Anda di halaman 1dari 86

Infeksi pada kehamilan: TORCH

Definisi

TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat

jenis penyakit infeksi yang menyebabkan kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma,

Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes.Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-

sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.

Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang

spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap

adanya benda asing (kuman.Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin

M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG).

Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai

keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa,

baik pria maupun wanita.Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan

kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka

ragam.

a. Toxoplasma

Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang

dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang

dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii yaitu suatu

parasit intraselluler yang menginfeksi pada manusia dan

hewan.Tboxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa

(Cocidia), pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus

gundi di Afrika Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908.
Tahun 1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali

oleh Castellan

b. Rubella

Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili

Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya

kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada wanita hamil penularan

ke janin secara intrauterin.Masa inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode

prodromal dapattanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa

lemah,demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini

agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin.

Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang menimbulkan

demam ringan dengan ruam yang menyebar dan kadang-kadang mirip

dengan campak.Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat

menimbulkan kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital terjadi

pada 90% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama

trimester pertama kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-

kira 10-20% pada minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena

infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.

c. Cyto Megalo Virus (CMV)

Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili

betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya lewat paparan

jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine, ludah, air

susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-

8 minggu.Pada kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin.


Pada bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan

gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa

perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat.

Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat;

sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan

tidak mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila seorang wanita baru

terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan

menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai

berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis,

khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis

dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai tingkatan, dan

kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai

retardasi psikomotor maupun kehilangan pendengaran..

d. Herpes Simplek

Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2

tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2.Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan

hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak dengan lesi genital yang

infektif; sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular

lewat hubungan seksual.HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara

imunologi.Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari.

Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada

kulit dan membran mukosa juga pada mata.

Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir, laten dan

adanya kecenderungan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus yaitu virus
herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan gejala klinis

yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya. Dapat menyerang alat-alat genital

atau mukosa mulut

Diagnosis

Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk menangani

suatu penyakit. Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan gejala klinis sering sukar

dilaksanakan, maka dilakukan diagnosa laboratorik dengan memeriksa serum

darah, untuk mengukur titer-titer antibodi IgM atau IgG-nya.

Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik,

bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum keluhan yang

dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo, migran, penglihatan kabur,

pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah

lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan keluhan lainnya.

Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi tidak

lengkap, cacat fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh kembang anak,

dan ketidaksempurnaan lainnya.

Namun begitu, gejala diatas tentu belum membuktikan adanya penyakit

TORCH sebelum dibuktikan dengan uji laboratorik.

Penatalaksanaan

Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan

darah.Biasanya ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu

Imunoglobulin G (IgG) dan Imunoglobulin M (IgM).Normalnya keduanya

negatif.
Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau

dan tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu

diobati.Namun, jika IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan

harus diobati.Selama pengobatan tidak dianjurkan untuk hamil karena ada

kemungkinan infeksi ditularkan ke janin.Kehamilan ditunda sampai 1 bulan

setelah pengobatan selesai (umumnya pengobatan memerlukan waktu 1 bulan).

Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG

Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya

rendah maka perlu pengobatan seperti di atas dan tunda kehamilan. Pada infeksi

Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi kehamilan, teruskan kehamilan dan

lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan CMV, jika terjadi

kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan dengan

konsultasi kondisi kehamilan bersama dokter kandungan anda.

Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan

obat-obatan seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan,

acyclovir, azithromisin, klindamisin, alancicovir, dan lainnya.Namun tentu

pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup

lama. Selain itu, terdapat pula cara pengobatan alternatif yang mampu

menyembuhkan penyakit TORCH ini, dengan tingkat kesembuhan mencapai 90

%.

Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat

spiramisin (spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan untuk

menurunkan dampak (resiko) infeksi yang timbul pada janin.Namun sayangnya

obat-obatan tersebut seringkali menimbulkan efek mual, muntah dan nyeri


perut.Sehingga perlu disiasati dengan meminum obat-obatan tersebut sesudah atau

pada waktu makan.

Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan TORCH

untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya saja yang positif

sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati.Sebaliknya apabila IgM nya

positif (IgG bisa positif atau negative), maka pasien baru perlu mendapatkan

pengobatan.

Abortus

Definisi

Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat

500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau janin belum mampu

untuk hidup di luar kandungan.

Epidemiologi

Rata-rata terjadi 114 kasus aborsi per jam. Sebagian besar studi

menyatakan kejadian abortus antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji

lebih jauh abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya

angka chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelah

konsepsi.

WHO memperkirakan di seluruh dunia, dari 46 juta kelahiran pertahun

terdapat 20 juta kejadian abortus. Sekitar 13% jumlah dari total kematian ibu di

seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi abortus, 800 wanita diantaranya

meninggal karena komplikasi abortus dan sekurangnya 95% (19 dari setiap 20

abortus) di antaranya terjadi di negara berkembang. Di Amerika Serikat angka

kejadian abortus spontan berkisar antara 10-20% kehamilan. Di Rumah Sakit


Umum Daerah (RSUD) Banyumas Unit II Purwekerto, angka kejadian abortus

pada tahun 2007 sebesar 23,7%, pada tahun 2008 meningkat menjadi 30,7%. Di

Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung, prevalensi abortus tercatat sebesar 8-

12%.

Etiologi

Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering

diperdebatkan.Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak

diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik.

2. Kelainan kongenital uterus

 Anomali duktus mulleri

 Septum uterus

 Uterus bikornis

 Inkompetensi serviks uterus

 Mioma uteri

 Sindroma Asherman

3. Autoimun

 Aloimun

 Mediasi imunitas humoral

 Mediasi imunitas seluler

4. Defek fase luteal

 Faktor endokrin eksternal

 Antibodi antitiroid hormon

 Sintesis LH yang tinggi


5. Infeksi

6. Hematologik

7. Lingkungan

Klasifikasi Abortus

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu :

Menurut terjadinya dibedakan atas:

a. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja

atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, sematamata

disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.

b. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa

indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.

Abortus ini terbagi lagi menjadi:

1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica) yaitu abortus karena tindakan kita

sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu

(berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3

tim dokter ahli.

2) Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan

yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan

secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.

Patofisiologi

Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin yang

kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua basalis, lalu terjadi

perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi, infiltrasi sel-sel

peradangan akut, dan akhirnya perdarahan per vaginam. Buah kehamilan terlepas
seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai benda asing dalam

rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai, dan segera setelah

itu terjadi pendorongan benda asing itu keluar rongga rahim (ekspulsi). Perlu

ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling

lama dua minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu, pengobatan untuk

mempertahankan janin tidak layak dilakukan jika telah terjadi perdarahan banyak

karena abortus tidak dapat dihindari.

Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan dengan

lengkap. Hal ini disebabkan sebelum minggu ke-10 vili korialis belum

menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah terlepas

keseluruhannya. Antara minggu ke-10 hingga minggu ke-12 korion tumbuh

dengan cepat dan hubungan vili korialis dengan desidua makin erat hingga mulai

saat tersebut sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.

Pengeluaran hasil konsepsi didasarkan 4 cara:

a. Keluarnya kantong korion pada kehamilan yang sangat dini, meninggalkan

sisa desidua.

b. Kantong amnion dan isinya (fetus) didorong keluar, meninggalkan korion

dan desidua.

c. Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat dan pendorongan

janin ke luar, tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion (hanya janin

yang dikeluarkan).

d. Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong keluar secara utuh.

Kuretasi diperlukan untuk membersihkan uterus dan mencegah perdarahan

atau infeksi lebih lanjut.


Gejala Klinis

Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi abortus iminens (threatened

abortion) abortus insipiens (inevitable abortion), abortus inkompletus (incomplete

abortion) atau abortus kompletus (complete abortion), abortus tertunda (missed

abortion), abortus habitualis (recurrent abortion), dan abortus septik (septic

abortion).

1. Abortus Iminens (Threatened abortion)

Vagina bercak atau perdarahan yang lebih berat umumnya terjadi selama

kehamilan awal dan dapat berlangsung selama beberapa hari atau minggu serta

dapa mempengaruhi satu dari empat atau lima wanita hamil. Secara keseluruhan,

sekitar setengah dari kehamilan ini akan berakhir dengan abortus . Abortus

iminens didiagnosa bila seseorang wanita hamil kurang daripada 20 minggu

mengeluarkan darah sedikit pada vagina. Perdarahan dapat berlanjut beberapa hari

atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut bawah atau nyeri

punggung bawah seperti saat menstruasi. Polip serviks, ulserasi vagina, karsinoma

serviks, kehamilan ektopik, dan kelainan trofoblast harus dibedakan dari abortus

iminens karena dapat memberikan perdarahan pada vagina. Pemeriksaan

spekulum dapat membedakan polip, ulserasi vagina atau karsinoma serviks,

sedangkan kelainan lain membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi .

2. Abortus Insipiens (Inevitable abortion)

Abortus insipiens didiagnosis apabila pada wanita hamil ditemukan

perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang disertai nyeri

karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi serviks sehingga jari

pemeriksa dapat masuk dan ketuban dapat teraba. Kadang-kadang perdarahan


dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal dapat

menyebabkan infeksi sehingga evakuasi harus segera dilakukan. Janin biasanya

sudah mati dan mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan

kontraindikasi.

3. Abortus Inkompletus(Incomplete Abortion)

Abortus inkompletus didiagnosis apabila sebagian dari hasil konsepsi telah

lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal (biasanya jaringan

plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, banyak, dan membahayakan

ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada benda di dalam rahim yang

dianggap sebagai benda asing (corpus alienum). Oleh karena itu, uterus akan

berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan kontraksi sehingga ibu

merasakan nyeri, namun tidak sehebat pada abortus insipiens.

4. Abortus Kompletus(Complete Abortion)

Jika hasil konsepsi lahir dengan lengkap, maka disebut abortus komplet.

Pada keadaan ini kuretasi tidak perlu dilakukan. Pada abortus kompletus,

perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-

lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa ini

luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera

menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih ada perdarahan juga,

abortus inkompletus atau endometritis pasca abortus harus dipikirkan.

Pada abortus kompletus, lapisan terakhir endometrium yang mengelupas

dapat terlihat sebagai kantong yang kempis. Apabila kantong kehamilan tidak bias

diidentifikasi USG untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti abortus


iminenes, kehamilan ektopik, kita dapat melihat dari pemeriksaan serum β-hCG

yang menurun sangat cepat.

5. Abortus Tertunda (Missed abortion)

Abortus tertunda adalah keadaan dimana janin sudah mati, tetapi tetap

berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih. Pada abortus

tertunda akan dijimpai amenorea, yaitu perdarahan sedikit-sedikit yang berulang

pada permulaannya, serta selama observasi fundus tidak bertambah tinggi,

malahan tambah rendah. Pada pemeriksaan dalam, serviks tertutup dan ada

darahsedikit.

6. Abortus Habitualis (Recurrent abortion)

Anomali kromosom parental, gangguan trombofilik pada ibu hamil, dan

kelainan struktural uterus merupakan penyebab langsung pada abortus habitualis.

Abortus habitualis merupakan abortus yang terjadi tiga kali berturut-turut atau

lebih. Etiologi abortus ini adalah kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana

sekiranya terjadipembuahan, hasilnya adalah patologis. Selain itu, disfungsi tiroid,

kesalahan korpus luteum dan kesalahan plasenta yaitu tidak sanggupnya plasenta

menghasilkan progesterone sesudah korpu luteum atrofis juga merupakan etiologi

dari abortus habitualis.

7. Abortus Septik (Septic abortion)

Abortus septik adalah keguguran disertai infeksi berat dengan penyebaran

kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Hal ini sering

ditemukan pada abortus inkompletus atau abortus buatan, terutama yang

kriminalis tanpa memperhatikan syarat-syarat asepsis dan antisepsis. Antara


bakteri yang dapat menyebabkan abortus septik adalah seperti Escherichia coli,

Enterobacter aerogenes Proteus vulgaris.

Penatalaksanaan

Pada abortus insipiens dan abortus inkompletus, bila ada tanda-tanda

syokmaka diatasi dulu dengan pemberian cairan dan transfuse darah.

Kemudian,jaringan dikeluarkan secepat mungkin dengan metode digital dan

kuretase.Setelah itu, beri obat-obat uterotonika dan antibiotika.

Pada keadaan abortus kompletus dimana seluruh hasil konsepsi

dikeluarkan (desidua dan fetus),sehingga rongga rahim kosong, terapi yang

diberikan hanya uterotonika (agar uterus berkontraksi sehingga perdarahan

berhenti).Untukabortus tertunda, obat diberi dengan maksud agar terjadi his

sehingga fetus dandesidua dapat dikeluarkan, kalau tidak berhasil, dilatasi dan

kuretase dilakukan.

Histerotomia anterior (pengangkatan rahim) juga dapat dilakukan dan pada

penderita, diberikan tonikadan antibiotika.Pengobatan pada kelainan endometrium

pada abortus habitualislebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi

daripada sesudahnya.Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau

dihentikan. Pada serviks inkompeten, terapinya adalah operatif yaitu operasi

Shirodkar atau McDonald.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul adalah

1. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,

diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan,

dapat pula timbul lama setelah tindakan.


2. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat

mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah

seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan

adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan

dengan teliti.

3. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus.

Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung

udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di

endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak

menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah

dapat memastikan dengan segera.

4. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan

tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat

terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan

yang terlalu panas atau terlalu dingin.

5. Keracunan obat / zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal

seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat

mengakibatkan cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan

seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb,pemeriksaan

histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

6. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi

memerlukan waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4.

Jakarta: PT Bina Pustaka; 2011.h.550-6

Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta:

EGC, 2005

Connolly A, Ryan DH, Stuebe AM, et al. 2013: Reevaluation of discriminatory

and threshold levels for serum β-hCG in early pregnancy. Obstet Gynecol

121(1):65.

Sastrawinata, Sulaiman. dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri

Patologi. EdisiJakarta: EGC

Silver RM, Branch DW, Goldenberg R, et al. 2011 :Nomenclature for pregnancy

outcomes. Obstet Gynecol 118(6):1402

Virk, Jasveer. 2007. Medical Abortion and the Risk of Subsequent Adverse

Pregnancy Outcomes N Engl J Med 2007;357:648-53.

Prawirohardjo, Sarwono.2008. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan

Bina Pustaka

Ramsey PS, Owen J. 2000. Midtrimester cervical ripening and labor induction.

Clin Obstet Gynecol 43(3):495

Kelly H, Harvey D, Moll S. 2006. A cautionary tale.Fatal outcome of

Methotrexate Therapy Given for Management of Ectopic Pregnancy.Obstet

Gynecol 107:439.
Prawirohardjo S, 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. PT Bina Pustaka, Jakarta; 474-

487.

Wiknjosastro, Hanifa. 2000. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi

pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 198-210.

Barash JH, Buchanan EM, Hillson C, 2014. Diagnosis and Mnagement of Ectopic

Pregnancy. American Academy of Family Physician. 90(1): 34-40.

Sepilin VP, 2016. Ectopic Pregnancy. Medscape Reference.Available from:

www.medscape.com/article/2041923-overview

Hiperemesis gravidarum

Definisi

Hiperemesis Gravidarum adalah bentuk yang paling parah dari mual dan

muntah yang terjadi selama masa kehamilan, dan ditandai dengan muntah dan

mual yang berat sehingga menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit dan

metabolisme, dan defisiensi nutrisi yang dapat menyebabkan seseorang

memerlukan perawatan rumah sakit. Muntah yang berlebihan dalam kehamilan

yang menyebabkan terjadinya ketonuria dan penurunan berat badan ≥ 5%.

2.2. Epidemiologi

Mual dan muntah pada saat hamil adalah pengalaman yang umum

dirasakan oleh 50%-90% wanita hamil. Mual dan muntah umumnya hanya terjadi

dalam trimester pertama, tetapi 20% wanita mengalami gejala tersebut hingga

sepanjang masa kehamilan. Derajat mual dan muntah beragam dari ringan hingga

berat sehingga mempengaruhi kelebihan dan muntah yang menetap.


Hiperemesis gravidarum ditemukan hanya pada 1-20 pasien dalam 1.000

wanita hamil. Walaupun kejadian ini tergolong jarang, tetapi pengaruhnya dalam

klinis dan sosial besar sekali.

2.5. Patofisiologi

Patofisiologi mual dan muntah dalam kehamilan belum dipahami dengan

jelas. Hiperemesis melibatkan interaksi kompleks secara biologis, psikologis, dan

faktor sosiokultural.

Human chorionic gonadotropin

Beberapa penelitian prospektif melaporkan bahwa terdapat hubungan

signifikan antara serum hCG pasien dengan keluhan. hCG menyebabkan

hiperemesis dengan menstimulasi kelenjar sekretori pada traktus gastrointestinal.

Struktur hcG mirip dengan thyroid stimulating hormone (TSH) dan mungkin

dapat menyebabkan hiperemesis

Estrogen

Terdapat asosiasi positif antara mual dan muntah dengan kadar estradiol.

Telah diduga bahwa peningkatan kadar hormon steroid menyebabkan penurunan

motilitas traktus gastrointestinal. Hal ini dapat menyebabkan perubahan pH dan

perkembangan Helicobacter pylori.

Hormon tiroid

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar thyroxine pada pasien

hiperemesis lebih tinggi disbanding dibandingkan kontrol. Beberapa penelitian

juga menunjukkan peninggian kadar TSH.

Diagnosis
Beberapa tanda dan gejala yang dapat ditemukan untuk menegakkan diagnosis

antara lain:

 Amenore yang disertai muntah hebat, pekerjaan sehari-hari terganggu.

 Fungsi vital: nadi meningkat 100 kali per menit, tekanan darah menurun

pada keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma).

 Fisik: dehidrasi, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun, pada

vaginal toucher uterus besar sesuai besarnya kehamilan, konsistensi lunak,

pada pemeriksaan inspekulo serviks berwarna biru (lividae).

 Pemeriksaan USG: untuk mengetahui kondisi kesehatan kehamilan juga

untuk mengetahui kemungkinan adanya kehamilan kembar ataupun

kehamilan molahidatidosa.

 Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, shift to the

left, benda keton, dan proteinuria.

 Pada keluhan hiperemesis yang berat dan berulang perlu dipikirkan untuk

konsultasi psikologi

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien dengan hiperemesis gravidarum berupa:

 Atasi dehidrasi dan ketosis

 Berikan infus Dextrose 10% + B kompleks IV

 Lanjutkan dengan infus yang mempunyai komposis kalori dan elektrolit

yang memadai seperti : KaEN Mg 3, Trifuchsin dll

 Atasi defisit asam amino


 Atasi defisit elektrolit

 Balans cairan ketat hingga tidak dijumpai lagi ketosis dan defisit elektrolit’

 Berikan obat anti muntah : metochlorprapamid, largatcil anti HT3

 Berikan suport psikologis

 Jika dijumpai keadaan patologis : atasi

 Jika kehamilan patologis ( misal : Mola Hidatidosa ), lakukan evakuasi

 Nutrisi per oral diberikan bertahap dan jenis yang diberikan sesuai apa

yang dikehendaki pasien dengan porsi seringan mungkin dan baru

ditingkatkan bila pasien lebih segar/ enak

 Perhatikan pemasangan kateter infus untuk sering diberikan salep heparin

karena cairan infus yag diberikan relatif pekat

 Infus dilepas bila kondisi pasien benar-benar telah segar dan dapat makan

dengan porsi wajar dan obat peroral telah diberikan beberapa saat sebelum

infus dilepaskan

Komplikasi

Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena

hiperemesis gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari

gizi buruk, alkalosis akibat dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot,

kelainan elektrokardiografi dan gangguan psikologis dapat terjadi. Komplikasi

yang mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang disebabkan muntah-

muntah berat, Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus, disorientasi,


kejang, coma), perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan,

IUGR dan kematian janin.

Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami

epistaxis pada minggu ke-15 kehamilan karena intake vitamin K yang tidak

adekuat yang disebabkan emesis berat dan ketidakmampuannya mentoleransi

makanan padat dan cairan. Dengan penggantian vitamin K, parameter-parameter

koagulasi kembali normal dan penyakit sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang

terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada dilaporkan pada beberapa pasien.

Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic Resonance Imaging

(MRI).21 Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi

mengancam nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg

melaporkan pilihan pengakhiran kehamilan kira-kira 2 % pada kehamilan yang

terkomplikasi dengan hiperemesis gravidarum.

Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan

neonatal dari penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian

berbeda yang melibatkan 193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24%

membutuhkan perawatan inap dan satu pasien membutuhkan nutrisi parenteral.

Berat lahir, usia kandungan, kelahiran preterm, skor Apgar, mortalitas perinatal

dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda antara pasien hiperemesis dan

populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi peningkatan risiko

keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas. Umumnya

hiperemesis gravidarum dapat disembuhkan.


Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis gravidarum sangat

memuaskan. Namun pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat mengancam

jiwa ibu dan janin.

Daftar Pustaka

Kuscu NK, Koyuncu F. Hyperemesis gravidarum: current concepts and

management. Postgrad Med J. 2002;78:76-79.

Lee NM, Saha S. Nausea and Vomiting of Pregnancy. 2011. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3676933/

McCarthy FP, Lutomski JE, Greene RA. Hyperemesis Gravidarum: Currennt

Perspectives. 2014. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4130712/

Eliakin R, Abulafia O, Sherer DM. Hyperemesis Gravidarum: A Current Review.

2000. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11041443

Wegryniak LJ, Repke JT, Ural SH. Treatment of Hyperemesis Gravidarum. 2012.

Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3410506/

Philip B. Hyperemesis Gravidarum: Literature Review. Wisconsin Medical

Journal 2003. Volume 102 No. 3. Available in:

http://www.wisconsinmedicalsociety.org/_WMS/publications/wmj/pdf/102/3/

46.pdf

Broussard C, Richter J. Nausea and vomitting of pregnancy. Gastroenterol Clin

North Am. 1998;27(l):123-151.

Abell T, RielyC. Hyperemesis Gravidarum. Gastroenterol Clin North Am.

1992;21(4):835-849.
Van de Ven C. Nasogastric enteral feeding in hyperemesis gravidarum. Lancet.

1997;349(9050):445-446.

Nageotte M, Briggs G, Tower C, Asrat T. Droperidol and diphenhydramine in the

menagement of hyperemesis gravidarum. Am J Obstet Gynecol.

1996;174(6):1801-1805.

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). Standar Pelayanan

Obstetri dan Ginekologi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Jakarta 2006.

Hallak M, Tsalarnandris K, Dombrowski K Isada N, Pryde P, come. J Repord

Med. 1996;41(11):871-874.

Safari H, Alsulyman O, Gherman R, Goodwin T. Experience with oral

methylprednisolone in the treatment of refractory hyperemesis gravidarum.

Am J Obstet Gynecol. 1998;178(5):1054-1058.

Setiawati SE, Ramadhian R. Penatalaksanaan Mual dan Muntah pada Hiperemesis

Gravidarum. J Medula Unila. 2016. Volume 5 No.1 hal 131-134.

Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo; 2010.

Widayana A, Megadhana IW, Kemara KP. Diagnosis and management of

hyperemesis gravidarum. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2013;

2(4):658-73.

Royal Cornwall Hospital NHS Trust. 2015. Hyperemesis gravidarum (HG) /

Severe nausea and vomiting in Pregnancy (NVP) - Clinical Guideline. Inggris:

Royal Cornwall Hospital NHS Trust; 2015.


Archer M, Steinvoort C, Larson B, OderdaG. Antiemetics drug class review.

SaltLake: University of Utah College of Pharmacy; 2014.

Siddik D. Kelainan Gastrointestinal. Dalam: Sarwono. Buku Ajar Ilmu

Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2011.

Ismail SKenny L. Review on hyperemesis gravidarum. Best Practice & Research

Clinical Gastroenterology. 2007;21(5):755-769.

Verberg M F G, Gillott D J, Al-Fardan N, Grudzinskas J G. Hyperemesis

Gravidarum, a literature review. Human Reproduction, Department of

Obstetrics and Gynaecology, St. Bartholomew’s Hospital West Smithfield,

London. Vol. 10, 2005, p 1-13.

Mola hidatidosa

Definisi

Mola berasal dari Bahasa Latin yaitu “mola” yang berarti konsepsi palsu

sedangkan hidatidosa berasal dari Bahasa Yunani yaitu “hydatis” yang berarti

setetes air atau kista yang berisi air.1 Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan

yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh

vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik.22 Mola hidatidosa

merupakan kehamilan abnormal yang ditandai oleh beberapa vesikel seperti

anggur yang mengisi dan meregangkan rahim, biasanya dengan tidak adanya janin

utuh.

Epidemiologi

Mola hidatidosa atau kehamilan mola jarang dijumpai. Diperkirakan

insidensi kehamilan mola di dunia sekitar 1-3 kasus untuk 1000 kelahiran hidup.

Taiwan melaporkan insidensi mola hidatidosa adalah 1 dari 125 kelahiran hidup.
Insidensi kehamilan mola di Eropa 1 dari 1000 kelahiran dan 1 dari 1500

kehamilan di USA. Sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang insidensinya sebesar

2 dari 1000 kehamilan.5 Kehamilan mola paling banyak dijumpai pada negara

oriental seperti Filipina, Cina, Indonesia, Jepang, India, Amerika sentral dan latin

serta Afrika.5Di Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang

penting dengan insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40 persalinan).6

Patologi

Patologi dari mola hidatidosa merupakan penyakit korion. Kematian sel

ovum atau gagalnya perkembangan embrio merupakan hal penting untuk

terbentuknya mola hidatidosa komplit/klasik. Sekresi dari sel yang hiperplastik

dan zat-zat yang ditransfer dari darah maternal/ibu terakumulasi di stroma vili

yang tanpa pembuluh darah. Hal ini menyebabkan distensi vili untuk membentuk

vesikel kecil. Distensi ini dapat terjadi akibat edema dan pencairan stroma.

Cairan vesikel merupakan cairan interstitial dan hampir mirip dengan

cairan asites atau edema, tapi kaya akan hCG. Naked eye appearance merupakan

massa yang mengisi Rahim yang terbuat dari beberapa rantai dan kelompok kista

dari berbagai ukuran. Tidak dijumpai adanya embrio atau kantung amnion. Jika

terjadi perdarahan, biasanya di ruang desidua.Tampilan mikroskopik yang biasa

ditemukan adalah proliferasi dari epitel sinsitial dan sitotrofoblas, penipisan

jaringan stroma akibat degenerasi hidropik, tidak adanya pembuluh darah di vili

dan pola vili yang jelas dipertahankan.Perubahan ovarium seperti kista lutein

bilateral dijumpai pada sekitar 50% kasus. Hal ini dikarenakan produksi korionik

gonadotropin yang berlebihan dan dapat juga dijumpai pada kehamilan ganda.

Biasanya akan mengecil secara spontan dalam waktu 2 bulan setelah ekspulsi dari
mola. Cairan kista ini kaya akan korionik gonadotropin, esterogen dan

progesterone.12 Perbedaan patologi mola hidatidosa parsial dan komplit yaitu :

1. Mola hidatidosa parsial (Partial Mola Hydatidosa/PMH)

Pada kehamilan mola parsial, terdapat dua populasi vili. Salah satunya

memiliki ukuran dan konfigurasi normal serta mengandung pembuluh darah janin,

sedangkan yang lainnya menunjukkan perubahan khas mola yaitu seperti anggur.

Biasanya, embrio atau jaringan embrio dapat dijumpai. Hyperplasia trofoblas

fokal dan biasanya hanya terbatas pada sinsitiotrofoblas.

2. Mola hidatidosa komplit (Complete Mola Hyatidosa/CMH)

Pada kehamilan mola komplit, terjadi edema vili dan dinamakan setandan

buah anggur. Tidak dijumpai embrio. Secara mikroskopis, vili sangat besar dan

distensi. Dijumpai hiperplasia dari kedua sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas.

Gambar Spesimen Makroskopik dengan Karakteristik Vesikel Berbagai

Ukuran
Gejala dan Tanda Klinis

1. Gejala Klinis

a) Perdarahan pervaginam merupakan gejala yang sering dijumpai yaitu pada 90%

kasus. Biasanya terjadi pada trimester pertama. Sekitar ¾ pasien mengeluhkan

gejala ini sebelum 3 bulan kehamilan dan hanya sepertiganya yang mengalami

perdarahan dengan jelas. Darah bercampur dengan cairan gelatin yang berasal dari

rupture kista memberikan tampilan cairan “white currant in red currant juice”.

b) Nyeri perut bagian bawah dengan berbagai derajat yang diakibatkan oleh

pelebaran uterus yang berlebihan, perdarahan yang tersembunyi, jarang

diakibatkan oleh perforasi uterus dikarenakan invasive mola, infeksi atau

kontraksi uterus saat mengekspulsi kan isinya.

c) Gejala konstitusional, seperti: pasien tampak sakit tanpa alasan yang jelas,

muntah berlebihan dikarenakan kadar korionik gonadotropin yang tinggi dialami

pada sekitar 14-32% dan sekitar 10% mengalami muntah berat sehingga

memerlukan perawatan di rumah sakit. Sesak nafas akibat embolisasi dari sel

trofoblas (2%). Tampilan tirotoksik seperti tremor, takikardia dijumpai pada

sekitar 2% kasus dikarenakan meningkatnya kadar korionik tirotropin.

d) Ekspulsi vesikel seperti anggur secara pervaginam merupakan diagnostik mola.

Sekitar 50% kasus mola tidak diduga sampai ekspulsi sebagian atau seluruhnya.

2. Tanda Klinis

a. Tanda awal-awal kehamilan yang jelas.

b. Pasien tampak lebih sakit.


c. Pucat dijumpai dan biasanya tidak sesuai dengan proporsi jumlah darah

yang hilang, mungkin disebabkan adanya perdarahan yang tersembunyi.

d. Tanda preeklampsia seperti hipertensi, edema dan/atau proteinuria dapat

dijumpai pada sekitar 50% kasus. Kejang dapat terjadi, namun jarang

dijumpai.

Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan abdomen

a. Ukuran uterus lebih besar dari yang diperkirakan, hal ini dikarenakan

pertumbuhan vesikel yang berlebihan dan perdarahan yang tersembunyi.

b. Uterus bersifat elastis/kenyal. Hal ini dikarenakan tidak adanya kantung

amnion.

c. Bagian janin tidak teraba dan tidak ada pergerakan janin. Balotement

eksternal tidak dijumpai.

d. Tidak adanya denyut jantung janin yang dideteksi melalui Doppler.

Tanda abdominal yang negatif ini dinilai ketika tanda ini seharusnya ada

berdasarkan ukuran uterus dalam kasus tertentu.

2. Pemeriksaan pervaginam

a. Balotement internal tidak di jumpai.

b. Pembesaran unilateral atau bilateral (kista teka lutein) dari ovarium dapat

teraba pada 25-50% kasus. Pembesaran ovarium dapat tidak teraba akibat

pembesaran dari uterus. Pasien dengan kista teka lutein memiliki risiko

lebih besar menderita keganasan.

c. Dijumpainya vesikel dalam vagina merupakan patognomonik pada mola

hidatidosa.
d. Jika ostium serviks terbuka, bekuan darah atau vesikel dapat dirasakan.

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Darah lengkap dengan hitung platelet, blood urea nitrogen (BUN),

kreatinin, dan fungsi hati. Golongan darah, fungsi tiroid diindikasikan.

Prothrombin time (PT), partial thromboplastin time (PTT), protrombin,

fibrinogen diperiksa jika secara klinis diindikasikan.23 Kadar hCG yang tinggi (>

100.000 IU/L) biasanya dijumpai pada pasien dengan kehamilan mola komplit.

Penilaian kadar hCG > 100.000 IU/L disertai dengan perdarahan pervaginam dan

pembesaran uterus merupakan sugestif untuk diagnosis kehamilan mola komplit.

Pada kehamilan mola parsial biasanya kurang berhubungan dengan peningkatan

kadar hCG, biasanya < 100.000 IU/L. berdasarkan subunit hCG, kehamilan mola

komplit memiliki kadar subunit beta hCG yang lebih tinggi dibandingkan

kehamilan mola parsial (24:1). Sedangkan, pada kehamilan mola parsial

mempunyai kadar alfa hCG yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan mola

komplit (0,85:0,17). Rata-rata persentasi rasio beta hCG terhadap alf hCG pada

kehamilan mola komplit dan mola parsial adalah 20,9:2,4.

2. Foto polos

Foto polos abdomen dapat dilakukan jika usia kehamilan lebih dari 16

minggu. Pada kehamilan mola dapat dijumpai bayangan janin yang negatif.

Pemeriksaan foto polos dada juga dilakukan untuk mengetahui adanya embolisasi

paru.
3. USG

Pencitraan sonografi merupakan andalan dalam mendiagnosis penyakit

trofoblastik. USG merupakan teknik yang akurat dan sensitif untuk mendiagnosiss

mola hidatidosa komplit. Kehamilan mola komplit dengan karakteristik pola

vesikuler akibat pembengkakan pada seluruh korionik vili. Korionik vili pada

trimester satu tampak kecil dan sedikit kavitasi. Namun, secara umum pada

kehamilan mola komplit menunjukkan massa uterin ekogenik dengan beberapa

rongga kistik anekoik tetapi tanpa janin atau kantung amnion, tampilan ini sering

disebut sebagai badai salju (snow storm) atau gambaran seperti sarang lebah

(honey comb). Tampilan USG pada kehamilan mola parsial berupa penebalan dan

multikistik plasenta bersama dengan janin yang disertai retardasi pertumbuhan

atau setidaknya jaringan janin. Walaupun beberapa karakteristik ini hanya

dijumpai kurang dari setengah kejadian mola hidatidosa.

4. CT dan MRI

Penggunaan CT dan MRI untuk diagnosis tidak dianjurkan. Diagnosis

pasti mola hidatidosa didapati melalui pemeriksaan histopatologi dari hasil

konsepsi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan mola hidatidosa yaitu :

1. Perbaikan keadaan umum

Yang termasuk diantaranya misalnya pemberian transfusi darah untuk

memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit

seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.


2. Pengeluaran jaringan mola, terdapat dua cara yaitu :

a) Vakum kuretase

Setelah keadaan umum diperbaiki, dilakukan vakum kuretase tanpa

pembiusan. Evakuasi mola dilakukan dengan vakum kuretase, terlepas dari

seberapa besar ukuran uterus. Dilatasi serviks pada preoperasi dengan agen

osmosis direkomendasikan jika serviks dilatasi minimal. Perdarahan yang hebat

dapat terjadi selama operasi pada kasus kehamilan mola dibandingkan kehamilan

nonmolar. Sehingga pada mola yang besar, anestesia yang adekuat, akses

intravena yang cukup, dan persiapan transfusi darah diperlukan. Serviks dilatasi

secara mekanik agar dapat memasukkan vakum kuretase dengan ukuran 10 mm

sampai 14 mm. Ketika evakuasi dimulai, oksitosin diberikan untuk mengurangi

perdarahan. USG selama operasi direkomendasikan untuk membantu dalam

menentukan kavitas uterus telah dikosongkan. Ketika miometrium berkontraksi,

dilakukan kuret secara menyeluruh dan hati-hati dengan alat kuret sharp large-

loop Sims. Jika perdarahan terus berlangsung walaupun evakuasi uterus dan infus

oksitosin, agen uterogenik dapat diberikan. Pada beberapa kasus embolisasi arteri

pelvis atau histerektomi mungkin dibutuhkan. Tindakan kuretase cukup dilakukan

1 kali saja, asal bersih. Kuretase kedua hanya dilakukan bila ada indikasi.

b) Histerektomi

Metode selain vakum kuretase mungkin dapat dipertimbangkan pada kasus

tertentu. Histerektomi dengan preservasi ovarium dapat dipertimbangkan pada

wanita yang sudah pernah melahirkan. Alasan dilakukannya histerektomi ialah

karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya

keganasan, batasan yang dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga.
Pada wanita usia 40 tahun atau lebih, sekitar sepertiganya berkembang menjadi

PTG dan histerektomi dapat menurunkan angka kejadian PTG ini. Tidak jarang

bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan histopatologik sudah

tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola invasif/koriokarsinoma.1,10

3. Pemeriksaan tindak lanjut

Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah

mola hidatidosa. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini,

pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom,

diafragma atau pantang berkala.

Komplikasi

1. Komplikasi segera

a) Perdarahan dan syok

Penyebab perdarahan antara lain akibat pemisahan vesikel dengan

ikatannya pada desidua, perdarahan ini dapat tersembunyi atau tidak tersembunyi;
perdarahan intraperitoneal yang masif akibat dari perforasi mola; dan perdarahan

selama evakuasi mola akibat atonik uterus atau cedera uterus.

b) Sepsis

Meningkatnya risiko sepsis disebabkan antara lain karena tidak adanya

membrane pelindung sehingga organisme vagina dapat masuk ke dalam rongga

rahim; adanya degenerasi vesikel, pengelupasan desidua dan darah yang lama

merupakan tempat kesukaan bakteri untuk tumbuh; dan meningkatnya intervensi

selama operasi.

c) Perforasi uterus

Uterus mungkin terluka dikarenakan perforasi mola yang menyebabkan

perdarahan intraperitoneal yang masif; selama evakuasi vagina terutama dengan

metode konvensional atau selama kuretase vakum.

d) Preeklampsia dengan kejang jarang ditemukan.

e) Insufisiensi pulmonar akut diakibatkan embolisasi paru dari sel trofoblas

dengan atau tanpa stroma vili. Gejala biasanya dimulai dalam waktu 4-6 jam

setelah evakuasi.

f) Kegagalan koagulasi dikarenakan embolisasi paru dari sel trofoblas

menyebabkan deposisi fibrin dan trombosit.

2. Komplikasi lanjut

Perkembangan mola hidatidosa menjadi koriokarsinoma berkisar antara 2-

10%. Faktor risikonya antara lain pasien berusia ≥ 40 tahun dan < 20 tahun,

paritas ≥ 3, serum hCG > 100.000 mIU/mL, ukuran uterus > 20 minggu, riwayat

kehamilan mola sebelumnya dan kista teka lutein yang besar (diameter > 6 cm)
Preeklampsia

Definisi

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai

dengan hipertensi dan proteinuria pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling

banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan

saja pada pertengahan kehamilan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap hal

yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeclampsia.

Patofisiologi

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan

patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh

vasospasme dan iskemia6. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat

mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti

prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi

platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf

pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.

Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan

proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri

epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.

Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume

intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh

perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan

trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan

janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim.


Perubahan organ-organ yaitu:

1. Perubahan kardiovaskuler

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada

preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan

dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang

secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia

kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau

kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang

ektravaskular terutama paru6.

2. Metabolisme air dan elektrolit

Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklampsia tidak

diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada

penderita preeklampsia dan eklampsia daripada pada wanita hamil biasa atau

penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat

mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini disebabkan

oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali tubulus tidak

berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan perubahan yang

nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum

biasanya dalam batas normal.

3. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu

atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina

yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan
berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia

dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan

akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah

pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina.

4. Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak

berfungsi. Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung penguat endotel akan

terbuka menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang

ekstravaskular. Pada keadaan selanjutnya dapat ditemukan pendarahan. Selain itu

ditemukan juga edema-edema dan anemia pada korteks serebri.

5. Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan

eklampsia dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru biasanya terjadi

pada pasien preeklampsia berat yang mengalami kelainan pulmonal maupun non-

pulmonal setelah proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang

sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria,

penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan

albumin yang diproduksi oleh hati.

6. Hati

Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar,

perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat

aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum

disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Nekrosis

hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan terjadinya


peningkatan enzim hati didalam serum. Perdarahan pada lesi ini dapat

mengakibatkan ruptur hepatika, menyebar di bawah kapsul hepar dan membentuk

hematom subkapsular6.

7. Ginjal

Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis,

yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan

penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya

meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil

dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus

tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin

plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil

(sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin

plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau

berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat

vasospasme yang hebat6.

Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam

dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di

glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi

penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di

tubulus6. Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi

karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat

molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein – protein

molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.


8. Darah

Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular

(DIC) dan destruksi pada eritrosit6. Trombositopenia merupakan kelainan yang

sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl ditemukan pada 15 – 20

% pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan

dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level fibrinogen

yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan terlepasnya

plasenta sebelum waktunya (placental abruption). Pada 10 % pasien dengan

preeklampsia berat dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya

anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. ditemukan

level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan

dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).

9. Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Pada hipertensi yang lama pertumbuhan janin akan tergangggu, pada

hipertensi yang lebih pendek bisa terjadi gawat janin bahkan kematian karena

kekurangan oksigenasi. Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap

perangsangan sering didapatkan pada preeklampsia, sehingga mudah terjadi partus

prematurus.

Diagnosis

Dahulu, untuk menegakkan diagnosis preeklamsia terdiri dari tekanan

darah yang meningkat disertai proteinuria dan atau edema. Namun kemudian

diagnosis berubah menjadi hamil diatas 20 minggu disertai dengan proteinuria.


Sekarang untuk menegakkan preeklamsia & eklamsi diagnosis

preeklamsia ditegakkan jika hipertensi diatas kehamilan 20 minggu, disertai 1 dari

tanda tanda perburukan seperti proteinuria > 300 mg/ 24 jam atau dipstik >1,

serum kreatini > 1,1 mg/dl, edema paru, peningkatan fungsi hati lebih dari dua

kali, trobosit < 100.000/mm3, adanya nyeri kepala, gangguan penglihatan, dan

nyeri epigastrium.

Preeklampsia merupakan suatu syndrome yang ditandai terutama dengan

adanya hipertensi dengan onset baru pada kehamilan pertengahan trimester kedua.

Meskipun sering disertai dengan proteinuria onset baru, preeklampsi juga dapat

disertai dengan banyak gejala dan symptom, termasuk gangguan penglihata, nyeri

kepala, nyeri epigastrik, dan edema yang berkembang dengan cepat1. Hipertensi

bukan berarti bahwa seseorang tersebut mengalami preeklampsia, kriteria lain

juga diperlukan untuk menegakkan preeclampsia. Pada kebanyakan kasus,

mungkin terdapat proteinuria onset baru, tetapi jika proteinuria tidak ditemukan

atau melewati ambang batas normalnya, maka beberapa hal berikut yang dapat

menunjang diagnosis, yaitu : trombositopenia onset baru, fungsi hati yang

terganggu, insufisiensi ginjal, edema pulmonal, atau gangguan visual atau

serebral.
Preeklampsia dengan tidak ditemukannya tanda-tanda perburukan sering

dikarakteristikan sebagai “preeklampsia ringan”. Hal tersebut sebaiknya

diperhatikan bahwa karakteristik ini dapat menyebabkan salah kaprah, bahkan

dengan tidak adanya penyakit berat, morbiditas dan mortalitas meningkat

signifikan. Oleh sebab itu, direkomendasikan mengunakan istilah “preeklampsia

tanpa tanda perburukan”.

Penatalaksanaan

Prinsib penatalaksaaan preeklampsi/ eklampsi meliputi :

1. Mencegah / mengatasi kejang

2. Menurunkan tekanan darah

3. Hati hati penggunaan cairan

4. Melahirkan bayi pada saat yang optimal buat ibu maupun bayi.
Wanita dengan preeklamsia dan kehamilan prematur dapat diamati secara

rawat jalan, dengan penilaian sering ibu dan janin kesejahteraan. Wanita yang

patuh, yang tidak memiliki akses siap untuk perawatan medis, atau yang memiliki

preeklamsia progresif atau berat harus dirawat di rumah sakit.

Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan

preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan

aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada

ekstremitas bawah menurun dan reabsorpsi cairan bertambah.Selain itu dengan

istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan

juga dapat menurunkan tekanan darah. Apabila preeklampsia tersebut tidak

membaik dengan penanganan konservatif, dalam hal ini kehamilan harus

diterminasi jika mengancam nyawa maternal.

Selama persalinan, tujuan manajemen adalah untuk mencegah kejang dan

mengontrol hipertensi. Magnesium sulfat adalah obat pilihan untuk pencegahan

kejang eklampsia pada wanita dengan preeklamsia berat dan untuk pengobatan

wanita dengan eklampsia seizures. Dosis obat yang digunakan adalah 4-gr loading

dosis magnesium sulfat diikuti dengan infus kontinu pada tingkat 1 gr per jam.

Magnesium sulfat telah terbukti lebih unggul dibanding dengan fenitoin (Dilantin)

dan diazepam (Valium) untuk pengobatan kejang eklampsia.

Terapi obat antihipertensi dianjurkan untuk wanita hamil dengan tekanan

darah sistolik dari 160 ke 180 mm Hg atau lebih dan tekanan darah diastolik dari

105 ke 110 mm Hg atau lebih. Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan

tekanan sistolik 140 ke 155 mm Hg dan tekanan diastolik 90 untuk 105 mm Hg.

Untuk menghindari hipotensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertingkat1.


Hydralazine (Apresoline) dan labetalol (Normodyne, Trandate) adalah obat

antihipertensi yang paling umum digunakan pada wanita dengan pre eklampsia.

Nifedipin (Procardia) dan natrium nitroprusside (Nitropress) adalah potensial

alternatif. Terapi labetalol tidak boleh digunakan pada wanita dengan asma atau

gagal jantung kongestif. Penggunaan ACE-Inhibitor di kontra indikasikan pada

wanita hamil.

Wanita dengan preeklamsia harus diberi konseling tentang kehamilan

berikutnya. Pada wanita nulipara dengan preeklamsia sebelum 30 minggu

kehamilan, tingkat kekambuhan untuk gangguan ini setinggi 40 persen pada

kehamilan seterusnya.

Komplikasi

1. Komplikasi pada Ibu

a. Jantung

Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload

akibat hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan

intravaskular ke ekstraselular terutama paru. Terjadi penurunan cardiac preload

akibat hipovolemia.

b. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu

atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina

yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan

berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.

Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan

gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam

retina.

c. Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang

mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan.

Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan

onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai

pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati.

d. Hati

Dasar perubahan pada hepar ialah vasoospasme,iskemia, dan perdarahan.

Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel

hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah

kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma.

e. Ginjal

Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis,

yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan

penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya

meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil

dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus

tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin

plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil

(sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin

plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau
berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat

vasospasme yang hebat1.

Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam

dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di

glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi

penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di

tubulus.

Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi karena

peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul

tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein – protein molekul

ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.

f. Darah

Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular

(DIC) dan destruksi pada eritrosit. Trombositopenia merupakan kelainan yang

sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl ditemukan pada 15 – 20

% pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan

dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jika ditemukan level fibrinogen

yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya berhubungan dengan terlepasnya

plasenta sebelum waktunya (placental abruption)7. Pada 10 % pasien dengan

preeklampsia dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia

hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah.


g. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit

Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus

berkurang, proses sekresi aldosteron pun terhambat sehingga menurunkan kadar

aldosteron didalam darah. Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida

natriuretik atrium juga meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang

menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi vaskular

perifer6. Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari intravaskuler ke

interstisial yang disertai peningkatan hematokrit, protein serum, viskositas darah

dan penurunan volume plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan

berkurang dan terjadi hipoksia.

2. Komplikasi Pada Janin

Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth

restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, prematur,

bayi lahir rendah, dan solusio plasenta. Studi jangka panjang telah menunjukkan

bahwa bayi yang IUGR lebih rentang untuk menderita hipertensi, penyakit arteri

koroner, dan diabetes dalam kehidupan dewasanya

Daftar Pustaka

Hypertension 2007; 49(5): 1056-62, J Clin Endocrinol Metab 2006; 91(4): 1233-8

Phylis A August, MDH, MD. Hypertension in Pregnancy 2013. American

congress of Obstetrion and Gynecologist [diakses tanggal 02 Mei 2016].

Tersedia di http://www.acog.org/Resources-And-Publications/Task-Force-

and-Work-Group-Reports/Hypertension-in-Pregnancy
Yusmardi, 2010. Perbandingan Kadar Asam Folat Serum Maternal Preeklampsia

Berat dengan Kehamilan Normal. Tesis Bagian Obgyn FK USU RSUP Haji

Adam Malik

Brooks MD. 2011. Pregnancy, Preeclampsia, Available at:

http://www.emedicine.com, Department of Emergency Medicine, St

MaryCorwin Medical Center.

Sarwono Prawirohardjo. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

Girsang, E. 2004. Analisa Tekanan Darah dan Proteinuria sebagai faktor

prognosa, Kematian Maternal dan Perinatal pada Preeklampsia Berat dan

Eklampsia.Tesis Bagian Obgyn FK USU RSUP.H. Adam Malik / RSUD

Dr.Pringadi Medan.

F. Gary Cunningham, MD, 2005. Hypertensive Disorder in Pregnancy. In William

Obstetrics. 22nd Ed. McGrow-Hill, NY

Muh Dikman Angsar. 2010. Hipertensi Dalam Kehamilan. Dalam Sorwono

Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan. Edisi IV.2008. h. 530-561

LANA K. WAGNER, M.D.,2004. Preeclapmsia [diakses tanggal 01 Mei 2016].

Tersedia di http://www.aafp.org/afp/2004/1215/p2317.html

World Health Organization. 2013. Treatment of Preeclampsia and Eclampsia. In:

Prevention and Treatment of Preeclampsia and Eclampsia.

Plasenta previa

Definisi

Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat

yang abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau
seluruh dari ostium uteri internum (pembukaan jalan lahir). Pada keadaan normal

plasenta terletak dibagian atas uterus. Sejalan dengan bertambahnya membesarnya

rahim dan meluasnya segmen bawah rahim ke arah proksimal memungkinkan

plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim seolah plasenta tersebut

bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam

persalinan kala satu bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh

plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari plasenta

previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun dalam

masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh

karena itu, pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan

antenatal ataupun intranatal.

Patofisiologi

Perdarahan anterpatum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya

terjadi pada trimester ketiga kehamilan. Karena pada saat itu segmen bawah

uterus lebih banyak mengalami perubahan berkaitan dengan makin tuanya

kehamilan.

Kemungkinan perdarahan anterpatum akibat plasenta previa dapat sejak

kehamilan berusia 20 minggu. Pada usia kehamilan ini segmen bawah uterus telah

terbentuk dan mulai menipis.

Penyebab plasenta melekat pada segmen bawah rahim belum diketahui

secara pasti. Ada teori menyebutkan bahwa vaskularisasi desidua yang tidak

memadai yang mungkin diakibatkan oleh proses radang atau atrofi dapat

menyebabkan plasenta berimplantasi pada segmen bawah rahim. Plasenta yang

terlalu besar dapat tumbuh melebar ke segmen bawah rahim dan menutupi ostium
uteri internum misalnya pada kehamilan ganda, eritroblastosis dan ibu yang

merokok. Pada saat segmen bawah rahim terbentuk sekitar trisemester III atau

lebih awal tapak plasenta akan mengalami pelepasan dan menyebabkan plasenta

yang berimplantasi pada segmen bawah rahim akan mengalami laserasi. Selain

itu, laserasi plasenta juga disebabkan oleh serviks yang mendatar dan membuka.

Hal ini menyebabkan perdarahan pada tempat laserasi. Perdarahan akan

dipermudah dan diperbanyak oleh segmen bawah rahim dan serviks yang tidak

bisa berkontraksi secara adekuat.

Pembentukan segmen bawah rahim akan berlangsung secara progresif, hal

tersebut menyebabkan terjadi laserasi dan perdarahan berulang pada plasenta

previa. Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan

bila dibandingkan dengan plasenta previa parsialis ataupun plasenta letak rendah

karena pembentukan segmen bawah rahim dimulai dari ostium uteri internum.

Segmen bawah rahim mempunyai dinding yang tipis sehingga mudah diinvasi

oleh pertumbuhan vili trofoblas yang mengakibatkan terjadinya plasenta akreta

dan inkreta. Selain itu segmen bawah rahim dan serviks mempunyai elemen otot

yang sedikit dan rapuh sehingga dapat menyebabkan perdarahan postpartum pada

plasenta previa.

Diagnosis

1. Anamnesis

a. Keluhan utama : perdarahan pada kehamilan setelah 28 minggu atau pada

kehamilan lanjut (trimester III)

b. Sifat perdarahan tanpa sebab, tanpa nyeri, dan berulang


2. Inspeksi/inspekulo

a. Perdarahan keluar pervaginam (dari dalam uterus)

b. Tampak anemis

3. Palpasi abdomen

a. Janin sering belum cukup bulan, TFU masih rendah

b. Sering dijumpai kesalahan letak janin

c. Bagian terbawah janin belum turun

d. Pemeriksaan USG

e. Evaluasi letak dan posisi plasenta.


f. Posisi, presentasi, umur, tanda-tanda kehidupan janin.

Tatalaksana

Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua kasus perdarahan

antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin, dan melakukan resusitasi secara

tepat apabila diperlukan. Apabila terdapat fetal distress dan bayi sudah cukup

matur untuk dilahirkan, maka perlu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan

dan memberikan Imunoglobulin anti D pada semua ibu dengan rhesus negatif.

Penanganan ibu dengan plasenta previa simtomatik meliputi : setelah

terdiagnosis maka ibu disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, menyediakan

darah transfusi apabila dibutuhkan segera, fasilitas yang mendukung untuk

tindakan bedah sesar darurat, rencana persalinan pada minggu ke-38 kehamilan

namun apabila terdapat indikasi sebelum waktu yang telah ditentukan maka dapat

dilakukan bedah sesar saat itu juga.

Cara pesalinan ditentukan oleh jarak antara tepi plasenta dan ostium uteri

internum dengan pemeriksaan USG transvaginal pada minggu ke-35 kehamilan.

Apabila jaraknya >20 mm persalinan pervaginam kemungkinan besar berhasil.

Apabila jarak antara tepi plasenta dengan ostium uteri internum 0-20 mm maka

besar kemungkinan dilakukan bedah sesar, namun persalinan pervaginam masih

dapat dilakukan tergantung keadaan klinis pasien.

Komplikasi

1. Prolaps tali pusat

2. Prolaps plasenta

3. Plasenta melekat sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu

dibersihkan dengan kuretase


4. Robekan-robekan jalan lahir karena tindakan

5. Perdarahan post partum

6. Infeksi karena perdarahan yang banyak

7. Bayi prematur atau lahir mati

8. Anemia1

Daftar Pustaka

Tolvonen S, Heinonen S., Reproductive Risk Factor, Doppler Findings, and

Outcome of Affected Births in Placental Abruption : A Population Based

Analysis, available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ entrez/query. fcgi,

2002 ; 451-60.

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.

Williams Obstetrics. 23rd edition. Philladelphia : McGraw-Hill Education; 2009.

Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, editor. Obstetri Patologi:

Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi II. Jakarta : EGC ; 2004.

Vasa previa

Definisi

Vasa praevia adalah komplikasi obstetrik dimana pembuluh darah janin

melintasi atau berada di dekat ostium uteri internum (cervical os) . Pembuluh

darah tersebut berada didalam selaput ketuban ( tidak terlindung dengan talipusat

atau jaringan plasenta) sehingga akan pecah bila selaput ketuban pecah.
Etiologi /Patofisiologi

Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban

yang berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut dapat

berasal dari insersio velamentosa dari tali pusat atau bagian dari lobus

suksenteriata (lobus aksesorius). Bila pembuluh darah tersebut pecah maka akan

terjadi robekan pembuluh darah sehingga terjadi eksanguisasi dan kematian

janin.

Diagnosis

 Jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat diduga bila usg

antenatal dengan Coolor Doppler memperlihatkan adanya pembuluh darah

pada selaput ketuban didepan ostium uteri internum. [2][3]

 Tes Apt : uji pelarutan basa hemoglobin. Diteteskan 2 – 3 tetes larutan

basa kedalam 1 mL darah. Eritrosit janin tahan terhadap pecah sehingga

campuran akan tetap berwarna merah. Jika darah tersebut berasal dari ibu,

eritrosit akan segera pecah dan campuran berubah warna menjadi coklat.

 Diagnosa dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput ketuban dan

plasenta
 Seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat

bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak fatal bagi janin

Terapi

Seksio sesar

Diabetes Gestasional

Definisi

Diabetes gestasional disebabkan karena adanya perubahan metabolisme

karbohidrat selama kehamilan, dimana keadaan resistensi insulin tidak diimbangi

dengan sekresi insulin yang adekuat. Insulin disekresi oleh sel  pankreas, ibu

dengan diabetes gestasional memiliki defek pada fungsi sel  pankreas ini. Ibu

yang menderita diabetes gestasional kebanyakan telah mengalami resistensi

insulin kronis karena disfungsi sel  pankreas sejak sebelum masa kehamilan.

Disfungsi sel  pankreas dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah

satunya adalah destruksi sel  pankreas oleh reaksi autoimun yang ditemukan

pada diabetes tipe 1.

Selain reaksi autoimun, defek fungsi sel  pankreas juga dapat disebabkan

oleh mutasi autosomal yang menyebabkan maturity onset diabetes of the young

(MODY). MODY terdiri atas beberapa subtipe, mutasi dapat terjadi pada gen

yang mengkode glukokinase (MODY 2), hepatocyte nuclear factor 1α (MODY 3)

dan insulin promoter factor 1 (MODY 4). Selain karena adanya defek fungsi sel 

pankreas, diabetes gestasional juga dapat disebabkan karena adanya gangguan

pada insulin signaling pathway, penurunan ekspresi PPARγ dan penurunan

transport glukosa yang dimediasi insulin pada otot skelet dan adiposity.
Patogenesis dan Patofisiologi

Kehamilan merupakan suatu kondisi diabetogenik yang ditandai dengan

adanya resistensi insulin dan peningkatan respons sel  pankreas dan

hiperinsulinemia sebagai kompensasi. Resistensi insulin umumnya dimulai sejak

trimester kedua kehamilan dan keadaan ini terus berlangsung selama sisa

kehamilan. Sensitivitas insulin selama kehamilan dapat menurun hingga 80%.

Hormon-hormon yang disekresi oleh plasenta, seperti progesteron, kortisol,

human placental lactogen (hPL), prolaktin dan growth hormone, merupakan

faktor yang berperan penting dalam keadaan resistensi insulin saat kehamilan.

Progesteron dan estrogen dapat berpengaruh mempengaruhi resistensi

insulin secara langsung maupun tidak langsung. Kadar hPL semakin meningkat

seiring bertambahnya usia kehamilan, hormon ini bekerja seperti growth hormone

yaitu meningkatkan lipolisis. Lipolisis menyebabkan bertambahnya kadar asam

lemak bebas yang beredar dalam darah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan

resistensi insulin di jaringan perifer. Pertumbuhan fetus bergantung pada kadar

glukosa plasma ibu. Adanya resistensi insulin menyebabkan tingginya kadar

glukosa plasma ibu, yang kemudian akan berdifusi ke dalam aliran darah janin

melalui plasenta. Ibu yang menderita diabetes gestasional tingkat resistensi insulin

yang lebih tinggi daripada kehamilan normal dan tidak dikompensasi dengan

sekresi insulin yang adekuat.


Gambar 2.1 Pregestasional Diabetes dan Gestasional Diabetesc

Pada wanita hamil, terdapat perubahan metabolisme, salah satu nya

metabolisme glukosa. Pada awal kehamilan, terjadi hyperplasia dari sel β

pancreas yang merupakan dampak dari meningkatnya hormone estrogen dan

progesterone pada ibu. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya kadar insulin

pada awal kehamilan. Pada trimester kedua dan ketiga, adanya faktor dari feto-

plasenta membuat penurunan sensitivitas insulin dari ibu. Karena Janin sangat

membutuhkan transport glukosa karena tidak bisa membentuk glukosa, sehingga

janin membutuhkan suplai dari ibu. Oleh sebab itu, dalam tubuh ibu terjadi

peningkatan glukoneogenesis. Patofisiologi dari Diabetes Gestasional dibagi

menjadi dua : 1) Peranan unit feto-plasenta dan 2) Peranan jaringan adipose

Peranan unit feto-plasenta

Dalam beberapa abad terakhir, terjadi diabetes gestasional disebabkan

adanya peningkatan resistensi insulin dan penurunan sensitivitas insulin selama

kehamilan yang merupakan efek dari meningkatkan hormone yang dihasilkan

selama kehamilan, seperti estrogen, progesterone, kortisol dan laktogen dalam

sirkulasi maternal. Sehingga semakin meningkatnya usia kehamilan, resistensi

insulin semakin besar.

Hormon Plasenta

Plasenta mensintesa progesterone dan pregnenolone. Progesteron ini

memasuki sirkulasi janin, dan sebagai sumber pembentukan kortisol dan


kortikosteron di kelenjar adrenal janin. Peningkatan kortisol selama kehamilan

normal menyebabkan penurunan toleransi glukosa. Sedangkan pregnenolone ini

merupakan sumber pembentuk estrogen, dimana hormone ini mempengaruhi

fungsi sel  pankreas.

Selain estrogen dan progesterone, Human placental lactogen (hPL)

merupakan produk dari gen hPL-A dan hPL-B yang disekresikan ke sirkulasi

maternal dan janin. hPL ini akan terpengaruh oleh kadar glukosa, dimana tinggi

bila hipoglikemia, dan sebaliknya. Pada trimester kedua kehamilan, kadar hPL ini

meningkat 10x lipat, yang menandakan kondisi hipoglikemia. hPL ini

menstimulasi lipolisis, yang menyebabkan tingginya kadar asam lemak dalam

sirkulasi, ditujukan untuk membentuk glukosa yang dibutuhkan oleh janin. Asam

lemak ini berfungsi antagonis dengan fungsi insulin, sehingga terjadi hambatan

penyimpanan glukosa dalam sel.

Peranan jaringan adipose

Dalam decade terakhir, adipositokin, yang merupakan produk dari jaringan

adiposity diduga berperan dalam regulasi metabolism maternal dan resitensi

insulin selama kehamilan. Adipositokin, termasuk leptin, adiponektin, Tumor

Necrosis Factor- alpha, IL-6, resistin, visfatin dan apelin ini diproduksi

intrauterine.d

Adiponektin

Adiponektin ini mempunyai efek sensitisasi insulin dengan cara

menurunkan trigliserida jaringan. Trigliserida jaringan ini berperan dalam

resistensi insulin, karena mengganggu aktivasi insulin-stimulated

phosphatidylinositol 3-kinase dan translokasi Glucose transporter 4 (GLUT-4)


serta uptake glukosa. Dalam sebuah penelitian oleh Yamauchi et al, pada wanita

hamil dengan diabetes gestasional, ditemukan penurunan adiponektin, yang secara

sinergis meningkatkan resistensi insulin dibandingkan wanita hamil dengan kadar

glukosa normal.

TNF-alpha

Selain adiponektin, adipositokin lain yang diproduksi oleh plasenta dan

jaringan lemak subkutan yang dihubungan dengan diabetes gestasional adalah

TNF-alpha. TNF-alpha ini merupakan predictor dari resistensi insulin selama

kehamilan dan merupakan cerminan terbalik dari sensitivitas insulin,

tergambarkan bahwa TNF-alpha ini ditemukan rendah pada awal kehamilan, dan

tinggi pada akhir kehamilan. Hal ini sejalan dengan sensitivitas insulin yang terus

menurun pada akhir kehamilan. Pada sebuah penelitian in-vitro, TNF-alpha

ditemukan menurunkan signal reseptor insulin, sehingga pada kehamilan lanjut

terjadi penurunan sensitivitas insulin. Sebagai tambahan, TNF-alpha ini juga

menurunkan kadar adiponektin di adiposit.

Diagnosis

Sampai saat ini, masih banyak perdebatan dalam mendiagnosis diabetes

gestasional. Ada banyak pihak yang menyusun pendekatan dalam diagnosis hal

ini. Tabel memaparkan pendekatan diagnosis secara single-step yang dipublikasi

oleh The International Association of Diabetes and Pregnancy Study Groups

(IADPSG). Pendekatan yang dipublikasi ini tidak disetujui oleh The American

College of Obstreticians and Gynecologits yang menggunakan pendekatan two-

step dalam melakukan skrining dan diagnosis diabetes gestasional. Namun, kedua

pendekatan diagnosis tersebut dilakukan pada wanita hamil di atas 24 minggu.


Tabel Diagnosis Diabetes Gestasional

Jenis pengukuran glukosa Ambang batas

Gula darah puasa 92 mg/dL

1 jam post 75 g glukosa 180 mg/dL

2 jam post 75 g glukosa 153 mg/dL

Tabel Diagnosis Diabetes Gestasionalc

Pemberian glukosa per oral

Waktu 100 gram glukosa 75 gram glukosa

Puasa 95 mg/ dL 95 mg/ dL

1 jam 180 mg/ dL 180 mg/ dL

2 jam 155 mg/ dL -

3 jam 140 mg/ dL 95 mg/ dL

Tabel menggambarkan tentang kriteria diagnosis diabetes gestasional yang

telah disetujui oleh WHO, ADA dan The American College of Obstetricians and

Gynecologists. Untuk syarat diagnosis, pemberian glukosa di lakukan pagi hari

setelah 8 jam puasa dan setelah 3 hari tidak diet berpantang dan berolahraga.

Dampak diabetes gestasional terhadap janin

Makrosomia

Gambar Perbandingan Lingkar kepala/lingkar perut pada penderita diabetes

gestasional
Bayi yang lahir dari ibu diabetes gestasional disebut makrosomia. Hal ini

terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan intrauterine. Dari gambar di atas,

terlihat bahwa pada ibu dengan diabetes gestasional, pertumbuhan janin terganggu

dengan pertumbuhan abdomen tidak seimbang dengan pertumbuhan kepala dinilai

dari besar lingkar kedua hal tersebut. Hal ini dapat berdampak pada metode

persalinan yang digunakan. Karakteristik bayi makrosomia adalah penumpukan

lemak pada bahu dan batang tubuh, sehingga merupakan predisposisi terjadinya

distosia bahu.

Hipoglikemia

Neonatus pada ibu yang diabetes ini akan mengalami penurunan

mendadak glukosa. Glukosa darah < 45 mg/dL merupakan hal yang dapat ditemui

pada neonatus dari ibu yang mempunyai kondisi glukosa yang tidak stabil.

Pencegahan dan Tatalaksana Diabetes Gestasional

Seperti telah diutarakan sebelumnya, wanita dengan diabetes gestasional

akan memiliki komplikasi yang buruk, tidak hanya saat melahirkan, namun juga

adanya kemungkinan untuk progresi kerusakan vaskular yang cukup signfikan.

Pada trimester pertama, hiperglikemia dapat meningkatkan resiko terjadinya

malformasi pada fetus. Kemudian, pada kehamilan lanjut, hiperglikemia juga

dapat meningkatkan resiko terjadinya makrosomia dan komplikasi metabolik

lainnya saat lahir. Untuk sang ibu, dapat terjadi gangguan retinopati, hipertensi,

gangguan ginjal kronis, dan penyakit-penyakit jantung.1 Oleh karena itu

diperlukan tatalaksana yang tepat dan teknik screening yang tepat. Namun

demikian, tidak terdapat bukti yang cukup kuat untuk melakukan screening dalam

pengobatan diabetes gestasional. Namun di Amerika Serikat, menurut American


College of Obstetrician and Gynecologists (ACOG), lebih dari 90% tempat

praktek sudah melakukan screening, dan sudah terbukti memberikan hasil yang

lebih baik.

Salah satu teknik screening yang telah dilakukan di banyak tempat di

Amerika Serikat adalah dengan glucose challenge test yang dilakukan pada saat

pemeriksaan antepartum. Pada pemeriksaan antepartum pertama, wanita dengan

resiko diabetes gestasional yang tinggi dilakukan 50-g glucose challenge test

dengan batas 130 mg/dL (sensitivitas 90%) atau 140 mg/dL (sesnitivitas 80%).

Apabila pada pemeriksaan ini didapatkan hasil positif, maka dilakukan 100-g

three hour oral glucose challenge test untuk mendiagnosis diabetes gestasional.

Diagnosis ditentukan apabila 2 hasil pemeriksaan glukosa darah melebihi batas,

dimana pemeriksaan meliputi, glukosa puasa, 1 jam glukosa, 2 jam glukosa, dan 3

jam glukosa, dengan batas sesuai pada tabel 1. Pada rekomendasi WHO,

digunakan 75-g oral glucose tolerance test.

Tabel Nilai glukosa untuk diagnosa diabetes gestasional

Tes Diagnostik Puasa 1 jam 2 jam 3 jam

(mg/dL) (mg/dL) (mg/dL) (mg/dL)

100-g oral glucose 95 180 155 140

tolerance test

75-g oral glucose 126 - 140 -

tolerance test

Sebelum membicarakan mengenai terapi dan tatalaksana, perlu diketahui

target nilai glukosa normal pada wanita hamil. Setelah dilakukan studi

observasional, maka didapatkan hasil untuk glukosa puasa yaitu dibawah 96


mg/dL, untuk glukosa 1 jam postprandial yaitu dibawah 140 mg/dL dan untuk 2

jam post prandial yaitu dibawah 120 hingga 127 mg/dL.

Terapi lini utama untuk wanita dengan diabetes gestasional adalah dengan

modifikasi diet, atau dikenal juga dengan terapi nutrisi. Teknik ini dilakukan

dengan ahli nutrisi, dimana melibatkan penghitungan karbohidrat yang

dibutuhkan, serta rekomendasi makanan spesifik. Selain hanya melalui diet, juga

dapat dilakukan olahraga yang cukup untuk tatalaksana diabetes gestasional.

Keuntungan dari terapi ini adalah aman, praktis, dan intervensi yang dilakukan

tidak memakan biaya terlalu besar.

Penggunaan obat-obatan (farmakoterapi) dilakukan apabila hasil terapi

nutrisi tidak adekuat. Kontrol glukosa yang tidak adekuat, tidak tercapainya berat

badan yang diharapkan, dan apabila pasien terus menerus merasa lapar. Obat-

obatan yang dapat digunakan antara lain,

1. Insulin. Insulin merupakan terapi farmakologis lini utama untuk diabetes

gestasional. Dapat digunakan baik dengan cara bolus, maupun dengan

insulin pump. Penggunaan bolus analog (aspart, lispro) menunjukan

perkembangan yang cukup signifikan dan aman digunakan saat kehamilan.

Kecuali pada dosis yang sangat tinggi, dipastikan tidak melewati plasenta.

Tidak ditemukan efek samping maternal maupun fetal sampai saat ini.

2. Metformin. Sejumlah penelitian sudah melakukan penelitian terhadap

metformin. Data yang didapatkan yaitu adanya penurunan resiko

terjadinya abori spontan pada wanita hamil dengan polycystic ovary

syndrome (PCOS).
Selain itu, penggunaan obat antihiperglikemik oral seperti sulfonylurea

glyburide. Namun tidak seperti kedua obat sebelumnya, penggunaan obat ini

memiliki beberapa kontroversi, termasuk mengenai kemampuan obat untuk

melalui plasenta.2

Untuk pencegahan terjadi hal yang tidak diinginkan, pada pemeriksaan

antenatal dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, diantaranya,

1. Pemeriksaan retina, dilakukan pada pemeriksaan antenatal pertama dan

diulang kembali pada 28 minggu bila pada pemeriksaan pertama

didapatkan hassil normal.

2. Pemeriksaan fungsi ginjal.

3. Pemeriksaan malformasi kongenital, dilakukan pada minggu ke 18-20.

4. Pemeriksaan perkembangan fetus, dilakukan setiap 4 minggu dari usia 28

hingga 36 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Tracy L, Setji M, Brown AJ, Feinglos MN. Gestational Diabetes Mellitus. Clin

Diabetes. 2005;23(1):17–24.

Kaaja R, Ronnemaa T. Gestational Diabetes: Pathogenesis and Consequences to

Mother and Offspring. Rev Diabet Stud. 2009;5(4):194–202.

Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, Spong C. Maternal

Physiology. Williams Obstetrics. 23rd ed. McGraw-Hill; 2010. p. 111–4.

Al-Noaemi MC, Shalayel MHF. Pathophysiology of Gestatinal Diabetes Mellitus

: The Past, the Present and the Future.In: Radenkovic M, editor. Gestational

Diabetes. Croatia: InTech. 2011.


Thompson D, Berger H, Feig D, Gagnon R, Kader T, Keely E, et al.Diabetes and

Pregnancy. Can J Diabetes 2013;37:168-83

Serlin DC, Lash RW. Diagnosis and management of Gestational Diabetes

Mellitus. Am Fam Physician 2009;80(1):57-62

National Institute for Health and Clinical Excellence. Diabetes in pregnancy.

NICE 2008.

Kehamilan post term

Definisi

Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,

kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post

datisme atau pascamaturitas.

Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung

lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid

terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28 hari.

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians

and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang

berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama

siklus haid terakhir (HPHT).

Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan postterm

adalah penentuan usia kehamilan berdasarkan HPHT seringkali tidaklah mudah,

karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu penentuan saat

ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang

mempengaruhi perhitungan: variasi siklus haid, kesalahn perhitungan oleh ibu dan
sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada trisemester I, usia

kehamilan dapat ditentukan lebih tepat , dengan penyimpanagn hanya lebih atau kurang

satu minggu.

Epidemiologi

Angka kejadian kehamilan lewat waktu bervariasi antara 4%-14% dengan

rata-rata sebesar 10%. Hal ini sangat tergantung kepada kriteria yang digunakan

untuk mendiagnosis.

Gambar di bawah ini menyatakan bahwa 8% dari 4 juta bayi yang dilahirkan

di Amerika Serikat sepanjang tahun 1997, diperkirakan dilahirkan pada usia

gestasi ≥ 42 minggu sedangkan yang dilahirkan preterm (usia gestasi ≤ 36

minggu) hanya sebesar 11%.

Usia Gestasi
2000000 1.793.421
1800000 (46%)
1600000
1400000
1200000
851.729
1000000 (22%)
800000 458.145
600000 436.600 302.541
(12%)
(11%) (8%)
400000
200000
0
≤ 36 37-39 40 41 ≥ 42

Adapted from Ventura and Colleagues, 1999

Gambar : Tabel Distribusi Usia Gestasi

Sedangkan kepustakaan lainnya menyatakan bahwa perbedaan yang lebar juga

disebabkan oleh karena adanya perbedaan dalam menentukan usia kehamilan.


Sebanyak 10% ibu lupa tanggal haid terakhirnya sehingga terjadi kesukaran dalam

menentukan secara tepat saat ovulasi.

Menurut Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi (POGI), insidens

kehamilan lewat waktu sangat bervariasi antara lain :

 Insidens kehamilan 42 minggu lengkap : 4 – 14 %, 43 minggu lengkap 2

– 7 %.

 Insidens kehamilan post-term tergantung pada beberapa faktor : tingkat

pendidikan masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi

persalinan, frekuensi seksio sesaria elektif, pemakaian USG untuk

menentuka usia kehamilan.

 Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuensi

kelahiran pre-term tinggi, bila angka induksi persalinan dan seksio sesaria

elektif tinggi, dan bila USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia

kehamilan.

Peningkatan mortalitas dan morbiditas secara signifikan berhubungan dengan

distosia akibat makrosomia. Sekitar 10-25% janin yang lahir lewat waktu

memiliki berat badan lebih dari 4000 gram dan 1,5% janin dengan berat badan

sekitar 4500 gram. Insidens distosia bahu pada kehamilan lewat waktu adalah

sebesar 2%. Resiko mengalami distosia akibat makrosomia adalah 3 kali lipat dan

peningkatan insiden distosia bahu sebesar 2 kali lipat pada kehamilan lewat waktu

dibandingkan dengan wanita yang melahirkan bayi pada kehamilan 40 minggu.


Etiologi Kehamilan Postterm

Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih

belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk

menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya

kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron

melewati waktu yang semestinya.

2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita

hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab

terjadinya kehamilan postterm.

3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta

sehingga produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen.

Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi

prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti

anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan

menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan

berlangsung lewat bulan.

4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm

terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari

pleksus Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada

keadaan kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah

janin.

5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm

telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007)


menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami

kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan

postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan

kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik.

Mogren (1999) menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan

postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak

perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.

Patofisiologi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion,

plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut

dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Perubahan pada Plasenta.

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada

kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta

mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun

terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan

peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan

fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan plasenta

laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut.

Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai

dengan progresivitas degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta

yang terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervilli,

spasme arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah tebal

dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport


plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi aliran natrium, kalium,

glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami gangguan sehingga

janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.

2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan

amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu,

yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan

40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar

480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu.

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan

dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan

pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan

hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat

menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya menimbulkan

oligohidramnion. Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus

kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian

perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi

tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan

gawat janin saat intra partum.

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion

sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik

kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-

paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin

menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan
mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko

terjadinya aspirasi mekonium.

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah

satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari

kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil

penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan

anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau

kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.

3. Perubahan pada janin

Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka

terjadi penurunan berat janin. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat

berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya

umur kehamilan. Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada

kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih besar.

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan

postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan

pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas.

Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus,

kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo. Keadaan ini

menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan

lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau

kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus

kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta.


Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada

kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium:

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa

kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Diagnosis Kehamilan Postterm

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari

seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena

kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan

diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan

menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di

dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan neonatus untuk

mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian

intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang

merugikan bagi ibu maupun janin.

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan

apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm

berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh

American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan

yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari

pertama siklus haid terakhir (HPHT).


Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak

bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid,

diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen.

Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu

harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak

minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir.

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang

ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai

kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi

yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada

asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari

pertama siklus haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi menyebabkan

kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan asumsi

bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak

selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular,

yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki

siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.

Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya


(Bennett, et al., 2004)
dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi.

Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT

adalah ± 1,37 minggu.


2. Riwayat pemeriksaan antenatal

Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah

terlambat haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6

minggu.

Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan

18-20 minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu,

sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan

ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20

menit, atau secara obyektif dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar

mulai umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar

pada usia kehamilan 10-12 minggu.

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai

kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan

sebagai berikut:

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif

b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan

stetoskop Laennec.

3. Tinggi Fundus Uteri

Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam

sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang


setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur

kehamilan secara kasar.

4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah

banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan

postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia

kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih

tinggi dibanding dengan metode HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang

didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa

kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal

perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump

length) adalah ± 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan antara 16-26

minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur

(femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan.

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut

hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah

dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Pemeriksaan sesaat

setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air

ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm,

tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran biometri janin

pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat

kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat

kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan


USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan

usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan

melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.

5. Pemeriksaan laboratorium

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel

lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak

melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila

jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.

b. Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil

membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah.

Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia

kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia

kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA

antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan sudah postterm.

c. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S

pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan

±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan

menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan

postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup

usia/matang untuk dilahirkan.

d. Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)

mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat

dipakai untuk menentukan usia gestasi.


F. Komplikasi Kehamilan Postterm

Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi

perineum, perdarahan post partum, endomiometritis dan penyakit tromboemboli.

Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom

gawat nafas, hipoglikemia, hipofungsi adrenal.

G. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak

perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan

postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu

dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana

yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada

±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan skor

Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena

itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus

dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan

induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan

pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia

sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk

mengakhiri kehamilan. 2 Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan

keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks,

perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.

1. Pemantanauan kesejahteraan janin

Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel

biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini
memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel

saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel

yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-

stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e)

volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0

bila abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada

pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai

akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang impulsnya berasal

dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam

keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi

sementara sebagai respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini

dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat

akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan

peningkatan usia kehamilan.

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi

(contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara sederhana, NST adalah

tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk menilai

fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering

digunakan untuk menilai kesejahteraan janin.


b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan

dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall movement). Pada janin,

ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan

dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang

terjadi pada neonatus dan orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan

kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion

yang menyerupai gerakan pada saat batuk.

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya

keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan USG dengan proses

evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi secara

episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas

menjadi tidak dapat dipercaya. Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi

selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan

gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan.

Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan

gerakan nafas bahkan sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan

bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas

membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai

kesejahteraan janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan

pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin.

c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak

minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta terkoordinasi pada akhir
kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak

pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil

baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20

minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat

dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus.

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih

teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester

ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat

sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin. Pergerakan rata-rata harian

janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan

janin rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai

nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam.

Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena

janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan

oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin maturnya janin.

Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga.

d. Pemeriksaan tonus janin

Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi

ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi

fleksi. Tonus janin dapat juga dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang

membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam keadaan normal,

gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus


janin juga dianggap normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama

30 menit pemeriksaan.

e. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan

antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes

ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan

menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada

akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion.

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG

dengan cara menilai indeks cairan amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian

dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari

setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah

turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya

oligohidramnion.

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion

vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume

cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.

Gambar: Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas, maka

didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai kesejahteraanya. Skor

profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.

Tabel: Penilaian Skor Profil Biofisik

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat berupa

penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil melakukan

pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka

penanganan diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.

Tabel: Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik

Pengelolaan secara ekpetatif dipertahankan selama 1 minggu dengan

pemantauan secara berkala. Apabila timbul suatu masalah seperti kegawatan janin

dapat dilakukan pengelolaan aktif.


2. Induksi persalinan

Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi indikasi

untuk pelaksanaan induksi persalinan dengan pertimbangan kondisi bayi yang

cukup baik atau optimal. Induksi persalinan menjadi salah satu prosedur medis

yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat

dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998.

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum

inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang timbulnya

kontraksi uterus. Pematangan serviks adalah tindakan farmakologik atau cara lain

untuk memperlunak atau meningkatkan dilatasi serviks dengan tujuan untuk

meningkatkan keberhasilan induksi persalinan. Tindakan induksi persalinan ini

adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan

terencana dan hati-hati, kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan

janin tetap ada.

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh beberapa

keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari kematangan serviks

(favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat dilakukan dengan

menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan lima faktor yang

didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan untuk memperkirakan

keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi

serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi

serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.


Tabel :Pelviks skor menurut Bishop.

Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi persalinan

yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya menunjukkan keadaan

serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga membutuhkan pematangan

serviks yang bisa dilakukan secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida)

ataupun teknik (kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping).

Pada kehamilan postterm, harus diperhatikan nilai oematangan serviks (Skor

Bishop) karena akan mempengaruhi tindakan induksi. Apabila skor bishop > 5

maka di induksi dengan infus oksitosin,tetapi bila skor bishop ≤ 5 maka diberikan

misoprostol 25 µg per vaginam. Dievaluasi 6 jam kemudian, apabila skor bishop

sudah >5 maka dilanjutkan infus oksitosin, namun apabila setelah 6 jam masih

sama atau ≤ 5 maka dilanjutkan misoprostol dengan cara pemberian yang sama.

Bila dalam 6 jam kemudian belum inpartu maka dilanjutkan infus oksitosin.

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi persalinan
(Heimstad, 2007)
dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek yang poten

terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin

meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang

diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak dipakai. Titrasi

ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-
20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini
(Cunningham, et al., 2010)
akan menghasilkan kadar oksitosin 10-20 mU/mL. Terdapat

berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang

menggunakan dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel :Rejimen drip induksi dengan oksitosin.

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin 20

mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit masih

tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi dilanjutkan.

Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan ikatan oksitosin

dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik

atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga

zmeningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap berhasil kalau

didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his sekitar 3 kali dalam 10 menit

dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau lebih (200 Montevidio).

3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion

Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm tergantung

pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal, harus dilakukan

evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan

postterm yang diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan

pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin.


Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut beberapa

penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk (1999) yang dikutip

dari (Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500

ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan

kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan

bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada kelompok

oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor

APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil

penelitian Divon dkk (1995) yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga

menyatakan bahwa hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm

yang mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium.

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al., (2010)

melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5 cm tidak

berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga dengan Magann

dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko komplikasi intrapartum

pada kondisi oligohidramnion.

Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin

postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan pengawasan ketat

dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan

neonatal yang memadai. Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan

pada kehamilan postterm mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin.

Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.

b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.


c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi

kegawatan janin

d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah

neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan

resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur

mekonium.

e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas

Gambar: Skema penatalaksanaan kehamilan postterm.


DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In :

Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York: 729 – 742. 1095-

1108.

Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo, Kehamilan Lewat Waktu, Jakarta, 2002 hal: 317-320.

Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri Patologi).

Edisi 2. EGC. Jakarta.

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran

Bandung. 1982. Obstetri Patologi,. Penerbit : Elstar Offset. Bandung

Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd

edition, W.B. Sauders company,1992, page 316-318

Shaver D.C. et al, Clinical Manual Of Obstetrics, 2 nd Edition, Mc Graw

International Editions, 1993 page 313-321.

Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and Treatment

Obstetrics & Gynacology 10th edition; McGraw-Hill, 2007 page 187-189

Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, bagian

1, Balai penerbit FKUI, 2003, hal 70-71.

Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles for

Practice, McGraw-Hill. New York, America: 388-395

Asrat T.,Quilligan E.J., 2000. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in

Obstetrics and Gynecology, edisi 5. WB. Saunders Company. Philadelphia

America:321-322
Spellacy W.N., 1999.Postdate Pregnancy in:Danforth’s Obstetrics and

Gynecology. Edisi 8. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia:287-

291.

Puder K.S., Sokol R.J., 1995. Clinical use of Antepartum Fetal monitoring

techniques in:John J.Sciarra Gynecology and Obstetrics vol 2.edisi revisi.

Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia

Briscoe D., et al. 2005. Management of Pregnancy Beyond 40 Weeks’ Gestation

in: www.aafp.org/afp

Singal P., et al. 2001. Fetomaternal Outcome Following Postdate Pregnancy-A

Prospective Study in: www.journal-obgyn-

india.com/articles/issue_sep_oct2001/o_papers_89.asp

Anda mungkin juga menyukai