Anda di halaman 1dari 16

TUGAS II

RESUME UU PERTAMBANGAN DAN HUKUM PERBURUAN

DISUSUN OLEH:
MERRY TEFA SEPTIANI
2016-63-002

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK PERTAMBANGAN


JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
UNIVERSITAS PAPUA
2019
A. “PERMEN Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan”
1.
2. KETENTUAN UMUM
1) Wilayah Pertambangan (WP) merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau
batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah
daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan dilakukan melalui kegiatan
perencanaan dan penetapan WP dengan danya kriteria:
a) Indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara
b) Potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair.

PERENCANAAN WILAYAH PERTAMBANGAN

2) Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan
ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang:
a) Mineral radioaktif
b) Mineral logam
c) Mineral bukan logam
d) Batuan
e) Batubara.
3) Inventarisasi potensi pertambangan dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dan penelitian
pertambangan yang dilakukan untuk memperoleh data dan informasi berupa:
a) Formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara
b) Data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah
berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada menteri, gubernur, atau bupati/ walikota
sesuai dengan kewenangannya
c) Data perizinan hasil inventarisasi terhadap perizinan yang masih berlaku, yang sudah
berakhir, dan/atau yang sudah dikembalikan kepada menteri, gubernur, atau bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya
d) Interpretasi penginderaan jauh baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi.
Menteri, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah:
a. lintas wilayah provinsi.
b. laut dengan jarak lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai. dan/atau
c. berbatasan langsung dengan negara lain.
Gubernur, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah:
a. lintas wilayah kabupaten/kota
b. laut dengan jarak 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai
Bupati/walikota, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah:
a. kabupaten/kota. dan/atau
b. laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.

4) Wilayah laut berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari
24 (dua puluh empat) mil, wilayah penyelidikan dan penelitian masing-masing provinsi
dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah. Kewenangan bupati/walikota pada
wilayah laut sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan
gubernur.
5) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menetapkan wilayah penugasan
penyelidikan dan penelitian pertambangan yang akan dilaksanakan oleh lembaga riset
negara dan/atau lembaga riset daerah dan dituangkan dalam peta.

PENETAPAN WILAYAH PERTABANGAN

1) Rencana WP dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun ditetapkan oleh
Menteri menjadi WP setelah berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan
perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian.
2) WP terdiri atas WUP, WPR, dan WPN. WUP dan WPN ditetapkan Menteri, sedangkan
WPR ditetapkan Oleh bupati/walikota. Menteri, Gubernur dan Bupati/walikota wajib
melakukan koordinasi dalam melaksanakan eksplorasi Menteri dapat melimpahkan
kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk
pertambangan batuan yang berada pada lintas kabupaten/ kota dan dalam 1 (satu)
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi kepada gubernur.
3) WUP teridiri atas:
a) WUP mineral radioaktif.
b) WUP mineral logam.
c) WUP batubara.
d) WUP mineral bukan logam. dan/atau
e) WUP batuan.

Untuk menetapkan WIUP dalam suatu WUP harus memenuhi kriteria:


a) letak geografis.
b) kaidah konservasi.
c) daya dukung lingkungan.
d) optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara. dan
e) tingkat kepadatan penduduk.
Dalam hal WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan berada pada:
a) Lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis
pantai, ditetapkan oleh Menteri pada WUP.
b) Lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil dari garis pantai sampai
dengan 12 (dua belas) mil ditetapkan oleh gubernur pada WUP. dan/atau
c) Kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai
ditetapkan oleh bupati/ walikota pada WUP.
d) Pada wilayah laut yang berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak
kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah kewenangan masing-masing provinsi
dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah.
e) Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur.
4) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
a) Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi
dan tepi sungai
b) Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua
puluh lima) meter
c) Merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba.
d) Luas maksimal wpr sebesar 25 (dua puluh lima) hektar
e) Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang. dan/atau
f) Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun
g) Tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN
h) Merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang.
Wilayah di dalam WP yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPR oleh
bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota.
5) Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan WPN etelah mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria:
a) Memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam, dan/atau batubara
berdasarkan peta/data geologi.
b) Memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam, dan/atau batubara
berdasarkan peta/data geologi.
c) Memiliki potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. dan
d) Untuk keperluan konservasi komoditas tambang.
e) Berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain.
f) Merupakan wilayah yang dilindungi.
g) Berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WUPK.
WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu dapat diusahakan sebagian luas
wilayahnya setelah berubah statusnya menjadi WUPK dengan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Perubahan status diusulkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan:
a) Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri
b) Sumber devisa negara
c) Kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana
d) Berpotensi untuk dikembangkan sebagaipusat pertumbuhan ekonomi
e) Daya dukung lingkungan
f) Penggunaan teknologi tinggi dan modal inventasi yang besar.
6) Untuk menetapkan WIUPK yang terbagi untuk mineral logam dan batubara dalam suatu
WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) harus memenuhi kriteria:
a) Letak geografis;
b) Kaidah konservasi;
c) Daya dukung lingkungan;
d) Optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e) Tingkat kepadatan penduduk
B. Mengatasi Tumpang Tindih antara Lahan Pertambangan dan Kehutanan ?

MASALAH SEKTOR PERTAMBANGAN

Pertambangan di Indonesia dimulai berabad- abad lalu. Namun pertambangan


komersial baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda, diawali dengan pertambangan
batubara di Pengaron-Kalimantan Timur (1849) dan pertambangan timah di Pulau Bilitun
(1850). Sementara pertambangan emas modern dimulai pada tahun 1899 di Bengkulu–
Sumatera. Pada awal abad ke-20, pertambangan-pertambangan emas mulai dilakukan di
lokasi-lokasi lainnya di Pulau Sumatera. Pada tahun 1928, Belanda mulai melakukan
penambangan Bauksit di Pulau Bintan dan tahun 1935 mulai menambang nikel di Pomalaa-
Sulawesi. Setelah masa Perang Dunia II (1950-1966), produksi pertambangan Indonesia
mengalami penurunan. Baru menjelang tahun 1967, pemerintah Indonesia merumuskan
kontrak karya (KK).
a) pertama diberikan kepada PT. Freeport Sulphure (sekarang PT. Freeport Indonesia).
Berdasarkan jenis mineralnya, pertambangan di Indonesia terbagi menjadi tiga kategori,
yaitu:
 Pertambangan Golongan A, meliputi mineral-mineral strategis seperti: minyak,
gas alam, bitumen, aspal, natural wax, antrasit, batu bara, uranium dan bahan
radioaktif lainnya, nikel dan cobalt.
 Pertambangan Golongan B, meliputi mineral-mineral vital, seperti: emas, perak,
intan, tembaga, bauksit, timbal, seng dan besi.
 Pertambangan Golongan C, umumnya mineral-mineral yang dianggap memiliki
tingkat kepentingan lebih rendah daripada kedua golongan pertambangan lainnya.
Antara lain mliputi berbagai jenis batu, limestone, dan lain-lain.
Eksploitasi mineral golongan A dilakukan Perusahaan Negara, sedang perusahaan asing hanya
dapat terlibat sebagai partner. Sementara eksploitasi mineral golongan B dapat dilakukan baik
oleh perusahaan asing maupun Indonesia. Eksploitasi mineral golongan C dapat dilakukan oleh
perusahaan Indonesia maupun perusahaan perorangan. Adapun pelaku pertambangan di
Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu Negara, Kontraktor dan Pemegang KP
(Kuasa Pertambangan). Selanjutnya beberapa isu- isu penting permasalahan pada
pertambangan, adalah ketidakpastian kebijakan, penambangan liar, konflik dengan masyarakat
lokal, konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya.
Konflik Sektor Pertambangan dengan Sektor Lainnya

Dalam hal ini misalnya konflik dalam penataan dan pemanfaatan ruang, pelestarian
lingkungan, serta konflik pertambangan dengan sektor kehutanan dalam penggunaan lahan
hutan lindung untuk kegiatan pertambangan. Penyebab konflik sektor pertambangan dengan
sektor lain, antara karena:
1. Sulitnya Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover dalam penataan
ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi lahan berdasarkan fungsinya, seperti
permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagainya. Sementara land cover
merupakan alokasi lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun,
lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak termasuk ke dalam keduanya, karena
kegiatan sektor pertambangan baru dapat berlangsung jika ditemukan kandungan potensi
mineral di bawah permukaan tanah pada kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki
kandungan potensi mineral, belum tentu dapat dieksploitasi seluruhnya, karena terkait dengan
besaran dan nilai ekonomis kandungan mineral tersebut. Proses penetapan kawasan
pertambangan yang membutuhkan lahan di atas permukaan tanah membutuhkan waktu lebih
lama dibandingkan dengan proses penataan ruang itu sendiri.

2. Sering Dituduh sebagai ’Biang Keladi’ Kerusakan Lingkungan


Kerusakan akibat pertambangan dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca
pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan teknik pertambangan
yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik pertambangan tergantung pada jenis mineral
yang ditambang dan kedalaman bahan tambang, misalnya penambangan batubara dilakukan
dengan sistem tambang terbuka, sistem dumping (suatu cara penambangan batubara dengan
mengupas permukaan tanah). Beberapa permasalahan lingkungan yang terjadi akibat kegiatan
pertambangan, antara lain masalah tailing, hilangnya biodiversity akibat pembukaan lahan bagi
kegiatan pertambangan, adanya air asam tambang.
3. Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang dengan Lahan Kehutanan
Hutan merupakan ekosistem alami tempat senyawa-senyawa organik mengalami
pembusukan dan penimbunan secara alami. Setelah cukup lama, materi-materi organik tersebut
membusuk, akhirnya tertimbun karena terdesak lapisan materi organik baru. Itu sebabnya hutan
merupakan tempat yang sangat mungkin mengandung banyak bahan mineral organik, yang
potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang.
Saat ini pertambangan sering dilakukan di daerah terpencil, bahkan di kawasan hutan
lindung. Menurut TEMPO Interaktif (4 Maret 2003), terdapat 22 perusahaan tambang
beroperasi di kawasan hutan lindung dan sempat ditutup. Total investasi 22 perusahaan tersebut
mencapai US$ 12,2 miliar (Rp 160 triliun). Kegiatan pertambangan dinilai akan merusak
ekosistem hutan lindung, yang berfungsi sebagai kawasan konservasi.
“PERMEN Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan
Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara”

EVALUASI PENERBITAN IUP

1) Bupati/ walikota wajib menyampaikan dokumen perizinan di bidang


Mineral dan Batubara dalam rangka penanaman:
a. Modal dalam negeri dan WIUP-nya dalam 1 (satu) wilayah provinsi
beserta kelengkapannya kepada gubernur sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Modal asing kepada Menteri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi
terhadap dokumen perizinan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara
beserta kelengkapannya
Evaluasi terhadap penerbitan IUP dilakukan terhadap:
a. UP penyesuaian dari KP
b. KP yang belum berakhir jangka waktunya tetapi belum disesuaikan
menjadi IUP.
Berdasaerkan kriteria:
a. Administratif terdiri atas:
1) Pengajuan permohonan perpanjangan / peningkatan KP atau IUP
sebelum masa berlaku KP atau IUP berakhir
2) Pencadangan dan permohonan KP ditetapkan sebelum Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
3) KP Eksploitasi merupakan peningkatan dari KP Eksplorasi;
4) Tidak memiliki lebih dari satu KP atau IUP bagi badan usaha yang
tidak terbuka
5) Jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi tidak melebihi ketentuan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
6) Permohonan pencadangan wilayah tidak diajukan pada wilayah KK,
PKP2B, KP, atau IUP yang masih aktif dan sama komoditas
7) Jangka waktu IUP Operasi Produksi tidak boleh melebihi jangka
waktu KP Eksploitasi
8) KP yang masih berlaku setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
b. Kewilayahan terdiri atas:
1) WIUP tidak tumpang tindih dengan WIUP lain yang sama komoditas
2) WIUP tidak tumpang tindih dengan WPN
3) Tidak tumpang tindih dengan wilayah administratif kabupaten / kota
atau provinsi lain
4) Koordinat IUP Eksplorasi sesuai dengan koordinat pencadangan
wilayah
5) Koordinat IUP Operasi Produksi berada di dalam koordinat IUP
Eksplorasi
6) Koordinat IUP sejajar garis lintang bujur.
c. Teknis berupa:
1) Laporan Eksplorasi, bagi pemegang IUP Eksplorasi yang belum
memasuki tahapan kegiatan Studi Kelayakan
2) Laporan Eksplorasi dan Studi Kelayakan, bagi pemegang IUP
Eksplorasi yang sudah memasuki tahapan kegiatan Studi Kelayakan
atau pemegang IUP Operasi Produksi
d. Lingkungan berupa dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh
instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
e. Finansial berupa:
1) Bukti pelunasan iuran tetap sampai dengan tahun terakhir saat
penyampaian, bagi pemegang IUP Eksplorasi
2) Bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi (royalti) sampai
dengan tahun terakhir saat penyampaian, bagi pemegang IUP
Operasi Produksi.
3) Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi belum melakukan penambangan
dan/ atau penjualan, kriteria finansial berupa surat keterangan dari pemerintah
daerah setempat dan bukti pelunasan iuran tetap.
Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi administratif yang dilakukan oleh
Direktur Jenderal atau gubernur terdapat:
a. Pengajuan permohonan perpanjangan atau peningkatan KP atau IUP
setelah masa berlaku KP atau IUP berakhir
b. Pencadangan dan permohonan KP ditetapkan setelah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
c. Permohonan pencadangan wilayah diajukan pada wilayah KK,
PKP2B, KP, atau IUP yang masih aktif dan sama komoditas.
Direktur Jenderal atau gubernur melakukan pencabutan IUP.
4) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi administratif yang dilakukan
oleh Direktur Jenderal atau gubernur terdapat:
a. Lebih dari satu IUP bagi badan usaha yang tidak terbuka, Direktur
Jenderal atau gubernur:
1) Menggabungkan WIUP apabila WIUP-nya berimpit, memiliki
komoditas sama, dan tahapan kegiatan sama, serta menerbitkan IUP
baru berdasarkan WIUP hasil penggabungan; atau
2) Memerintahkan pemegang IUP untuk memindahkan IUP
kepada badan usaha baru dengan ketentuan pemegang IUP
memiliki paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
saham pada badan usaha baru dan menerbitkan IUP
baru hasil pemindahan atas nama badan usaha baru.
b. Jangka waktu berlakunya IUP Eksplorasi melebihi ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Direktur Jenderal atau gubernur melakukan penyesuaian
jangka waktu IUP Eksplorasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
c. Jangka waktu IUP Operasi Produksi melebihi jangka waktu KP
Eksploitasi, Direktur Jenderal atau gubernur melakukan penyesuaian
jangka waktu IUP Operasi Produksi sesuai dengan jangka waktu KP
Eksploitasi
d. Tumpang tindih WIUP dengan WIUP lain yang sama komoditas,
Direktur Jenderal atau gubernur melakukan:
1) Penciutan WIUP, apabila sebagian WIUP tumpang tindih; atau
2) Penerapan sistem pencadangan wilayah permohonan pertama yang
telah memenuhi persyaratan mendapat prioritas pertama untuk
diberikan IUP (first come first served), apabila seluruh WIUP
tumpang tindih.
e. WIUP tumpang tindih dengan WPN, Direktur Jenderal atau gubernur
melakukan:
1) Penciutan WIUP yang masuk WPN, apabila sebagian WIUP
tumpang tindih
2) Pencabutan IUP, apabila seluruh wiup tumpang tindih dengan WPN.
f. Koordinat IUP Eksplorasi tidak sesuai dengan koordinat pencadangan
wilayah, Direktur Jenderal atau gubernur melakukan:
1) Perubahan koordinat yang tertuang dalam perubahan keputusan
penerbitan IUP Eksplorasi, apabila WIUP eksplorasi masih berada di
dalam pencadangan wilayah
2) Pencabutan IUP Eksplorasi, apabila seluruh koordinat berada di
luar pencadangan wilayah.
g. Koordinat IUP Operasi Produksi tidak berada di dalam koordinat IUP
Eksplorasi, Direktur Jenderal atau gubernur melakukan:
1) Perubahan koordinat yang tertuang dalam perubahan keputusan
penerbitan IUP Operasi Produksi apabila berada di luar koordinat
IUP Eksplorasi
2) Pencabutan IUP, apabila selurub koordinat IUP Opcrasi Produksi
berada di luar koordinat IUP Eksplorasi.
h. Koordinat IUP tidak sejajar garis lintang bujur, Direktur Jenderal atau
gubernur melakukan perubahan koordinat menjadi sejajar garis lintang
bujur yang tertuang dalam perubaban keputusan penerbitan IUP.
3. Dalam hal berdasarkan basil evaluasi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal
atau gubernur, pemegang IUP Operasi Produksi tidak memenuhi kriteria
diatas ( seluruh poin 2 dikenakan sanksi administratif oleh Menteri atau
Gubernur berdasarkan kewenangannya.)

“PERMEN Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penetapan Wilayah


Usaha Pertambangan Dan Sistem Informasi Wilayah Pertambangan
Mineral Dan Batubara”
PENYIAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN

1. WP dapat terdiri atas WUP yang meliputi:


a. WUP radioaktif;
b. WUP mineral logam;
c. WUP batubara;
d. WUP mineral bukan logam; dan/atau
e. WUP batuan.
2. Penetapan WUP mineral logam atau WUP batubara ditetapkan oleh Menteri
setelah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Memiliki formasi batuan pembawa batubara dan/atau formasi batuan
pembawa mineral logam, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta
geologi;
b. Memiliki singkapan geologi untuk mineral logam danlatau batubara;
c. Memiliki potensi sumber daya mineral logam dan/atau
batubara;
d. Memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral logam termasuk mineral
ikutannya dan/atau batubara;
e. Tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN;
f. Merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
pertambangan secara berkelanjutan
g. Merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan
rencana tata ruang.
3. Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP mineral bukan
logam dan WUP batuan sebagaimana kepada gubernur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk:
a. WUP mineral bukan logam dan WUP batuan yang berada pada lintas
kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi
b. WUP mineral bukan logam dan WUP batuan dalam 1 (satu)
kabupaten/kota.
Menteri menetapkan WUP mineral bukan logam dan WUP batuan setelah
berkoordinasi dengan gubernur dan bupatilwalikota setempat dan instansi
terkait. Koordinasi dengan instansi terkait berkaitan dengan WUP sebagai
kawasan peruntukan pertambangan dalam rencana tata ruang wilayah
nasional yang disusun berdasarkan 7 (tujuh) pulau atau gugusan kepulauan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penataan
ruang.
4. Menteri dalam menetapkan WUP mineral radioaktif, WUP mineral logam
dan WUP batubara dapat tumpang tindih dengan WUP mineral bukan logam
atau WUP batuan maka instansi yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang ketenaganukliran harus melakukan koordinasi dengan
pemegang WIUP mineral logam, WIUP mineral bukan logam, WIUP batuan
dan/atau WIUP batubara dalam rangka untuk membuat perjanjian kerjasama
pengusahaan WIUP yang tumpang tindih, dengan prinsip saling
menguntungkan. Lnstansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenaganukliran mengajukan penugasan kepada Menteri dalam
rangka penetapan WIUP mineral radioaktif disertai dengan perjanjian ke
sesama pengusahaan WIUP yang tumpang tindih.
5. Dalam hal WUP mineral bukan logam atau WUP batuan tumpang tindih
dengan WUP mineral logam atau WUP batubara maka dalam WUP mineral
bukan logam atau WUP batuan tidak berlaku ketentuan untuk mendapatkan
hak prioritas atau hak keutamaan untuk mengusahakan mineral logam dan
batubara dalam WIUP mineral bukan logam atau WIUP batuan.
6. Penyiapan WIUP mineral logam atau WIUP batubara dari WIUP yang
dikembalikan atau WIUP yang berakhir disusun berdasarkan data dan
informasi hasil eksplorasi, studi kelayakan, dan/atau penambangan yang
dilakukan oleh:
a. Pemegang IUP
b. Kontraktor KK; dan/atau
c. Kontraktor PKP2S
SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN

1. Sistem informasi WP dimaksudkan untuk penyeragaman, antara lain:


a. sistem koordinat;
b. peta dasar yang diterbitkan oleh instansi Pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan
nasional
c. Peta WP, WUP, WPR, WPN, atau WIUP mineral radioaktif, mineral
logam, mineral bukan logam, batuan, dan batubarayang mencantumkan
antara lain:
1) batas, koordinat, dan luas
2) kodefikasi WUP, WPR, WPN, atau WIUP
3) batas administratif
4) status penggunaan lahan
5) keterangan peta, antara lain skala garis, sumber peta, dan lokasi peta;
dan
6) pengesahan peta WUP, WPR, WPN, atau WIUP.

Anda mungkin juga menyukai