Anda di halaman 1dari 11

Pengujian konstitusional (constitutional review) walaupun telah dijalankan di berbagai

negara sejak lama, merupakan hal yang baru dalam sistem konstitusional negara kita. Pengujian
konstitusional baru diuji oleh Undang – Undang Dasar 1945 melalui peubahan konstitusi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat 21 dan Pasal 24 C2 UUD 1945 sejak dibentuk pada
tanggal 13 Agustus dan mulai berfungsi sejak 19 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi telah dan
akan terus melaksanakan tugasnya termasuk diantaranya melakukan pengujian konstitusional.

Pengujian atau uji berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata
uji sebagai percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan, ketahanan, dan
sebagainya). Sedangan kata konstitusi berarti segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan
(Undang-Undang Dasar 1945 dan sebagainya).

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam Negara adalah sebuah norma sistem politik
dan hokum bentukan pemerintah suatu Negara yang biasanya terkodifikasi sebagai dokumen
tertulis. Hokum ini tidak mengatur hal-hal terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-
prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan Negara, konstitusi
memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum. Istilah ini merujuk secara khusus
untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar
hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang, dan kewajiban pemerintahan
Negara pada umumnya.
Pengertian konstitusi menurut para ahli :
1. M. Solly Lubis, S.H. mengemukakan bahwa istilah “konstitusi” berasal dari kata “consituer”
(bahasa Perancis), yang berarti membentuk. Jadi yang dimaksud dengan konstitusi adalah
pembentuka suatu Negara, atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.3
2. Prof. Padmo Wahjono, S.H. mengemukakan bahwa konstitusi adalah suatu pola hidup
berkelompok dalam organisasi Negara, yang sering kali diperluas dalam organisasi apa pun.4

1
Lihat Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
2
Lihat Pasal 24 C, (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkatpertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar, (3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden, (4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah dipilih
dari dan oleh hakim konstitusi, (5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara, (6)
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang MAhkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang.
3
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, (Bandung: Mandar Maju), 2008, hal 37.
4
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1986, hal 160.
3. Dr. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H. membagi konstitusi dalam dua pengertian5 yaitu :
a. Dalam arti luas, menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu Negara, yaitu
berupa kumpulan-kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah
Negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang
berwenang dan ada yang tidak tertulis berupa usages, understanding, customs, or
conventions.
b. Dalam arti sempit, dituangkan dalam suatu dokumen seperti undang-undang dasar.
4. Lord James Bryce mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka Negara, diorganisasikan
melalui dengan hukum, yang menetapkan lembaga-lembaga yang tetap dengan diakui fungsi-
fungsi dan hak-haknya.
5. Prof. Usep Ranawidjaya, S.H. menyatakan ada dua arti konstitusi, yaitu konstitusi dalam arti
luas dan konstitusi dalam arti sempit.6
a. Konstitusi dalam arti luas mencakup segala ketentuan yang berhubungan dengan
keorganisasian Negara, baik yang terdapat di dalam undnag-undang dasar, undang-
undang organik, dan peraturan perundang-undangan lainnya, maupun kebiasaan atau
konvensi.
b. Sebaliknya, konstitusi dalam arti sempit, menurut sejarahnya dimaksudkan untuk
memberi nama kepada dokumen pokok yang berisi aturan mengenai susunan organisasi
Negara beserta cara kerjanya organisasi itu. Pengertian ini yang dimaksud konstitusi sama
dengan undang-undang.
Dalam pelaksanaan Negara demokrasi berdasarkan hukum, kekuasaan kehakiman
menjadi bagian penting dan menentukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan
kehakiman berperan mewujudkan keadilan dan memberikan perlindungan konstitusional
terhadap hak-hak warga Negara. 7Terwujudnya keadilan dan perlindungan konstitusional sangat
dipengaruhi oleh tingkat kemandirian kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan.
Adanya perlindungan konstitusional dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak, menjad tolak ukur bagi kualitas demokrasi yang berdasarkan pada hukum dalam
suatu Negara.

Dalam perkembangan sejarah dan dinamika perjalanan kekuasaan kehakiman suatu


Negara, selalu ada dua persoalan utama yang mengemuka, yaitu menyangkut independensi
kekuasaan kehakiman dan peran kekuasaan kehakiman untuk memberikan jaminan perlindungan
konstitusional melalui hak uji peraturan perundang-undangan (judicial review).

