Anda di halaman 1dari 12

Bagian 3

Governance dan Organisasi

Governance dan Organisasi1

Organisasi dan Lingkungan

B erbagai penelitian telah dilakukan sehubungan dengan interaksi antara organisasi


dan lingkungannya'. Paling tidak terdapat dua tipe organisasi yang dapat dibedakan
sesuai dengan perkembangan berbagai teori terkait organisasi-lingkungan (organization-
environment theories)'. Bentuk pertama adalah 'the weak form' dengan penekanan
kepada hipotesis; bagaimana berbagai organisasi memberikan respons terhadap tekanan
lingkungannya (environmental forces). Teori ekologi organisasi (organizational ecology),
yang merupakan derivasi dari model seleksi a lam yang dikenal dalam biologi, berpandangan
bahwa setiap organisasi merupakan bagian dari suatu sistem besar secara keseluruhan
yang harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi agar survive dalam lingkungan
kompetitifnya. Menurut Caroll dan Hannan (1995) perspektif ini memberikan penekanan
kepada pentingnya 'structural isomorphism', dengan fokus kepada pentingnya 'kesesuaian'
antara organisasi 'organizational-fie' dengan lingkungan tempat organisasi tersebut berada.
Namun demikian, pandangan ini mengakui bahwa kemampuan adaptabilitas organisasi
adalah bersifat terbatas yang dirangkum dalam fenomena 'organizational inertia'.
Fenomena ini di antaranya ditandai dengan munculnya politik internal dalam organisasi
dan bertambahnya umur, ukuran, serta kompleksitas suatu organisasi. Dengan demikian,
jika suatu organisasi tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungannya, maka
sesuai dengan hakikat hukum alam (natural selection), organisasi tersebut akan gugur atau
mati dengan sendirinya.

Secara kontras, "the strong form" dari teori organisasi-lingkungan merekomendasikan


hipotesis bahwa perusahaan dan bentuk organisasi lainnya memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi kebijakan publik (public policies) yang akan digunakan untuk mengatur
dan mengendalikan organisasi tersebut. Misalnya, resource dependence theory memiliki
pandangan bahwa lingkungannya akan membatasi setiap organisasi, dan suatu organisasi
akan bergantung kepada organisasi lainnya dalam ha! kebutuhan sumber daya atau
resources mereka4• Lebih lanjut, perspektif ini juga beranggapan bahwa kunci untuk
bertahan di dalam lingkungan organisasi adalah kemampuan untuk memperoleh dan
mempertahankan sumber daya dari organisasi lainnya di dalam lingkungan industri
tempat mereka berada. Untuk mengurangi ketergantungan organisasi yang berpotensi
dapat mengurangi berbagai tindakan mereka secara otonom (tanpa terikat dan tergantung
dengan organisasi lain) serta mampu untuk bertahan, maka setiap organisasi harus memiliki
kemampuan untuk merumuskan strategi yang dapat atau mampu mengelola lingkungan
dan perubahan lingkungan mereka masing-masing (lihat Darity, 2008).

- 35 -
CORPORATE GOVERNANCE
Menuju Penguatan Konseptual & lmplementasi di Indonesia

Jika sudut pandang weak form dapat dianggap sebagai thesis, maka pandangan organisasi-
lingkungan dalam bentukstrongform dapatdianggap sebagai antithesis. Sebagai dasarsudut
pandang hubungan antara keberadaan organisasi dan lingkungannya, proses dialektika ini
melahirkan berbagai derivasi teori yang dapat digunakan di dalam mengamati berbagai
fenomena yangberhubungan dengan interaksi antaraorganisasi dan lingkungannya. Namun
demikian, belum terdapat klaim yang menyatakan bahwa berbagai teori turunan tersebut
merupakan synthesis antara model weak form (sebagai thesis) dengan model strong form
(sebagai anti thesis) sebagai bagian dari dialectical process dalam tradisi keilmuan. Berbagai
akademisi yang melakukan kajian yang berhubungan dengan organisasi-lingkungannya,
lebih ban yak mengambi I posisi pada salah satu dari dua model di atas.

T eori Organisasi; Sudut Pandang Sosiologis


Menurut Casey (2002) berbagai praktik sosial dan budaya dari sebuah organisasi (termasuk
berbagai wacana tentang organisasi) secara tipikal ditemui dalam disiplin ilmu sosiologi.
Namun demikian, bidang kajian manajemen dan organisasi secara spesifik lebih didasarkan
kepada bi dang keilmuan behavioral psychologies dan economics of the firm (p. 8). Dengan
demikian, maka studi terhadap berbagai fenomena organisasi serta perilaku dari berbagai
individu serta entitas organisasi tersebuttidak bisa dilepaskan dari disiplin sosiologi sebagai
dasar analisis. Dalam kaitan ini Casey (2002) lebih lanjut memberikan penekanan bahwa
dari sudut pandang sosiologi kajian terhadap organisasi dipahami melalui hubungan antara
social institutions dengan social historical action (p. 9). Selanjutnya, hubungan antara ide
dan aplikasi (praktik) dari suatu entitas ekonomi dan manajemen termasuk sebagai bidang
kajian sosiologi, khususnya fenomena individu yang membentuk asosiasi atau kelompok
secara formal dengan tujuan menghasilkan sesuatu yang memiliki makna secara ekonomis.

Berdasarkan sudut pandang sosiologis, teori organisasi merupakan "theoretical perspective


which conceives of organizations as complex social actors and investigates how the
structures they adopt affect their behavior" (Darity, 2008, p. 70). Berdasarkan pengertian
tersebut paling tidak terdapat beberapa kata kunci: (a) organisasi sebagai aktor sosial yang
bersifat kompleks, dan (b) memberikan penekanan kepada struktur5 dari sebuah organisasi
serta bagaimana struktur tersebut mempengaruhi perilaku organisasi yang bersangkutan.
Namun demikian, kata "struktur" dalam konteks ini merupakan penekanan utama, karena
teori organisasi mengadopsi spektrum yang luas terhadap terminologi tersebut. Bukan
hanya berupa "struktur formal" namun secara lebih luas mencakup hubungan dan jaringan
informal serta aspek budaya dan kognitif dari setiap organisasi.

Dengan cakupan yangdemikian luas, maka subjek kajian teori organisasi akan berhubungan
dengan jawaban atas serangkaian pertanyaan berikut: (a) bagaimana dan kenapa organisasi
dibentuk? (aspek how dan why), (bl bagaimana bentuk dan struktur dari organisasi
tersebut? (aspek what forms?), (c) bagaimana perilaku organisasi? (behave as they do),
dan (d) bagaimana dan alasan apa yang menyebabkan organisasi bertahan? (aspek why
survive or fail?). Berbagai pertanyaan tersebut mempertegas posisi bahwa teori organisasi
lebih memberikan fokus perhatian kepada 'organisasi sebagai entitas kolektif', sehingga

- 36 -
Bagian 3
Governance dan Organisasi

keberadaan teori organisasi akan menjadi komplementer dari kajian tentang perilaku
organisasi (organizational behavior) yang lebih memfokuskan diri kepada individu dan
kelompok kecil dalam organisasi yang secara lebih luas akan tercakup dalam kategori
'organization studies'.

Teori organisasi merupakan derivasi dari berbagai latar belakang bidang ilmu, termasuk;
sosiologi, ilmu-ilmu ekonomi, antropologi, dan ilmu politik. Menurut Darity (2008) para
ahli yang memiliki pemikiran berpengaruh terhadap teori organisasi di antaranya adalah
Emile Durkheim, Karl Marx, Adam Smith, dan Max Weber. Dalam kaitan ini, Max Weber
dianggap sebagai ahli yang mempunyai pengaruh sangat kuat di dalam meletakkan dasar
teori organisasi melalui karya fenomenal tentang 'authority and bureaucracy'. Berdasarkan
teori yang dikemukakan Weber serta perkembangan bidang kajian teori organisasi, teori
organisasi pada masa sekarang memberikan penekanan kepada dua perspektif menyangkut
keberadaan dan fungsi organisasi yang selanjutnya berkembang menjadi kajian teori
organisasi baru yang berpengaruh. Pertama, adalah perspektifyang menganggap organisasi
sebagai solusi yang rasional dan efisien di dalam mengatasi berbagai permasalahan
yang berhubungan dengan kerja sama (cooperation), kompleksitas (complexity), dan
ketidakpastian (uncertainty). Kedua, merupakan perspektif yang mempunyai sudut pandang
bahwa organisasi tidak didasarkan kepada struktur rasional dan fungsinya, namun akan
menjadi dasar arti (meaning), dan nilai (value) sosial dari keberadaan organisasi tersebut.

Organisasi sebagai Solusi Rasional terhadap Masalah Sosial


Berbagai teori organisasi yang berkembang lebih awal muncul sejalan dengan dimulainya
revolusi industri. Karakteristik perkembangan teori organisasi pada masa tersebut terfokus
terhadap pada kajian utama dalam upaya untuk menemukan prinsip-prinsip umum
organisasi yang bersifat universal. Para pemikir awal yang berpengaruh dan tergolong ke
dalam kelompok ini adalah Frederick Taylor dan Henri Fayol, dengan hasil kerja yang
mempunyai karakteristik sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip "mechanical and industrial
engineering" di dalam pengelolaan dan pengendalian sumber daya manusia. Namun
demikian, pada tahun 1960-an para ahli teori organisasi mulai mengalihkan perhatian
mereka dari upaya menemukan prinsip organisasi universal. Pada masa ini, fokus kajian
teori organisasi berubah menjadi upaya untuk menemukan berbagai teori dengan dasar
argumentasi bahwa "struktur organisasi yang ideal bukanlah bersifat one-size fits-all, namun
sangat bergantung kepada berbagai faktor yang berada dalam organisasi dan lingkungan
setiap organisasi" (lihat Darity, 2008, p. 79).

Pada tahun 1967, Paul Lawrence dan Jay Lorsch memperkenalkan contingency theory
sebagai pendekatan teori organisasi baru di dalam memahami fenomena organisasi.
Teori kontinjensi ini dipercaya sebagai cara terbaik untuk mengelola organisasi yang
didasarkan pada berbagai karakteristik yang terdapat dalam lingkungan setiap organisasi.
Lawrence dan Lorsch (1967) memberikan argumentasi bahwa setiap lingkungan organisasi
adalah berbeda dan karenanya setiap organisasi secara rasional memberikan respons
yang berbeda di dalam mengadopsi struktur yang tepat (best suited) dengan kondisi

· 37 ·
CORPORATE GOVERNANCE
Menuju Penguatan Konseptual & lmplementasi di Indonesia

lingkungan masing-masing. Ahli organisasi ini mempercayai bahwa tingkatan volatilitas


clan ketidakpastian di \ingkungan setiap mganisasi akan mempengaruni: \a) 1mma\isasi
dari struktur organisasi yang akan diadopsi, (b) tingkat sentralisasi dari pengambilan
keputusan, (c) jangka waktu organisasi akan memberikan perhatian secara fokus terhadap
isu lingkungan tersebut, dan (d) bagaimana setiap organisasi akan mendesain pembagian
subunit dalam organisasi tersebut beserta tugas dari setiap subunit.

Berdasarkan perkembangan teori organisasi pada periode berikutnya Lawrence dan


Lorsch (1967) dapat membuktikan bahwa faktor kontinjensi dari lingkungan organisasi
sangat menentukan kesuksesan pencapaian tujuan organisasi. Sebagaimana ditegaskan
oleh Darity (2008) hal ini terbukti dengan munculnya berbagai teori organisasi baru
pada dekade 1970-an yang mendasarkan argumentasinya kepada contingency theory. Di
antara berbagai teori baru yang dikembangkan berdasarkan asumsi dasar teori kontinjensi
adalah the agency theory, transaction cost economics dan resource dependence theory.
Sebagaimana dipahami (lihat Tricker, 2009) berbagai teori yang berkembang tersebut
menjadi dasar teori dari konsepsi governance yang berkembang pada periode setelah
1970-an hingga saat ini. Secara umum konsep dasar dari the agency theory, transaction
cost economics dan resource dependence theory, dapat dijelaskan sebagai berikut.

The Agency Theory (AT) memberikan fokus terhadap fakta yang berkembang bahwa
dalam setiap organisasi individu (disebut dengan the agent) akan bertindak sebagai pihak
yang dipercaya oleh individu atau sekelompok individu lainnya (disebut the principal).
Hubungan antara keduanya (disebut juga dengan the principal-agent relationships) akan
terjadi dalam organisasi perusahaan antara pemegang saham (stockholders) sebagai
principal dengan pengelola (managers) sebagai agent dalam hubungan tersebut. Para ahli
agency theory menggunakan asumsi bahwa kedua pihak tersebut (baik agent maupun
principal) memiliki kepentingan masing-masing (self interests) dan kepentingan tersebut
lebih banyak mengalami perbedaan dari sudut pandangkeduanya (divergence of interests).
Keinginan yang berbeda tersebut membutuhkan adanya mekanisme yang dapat digunakan
principal (pemegang saham) untuk senantiasa memonitor agents (para manajer). Namun
demikian, mekanisme kontrol tersebut adalah sulit untuk dilakukan dan menimbulkan
biaya (mahal) karena secara natural pihak manajer (agents) umumnya memiliki keahlian
yang lebih baik dibanding pemilik (principals), serta mekanisme kontrol tersebut tidak
dapat dilaksanakan secara terus-menerus dan diobservasi secara langsung. Dal am kaitan ini
para ahli AT berkeyakinan bahwa keberadaan struktur organisasi merupakan upaya yang
rasional untuk digunakan, walaupun bersifat kompleks tetapi mampu menciptakan sistem
yang efisien di dalam mengatur kerja sama antara kedua pihak yang berhubungan. Lebih
lanjut, penganut AT juga meyakini bahwa struktur organisasi maupun mekanisme kontrol
yang dapat digunakan dalam hubungan keagenan tersebut (the agency relationships)
berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya, serta antara satu penugasan
dengan penugasan (task) lainnya. Skala atau tingkatan perbedaan karakteristik struktur dan
mekanisme yang diadopsi oleh setiap organisasi tersebut sangat ditentukan oleh bentuk
ketidaksimetrisan informasi (information asymmetry) antara principals dan agents.

- 38 -
Bagian 3
Governance dan Organisas1

Teori Transaction Cost Economics (TCE) berhubungan sangat dekat dan mirip dengan the
agency theory (An. Namun berbeda dengan AT yang memberikan penekanan kepada
bagaimana struktur organisasi dapat berperan di dalam meng-govern principal-agents
relationships, TCE memberikan penekanan bahwa organisasi adalah bersifat rasional dan
merupakan solusi yang efisien di dalam mengelola hubungan antara organisasi tersebut
dengan lingkungan di sekitarnya. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Oliver Williamson
pada pertengahan tahun 1970-an dengan memberikan argumentasi bahwa berbagai
transaksi yang berskala kecil (seperti transaksi pertukaran barang dan jasa yang sederhana)
tidak memerlukan organisasi. Namun demikan, ketika transaksi tersebut menjadi semakin
kompleks (complexity) dan semakin tidak pasti (uncertainty), maka keberadaan organisasi
diperlukan untuk memonitor dan membatasi kewajiban serta berbagai risiko yang
ditimbulkannya. Lebih lanjut, TCE juga memiliki karakteristik bahwa batasan organisasi
(organizational boundaries) dilakukan berdasarkan biaya transaksi (transaction-cost
basis). Melalui batasan ini, TCE beranggapan bahwa berbagai fungsi menyebabkan biaya
transaksi yang terlalu besar jika dibawa ke luar maupun ke dalam organisasi, sementara jika
transaksi yang dibutuhkan tersedia secara lebih murah di luar organisasi akan dilakukan
secara eksternal.

Suatu organisasi dari perspektif teori Resource Dependence (RD), sebagaimana halnya
pada TCE, memberikan penekanan kepada hubungan antara organisasi dengan organisasi
lainnya. Namun demikian, pendekatan RD memiliki fokus kepada: bagaimana struktur
organisasi tergantung (contingent) terhadap sifat a lam i (the nature) dan keterbatasan (scarcity)
dari setiap sumber daya yang dibutuhkan organisasi tersebut untuk melaksanakan aktivitas
operasionalnya, dibandingkan dengan fokus kepada kompleksitas dan ketidakpastian dari
setiap transaksi (yang menjadi fokus dalam pendekatan TCE). Kelebihan dari pendekatan RD
dibandingkan dengan pendekatan contingency-based theories lainnya adalah bahwa RD
memberikan penekanan kepada peranan (the role) dari manajemen dalam menegosiasikan
ketergantungan (the dependencies) yang diakibatkan oleh kebutuhan sumber daya
organisasi. Lebih lanjut, pendekatan RD juga memberikan spesifikasi terhadap berbagai
alternatif strategi yang dapat dimanfaatkan organisasi untuk melaksanakan aktivitasnya
sesuai dengan bentuk kondisi ketergantungan yang berbeda-beda (different dependency
conditions).

Di samping berbagai teori organisasi yang berkembang berdasarkan pendekatan


contingency-based dengan menggunakan asumsi rasional dan efisiensi sebagai dasar
argumentasi, pendekatan tersebut juga menjadi dasar dari dua teori organisasi lainnya;
the population ecology dan co-evolution. Kedua pendekatan teori organisasi ini
didasarkan kepada argumentasi bahwa pengaruh lingkungan organisasi dialami oleh
berbagai organisasi yang berada pada tataran atau bidang operasional yang sama sebagai
suatu bentuk ekosistem. Para ahli yang memperkenalkan teori dimaksud menggunakan
pendekatan sebagaimana ditemukan dalam mekanisme ekologikal (ecological) dan
evolusioner (evolutionary), seperti variasi, seleksi, dan spesialisasi, di dalam menjelaskan
bagaimana organisasi muncul dan bertahan atau gagal/mati.

- 39 -
CORPORATE GOVERNANCE
Menuju Penguatan Konseptual & lmplementasi di Indonesia

Organisasi dan Paradigma Positivistik


Paradigmapositivistik memahami teori organisasi dengan asumsi bahwa berbagai fenomena
yang berhubungan dengan organisasi dapat dijelaskan melalui hukum atau pendekatan
yang bersifat scientific. Berdasarkan pendekatan scientific ini dipercaya bahwa bentuk (the
shape) dari setiap organisasi akan ditentukan oleh berbagai faktor yang bersifat material
(dapat diamati dan diobservasi), seperti halnya ukuran perusahaan. Melalui paradigma ini
maka dipercaya bahwa suatu organisasi akan mengadopsi struktur yang dibutuhkan sesuai
dengan situasi yang berkembang, sehingga struktur tersebut akan dipandang sebagai
sesuatu yang bersifat fungsional. Melalui cara ini maka paradigma positivistik di dalam
teori organisasi akan berhubungan dengan functionalist, sehingga teori organisasi bersifat
deterministik, generalis, fungsionalis, dan menjelaskan fenomena organisasi berdasarkan
seperangkat faktor yang bersifat material.

Asal mula dari teori organisasi dengan paradigma positivistik didasarkan kepada penelitian
menggunakan pendekatan contingency theory di dalam melakukan observasi terhadap
struktur organisasi (Donaldson, 1996). Lebih Ian jut, menu rut Donaldson (1996) pendekatan
dengan paradigma ini berkembang di tahun 1960-an melalui serangkaian upaya yang
dilakukan oleh para ahli berikut ini; Burns dan Stalker (1961 ), Chandler (1962), Woodward
(1965). Pola pendekatan tersebut dilanjutkan oleh Lawrence dan Lorsch (1967), Thompson
(1967), Pugh et al. (1969), Blau (1970), dan berbagai ahli lainnya. Hasil penelitian para ahli
tersebut menemukan bahwa terdapat yang kuat antara berbagai aspek struktur organisasi
dengan beberapa aspek yang berhubungan dengan eksistensi organisasi.

Studi yang dilakukan oleh Burns dan Stalker (1961), Lawrence dan Lorsch (1967), serta
Thompson (1967) membuktikan bahwa lingkungan organisasi menentukan struktur
organisasi yang sesuai untuk setiap organisasi. Dalam kaitan ini Burns dan Stalker (1961)
berpendapat lebih jauh bahwa kondisi lingkungan organisasi dengan karakteristik
relatif stabil memiliki kecenderungan untuk mengadopsi model struktur organisasi yang
bersifat mekanistik (mechanistic). Sementara jika sebuah organisasi berada dalam kondisi
lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan (dan pada akhirnya menuntut organisasi
untuk bersifat inovatif) cenderung membutuhkan struktur organisasi yang bersifat organik
(organic). Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Woodward (1965) dan Thompson (1967)
menyatakan bahwa kondisi teknologi internal yangdigunakan sebuah organisasi merupakan
suatu faktor yang bersifat situasional (situational factor) dan akan menentukan struktur
organisasi yang dibutuhkan oleh organisasi tersebut. Sementara studi oleh Blau (1970) dan
Pugh et al. (1969) memperlihatkan bahwa ukuran sebuah organisasi akan menentukan
struktur organisasi yang sesuai. Selanjutnya, Chandler (1962) menyatakan bahwa strategi
sebuah organisasi akan menentukan struktur organisasi yang dibutuhkannya, atau lebih
dikenal dengan istilah 'structure follows the strategy'.

Berbagai faktor situasional tersebut (seperti; ketidakstabilan lingkungan organisasi,


teknologi yang diadopsi, ukuran dan strategi organisasi) dikenal juga sebagai 'seperangkat
faktor kontinjensi bagi organisasi'. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya
bahwa berbagai penelitian yang berhubungan dengan faktor yang bersifat 'situasional'

- 40 -
Bagian 3
Governance dan Organisasi

tersebut dalam teori organisasi dikenal dengan contingency theory. Sebuah organisasi yang
beroperasi dalam lingkungannya akan mempengaruhi strategi, teknologi, ukuran, serta
tingkat inovasi yang dibutuhkan untuk dapat beradaptasi secara baik dengan lingkungan
tersebut. Berbagai faktor kontinjensi ini pada akhirnya akan menentukan 'struktur' yang
dibutuhkan agar dapat beroperasi secara efektif. Dengan demikian, efektivitas dari sebuah
organisasi akan dipengaruhi oleh kesesuaian atau kecocokan (the fit) antara struktur
organisasi dengan berbagai faktor kontinjensi dari lingkungan organisasi tersebut. Kondisi
demikian mengarahkan organisasi agar struktur yang dimiliki mampu untuk beradaptasi,
sehingga mengarah kepada kondisi di mana hal yang demikian sesuai dengan berbagai
faktor kontinjensi. Secara umum kondisi tersebut dikenal dengan teori adaptasi struktural
(the theory of structural adaptation) untuk memperoleh kondisi yang sesuai dengan
berbagai faktor kontinjensi organisasi tersebut (Donaldson, 1987). Serangkaian penelitian
empirik selanjutnya menunjukkan bahwa fenomena yang berhubungan dengan hal
tersebut memunculkan model 'the effects of fit on performance' serta model 'the dynamics
of organizational change'. Konsepsi teori kontinjensi yang bersifat umum dan mengalami
perkembangan yang berarti dicirikan dari karakteristik teori berupa 'functionalist' dan
'positivist'.

Struktur organisasi menghasilkan berbagai keluaran yang bersifat fungsional, seperti


efektivitas, inovasi, dan sejenisnya. Pergerakan organisasi sesuai dengan berjalannya
waktu terbukti tetap mengadopsi bentuk struktur organisasi yang dibutuhkan agar 'sesuai'
dengan berbagai faktor kontinjensi, sehingga dapat berjalan secara efektif. Dalam kaitan
ini keberadaan struktur organisasi dapat dijelaskan berdasarkan konsekuensi yang
dihasilkannya agar dapat berfungsi secara efektif. Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa struktur organisasi dan perubahan yang bersifat struktural dalam sebuah organisasi
dipandang sebagai akibat atau hasil dari 'adaptasi fungsional' (functional adaptation) yang
dilakukan oleh sebuah organisasi. Sebagaimana penelitian empirik yang dilakukan oleh
Chandler (1962), Woodward (1965), dan Blau (1970) memperlihatkan bahwa para manajer
dari sebuah organisasi membuat berbagai keputusan organisasi yang bersifat struktural
demi kepentingan organisasi sebagai upaya untuk mencapai efektifvitas organisasi.

Teori organisasi yang dikembangkan berdasarkan berbagai faktor kontinjensi sebagaimana


dijelaskan dianggap sebagai penganut mazhab "positivist" di dalam terminologi sosiologi,
melalui beberapa ciri berikut ini (Burrell dan Morgan, 1979).

1. · Nomothetic; yang berarti bahwa setiap fenomena dianalisis dengan menggunakan


kerangka umum (general framework) dengan berbagai faktor yang dapat diaplikasi-
kan kepada seluruh organisasi, baik untuk contingency factors (seperti ukuran dan
strategi perusahaan) maupun untuk organizational structure (seperti pola spesialisasi
dan sentralisasi). Dalam kaitan ini hubungan sebab akibat secara umum berlaku se-
bagai aturan dan dianggap sebagai hal yang terjadi secara reguler antara berbagai
faktor kontinjensi dengan faktor struktural organisasi.

2. Berbagai penelitian yang berhubungan dengan teori ini secara metodologi adalah
positifistik (methodology positivist) yang dibuktikan dengan penggunaan secara

- 41 -
CORPORATE GOVERNANCE
Menuju Penguatan Konseptual & lmplementasi di Indonesia

umum terhadap penelitian empirik yang bersifat komparatif, dan biasanya diikuti
oleh pengukuran terhadap variabel penelitian serta pengolahan data penelitian se-
cara statistik.

3. Teori ini menjelaskan struktur organisasi menggunakan berbagai faktor yang bersi-
fat material (material factors) seperti; ukuran organisasi, teknologi, dan sebagainya
dibandingkan dengan ideationalist factors seperti; ide, ideologi, persepsi, norma,
dan sejenisnya.

4. Teori ini bersifat deterministik (determinist) melalui sudut pandang bahwa para
manajer harus mengadopsi struktur organisasi yang sesuai dan disyaratkan oleh ber-
bagai faktor kontinjensi, di dalam upaya untuk mencapai efektivitas organisasi.

5. Teori ini secara ketat diaplikasikan melalui penelitian empirik (empirical research)
dibandingkan dengan spekulasi yang bersifat arm-chair atau pengembangan teori
baru berdasarkan data empirik yang berhasil dikumpulkan. Dengan demikian hasil
riset berkaitan dengan teori ini dijelaskan berdasarkan pola data yang ditemui di
lapangan serta menggunakan berbagai argumen berdasarkan penelitian terdahulu
yang relevan.

6. Secara sadar, teori ini memiliki sifat dan karakter yang bersifat saintifik (scientific
style), dengan tujuan untuk menghasilkan pengetahuan saintifik (scientific know-
ledge) sebagaimana jenis penelitian empirik yang dilakukan oleh bidang ilmu pasti
(the natural sciences).

Governance dan Perspektif Organisasi


Oakeshott (1975) secara umum membedakan dua jenis asosiasi (association) yaitu; civic
association dan enterprise association. Jen is asosiasi pertama (civic association) ditujukan
untuk sesuatu yang lebih besar daripada sekadar suatu akhir (end), kepentingan (interest)
atau kebaikan (good) yangdilindungi berdasarkan aturan umum sehingga pencapaian tujuan
menjadi memungkinkan secara damai dan membawa kemaslahatan bersama. Sementara
asosiasi berupa perusahaan (enterprise association) bersifat lebih fokus (focused), dengan
tujuan jelas (purposive), instrumental dan eksekutif, serta melalui karakteristik tersebut
asosiasi ini dapat menyesuaikan tujuannya dan mengeksekusi hal tersebut sesuai dengan
kebutuhan. Terlepas dari perbedaan kedua bentuk asosiasi tersebut, menurut Oakeshott
(1975), standar moral dan standar lainnya yang berlaku di asosiasi kemasyarakatan juga
berlaku untuk asosiasi usaha.

Organisasi merupakan "a consciously coordinated social entity, with a relatively


identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a
common goal or set of goals" (Robbins, 1990, p. 4). Definisi tersebut mengandung tiga
kata kunci bahwa suatu organisasi merupakan: (a) entitas sosial yang terkoordinasi secara
sadar, (b) mengenal batasan yang secara relatif dapat diidentifikasikan secara jelas, (c)
melaksanakan fungsinya dengan basis yang secara relatif sehingga berkesinambungan, di
dalam mencapai serangkaian tujuan bersama. Sejalan dengan pengertian tersebut, maka
perusahaan sebagai suatu organisasi melaksanakan aktivitasnya (governing its activities)

· 42 ·
Bagian 3
Governance dan Organisasi

di dalam suatu batasan sistem dari suatu negara tempat perusahaan tersebut berada danl
atau beroperasi. Dalam kaitan ini agar perusahaan sukses dalam mencapai tujuannya,
maka perusahaan tersebut harus mampu untuk beradaptasi secara baik dengan lingkungan
tempat perusahaan berada. Menurut Morgan (1997, p. 39) pandangan demikian didasarkan
kepada pendekatan sistem (the systems approach), yang didasarkan kepada 'the principle
that organisations, like organisms, are "open" to their environment and must achieve an
appropriate relation with that environment if they are to survive'.

Melalui pemahaman tersebut maka sistem CG dapat dideskkripsikan sebagai perangkat


(berupa struktur dan mekanisme) yang menyediakan aturan main serta regulasi yang
akan digunakan organisasi di dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan
organisasi. Sistem dimaksud didesain sedemikian rupa agar mampu menyediakan check
and balance mechanisms sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam organisasi, dengan
tetap memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam organisasi. Melalui
kepatuhan berbagai pihak yang ter/ibat untuk berperi/aku sesuai dengan aturan main
yang ditetapkan, maka tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, menjaga interests
pemangku kepentingan, sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat terjamin. Dalam
kaitan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Selznick (dalam Burrel dan Morgan, 1979, p.154)
"the organisation is presumed to operate in goal-directed manner, geared to maintaining
itself internally and in relation to its environment". Hal ini berarti bahwa CG mengikuti
pendekatan the structural functionalist approach to organization, yang berada di bawah
konsepsi the functionalist paradigm secara umum.

MenurutTricker (2009) pendekatan sistem menurutteori organisasi untuk tujuan memahami


fenomena governance dinyatakan dalam bentuk persepsi dan diklasifikasikan sebagai
sebuah bentuk sistem hierarki (hierarchy of systems). Sebagaimana dijelaskan pada bagian
sebelumnya bahwa terjadi interdependensi antara subsistem pada suatu sistem dalam
organisasi, maka setiap subsistem menjelaskan ways of thinking dari perspektif (dan sesuai
dengan karakteristik) masing-masing subsistem tersebut. Kondisi seperangkat subsistem
dengan ciri demikian pada akhirnya mempengaruhi berjalannya sistem secara keseluruhan
dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.

Selanjutnya, jika dihubungkan dengan konsep organizational boundaries sebagaimana


dimaksudkan oleh Robbins (1990), maka pendekatan sistem di dalam memahami
fenomena organisasi paling tidak memberikan tiga kriteria dalam mengidentifikasi suatu
sistem (Tricker, 2009, p. 232):

a. The system's boundaries, akan menentukan apa yang perlu diperhatikan di dalam
sistem itu sendiri (within the system) dan apa yang ada dalam sistem (what in the
system) di lingkungan organisasi tersebut. Dalam kaitan ini sistem didesain untuk
meningkatkan pemahaman terhadap situasi dan setiap sistem dapat dibagi menjadi
berbagai elemen subsistem sesuai dengan kebutuhan pemakainya.

b. The system's level of abstraction, merupakan tingkatan pada kondisi bagaimana


suatu sistem dipersepsikan dan berkaitan dengan berbagai hal yang bersifat detail
menjadi perhatian (amount of detail treated within it).

- 43 -
CORPORATE GOVERNANCE
Menuju Penguatan Konseptual & lmplementasi di Indonesia

c. The system's function, merupakan fungsi untuk rnengetahui berbagai hal yang terjadi
atau muncul antara input dan output dalam suatu sistern (the system's inputs and
outputs).

Berdasarkan kriteria tersebut, muncul pertanyaan berikut; jika demikian apa yang menjadi
batasan (boundaries) dari konsepsi CG? Jawaban alas hal tersebut dapat dipahami
melalui penyataan Cochran dan Warlick (1988) sebagai berikut; corporate governance
is an umbrella term that includes specific issues arising from interactions among senior
management, shareholders, board of directors, and other corporate stakeholders. Dari
sudut pandang system theory definisi tersebut dapat mewakili jawaban alas pertanyaan
tentang ruang lingkup atau domain yang akan menjadi wilayah kajian CG. Walaupun
pemyataan tersebut telah mengidenlifikasi 'pemain' (players) di dalam CG, namun belum
dapat menggambarkan batasan yang jelas terhadap tindakan atau wilayah "permainan"
(domain) masing-masing pemain untuk melaksanakan fungsi mereka di dalam kerangka
governance activities. Lebih lanjut, berbagai organisasi telah mengeluarkan berbagai
prinsip governance sehubungan dengan fungsi dari elemen governance (the players)
sebagaimana dimaksud. Namun demikian, di dalam implemenlasinya berbagai prinsip
tersebut (yang sangat umum dan berlaku secara universal) harus diderivasi lebih jauh
untuk mengakomodasi karakteristik organisasi dan sistern serta lingkungan organisasi
ternpat suatu organisasi berada. Dengan demikian pemahaman alas context dan culture
ternpat governance sebuah organisasi dengan sistem serta lingkungannya akan menjadi
dasar di dalam mendefinisikan the appropriate boundaries of governance participants for
their action (lihat Tricker, 2009).

Governance, Organisasi dan Paradigma Fungsionalis


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi merupakan 'a consciously
coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a
relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals' (Robbins, 1990, p. 4).
Dalam kaitan ini, maka organisasi perusahaan melaksanakan aktivitasnya dengan berbagai
batasan (boundaries) sistern kenegaraan tempat suatu perusahaan tersebut berada. Dengan
kuatnya pengaruh lingkungan organisasi ternpat sebuah perusahaan berada maka untuk
dapal menjamin tercapainya tujuan perusahaan serta menjaga sustainabilitasnva, maka
organisasi dimaksud harus mampu beradaptasi secara baik dengan lingkungan ternpat ia
berada. Hal ini sejalan dengan pendapat Morgan (1997, p. 39) bahwa "in order for a
company to successfully achieve its objectives, it should better adapt to its environment."
Kondisi demikian sesuai dengan pandekatan sistern (system approach) dalam memandang
organisasi sebagai 'organisme', sebagaimana dipercaya oleh mazhab Darwinisme dan
diadopsi teori organisasi dan dikenal dengan slogan survival of the fittest'.

Pandangan organisasi modern sebagai suatu bentuk sistern terbuka (open system) berakar
dari paradigma fungsionalis (the functionalist paradigm) sebagaimana dinyatakan oleh
Burrel dan Morgan (1979, p. 26) sebagai berikut:

- 44 -
Bagian 3
Governance dan Organisasi

'[The functionalist Paradigm is]. .. usually firmly committed to a philoso-


phy of social engineering as a basis for social change and emphasises the
importance of understanding· order, equilibrium and stability in society
and the way in which these can be maintained. It is so concerned with the
effective 'regulation' and control of social affairs'.

lmplikasi dari kutipan tersebut adalah inividu maupun kelompok yang berhubungan
atau memiliki kepentingan dengan perusahaan, terkoneksi melalui rangkaian aktivitas
dan menjaga hubungan mereka melalui seperangkat aturan di dalam suatu sistem atau
lingkungan tempat organisasi tersebut berada. Dengan kata lain, berbagai pihak yang
berkepentingan dengan organisasi perlu untuk menjaga keseimbangan (balancing) dengan
mematuhi aturan main sesuai mekanisme yang ditetapkan.

Salah satu interpretasi dari hal tersebut adalah bahwa sistem governance dapat dijelaskan
sebagai suatu fungsi yang menyediakan aturan main dan regulasi tentang bagaimana
seharusnya sebuah perusahaan mengelola aktivitasnya dalam mencapai tuj uan yang
ditetapkan. Sistem dimaksud didesain sedemikian rupa untuk menciptakan mekanisme
checks and balances untuk menjaga keseimbangan dalam perusahaan dengan tetap
memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terlibat. Melalui upaya memastikan bahwa
setiap elemen pemangku kepentingan bertindak (behaves) sesuai dengan aturan main dan
regulasi dimaksud, pencapaian tujuan perusahaan tanpa merusak kepentingan pihak yang
berkepentingan dapatdicapai secaraoptimal. Dal am kaitan ini, uraian tersebutmempertegas
bahwa konsepsi governance menggunakan pendekatan structural functionalist dalam teori
organisasi, yang dipayungi oleh paradigma functionalist sebagaimana ditegaskan oleh
Burrel dan Morgan (1979).

- 45 -
CORPORATE GOVERNANCE
Menuju Penguatan Konseptual & lmplementasi di Indonesia

Catalan Akhir

Porsi terbesar dari tulisan ini bersumber dari tulisan "Governance and Organizational Foun-
dation; a Literature Review", working paper (03-10) Governance Research Program, Lem-
baga Manajemen-Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (2010).

2 Lihat Donaldson (1996) untuk penjelasan secara lebih komprehensif.

3 Darity (2008) menyajikan berbagai alasan dan argumentasi terkait organization- environment
theories, termasuk argumentasi untuk membagi organisasi menjadi dua tipe dari sudut pan-
dang ini.

4 Li hat Aldrich dan Pieffer (1976) dan Pfeffer dan Salancik (1978).

5 Dalam hubungannya dengan struktur korporasi, Monks dan Minow (2004, p.6) berpendapat
bahwa "the corporate structure was developed to meet particular needs that were not being
met by eralier forms available to business. /t evolved through a Darwinian process ini which
each development made it stronger, more resilient, and more impervious to control by out-
siders."

6 Konsepsi "open system" di dasarkan pada the functionalist paradigm (Burrel dan Morgan
1979) dengan pandangan bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan "or-
ganisme" yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan hidup organisme
(organisasi) dimaksud harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. (Lukviarman 2001).
Secara ekonomi, untuk merepresentasikan hal ini digunakan analogi biologi sebagaimana
dikemukakan oleh Marshall (1925) di dalam melakukan analisis terhadap organisasi ekono-
mi melalui istilah "evolution" dan "struggle for survival". Ide ini lebih lanjut dikembangkan
oleh Alchian (1950) melalui "evolutions" dan 'natural selections" di dalam ilmu ekonomi.

- 46 -

Anda mungkin juga menyukai