Isi
Isi
PENDAHULUAN
1
2. Apa tujuan patient safety ?
3. Apa saja standar patient safety ?
4. Bagaimana tinjauan hukum patient safety ?
5. Bagaimana aspek hukum patient safety ?
6. Bagaimana analisa kasus yang terkait dengan patient safety ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi patient safety
2. Untuk mengetahui tujuan patient safety
3. Untuk mengetahui standar patient safety
4. Untuk mengetahui tinjauan hukum patient safety
5. Untuk mengetahui aspek hukum patient safety
6. Untuk mengetahui analisa kasus yang terkait dengan patient safety
BAB II
PEMBAHASAN
2
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisa insiden, dan kemampuan belajar
dari suatu kejadian, menindaklanjuti suatu kejadian, dan menerapkan solusi untuk
meminimalkan risiko berulangnya kejadian serupa.
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS) adalah suatu sistem dimana RS
membuat asuhan pasien lebih aman.(KKP-RS PERSI 2005). Sedangkan menurut
penjelasan UU 44/2009 tentang Rumah Sakit pasal 43 yang dimaksud dengan
keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang
memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit/KKP-RS (2008) mendefinisikan bahwa keselamatan (safety) adalah
bebas dari bahaya atau risiko (hazard). Keselamatan pasien (Patientsafety) adalah
pasien bebas dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm
yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik, sosial, psikologi, cacat,
kematian dan lain-lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.
3
6. Reduce the risk of patient harm from falls (mengurangi risiko pasien
terluka karena jatuh)
4
pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut di harapkan
pasien dan keluarga dapat :
5
d. Adanya komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman
dan efektif.
6
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program
keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui
penerapan ”Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
7
e. Tersedia mekanisme pelaporan baik internal dan eksternal yang
berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar
dan jelas tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat
program keselamatan pasien mulai di laksanakan.
8
a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan
orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien
sesuai dangan tugasnya masing - masing.
9
peraturan hukum lainnya. Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam
bentuk perundang-undangan namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang
sebagai wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat
kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak
masyarakat sebagai warga negara.
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan
yang aman merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah
Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan
insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan,
rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan
pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga
memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap
karena UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk
Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi,
asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non
struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan
kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan
yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari
unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh
masyarakat (Pasal 57).
10
1. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
1) Pasal 53 (3) UU No.36/2009; “Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
2) Pasal 32n UU No.44/2009; “Pasien berhak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.
3) Pasal 58 UU No.36/2009
a. “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.”
b. “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.”
4. Hak Pasien
a. Pasal 32d UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional”
11
b. Pasal 32e UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi”
c. Pasal 32j UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan”
d. Pasal 32q UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak menggugat
dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana”
12
suami itri itu belum sempat mendapat pelayanan khusus karena RS Wahidin yang
menjadi rujukan tidak menerima bayi tersebut. Alasannya, kedua orang tua bayi
itu tidak memiliki kartu Bantuan Tunai Langsung (BTL). Sampai hari Jumat
(24/8) pukul 16.00 WITA bayi malang itu masih dapat bertahan hidup.
Dokter Emilia Handayani, kahumas RS Wahidin mengatakan pihak rumah
sakit harus mengikuti prosedur penerimaan pasien yang tidak mampu. Ia
mengatakan bahwa setiap pasien tidak mampu harus menyertakan kartu BTL dan
bukan sekadar keterangan miskin dari kelurahan atau camat. Banyak orang yang
mampu tetapi berpura-pura miskin dan memiliki kartu BTL. Selain itu, katanya,
sudah ada instruksi dari pemerintah untuk menghentikan bantuan pelayanan untuk
keluarga miskin sejak Juni 2007, karena tunggakan pemerintah untuk membiayai
pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di atas Rp10 miliar.
Emilia Handayani berkata bahwa sampai saat ini, RS Wahidin belum
mendapat bayaran, jadi bagaimana RS bisa melayani lagi, sementara biaya
operasional sangat terbatas.
Dia menambahkan, pihak rumah sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari
keluarga miskin sepanjang memiliki kartu BTL dan bukti-bukti pendukung bahwa
pasien berasal dari keluarga tidak mampu.
Subaedah (ibu bayi itu) mengatakan sangat terkejut ketika mengetahui
anak perempuan yang selama ini diharapkannya memiliki kelainan.
Bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas
terakhir Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke Rumah Sakit Labuangbaji
karena ditolak di RS rujukan Wahiddin Sudirohusodo, Makassar.
Anak ke empat pasangan Subaedah (20) dan Akbar Hasan (25) itu
meninggal dunia dalam perjalan menuju rumah sakit Labuangbaji setelah bertahan
hidup selama dua hari. Jenazah bayi yang lahir dengan berat badan 2,8 kg dan
panjang 48 cm di Puskesmas Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar
itu langsung dikebumikan di pekuburan umum Kabupaten Maros, Sulsel Jumat
malam sekitar pukul 19.00 Wita.
B. Pembahasan Kasus
13
Dulu sering kita mendengar adanya pasien yang ditolak dirawat oleh
rumah sakit dengan alasan tidak mempunyai biaya buat pengobatan seperti pada
kasus yang diambil dari situs kantor berita Antara (ANTARA NEWS) dengan
judul “Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS W” di tertanggal
25 Agustus 2007. Dari berita tersebut berisikan bayi perempuan yang lahir tanpa
batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Jumat sore saat bayi
tersebut hendak dirujuk ke RS L karena ditolak di RS W. Bayi tersebut meninggal
dunia dalam perjalanan menuju RS L setelah bertahan hidup selama dua hari.
Jenazah bayi yang lahir dengan langsung dikebumikan di pekuburan umum. Bayi
tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS W, sebuah rumah sakit negeri, namun
pihak RS menolak merawat bayi itu karena orangtuanya tidak dapat menunjukkan
karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) keluarga miskin.
Pada kasus di atas penyimpangan etika dan hukum dari instansi kesehatan
terhadap bayi tersebut meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Sumpah dokter yang berbunyi “kesehatan penderita senantiasa akan saya
utamakan”.
2. Deklarasi Lisabon 1981 yang menjelaskan tentang hak-hak pasien tentang hak
dirawat dokter
3. Undang-undang Kesehatan No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berisikan
:
a. pasal 2 : Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri
penjelasan pasal 2 bagian d yang berbunyi asas adil dan merata berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat.
b. Pasal 4 : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal
c. Pasal 7 pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan terjangkau
oleh masyarakat. penjelasan pasal 7 upaya kesehatan yang merata dalam arti
14
tersedianya sarana pelayanan di seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang
mudah di jangkau oleh seluruh masyarakat, termasuk fakir miskin, orang terlantar
dan orang kurang mampua
d. Pasal 57 : sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan tetap
memperhatikan fungsi sosial.
Penjelasan pasal 57 ayat 2 : fungsi sosial sarana kesehatan adalah bahwa dalam
menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan
pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-
mata mencari keuntungan.
Dari kasus itu seharusnya RS W tetap menerima pasien bayi ditinjau dari
segi etika dan hukum bukan menolak pasien lantaran tidak mempunyai biaya
berobat. Padahal RS W merupakan salah satu rumah sakit negeri (milik
pemerintah). Sehingga soal pembiayaan dana seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah bukan RS W sesuai dengan pasal 7 UU Kesehatan no 36 tahun 2009.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada waktu menjabat sebagai Menteri
Kesehatan waktu itu pernah mengingatkan manajemen rumah sakit untuk tidak
menolak pasien dari keluarga miskin. Bila menolak, bisa dilaporkan ke polisi
dengan tuduhan cukup berat. Siti Fadilah mengatakan, tidak ada alasan bagi
rumah sakit pemerintah menolak pasien dari keluarga miskin. Pasalnya,
pemerintah sudah menyediakan jaminan pembayaran biaya perawatan kesehatan
paling sedikit Rp 2,6 triliun untuk rumah sakit. Belum lagi dana-dana dari alokasi
lain. Alasan administrasi juga tidak bisa dipakai untuk menolak pasien. Rumah
sakit tidak dibenarkan menolak pasien dengan alasan kartu Asuransi Kesehatan
untuk Keluarga Miskin (Askeskin) tidak berlaku lagi. Ia mengatakan bahwa
pasien dirawat dulu, urusan administrasi bisa dibereskan. Siti Fadilah juga
mengingatkan, pemerintah tetap menyediakan jaminan pembayaran perawatan
kesehatan masyarakat miskin.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang
terutama dalam pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang
bermutu dan aman. Peraturan perundang-undangan memberikan jaminan
kepastian perlindungan hukum terhadap semua komponen yang terlibat dalam
keselamatan pasien, yaitu pasien itu sendiri, sumber daya manusia di rumah sakit,
dan masyarakat. Ketentuan mengenai keselamatan pasien dalam peraturan
perundang-undangan memberikan kejelasan atas tanggung jawab hukum bagi
semua komponen tersebut.
16
3.2 Saran
1. Agar pemerintah lebih memperhatikan dan meningkatkan upaya keselamatan
pasien dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan
aman dengan mengeluarkan dan memperbaiki aturan mengenai keselamatan
pasien yang mengacu pada perkembangan keselamatan pasien (patient safety)
internasional yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia.
2. Agar setiap rumah sakit menerapkan sistem keselamatan pasien dalam rangka
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan aman serta menjalankan
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan untuk itu.
3. Agar seluruh komponen sarana pelayanan kesehatan bekerja sama dalam upaya
mewujudkan patient safety karena upaya keselamatan pasien hanya bisa bisa
dicapai dengan baik dengan kerjasama semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
17