan infeksi empedu kronis.
Batu koleterol “murni” biasanya berukuran lebih besar (1-3 cm), soliter, bulat, atau
oval, berwarna kuning pucat dan sering kali mengandung kalsium dan pigmen.
Batu kolesterol campuran paling sering ditemukan, berwarna ciklat tua dan
majemuk. Batu empedu tidak lazim dijumpai pad anak-anak dan dewasa muda,
tetapi insidensnya semakin sering pada individu berusia diatas 40 tahun.

B. Etiologi dan Faktor Risiko


Pada dasarnya semua penyakit kronik memiliki riwayat alamiah yang bersifat
multifaktorial termasuk disini adalah Cholelitiasis disini adalah Cholelitiasis
yang diakibatkan dari interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor
lingkungan akhir-akhir ini dianggap berakibat dari tumbuhnya gaya hidup
yang modern termasuk tingginya asupan karbohidrat, prevalensi tinggi
timbulnya obesitas dan non-insulin dependent diabetes melitus, dan gaya
hidup yang cenderung sedenter.
Hipotesis genetik mendukung teori cholelitiasis berkembang dari
hubungan keluarga, survey epidemiologi yang telah ada memberikan kesan
bahwa ras Amerika dan bangsa Indian memiliki gen lithogenik lebih tinggi.
karena kolesterol empedu kebanyakan berasal dari kolesterol yang terbentuk
dari lipoprotein plasma, beberapa studi dan penelitian memfokuskan pada gen
yang terkait dengan transport dari kolesterol tersebut, termasuk ekspresi dari
apoprotein E, B dan A-I dan kolesterol ester protein.
Faktor-faktor yang mendasari terjadinya batu empedu pada beberapa
penelitian adalah jenis kelamin, usia, kolesterol HDL yang rendah, BMI yang
tinggi, presentase lemak tubuh, kadar glukosa serum yang lebih tinggi
terutama wanita, paritas dan hiperinsulinemia.
Faktor risiko untuk kolelitiasis adalah:
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia >40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia lebih muda. Di Amerika Serikat, 20%
wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia,
prevalensi batu empedu semakin tinggi, hal ini disebabkan:
1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan
2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai bertambahnya usia.
3. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat dibanding pria untuk terkena kolelitiasis.
Ini dikarenakan oleh hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20% wanita dan 10% pria
menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambanya usia,
walaupun umunya selalu pada wanita.
c. Berat Badan (BMI)
Orang dengan boddy mass index yang tinggi mempunyai resiko yang lebih tinggi
untuk terkena kolelitiasis. Ini dikarenankan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani beresiko
untuk terkena kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar
kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan
empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah
klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap
unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung
empedu.
e. Aktifitas Fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan karena kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
f. Infeksi Bakteri dalam Saluran Empedu.
Infeksi dapat berperan dalam pembentukan batu empedu. Mukus meningkatkan
viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi, akan tetapi infeksi lebih sering terjadi karena batu empedu dibanding
penyebabnya.

C. Klasifikasi
Ada 3 tipe batu empedu, yaitu:
1. Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah
kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih
bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di
dalam kandung empedu, dapat berupa soliter atau multiple. Permukaannya
mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri dan ada yang seperti buah
murbei. Batu kolesterol terjadi karena konsentrasi kolesterol di dalam cairan
empedu tinggi ini akibat dari kolestrol dalam darah cukup tinggi. Jika
kolesterol dalam kantong empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama
kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah pengososngan cairan dalam
kandung empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa cairan empedu di
dalam kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi
pengendapan.
2. Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu
pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk tidak teratur,
kecil-kecil dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat,
kemerahan sampai hitam, dan bebrbentuk seperti lumpur atau tanah yang
rapuh. Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di dalam saluran
empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin kalsium
dan akibat penyakit infeksi.
3. Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai. (80%) dan terdiri atas
kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda
dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.

D. Manifestasi Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi 3 kelompok: pasien
dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik, dan
pasien dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus,
kolangitis dan pankreatitis). Sebagian besar (80%) dengan batu empedu
tanpa gejala baik waktu dengan diagnosis maupun selama pemantauan.
Hampir selama 20 tahun perjalanan penyakit, sebanyak 50% pasien tetap
asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.
Pada penderita batu kandung empedu yang asimtomatik keluhan yang
mungkin bisa timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intoleransi
pada makanan yang berlemak.
Gejala batu empedu yang khas adalah kolik bilier, keluhan ini
didefinisikan sebagai nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga
di kiri dan prekordial. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi
pada sepertiga kasus timbul secara tiba-tiba.
Gejala kolik ini terjadi jika terdapat batu yang menyumbat duktus
sistikus atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di
duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan kontraksi peristaltik di
tempat penyumbatan menimbulkan nyeri viscera di daerah epigastrium,
mungkin dengan penjalaran ke punggung yang disertai muntah.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula atau ke
puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi kolesistisis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam dan
sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan, sehingga pasien
berhenti menarik napas, yang merupakan tanda rangsangan peritonium
setempat.pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan
dan lebih banyak ditemuakn di daerah tungkai daripada di badan.
Dapat ditemukan juga perubahan warna urin dan feses diakibatkan
karena ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat warna urin
sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan
berwarna abu dan biasanya pekat yang disebut “clay-colored”.
E. Pemeriksaan Diagnostik
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai
intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan
utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru hilang beberapa jam
kemudian. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida.
b. Pemeriksaan Fisik
Batu Kandung Empedu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri
tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomi kandung
empedu. Tanda murphy positif bila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karenakandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu Saluran Empedu. Batu saluran empedu tidak menimbulkan
gejala atau tanda dalam fase tenang. Kadang hati teraba agak membesar
dan sklera ikterik. Perlu diketahui bila kadar bilirubin darah kurang dari
3mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu
bertambah berat, baru akan timbul ikterik klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis
tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis
bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam
dan menggigil, nyeri di daerah hati dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya terjadi kolangiolitis piogenik intrahepatik, akan
timbul 5 gejala trias charcot, ditambah shock dan kekacauan mental atau
penurunan kesadaran sampai koma.
c. Tes Laboratorium
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan banyak
penggunaan tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang
dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai
komponen tak langsung dan langsung dari reaksi van den bergh, dengan
sendirinya sangat tak spesifik. Lazimnya, peningkatan bilirubin serum
timbul sekunder terhadap kolestasis intrahepatik, yang menunjukkan
disfungsi parenkim hati atau kolestasis ekstrahepatik sekunder terhadap
obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan atau penyakit
pankreas jinak. Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin serum
terjadi akibat penekanan duktus koleduktus oleh batu dan penjalaran
radang ke dinding yang tertekan tersebut.
d. Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
Foto polos kadang-kadang bisa bermanfaat tetapi tidak bisa mengenal
kebanyakan patologi saluran empedu. Hanya 15 persen batu empedu
cukup mengandung kalsium untuk memungkinkan identifikasi pasti.
Jarang terjadi kalsifikasi hebat di dalam dinding vesika biliaris (yang
dinamai vesika biliaris porselen) atau empedu susu kalsium, tempat
beberapa batu kecil berkalsifikasi atau endapan organik yang terbukti di
dalam vesika biliaris menunjukkan penyakit vesika biliaris. Pneumobilia
(adanya udara dalam saluran empedu atau di dalam lumen atau di dinding
vesika biliaris) bersifat abnormal dan tanpa pembedahan sebelumnya yang
merusak atau memintas mekanisme sfingter koledokus, menunjukkan
patologi saluran empedu. Udara di dalam lumen dan dinding vesika
biliaris terlihat pada kolesistisis “emfimatosa” yang timbul sekunder
terhadap infeksi bakteri penghasil gas. Adanya massa jaringan lunak yang
mengidentasi duodenum atau fleksura koli dekstra bisa juga
menggambarkan vesika biliaris yang terdistensi.
e. Barium Meal
Pemeriksaan kontra lambung dan duodenum jarang memberikan informasi
langsung tentang batang saluran empedu. Tetapi dapat bermanfaat dalam
arti negatif dengan menyingkirkan penyakit yang di tempat lain misalnya
ulkus duodeni atau GERD. Refluks kontras ke batang saluran empedu
selalu abnormal dan membawa bentuk identik dengan pneumobilia, karena
menggambarkan hubungan abnormal antara batang saluran empedu dan
usus.
f. Kolesistografi Oral
Kolesistogram oral yang dikembangkan graham and cole pada tahun 1924,
merupakan standar yang paling baik bagi diagnosis kelainan vesika
biliaris. Zat organik diyodinasi biasanya 6 tablet asam yopanoat diberikan
peroral pada malam sebelumnya dan pasien dipuasakan. Obat ini
diabsorpsi dan diikat ke albumin, diekstraksi oleh hepatosit, disekresi ke
dalam empedu dan dipekatkan di dalam vesika biliaris. Opasifikasi vesika
biliaris terjadi dalam 8-12 jam. Batu empedu tampak sebagai filling
defect.

g. Kolangiografi Intravena.
Tes inimemungkinkan visualisasi seluruh batang saluran empedu
ekstrahepatik. Tetapi resolusi radiografi sering buruk, dan tes ini tak dapat
diandalkan bila bilirubin serum lebih dari 3mg per 100 ml.

h. Ultrasonografi
USG ini merupakan pemeriksaan standard yang sangat baik untuk
menegakkan diagnosa batu empedu. Kebenaran dari USG ini dapat
mencapai 95%.

i. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)


Tes invasif ini melibatkan opasifikasi langsung saluran empedu dengan
kanulasi endoskopik ampulla vateri dan suntikan retrograd kontras.
Disamping kelainan pankreas, ERCP juga digunakan pada pasien ikterus
ringan atau bila lesi tidak menyumbat seperti duktus koledokus, kolangitis
sklerotikan atau anomali kongenital. Satu keuntungan ERCP bahwa
kadang-kadang terapi sfingterotomi endoskopi dapat dilakukan serentak
untuk memungkinkan lewatnya batu duktus koledokus secara spontan atau
untuk memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrogad
duktus billiaris.
j. PTC (Percutaneous Transhepatic Cholangiograph)
Merupakan tindakan infasif yang melibatkan fungsi transhepatik perkutis
pada susunan duktus biliaris intrahepatik yang menggunakan jarum Chiba
“kurus” (ukuran 21) dan suntikan prograd zat kontras. Penggunaan
primernya adalah dalam menentukan tempat dan etiologi ikterus obstruktif
dalam persiapan intervensi bedah

k. CT Scanning
Pemeriksaan ini dilakukan apabila batu empedu berada di saluran empedu.

F. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain:
1. Kolesistektomi Terbuka
Operasi merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis sistemik. Komplikasi yang paling bermakana yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
Pada kolesistektomi terbuka, insisi dilakukan di daerah subcostal,
biasanya pada kolesistektomi terbuka dilakukan intraoperatif kolangiogram
dengan cara memasukkan kontras lewat kateter ke dalam duktus sistikus
untuk mengetahui outline dari saluran bilier, alasan dilakukannya intraoperatif
kolangiogram adalah karena ada kemungkinan 10% terdapat batu pada saluran
empedu.
2. Kolesistektomi Laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan
pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi selama kolesistektomi
laparoskopi.

3. Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non-
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <20 mm dan batu kurang
dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik baik.
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan
adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat
disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu kolesterol.

4. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


ESWL adalah pemecahan batu empedu dengan gelombang suara. ESWL
sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien
yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

5. Penatalaksanaan konvensional dapat dilakukan berupa:


a. Diet rendah lemak
b. Obat-obat antikolinergik dan antispasmodik
NAMA GENERIK SEDIAAN
Atropin sulfat 0,25 dan 0,5 mg tablet dan injeksi
Butropium bromida 5 mg/tablet
Ekstrak Belladona 10 mg/tablet
Fentonium bromida 20 mg/tablet
Hiosin n-butilbromida 10 mg/tablet
Skopolamin metilbromida 1 mg/tablet
Oksifenonium bromida 5 mg/tablet
Onsifeksiklimin HCL 5 mg/tablet
Privinium bromida 15 mg/tablet
Propantelin bromida 15 mg/tablet
pirenzipen 25 mg/tablet
c. Analgesik
d. Antibiotik, bila disertai kolesistitis
e. Asam empedu (kenodeoksolat) 6,75-4,5 mg/hari, diberikan dalam jangka
waktu lama. Asam ini mengubah empedu yang mengandung banyak
kolesterol menjadi empedu dengan komposisi normal.

G. KOMPLIKASI
1. Kolesistitis
Kolesistitis adalah peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan
kandung empedu.
2. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi
yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-
saluran menjadi terhalang oleh batu empedu.
3. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini tidak ada peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya diakibatkan
obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
4. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi segera.
H. PATOFISIOLOGI
Etiologi (kontrasepsi, hiperlipidemia, dll)
Peningkatan
Batu pigmen Infeksi bakteri Kolesterol fosfolipid
Pengendapan mukus meningkat Gg. Sintesis as.empedu

Peningkatan Peningkatan
permeabilitas & sekresi kolesterol
viskositas darah
Supersaturasi
CHOLELITIASIS getah empedu

Peningkatan
Penyaluran cairan permeabilitas &
viskositas darah
empedu terhambat hiperlipidemia

Kolesterol keluar
Penyumbatan duktus dari getah empedu
Obstruksi
sistikus duktus
koledukus
Mengendap&
Fundus kandung Kandung Teraba
stimulasi membentuk batu
empedu empedu distensi massa
membesar enzim
pankreas Kalikrein
Infeksi Pengeluaran
Menyentuh histamin
kartilago IC 9 Interleukin Pengaktifan Vasodilata
dan 10 meningkat enzim autodigestif si&perme
nyeri Menyebar prematur abilitas
ke
kapiler >>
Susah inspirasi Demam punggung
dan bahu
elastase Folipase A Lipase Perpindah
Fundus kandung an cairan
Pengeluaran Viskositas Nyeri
empedu yang tidak meningkat akut Cerna
membesar jaringan Cerna Nekrosis
terlihat fosfolipid lemak,
pb.darah edema
TD << gliserol &
Nyeri ketika oliguria as. lemak
Nekrosis
mengembangka hemoragi sel asinar Pereganga
n perut Syok n duktus
Risiko Tindakan Kombinas
kekurangan pembedah i Ca++ & Peristaltik
sesak Nyeri volume cairan an as. lemak usus <<
akut
Bising
Pengobata
usus <<
n pra
bedah
Persepsi
Gg. rasa
Rasa kenyang
nyaman Mual&mu
nyeri antibiotik ntah

I. PENGKAJIAN Risti
Risk. Gg. anoreksia
Nutrisi
Infeksi
Nama: - kurang dari
kebutuhan
Usia: 50 tahun
Jenis Kelamin: laki-laki
Keluhan utama: nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Semakin lama semakin
nyeri.
Riwayat kesehatan: nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Semakin lama semakin
nyeri. Dirasakan 1 minggu SMRS, sampai tidak bisa beraktivitas dan mual muntah
Riwayat pola hidup: suka makan jengkol dan minum jamu.
Pemeriksaan Fisik:
8. TD: 80/60 mmHg
9. HR: 132 x/menit9
10. T: 38,5oC
11. RR: 30 x/menit
12. Akral dingin
13. Abdomen tegang
14. Teraba massa dan nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan AGD:
5. pH: 7,3 (dibawah normal)
6. pO2: 65 mEq/L (dibawah normal)
7. pCO2: 37 mEq/L (normal)
8. HCO3: 15 mEq/L (asidosis metabolik)
Pemeriksaan Laboratorium:
4. Hb: 12 gr/dl
5. Leukosit: 12.000 mg/dl (naik)
6. Serum Lipase dan amilase naik (peradangan pada pankreas)
7. Pemeriksaan USG tampak adanya cholelitiasis
Rencana tindakan: Pembedahan dan antibiotik
Data Tambahan: pasien tidak punya uang untuk membeli obat yang mahal. Pasien
merasa kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengobati penyakitnya.
J. ASUHAN KEPERAWATAN
ANALISA DATA
NO DATA YANG ETIOLOGI MASALAH
MENYIMPANG
1 DS: nyeri pada kuadran Cholelitiasispenyumbatan Nyeri Akut
kanan atas semakin lama duktus sistikus fundus
semakin nyeri kandung empedu
DO: abdomen teraba massa membesar menyentuh
tegang, nyeri tekan cartilago IC 9 dan 10-
epigastrium. susah inspirasi sakit
ketika mengembang
2 DS: - Peregangan Risiko gg.
DO : mual, muntah, duktuspenurunan Nutrisi kurang
abdomen tegang peristaltik usus dari kebutuhan
penurunan bising usus 
reseptor kenyang  mual
dan muntah anoreksia

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d. proses obstruksi duktus/inflamasi
2. Risiko Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. peregangan duktus

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


NO Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1 Nyeri akut b.d. Setelah mendapat 1. Observasi skala nyeri klien
proses obstruksi intervensi (0-10)
duktus/inflamasi keperawatan nyeri 2. Catat respon terhadap obat
dapat hilang atau dan laporkan pada dokter
terkontrol dengan apabila nyeri hilang
kriteria: - klien 3. Beri pendkes pra operatif,
menyatakan nyeri gizi, makanan yang boleh
berkurang – klien dan tidak
dapat mengatasi 4. Berpuasa sebelum tindakan
nyerinya bedah
Kolaborasi
1. Beri obat sesuai
indikasi (antikolinergik,
sedatif, analgesik
narkotik)
2. Jelaskan prosedur
pembedahan secara
jelas

2 Risiko nutrisi Setelah dilakukan 1. Hitung pemasukan kalori


kurang dari tindakan 2. Konsul tentang makanan
kebutuhan b.d. keperawatan klien kesukaan/ketidaksukaan
peregangan duktus merasa mual dan klien. Makanan yang
muntahnya menyebabkan stress dan
berkurang, dan jadwal makan yang
asupan nutrisi disukai
tercukupi 3. Beri perawatan oral
1. 4. Tawarkan minuman
seduhan saat makan (bila
toleran)
Kolaborasi
1. Konsultasi dengan
ahli gizi
2. Mulai diet cair rendah
lemak setelah lepas
selang NGT
3. Beri garam empedu.
Contoh:
bilironzanchol,
decholin sesuai
indikasi
4. Beri vitamin A, D,
E,K sesuai indikasi
5. Penggantian enzim
seperti pankreatin dan
pankrealipase
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, Marylinn E. 2000. Rencana Asuhan Keperaawtan, Pedoman untuk


Perencanaan dan Mendokumentasikan Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid kedua. Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Price, Silvia Anderson. 2012. Patofisilogi, Konsep Klinis, Prosese-proses penyakit.
Jakarta : EGC
Sjamsuhidayat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai