Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudah menjadi sebuah dinamika jika konflik terjadi pada suatu ruang
tertentu yang di dalamnya menuntut suatu unit untuk terlibat.Dalam organisasi
yang terdiri dari berbagai jenis orang, dimungkinkan ada suatu persaingan
yang terjadi dalam bentuk kewajaran atau tidak itu sangat sulit.Sebab yang
dinamakan persaingan meskipun dinamakan persaingan sehat pada dasarnya
dapat pula mengarah dan dapat menyebabkan terjadinya konflik.Persaingan
sehat yang terjadi dalam suatu organisasi diharapkan dapat menimbulkan efek
yang mengarah pada positif.Dimana pihak-pihak yang ada di dalamnya
ditekankan agar berperilaku sportif.
Pada dasarnya konflik yang masih lemah tidak akan berdampak negatif
dan tidak akan banyak merugikan. Hanya saja antara pihak berkonflik kurang
enak untuk berkomunikasi secara langsung. Sedangkan dalam persaingan
sehat ketegangan-ketegangan itu tidak akan terjadi.
Apabila sistem komunikasi dan informasi tidak memenuhi sasarannya,
timbullah salah paham atau orang tidak saling mengerti. Selanjutnya hal ini
akan menjadi salah satu sebab timbulnya konflik atau pertentangan dalam
sebuah organisasi.
Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan
tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

1
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Penyelesaian konflik bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya
adalah dengan cara negosiasi. Negosiasi biasanya dilakukan untuk mendapat
jalan tengah dalam sebuah kasus agar keadaan bisa lebih baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pandangan tentang konflik?
2. Apa saja sumber konflik?
3. Apa saja jenis konflik?
4. Bagaimana proses konflik?
5. Apa pentingnya manajemen konflik?
6. Bagaimana level konflik?
7. Apa saja hasil-hasil konflik?
8. Apakah negoisasi itu?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pandangan tentang konflik.
2. Untuk mengetahui sumber konflik.
3. Untuk mengetahui jenis konflik.
4. Untuk mengetahui proses konflik.
5. Untuk mengetahui pentingnya manajemen konflik.
6. Untuk mengetahui level konflik.
7. Untuk mengetahui hasil-hasil konflik.
8. Untuk mengetahui negoisasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pandangan Tentang Konflik


1. Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut
sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik
dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain
kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian,
antara lain:
a. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang
negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan
dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik
ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang –
orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan.
b. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View).
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai
suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau
organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti
terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh
karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi.
Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi
untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh
kelompok atau organisasi.

3
c. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan
ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi
terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang
kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu,
menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di
dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis-diri, dan kreatif.
2. Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua
bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern
(Current View).
a. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap
bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik
dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian
tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya
disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan
memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer
sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
b. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini
disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi,
perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya.
Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai
tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak
manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta
kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
3. Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik
dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu tradisional dan
kontemporer (Myers, 1993:234).

4
a. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu
yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat
menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor
penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan
pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar.
Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap
emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga
akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu,
menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
b. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada
anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun,
yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam
konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga
tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan
organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di
dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang
destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif
untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana
cara peningkatan kinerja organisasi.

B. Sumber Penyebab Timbulnya Konflik


Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar
- belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut
juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu:
1. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan
kesalah - pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi
sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan
semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam

5
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan
menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
2. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan
kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja),
kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara
kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan
derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya
konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
3. Variabel Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang
meliputi sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain,
merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi
tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan
hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok
terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan
(perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional,
dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan
(felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan
keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika
pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku.
Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.

6
C. Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang
digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
1. Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi
dua macam, yaitu konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah
konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional
adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi
kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang
membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional
adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik
tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik
tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja
kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
2. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan
Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual).
Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling
bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.

7
b. Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena
perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu
yang satu dengan individu yang lain.
c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals
and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict
among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena
masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan
masing-masing berupaya untuk mencapainya.
e. Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik
ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi
menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya,
dalam perebutan sumber daya yang sama.
f. Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi
sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi
yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain.
Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan
keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
3. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat
dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
b. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang
memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.

8
c. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini
yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf
yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
d. Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di
samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain,
misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang
membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict,
constructive conflict, dan destructive conflict.

D. Proses Konflik
Menurut Pondi, Proses terjadinya konflik sebagai berikut.
1. Konflik Laten (Latent Conflict)
Konflik Laten merupakan tahap dari munculnya faktor-faktor
penyebab konflik dalam organisasi. Bentuk-bentuk dasar dari situasi
ini ialah persaingan untuk memperebutkan sumberdaya yang terbatas,
konflik peran, persaingan perebutan posisi di dalam organisasi.
2. Konflik Yang Dipersepsikan (Perceived Conflict)
Pada tahap ini salah satu pihak memandang pihak lain sebagai
penghambat atau mengancam pencapaian tujuannya.
3. Konflik Yang Dimanifestasikan (Manifest Conflict)
Pada tahap ini perilaku tertentu sebagai indikator konflik sudah mulai
ditunjukkan, seperti adanya sabotase, agresi terbuka, konfrontasi,
rendahnya kinerja dan lain sebagainya.
4. Resolusi Konflik (Conflict Resolution)
Pada tahap ini konflik yang terjadi diselesaikan dengan berbagai
macam cara dan pendekatan.
5. Konflik Aftermath
Jika konflik sudah benar-benar diselesaikan maka hal itu akan
meningkatkan hubungan para anggota organisasi. Hanya saja jika

9
penyelesaian konflik tidak tepat, maka akan dapat menimbulkan
konflik yang baru.
Menurut Smith, Proses terjadinya konflik sebagai berikut :
1. Tahap Antisipasi, yaitu merasakan munculnya gejala perubahan yang
mencurigakan.
2. Tahap Menyadari, yaitu perbedaan mulai dieksepsikan dalam bentuk
suasana yang tidak mengenakkan.
3. Tahap pembicaraan, yaitu pendapat-pendapat berbeda mulai
bermunculan.
4. Tahap Perdebatan Terbuka, yaitu perbedaan pendapat mulai
ditunjukkan dengan nyata dan terbuka.
5. Tahap Konflik Terbuka, yaitu masing-masing pihak berusaha
memaksakan kehendaknya kepada pihak lain.

E. Manajemen Konflik
Manajemen konflik sangat berpengaruh bagi anggota organisasi.
Pemimpin organisasi dituntut menguasai manajemen konflik agar konflik yang
muncul dapat berdampak positif untuk meningkatkan mutu organisasi.
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku
maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada
suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada
bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan
bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi.
Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang
diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini
karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan
terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah
yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan
perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin
menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak

10
mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama
dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau
pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk
perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan
penafsiran terhadap konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik
merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota merupakan proses.
Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik
perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya
bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang
representatif dan ideal.
Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan
terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi
karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka
dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan
untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan
atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.

F. Level atau Tingkatan Konflik


1. Konflik Intrapersonal, yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri
seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus
memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang
mana yang harus dipilih untuk dilakukan.
2. Konflik Interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik
yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan
tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.

11
3. Konflik Intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu kelompok.
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik
substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda,
ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda
atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan
emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4. Konflik Intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik
intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi,
perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
5. Konflik Interorganisasi, yang terjadi antar organisasi. Konflik inter
organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu
sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang
menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik
yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi
masyarakat.
6. Konflik Intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam
suatu organisasi, meliputi:
 Konflik Vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang
tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu.
Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga kependidikan.
 Konflik Horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen
yang memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi. Misalnya
antara tenaga kependidikan.
 Konflik Lini-Staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan
persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan
keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara Rektor
dengan tenaga administrasi.
 Konflik Peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari
satu peran. Misalnya Rektor menjabat sebagai ketua dewan
pendidikan.

12
G. Hasil-hasil Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
 Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang
mengalami konflik dengan kelompok lain.
 Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
 Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam,
benci, saling curiga dan lain-lain.
 Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
 Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak
lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
 Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
 Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan
menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
 Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak
tersebut.
 Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk menghindari konflik.

Akibat Konflik
 Dampak Negatif: Menghambat komunikasi, mengganggu kohesi
(keeratan hubungan), mengganggu kerjasama atau “team
work”, mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan
produksi. Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Individu
atau personil mengalami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi,
menimbulkan kecemasan, menarik diri, frustrasi, dan apatisme. Apabila

13
konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat
berdampak pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik
secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi
terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul
luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
 Dampak Positif: Membuat organisasi tetap hidup dan
harmonis, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan
adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan dalam sistem
dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan
organisasi, memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif,
memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan
pendapat. Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas
yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat
menggerakan suatu perubahan, membantu setiap orang untuk saling
memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka,
memberikan saluran baru untuk komunikasi, menumbuhkan semangat
baru pada staf, memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi,
menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam
organisasi.

H. Perundingan (Negosiasi)
Negosiasi atau perundingan merupakan suatu proses tawar-menawar
antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Dalam perundingan ini
diharapkan ada kesepakatan nilai antara dua kelompok tersebut.
Menurut Wall (Robbins, 2007), negosiasi atau perundingan adalah proses
dimana dua pihak atau lebih bertukar barang atau jasa dan berupaya
menyepakati nilai tukar barang dan jasa tersebut. Negosiasi atau perundingan
mewarnai interaksi hampir semua orang dalam kelompok dan organisasi.
Contohnya adalah tawar menawar antara karyawan dengan pihak manajemen
mengenai gaji.

14
Robbins (1999) menawarkan 2 strategi perundingan, yang meliputi:
1) Tawar-menawar distributif, artinya perundingan yang berusaha untuk
membagi sejumlah tetap sumber daya (suatu situasi kalah menang).
2) Tawar-menawar integratif, yaitu perundingan yang mengusahakan satu
penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan pemecahan menang-
menang.
Nimran (1999) menawarkan beberapa strategi manajemen konflik, yaitu:
1) Strategi kompetisi, disebut strategi kalah-menang, yaitu penyelesaian
masalah dengan kekuasaan.
2) Strategi kolaborasi atau strategi menang-menang dimana pihak yang
terlibat mencari cara penyelesaian konflik yang sama-sama
menguntungkan.
3) Strategi penghindaran, yaitu strategi untuk menjauhi sumber konflik
dengan mengalihkan persoalan sehingga konflik itu tidak terjadi.
4) Strategi akomodasi, adalah strategi yang menempatkan kepentingan lawan
diatas kepentingan sendiri. Strategi ini juga disebut dengan sifat mengalah.
5) Strategi kompromi, yaitu strategi kalah-kalah dimana pihak-pihak yang
terlibat konflik sama-sama mengorbankan sebahagian dari sasarannya dan
mendapatkan hasil yang tidak maksimal.

Proses Perundingan
1) Persiapan dan Perencanaan: apa yang diinginkan dari perundingan, dan
bagaimana sejarah yang mendorong perundingan tersebut.
2) Ketentuan aturan-aturan dasar: siapa yang akan terlibat, dimana diadakan,
isu-isu apa yang akan dibahas.
3) Penjelasandan pembenaran: menerangkan, menegaskan, memperjelas,
memperkuat dan membenarkan tuntutannya kepada pihak yang lain.
4) Tawar-menawar dan pemecahan masalah: hakikat proses perundingan
adalah beri – ambil yang aktual dalam upaya memperbincangkan suatu
persetujuan.

15
5) Penutupan dan implementasi: langkah terakhir dalam proses perudingan
memformalkan persetujuan yang telah dikerjakan dan melakukan
pemantauan.

Cara Negosiasi/Berunding
Langkah-langkah perundingan sebagai berikut :
1) Perkenalan
Bersikaplah ramah terhadap pihak lain dan ciptakan suasana yang santai
dan tidak tegang.
2) Peninjauan umum
i. Jelaskan keinginan serta sasaran yang akan dicapai dari kedua
belah pihak.
ii. Sebutkan setiap perbedaan yang ada atau harapan yang ada di
masing-masing kedua belah pihak/posisi masing-masing.
3) Latar Belakang
Tinjaulah catatan kegiatan yang ada sebelum perundingan, jika ada
interpretasi/tafsiran yang berbeda mengenai persoalan yang akan dibahas,
maka luruskanlah perbedaan-perbedaan tersebut.
4) Penjabaran Pokok-pokok Persoalan
Uraikan secara terinci apa yang ingin anda pecahkan/rundingkan, jika
mungkin mulailah dengan persoalan yang kemungkinan akan
mendapatkan persetujuan. Hubungkan pokok-pokok persoalan yang ada,
jika memungkinkan pecahkan persoalan yang lebih mudah dahulu atau
pemecahan persoalan yang sekaligus menjawab pokok persoalan yang lain.
5) Rundingkan Persoalan
Mulailah dengan mengajukan apa yang anda inginkan dan sebaliknya.
Karena kedua belah pihak ingin mendapatkan sebanyak mungkin
informasi agar menemukan solusi atau pemecahan masalah dengan baik.
Dalam hal ini tentuakan timbul konflik kepentingan yang tidak bisa
dihindari.

16
6) Kompromi
Agar kita mendapatkan sesuatu, tentu kita harus memberikan pula sesuatu
kepada pihak lain sebagai imbalannya. Jika kompromi sulit tercapai, maka
beralihlah kesituasi meminta bantuan orang lain yang dianggap dapat
menjembatani pemecahan persoalan tersebut.
7) Penyelesaian
Jika persetujuan sudah disepakati oleh kedua belah pihak, maka dibuatlah
dokumentasi dengan baik atau nota persetujuan bersama dan ditandatangai
bersama.

Taktik Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan
berbagai taktik agar agar dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Arbono
(2005), menyarankan beberapa taktik sebagai berikut :
1. Membuat Agenda.
Taktit ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-
pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan
mendorong mereka untuk mencapai kesepakatan atas keseluruhan paket
perundingan.
2. Bluffing.
Taktik klasik yang sering digunakan para negosiator, bertujuan
mengelabui lawan berundingnya dengan membuat distorsi kenyataan yang
ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar. Contoh: Pihak
pengusaha menunjukkan bahwa mereka tidak peduli sama sekali dengan
ancaman pihak pekerja untuk melakukan pemogokan bila perundingan
gagal (padahal sebenarnya mereka khawatir bila pemogokan terjadi).
3. Membuat tenggat waktu (deadline).
Taktik ini digunakan bila salah satu pihak yang berunding ingin
mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan
tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
Contoh: Pihak pengusaha menyatakan kepada pihak pekerja, bahwa bila

17
paket PHK yang ditawarkan tidak diambil sekarang, maka paket PHK
yang akan diberikan berikutnya akan lebih rendah dari yang ditawarkan
saat ini.
4) Good Guy Bad Guy.
Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat” dan “baik”
pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk
menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang
oleh pihak lawannya, sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi
pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga
pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat
tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
5) The art of Concecion.
Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan
berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan
dipenuhi. Contoh: Pihak pengusaha sepakat untuk memberikan kenaikan
gaji yang diminta pihak pekerja asal pihak pekerja sepakat untuk
mendukung pihak pengusaha mengurangi jumlah pekerja.
6) Intimidasi.
Taktik ini dilakukan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan
berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan
konsekwensi yang akan diterima bila tawaran ditolak. Contoh: Pihak
pekerja mengancam bahwa bila permintaan kenaikan gaji mereka tidak
dipenuhi oleh pihak pengusaha, maka mereka akan melakukan pemogokan
selama 1 bulan.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam
organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik
tersebut dianggap tidak ada.Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa
di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi
kenyataan.Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif
yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada
tingkatan organisasi (Muchlas, 1999).Konflik ini terutama pada tingkatan
individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.Faktor-faktor
penyebab konflik
i. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan
perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik.
ii. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda.
iii. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Menurut Wall (Robbins, 2007), negosiasi atau perundingan adalah
proses dimana dua pihak atau lebih bertukar barang atau jasa dan berupaya
menyepakati nilai tukar barang dan jasa tersebut. Negosiasi atau perundingan
mewarnai interaksi hampir semua orang dalam kelompok dan organisasi.
Contohnya adalah tawar menawar antara karyawan dengan pihak manajemen
mengenai gaji.
Robbins (1999) menawarkan 2 strategi perundingan, yang meliputi:
1) Tawar-menawar distributif, artinya perundingan yang berusaha untuk
membagi sejumlah tetap sumberdaya (suatu situasi kalah menang).

19
2) Tawar-menawar integratif, yaitu perundingan yang mengusahakan satu
penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan pemecahan menang-
menang.

B. Kritik dan saran


Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaa n berikutnya yang lebih
baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Maftuh, Bunyamin. (2008). Pendidikan Resolusi Konflik. Bandung: Yasindo


Multi Aspek.
Pace, R.W., dan Don F. Faules. (1994). Organizational Communication.
Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Setiadi, Elly. M dan Kolip, Usman. (2011). Pengantar
Sosiologi.Jakarta: Kencana.
http://princewilliamjr.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-konflik-jenis-sumber-
konflik.html?m=1
http://www.informasiahli.com/2015/08/proses-terjadinya-konflik.html
http://angelarhesymaharani.blogspot.co.id/2010/10/akibat-konflik.html?m=1
http://rizkie-library.blogspot.co.id/2016/02/manajemen-konflik-definisi-
penyebab-dan.html?m=1

21

Anda mungkin juga menyukai