5
Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hal 21.
6
Usep Ranawidjaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Cetakan Kedua (Cetakan Pertama 1960),
Ghalia Indonesia, Jakarta 1982, hal 11.
7
Mengutip hasil Konferensi International Commision of Jurist pada tahun 1965 di Bangkok, bahwa ada enam
ciri-ciri Negara demokratis dibawah rule of law, yaitu (a) adanya perlindungan konstitusional, (b) adanya badan
kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, (c) terselenggaranya Pemilu yang bebas, (d) adanya
kebebasan menyatakan pendapat, (e) kebebasan berserikat, (f) pendidikan kewarganegaraan.
Judicial review merupakan kewenangan yang diberikan kepada institusi peradilan untuk
melakukan pengujian apakah sebuah peraturan perundang-undangan bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pada masa reformasi dan tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998 terdapat wacana
pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang melakukan uji materiil
terhadap peraturan perundang-undangan. Setelah melewati perdebatan yang cukup panjang,
terkait dengan pembentukan MK akhirnya PAH I8 mengusulkan rancangan perubahan UUD
1945 dalam rancangan putusan MPR RI ST MPR RI yang diselenggarakan pada tanggal 7-18
Agustus 2000.
Usulan rancangan tersebut tertuang dalam pasal 25B. Selanjutnya pada sidang tahunan
MPR tanggal 9 November 2001, diputuskan tentang amandemen ketiga terhadap UUD 1945.
Salah satu hasil dari amandemen ketiga tersebut adalah masuknya pasal 24C tentang Mahkamah
Konstitusi. Sebagai lembaga baru, Mahkamah Konstitusi langsung diamanahi beberapa
wewenang dan kewajiban penting untuk mengawal konstitusi9.

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi
mempunyai 4 kewenangan, yaitu :
1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasi pemilu.

Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, kewenangan pengujian Undang-Undang


terhadap Undang-Undang Dasar atau pengujian konstitusional inilah yang merupakan tugas dan
tujuan utama dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi.hal ini telah ditegaskan oleh Hans
Kelsen yang merupakan jurist pertama yang mengemukakan ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi sebagai negative legislator yang tujuan utamanya tidak lain adalah memeriksa,
menguji, dan bahkan membatalkan undang-undang jika dianggap bertentangan dengan
konstitusi.

Dalam kurun 18 (delapan belas) tahun sejak berdirinya, Mahkamah Konstitusi telah
menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan
(justisiabellen). Keputusan-keputusan MK tidak hanya menjadi perhatian publik tetapi juga
akademisi dan peneliti hukum. Publik dan pemerhati hukum terkejut ketika Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian UU KPK memerintahkan untuk memperdengarkan rekaman
terhadap rekayasa kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK.

8
PAH (Panitia Ad Hoc) merupakan suatu panitia/organisasi yang dibentuk untuk jangka waktu tertentu dalam
rangka menjalankan atau meaksanakan program khusus yang biasanya dibentuk untuk mempersiapkan pendirian
suatu badan atau organisasi yang sangat memerlukan penanganan panitia khusus.
9
The guardian of constution, yaitu : (1) menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, (2) memutus
Banyak kejutan-kejutan lain10 dalam konsep hukum Indonesia melalui putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi yang membuat publik berfikir masih terdapat harapan dalam
memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, Mahkamah Konstitusi tidak hanya berani dalam
memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari itu Mahkamah Konstitusi juga
melakukan pembenahan yang berani dalam bentuk-bentuk putusannya.

