Stroke Pada Anak
Stroke Pada Anak
Disusun oleh:
NIVIA TOMASOA
NIM. 2018-84-046
Pembimbing:
dr. Laura B. S. Huwae., Sp.S,.M.Kes
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan pembuatan
referat dengan judul “Stroke Pada Anak” ini dengan baik. Referat ini dibuat dalam
rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Pattimura Ambon tahun 2019.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga referat
ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan terima aksih atas segala pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian pembuatan referat ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI Iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko 4
2.4 Patofisiologi 5
2.5 Manifestasi Klinis 8
2.6 Pemeriksaan Fisik 10
2.7 Pemeriksaan Penunjang 11
2.8 Diagnosis Banding 17
2.9 Penatalaksanaan 18
2.10 Pencegahan 22
2.11 Komplikasi dan Prognosis 22
BAB III PENUTUP 23
DAFTAR PUSTAKA 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Terapi dari stroke anak masih menjadi kontroversial. Data efektivitas
penggunaan trombolitik pada stroke anak belum ditemukan dikarenakan
penggunaannya pada anak masih belum banyak dilakukan. Terapi pencegahan
primer dapat diberikan sama seperti pada pencegahan primer stroke dewasa.
Pemberian anti-koagulan dan anit-platelet terbukti mampu mencegah terjadinya
stroke pada anak dengan faktor resiko yang tinggi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut WHO, stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih, atau menyebabkan kematian, tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke pada anak-anak dapat dibagi
berdasarkan umurnya yakni stroke neonatal atau perinatal dan stroke anak. Stroke
pada neonatal atau perinatal merupakan stroke yang terjadi pada usia 28 minggu
gestasi hingga hari ke 28 post-melahirkan. Stroke pada anak merupakan stroke
yang terjadi pada usia 28 hari hingga 18 tahun.1
2.2 Epidemiologi
Hemiplegia sekunder diakibatkan gangguan vaskular terjadi pada anak
dengan insidensi 1-3/100.000 per tahun.2 Insidensi terjadinya stroke anak pada
Amerika Serikat adalah 2-3/100.000 per tahun dan 13/100.000 per tahun pada
Perancis. CPISR melaporkan bahwa insidensi terjadinya stroke iskemik pada anak
dengan usia dibawah 18 tahun adalah 2.7/100-000 per tahun. CPISR melaporkan
bahwa 40% kasus stroke terjadi di bawah 1 tahun dengan rasio perbandingan pria
dan wanita 1.5:1. Pada NHDS dari tahun 1980 hingga 1998, dari anak berumur 0
hingga 18 tahun, insidensi terjadinya stroke adalah 13.5/100.000 per tahun. Stroke
hemoragik dilaporkan International Classification of Diseases terjadi dengan
insidensi 2.9/100.000 per tahun dan stroke iskemik terjadi dengan insidensi
7.8/100 000 per tahun. Tingkat kematian pada anak-anak disebabkan oleh stroke
lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan begitu pula dengan ras kulit hitam
dibandingkan dengan kulit putih. Angka kematian kasus anak stroke dilaporkan
berkisar antara 7% sampai 28%.3,6
3
Stroke dapat terjadi pada anak usia berapa saja. Insidens tertinggi dijumpai
pada usia <2 tahun, dan kemudian menurun sesuai dengan pertambahan usianya.
Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara kedua jenis kelamin.7
4
3. Idopatik6,9
Penyebab pasti pada pasien hemiplegia akut pada anak kadang tidak
diketahui. Pada penelitian didapatkan 25 kasus hemiplegia ternyata tanpa
sebab yang jelas dan angiografi pada 7 pasein kelompok ini ternyata normal
semua. Dan umumnya, hemiplegia yang terjadi selalu didahului kejang.
Etiologi yang pasti untuk hemiplegia akut pada bayi dan anak disertai kejang
sering tidak dapat ditentukan dengan pasti.
2.4 Patofisiologi
Otak merupakan organ yang memerlukan suplai oksigen secara adekuat
dan konsisten. Konsitensi dari suplai oksigen tersebut dipantau oleh baroreseptor
dan refleks vasomotor yang diatur pada pusat kendali yang terdapat pada batang
otak bagian inferior. Infark serebri dapat terjadi apabila terdapat blokade total dari
aliran pembuluh darah otak selama lebih dari 5 menit. Jaringan otak yang kurang
mendapatkan suplai oksigen mengalami nekrosis iskemik atau infark yang pada
sediaan patologi anatomi disebut sebagai zona perlembekan atau ensefalomalasia.
Obstruksi dari arteri yang diakibatkan thrombus atau emboli dapat menyebabkan
kerusakan iskemia fokal sedangkan apabila terjadi kegagalan sirkulasi dan
hipotensi dikarenakan kegagalan jantung atau syok, dapat menimbulkan
kerusakan iskemia fokal hingga kerusakan iskemia difus.
1. Faktor vaskular
Autoregulasi serebrovaskular merupakan keadaan pasif dari pembuluh
darah otak yang mengikuti MAP (Mean Arterial Pressure). MAP antara
50-150 mmHg merupakan batasan yang dapat diakomodasikan oleh
pembuluh kecil untuk menyesuaikan aliran darah ke otak. Daya akomodasi
ini dapat gagal apabila tekananan darah terlalu tinggi, sehingga
menyebabkan pecahnya dinding pembuluh darah kecil atau penurunan
aliran darah ke otak secara mendadak.
Infark serebri pada dasarnya terdiri atas dua proses patologis yaitu
hilangnya suplai oksigen dan glukosa dikarenakan oklusi pembuluh darah
5
arteri dan gangguan metabolisme yang diakibatkan perubahan struktur sel
dan apoptosis sel jaringan otak.
Pada bagian tengah struktur stroke iskemik adalah zona infark.
Jaringan yang nekrosis mengalami pembengkakan akibat cairan
ekstraseluler dan intraseluler yang berlebihan. Anoksia dapat
menyebabkan nekrosis dan pembengkakan jaringan otak sehingga
kekurangan oksigen merupakan faktor utama terjadinya infark dan
ensefalopati anoksia. Efek yang ditimbulkan dari proses iskemia
tergantung pada derajat dan durasinya yang dapat menimbulkan gangguan
fungsional yang bersifat reversibel atau gangguan struktural yang bersifat
irreversibel.
Zona penumbra merupakan zona yang dipertahankan dalam proses
pengobatan stroke iskemik. Zona ini berada pada bagian marginal zona
iskemik dimana zona penumbra merupakan zona yang bersifat reversibel.
Sel neuron yang terdapat pada zona ini merupakan sel yang dianggap
sebagai tidur akibat iskemia dan dapat bangun kembali apabila direperfusi
kembali dalam waktu tertentu. Olsen dan kawan-kawan menemukan
bahwa zona penumbra merupakan zona dengan perfusi yang rendah, akan
tetapi daerah marginal dari penumbra tersebut memiliki perfusi jaringan
yang berlebih. Peningkatan tekanan darah dan hemodilusi dari darah
dipercaya dapat mempertahankan dan memperbaiki jaringan penumbra
tersebut.
2. Faktor metabolik dan fisiologik
Pada artikel yang ditulis oleh Ames dan Nesbett pada tahun 1983
mengenai penelitian tentang retina kelinci, ditemukan bahwa sel dapat
bertahan tanpa suplai oksigen dalam waktu kurang dari 20 menit. Setelah
30 menit mengalami anoksia, sel tersebut akan mengalami kerusakan yang
bersifat ireversibel. Hipoglisemia dapat menurunkan toleransi sel terhadap
keadaan hipoksia dan menurunkan kebutuhan metabolisme sel dapat
meningkatkan toleransi sel terhadap keadaan hipoksia. Suhu tubuh juga
menentukan faktor penting dalam infark jaringan, penurunan suhu
6
sebanyak 2-3o dapat menurunkan metabolisme sel neuron dan
meningkatkan toleransi terhadap hipoksia 25-30%.7
Studi yang dilakukan Heiss dan Siesjo bahwa aliran darah ke otak
(Cerebral Blood Flow) merupakan faktor yang mempengaruhi fungsi sel
syaraf. Pada orang normal, aliran darah otak adalah 50-100 ml/100
mg/min. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa aliran darah ke otak yang
kritis adalah 12-23 ml/100 mg/min tetapi jika direperfusi secepatnya akan
normal kembali fungsinya. Pada level tersebut, terjadi penurunan
kecepatan EEG, kenaikan kalium dan penurunan ATP disertai penurunan
kreatin fosfat. Penurunan aliran darah otak hingga 6-8 ml/100mg/min
menyebabkan penurunan ATP yang signifikan, peningkatan kalium
ekstraselular, peningkatan kalsium intraselular, dan asidosis sel yang
berakhir pada proses nekrosis sel.
Neurotransmiter yang dikaitkan dengan patofisiologi stroke adalah
glutamat dan aspartat yang dikeluarkan oleh sel yang mengalami iskemia.
Kedua neurotransmiter tersebut mempunyai efek berupa eksitasi sel
neuron dan influks Na dan Ca intraselular. Terapi yang dicobakan terhadap
proses terjadinya eksitasi sel neuron ini berupa obat yang memblok
reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) yang terbuka dalam keadaan
iskemik dan mengaktifkan kaskade yang menyebabkan terjadinya
kematian sel.
Penurunan ATP dalam metabolisme otak menyebabkan terjadinya
peningkatan asam laktat pada jaringan otak yang berakibat kepada asidosis
sel. Kadar glukosa yang tinggi dalam jaringan otak dipercaya dapat
memperburuk keadaan asidosi sel dikarenakan proses glikolisis anaerob
yang meningkat sehingga menimbulkan penimbunan asam laktat yang
tinggi dalam jaringan otak. Penelitian yang dilakukan Plum mengatakan
bahwa kadar glukosa yang dijaga secara teratur dapat menurunkan resiko
terjadinya infark serebri pada pasien diabetes, pasien lain yang rentan
terhadap stroke dan pasien hiperglisemia.8
7
3. Faktor hematologi
Adanya gangguan faktor trombosis darah seperti heparin kofaktor 2,
antitrombin III, protein C, dan protein S dapat mengakibatkan terjadinya
thrombus pada satu atau beberapa tempat tanpa didahului cedera vaskular.
Protein C merupakan protease yang bergantung pada vitamin K yang
berkombinasi dengan protein S bersama dengan antitrombin III sebagai
anti koagulan. Adanya defisiensi dari faktor-faktor tersebut dapat
menimbulkan terjadinya trombosis pada arteri dan vena yang sering
menyebabkan stroke pada usia muda. Antikoagulan lupus dan antibodi
antikardolipin juga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi yang
abnormal pada pembuluh darah arteri dan vena.
8
bahasa (mis., Afasia) dan kesulitan bicara, defisit visual, dan sakit kepala. Jika
gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam, mereka didefinisikan sebagai serangan
iskemik sementara (TIA). Defisit sering singkat dan dapat diselesaikan secepat
satu jam. Anak-anak yang lebih besar bahkan mungkin dapat melaporkan episode
sebelumnya dari tanda-tanda atau gejala yang mencurigakan. Data terbaru
menunjukkan bahwa 33% anak-anak dengan stroke arteri memiliki TIA
sebelumnya yang tidak terdiagnosis pada waktu itu.6
Jenis-jenis stroke spesifik juga akan muncul secara berbeda pada setiap
kelompok umur. Sebagai contoh, trombosis sinus vena dapat muncul pada semua
umur dengan demam dan letargi, tetapi bayi muda dapat menunjukkan riwayat
penurunan intake oral atau distress pernapasan. Pemeriksaan fisik dapat
mengungkapkan pembuluh darah kepala yang melebar, pembengkakan kelopak
mata, atau anteriorfontanelle yang besar sedangkan anak yang lebih besar
kemungkinan akan hadir dengan tanda-tanda yang berkembang lebih lambat,
seperti muntah, sakit kepala, atau tanda-tanda lain dari peningkatan tekanan
intrakranial.6
Perdarahan subaraknoid juga dapat muncul sebagai iritabilitas dan fontanel
yang menggembung pada bayi, tetapi harus dicurigai pada anak yang lebih tua
yang mengeluh sakit kepala onset akut mendadak, nyeri leher, meningismus, atau
fotofobia.6
Presentasi klinis juga berguna untuk melokalisasi lesi. Mayoritas stroke
iskemik pediatrik terjadi dalam distribusi arteri serebral media, yang
menghasilkan hemiplegia dengan dominasi ekstremitas atas, hemianopsia, atau
disfasia. Terutama kelemahan ekstremitas bawah akan menunjukkan keterlibatan
arteri serebral anterior sedangkan vertigo, ataksia, dan nistagmus konsisten
dengan kejadian iskemik dalam sirkulasi posterior. Disfungsi bulbar dan disartria
menunjukkan keterlibatan batang otak yang lebih rendah sedangkan aphasia
menunjukkan keterlibatan ganglia basal, thalamus, atau hemisfer serebral. Jika
hemisfer terlibat, maka mata akan melihat ke arah lesi daripada menjauh seolah-
olah batang otak itu terlibat.6
9
Manifestasi klini tergantung juga pada penyakit primernya. Terdapat tiga
bentuk perjalanan penyakit yang bisa ditemuka pada stroke pada anak.9 Bentuk
apoplektik, bentuk ini sering terjadi, biasanya disetai kejang. Selain itu terdapat
pula penurunan kesadaran dan hemiplegia. Status epileptikus merupakan gejala
yang pertama. Kejang klonik ini biasanya fokal dan dapat berkembang ke arah
kontralateral dengan bentuk yang berat pada bagian tubuh yang semula terkena.
Hemiparesis biasanya jenis flaksid, tampak pada saat kejang berakhir dan
terutama yang terkena adalah muka dan anggota gerak bagian atas. Reflex tendo
dalam menurun atau bahkan hilang sama sekali selama masa akut. Ditemukan
refleks plantar patologis, hemianopsia, dan afasia. Anggota gerak bagian bawah
akan membaik terlebih dahulu, diikuti kemudian oleh anggota gerak bagian atas.
Pada beberapa kasus, hemiplegia terjadi selama satu bulan atau lebih dan secara
bertahap membaik, hingga hilang sama sekali.9
Bentuk akut, hemiplegia dapat terjadi tiba-tiba tanpa kejang. Dapat pula
disertai dengan perubahan status kesadaran atau bila terganggu, hanya untuk
waktu yang singkat. Pada penelitian ternyata bentuk tanpa kejang ini banyak
berkaitan dengan sumbatan pembuluh darah otak. Bentuk intermiten biasanya
pasien mengalami masa kelumpuhan atau kelemahan hilang timbul kadang
disertai dengan migren.9
10
3. Speech: Ajak anak untuk berbicara/ mengulang kalimat sederhana.
Apakah ada kata-kata yang tidak jelas/ bicara pelo? Dapatkah anak
mengulang kalimat dengan benar?
4. Time: Jika anak menunjukkan tanda-tanda di atas, waktu adalah sangat
penting, segera bawa anak ke rumah sakit.
11
eritrosit ini menyebabkan eritrosit bersifat kaku dan tidak dapat diubah
sehingga terjadinya stasis dari aliran pembuluh darah. Penyakit ini juga
dapat dideteksi dengan elektroforesis Hb.
2) Laju endap darah
Peningkatan laju endap darah memberikan informasi terdapat
penyakit inflamasi sistemik atau terjadinya peradangan vaskular
(vaskulitis). Pemeriksaan LED dilakukan pada pasien yang dicurigai
dengan arteritis temporalis pada pasien muda dan pasien yang lebih tua
(> 40 tahun) dengan stroke yang tidak diketahui penyebabnya. Laju
endap darah umumnya sangat tinggi (>55 mm/jam) pada penderita
arteritis temporalis.12
3) Pemeriksaan koagulasi
Pemeriksaan meliputi PT (Prothrombin time), PTT (Partial
thromboplastin time), activated partial thromboplastin time (APTT),
dan fibrinogen. Peningkatan kadar fibrinogen di hubungkan dengan
peningkatan risiko stroke. Kadar fibrinogen yang tinggi akan
meningkatkan viskositas darah dan risiko terjadinya trombosis.11
4) C-reactive protein (CRP)
Peningkatan CRP merupakan faktor resiko dari terjadinya
penyakit jantung coroner, penyakit arteri perifer dan stroke. CRP
merupakan protein fase akut yang meningkat pada proses inflamasi,
khusunya inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah. Resiko stroke
meningkat apabila kadar CRP >1.08 mgl/L.
5) Pemeriksaan kadar glukosa darah
Keadaan hipoglikemia dan hiperglikemia dapat menimbulkan
terjadinya kelainan neurologis. Pada keadaan gangguan kadar gula
darah dapat ditemukan penurunan kesadaran hingga koma, kejang,
perubahan status mental. Hipoglikemia dapat menyerupai stroke atau
transient ischemic attack (TIA), namun dapat juga terjadi setelah
stroke karena asupan makanan yang kurang atau akibat pemakaian
obat-obatan hipoglikemik. Hipoglikemik dapat memperparah
12
kerusakan neurologis, sehingga glukosa darah harus dimonitor secara
hati-hati pada pasien diabetes dan pada penggunaan obat-obatan
hipoglikemik.13
6) Pemeriksaan elektrolit
Kelainan elektrolit dapat menyebabkan terjadinya gangguan
kinerja otak terutama gangguan elektrolit natrium. Jika hiponatremia
mencerminkan hipoosmolalitas maka sel otak mengalami over hidrasi
sehingga menyebabkan sakit kepala, confusion dan bahkan kematian.
Sebaliknya hypernatremia hampir selalu menunjukkan
hiperosmolalitas, efeknya adalah sel otak mengalami dehidrasi
sehingga merangsang rasa haus, mental confusion dan selanjutnya
koma. Kelainan kalium, magnesium dan kalsium menghasilkan
kelainan pada susunan syaraf pusat maupun perifer kecuali kalium
yang lebih condong ke perifer. Penelitian di Jepang tentang gangguan
alektrolit pada pasien stroke akut melaporkan kejadian hipernatremia
(Na serum= 149 mEq/L), hiponatremia (=134 mEq/L), hiperkalemia
(serum K=4,8 mEq/l)dan hipokalemia (=3,2 mEq/L) lebih tinggi pada
pasien dengan stroke pendarahan dibandingkan pada pasien dengan
stroke iskemik. Hipernatremia, hiponatremia dan hiperkalemia lebih
banyak ditemukan pada stroke hemoragik dengan hematoma berukuran
besar. Pada pasien usia lanjut, gangguan elektrolit yang lebih umum
dari pada pasien usia muda atau setengah baya. Komplikasi
insufisiensi ginjal dan diabetes mellitus seringterjadi pada pasien
stroke dengan hipernatremia, yang 57% meninggal dalam waktu satu
bulan.14
7) Analisa gas darah
Dilakukan karena dapat mendeteksi keadaan diabetic ketoasidosis,
keadaan hipoksia dan keadaan hiperkapnia yang dapat menyebabkan
gangguan neurologis. Stroke secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi fungsi pusat respirasi di medulla yang menyebabkan
bermacam-macam gangguan pernafasan, diantaranya pernafasan
13
Cheyne Stokes (pola pernafasan periodik atau teratur dengan
hiperventilasi dan hipoventilasi secara bergantian, paling sering
terjadi). Pola pernafasan akan mempengaruhi hasil analisis gas darah;
pada pasien stroke dapat dijumpai alkalosis respiratorik maupun
asidosis respiratorik.
8) Pemeriksaan fungsi ginjal
Dilakukan untuk mengetahui adanya uremia yang dapat
menyebabkan gangguan neurologis yang menyerupai stroke.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pemeriksaan awal pasien stroke
adalah ureum dan kreatinin. Penurunan fungsi ginjal pada pasien
stroke akan meningkatkan risiko mortalitas. Pemeriksaan laju filtrasi
glomerulus (GFR) dapat digunakan sebagai indicator yang mudah
untuk menilai penyakit pembuluh darah kecil otak, mengingat bahwa
pen yakit pembuluh darah kecil otak berhubungan dengan
peningkatanrisiko stroke. Dua penelitian menunjukkan bahwa
penurunan fungsi ginjalyang dinilai dengan penurunan GFR berkaitan
dengan peningkatan prevalensiinfark subklinis pada MRI otak.15
9) Pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi hati pada pasien stroke dilakukan untuk
menyingkirkan ensefalopati hepatikum (salah satu keadaan yang dapat
menyerupai gejala stroke), dan untuk menyingkirkan etiologi stroke
(koagulapati sekunder akibat gangguan pada hepar).
10) ANA
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi penyakit autoimun
yang dapat menyebabkan terjadinya stroke atau membuat gejala mirip
dengan stroke. ANA dapat dideteksi dalam darah melalui tes ELISA
(Enzyme linked immunosorbent assay). ANA dikatakan positif apabila
dalam pemeriksaan ditemukan titer lebih sama dengan 1:160. ANA
juga dapat ditemukan pada orang normal dengan persentasi 5%
populasi manusia.16
14
2) Pemeriksaan CT-SCAN dan MRI
Merupakan standard baku dari diagnosis stroke pada anak. CT-
SCAN lebih diutamakan pada diagnosis stroke dikarenakan prosesnya
yang cepat seperti yang diketahui bahwa anak sulit sekali untuk diam
pada satu posisi dalam waktu yang lama seperti hal nya pada
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan CT-Scan dapat dibagi berdasarkan
CT-Scan tanpa kontras dan CT-Scan menggunakan kontras.
Pemeriksaan MRI dapat dibagi berdasarkan jenis Tesla yaitu T-1 dan
T-2. Pemeriksaan MRI T-1 dapat mendeteksi adanya perubahan
densitas dari jaringan otak pada waktu 8 jam setelah terjadinya
serangan. Sedangkan MRI T-2 dapat mendeteksi adanya perubahan
densitas dari jaringan otak pada waktu 3 jam setelah terjadinya
serangan.
3) Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan elektrokardiogram penting sekali dilakukan pada
pasien yang mengalami stroke atau yang dicurigai mengalami st roke.
Elektrokardiogram digunakan untuk mendeteksi adanya abnormalitas
dari kinjera listrik jantung yang mengakibatkan gangguna ritme
jantung (aritmia). Adanya aritmia jantung dapat mengakibatkan
15
terjadinya turbulensi darah pada ruang jantung yang menyebabkan
terjadinya trombus.
2. Pemeriksaan lini sekunder
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan dalam 1 minggu pertama
setelah masuk rumah sakit. Pemeriksaan yang dilakukan melalui
pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan lini primer seperti ekokardiografi,
monitor holter, transcranial and/or carotid doppler, MR, angiogram, EEG,
evaluasi hiperkoagubilitas, analisa cairan otak (jumlah sel, protein,
glukosa,laktat) dan profil lipid.
1. Ekokardiografi
Alat yang menggunakan frekuensi suara untuk dapat melihat ruang
dan katup jantung. Alat ini digunakan untuk mengevaluasi adanya
gumpalan pembekuan darah atau faktor resiko untuk pembekuan
darah yang dapat berjalan ke sistem peredaran darah otak dan
dapat menyebabkan stroke. Pemeriksaan ini bersifat invasif
sehingga membuat pasien tidak nyaman untuk dilakukan tindakan.
Pemeriksaan ini pada umumnya dilakukan untuk mendeteksi
kelainan jantung seperti atrial fibrilasi dan patensi foramen ovale.
2. Monitor holter
Dapat juga disebut sebagai elektrokardiografi portabel dimana
berfungsi untuk mencatat aktivitas elektrik dari sistem jantung
kurang lebih selama 24 jam. Monitor holter juga dapat digunakan
untuk memantau aktivitas otak (EEG).
3. Transkranial Doppler
Pencitraan Doppler transkranial dapat ditemukan dengan
menempatkan probe frekuensi rendah pada daerah temporal diatas
lengkung zigomatik. Peletakan probe pada transorbital digunakan
untuk melihat arter oftalmika, sedangkan peletakan probe pada
transforaminal digunakan untuk mengevaluasi sistem arteri
vertebrobasillar.
16
4. Pemeriksaan lumbal pungsi
Pada kasus stroke, lumbal pungsi dilakukan untuk mengeksklusi
adanya pendarahan subaraknoid (manifestasi berupa xantokromia
atau terdapat sel darah merah pada LCS) dan untuk mengekslusi
adanya sifilis meningovaskular. Pemeriksaan lumbal pungsi pada
anak yang mengalami meningitis penting dilakukan untuk
mengetahui etiologi dari penyebab terjadinya peradangan selaput
otak agar dapat segera diatasi dengan baik.
3. Pemeriksaan lini tersier
Merupakan pemeriksaan yang dilakukan secara elektif dan terdapat
indikasi dalam pelaksanaanya seperti pemeriksaan HIV, titer Lyme, titer
Mikoplasma, catsratch titers, MRI jantung, biopsi otot, test DNA untuk
MELAS, angiografi serebral (transfemoral), biopsy leptomening, dan
homositein serum.
17
diturunkan, juga bisa menyebabkan gejala seperti stroke, tanpa iskemik atau
hemoragik.
2.9 Penatalaksanaan6
Tata laksana stroke pada anak secara rasional ialah dengan mengetahui
secara pasti faktor predisposisi atau penyebabnya. Dalam hal ini pengobatan
penunjang, mencegah dan mengobati tekanan intracranial meninggi. Memberantas
kejang, fenomena emboli, dan mencegah gejala sisa.
1. Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang untuk mencegah dan mengurangi sekecil
mungkin kerusakan pada sel otak perlu dilakukan dengan segera. Penting
sekali mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenisasi terjamin,
bila perlu dilakukan intubasi atau trakeostomi. Penghisapan lender
dilakykan secara teratur dan pemberian oksigen.
Mengawasi secara ketat fungsi vital seperti kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernapasan dan fungsi jantung. Pemberian cairan intravena dan
elektrolit harus hait-hati dan denga teliti dimonitor. Pasien dengan
kelumpuhan akut atau perdarahan intraserebral dapat menyebabkan
terjadinya inappropriate anti diuretic hormone secretion (SIADH) yang
selanjutnya dapat menimbulkan edema otak. Pada pasien dengan anemia
sickle cell, hemokonsentrasi atau demam, kebutuhan cairan harus
ditingkatkan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan pengentalan darah.
2. Pengobatan TIK
Mengurangi volume cairan serebrospinal, pemberian dekamethasone
menginhibisi ATP-ase yang diaktivasi natrium atau kalium pada pleksus
koroid dan memperbaiki aliran keluar dan reabsorpsi CSS. Pemberian
asetolamid dengan dosis 100mg/KgBB/hari mengurangi produksi CSS
melalui inhibisi enxim karbonik anhydrase. Pungsi ventrikel atau
pengukuran CSS untuk menurunkan tekakan intracranial tetapi
pengeluaran cairan ventrikel yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kolaps ventrikel.
18
Pengurangan volume jaringan otak dapat dicapai dengan mengurangi
pemberian cairan sebanyak 50-60% kebutuhan cairan harian. Pemberian
cairan disesuaikan agar tekanan vena sentralis normal rendah, produksi
urine 0,1-1 ml/KgBB/jam dengan kadar elektrolit, osmolaritas serta
tekanan darah yang normal. Osmoterapi dilakukan dengan pemberian
larutan hipertonik yang akan menarik cairan eksravaskular ke dalam
pembuluh darah otak. Dapat diberikan manitol dalam larutan 20% dengan
dosis 0,25-1 g/KgBB/iv selama 10-30 menit tiap 4-6 jam. Atau dapat
diberikan Gliserol dengan kadar 10 g/dl dapat diberikan dengan dosis 1
g/KgBB/iv selama 30 menit dan dapat diulangi tiap 2 jam.
Pemberian diuretic tubular yang kuat dapat menurunkan tekanan
intracranial dengan efektif melalui berkurangnya cairan tubuh total, tonus
pembuluh darah dan produksi CSS. Obat yang dianjurkan adalah
furosemide dengan dosis 1 mg/KgBB/iv. Furosemide dapat langsung
mempengaruhi metabolism dan mencegah edema astroglia.
Kortikosteroid dapat mengurai edema dan memperbaiki intergritas
membrane melalui efek langsung pada fungsi sel endotel dalam
mempertahnkan premeabilitasnya. Pemberian dexamethasone dengan
dosis 1 mg/KgBB/hari/iv dalam 4 dosis dan diturunkan bila tekanan
intracranial menurun. Umumnya dosis yang dipakai adalah 0,1-0,2
mg/KgBB tiap 6 jam.
Volume darah intracranial dapat dipengaruhi oleh pengawasan
hipertensi arterial dengan menginduksi terjadinya vasokontriksi pembuluh
darah serebral melalui hiperventilasi, menurunkan metabolism otak,
menunjang oksigenasi dan meningkatkan drinasi pembuluh darah balik
serebral. Peningkatan tekanan darah sistemik mempercepat perluasan
edema serebri vasogenik terutama pada keadaan kerusakan autoregulasi
serebrovaskuler. Tekanan darah dipertahankan rata-rata 60-90mmHg
untuk mendapatkan tekanan perfusi cerebral 50-70mmHg.
Pasien juga diposisikan setengah duduk dengan mengakat kepala
setinggi 20-30 derajat dan dalam posisi netral. Keadaan ini melancarkan
19
aliran darah balik sehingga terjadi penurunan tekanan intracranial. Kepala
yang miring ke salah satu sisi menghambat aliran vena jugularis dan
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial.
3. Kejang
Bila pasien datang dalam keadaan status epileptikus harus segera
dihentikan. Obat pilihan utama adalah diazepam yang diberikan secara
intravena untuk menghentikan kejang secepat mungkin. Bila kejang tidak
berhenti timbul peningkatan metabolism dan anoksia yang dapat
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Dosis diazepam tergantung
berat badan. Dosis rata-rata 0,3 mg/KgBB/kali dengan maksimum 5 mg
pada anak berumur kurang dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih
besar. Dapat juga diberikan melalui rectum dengan dosis 0,4-0,6
mg/KgBB.
4. Antikoagulan
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) atau Unfractionated
Heparin (UFH) dengan cara infus 10-15 unit/KgBb/hari dan dosis dapat
dinakikan 5 unit/KgBB/hari tergantung dari partial thromboplastin time
(PTT). Pada hipertsnsi, kelainan perdarahan dan infrak hemoragik,
antikoagulan tidak boleh diberikan.
20
Tabel 2.1 Protokol penggunaan LMWH pada anak-anak9
21
intraventrikular ataupun evakuasi bedah. Pada kasus seperti ini dibutuhkan
konsultasi dengan ahli bedah saraf.
2.10 Pencegahan
Berupa screening pada anak-anak. Penyakit trombofilia merupakan
penyakit yang sering ditemukan pada anak dan bersifat diturunkan. Apabila
ditemukan pasien stroke anak memiliki trombofilia, maka dapat dipastikan bahwa
dalam keluarga tersebut juga memiliki kondisi tersebut dan persentase terjadinya
stroke pada usia muda menjadi tinggi.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stroke merupakan penyakit yang sering menyerang orang tua akan tetapi
dapat jugaStroke merupakan penyakit yang sering menyerang orang tua akan
tetapi dapat juga menyerang bayi, anak, orang dewasa muda dan bahkan dapat
terjadi sebelum kelahiran. Stroke pada menyerang bayi, anak, orang dewasa muda
dan bahkan dapat terjadi sebelum kelahiran. Stroke pada anak merupakan stroke
yang jarang ditemukan
Stroke pada anak sama seperti pada stroke pada orang dewasa dimana
terdapat stroke iskemik dan hemoragik. Pada stroke anak, stroke iskemik
merupakan stroke yang sering terjadi pada anak. Stroke pada anak sering
disebabkan dikarenakan kelainan kongenital dan sering disebabkan dikarenakan
kelainan kongenital dan genetic. Stroke pada anak Stroke pada anak lebih sering
merupakan komplikasi penyakit lain seperti penyakit jantung sianotik dan lebih
sering merupakan komplikasi penyakit lain seperti penyakit jantung sianotik dan
hemoglobinopati. Secara garis besar penyakit serebrovaskuler pada anak berbeda
dari dewasa dalam hal; pada anak lebih sulit untuk didiagnosis, faktor risiko yang
berbeda, disfungsi yang disebabkan oleh stroke pada anak lebih sedikit
dibandingkan dengan stroke pada dewasa dengan lesi yang sama.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada stroke anak dapat dibagi
menjadi pemeriksaan lini primer, sekunder dan tersier. Pemeriksaan lini primer
merupakan pemeriksaan yang dilakukan dalam waktu 24 jam seperti pemeriksaan
darah lengkap, CT-Scan (Golden Standard), dan EKG. Pemeriksaan primer
mewakili penyebab tersering terjadinya stroke pada anak berupa stroke iskemik
yang disebabkan kelainan darah ataupun kelainan jantung yang bersifat didapat.
Pemeriksaan sekunder merupakan pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan primer
agar diketahui pasti penyebab dari stroke pada anak.
23
Terapi dari stroke anak masih menjadi kontroversial. Data efektivitas
pengguna menjadi kontroversial. Data efektivitas penggunaan trombolitik pada
stroke anak belum belum ditemuka dikarenakan penggunaanny pada anak masih
belum banyak dilakukan. Terapi pencegahan primer dapat diberikan sama seperti
pada pencegahan primer stroke dewasa. Pemberian anti-koagulan dan anti-platelet
terbukti mampu mencegah terjadinya stroke pada dewasa.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th
ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1854-7.
2. Bourgeois M, Aicardi J, Goutières F: Alternating hemiplegia of childhood. J
Pediatr 1993;122:673.
3. Kramarow E, Lentzner H, Rooks R, Weeks J, Saydah S. Health and Aging
Chartbook, United States, 1999. Hyattsville, MD: National Center for Health
Statistics; 1999.
4. Ladurner G, Fritsch G, Sager WD, Oberbauer R. Computer tomography in
children with stroke. Eur Neurol. 1982;(21):235-241.
5. Mathews KD. Stroke in Neonates and Children: Overview. In: Biller J, editor.
Stroke in Children and Young Adults. Newton, MA: Butterworth-
Heinemann;1994.p.15-29.
6. Tsalim S S, Sofyan I. Buku Ajar Neurologi Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: 1999.
7. Richard S. Snell. Clinical Neuroanatomy. ed.7. China: Williams & Wilkins.
2010.
8. Ames A, Nesbett FB: Pathophysiology of ischemic cell death: I. Time of
onset of irreversible damage: Importance of the different c omponents of the
ischemicinsult. Stroke 14:219.1983.
9. Daniel S T, Jonathan H V. Pediatric Stroke: A Review. Emergency Medicine
International. 2011.
10. National Stroke Assotiation. Kids and Stroke. Centennial; 2010
11. Setiabudy RD, editor. Hemostasis dan Trombosis. Departemen Patologi
Klinik FKUI/ RSCM. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
12. Caplan LR. Caplan’s Stroke: A Clinical Aproach. 4th ed ition. Philadelphia.
Elsivier Saunders; 2009.
13. Warlow CP, Dennis MS, van Gijn J, Hankey GJ, Sandercock PAG, Bamford
JM, Wardlaw J. What caused this transient or persisting ischaemic event?
25
Dalam: Stroke: A Practical Guide to Management. London. Blackwell
Science;1997.
14. Kusuda K, Saku Y, Sadoshima S, Kozo I, Fujishima M. Disturbances of Fluid
and Electrolyte Balance in Patients With Acute Stroke. Nippon Ronen
Igakkai Zasshi;1989;26(3):223-7.
15. Ikram MA, Vernooij MW, Hofman A, Niessen W, van der Lugt A, Breteler
MMB. Kidney Function Is Related to Cerebral Small Vessel Disease. Stroke.
2008;39:55.
16. The Nuclear Antibody Test: What It Means. Lupus Foundation of America.
17. R Pinzon. Laporan Kasus Stroke Pada Anak. CDK-191. 2011(3):29.
18. Abram HS. Childhood Strokes: Evaluation and Management. Available from:
http://www.asha.org/research/facts/stroke.htm.
19. American Heart Association. Basic Life Support for Healthcare Providers and
Advanced Cardiac Life Support. Acute Ischemic Stroke: New Concepts of
Care 1998-1999. Genentech Inc. Emergency Stroke Evaluation & Diagnosis.
St. Louis. Washington University School of Medicine Depart ment of
Neurology; 2010.
26