Anda di halaman 1dari 9

Tinjauan Pustaka

Karbohidrat
Karbohidrat adalah hasil alam yang memiliki banyak fungsi penting dalam
tanaman maupun hewan. Melalui fotosintesa, tanaman merubah karbon dioksida
menjadi karbohidrat, yaitu dalam bentuk selulosa, pati, dan gulagula. Karbohidrat
dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula sederhana, pentosa,
dextrin, selulosa, dan pati. Sebagian besar karbohidrat, terutama golongan
monosakarida dan disakarida seperti glukosa, fruktosa, galaktosa, dan laktosa
mempunyai sifat mereduksi. Sifat mereduksi dari karbohidrat disebabkan oleh
adanya gugus aldehida atau gugus keton bebas dan gugus – OH bebas (Qalsum et.al
2015 ).
Analisis total karbohidrat, salah satunya adalah menentukan jumlah unit
pengulangan glukosa, sangat penting dalam mempelajari sifat-sifat karbohidrat
maupun dalam analisis pangan. Analisis jumlah monomer karbohidrat dapat
ditentukan dengan metode penentuan berat molekul polimer. Dalam bahan pangan,
analisis kadar karbohidrat dilakukan dengan menentukan banyaknya monomer
penyusun karbohidrat salah satunya dengan metode Luff Schoorl yag ditetapkan
oleh Badan Standarisasi Nasional
Metode Luff Schoorl
Penentuan kadar glukosa dilakukan dengan cara menganalisis sampel
melalui pendekatan proksimat. Terdapat beberapa jenis metode yang dapat
dilakukan untuk menentukan kadar gula dalam suatu sampel. Salah satu metode
yang paling mudah pelaksanaannya dan tidak memerlukan biaya mahal adalah
metode Luff Schoorl. Prinsip analisis dengan Metode LuffSchoorl yaitu reduksi
Cu2+ menjadi Cu 1+ oleh monosakarida. Monosakarida bebas akan mereduksi
larutan basa dari garam logam menjadi bentuk oksida atau bentuk bebasnya.
Kelebihan Cu2+ yang tidak tereduksi kemudian dikuantifikasi dengan titrasi
iodometri (Tinambunan et.al. 2014).
Metode
Penentuan Karbohidrat
Standardisasi Na2S2O3 0,1 N
Penentuan konsentrasi Na2S2O3 dilakukan dengan cara ditimbang KIO3
sebanyak 0,500 gram kedalam gelas piala kemudian dilarutkan dengan
ditambahkan aquades dan di tera kedalam labutakar 100 mL. Larutan KIO3 dipepet
sebanyak 25 mL kedalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan dengan 10 mL KI
20% dan 25 mL HCl 4N selanjutnya dititrasi dengan Na2S2O3 hingga terjadi
perubahan warna dari coklat hingga kuning seulas. Larutan kemudian segera
ditambahkan indicator amilum sebanyak 5 tetes dan dititrasi kembali dengan
Na2S2O3 hingga warna biru hilang. Standardisasi dilakukan sebanyak tiga kali
ulangan.
Metode Luff-Schrool
Analisis karbohidrat dilakukan dengan sampel tepung talas basah dan kering
ditimbang sebanyak 1,000 gram, kemudian ditambahkan dengan 200 mL HCl 3%
dan Indikator fenolptalien selanjutnya larutan sampel dihidrolisis dengan cara di
refluks selama 2.5 jam diatas hotplate. Setelah proses refluks selesai hidrolisat
didinginkan di suhu ruang, lalu dinetralkan dengan ditambahkan 10 mL NaOH
%(b/v). Sebanyak 10 mL larutan dipipet kedalam Erlenmeyer kemudian
ditambahkan 15 mL aquades dan 25 mL pereaksi Luff-Scrhool selanjutnya
dipanaskan selama 5 menit (dihitung sejak mulai berbuih). Larutan didinginkan
didalam suhu kamar, lalu larutan ditambahkan 25 mL H2SO4 25% dan 10 mL KI
20%, dan selanjutnya dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N yang telah distandardisasi.
Titrasi sampel dilakukan secara duplo dan dilakukan juga penentuan blanko.
Metode Pengikatan Iodin
Analisis karbohidrat dengan metode pengikatan iodin dilakuan dengan
sampel talas basah dan kering ditimbang sebanyak 0,100 gram kedalam tabung
reaksi, kemudian ditambahkan 1 mL etanol dan 9 mL NaOH 1N. Campuran
dipanaskan didalam penangas air selama 30 menit dengan suhu 100˚C hingga
terbentuk gel yang kemudian dipindahkan ke dalam labutakar 100 mL dan
ditambahkan aquades hingga tanda tera lalu dihomogenkan. Selanjutnya larutan
sampel dari dalam labutakar pertama dipipet sebanyak 5 mL dimasukkan kedalam
labutakar kedua dan ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N, 2 mL larutan iodin 0,2%
lalu ditera dengan akuades. Larutan didiamkan selama 30 menit hingga terbentuk
warna yang stabil. Selanjutnya intesitas warna biru yang terbentuk diukur pada
panjang gelombang 620 nm.
Hasil dan Pembahasan
Analisis Karbohidrat dengan Metode Luff-Schrool
Tanaman talas (Colocasia esculenta) merupakan tanaman jenis herba. Pati
talas mengandung amilosa 14-20% dan amilopektin 56-60% dari kandungan pati.
Tanaman talas juga sering digunakan sebagai karbohidrat non beras (tepung talas).
Tepung talas banyak mengandung karbohidrat, protein, dan serat (Tinambunan
et.al. 2014). Penentuan karbohidrat yang termasuk polisakarida maupun
oligosakarida memerlukan perlakuan pendahuluan yaitu hidrolisis terlebih dahulu,
sehingga diperoleh monosakarida yang setelah itu baru bisa dianalisis lebih lanjut.
Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu metode luff schoorl. Prinsipnya
metode ini didasarkan oleh hidrolisis karbohidrat dengan asam yang menghasilkan
monosakarida yang dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ dalam suasana basa,
kelebihan Cu+ dititrasi dengan Na2S2O3 standar dengan metode iodomteri. Pada
dasarnya metode analisa yang digunakan adalah titrasi I odometri, karena
menganalisis I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar.
Iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan.
Apabila terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat
netral atau sedikit asam penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat
oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan
dengan banyaknya oksidator. I2 bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan
standar Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut
dalam air. Oleh karena itu dalam proses titrasi di butuhkan indikator amilum.
Pemberian indikator amilum ini juga bertujuan untuk memperjelas titik akhir dari
titrasi. Pemakaian indikator amilum dapat memberikan warna biru gelap dari
komplek iodin-amilum sehingga indikator ini bertindak sebagai suatu tes yang amat
sensitif untuk iodin. Penambahan amilum sebelum titik ekivalen. Titrasi dihentikan
bila telah terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi bening.
Larutan natrium tiosulfat merupakan larutan standar yang digunakan dalam
kebanyakan proses iodometri. Larutan ini biasanya dibuat dari garam
pentahidratnya (Na2S2O3-5H2O). Garam ini mempunyai berat ekivalen yang sama
dengan berat molekulnya (248,17) maka dari segi ketelitian penimbangan, hal ini
menguntungkan. Larutan ini perlu distandarisasi karena bersifat tidak stabil pada
keadaan biasa (pada saat penimbangan). Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh
pH rendah, sinar matahari.
Larutan standar primer yang digunakan untuk menstandarisasi natrium
toisulfat yaitu KIO3. Hal ini dikarenakan bahannya sangat murni, mudah diperolah
dan dikeringkan, mudah diperiksa kemurniannya (diketahui macam dan jumlah
pengotornya), stabil dalam keadaan biasa (selama penimbangan), berat molekulnya
tinggi untuk mengurangi kesalahan titrasi dan bereaksi menurut syarat-syarat reaksi
titrasi yakni reaksinya cepat dan berlangsung sempurna, ada petunjuk titik akhir
serta reaksi diketahui dengan pasti.
IO3 + 5I + 6H → 3I2 + H2O
2Na2S2O3 + I2 → 2NaI + Na2S4O6
Gambar 4 Reaksi Na2S2O3 dengan iodin (Harjadi 1990)
Berdasarkan percobaan standarisasi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3 ) dengan
standar bakunya KIO3 didapatkan konsentrasi Na2S2O3 sebesar 0.0975 N
Analisis karbohidrat dengan metode luff scrool dengan penambahan asam
klorida (HCl 3%) pada sampel yang sudah ditimbang sebelumnya. Asam klorida
ditambhalan berfungsi untuk menghidrolisis polisakarida menjadi monosakarida
dengan bantuan panas pada saat proses refluks selama 2 jam. Indikator fenolftalein
ditambahkan setelah penambahan asam klorida. indikator fenolftalein yang
berfungsi sebagai indikator asam dan basa yang digunakan untuk menentukan titik
akhir. Hasil hidrolisis didinginkan dan ditambahkan dengan NaOH 40%.
Penambahan larutan natrium hidroksida (NaOH 40%) pada larutan hasil hidrolisis
bertujuan untuk menetralkan larutan sampel dari suasana asam menjadi basa.
Pengujian karbohidrat dengan metode luff schrool ini pH larutan harus diperhatikan
dengan baik, karena pH yang terlalu rendah (terlalu asam) akan menyebabkan hasil
titrasi menjadi lebih tinggi dari sebenarnya, karena terjadi reaksi oksidasi ion iodide
menjadi I2. Sedangkan apabila pH terlalu tinggi (terlalu basa), maka hasil titrasi
akan menjadi lebih rendah daripada sebenarnya, karena pada pH tinggi akan terjadi
resiko kesalahan, yaitu terjadinya reaksi I2 yang terbentuk dengan air (hidrolisis).
Larutan sampel kemudian ditambahkan dengan pereaksi Luff-Scrhool yang
berisikan CuSO4, asam sitrat dan CaCO3 ldan dididihkan diatas hotplate selama 10
menit dengan perhitungan waktu setelah munculnya buah hingga muncul endapan
merah bata. Pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat rekasi anatara pereaksi
Luff-Scrhool dan larutaan sampel. Endapan merah muncul akibat monosakarida
mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ yang terdapat pada pereaksi LuffSchrool.
Larutan sampel ditambahkan H2SO4, penambahan asam sulfat ini bertujuan untuk
melarutkan endapan Cu2O pada sampel dan selanjutnya dititrasi dengan Na2S2O3
0,1 N yang sudah distandarisasi sebelumnya.
Titrasi iodometri ini terjadi dalam suasana asam, setelah tetrjadi perubahan
warna dari coklat ke kuning, selanjutnya larutan ditambahkan indicator amilun dan
dititrasi kembali hingga warna biru hilang. Penambahan indicator amilum ini
berujuan agar amilum tidak membungkus I2 yang akan bereaksi dengan natrium
tiosulfat (Pradnyana et al. 2014). Berikut ini adalah reaksi yang terjadi selama
proses penentuan kadar karbohidrat dalam sampel bahan pangan talas.
R – COH + 2CuO  Cu2O + R-COOH
H2SO4 + CuO  CuSO4 + H2O
CuSO4 + 2 KI  Cu2I2
I2 + 2Na2S2O3  Na2S4O6 + 2NaI
Gambar 2 Reaksi penentuan karbohidrat dengan metode luff schoorl (Sudarmadji
dan Suhardi 1989).
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan hasil kadar gula pereduksi
sebagai berikut :
Tabel 1 Hasil penentuan kadar gula persduksi pada tepung talas
Sampel % gula pereduksi % pati
Talas kering 48.00 42.20
Talas basah 47.52 42.77
Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa kadar gula pereduksi pada sampel
talas kering sebesar 48.00 % sedangkan talas basah didapat sebesar 47.52 %. Kadar
gula pereduksi sampel talas kering didapat lebih besar dibanding talas basah, hal ini
disebabkan karena kadar air yang dimiliki sampel tepung talas basah lebih besar.
Semakin besar kadar air maka semakin rendah kadar gula pereduksi yang
dihasilkan. Pada sampel talas kering dilakukan pemanasan dalam oven terlebih
dahulu dan terjadi proses penguapan air dalam sampel yang menyebabkan kadar
air yang diperoleh lebih sedikit sehingga kadar gula pereduksi yang dihasilkan pun
lebih kecil. Hal ini telah sesuai dengan (Desrosier 1988) yang menyatakan bahwa
kadar gula dalam sampel akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar air
pada suatu sampel. Besar kecilnya kadar gula pereduksi sangat ditentukan
oleh komponen bahan dan tingkat inversi selama proses pembuatan tepung.
Semakin rendah pH dan semakin tinggi suhu penguapan, laju inversi
semakin tinggi. Konsentrasi HCl optimum yang digunakan untuk menghidrolisis
substrat pun ikut mempengaruhi. Kandungan karbohidrat lain, seperti
disakarida, pati dan lain sebagainya juga dapat ikut terhidrolisis dan
memengaruhi kandungan gula sederhana. Kadar pati tepung talas kering didapat
sebesar 42.20 % sedangkan pada talas basah didapat sebesar 42.77% yang
berbanding terbalik dengan kadar dula pereduksi. Hal ini disebabkan oleh preparasi
sampel yang berbeda. Pada talas kering dilakukan proses pengeringan dalam oven
terlebih dahulu sehingga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan seberapa
besar kadar pati yang masih terkandung di dalam tepung tersebut. Pengolahan yang
terlalu lama dan rumit menghasilkan tepung yang memiliki kadar pati yang tidak
terlalu tinggi. Komposisi kimia talas jug tergantung pada varietas, iklim, kesuburan
tanah, umur panen. Menurut (Rahmawati 2012), kadar pati merupakan kriteria mutu
terpenting pada tepung baik sebagai bahan pangan maupaun non pangan. kadar pati
yang dihasilkan pada umbi talas sekitar 80% dan kadar pati pada tepung talas sekitar
75 %. Perbedaan antara hasil analisis dengan literatur dapat disebabkan oleh
beberapa faktor seperti jumlah natrium tiosulfat yang digunakan dalam titrasi
berlebihan atau kurang, karena sulit untuk menentukan perubaan warna yang
bersifat subjektif yang terjadi dengan menggunakan indikator amilum. Hal ini
mungkin akan mempengaruhi hasil perhitungan dari kadar pati. Selain itu, sebagian
filtrat mungkin masih tersisa pada dinding labu pada proses pemindahan karena
proses pembilasan dengan aquades yang kurang sempurna. Adanya zat pengotor
yang masuk ke dalam labu ukur pada saat penyaringan juga dapat mempengaruhi
hasil perhitungan kadar pati tersebut. Metode Luff Schoorl ini baik digunakan untuk
menentukan kadar karbohidrat yang berukuran sedang. Dalam penelitian
M.Verhaart dinyatakan bahwa metode Luff Schoorl merupakan metode tebaik
untuk mengukur kadar karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar 10%.
Pemanfaatan talas sebagai tepung talas maupun pati talas akan
meningkatkan nilai ekonomis dan daya simpan produk talas. Tepung talas dapat
menjadi salah satu alternatif bahan pengganti tepung terigu dalam pembuatan
cookies sehingga dapat menurunkan jumlah tepung terigu yang. Umbi talas dapat
diolah menjadi tepung talas. Tepung umbi talas ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut
sebagai bahan baku industri makanan seperti biskuit, cake, kripik, dan lain-lain.
Tepung umbi talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet karena daya
mengikat airnya yang tinggi. Tepung umbi talas mengandung gizi yang cukup
tinggi dibandingkan dengan umbi-umbi yang lainnya. Kandungan kalsium (Ca) dan
posfor (P) dari tepung umbi talas cukup tinggi dan lebih tinggi 10 dibandingkan
beras (Richana 2012).

Analisis Karbohidrat Metode Pengikatan Iodin

Analisis karbohidrat ditentukan secara spektorofotometr dengan metode


pengikatan iodin. Metode ini didasarkan pada penentuan pati dalam bentuk amilosa
pada sampel. Pati merupakan polisakarida penting yang tersimpan dalam jaringan
tanaman, berupa granuka dalam kloroplasn daun dan amilolplas pada biji dan umbi.
Pati tersusun dari dua jenis polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin.
Amilosa merupakan polimer berantai lurus dan amilopektin merupakan struktur
dengan rantai cabang. Polimer glukosa berantai lurus terentuk dari ikatan α-(1-4)-
D-glukosa, sedangkan percabangan polimer tebentum dari ikatan α –(1-6)-D-
glukosa. Dua fraksi dari pati tersebut dapat dipisahkan dengan air panas, yaitu fraksi
terlarut berupa amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Menurut
Ardhiyanti et al (2015), amilosa akan berikatan dengan iodin dan menghasilkan
warna biru. Intensitas warna biru yang terbentuk selanjutnya diukur menggunakan
spektrofotometer UV-Vis.
Pengukuran kadar amilosa diawali dengan pembuatan kurva standar amilosa
untuk menentukan suatu persamaan regresi linier yang selanjutnya digunakan
dalam menentukan kadar amilosa dalam sampel. Kurva standar amilosa diperoleh
dengan mengukur abosrbansi sederet larutan standar amilosa dengan varias 20%,
40%. 60%, 80%, dam 100%. Kurva standar amilosa diperoleh dengan memplot
konsnetrasi laritan standar terhadap absorbansinya. Kurva standar amilosa dapat
dilihat pada gambar berikut

Kurva Standar Amilosa


1.4
1.2 y = 0.0077x + 0.3606
R² = 0.9704
1
Absorbansi

0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 20 40 60 80 100 120
Konsentrasi Amilosa (%)

Gambar Kurva standar amilosa

Berdasarkan kurva pada gambara diatas, dapat diketahui bahwa nilai


absorbansi yang dihasikan meningkat seiring dengan naiknya konsentrasi standar
amilosa sehingga diperoleh betuk kurva yang linear. Hal tersebeut sesuai dengan
Hukum Lambert-Beer, bahwa nilai absorbansi sebanding dengan konsentrasi dan
tebal kuvet. Persamaan garis yang diperoleh ialah y = 0.0077x + 0.3606, dengan
nilai koefiesien determinasi (R2) sebesar 0.9704. Persamaan tersebut selanjutnya
digunakan untuk menentukan kadar karbohidrat dalam sampel tepung talas kering
dan basah.
Tepung talas ditimbang dan selanjutnya dilakukan penambahan etanol serta
NaOH. Penambahan etanol befungsi untuk melarutkan pati karena sifat pati yang
tidak larut dalam air, Penambahan NaOH berfungsi untuk memberikan suasana
basa. Campuran lalu dipanasakan dalam air penangas air mendidih hingga terbentuk
gel disebebakan karena rantai panjang yang dibentuk ikatan amilum.Gel
ditambahkan air dan dipindahkan ke labu takar 100 ml, lalu ditambahkan asa asetat
dan iodin. Penambahan asam asetat berfungsi memberikan suasan asam, karena
amilosa beriktan dengan dengan iodin pada pH rendah. Selanjutnya larutan iodin
ditambahkan dengan tujuan yaitu pati akan bereaksi dengan iod membentuk suatu
kompleks berwarna biru. Inetensitas warna biru yang tebentum selanjutnya diukur
dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 620nm.
Nilai serapan dari tepung talas kering dan talas basah berturut-turut ialah
0.252 dan 0.311. Absorbansi dari kedua sampel tersebut berada dibawah rentang
absorbansi standar, sehingga kadar amilosa dalam sampel tidak dapat ditentukan.
Hal tersebut dapat terjadi disebabkan warna larutan satandar yang berbeda dengan
warna larutan sampel sedangkan pengukuran serapan bergantung pada intensitas
warna yang dihasilkan. Pembentukan warna biru yang belum sempurna dapat
terjadi disebabkan waktu inkubasi yang sebentar Kepekaan reaksi antara iod
dengan amilum akan berkurang seiring dengan naiknya temperatur larutan, yaitu
pada suhu 50 ⁰C yaitu kira-kira sepuluh kali kurang peka dibandingkan pada suhu
25 ⁰C. Hal lain yang menjadi penyebab ialah rentang konsentrasi larutan standar
yang dibuat terlalu besar sehingga konsentrasi sampel yang nilai absorbansinya
berada dibawah absorbansi standar tidak dapat ditentukan. Hal itu dapat
diminimalisir dengan pengenceran atau dengan membuat deret standar pada
rentang konsentrasi yang lebih kecil. Proses preparasi sampel juga dapat
berpengaruh terutama pada proses pemanasan sampel hingga tebentuk gel, gel yang
menempel kuat pada dinding tabung reaksi sulit dipindahkan ke dalam labu takar
sehingga dapat berpengaruh pada kadar yang dihasilkam.
Peran amilopektin dalam sifat fungsionalnya sangat sulit untuk ditentukan
karena amilopektin memiliki kecenderungan untuk membentuk kumpulan tidak
larut air. Oleh karena itu, amilosa merupakan hal yang paling banyak diteliti dalam
memperkirakan karakter pati. Kadar amilosa mempengaruhi sifat fisikokimia
tepung dan dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat kelengketan atau gelatinasi
yang dihasilkan. Kandungan amilosa mempunyai korelasi positif dengan jumlah
penyerapan air dan pengembangan volume. Apabila kandungan amilosa banyak
maka tepung atau sampel pangan tersebut akan mudah mengembang (Masniawati
et al 2013)

Daftar Pustaka

Ardhiyanti SD, Nugraha US, Indrasari SD, Kusbiantoro B. 2015. Penetapan nilai
acuan amilosa beberpa varietas padi menggunakan metode pengikatan iodin
(i) : kalium iodida (ki) melalui uji baanding antar laboratorium. J Widyariset.
17(3): 353-362.
Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta (ID): Universitas
Indonesia.
Harjadi W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar.Jakarta (ID): PT Gramedia.
Masniawati A, Eva J, Latunra IA, Paelongan n. 2013 Karakterisasi sift fisikokimia
beras merah pada beberaoa setntra produksi beras di sulawesi selatan. Jurnal
Jurusan Biologi
Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta(ID): PT Liberty.
Rahmawati, W. 2012. Karakteristik pati talas (colocasia Esculenta (L) Schoott)
sebagai alternatif sumber pati industri di Indonesia. Jurnal Teknologi Kimia
dan Industri.1(2): 347 - 351.
Richana N. 2012. Ubi Kayu Dan Ubi Jalar.Bandung (ID): Nuansa.
Tinambunan N , Rusmarilin H, Nurminah M. 2014. pengaruh rasio tepung talas,
pati talas, dan tepung terigu dengan penambahan cmc terhadap sifat kimia
dan organoleptik mi instan. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian. 2(3): 30-
39.
Qalsum U, Muhammad A W, Diah, Supriadi. 2015. Analisis kadar karbohidrat,
lemak dan protein dari tepung biji mangga (mangifera indica l) jenis gadung.
J. Akad. Kim. 4(4): 168-174.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Standarisasi Na2SO2O3 dengan KIO3


Volume (mL) N
Ulangan
Awal Akhir Terpakai NaS2O3
1 0.00 26.6 26.6 0.09975
2 0.00 26.8 26.8 0.0977
3 0.00 26.5 26.5 0.0977
Rerata 0.0976

Contoh perhitungan :
NNa2S2O3= mg KIO3
BE KI03 x Fp x V
= 270
35.6 x 4 x 26.6
= 0.0975 N

Lampiran 2 Penentuan kadar gula pereduksi metode Luuf-Schrool


Volume (mL) Kadar (%)
Bobot
Larutan Ulangan Gula
(g) Awal Akhir Terpakai pati
pereduksi
Talas
1.00 16.30 21.60 5.30 48.00 43.20
kering 1
2 1.00 .00 5.20 5.20 48.00 43.20
Rerata 48.00 42.20
Talas
1.00 .00 5.05 5.05 48.00 43.20
Basah 1
2 1.02 20.80 25.95 5.15 47.05 42.34
Rerata 47.52 42.77
Blanko 1 - .70 6.90 6.20 - -
2 - 7.60 14.70 7.10 - -
Contoh perhitungan :
mL tiosulfat = (b mL - a mL)x N tiosulfat
0.1
= (6.65 - 5.30)x0.0975 N
0.1
1.32 mL 1 mL 2.4 mg
= glukosa

Kadar gula pereduksi (%)


(%) = mg glukosa x fp
bobot contoh x100%
(mg)
= 2.4 mgx200/10 x100%
1.00
= 48%
(%) pati= 0.9x 48% = 43.20 %

Lampiran 3 Penentuan Kadar Karbohidrat secara pengikatan iodin


[Standar] Absorbansi
20 0.533
40 0.625
60 0.875
80 0.933
100 1.150
Talas kering 0.252
Talas basah 0.311
y = 0.3606+7.71x10-3X
r = 0.985
r2 = 0.970

Anda mungkin juga menyukai