Pasal 5611, Pasal 5712, Pasal 6413, Pasal 7014, Pasal 7715, dan Pasal 8316 UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya membatasi putusan Mahkamah Konstitusi ke

10
Ketika Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang KPK memerintahkan untuk
memperdengarkan rekaman terhadap rekayasa kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK.
11
Lihat Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003, (1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51,
amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. (2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat
bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. (3) Dalam hal permohonan
dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat [2], Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (4) Dalam hal pembentukan undang-undang yang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan. (5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya
sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
12
Lihat Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003, (1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-
undang berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. (3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib
dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
13
Lihat Pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2003, (1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima. (2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. (3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat [2], Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. (4) Dalam hal permohonan tidak beralasan,
amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
14
Lihat Pasal 70 UU Nomor 24 Tahun 2003. (1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan permohonan
tidak dapat diterima. (2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan. (3) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
15
Lihat Pasal 77 UU Nomor 24 Tahun 2003. (1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima. (2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
berlasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. (3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat [2], Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar. (4) Dalam hal
permohonan tidak berlasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
16
Lihat Pasal 83 UU Nomor 24 Tahun 2003, (1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 80, amar putusan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima. (2) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
dalam 4 jenis putusan, yaitu dikabulkan, ditolak, tidak dapat diterima, dan putusan membenarkan
pendapat DPR mengenai telah terjadinya pelanggaran telah terjadinya pelanggaran konstitusional
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Implementasinya, putusan Mahkamah Konstitusi telah
bermutasi menjadi berbagai jenis putusan.

Perkembangan tersebut seolah menguatkan pernyataan Mahfud MD, Ketua Mahkamah


Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi saat ini menganut hukum Progresif.17 Sebuah konsep
hukum yang tidak terkekang kepada konsep teks UU semata, tetapi juga memperhatikan rasa
keadilan yang hidup di masyarakat. Mahkamah Konstitusi tidak sekedar peradilan yang hanya
menjadi corong sebuah UU (bouche de la loi).
Perkembangan pengujian perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi tersebut menarik
untuk ditelusuri lebih dalam dengan menggunakan kerangka ilmiah. Untuk itu Mahkamah
Konstitusi bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi melakukan penelitian terkait
perkembangan pengujian perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi. Berikut ini merupakan
syarat dan tata cara pengajuan uji materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 kepada Mahkamah Konstitusi :

1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya
kepada Mahkamah Konstitusi dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12
(dua belas) rangkap. (Pasal 29 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi)
2. Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 30
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi)
3. Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan
tersebut. (Pasal 31 ayat [2] Undang-Undang Mahkamah Konstitusi)
4. Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah Undang-Undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. (Pasal 50 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi)
5. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi) :
a. Perorangan warga Negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga Negara.

lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.
17
Pernyataan ini disampaikan Mahfud MD dalam Pidato Penutupan Rapat Kerja MK-RI pada tanggal 22-24
Januari 2010.
6. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya. (Pasal 51 ayat [2] Undang-Undang Mahkamah Konstitusi)
7. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa (Pasal 51 ayat [3] Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi):
a. Pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945.
8. Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 harus memuat (Pasal 51 ayat [1] Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 :
a. Nama dan alamat pemohon;
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30; dan
c. Hal-hal yang diminta untuk diputus.
Menurut Pasal 6 ayat (7) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 Tahun 2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (“Peraturan MK 6/2005”),
permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara. Artinya, tidak ada
sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh pemohon saat mengajukan uji materiil suatu undang-
undang.

Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa dalam teori pengujian (toetsing), dibedakan antara
materiile toetsing dan formeele toetsing. Sehingga, judicial review mencakup pengujian terhadap
suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara
formil (uji formil). Sedangkan, hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil
terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga
Negara.
Pada umumnya istilah toetsingrecht diartikan sebagai hak atau kewenangan untuk
menguji atau hak uji. Pengertian tersebut memperjelas bahwa toetsingrecht merupakan suatu
proses untuk melakukan pengujian atau menguji dan secara harfiah dapat diartikan sebagai
kewenangan untuk menguji.18

Pengertian menguji atau melakukan pengujian mwrupakan proses untuk memeriksa,


menilai, dan memutuskanterhadap objeknya. Pemahaman menguji atau melakukan pengujian
dalam perspektif toetsingrecht adalah memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap tingkat
konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan

18
M. Laica Marzuki yang mengartikan toetsingrecht sama dengan hak menguji, yatu hak bagi hakim (atau
lembaga peradilan) guna menguji peraturan perundang-undangan. Lihat M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah
Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal 67.
yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga Negara yang oleh undang-undang dasar dan/atau
oleh undang-undang diberikan kewenangan.19

Pengertian ‘toetsingrecht’ memang cukup luas, sehingga peristilhan yang timbul pun
sangan tergantung dengan ‘subjek’ dan ‘objek’ dalam pengujian tersebut. Jika dikaitkan dengan
subjek, maka toetsingrecht dapat dilekatkan pada lembaga kekusaan Negara yudikatif,
legislative, dan eksekutif.20 Jika hak atau kewenangan menguji tersebut diberikan kepada
lembaga kekuasaan kehakiman atau hakim, maka hal tersebut disebut ‘judicial review’. Akan
tetapi, jika kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga legislatif maka istilahnya menjadi
‘legislative review’21 dan demikian pula jika kewenangan dimaksud diberikan kepada lembaga
eksekutif, maka istilahnya juga menjadi ‘executive review’.22

Joseph Tanenhus merumuskan bahwa, judicial review adalah ‘the process with his a body
judicial specify unconstitutional from action-what is done by legislative body and by executive
head’. Rumusan ini menggambarkan bahwa judicial review merupakan suatu proses untuk
menguji tingkat konstitusionalitas suatu produk hukum badan legislative atau badan eksekutif.
Rumusan tersebut mengindikasikan tiga elemen pokok tentang judicial review, yaitu (1) badan
yang melaksanakan judicial review adalah badan/lembaga kekuasaan kehakiman,23 (2) adanya
unsur pertentangan antara norma hukum yang derajatnya di bawah dengan norma hukum yang
derajatnya diatas,24 dan (3) objek yang diuji adalah lingkup tindakan atau produk hukum badan
legislatif dan ketetapan kepala eksekutif.

Sistem pengujian konstitusional di Indonesia unik dan menarik dibandingkan dengan


yang ada di Negara-negara lain pada umumnya, yaitu pemisahan atau pembagian sistem

19
Sri Soemantri Martosoewgnjo, Op.Cit., hal. 8. Dalam pengertian ini pengujian diartikan sebagai ‘materiele
toetsingrecht’. Selain materiele toetsingrecht, juga ada pengertian ‘formele toetsingrecht’ yang diartikan sebagai
wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislative seperti UU terjelma melalui cara-cara sebagaimana yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ibid., hal. 6. Hal senada juga dinyatakan oleh Soedirjo,
bahwa toetsingrecht meliputi ‘matieriele toetsingrecht’ dan ‘formele toetsingrecht’ yang keduanya memiliki makana
yang sama sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Soemantri Martosoewignjo. Lihat Soedirjo, Mahkamah Agung –
Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan Kekuasaannya menurut UU No. 14 Tahun 1985, (Jakarta: Media
Sarana Press, 1987), hal. 63. Pengertian yang dijelaskan tersebut mengartikan ‘toetsingrescht’ salam pengertian
pengujian secara yudisial atau ‘judicial review’ dimaksudkan sebagai upaya yudisial untuk menilai konsistensi dan
harmonisasi normtif secara vertical, sehingga tidak terjadi konflik normative secara vertical untuk mewujudkan
kepastian hukum.
20
Jimly Assiddiqie, Op.Cit., hal. 7. Mengartikan pengujian peraturan sebagai control ekstern, yaitu control yang
dilakukan oleh badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal timbul persengketaan atau perkara dengan pihak
pemerintah.
21
Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, legislative review ini pernah dilakukan melalui Ketetapan MPRS No.
XIX/MPR/1966 yang menugaskan kepada pemerintah bersama-sama DPR untuk mengadakan peninjauan kembali
terhadap produk legislatif (Presiden dan DPR) termasuk didalamnya Penpres, dan Perpres yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945, termasuk didalamnya adalah UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965.
22
Jimly menggunakan istilah ‘executive review’ untuk menjelaskan tentang kontrol normative yang dilakukan oleh
dan dengan cara-cara eksekutif.
23
Lihat Henry J. Abraham, hal. 280. Lihat Pasal 26 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, dan Pasal 31 ayat (1) UU No.
14 Tahun 1985.
24
Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell. 1945), hal. 123-124.
Bandingan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966; Ketetapan MPRS No. II/MPR/2000 dan UU No. 10 Tahun 2004.
pengujian peraturan perundang-undangan ke dalam dua rezim pengujian yang berbeda.
Berdasarkan sistem yang ada pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdapat pemisahan atau pembagian pengujian peraturan perundang-undangan dan lembaga
yang berwenang mengujinya menjadi dua, yaitu :

1. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review on the


constitutionality of the legislation) yang kewenangan pengujiannya diletakan pada
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1); dan
2. Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-
Undang (judicial review on the legality of the regulation) yang kewenangan pengujiannya
diberikan kepada Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1).

Ruang lingkup pengujian konstitusional di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


hanya mencakup pengujian abstrak terhadap suatu undang-undang yang dianggap
inkonstitusional. Dikategorikan sebagai pengujian abstrak (abstract norm review) karena pada
prinsipnya yang diuji adalah norma undang-undang yang bersifat abstrak, bukan norma undang-
undang yang sedang atau akan diterapkan dalam kasus konkret di pengadilan-pengadilan
sebagaimana yang berlaku di Negara-negara yang menganut pengujian konkret seperti di
Austria, Jerman, dan Negara-negara lainnya.

Lembaga yang memegang kewenangan pengadilan konstitusional dapat diklasifikasikan


menjadi lima macam, yaitu :

1. Mahkamah Agung (Supreme of court) seperti model Amerika Serikat tahun 1803;
2. Dewan konstitusilan (Counseil Constitusinel) seperti model Perancis tahun 1958;
3. Arbitrasi konstitusional (Constitutional Arbitrage) seperti di Belgia
4. Tribunal Constitusional, yang merukapan kamar sendiri di Mahkamah Agung, seperti di
Venezulla; dan
5. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) model Austria Tahun 1920.

Dalam praktik di Indonesia selama ini, pengujian (toetsing/review) Undang-Undang


(dalam arti formal dan materil) dapat dilakukan tidak hanya oleh lembaga peradilan saja,
melainkan dapat dilakukan oleh lembaga legislative dan/atau eksekutif. Pengujian juga dapat
dilakukan secara internal oleh pembentukkannya sendiri maupun secara eksternal yang dilakukan
oleh lembaga di luar pembentukkannya. Demikian pula pengujian dapat dilakukan pula terhadap
rancangannya (preview). Dengan kata lain, pengujian peraturan perundang-undangan merupakan
bagian atau unsur dari sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Tujuan dari pengujian peraturan perundang-undangan adalah untuk memperbaiki,


mengganti, atau meluruskan isi dari Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu 1945 (konstitusi) atau peraturan perundang-
undangan dibawah Undang-Undang, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat
memberikan kepastian hukum (rechtszekerheid)25 dan perlindungan hukum
26
(rechtsbescherming) serta memberikan keadilan (rechtvaardigheid) dan kemanfaatan
(nuttigheid) bagi masyarakat luas.Termasuk dalam pengertian pengujian secara luas adalah
pengujian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan (preview) khususnya Rancangan
Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) baik secara internal
maupun eksternal.

Pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksekutif disebut executive review. Pengujian
ini berkaitan dengan aspek legalitas dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
lembaga Negara eksekutif, misalnya Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Menteri apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan diatasnya yang
merupakan sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.

Termasuk dalam pengertian executive review adalah pengujian yang dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan tingkat daerah (Perda dan peraturan peaksanaannya). Khusus
pengujian peraturan perundang-undangan tingkat daerah ini erat kaitannya dengan teori
pemencaran kekuasaan dalam bentuk desentralisasi atau otonomi daerah. Bahkan dalam
beberapa Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia
diatur pula pengujian terhadap Raperda daam rangka pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan otonomi daerah (pengawasan preventif).27

Pengujian yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPR/MPR/DPRD) disebut legislative


28
review. Seperti juga executive review pada dasarnya ketika lembaga legislatif mengadakan
perubahan/penggantian terhadap produk hukumnya (UU/TAP MPR/UUD 1945) lembaga
legislatif tersebut telah melakukan tindakan pengujian, bahkan ketika mempersiapkan
rancangannya pun lembaga legislatif telah mengujinya melalui tingkatan persiapan dan penulisan
naskah akademik sebelum dituangkan dalam rancangan peraturannya agar substansinya selaras
atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian ketika suatu RUU yang dipersiapkan Presiden/Pemerintah sejak tahapan persiapan
sampai siap dibahas dengan DPR telah melalui proses upaya harmonisasi vertikal maupun

25
Lihat UU No. 14 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Asas kepastian hukum adalah asas dalam
Negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, keputusan, dan keadilan
dalam setiapkebijakan penyelenggara pemerintahan.
26
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Unila, Lampung, 2007. Hal. 31.
Menyatakan bahwa perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan
tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
27
Misalnya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
mengenai APBD, Tata Ruang, Pakak dan Retribusi Daerah sebelum disahkan/ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
harus diuji terlebih dahulu dalam bentuk evaluasi oleh Pemerintah Pusat.
28
Sebagai contoh legislative review yang bersifat “borongan” adalah TAP MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang
Peninjauan Kembali Produk-produk Negara di Luar Produk MPR yang Tidak Sesuai dengan UUD 1945 jo TAP
MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan TAP MRRS No. XIX/MPRS/1966 yang ditetapkan MPRS di
awal Orde Baru yang menilai apakah UU/Perpu/disebut juga pengujian secara politis (political review) karena DPR
(parlemen) sebagai pembentuk UU (di samping Presiden) adalah lembaga politik sehingga kadang UU disebut
produk politis berbaju yuridis.
horizontal yang pada dasarnya juga merupakan proses pengujian konstitusional. Dengan
demikian pengujian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut terhadap Undnag-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (konstitusi).

Pengujian peraturan perundang-undangan dalam arti luas pada dasarnya disamping


untuk mengoreksi produk hukum legislatif baik Pusat maupun Daerah adar sesuai atau tidak
bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)
sehingga produk hukum tersebut dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum,
keadilan hukum, dan kemanfaatan kepada setiap orang atau masyarakat secara keseluruhan.
Bahkan dari perspektif ajaran trias politica adalah untuk memberikan perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia dalam konteks proses berdemokrasi dan menegakkan Negara
hukum yang demokratis atau Negara demokrasi yang berbasis konstitusi. Karena pengujian
peraturan perundang-undangan baik yang dilakukan oleh lembaga yudikatif, eksekutif, maupun
legislative baik secara internal maupun eksternal merupakan bagian yang tidka terpisahkan dari
sistem peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga yudikatif menggunakan
sistem satu atap (one roof system) yaitu semua jenis peraturan perundang-undangan dan segala
tingkatannya diuji di Mahkamah Konstitusi.

Dengan hanya MAhkamah Konstitusi yang berwenang menguji semua jenis dan
tingkatan peraturan perundnag-undangan maka pengujian tersebut dapat dilakukan secara efisien
dan efektif serta menghindari terjadinya conflict of interest dan conflict of interpretation dengan
Mahkamah Agung. Karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan dari Undnag-Undang
Dasar, Undang-Undang/Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, dsb. di tingkat Pusat sampai dengan peraturan perundang-undangan
tingkat Daerah merupakan kesatuan sistem yang terpadu yang saling terkait (integrated
legislation system). Dengan pengujian di satu atap maka sistem peraturan perundang-undangan
kita sebagaimana diuraikan di atas akan lebih mantap dan lebih memberikan kepastian, keadilan,
dan kemanfaatan kepada semua pihak dalam membangun Negara hukum Indonesia yang
demokratis.
Oleh karena UUD 1945 (pasca amandemen) masih memisahkan kewenangan pengujian
peraturan perundang-undangan yaitu pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi
dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU kepada Mahkamah Agung sehingga
berkesan bahwa Mahkamah Konstitusi lebih tinggi daripada Mahkamah Agung maka ke depan
perlu dipikirkan adanya amendemen terhadap Pasal 24A atyat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 agar pengujian menjadi satu atap di Mahkama Konstitusi.Sementara untuk mengarah
kepada sistem (semi) pengujian satu atap sebaiknya Mahkamah Konstitusi memberikan
penafsiran terhadap Pasal 24C ayat (1) khususya kata “undang-undang”. Huruf “u” ditulis
dengan huruf kecil sehingga dapat ditafsirkan sebagai generic name yang mencakup pengertian
UU dalam arti formal dan material. sehingga semua jenis dan tingkatan peraturan perundang-
undangan sepanjang menyangkut aspek konstitusionalitasnya dapat diuji di Mahkamah
Konstitusi, sedangkan aspek legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU tetap dapat
diuji di Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai