Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN HASIL OBSERVASI

PEKAN BUDAYA TIONGHOA


KAMPOENG KETANDAN YOGYAKARTA : MUSIUM BATIK
PERANAKAN
2019

Oleh :

1. Bernika Dwi H. Y. (18/425890/SV/15032)


2. Yannief Asfian (18/425915/SV/15057)
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara majemuk yang mempunyai masyarakat yang beragam
latar belakang, salah satunya latar belakang etnis. Indonesia memiliki 1340 Suku bangsa, 742
Bahasa, 7241 Hasil kebudayaan dan 4 Ras. Dari jumlah 1340 suku bangsa tersebut, suku bangsa
terbesar adalah suku Jawa yang jumlah populasinya sebanyak 41% dari jumlah populasi yang
ada di Indonesia, selain itu suku Jawa biasanya berada di pulau Jawa dan juga tersebar ke
seluruh Indonesia dan juga luar negeri.
Salah satu etnis minoritas yang berpengaruh adalah etnis Tionghoa yang sudah tersebar
di berbagai daerah. Di Yogyakarta, Kampoeng Katandan menjadi kampung bagi etnis
Tionghoa. Eksistensi etnis Tionghoa di Kota Yogyakarta mulai diakui sejak masa pemerintahan
Sultan Hamengkubuwono VIII sekitar abad 19 Masehi yaitu dengan didirikannya permukiman
kaum Tionghoa di Ketandan. Penempatan etnis Tionghoa di Ketandan dilatarbelakangi oleh
pembatasan pergerakan dan wilayah tinggal yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Dengan
menetapnya mereka di Ketandan yang berlokasi di Utara Pasar Beringharjo, dimaksudkan agar
aktivitas pasar tertolong oleh mereka yang memang ahli dalam perdagangan.
Keberadaan kaum Tionghoa di wilayah tersebut tentu melakukan interaksi dengan
penduduk asli setempat yaitu kaum Jawa, baik dalam bidang sosial kemasyarakatan, niaga,
maupun bidang budaya. Interaksi mereka yang terus-menerus menghasilkan akulturasi antara
Tionghoa dan Jawa. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tenatng
budaya Jawa dan Cina yang menghasilkan sebuah kebudayaan baru serperti batik peranakan.

I.2 Rumusan masalah


1. Apa itu Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta?
2. Bagaimana museum batik perankan sebagai bukti hasil akulturasi antara budaya Tionghoa
dan Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta
Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) adalah sebuah acara yang
diselenggarakan selama tujuh hari setiap tahun yang bertujuan agar masyarakat mengenal
budaya Tionghoa. Pada Tahun 2019 PBTY diadakan pada tanggal 13 Februari hingga 19
Februari 2018 di Kampoeng Ketandan yang berada di Malioboro. PBTY telah diadakan selama
14 tahun setiap tahunnya. Selama perayaan, pengunjung dapat menikmati berbagai macam
kuliner, menonton pertunjukan, atau mengikuti lomba.
Berbagai lomba berkaitan dengan kebudayaan seperti, lomba karaoke Mandarin,
lomba melukis kepala wayang potehi, lomba Chinese Paper Cutting, lomba Kaligrafi Tiongkok,
dan lomba mendongeng dalam bahasa Mandarin telah menjadi tradisi dan diadakan di setiap
tahunnya. Tidak hanya kuliner dan pertunjukan, PBTY juga mengadakan pameran budaya
seperti, Rumah Budaya, Ketandan dan Dreamlight.
Perayaan Imlek tentu tidak bisa lepas dari kehadiran liong. Sebagai bagian dari
rangkaian PBTY, tahun ini Jogja Dragon Festival (JDF) ke-8 pun diadakan lagi. Namun,
berbeda dari tahun sebelumnya, masyarakat dapat menonton festival naga ini di Sleman City
Hall, pada tanggal 15 Februari 2019. Tiga penampil terbaik di JDF akan diberikan kesempatan
untuk mengikuti Karnaval Budaya PBTY yang menjadi puncak acara. Karnaval Budaya PBTY
disebut sebagai ‘Malioboro Imlek Carnival’. Karnaval yang diikuti perwakilan dari berbagai
daerah ini sangat dinantikan oleh masyarakat Yogyakarta. Malioboro Imlek Carnival akan
diadakan pada hari Sabtu, 16 Februari 2019 pada pukul 18.00 di sepanjang jalan Malioboro
hingga ke Alun-Alun Utara.

2. Musium Batik Peranakan


Musium batik Peranakan adalah salah satu rumah budaya yang diadakan PBTY
yang merupakan bagian dari pameran Musium Sonobudoyo Yogyakarta. Musium Batik
Peranakan menampilkan kebudayaan Tionghoa seperti seni keramik cina, Wayang Cina-Jawa
(WACINWA) dan Batik Lasem.
a. Seni Keramik Cina
Pada abad ke 8 Cina memulai perdagangan dan pertukaran melalui jalur sutra ke
berbagai negara termasuk Nusantara. Cina mulai dikenal sebagai “Negara Porselin”.
Pembuatan keramik berawal dari Cina yang menyebar ke Thailand, Vietnam, Jepang, dan
Eropa. Fungsi keramik selain digunakan sebagai keperluan sehari-hari juga digunakan
sebagai sarana upacara (ritual/bekal kubur), sebagai barang upeti/hadiah kerajaan dalam
diplomasi antar kerajaan dan juga sebagai barang perdagangan. Pertama kali muncul di
Han timur tahun 23 SM-220M di Provinsi Zhenjiang, Cina Selatan. Pada masa Dinasti
Tang dan Dinasti Song pada abad ke 10-13, porselin mengalami perkembangan pesat
hingga masa Dinasti Ming dan Qing tahun 1368-1911 adalah puncak produksi porselin
dengan mutu yang baik. Keramik yang ditemukan di Indonesia berasal dari Cina (abad ke
2-20M)
b. Wayang Cina-Jawa (WACINWA)
Wayang Cina-Jawa (WACINWA) adalah salah satu bentuk dari kesetiakawanan
antara kultur Jawa dan Cina, menyuarakan legenda cina klasik dalam pendalangan Jawa.
Kisah ini diadopsi dari novel karya Lo Koan Chung dan Tio Keng Jian, sastrawan Cina
abad ke-14. Berlatar belakang masa dinasti Tang, WACINWA menceritakan tentang
kemashuran Kaisar Lie Sie Bin dalam kepemimpinannya di tahun 626-649 bersama
prajurit-prajuritnya yang setia dan panglima perang seperti, Cik Siok Po, U Ti Kyong, Thio
Ko Kim serta panhlima muda yang gagah bernama Sie Jin Kwie, juga penasehat Kerajaan
Ci Bouw Kong. Kisah tentang invansi militer yang dilakukan Lie Sie Bin inilah tertuang
dalam sequel SieJinKwieCengTang dan SieJinKwieCengSee.
c. Batik Lasem
Batik Pera nakan adalah batik yang dihasilkan dari akulturasi berbagai budaya
antara lain, Jawa, Cina, India, dan Eropa. Batik peranakan mulai dibuat pada tahun 1950-
an. Motif dari batik Peranakan berasal dari cerita dan hewan mitologi cina, seperti naga
dan singa. Penyebutan batik Peranakan ini diibaratkan seperti kaum Tionghoa yang tinggal
dan menetap di Indonesia hingga sampai keturunan-keturunannya (beranak pinak) maka
disebut Peranakan. Nama lain dari batik perankan ini adalah batik lasem yang merupakan
perpaduan etnis Tionghoa dan kultur jawa. Dalam sejarah keberadaan batik ini terkait
dengan keberadaan Laksamana Cheng Ho di tahun 1413. Kerabat Cheng Ho bernama Bi
Nang Un memutuskan untuk menetap di Lasem.Seiring berjalannya Waktu, akulturasi
kebudayaan tercipta dengan banyak diproduksinya batik yang memiliki ragam motif,
seperti burung hong, kupu-kupu, dan baji yang menunjukkan kultur Tionghoa.
Batik Peranakan yang berada di museum batik perankan banyak yang diproduksi
pada tahun 1950-an. Pembuatan batik ini sama seperti batik pada umumnya ada yang batik
tulis dan batik cap. Batik jenis ini bias dikatakan sudah langka karena sudah tidak
diproduksi lagi untuk beberapa motif tertentu, karena tidak diminati oleh banyak orang
dengan stigma masyarakat tentang kaum minoritas Tionghoa. Motif dari beberapa Batik
Peranakan yang langka terbilang unik seperti batik raket yang bermotif raket, kok yin dan
yang, dan burung yang sekarang hanya terdapat satu. Tetapi mulai diproduksi lagi
walaupun bukan asli batik Peranakan seperti motif-motif batik Peranakan pada zaman dulu.

Kesimpulan
Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) adalah sebuah acara yang
diselenggarakan selama tujuh hari setiap tahun yang bertujuan agar masyarakat mengenal
budaya Tionghoa. Hal yang menarik bagi kami adalah Musium Batik Peranakan yang
menampilkan hasil kebudayaan Jawa dan Cina.
Lampiran

Gambar 1. Gapura kampoeng Ketandan

Gambar 2. Suasana di PBTY


Gambar 2.1 Suasana PBTY Gambar 3. Batik Lasem

Gambar 4. Batik motif Sepasang angsa Gambar 5. Batik motif raket


Gambar 6.3 Batik
Peranakan
Gambar 7. Seni Keramik Cina
Gambar 8. Wayang Cina-Jawa

Anda mungkin juga menyukai