Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa
merancang sediaan obat supaya mampu menrancang terobosan baru dalam
menciptakan suati produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun
efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya. Sebagai seorang farmasis kita harus
selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.
Disini yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi. Preformulasi
merupakan metode perancangan suatu riset dalam rangka menyusun konsep baru
yang nantinya harusmampu menghasilkan suatu maha karya yang bernilai.
Dibutuhkan kearifan dan kecerdasan yang mumpuni dalam menyusun preformulasi
suatu sediaan. Terutama dalam mengenal monografi,spesifikasi mencakup sifat-sifat
suatu zat dan reaksi yang mungkin terjadi apabila bercampur dengan zat lain saat
dikombinasikan.
Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang
paling kami soroti disini yaitu mengenai Disolusi suatu zat. Dimana ini meerupakan
suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek
obat dalam tubuh Manusia. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang
relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-
obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju
absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau
bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi
tidak sempurna.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang disebut dengan Disolusi?
2. Apa saja yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi?
3. Bagaimana metode penentuan kecepatan disolusi?
4. Bagaiman perhitungan dalam menentukan kecepatan disolusi?
5. Bagaimana aplikasi pengaruh disolusi zat erhadap obat ?

1
I.3. Tujuan Makalah
Sesuai dengan rumusan makalah di atas makalah ini disusun untuk mengetahui
a) Apa yang disebut dengan Disolusi?
b) Apa saja yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi?
c) Bagaimana metode penentuan kecepatan disolusi?
d) Bagaiman perhitungan dalam menentukan kecepatan disolusi?
e) Bagaimana aplikasi pengaruh disolusi zat erhadap obat ?

I.4. Kegunaan Makalah


Makalah ini disusun dapat memberikan manfaat. baik secara teoritis maupun
secara praktis. Dimaksudkan juga untuk pengembangan konsep penelitian khususnya
bagi dunia kefarmasiaan.

I.5. Prosedur Makalah


Makalah ini disusun dengan pendekatan kuantitatif . metoda yang digunakan
adalah metode deskriptif. Melalui metode ini penulis akan menguraikan secara jelas
permasalahan dan komprehensif. Data dikumpulkan dengan teknik studi pustaka
artinya penulis mengambil data melalui membaca literature, kemudian data tersebut
diolah menjadi sebuah makalah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Definisi

Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau


senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji
disolusi berguna untuk mengertahui seberapa banyak obat yang melarut
dalam medium asam atau basa (lambung dan usus halus) (Ansel, 1989).Laju
disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi

2
terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan
kecepatan obat larut dalam media disolusi.

Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya


suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan
yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan
oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut (Astuti,2008) :
dM DS
  Cs  C 
dt h
dM.dt-1 : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
H : tebal lapisan difusi
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa
selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu
lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h.
Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada
kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C)
dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat
disederhanakan menjadi
dM DSCs

dt h
Dari persamaan tersebut di atas tampak beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu:
1. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.

3
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan
berikut (Astuti,2008) :
kT
D = 6 r

Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu
zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga
menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi
(Astuti,2008).
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat
asam atau basa lemah.

Untuk asam lemah


dc  Ka 
 K .C.Cs 1  
dt  
H   
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah
dc  H 
 K .C.Cs 1  
dt   Ka  
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi juga meningkat (Astuti,2008).

4
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat
berkurang (Astuti,2008).
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi
besar sehingga kecepatan disolusi meningkat (Astuti,2008).
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang
berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada
bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar (Astuti,2008).
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan
antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah
terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah (Astuti,2008).

2.1.2 Laju disolusi obat secara in vitro


Dipengaruhi beberapa faktor, berikut dapat kita ketahui
1. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi.
Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran
partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada
permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari
pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk
suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang
berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk

5
kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih
stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf
lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal.
2. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan
akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan
maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan
kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari
medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat.
3. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat
dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi
tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat,
ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan
tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat
menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa
bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks
tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi
menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang
diabsorpsi.

2.1.3 Penentuan kecepatan disolusi suatu zat


Dapat dilakukan melalui metode :
1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada

6
waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara
yang sesuai.
2. Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga
variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya
zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti
pada metode suspensi.

Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan


menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP.
Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti
diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut.

Gambar Alat disolusi (Farmasi Fisik Martin 2008)


Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu
dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi
suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan
obat, antara lain:
1. Tahap Pra Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan
baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan
memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut.

7
2. Tahap Formulasi
Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih
formula sediaan yang terbaik.
3. Tahap Produksi
Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas
sediaan obat yang diproduksi.

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses
absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat
dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk
sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi,
deagregasi dan disolusi. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam
proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling
lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting step .
Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi
sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan
deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting
adalah laju disolusi dari obat padat tersebut. Seringkali disolusi merupakan
tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-
obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali
merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada
dalam penglepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam
sirkulasi sistemik (Martin,2008).

Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama


harus memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi
permukaan memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan
bagaimana cara proses transpor berlangsung maka perilaku disolusi dapat
digambarkan secara fisika. Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam
zat murni, ada tiga dasar model fisika yang umum, yaitu:

8
a. Model lapisan difusi (diffusion layer model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada
permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ ,
merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan
dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung
cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”,
pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan
hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan
Brown dari molekul dalam liguid film.
b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model)
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan
dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai
hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal
ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada
antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari
proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati
lapisan tipis statis (stagnant).

c. Model Dankwert (Dankwert model).


Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat
terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka
padat-cair karena terjadi pusaran difusi secara acak.

9
Tahap-tahap disintegrasi deagregasi dan disolusi ketika obat
meningggalkan suati tablet atau matrik granular

2.1.4 Contoh perhitungan disolusi


Sediaan granul dengan berat 0.55g dan luas permukaannya 0,28
m2 (0,28 x 104 cm2) dibiarkan melarut dalam 500ml air pada 25 0C.
Sesudah menit pertama, jumlah yang ada dalam larutan adalah 0,76mg.
Jika kelarutan Cs dari obat tersebut adalah 15 mg/ml pada 25 0 C,
berapakah konstanta laju disolusi k atau D/h ? M berubah secara linier
dengan t awal!
Jawab :
dM = 760mg = 12,67 mg/detik
dt 60 detik
12,67 mg/detik = k x 0,28 x 15 mg/cm3
K = 3,02 x 10-4 cm/detik
Dalam contoh diatas 0,760 g lart dalam 500 ml air selama 1 menit
atau 760/500 = 1,5 mg/ cm. harga ini satu persepuluh dalam dalam
kelarutan obat dan dibuang dari persamaan (15) tanpa

10
menimbulkan kesalahanyang berartiyang dapat dilihat dengan
persamaan (15)
K= 12,67 mg/ detik
(0,28 x 104 cm2 ) (15 mg/ cm – 1,5 mg/cm )
K = 3,35 x 10-4 cm/detik.

2.1.5 Aplikasi disolusi pada obat


Disolusi suatu obat dari suatu matriks padat ( Martin dkk farmasi fisik
2008)

Disolusi suatu sediaan obat akan terjadi pada suatu mukosa untuk
kemudian dilanjutkan ke proses absorpsi. Absorpsi obat setelah penggunaan
melalui mulut dapat terjadi pada rongga mjulut dan anus. Umumnya
halapenting yang diharapkan dan sebagian besar contoh adalah semakin
besar absorbsi maka semakin baik. Maka dari itu peran disolusi akan
mempengaruhi proses absorpsi.
2.2 Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi
terbanding)
2.2.1 Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo

11
Produk obat “copy” yang hanya berbeda kekuatan–uji disolusi
terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan
perbandingan profil disolusi.
a. Tablet lepas cepat
Produk obat “copy” dengan kekuatan berbeda,yang dibuat oleh pabrik
obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika semua kekuatan
mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat
aktif yang sangat poten ( sampai 10 mg persatuan dosis), zat inaktifnya
sama banyak untuk semua kekuatans tudi ekivalensi telah dilakukan
sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi,
kecuali untuk alasan keamanan dipilh kekuatan yang lebih rendah) profil
disolusinya mirip antar kekuatan, f2 > 50.
b. Kapsul berisi butir-butir lepas lambat
Jika kekuatannya berbeda hanya dalam jumlah butir yang mengandung
zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f2 > 50) dengan satu kondisi
uji yang direkomendasi sudah cukup.
c. Tablet lepas lambat
Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda
kekuatan, dan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama
atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg persatuan dosis) zat
inaktifnya sama banyak, dan mempunyai mekanisme pelepasan obat yang
sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo jika
menunjukkan profil disolusi yang mirip, f2 > 50, dalam 3 pH yang
berbeda (antara pH 1.2 dan 7.5) dengan metode uji yang direkomendasi.

2.2.2 Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmasetik (Biopharmaceutic


Classification System = BCS)

12
Dari zat aktif serta karakteristik disolusi dan profil disolusi dari produk
obat. Berlaku untuk produk obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk
produk obat oral lepas cepat.
a. Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan
permeabilitas dalam usus yang tinggi (BCS kelas 1), serta produk
obat memiliki disolusi yang sangat cepat, atau produk obat
memiliki disolusi yang cepat dan profil disolusinya mirip dengan
produk pembanding.
b. Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi
permeabilitas dalam usus yang rendah (BCS kelas 3), serta produk
obat memiliki disolusi yang sangat cepat dan produk obat tidak
mengandung zat inaktif yang diketahui mengubah motilitas atau
permeabilitas saluran cerna.
c. Zat aktif memiliki permeabilitas dalam usus yang tinggi tetapi
kelarutan dalam air yang rendah (kelarutan dalam air tinggi hanya
pada pH 6.8; BCS kelas 2 asam lemah), serta produk obat
memiliki disolusi yang cepat pada pH 6.8, dan produk obat
memiliki profil disolusi yang mirip dengan produk pembanding
(juga berlaku jika disolusi < 10% pada salah satu pH).
Catatan :
 BCS dari zat aktif :
Kelas 1 : kelarutan dalam air tinggi, permeabilitas dalam usus tinggi.
Kelas 2 : kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus tinggi.
Kelas 3 : kelarutan dalam air tinggi, permeabilitas dalam usus rendah.
Kelas 4 : kelarutan dalam air rendah, permeabilitas dalam usus rendah.
 Kelarutan dalam air tinggi (dari zat aktif) :
Jika dosis tertinggi yang direkomendasi WHO (jika terdapat dalam Daftar
Obat Esensial WHO) atau kekuatan dosis tertinggi (yang ada di pasar) dari
produk obat larut dalam < 250 ml media air pada kisaran pH 1.2 s/d 6.8 pada

13
suhu 37 + 1o C. Penentuan kelarutan pada setiap pH harus dilakukan minimal
triplo.
 Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif) :
Jika absorpsi pada manusia > 85 % dibandingkan dosis intravena dari
pembandingnya. Karakteristik disolusi (dari produk obat lepas cepat) :
disolusi sangat cepat jika > 85% dari jumlah zat aktif yang tertera di label
melarut dalam waktu < 15 menit dengan menggunakan alat basket pada 100
rpm atau alat paddle pada 50 rpm (atau 75 rpm jika terjadi coning) dalam
volume < 900 ml masing-masing media berikut :
a. Larutan HCl pH 1.2
b. Bufer asetat pH 4.5
c. Buffer fosfat pH 6.8
Disolusi cepat sama dengan diatas tapi dalam waktu 30 menit
 Profil disolusi (dari produk obat)
Uji disolusi terbanding dilakukan dengan menggunakan metode basket pada
100 rpm atau metode paddle pada 50 rpm dalam media pH 1.2 (larutan HCL),
pH 4.5 (bufer sitrat) dan pH 6.8 (bufer fosfat)
 Waktu – waktu pengambilan sampel untuk produk obat lepas cepat : 10, 15,
30, 45, dan 60 menit.
 Digunakan produk obat minimal 12 unit dosis.
 Profil disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f2 yang
dihitung dengan persamaan berikut :
Rt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari
produk pembanding (R = reference)
Tt = persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari
produk uji (T = test)
 Nilai f2 50 atau lebih besar (50–100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi
ke – 2 kurva, yang berarti kemiripan profil disolusi ke- 2 produk. Jika produk
”copy” dan produk pembanding memiliki disolusi yang sangat cepat (> 85%
melarut dalam waktu < 15 menit dalam ke-3 media dengan metode uji yang

14
dianjurkan), perbandingan profil disolusi tidak diperlukan. Disamping itu
harus ditunjukkan bahwa eksipien dalam komposisi produk obat sudah
dikenal, bahwa tidak ada efek terhadap motilitas saluran cerna atau proses lain
yang mempengaruhi absorpsi, juga diperkirakan tidak ada interaksi antara
eksipien dan zat aktif yang dapat mengubah farmakokinetik zat aktif. Jika
digunakan eksipien baru atau eksipien yang biasa digunakan tapi dalam
jumlah yang luar biasa besar, diperlukan tambahan informasi yang
menunjukkan tidak adanya dampak terhadap bioavailabilitas. Uji disolusi
terbanding juga dapat digunakan untuk memastikan kemiripan kualitas dan
sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor dalam formulasi atau
pembuatan setelah izin pemasaran obat.

BAB III

15
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Lepasnya suatu obat dari system pemberian meliputi Disolusi dan
Difusi
2. Pelepasan suatu obat dipengaruhi oleh laju disolusi
3. Factor yang dapat mempengaruhi laju disolusi yaitu Suhu
,Viskositas, pH pelarut, Pengadukan, Ukuran partikel,
Polimorfisme, Sifat permukaan zat.

3.2 Saran
1. Dalam menentukan preformulasi Hendaklah memperhatikan
disolusi suatu zat
2. Senantiasa melakukan penelitian lebih lanjut mengenai disolusi
sehingga dengan penemuan reset terbaru itu bisa bermanfaat bagi
para penyusun preformulasi sediaan obat.

DAFTAR PUSTAKA

16
Ansel , Howard c. 1989. Pengantar Sediaan Farmas edisi ke empati. Jakarta : UI pres

Martin, Alfred dkk. 2008. Dasar-dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik.
Jakarta : UI PRESS

Sulistia G. dkk. Farmakologi dari Terapi Edisi IV Farmakologi FK UI. Jakarta, 1995
Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Departemen Kesehatan RI, 1995

17

Anda mungkin juga menyukai